BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktivitas fisik adalah bagian sangat esensial dari kehidupan manusia sehari-hari. Misalnya berjalan kaki, mengangkat sesuatu dengan tangan, menaiki tangga, berlari dan berolahraga secara umum dan lain-lain. Untuk dapat beraktivitas sesuai kebutuhannya, manusia membutuhkan fungsi dan gerak tubuh yang normal tanpa adanya cedera atau gangguan gerak tubuh. Gerak fungsional adalah kapasitas atau kemampuan motorik dari organorgan tubuh manusia. Gerak fungsional tergantung dari integritas dan kordinasi dari setiap level berjenjang pada tubuh dan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Setiap individu memiliki potensi gerak dan dapat dikembangkan. Tetapi dalam kenyataanya yang tersedia pada individu bukan gerak maksimal melainkan gerak aktual. Gerak aktual ini belum tentu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Gerak inilah yang dimaksud dengan gerak fungsional. Dengan kata lain gerak fungsional adalah gerak aktual yang dapat memenuhi kebetuhan dan tepat mencapai sasaran (Viva Kinesia, 2013). Aktivitas fisik atlit pada sebelumnya berbeda dengan aktivitas fisik manusia normal lainya, dimana pada atlit membutuhkan kebugaran jasmani yang lebih dari manusia normal lainnya. Kebugaran jasmani adalah
1
2
kesanggupan dan kemampuan tubuh melakukan penyesuaian (adaptasi) terhadap pembebasan fisik yang diberikan kepadanya (dari kerja yang dilakukan sehari-hari) tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Kebugaran jasmani mencangkup kekuatan, kecepatan, daya tahan, kelincahan, daya ledak (power), kelentukan (Prasetyo, 2014). Cedera adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang dikarenakan suatu paksaa atau tekanan fisik maupun kimiawi (Hardiansyha et al, 2012). Menurut (Kristi, 2012) cedera ditandai oleh dua faktor yaitu: faktor internal (umur, pengalaman, tingkat latihan, teknik latihan, warming up, recovery period, kondisi tubuh yang kurang fit, keseimbangan nutrisi) dan faktor eksternal (kondisi lapangan, peralatan). Pada cedera olahraga yang sering ditemukan adalah cedera sprain, strain, contusion, dan fraktur. Cedera sprain ankle merupakan cedera olahraga yang sering terjadi pada atlit. Dari data prevalensi, 30% cedera yang didapati dari klinik musculoskeletal dan olahraga adalah cedera sprain ankle. Lebih dari 23.000 orang per hari di amerika serikat, termasuk atlit dan nonatlit (young, 2014). Sprain ankle adalah kondisi yang terjadi karena overstrech pada saat melakukan aktivitas kaki yang melibatkan sendi ankle bekerja melebihi batas kemampuan atau berolahraga, hipermobil, dan muscle weakness sehinga terjadi robekan pada ligamen atau tendon, Ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi menimbulkan rasa nyeri, bengkak, sehingga mengakibatkan fungsi persendian
3
terganggu, dan ketidakstabilan persendian. Sendi ankle adalah sendi engsel yang dibentuk oleh tulang maleolus medialis, tulang maleolus lateralis dan tulang fibula yang bersama-sama membentuk sebuah tulang untuk menerima badan tulang talus. Sendi ankle juga diperkuat oleh ligamen-ligamen dan beberapa tendon, yang berperan penting dalam menjaga fungsi sendi ankle agar tetap stabil. Menurut (Hawkins, 2011) dalam tulisannya, “The association football medical research programme: an audit of injuries in professional football” menyebutkan 80% dari semua total sprain ankle terjadi pada ligamen-ligamen sisi lateral, hal ini disebabkan karena ligamen-ligamen tersebut lebih lemah dari ligamen bagian sisi medial. Sedangkan menurut (Estrand, 2011) dalam tulisannya, “The avoidability of soccer injury” menyatakan bahwa 75% sprain ankle yang terjadi adalah cedera kekambuhan atau cedera berulang-ulang (sprain ankle kronik). Sprain ankle kronik merupakan cedera yang berulang-ulang pada pergelangan kaki. Karena pada sebelumnya pernah mengalami cedera yang ketidakstabilan sendi ankle pada saat melakukan gerakan. Tidak stabilnya sendi ankle mampu mempengaruhi keseimbangan yang mengakibat aktifitas olahlaraga menjadi terganggu. Pada Sprain ankle kronik ada beberapa faktor yang mengakibatkan seseorang penderita sprain ankle rentan mengalami cedera kembali, salah satu faktornya adalah muscle weakness atau kelemahan otot. Kelemahan otot dapat menyebabkan kemampuan
stabilitas sendi dalam
4
menahan gerakan akan menurun. Pada sprain ankle diperlukan penanganan khusus untuk menjaga agar tidak mempengaruhi gerak dan fungsi serta anatomi yang lainnya ketika beraktivitas fisik. Penanganan pertama yang dilakukan untuk kasus sprain ankle adalah PRICE yaitu: protection, rest, ice, compression, elevation. Pada fase kronik dari sprain ankle akan mengakibat ketidakstabilan pada sendi ankle dimana akan terjadi gangguan pada sendi yang ditandai dengan gejala-gejala penurunan nilai SEBT (Star Excursion Balance Test). Dalam penilaian SEBT Ada beberapa faktor yang menentukan ketidakstabilan pada sendi ankle yaitu; Kekuatan otot, propioceptif, neuromuscular control, dan range of motion (ROM). Sehingga dalam penanganan kasus kronik dari sprain ankle diperlukan latihan-latihan khusus seperti latihan calf raise resistance band dan latihan calf extension yang bertujuan dalam meningkatkan stabilitas sendi sehingga atlit dapat melakukan aktivitas fungsionalnya secara optimal. B. Identifikasi Masalah Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia berdasarkan anatomi gerak dan fungsional agar mampu melakukan aktivitas yang dilakukan manusia sehari-harinya. Permasalahan pada gerak dan fungsi tubuh atlit sering kali menjadi faktor penghambat dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari, seperti halnya pada cedera sprain ankle. Sprain ankle adalah kondisi yang sering terjadi karena overstretch pada saat melakukan olahraga, hipermobile, dan
5
muscle weakness sehingga robekan pada ligamen atau tendon yang menyebabkan terjadinya inflamasi menimbulkan rasa nyeri, bengkak, fungsi persendian terganggu, dan ketidakstabilan persendian (Fitriani, 2013). Sprain ankle merupakan keluhan musculoskeletal yang sering terjadi. Karena sendi ankle mudah sekali mengalami cedera yang disebabkan karena kurang mampu melawan kekuatan medial, lateral, tekanan dan rotasi. Tidak seperti pada cedera lain yang disebabkan oleh tekanan tingkat rendah yang berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Cedera akut pada sprain ankle disebabkan karena adanya penekan melakukan gerakan membelok secara tiba-tiba (sumartiningsih, 2012). Selain itu sprain ankle juga merupakan cedera yang terjadi pada ligamen berupa robekan dan penguluran yang mengikat ankle sehingga terjadi nyeri, limitasi dan disfungsi pada sendi ankle. Hal ini disebabkan oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/tanah, dimana umumnya terjadi pada permukaan tanah yang tidak rata. Berdasarkan berat ringannya cedera, (Giam, 1995) membagi sprain menjadi tiga tingkatan yaitu; Cidera derajat I, pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamen dan hanya beberapa serabut yang putus. Cedera ini menimbulkan rasa nyeri tekan, pembekakan dan rasa sakit pada daerah tersebut. Cedera derajat II, pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamen yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamen yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan, pembekakan, efusi (cairan yang keluar), dan biasanya tidak dapat menggerakan persendian tersebut. Cedera derajat III,
6
pada cedera ini seluruh ligamen terputus, sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang bersangkutan merasa sangat sakit terdapat darah dalam persendian, pembengkakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan terdapat gerakan-gerakan abnormal. kasus sprain ankle kebanyakan yang sering kali terjadi berulang-ulang adalah sprain ankle derajat I hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap kondisi yang dialami karena hanya merasa nyeri ringan dan sedikit bengkak sehingga tidak dibawah ke ahlihnya. Karena kondisinya tidak diperhatikan, mereka tetap melakukan aktivitas olahraga sehingga dapat terjadi penguluran yang berulang pada ligamen yang mengalami kerobekan atau cedera. Penguluran yang berulang-ulang akan menimbulakan nyeri yang meningkat pada sisi ligamen yang mengalami kerusakan, biasanya bersifat intermittent atau kadang-kadang konstan dan cenderung meningkat jika melakukan aktivitas olahraga. Kondisi ini menjadi sprain ankle kronik. Pada kondisi sprain ankle kronik akan terjadi kerusakan struktur jaringan. Seperti pada ligamen akan terjadi kerobekan, yang dapat meransang serabut saraf afferen (serabut saraf A delta dan tipe C). Implus tersebut dibawah ke ganglia akar saraf dorsalis dan meransang produksi ”P” substance yang memicu terjadinya reaksi radang. Kemudian implus tersebut dibawah ke cornu dorsalis medula spinalis dan dikirim ke level SSP yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus. Pada level SSP yang lebih tinggi (cortex sensorik, hipotalamus dan limbik system) implus tersebut mengalami proses
7
interaksi yang kemungkinan menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri (Jowir, 2009). Sprain ankle kronik menyebabkan otot juga ikut terulur lalu akan menjadi spasme, timbul abnormal crosslink yang dapat mengganggu system metabolisme dan menimbulkan nyeri. Pada pembuluh darah akan terjadi haemorhage dan dilatasi yang terdapat zat-zat iritan yang akan meningkatkan sensitivitas nocisensorik sehingga akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada ujung-ujung
saraf
pada
jaringan
yang
mengalami
kerusakan
akan
mengeluarkan zat-zat iritan berupa prostaglandin, bradikin dan histamine yang akan merangsang saraf afferent A delta dan C yang dapat meningkatkan sensitivitas nocisensorik sehingga timbul nyeri (Jowir, 2009). Pengaruh sprain ankle kronik menyebakan ketidakstabilan sendi ankle yang dapat mengganggu aktivitas pada atlit . Untuk itu dibutuhkan penanganan khusus pada kasus sprain ankle kronik dengan cara melatih dan meningkatkan kerja otot-otot statbilisator sendi ankle. Sesuai judul penelitiian, modalitas intervensi yang akan dipakai adalah latihan calf raise resistance band dan latihan calf extension. Latihan calf raise resistance band merupakan latihan penggabungan antara calf raise yang tipe latihannya mengangkat tubuh dengan menggerakan sendi ankle ke atas dan ke bawah posisi berdiri. dan resistance band (elastic band) adalah alat pendukung yang didesain khusus dari bahan elastis, elastic band akan mengintari pergelangan kaki tepatnya diatas maleolus dan ditarik kesisi lateral atau medial tergantung tujuan yang diingingkan. Dengan
8
digabungnya calf raise resistance band maka saat otot stabilisator ankle bekerja mengangkat tubuh, elastic band berguna menambah intensitas kerja otot-otot stabilisaor
berlebih sehingga saat resistance band di tarik kesisi
lateral atau medial, otot-otot sekitar ankle akan bekerja menahan agar ankle tidak keluar atau tetap sejajar dan tidak menekuk keluar ( Raphael Brandon, 2013 ). Latihan calf extension adalah latihan yang mengunakan mesin leg press, yang bertujuan melatih dan meningkatkan kontraksi dari otot-otot ankle. Latihan ini merupakan salah satu teknik latihan untuk meningkatkan kemampuan otot calf (gastrocnimeus dan soleus). Calf extension mempunyai tipe latihan open kinetic chain, dimana open kinetic chain adalah latihan dengan melatih satu grup otot (karandikar et al, 2011). Prinsip latihan calf extension adalah meningkat kontraksi dari otot calf.
C. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan dan penatalaksanaan tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah latihan calf extension dapat meningkatkan stabilitasi ankle pada kondisi sprain ankle kronik ? 2. Apakah latihan calf raise resistance band dapat meningkatkan stabilisasi ankle pada kondisi sprain ankle kronik ?
9
3. Apakah penambahan latihan calf raise resistance band pada calf extension dapat meningkatkan stabilisasi ankle pada kondisi sprain ankle kronik?
D. Tujuan Penelitian Pada perumusan masalah yang tertera di atas dapat di buat sedemikian rupa tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: Tujuan Umum: Untuk mengetahui penambahan latihan calf raise resistance band pada latihan calf extension untuk meningkatkan stabilitas sendi ankle pada kasus sprain ankle kronik. Tujuan khusus: 1. Untuk mengetahui latihan calf raise resistance band dalam meningkatkan stabilitas sendi ankle pada kasus sprain ankle kronik. 2. Untuk mengetahui latihan calf extension dalam meningkatkan stabilitas sendi ankle pada kasus sprain ankle kronik. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti dan fisioterapi a. Untuk menambah pengetahuan penambahan latihan calf raise resistance band terhadap latihan calf extension untuk peningkatan stabilisasi pada kasus sprain ankle kronik.
10
b. Sebagai bentuk pembelajaran dalam menangani kasus yang serupa dan menambah wawasan peneliti serta pendalaman pada kasus sprain ankle kronik.
2. Bagi instusi pendidikan a. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan fisioterapi terhadap peningkatan
stabilisasi
pada
kasus
sprain
ankle
agar
dapat
mengembalikan gangguan gerak dan fungsi sehingga penderita dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari. b. Sebagai bahan acuan untuk diteliti lebih dalam dan sekaligus menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa untuk mengetahui pengetahuan lebih lanjut tentang penanganan dan intervensi terhadap peningkatan stabilitas pada kasus sprain ankle kronik. c. Dapat menambah wawasan di ilmu fisiologi gerak dan fungsional tubuh khususnya pada kasus sprain ankle kronik. 3. Bagi atlit a. Sebagai bahan irformasi untuk menambah wawasan tentang pengaruh cedera sprain ankle kronik. b. Sebagai bahan informasi untuk menambah wawasan tentang pengaruh penambahan latihan calf raise resistance band dan calf extension pada cedera sprain ankle kronik dalam meningkatkan stabilisasi pada sendi ankle.
11
4. Bagi instusi lain Sebagai bahan informasi untuk masyarakat umum dalam mengenal kasus sprain ankle serta bahaya dan pengaruh terhadap aktivitas fisik sehari-hari.