JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pengelolaan aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya pembuktian dari kedua belah pihak. Dalam rangka mempermudah pembuktian pengembalian aset berdasarkan “positive wettelijk bewijs teorie”, beban pembuktian atau bewijslast yang harus diterapkan adalah omkering van bewijslast atau pembuktian terbalik. Dalam konteks pengembalian aset, jika negara yang diwakili oleh jaksa pengacara negara akan meminta pembekuan, penyitaan bahkan sampai pada pengembalian aset, orang atau pihak yang mendaku bahwa aset tersebut adalah miliknya, dialah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal. Artinya, aset tersebut diperoleh bukan dari suatu perbuatan yang melawan hukum. Apabila orang atau pihak yang mendaku memiliki hak atas aset yang akan disita dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah, maka jaksa pengacara negara dibebani kewajiban untuk membuktikan sebaliknya. Akan tetapi, jika orang atau pihak yang mendaku memiliki hak atas aset yang akan disita tidak dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah, maka pengadilan menjatuhkan putusan untuk menyatakan aset tersebut adalah milik negara dan memerintahkan pembekuan, penyitaan dan pengembalian aset tersebut.
Daftar Pustaka Atmasasmita, Romli, 2003, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, dalam Makalah Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap Sistem Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh; Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, di Bali tanggal; 14-15 Juni 2006. ________________, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung. Bassiouni, Cherif M., 2003, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publishers, Inc., Ardsley, New York. Cavadino, Michael and Dignan James, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE Publication Ltd.
14
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Sambutan Pembukaan Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006. Marzuki, Peter Mahmud, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata, Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008. Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Montesquieu, C.S.B.D., 2007, The Spirit Of Laws, diterjemahkan oleh M.khoril Anam, Nusamedia, Bandung. Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Stolpe, Oliver, 2008, Legal Framework on Asset Recovery – The UN Convention Against Corruption. The International Bank For Reconstruction and Development / The World Bank, 2007, Stolen Asset Recovery ( StAR) Initiatives: Challenges, Opportunities and Action Plan, Washington, 2007. United Nations Convention Against Corruption. University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman Center, University Of Leicester. Utrecht, E., 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PIAGAM ASEAN: ARTI PENTING BAGI PERJANJIAN INTERNASIONAL LAINNYA Damos Dumoli Agusman Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang apakah Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945 telah memberikan gambaran lebih mengenai politik hukum Indonesia terhadap hubungan antara perjanjian internasional dan hukum nasional. Dalam putusan MK, yang disertai dengan opini berbeda (dissenting opinion) dari beberapa hakim, dinyatakan bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji Piagam ASEAN secara materiil. Pernyataan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam perspektif hukum formal, Piagam ASEAN dipandang telah menjadi bagian dari hukum nasional dengan ratifikasi melalui undang-undang. Alasan ini yang kemudian dikaji oleh penulis berdasarkan teori-teori di dalam hukum internasional dan praktik-praktik di negara lain. Kata kunci: Piagam ASEAN, Mahkamah Konstitusi, perjanjian internasional, ratifikasi, hukum nasional, teori monisme, teori dualisme. Abstract The decision of Indonesian Judicial Court on the case that questioning whether the ASEAN Charter is inconsistent with the Indonesian Constitution has given more views on Indonesian legal politics regarding the relation between treaty and national law. In the Judicial Court’s decision, with dissenting opinion from some of the judges, it is stated that the Judicial Court has legal standing to materially examine the ASEAN Charter. Such statement resulted from the consideration that in formal legal perspective, the ASEAN Charter has become a part of national law through ratification by law. This reasoning that will be then analyzed by the writer of this article based on theories in international law and practices in other countries. Keywords: ASEAN Charter, Judicial Court, international treaty, ratification, national law, theory of dualism, theory of monism.
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Setelah ditunggu hampir 2 tahun pasca diajukannya gugatan oleh sejumlah LSM tanggal 5 Mei 2011, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 26 Februari 2013 menentukan sikap terhadap nasib Piagam ASEAN. Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Artinya, Piagam ASEAN tidak bertentangan dengan UUD. Putusan ini mungkin melegakan Pemerintah karena menjadi terhindar dari kemungkinan pelanggaran kewajiban internasionalnya, namun bukan berita yang menggembirakan bagi para pakar hukum khususnya hukum internasional. Bagi kalangan ini, bukan hasil putusannya yang penting namun argumen yang menggiring ke arah putusan itu, karena argumen ini (sering disebut ratio decidendi) kelak akan menentukan nasib perjanjian-perjanjian internasional lainnya. MK mengatakan bahwa lembaga ini berwenang untuk menguji Piagam ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah bagian yang tak terpisahkan dari UU yang merupakan objek yang sah untuk diuji oleh MK. Karena secara formal Piagam ini adalah UU maka tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat mengujinya. Setelah memutuskan bahwa MK berwenang, selanjutnya para Hakim masuk ke materi Piagam ASEAN dan menemukan bahwa Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah kebijakan makro dan belum berlaku efektif. Secara nasional berlakunya kebijakan makro tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN untuk melaksanakan. Atas argumen ini maka gugatan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Argumen ini telah menguak politik hukum Indonesia tentang perjanjian internasional yang selama ini masih misteri dan dalam literatur masih diperdebatkan. Dengan tegas MK memberi pesan bahwa selama perjanjian internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian internasional dapat diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
internasional lainnya dapat diuji dan berpotensi untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD. Argumen ini sangat logis dan dapat dipahami. Namun yang lebih menarik adalah bahwa MK telah memilih aliran hukum yang menjadi kontroversi selama ini bahwa UU yang meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU lainnya dan tidak menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus dibedakan dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin yang menyatakan sebaliknya. Argumen apakah Piagam ASEAN ini merupakan UU sudah sering diperdebatkan dalam dunia akademis. Kontroversi ini tampaknya mengemuka dalam perdebatan para hakim konstitusi. Dua hakim Konstitusi melalui dissenting opinion keberatan dengan argumen yang mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada umumnya. Menurut kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah UndangUndang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat dijadikan obyek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah. Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu peraturan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif, yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kepada setiap orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU. Kontroversi tentang status UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional juga melanda sistem hukum lainnya. Pengadilan Belanda pernah mengalami perdebatan ini. Beberapa ahli menilai UU (Wet) ratifikasi memiliki 2 fungsi yaitu, menyetujui Raja/Ratu melakukan ratifikasi terhadap perjanjian dan sekaligus menjadikan perjanjian itu menjadi hukum nasional yang setara dengan UU. Namun pengadilan Belanda pada 2 Januari 1899 menolak argumen ini dalam kasus ”Konvensi Manhnheim on Rhine Navigation (1868) dengan menyatakan bahwa kekuatan hukum Konvensi ini tidak bersumber dari Wet yang
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
mengesahkannya melainkan pada tindakan pertukaran instrumen ratifikasi antara kedua negara (Belanda dan Jerman). Jurisprudensi ini menyelesaikan perdebatan pada waktu itu dan kemudian menjadi politik hukum dalam revisi Konstitusi Belanda tahun 1953 yang secara tegas menempatkan perjanjian berada di atas hukum nasional Belanda dan bahkan di atas Konstitusi. Negara berkembang seperti Kolombia juga telah menuntaskan persoalan klasik ini pada awal abad 20. Duduk perkaranya sama dengan yang dialami oleh MK saat ini. UU No. 14 Tahun 1914 yang meratifikasi Treaty antara AS dan Kolombia tentang pengakuan kedaulatan Panama digugat ke Pengadilan Kolombia karena bertentangan dengan UUD. Pengadilan Kolombia tidak tertarik mengulas tentang apakah benar treaty ini bertentangan dengan UUD, melainkan hanya menjawab apakah Pengadilan memiliki kewenangan untuk menguji UU No. 14 Tahun 1914 dan treaty. Pengadilan ternyata berpendapat bahwa sekalipun UU ini adalah produk legislatif namun tetap harus dibedakan dengan UU pada umumnya. UU ini hanya merupakan wujud ekspresi unilateral dari Kolombia untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian dan tidak menjadikan perjanjian itu berkekuatan mengikat karena masih tergantung pada tindakan yang sama dari negara pihak lainnya. MK dalam pengujian Piagam ASEAN ternyata mengambil sikap yang sangat berbeda dengan kedua negara di atas. Tampaknya terdapat kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi untuk keluar dari asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian tidak lain dan tidak bukan adalah UU. Kesulitan ini dapat terbaca karena di bagian lain MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau kembali. Namun sayangnya, kesimpulan ini dibangun dari premis yang agak lain dan terkesan bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang keliru. Pilihan bentuk UU untuk persetujuan DPR bukan hal yang baru dalam praktek negara-negara. Belanda, Kolombia, Jerman dan banyak
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
negara lainnya memilih bentuk formil UU untuk persetujuan DPR. Dalam hal ini, bukan bentuk formil UU ini yang menjadi akar masalah namun bagaimana MK memberi makna terhadap UU ini yang menjadi faktor penentu. Dalam hal ini, Prof. Utrecht, seorang pakar hukum di awal kemerdekaan, mengartikan lain bahwa suatu perjanjian internasional yang disetujui DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) adalah UU yang bersifat formil saja. Di lain pihak terdapat pula argumentasi MK yang kelihatannya logis dari sisi hukum tata negara namun menjadi tidak logis dalam hukum internasional. Bagi MK, pemuatan Piagam ASEAN di Jakarta ke dalam UU 38/2008 dinilai sebagai pemindahan format treaty ke dalam format UU yang memiiki konsekuensi bahwa negara pihak harus terikat pada UU ini. Padahal dalam konsepsi hukum publik dikenal suatu model masuknya perjanjian internasional ke dalam hukum nasional melalui proses transformasi. Teori transformasi menjelaskan bahwa Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai treaty mengikat semua negara pihak dalam tataran hukum internasional, sedangkan UU 38/2008 jika hendak dianggap sebagai UU transformasi maka hanya diartikan sebagai Piagam ASEAN yang ditransformasikan ke dalam hukum nasional dan bertujuan hanya untuk mengikat subyek-subyek dalam hukum nasional. Menurut teori di atas, pemuatan Piagam ASEAN ke dalam format UU 38/2008 adalah murni urusan hukum nasional dan tidak ada sangkut pautnya dengan status Piagam sebagai treaty menurut hukum internasonal, yang tetap tentunya mengikat negara pihak lainnya sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, argumen MK yang menyatakan bahwa negara lain harus terikat pada UU 38 Tahun 2008 sangat tidak mendasar dan bukan sebagaimana yang dimaksud oleh teori transformasi. Namun terlepas dari itu, saran MK agar pilihan bentuk UU untuk Perjanjian Internasional ditinjau kembali sangat menarik. Dengan saran ini terdapat kecederungan bahwa seyogianya perjanjian internasional
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
tidak dapat diuji oleh MK. Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji oleh pengadilan nasional hanya dapat dijawab setelah Indonesia menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional1. Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak menyediakan politik hukum ini. MK telah mengisi sebagian kekosongan konstitutional ini. Menurut penulis, saran MK ini harus ditindaklanjuti dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini adalah materi Konstitusi.
1
Damos Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik, Bandung, 2010.
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
KONSEPSI KEDAULATAN NEGARA DALAM BORDERLESS SPACE Purna Cita Nugraha Abstrak Teknologi komunikasi dan informasi telah merubah tingkah laku masyarakat dan kebudayaan secara global. Lebih lanjut, pengembangan teknologi informasi telah mengarah kepada suatu dunia baru tanpa batas dan menyebabkan perubahan-perubahan social yang terjadi dengan pesat. Internet mengalihkan cara komunikasi yang bersifat konvensial kepada suatu fenomena sosial dalam Ruang publik untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan dengan dunia maya dimana satu pihak capat berkomunikan dengan yang lain tanpa dibatasi oleh batas-batas atau bahkan lintas negara (transnasional). Proses yang mengarah pada kemudahan dan manfaat dalam internet tidak selalu menjadi permasalahan karena dalam dunia maya juga terdapat permasalahan hukum yang timbul dalam bentuk kejahatan telematika. Dalam hal ini, negara perlu bekerjasama bersama-sama dalam menetapkan rejim yurisdiksi ekstrateritorial dalam hukum telematika untuk menetapkan kepastian hukum dalam implementasi dari peraturan hukum untuk semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam dunia maya. Kata kunci: Kedaulatan negara, ruang tanpa batas, dunia maya Abstract Information and communication technology (ICT) has changed the behavior of human society and civilization globally. In addition to that, the development of information technology has led to a new world without borders (borderless) and cause significant social changes occurred too rapidly. The internet shifts the conventional way of communication to a new social phenomenon in the public space to communicate, a new world called the cyberspace where one party can communicate with others without being limited by borders or even cross country (transnational). The process leading to simplicity and goodness in the internet was not always the case because in cyberspace there are also legal issues that arise in the form of cybercrime. In this
22
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
regard, the sovereign states needs to cooperate together in establishing extraterritorial jurisdiction regime in cyberlaw to create legal certainty in the implementation of the rule of law for all activities carried out in cyberspace. Key words : State Sovereignty, Borderless Space, cyber space
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.1 Pengembangan dan penerapan teknologi informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus informasi diserap, sekaligus memudahkan orang untuk melakukan komunikasi tanpa terkendala batas ruang dan waktu. Sebagaimana dinyatakan oleh Melville J. Herskovits bahwa teknologi merupakan salah satu unsur utama dari kebudayaan manusia.2 Teknologi dan hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger berpendapat bahwa di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi di sisi lain teknologi juga dapat dilihat sebagai aktivitas manusiawi.3 Pada prinsipnya, teknologi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat
1
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1 2 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, hlm. 115 3 Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm. 44
23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
dan layanan bagi manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan keefektivitasan kerja. Teknologi memiliki ruang lingkup yang luas, karena mencakup : 1) tools and techniques; 2) organized systems such as factories; 3) applied science; 4) those methods that achieve, or are intended to achieve, a particular goal such as efficiency, the satifaction of human needs and wants, or control over the environment; and 5) the study of or knowledge about such things.4 Istilah teknologi juga dapat diartikan sebagai berikut: “Technology thus sometimes includes what might also be called technique; making organization, bereaucracy, and even law itself into technologies. Such extended meanings of the term technology are not, however, what law journals focused on technology usually mean by the term.”5
Dalam hal tersebut di atas dijelaskan bahwa teknologi kadang-kadang mencakup apa yang juga bisa disebut teknik, pembuatan organisasi, birokrasi, dan bahkan hukum itu sendiri menjadi teknologi. Makna yang diperluas dari istilah teknologi tersebut tidak, bagaimanapun, seperti yang jurnal hukum biasanya maksud dalam penggunaan istilah. Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam suatu negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan keadilan. Keadilan dan ketertiban tersebut dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu maupun kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan di dalam masyarakat
4
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2012, hlm. 32 5 Ibid.
24
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi menuntut respon hukum dan hukum berada di persimpangan, di satu sisi berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan masyarakat, di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga teknologi yang ada sekarang, sehingga tetap menjaga berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas yang telah terpenuhi dengan teknologi yang telah ada itu.6 Pada permulaan abad ke-20, salah satu penemuan revolusioner di bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah ditemukannya internet (interconnection networking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Fasilitas internet adalah suatu jaringan computer yang sangat besar, terdiri atas jaringanjaringan kecil yang menjangkau seluruh dunia.7 Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah (borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional). Teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil, lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat menuju suatu sistem global.8
6
Ibid. Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business, Harvindo, Jakarta, 2004, hlm. 1 8 Didik J. Rachbini, “Mitos dan Implikasi Globalisasi” : Catatan untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan, Pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul dan Grahame Thompson, Globalisasi adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor, 2001, hlm. 2 7
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Seperti yang ditulis dalam International Review of Law Computer and Technology: Global information and communication networks are now an integral part of the way in which modern governments, business, education and economies operate. However, the increasing dependence upon the new information and communication technologies by many organizations is not without its price, they have become more exposed and vunerable to an expanding array of computer security risks or harm and inevitably to various kinds of computer misuse.9
Dalam hal ini, informasi global dan jaringan komunikasi yang sekarang merupakan bagian integral dari cara pemerintah modern, bisnis, pendidikan dan ekonomi beroperasi. Namun, meningkatnya ketergantungan pada informasi baru dan teknologi komunikasi oleh banyak organisasi bukan tanpa konsekuensi, salah satunya adalah menjadi lebih terekspos dan rentan dalam memperluas risiko keamanan komputer termasuk terhadap berbagai macam penyalahgunaan komputer. Proses globalisasi tersebut melahirkan suatu fenomena yang mengubah model komunikasi konvensional dengan melahirkan kenyataan dalam dunia maya (virtual reality) yang dikenal sekarang ini dengan internet. Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti berpikir, berkreasi, dan bertindak dapat diekspresikan di dalamnya, kapanpun dan dimanapun.
9
International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat: Problems and Perspectives, Volume 14, 2001, hlm. 105-113.
26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).10 Netizens11 atau para pengguna internet merupakan para penghuni dari konsep cybernetics yang telah melahirkan dunia baru yang dikenal dengan istilah cyberspace, global village, atau internet. Sama seperti dalam dunia konvensional, maka dalam cyberspace “hidup” masyarakat (cybersociety) yang terdiri dari milyaran pengguna internet dari segala penjuru dunia yang berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain melalui jaringan komputer. Sama seperti dalam dunia fisik kita sekarang, dalam cyberspace masyarakat memerlukan pengaturan baik inter-masyarakat maupun antar masyarakat, mulai dari norma sampai kepada hukum (cyberlaw).12 Indeks penggunaan internet di dunia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, hal ini terlihat dari angka peningkatan yang mencapai 566.4% dalam kurun waktu 12 tahun (2000—2012). Pengguna internet (netizens) di benua Asia merupakan 44.8% dari pengguna internet di seluruh dunia, atau sejumlah 1,076,681,059 jiwa. China menduduki peringkat pengguna terbesar dalam peringkat pengguna internet di Asia yaitu sejumlah 538 juta jiwa pengguna internet, sedangkan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah 55 juta jiwa pengguna internet.13 Sejalan dengan pemikiran bahwa cyberspace memerlukan pengaturan baik inter-masyarakat maupun antar masyarakat, mulai dari norma
10
Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 20 11 Business Dictionary, http://www.businessdictionary.com/definition/netizen.html, netizen is citizen of cyberspace a dedicated internet user, diakses pada tanggal 31 Desember 2012 pukul 16.58 WIB 12 Josua Sitompul, op.cit, hlm. 31 13 Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population Stats, http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember 2012 pukul 15.24 WIB
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
sampai kepada hukum (cyberlaw) dan apabila dikaitkan dengan kewenangan suatu negara dalam melakukan pengaturan, hal tersebut tentu saja berhubungan langsung dengan yurisdiksi negara tersebut, misalnya saja mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan hukum di wilayahnya atau dalam hal ini ruang siber. Internet adalah dunia yang ubiquotus (terhubung dan terbuka pada saat yang bersamaan di mana-mana), maka teori yurisdiksi yang menekankan pada locus dan tempus delicti sudah tidak memadai lagi untuk digunakan.14 Kondisi di atas menimbulkan suatu pertanyaan mendasar tentang bagaimana sistem hukum mengatur ruang siber yang notabene borderless tersebut. Lebih jauh lagi, harus juga dipikirkan bagaimana hubungan kewenangan negara dikaitkan dengan pengaturan terhadap setiap perbuatan/interaksi para pengguna internet yang tidak dibatasi oleh batas wilayah (borderless) tersebut. Hal ini tentu menimbulkan suatu kebutuhan dari hukum untuk menyesuaikan dirinya dengan perkembangan zaman dalam menjawab adanya pertanyaan-pertanyaan seputar kewenangan dan yurisdiksi negara atas internet dan ruang siber tersebut. Adanya urgensi hukum dalam meregulasi ruang siber telah membentuk suatu rezim hukum baru di Indonesia. Dalam hal ini, perlu pula terlebih dahulu dipahami peristilahan dan ruang lingkup cyberlaw yang telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia khususnya dalam kegiatan teknologi dan informasi. Peristilahan yang digunakan untuk hukum yang mengatur kegiatan di dalam cyberspace adalah the law of the
14
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 304
28
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
internet; the law of information technology; the telecommunication law; dan lex informatica.15 Pada sudut pandangan secara praktis, dapat dipahami misalnya dalam kegiatan e-commerce memerlukan “sense of urgency” untuk dicarikan jalan keluar atas akibat-akibat atau permasalahan hukum yang muncul. Di sisi lain, dengan memperhatikan pula praktik di negara lain, nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak dibatasinya secara sempit ruang lingkup dari cyberlaw itu sendiri.16 Cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru akan lebih memudahkan untuk dipahami dengan mengetahui ruang lingkup pengaturannya. Cyberlaw dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus (sui generis) atas kegiatan-kegiatan di dalam cyberspace (ruang siber), antara lain mencakup hak cipta, merek (trademark), fitnah atau pencemaran nama baik (defamation), privacy, duty of care, criminal liability, procedural issues, electronic contracts, digital signature, electronic commerce, electronic government, pornografi, dan pencurian (theft).17 Ruang siber dengan realitas virtual, di satu sisi memang menawarkan manusia untuk hidup dalam dunia alternatif, dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang bahkan dapat lebih nyata dari realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Ruang siber telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan, dan penjelajahan seperti teleshoping,
15
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi (Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 129 16 Ibid. 17 Ibid.
29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm.18 Cyberspace atau internet juga terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), hal ini dikarenakan nature dan struktur dari internet yang membuat media ini secara luar biasa dapat memasukkan kreatifitas ke dalam komunitas global. Kreativitas yang timbul dari media ini dan kemampuan untuk menggunakan internet sebagai cara untuk mentransfer hasil karya kreatif memunculkan suatu kebutuhan akan pengaturan dan peraturan dari semua pemerintah, yaitu melindungi Hak Kekayaan Intelektual. Hak cipta memandang internet sebagai media yang bersifat low-cost distribution channel atau saluran distribusi yang murah bagi penyebaran informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan buku. Hal ini disebabkan internet memungkinkan data-data tersebut untuk diunduh secara mudah oleh konsumen.19 Christoper Millard mencatat tiga pertanyaan yang paling mendasar mengenai pelanggaran hak cipta di internet, yaitu: 1) siapa yang mungkin dapat bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak cipta di internet; 2) hukum dan yurisdiksi apa yang paling tepat/pantas diberlakukan; 3) perbuatan pelanggaran hukum seperti apa yang dapat termasuk ke dalam hukum yang berlaku saat ini. Menurutnya, para pelaku
18
Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia), Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm. 6-7 19 Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 3-4 lihat juga Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 10
30
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pelanggaran dapat masuk ke dalam tiga kategori, yaitu pengirim, penerima, dan operator jaringan yang ada di internet.20 Hak Kekayaan Intelektual telah dapat dijamin secara ekstensif di dalam literatur atau karya kesusastraan. Namun, sebahagian orang menganggap bahwa internet sebagai pertanda matinya hak cipta (copyright). Dalam hal ini, Ginsburg mencatat beberapa permasalahan dalam menegakkan Hak Kekayaan Intelektual di dalam internet, sebagai berikut: Should one look to the country where copies were (first) recieved? To the country from which the author uploaded the work? To the country in which is localized the website from which the work first becomes available to the public? What are the consequences of these different characterizations of publication and country of origin? 21
Internet juga dapat digunakan untuk melanggar atau bahkan merampok para pemilik hak cipta dari keuntungan hak cipta, internat juga telah digunakan dalam mencegah pengakuan atau pemberian suatu paten. Sebagai contoh Human Genome Project mempublikasikan atau mengunggah peta dari human genome dengan niat untuk membuat informasi dan data tersebut sebagai informasi publik/pengetahuan umum dan mencegah Celera Genomics, sebuah perusahaan swasta, untuk mendapatkan hak paten. Dari contoh ini, dapat diketahui bahwa penentuan yurisdiksi di internet khususnya dalam Hak Kekayaan Intelektual di internet sebagai sesuatu yang amat penting.22
20
Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000, hlm. 201 Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal Studies: Vol. 10: Iss 2, 2003, hlm. 249 22 Ibid, hlm. 259-260 21
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Di sisi lain, proses siberisasi yang menimbulkan kemudahan dan kebaikan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat persoalan hukum yang muncul berupa sisi gelap yang perlu kita perhatikan yaitu cybercrime dengan berbagai macam bentuknya. Sebagai contoh, carding, merupakan kasus yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara terkenal dalam cybercrime. Selain itu adalah hacking, sebagai bentuk baru dalam mengekspresikan kekecewaan, kekesalan dalam dunia bisnis dan politik, seperti kasus hacking terhadap situs-situs (websites) milik Malaysia sebagai bentuk protes terhadap kebijakan negara itu dalam menangani Tenaga Kerja Indonesia (TKI).23 Kejahatan yang berbasis teknologi informasi dengan menggunakan media komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer-assisted crime, computer-related crime, atau computer crime.24 Barda Nawawi Arief mengatakan dalam bukunya bahwa pengertian computer-related crime sama dengan pengertian cybercrime.25 TB Ronny R. Nitibaskara berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi melalui atau pada jaringan komputer di dalam internet disebut cybercrime. Kejahatan ini juga dapat disebut kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computerrelated crime), yang mencakup 2 kategori kejahatan, yaitu kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana atau alat, dan menjadikan komputer sebagai sasaran atau objek kejahatan.26
23
Ibid. hlm. 7 Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2009, hlm. 23 25 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 259 26 Widodo, loc.cit. 24
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Dalam background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000, disebutkan sebagai berikut: “Cyber crime in a narrow sense (“computer crime”): any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them; and Cyber crime in a broader sense (“computer-related crime”): any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network.” 27
Di sisi lain, dapat diperoleh informasi bahwa serangan siber di seluruh dunia mencapai 5,5 Milyar serangan dalam setahun. Sedangkan serangan siber (cyber attack) terhadap situs-situs Indonesia mencapai 40 ribu serangan per hari. Jenis serangan tersebut bermacam-macam seperti malware (piranti lunak berbahaya) dan spyware (piranti lunak mata-mata). Dalam hal ini, motif penyerangan ke situs-situs Indonesia bukan tergolong motif serius, seperti motif bersifat keamanan atau ekonomis.28 Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, menyebut jumlah serangan siber ke situs-situs berdomain go.id (situs milik lembaga/instansi pemerintah) lebih dari 3 juta kali pada tahun 2011.29
27
Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000 28 Rudi Lumanto, Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure, Serangan Siber ke Situs Indonesia 40 Ribu Kali/Hari, http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribukalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB 29 Ibid.
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Pada tahun 2012 yang lalu, New York Times, sebuah media massa terkemuka AS melaporkan serangan siber yang dilakukan AS dan Israel terhadap Iran, bahkan Presiden Barack Obama secara langsung dan diamdiam memerintahkan serangan cyber menggunakan virus komputer Stuxnet terhadap Iran untuk melumpuhkan program nuklir Iran.30 Bukti lain adalah serangan Malware Stuxnet pada instalasi pengayaan nuklir di Natanz, Iran tahun 2009. Stuxnet mampu menyusup masuk dan menyabotase sistem dengan cara memperlambat atau mempercepat motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan maksimum yang bisa menghancurkan sentrifuse sehingga tidak dapat memproduksi bahan bakar Uranium. Malware Stuxnet diakui sebagai serangan paling cerdas, paling canggih, dan paling hebat yang pernah dibuat yang pernah dibuat manusia.31 Menteri Telekomunikasi Republik Islam Iran, Reza Taghipour menyatakan akan melayangkan gugatan atau membawa masalah ini ke tingkat internasional atas serangan siber ke lembaga pemerintah Iran yang dianggapnya sebagai “state cyberterrorism against the country” tersebut kepada organisasi internasional terkait. Pengaduan Iran atas serangan siber tersebut akan dilayangkan kepada organisasi internasional terkait melalui Kementerian Luar Negeri Iran dan di berbagai pertemuan khusus seperti dalam sidang the International Telecommunication Union di Jenewa, dimana wakil Iran akan menyatakan protes resmi Tehran terkait masalah ini.32
30
http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB 31 http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB 32 http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Hal ini dilakukan Iran karena beberapa instansi pemerintah Iran mendapat serangan siber yang dilakukan sejumlah negara asing dan serangan ini sebagai ancaman keamanan siber dan terorisme siber terhadap negara. Dugaan sementara bahwa serangan ini dilakukan oleh AS, sesuai dengan fakta dan pernyataan Presiden Obama yang berhasil di blow-up oleh media bahwa Presiden Obama secara diam-diam memerintahkan serangan siber dengan komputer virus Stuxnet terhadap Iran untuk menyabotase program nuklir negara tersebut. Aksi serangan ini diduga dilakukan AS bekerjasama dengan unit intelejen rahasia Israel sebagai bagian dari gelombang serangan digital AS terhadap Iran. Dari paparan-paparan di atas, dapat diketahui bahwa persitiwa tersebut menandai era baru penggunaan dunia siber sebagai media untuk melakukan serangan siber dengan menggunakan cyber weapons terhadap bukan hanya infrastruktur dunia maya, tetapi juga instalasi dan insfrastruktur di dunia nyata. Belum terdapatnya organisasi internasional atau forum internasional yang diberi mandat untuk membahas masalah ini secara serius di tingkat internasional dikhawatirkan dapat membuat adanya ketidakpastian existing law (ius constitutum) maupun arah politik hukum ke depan (ius constituendum) dalam pembentukan hukum siber dan penegakan hukumnya di dunia siber. Hal tersebut terlihat dari Iran yang hanya dapat melakukan langkah politis dengan membawa masalah tersebut ke forum/tingkat internasional yang sifatnya konsultatif daripada menempuh jalur hukum dikarenakan kurang dan belum jelasnya infrastruktur hukum nasional dan internasional yang mengatur masalah tersebut. Dunia siber kini dapat dikatakan menjadi matra perang ke-5 selain darat, laut, udara, dan angkasa luar. Iran dengan segala bentuk
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
keterbatasannya telah mampu menginovasi kemajuan teknologi komunikasi dan informasi taktik dalam konflik modern dengan AS dan Israel. Bagi Iran, dengan adanya serangan siber yang dilakukan AS, maka dunia maya pun menjadi medan perang terbaru. Banyak perangkat mutakhir mulai dibuat para insinyur Iran untuk keperluan ini. Pertempuran elektronik telah tercipta dan membuat banyak negara melihat perang dunia siber sebagai ancaman terbesar di masa depan. Dalam tatanan pranata hukum nasional, pengaturan ruang siber dalam hal ini pelanggaran hukum (computer-related crime atau cybercrime) misalnya, seringkali sulit dijerat oleh hukum dan pengadilan di Indonesia karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi di dalam ruang siber tersebut, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.33 Untuk mengakomodir adanya kebutuhan akan infrastruktur hukum dan pengaturan nasional dalam meregulasi kegiatan pemanfaatan teknologi informasi agar dapat dilakukan secara aman dengan menekan akibat-akibat negatifnya seminimal mungkin, Pemerintah Indonesia mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur kegiatan informasi dan transaksi elektronik termasuk aktivitas pada ruang siber. Setelah melalui pembahasan yang panjang akhirnya RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disetujui menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008 dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta ditempatkan pada Lembaran Negara Nomor 58 pada tanggal 21 April 2008.
33
Ahmad M. Ramli, op.cit, hlm. 19
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
UU ITE merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur tindak pidana cyber (cybercrime). Dua muatan besar yang diatur dalam UU ITE ialah mengenai pengaturan transaksi elektronik dan mengenai tindak pidana siber. Materi UU ITE tersebut merupakan implementasi dari beberapa prinsip ketentuan internasional, yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Ketentuanketentuan tersebut adalah intrumen internasional dan regional yang banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia.34 Ada beberapa kelebihan yang diperoleh dengan menyatukan materimateri tersebut dalam satu undang-undang. Pertama, penyatuan ini menghemat waktu karena jika tiap materi diatur dalam undang-undang sendiri, akan membutuhkan waktu yang lama untuk dibahas di DPR. Kedua, para pemangku kepentingan dapat melihat keseluruhan secara holistik dan keterkaitan materi-materi tersebut secara komprehensif.35 Substansi pengaturan tindak pidana siber dalam UU ITE mencakup hukum pidana materil, yaitu kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori tindak pidana siber; pedoman yang digunakan adalah Convention on Cybercrime. UU ITE juga memuat hukum pidana formil yang khusus untuk menegakkan hukum pidana siber.36 UU ITE merupakan rezim hukum baru untuk mengatur kegiatan cyberspace di Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur mengenai aspek yurisdiksi yang menggunakan prinsip perluasan yurisdiksi (extraterritorial jurisdiction) dikarenakan aktivitas pada ruang siber
34
Josua Sitompul, op.cit., hlm. 135-136 Ibid, hlm. 136 36 Ibid. 35
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
memiliki karakteristik lintas teritorial dan tidak dapat menggunakan pendekatan konvensional.37 Dunia siber, meskipun telah dapat diatur, tetapi masih sulit untuk dijinakkan. Cyberspace merupakan dunia virtual yang lokasinya tidak akan pernah kita temukan dalam Atlas, tetapi dapat dikunjungi oleh milyaran pengguna yang tersebar di seluruh dunia setiap saat. Karakteristik ubiquitous dan borderless ini mempengaruhi tindak pidana yang terjadi di dalamnya bahwa pada kenyataannya tindak pidana siber sering bersifat lintas negara sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi yang berlaku atas perbuatan atau akibat tindak pidana serta atas pelakunya. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menyadari keterbatasan perundang-undangan konvensionalnya untuk menjawab permasalahan ini sehingga memandang perlu untuk menyesuaikan hukumnya untuk tetap menjaga kedaulatan negara serta kepentingan negaranya dan warganya.38 Keberlakuan undang-undang pidana Indonesia yang diatur dalam KUHP didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional, antara lain asas teritorialitas, asas nasionalitas, dan asas nasionalitas pasif. Pada prinsip awalnya, undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga negara asing yang berada di dalam wilayah wilayah negara tersebut, baik wilayah darat maupun laut. Setiap negara memiliki kedaulatan dan otoritas tertinggi untuk menegakkan hukum dalam wilayah negaranya. Asas ini dikenal dengan asas teritorialitas. Kemudian, sesuai dengan kebutuhan, ruang lingkup teritorial ini diperluas dengan menyamakan kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu negara sebagai bagian dari wilayah negara itu. Dalam KUHP, asas
37 38
Danrivanto Budhijanto, op.cit., hlm. 133 Josua Sitompul, op.cit., hlm.137
38