I
Jam 10 malam, ruang redaksi Metropolis masih ramai oleh reporter dan juru kamera. Mereka ’berserakan’ di setiap pojokan, meja-meja atau sekedar bergerombol seperti semut di depan belasan TV yang memutar saluran Metropolis dan beberapa saluran TV berita asing. Cana merasa lelah setelah liputan demonstrasi di depan gedung KPK yang berakhir rusuh tadi siang. Setelah tiga tahun menjadi reporter, liputan demonstrasi adalah liputan yang paling ia benci. Selain melelahkan juga lebih sering ricuh dan membuat badan penat gak tanggungtanggung. Ia sudah berkali-kali minta pada Chief Reporter, Bang Johan untuk jadi reporter di program traveling. Tapi tentu saja ditolak. Ia dianggap paling pas berada di lapangan yang menantang daripada liputan program jalan-jalan. Oh well...paling nggak, ia bisa sedikit bersantai dan bertemu dengan manusia-manusia cinta damai. Bukan melulu berhadapan dengan orangorang yang berteriak-teriak. Kelelahan liputan demonstrasi rasanya sama dengan lari keliling lapangan bola sepuluh kali. Ini serius! Coba saja tanya semua reporter. Jawabannya pasti sama. Ketegangannya sama seperti naik Tornado-nya Dunia Fantasi. Deg-degan tapi seru. Demonstrasi kali ini lumayan heboh. Demonstrasi besar di bunderan Hotel Indonesia. Demonstrasi atas kasus korupsi yang melibatkan sejumlah nama pejabat negara dan pengusaha besar. Isunya : Beramai-ramai ’cuci uang’ negara. Seperti acara demo masak, awalnya, baik orator maupun peserta tampak malu-malu seperti anak remaja perempuan baru mulai pacaran. Diam-diam menghanyutkan. Teriakan kecil kemudian berubah menjadi caci-maki. Orator terus menghembuskan kebencian pada para koruptor. Sinar Matahari mentereng menyerbu dengan tega ke semua manusia tanpa pilih kasih. Semakin keras suara orator, semakin ramai. Mereka berusaha menembus ’pagar’ manusia yang terdiri dari polisi bertameng dan ber-helm. Walaupun sebenarnya, untuk apa juga mereka ’kekeuh’ merangsak masuk menembus. Setelah lewat pun, mereka tidak tahu mau kemana. Tidak butuh waktu lama, hingga batu mulai berterbangan di udara. Demonstrasi berubah menjadi ’perang’ kecil antara polisi dan pendemo. Mereka saling pukul, saling dorong. Polisi harus menambahkan pasukan untuk menghalau mereka. Hingga tindakan anarkis tidak melebar kemana-mana. Jika orang lain harus berlari menjauh, ia harus berlari mendekat. ’Tugas negara’ sebagai reporter TV.
1
Ia mencintai pekerjaannya sebagai reporter. Semua tugasnya sangat menantang! Sudah tiga tahun ini ia menjerumuskan dirinya sendiri menjadi reporter lapangan untuk liputan berita politik dan kriminal. Dan, ia mencintai setiap detiknya. Tapi untuk saat ini, pulang ke rumah rasanya sangat menyenangkan. Tadi pagi ibu janji mau masak sayur nangka dan ikan baronang bakar kesukaanya. Bumbunya yang meresap masuk ke dalam daging ikan. Lunaknya ikan bercampur dengan bumbu buatan ibu? Makanan surga! Perutnya mulai keroncongan. Cana longsung menghempaskan tubuhnya yang kotor dan kumal ke kursi terdekat di ruang redaksi. Mencepol rambut panjangnya yang lembab dan bau dengan asal-asalan. Lalu, mengelap wajahnya yang menghitam dengan tissue basah. Ia ingin menepati janji pada ayahnya untuk makan malam bersama malam ini. Sekarang sudah jam 10 malam. Itu artinya makan malam sudah lewat dua jam dan ia lupa menelepon ibu untuk memberitahu. “Ibu, maaf ya, aku nggak ikut makan malam lagi.” “Nggak apa-apa. Ayah juga belum pulang kok….” “Tumben. Kenapa?” “Mungkin masih sibuk atau ada wartawan yang standby nunggu ayah.” “Ibu sudah coba telepon lagi?” “Sudah berkali-kali tapi nggak diangkat.” “Nanti aku coba telepon ya bu.” KLIK. Cana menekan nomor ayah dan yang terdengar hanya nada panggil. Ia mencobanya lagi sambil berjalan mendekati Bang Johan dan Rio yang sedang seru bercerita kejadian hari ini. Telepon ayah masih belum diangkat. Ia akan mencobanya lagi nanti. ”Aku nggak nyangka bakal segede itu demonya,” kata Cana sambil menyeruput air mineral dan menenggaknya habis. ”Mana hampir kena gas air mata!” Cana mengucek matanya lagi. Masih pedih dan pedas. Terdengar ledakan tawa segerombolan teman-temannya dari salah satu pojok. Cana melihat ke arah mereka dengan rasa ingin tahu. Ia beranjak berdiri tepat saat suara Bang Johan berteriak memberi perintah baru.
2
”Wah, ini bakal gede beritanya!” kata Bang Johan sambil menunjuk-nunjuk layar Blackberry dengan jarinya yang gemuk. ”Ada apa bang?” tanya Rio. ”Ada apa sih?” Cana ikut nanya. Tapi karena rasa lelah yang sangat. Ia memilih berdiri dan melipir pergi daripada mendekat dan mencari tahu. Bukan apa-apa. Walaupun ia dekat dengan Bang Johan tapi tetap saja judulnya orang bertubuh gemuk dan tinggi besar dengan kulit hitam legam ini adalah bosnya! Dan, dilihat dari ekspresi Bang Johan, sepertinya ada berita gede banget. Dan, ia tidak sanggup untuk melakukan satu lagi liputan. Cana mencoba menekan nomor ayahnya kembali. Masih tidak diangkat. Ia masih mendengar suara Bang Johan yang panik memanggil tim reporter dan juru kamera sambil berteriak: Breaking News...breaking news! Beberapa reporter spontan bergerak mendekati Bang Johan. Rasa penasaran seorang wartawan melebihi penggosip kelas kakap. Sensitif mendengar kata ’breaking news’ dan langsung bergerak. Biasanya ia akan ikut nimbrung tapi malam ini rasanya enggan. ”Ada yang liat Jess nggak?” tanya Cana pada rombongan ’sirkus’ teman-temannya yang melintas. ”Tuh, di pojok!” jawab Anita, presenter Metropolis yang terpilih menjadi presenter favorit tahun ini. ”Breaking news apa?” Teriak Anita sambil mematikan rokoknya di asbak. ”Gak tahu, paling BBM naik lagi.” Cana menoleh ke pojok ruangan. Kepala Jess tersembul memperlihatkan rambut kecoklatannya yang pendek. Cana mendekati Jess dan duduk di sebelah sahabatnya sejak masa kuliah ini. ”Jess, bawa mobil gak? Numpang dong!” kata Cana pada Jess yang matanya seperti tertancap di layar komputer. Cana ingin segera pulang, ganti baju dan tidur. Ia dapat giliran shift pagi hari ini. Itu artinya, ia harus berada di kantor dari jam 5 pagi sampai jam 6 sore. Dan, sekarang sudah jam 10 malam. Jadi sudah waktunya pulang. ”Nggak minta dijemput Tito?” tanya Jess dengan mata masih menatap serius ke layar. ”Bentar, tanggung nih. Berita mau naek ntar malam.” 3
Cana mendecak. Hormon dalam tubuhnya bereaksi aneh tiap kali mendengar nama Tito. Bukan perasaan cinta tapi bukan juga benci. ”Masih lama?” ”Aku harus ngumpulin data dulu, besok mau ada liputan investigasi,” lanjutnya ”Kasus apa?” ”Korupsi di Departemen Perumahan Rakyat.” Cana tidak begitu tertarik. Lagian kepalanya sudah sakit karena ngantuk. Jadi ia hanya menjawab dengan deheman dan anggukan sekilas. Ia duduk bersila di atas kursi sebelah Jess sambil terus menekan nomor ayahnya. Sudah hampir jam 11 malam. Ayahnya belum juga mengangkat telepon. Ibu bilang, ayah belum tiba di rumah. ”Bokap kemana ya?” Pertanyaan retorik terlontar dari mulut Cana. ”Dari tadi gue telepon, nggak diangkat.” ”Lagi nyetir kali.” jawab Jess sekilas ”Bokap kan pakai supir. Dia mana mau nyetir sendiri di Jakarta.” jawab Cana dengan nada khawatir. Perasaanya mulai tidak enak. ”Mungkin hape-nya ketinggalan atau dicopet.” Jess menutup file kerjanya. ”Mungkin juga.” Cana mencoba menghubungi ayahnya lagi. Masih nada yang sama. Nada panggil yang ia dengar hampir satu jam. ”I am done!” kata Jess sambil meregangkan badan. Kacamata Levis minus empat yang semula bertengger setia di wajah Jess kini berpindah ke atas kepalanya.”Itu anak-anak pada ngapain?” lanjutnya. ”Ada breaking news.” ”Breaking news?” ulang Jes sambil berdiri dan mencoba mencari dengar. ”Langsung pada cabut liputan tuh. Woi...Sand, breaking news apa?’ Teriak Jess pada Sandy yang sudah siap membawa kamera. ”Ada penembakan di Mampang!” jawabnya dengan teriak juga.
4
”Penembakan aja pake breaking news. Paling ada perampokan.” Jess menghempas badannya lagi ke kursi. ” Mau pulang?” tawar Jess pada Cana yang masih mencoba menghubungi ayahnya. ”Bentar, aku telepon ibu dulu.” Cana menekan nomor telepon rumah dan berharap ibu mengatakan ayah sudah di rumah dan sedang makan. “Bu, ayah sudah di rumah?” “Belum. Kata Pak Zabur, dia cuma antar ayah sampai jam sembilan. Terus, kata orang kampus, ayah sudah pulang sejak jam 11 tadi siang.” “Loh? Bukannya ayah harus ngajar sore?” “Ayah nggak datang. Kamu sudah bisa menghubungi ayah?” “Belum, bu.” Cana menutup telepon dengan perasaan aneh. Ayahnya tidak pernah melewati kelas kuliah sepanjang ia menjadi dosen. Sesibuk apapun ayah di luar kampus, ayah tetap menepati janji mengajar. Jadi, kejadian hari ini agak di luar kebiasaan. ”Gimana?” tanya Jess
5