No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007 No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
ISI Tajuk Fokus Wawancara Workshop Penerbitan Rak Buku Kolom Aktivitas
hal.1 hal.1 hal.2 hal.4 hal.5 hal.6 hal.7 hal.8
FOKUS
Bersama Menolak Perda Diskriminatif
TAJUK Pemerintah daerah berlomba mengatur moralitas warganya. Untuk itulah, sejumlah peraturan dan ketentuan ditelurkan. Namun banyak masalah dalam pemberlakuan peraturan-peraturan itu. Bahkan kerap dituding sebagai perda diskriminatif. Penilaian ini muncul karena pemerintah daerah pembuat peraturan itu, abai terhadap hak-hak warganya, terutama kaum perempuan dan kelompok minoritas. Prosedur pembuatannya pun menyimpan persoalan. Karena itulah, perda diskriminatif ini mendulang protes dan penolakan. Caranya pun beragam. Ada yang melakukannya dengan diam-diam. Ada juga yang mengorganisir ke dalam satu aliansi lalu menggugat substansi peraturan itu. Akan tetapi misinya sama; mereka tak mau didiskriminasi-kan! Nawala edisi ke-5 ini berisi penelitian dan penelusuran the WAHID Institute tentang masalah yang ditimbulkan Perda-perda diskriminatif terhadap kepada perempuan beserta penolakannya. Kami berterima kasih kepada Women Research Institute (WRI) Jakarta, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar, Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) Jakarta, Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, dan Ibu Tuti Rahmawati yang putrinya menjadi korban Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang atas kontribusinya dalam pembuatan nawala the WAHID Institute edisi ini. Selamat membaca.
Kritik dan Saran: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21-3928233, 3145671|Fax: +62 21-3928250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org
Jilbab atas nama peraturan yang dipaksakan akhirnya hanya sebatas formalitas (Foto Gamal F)
J
arum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Pertanda malam mulai kelam. Tapi, Jalan Otista,Tangerang, masih ramai. Beberapa perempuan terlihat menunggu angkutan di sisi pinggirnya. Termasuk Lilis, pramusaji sebuah restoran di Cengkareng. Ia tenang saja meski dingin angin makin menusuk. Maklum, begitulah rutinitasnya; pulang larut malam selepas kerjanya rampung. Tak dinyana, malam itu dirinya menginap di penjara. Sebab, petugas tramtib (ketentraman dan ketertiban, red.) telah menangkapnya.Tak tanggung-tanggung, ia dituduh sebagai pelacur gara-gara kebiasannya itu. Dasarnya Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005. Lilis tak terima. Begitu bebas, ia mengajukan gugatan terhadap Walikota Tangerang Wahidin Halim atas pelaksanaan perda tersebut didampingi pengacaranya. Tetapi ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Angga yang
senasib dengan Lilis juga melakukan hal serupa diwakili ibunya, Tuti Rahmawati. Tuti beserta Hesti Prabowo dan Lilis Mahmudah dengan Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) mengajukan kasasi ke MA. Nasibnya sama; ditolak. Penolakan ini tak membikin patah semangat para perempuan Tangerang. Perda boleh jalan terus, tapi perlawanan tak boleh surut. “Mereka tetap tidak takut pulang malam,” kata Asfinawati ketika dihubungi the WAHID Institute, Jum’at (22/06/07). Mereka, kata Ketua LBH Jakarta yang juga terlibat dalam TAKDIR ini, melakukannya karena keberanian mereka yang kuat. “Kalau bukan PSK, kenapa takut?,” begitu kira-kira argumen mereka. Tak hanya PerdaTangerang yang ditolak kaum perempuan. Perda No. 5 Tahun 2003 yang mewajibkan pemakaian jilbab ditampik oleh perempuan Bulukumba, Sulawesi Selatan. “Ibu-
Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Sidang Redaksi: Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, Nurul Huda Maarif, Subhi Azhari Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa | Desain: Widhi Cahya
No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
ibu PNS hanya memakai jilbab ketika di kantor. Setelah pulang dilepas,” kata Subair Umam, pegiat Lembaga Advokasi dan Pendidikan untuk Anak Rakyat (LAPAR), Makassar kepada the WAHID Institute (20/06/07). Padahal, di sana ada kawasan bernama desa Muslim di mana warganya wajib menutup aurat setiap waktu. Di Padang sama saja. InstruksiWalikota No. 451.442/Binsos-III/2005 yang berisi kewajiban berjilbab dan anjurannya bagi yang non-Muslim justru menimbulkan antipati. Para siswi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) negeri memang mengenakan jilbab. Tetapi ada rambut yang dicat di balik penutup kepala itu. “Itu (mengecat rambut, red.) dilarang keras di sekolah negeri dan diberi sanksi jika dilakukan,” ujar Sudarto, seorang guru yang juga peneliti Pusat Studi Antar-komunitas (PUSAKA) Padang.
Penolakan ini sesungguhnya amat wajar. Sebab, peraturan tersebut telah mendiskriminasikan perempuan. Padahal, sudah ada peraturan dan kovenan internasional yang merekomendasikan penghapusan diskriminasi tersebut. “Produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (UU Sipol),” terang Musdah Mulia dalam tulisannya bertajuk Perda Syari’at dan Peminggiran Perempuan di ICRP On-line (01/08/06). CEDAW memberikan amanat kepada negara yang meratifikasinya, antara lain, agar melakukan langkah-tindak yang
tepat untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita – termasuk perda diskriminatif yang menimpa perempuan di Tangerang, Bulukumba, dan Padang. “Setiap orang (laki-laki dan perempuan) berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi,” demikian bunyi UU HAM pasal 2. Sementara itu, UU Sipol menggarisbawahi bahwa hak sipil dan politik – termasuk hak sipil dan politik perempuan – tidak boleh dilanggar. Pemberlakuan perda diskriminatif terhadap perempuan jelas-jelas sebuah pelanggaran atas komitmen yang sudah disepakati bersama ini. Selain itu, peraturan diskriminatif mendatangkan kekerasan bagi perempuan sehingga layak ditolak. Kekerasan psikologis, misalnya, diterima oleh Angga akibat perda usungan Wahidin Halim itu.
WAWANCARA
Perlu Koalisi Rainbow Power
Erni Agustini, Peneliti dari Women Research Institute Peneliti dari Women Research Institute (WRI), Erni Agustini saat meneliti perda diskriminatif terhadap perempuan, gender budgeting, dan representasi politik perempuan di berbagai daerah di Indonesia menemukan, keterlibatan kaum perempuan sangat rendah dalam pembuatan perda-perda. Akibatnya muncul perda diskriminatif terhadap perempuan. Oleh sebab itu perlu dibangun koalisi pelangi di tingkat daerah untuk mengawal pembuatan perda. Berikut pernyataan lengkap perempuan lulusan Pusat Studi dan Kajian Wanita Universitas Indonesia itu kepada Nurun Nisa’ dan Widhi Cahya dari The WAHID Institute yang mewawancarainya.
Bagaimana sebenarnya duduk perkara peraturan daerah (perda)? Peraturan daerah (perda) sebenarnya digunakan untuk menggali potensi suatu wilayah agar menjadi lebih baik. Itu sebetulnya positif. Tetapi saat perda ini dibuat, ia melalui proses yang panjang serta memasukkan berbagai kepentingan. Biasanya juga akan memunculkan nilai yang akan dikuatkan di situ. Kita bisa kategorikan perda dalam dua daerah; di Jawa dan luar Jawa untuk membandingkan bagaimana situasinya. Mana yang menguat sisi syariat Islamnya dan mana yang menguat adatnya. Gianyar dan Padang lebih menguat sisi adatnya. Mataram juga walaupun sedikit. Kalau untuk yang masalah SI itu kita temui di Jawa Barat seperti Sukabumi dan Tasikmalaya. Mataram juga. Di Solok (Padang) misalnya, ada perda yang cukup unik. Yakni, perda yang mewajibkan pemakaian busana Muslim di sekolah-sekolah, termasuk sekolah negeri, kedinasan, dan bagi masyarakat umum yang
bentuknya himbauan (Perda Kabupaten Solok No. 6 Tahun 2006 tentang Pakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Solok, Red.) Saya menjumpai, ada beberapa elit politik yang menggunakan perda itu sebagai alat yang secara politis menguntungkan buat mereka, ataupun sebagai strategi untuk memuluskan kenaikan jabatan. Karena menurut mereka, masalah kenaikan jabatan dan sebagainya itu dipengaruhi oleh cara mereka berpakaian yang diwajibkan peraturan itu. Mereka yang tidak suka berjilbab tiba-tiba akan berjilbab. Apa sebab perda itu menjadi diskriminatif terhadap perempuan? Perda dibuat melalui proses-proses yang panjang dari bawah sampai atas. Paling tidak, ketika perda itu digodok DPRD dan di tingkat dinas pemerintah daerah, kita bisa tahu bahwa representasi perempuan lagi-lagi masih rendah. Kalaupun dia ada di situ, dia kurang bisa menyuarakan kebutuhan dan kepentingan perempuan. Perempuan sudah lemah dari sisi ini. Dengan perda Solok itu, misalnya, pemerintah setempat mencoba membuat citra tertentu bahwa perempuan yang baik dan ideal adalah mereka yang menutup aurat. Mereka ini
No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
“Anak saya sempat stress karena khawatir ditangkap sebab pulang malam dari hotel tempatnya bekerja,” tutur Tuti Rahmawati, ibu Angga, Selasa (07/03/06). Garagara itu, Angga pindah kerja ke Bogor. Bahkan indekos juga di sana. Kekerasan ekonomi juga muncul akibat peraturan ini. Lilis Lindawati kini hanya di rumah. Sementara, suaminya yang seorang guru dipersulit dalam pekerjaannya – termasuk dalam penerimaan gaji. Padahal, itu sudah haknya. “Itu karena mereka dianggap mempermalukan pejabat pemerintahan Tangerang (karena melakukan gugatan terhadap Walikota Tangerang, red.),” terang Tuti lagi kepada the WAHID Institute (19/07/07) tentang teman senasib anaknya itu. Perda jilbab juga mengabaikan hak perempuan untuk memperoleh pelayanan publik sehingga pantas ditolak oleh perempuan. “Tidak melayani kecuali yang berjilbab,” demikian bunyi pengumuman
di balai desa di Bulukumba. Padahal, pasal 13 perda yang dibesut Pattoboi Pabokori itu menyebutkan, “Peraturan daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.” Lalu bagaimana jalan keluarnya? Lilis Lindawati, seperti disinggung di atas, memilih melakukan gugatan kepada Walikota Tangerang melalui PN Tangerang. Sementara itu,Tuti Rahmawati dan kawan-kawan melakukan judicial review (permohonan uji materil, red.) atas perda anti pelacuran Tangerang ke MA bersama tim TAKDIR. Alasannya, antara lain, karena perda tersebut melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 7 Tap MPR No. 27 Tahun
dianggap lebih anggun dan feminin. Masyarakat lokal yang di grass-root pun percaya dengan jargon itu karena sosialisasi perda tersebut yang diserukan terus-menerus. Bagaimana kiprah pemimpin agama menyikapi perda diskriminatif ini? Kita tahu siapa pemuka agama. Banyak lelakinya. Pemahaman kontekskonteks ayat-pun pasti seringkali dari kacamata yang bias. Institusi Bundo Kanduang yang sempat saya temui ketika penelitian menganggap tidak ada yang salah dengan seruan itu (kewajiban berbusana Muslimah, red.). Jadi kalaupun masyarakat belum mampu melaksanakannya itu dianggap perlu proses saja. Jadi mereka tetap menganjurkan. Suatu saat perempuan minang pasti bisa sehingga mereka menjadi perempuan yang diharapkan, yang dicitrakan “lebih baik” tadi. Peran Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) seperti apa? Kalau itu himbauan atau apa mungkin bisa dilakukan.Tetapi ‘kan kita tahu bagaimana pusingnya menteri pemberdayaan perempuan. Selain itu, KPP juga bukan departemen yang bisa punya power untuk mengintervensi. Ia mesti bekerja dengan sektor lain, misalnya Depdagri (Departemen Dalam Negeri, red.). Dengan keadaan ini, apakah terjadi perlawanan? Ada perlawanan, tetapi tidak massif. Ini karena adat, sebagai contoh, yang sangat kuat pengaruhnya seperti di Gianyar, Bali. Di sana ada Perda No. 6 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan, dan Pemberhentian Perbekel (lurah, red.). Persiapan pemilihan ini dimulai dari Banjar (semacam pertemuan di tingkat RT, red.). Ibu-ibu tidak punya waktu ke sana karena mempersiapkan sesaji untuk odalan (pemujaan umum bagi umat Hindu Bali, Red.) yang memakan waktu berhari-hari. Dengan ritual ini, mereka hampir tidak mempunyai waktu lain untuk
1998 tentang Hak Asasi Manusia. “Perda itu juga berpotensi mengkriminalkan korban perdagangan orang dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain,” tulis tim TAKDIR dalam draft gugatannya setebal 38 halaman itu. Namun, MA ternyata memiliki anggapan yang lain. Hakim Agung Achmad Sukardja, Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar memutuskan bahwa permohonan itu ditolak. “Melihat dari aspek prosedural, proses pembentukan Perda Kota Tangerang telah melalui proses yang cukup lama, semua unsur dilibatkan, dan tidak bertentangan dengan peraturan UU,” ujar Djoko Sarwoko, juru bicara MA, mengutip delik putusan, Jum’at (13/04/07). Perda itu juga dinilai oleh MA telah melalui proses politik sehingga sudah menjadi wewenang eksekutif dan legislatif daerah dan sah untuk diberlakukan di Tangerang. Akan tetapi tim TAKDIR tidak tinggal
kepentingan-kepentingan yang lain yang lebih strategis bagi perubahan posisi mereka yang biasanya dibahas di Banjar. Mereka bilang, “Kalau nanti punya anak atau kita punya saudara atau kita punya pilihan untuk memilih, kita ingin menikah dengan orang yang bukan Bali. Supaya tidak terbebani dengan kewajiban-kewajiban (adat) yang sangat menyita waktu”. Terus saat saya tanya kepada masyarakat Solok soal kewajiban berjilbab, mereka bilang; “Ya beratlah, Mbak, kalau saya suruh milih. Secara syariat, itu anjuran yang baik. Tapi bagaimana dong, orang saya harus begini tiap hari ke ladang (tidak berpakaian muslimah, red.).” Ini artinya, yang dilihat hanya keharusan-keharusan itu. Apa makna di balik itu sebenarnya mereka tidak paham. Apakah ada cara lain yang efektif? Kita merekomendasikan bahwa perempuan harus membuat koalisi. Koalisi rainbow power (kekuatan pelangi, red.) atau semacam itu. Koalisi rainbow power mencoba menggabungkan berbagai unsur perempuan dalam berbagai posisi. Kita bisa studi tentang ini dalam soal bagaimana perda trafficking itu muncul di Manado. Isu ini digerakkan dari bawah melalui ibu-ibu anggota PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, red.). Perempuan disadarkan bagaimana bahaya dan merugikannya trafficking (perdagangan perempuan, red.) itu dan akhirnya sampai pada DPRD. Ada anggota DPRD yang bagus, kalau tidak salah, namanya Ibu Sientje Sondakh. Dia mengakomodir situasi tersebut dan akhirnya bekerja sama dengan pihak akademisi dan eksekutif. Akhirnya bisa gol juga perda itu. Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak gampang. Ia dimulai pelan-pelan dari tingkat bawah lalu disosialisasikan. Kemudian mereka menggandeng perempuan di berbagai posisi ini. Sinergi dari berbagai posisi inilah yang melahirkan perda trafficking itu. []
No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
diam. “Kami sedang melakukan lobi dengan eksekutif dan departemen-departemen terkait,” jelas Asfinawati.Yang dimaksud sebagai pihak eksekutif dan departemen terkait adalah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Hukum dan HAM. Sementara itu, Subair tidak memilih jalur legal formal seperti dilakukan oleh Asfinawati dan kawan-kawan dalam melawan perda jilbab. “Proses ini erat kaitannya dengan parlemen sementara masyarakat di sini belum terbiasa melakukan proses-proses itu,” bebernya. Selain itu, protes lewat jalur ini membutuhkan energi yang besar. “Lobi melalui Kaukus 56 (kaukus 56 anggota DPR menolak perda SI, red.) saja gagal. Bahkan perda SI malah diganti namanya dengan perda anti maksiat saja,” tambahnya setengah kesal. Belum lagi, menurut Subair, soal definisi terhadap istilah ‘pelanggaran terhadap UU di atasnya’ dan ‘wewenang otonomi daerah’ yang membingungkan itu. “Jalur itu juga berat karena keyakinan agama yang berurat dalam masyarakat Bugis,” tandasnya. Orang Bugis sejak dulu kala terkenal dengan budaya menutup auratnya, termasuk dengan berjilbab yang hingga kini tidak dapat digugat. “Karena itu, kami hanya bisa menghimbau untuk tidak mematuhi peraturan tersebut dalam aras praktisnya,” paparnya lagi. Dalam aras teoritisnya, ia dan lembaganya, LAPAR, menyelenggarakan diskusi terbatas untuk membangun sikap kritis terhadap perda tersebut. Sudarto sejalur dengan Subair. Dalam kultur keagamaan konservatif Padang, advokasi PUSAKA – lembaga di mana ia aktif mengkritisi perda diskriminatif – agak berat dilaksanakan dengan menempuh jalur hukum. “Kami berusaha mengkritik kebijakan tersebut melalui seminar atau forum ilmiah lainnya,” tandasnya kepada the WAHID Institute, Jumat (20/06/07).
Yang otoritatif untuk menangani perda diskriminatif ini agar menjadi memihak perempuan sebenarnya pemuka agama – mengingat karakter religiusitas orang Indonesia yang menonjol. Sayangnya, pemuka agama berikut pemahaman keagamaannya justru tidak menunjukkan peran yang demikian di Tangerang, Bulukumba, dan Padang. Di Tangerang, majelis taklim menjadi corong pemerintah dalam memberlakukan perda anti pelacuran itu.Termasuk para pimpinannya yang notabene ulama. “Para pemimpin agama memainkan simbol-simbol Islam dalam hal itu,” terang Asfinawati. Simbolisasi ini berwujud pada pencitraan perempuan; yang suka pulang malam adalah perempuan tidak baik (baca; tuna susila) sehingga harus ditertibkan demi kebaikan bersama. Sementara di Bulukumba, jilbab sudah merupakan keputusan keagamaan yang tidak bisa diganggu gugat. “Itu sesuatu yang sudah final,” jelas Subair lagi. Tradisi keagamaan Padang begitu kuat dengan semboyan-nya yang khas: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. “Mengkritisi itu kita dianggap Yahudi atau Kristen,” ujar Sudarto dalam sebuah acara refleksi yang digelar the WAHID Institute di Padang, Senin (27/06/05). Pihak lainnya adalah negara. Akan tetapi, kiprah negara sepertinya tidak jauh berbeda. Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memang sudah mengupayakan pengawasan dan evaluasi perdaperda yang dianggap bertentangan, baik dengan sistem perundang-undangan yang lebih tinggi maupun bertentangan dengan masyarakat setempat. “Langkah nyata Depdagri tersebut terbukti dengan pengawalan perda diskriminatif di tiga daerah,” terang Janiruddin, Kabag Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum Biro Hukum Depdagri dalam sebuah diskusi, Kamis (14/06/07). Pengawalan yang dimaksud berbentuk
pembinaan antara lain kepada Walikota Tegal, Bupati Purworejo, dan Bupati Banjarmasin. Tetapi, perda yang dimaksud terkait dengan larangan minuman beralkohol.Tak ada nuansa perda (diskriminatif) perempuan di sana meskipun pembinaan ini telah melibatkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP). Meutia Hatta, sang menteri, sesungguhnya juga sudah menunjukkan sikap. Ia berkeluh soal perda yang diskriminatif terhadap perempuan. “Masa sekarang makin banyak perda yang tidak properempuan dan justru membatasi gerak perempuan,” ujarnya dalam peringatan Hari Kartini, Senin (23/04/07), di Jakarta. Hal itu dinilai kontradiktif dengan prinsip kesetaraan gender di segala sektor termasuk soal Pengarus-utamaan Gender (PUG) dalam kementeriannya sesuai Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000. Ia beserta timnya-pun berusaha membendungnya. “Kami sudah mengirimkan surat ke gubernur dan wali kota, kalau ingin membuat perda harus memperhatikan kesetaraan gender,” tambahnya dalam satu kesempatan, Selasa (23/05/06). Tetapi KNPPP bukanlah kementerian yang berbentuk departemen yang memiliki kewenangan luas. “Kementerian Negara mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara,” demikian bunyi pasal 89 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Ketentuan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Sementara itu, kementerian yang berbentuk departemen memiliki langkah yang lebih panjang karena diberi wewenang untuk menyelenggarakan apa yang sudah dirumuskan. Semaju-majunya KNPP, langkahnya tetap terbatas karena kewenangannya tak banyak. Sehingga,
No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
kiprah mereka tidak terlalu bisa diharapkan. Karena itulah, penolakan perda lebih tepat dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Tidak dengan mengandalkan siapa-siapa. Bentuknya adalah melibatkan perempuan dari berbagai kalangan. Tak peduli, apakah berasal dari legislatif, aktivis, bahkan perempuan di ranah domestik. “Kita merekomendasikan perempuan harus membuat koalisi. Koalisi rainbow power (kekuatan pelangi, red.) atau semacam itu,” usul Erni Agustini, peneliti di Women Research Institute (WRI),
(Lihat; Perlu Koalisi Rainbow Power). Usulan ini sesungguhnya masuk akal. Pertama, karena tingkat legislasi perempuan rendah. Seperti dirilis Kompas (28/08/01), hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Dengan jumlah sekecil ini, perempuan daerah tak sanggup membendung lahirnya peraturan yang diskriminatif karena posisi tawarnya tidak cukup signifikan. Kedua, perempuan di ranah domestik ternyata memiliki peranan penting seperti halnya kaum legislatif. “Ibu PKK
PENERBITAN
juga mempunyai peran yang signifikan,” tambah alumnus Pusat Studi dan Kajian Wanita Universitas Indonesia (PSKWUI) ini. Ketiga, aktivis perempuan dan organisasinya tidak diragukan lagi kontribusinya dalam perjuangan melawan diskriminasi perempuan, terutama di daerah. “Organisasi perempuan di tingkat daerah sangat penting keberadaannya dalam konteks otonomi daerah”, ujarnya lagi. Perempuan bisa menolak perda bersama-sama. Mari! Wallahu A’lam.[] Nurun Nisa, Gamal Ferdhi, Nurul Huda.
PUBLIKASI WAHID INSTITUTE
Dalam rangka Ulang Tahun The Wahid Institute segera menerbitkan buku: Islam Kosmopolitan, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, Mengawal Pluralisme, Gus Dur Memilih Kebenaran daripada Kekuasaan dan Secara Gue Gus Dur itu Asyik.
LOMBA PENULISAN CERPEN DAN ESSAI
Dapatkan versi onlinenya di Download Material www.wahidinstitute.org
No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
RAK BUKU
Repotnya Menjadi Minoritas
M
enjadi minoritas memang tidak enak. Mereka sering menjadi korban penindasan mayoritas. Ketika sebuah kebijakan dilahirkan demi kepentingan mayoritas, saat itulah penindasan menjadi sesuatu yang niscaya bagi mereka yang minoritas. Ini benar-benar terpraktek di Indonesia. Di berbagai daerah muncul perda diskriminatif bernuansa agama. Di Bulukumba, dirilis perda jilbab karena penduduk (perempuan)-nya kebanyakan beragama Islam. Yang tidak berjilbab tidak mendapatkan pelayanan di kelurahan. Sebaliknya, di Manokwari terbit rancangan perda (raperda) Kota Injil karena sebagian besar warganya memeluk agama Kristen. Nantinya umat Islam tidak boleh mengenakan simbol Islam termasuk jilbab sebab raperda tersebut memang menggariskan demikian. Melihat realitas tersebut terbersit pertanyaan; apakah relasi antara mayoritasminoritas memiliki pakem yang tak boleh berubah—selalu hegemonik dan dominatif seperti itu? Jika kita mau melihat fakta sejarah, rasanya tidak. Berabad-abad lalu, Nabi Muhammad menjadi minoritas Muslim di Mekkah. Para bangsawan dan agamawan Mekkah merasa tersaingi dengan Islam yang dibawa mereka. Bangsawan-bangsawan tak mau kehilangan privilege-nya karena Islam mengajarkan persamaan antar manusia. Bukan melanggengkan kasta seperti tradisi mereka. Di pihak yang lain, kehadiran Nabi SAW menggusur pengaruh agamawan yang bercokol lama—Yahudi, Kristen, dan Pagan. Nabi SAW kemudian ditindas dan dipojokkan. Ini berlangsung lama. Di situlah, tirani mayoritas dan minoritas memperoleh keabsahan. Nabi SAW memutuskan agar umatnya meminta suaka ke Abbesinia. Mitra dagang Makkah ini masyhur akan rajanya yang adil, Negus. Negus menerima Ruqayyah dan Utsman bin Affan, perwakilan umat Islam dengan tangan terbuka. Ia membiarkan penganut Islam menjalankan ibadahnya meski ia penganut Kristen yang taat. Cerita kesewenang-wenangan kelompok mayoritas tidak ada lagi. Di sini dapat disaksikan bahwa hubungan antara minoritas dan mayoritas tidak selamanya tegang atawa terkungkung dalam kerangka oposisi binarian; mayoritas mesti menjadi penguasa dan minoritas tak bisa menolak takdirnya menjadi pihak yang dikuasai.
Pola baru ini terus berlanjut ketika Nabi SAW kemudian pindah (lagi) ke Madinah. Nabi SAW menjadi mayoritas tapi tak menindas. Umat lain yang minoritas, seperti Yahudi, memperoleh perlakuan yang setara. Bukti paling nyata adalah lahirnya Piagam Madinah. Semua kelompok dapat berpartisipasi tanpa pandang posisi. Dalam posisi ini, Nabi SAW memilih membangun pusat pendidikan dan perekonomian. Masjid difungsikan dengan baik sebagai pusat pendidikan. Perdagangan dioptimalkan untuk mengembangkan kualitas umat. Keduanya mutlak. Karena umat yang kuat adalah umat yang cerdas serta makmur. Cerdas maksudnya berperedaban dan sanggup berinteraksi dengan segala perubahan zaman. Sementara makmur tak berarti kaya.Yang penting tidak miskin dan fakir. Aspek ekonomi dan aspek pendidikan tetap menjadi fokus Nabi SAW ketika diri dan umatnya bahkan ketika menjadi mayoritas. Dengan modal ini, terbukti umat Islam mampu melawan gempuran dari luar dan goncangan dari dalam untuk kurun waktu yang tidak pendek. Di sinilah bisa ditangkap pesan bahwa umat baik minoritas atau mayoritas mestinya mengabdikan usahanya untuk mengurus hal-hal yang substansial seperti kebutuhan ekonomi dan pendidikan—hal-hal yang benar-benar dibutuhkan untuk capacity building umat. Sebab itulah, mengurus formalisasi ajaran dan doktrin agama (baca; merancang perda agama dan seterusnya) menjadi sesuatu yang layak dinomorduakan. Tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas, juga kuantitas, sebuah umat. Demikian Nabi SAW sudah membuktikan. Begitu umat sejahtera dan cerdas, dengan segera ia menjadi umat yang beriman seperti dicitakan-citakan oleh perda-perda agama itu. Karena memang kemakmuran dan kecerdasan itu berbasis nilai-nilai agama. Kisah panjang Nabi SAW menjadi minoritas Muslim di Makkah dan Abbesenia ini di-dedahkan dengan baik oleh Yasin Mazhar Siddiq dalam bukunya yang bertajuk The
Judul Buku: The Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities Penulis: Muhammad Yasin Mazhar Siddiqi Penerbit: The Islamic Foundation Tempat Terbit: London Tahun Terbit: 2006 Jumlah Halaman: 230 hlm + xiii
Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities. Buku karya profesor Islamic Studies di Aligarh Muslim University ini memang buku sejarah. Tetapi dijamin tak menjemukan. Dalam buku ini, pembaca akan menjumpai detail Nabi SAW sebagai Muslim minoritas di Makkah dan Abbesinia dengan segala perniknya. Hunafa’, aliran (agama) penerus tradisi monotheisme Ibrahim, misalnya diceritakan dengan rinci. Lalu soal suksesi penguasa Ka’bah dari satu bani (suku atau klan, Pen.) ke bani yang lain dengan kronologis yang panjang. Juga pembeberan bukti persahabatan Muslim Mekkah dengan rakyat Abbesinia—termasuk syair-syair dari pujangga Arab tentang itu. Kisah Bilal dan Ummu Ayman dalam kapasitasnya sebagai orang dekat Nabi SAW, yang pribumi Abbesinia, juga dibeberkan dengan bagus. Itulah bedanya dengan buku sejarah lainnya—Yasin memang ingin membikin salah satu periode dakwah Nabi SAW ini dengan sudut pandang baru. Ia dalam hal ini mengeluh soal pola penulisan sejarah yang tak berkembang sejak dimulai oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam berabad-abad lalu. Mereka membahas Mekkah hanya pada soal turunnya wahyu untuk kali pertama, pemeluk Islam pertama, dan hal-hal lain di sekitar itu.Yasin, hemat penulis, sudah berhasil melakukan tugas ini. Toh begitu Yasin tetap merendah; pekerjaannya diakui bukan sesuatu yang sempurna atau sebuah errorfree work. Akhirnya, selamat membaca. Nurun Nisa’
No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
KOLOM
Surat Edaran Jilbab Kabupaten Banjar
Mengusung Identitas, Memarjinalkan Perempuan Oleh: M. Subhi Azhari Tak ada yang lebih menyesatkan ketimbang klaim banyak penguasa daerah tentang perlunya kembali menggali kekayaan dan identitas lokal. Namun di saat sama, mereka justru mengebiri hak-hak warganya di ruang publik. Apakah pemerintah daerah berhak menggunakan mandat yang mereka peroleh dari rakyat untuk memutuskan sebuah cara pandang terhadap identitas kedaerahan tanpa meminta konsensus rakyatnya? Inilah pertanyaan yang saat ini menjadi praktek yang menggejala dalam penerapan otonomi daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia. Meskipun dengan modus dan pola yang berbeda, namun kecendrungan pengabaian aspirasi rakyat dalam berbagai kebijakan otonomi ini sudah sangat mengkhawatirkan. Kebijakan jilbabisasi di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, adalah salah satu contoh kongkrit. Regulasi yang tertuang dalam Surat Edaran Bupati Nomor 065 tahun 2000 tentang “Anjuran Pemakaian Jilbab bagi PNS di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjar”, ini jelas menunjuk revitalisasi identitas lokal yang hilang sebagai legitimasinya. Misalnya, secara historis, berdirinya Kerajaan Banjar telah memberi dasar bentuk-bentuk formalisasi Syari’at Islam yang terefleksi dalam Undang-undang yang dibuat Sultan Adam. Disamping itu, ada juga peran besar Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang telah menjadikan Kota Martapura sebagai pusat kajian Islam. Dari sini, sudah tentu identitas yang dimaksud adalah tradisi keislaman di tengah masyarakat yang semakin hari mengalami kemerosotan. Julukan Kota Martapura sebagai “Serambi Mekkah” tidak lagi tercermin dari cara berpakaian warganya. Karena itu, Pemerintah Daerah (Pemda) merasa punya kewajiban
moral untuk memulihkan identitas itu. Salah satunya melalui program jilbabisasi di instansi-instansi pemerintah. Sebagaimana umumnya, kebijakan bernuansa keagamaan – baik dari sisi substansi maupun penerapannya di lapangan – menempatkan visi, misi dan kepentingan pemegang kekuasaan di atas kepentingan masyarakat menjadi ciri utamanya. Meskipun secara konseptual kebijakan semacam ini hanya bersifat himbauan yang sama sekali tidak mengikat, namun menempatkan cara pandang keagamaan tertentu dalam sebuah kebijakan yang berlaku secara publik tentu saja melahirkan diskriminasi bagi cara pandang di luarnya. Selain itu, netralitas kekuasaan yang seharusnya mengayomi seluruh warganya tidak akan terbangun karena identitas agama menjadi satu ukuran pokok. Lebih dari itu, kebijakan jilbabisasi sama sekali tidak berdampak pada peningkatan gairah keislaman. Namun lebih nampak sebagai pembatasan terhadap kebebasan masyarakat untuk memilih identitas yang mereka gunakan di ruang publik. Terlebih pada tataran praktek, kebijakan jilbabisasi menjadi satu cara penguasa untuk mengukur ketundukan birokrasi di bawahnya. Tidak jarang juga kalangan non-muslim terpaksa beradaptasi dengan mengenakan jilbab di lingkungan kerja jika tidak ingin termarjinalkan. Bahkan menurut aktivis LSM di Kalimantan Selatan Gazali Rahman, baik kalangan eksekutif maupun legislatif setempat menganggap adaptasi kalangan non-muslim sebagai sikap yang positif di tengah mayoritas masyarakat muslim. Persepsi umum tentang regulasi moral, menjadikan aturan jilbabisasi semacam ini tidak menimbulkan resistensi yang berarti dari kalangan birokrasi. Para pegawai pemerintahan yang terbiasa dengan ketundukan tanpa reserve pada
aturan-aturan birokrasi lebih memilih menerima setiap kebijakan yang keluar dari pimpinannya meskipun bertentangan dengan pilihan hati nuraninya, karena sikap menolak dapat berdampak buruk pada jabatan dan keberlangsungan karir mereka ke depan. Beberapa dari mereka, menurut Gazali, mengalami represi secara psikologis dan mengalami kemandegan dalam karir karena resistensi yang mereka lakukan. Dan perlu digarisbawahi, bahwa peraturan jilbabisasi secara khusus telah meminggirkan kebebasan perempuan dan menempatkan mereka sebagai subjek hukum sekaligus korban. Baik secara sosiologis maupun politis, penguasa telah menempatkan perempuan sebagai kelompok marjinal yang harus didomistikasi dalam bentuk-bentuk penyeragaman identitas. Dalam kebijakan yang lebih mengutamakan sisi-sisi simbolik semacam jilbab, kooptasi terhadap aspirasi perempuan secara lebih luas adalah sasaran utamanya. Sebagai kelompok dengan jumlah yang tidak kecil, perempuan mengandung potensi sosial maupun politik yang besar. Dengan kebijakan penyeragaman seperti itu, perempuan akan semakin mudah dikontrol bagi kepentingan sepihak kekuasaan. Karena itu, kebijakan jilbabisasi jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang menempatkan setiap warga negara dalam posisi sederajat di muka hukum, tanpa melihat jenis kelaminnya. Lebih dari itu, pengebirian terhadap hak-hak perempuan dengan alasan apapun termasuk untuk mengembalikan identitas lokal, tidak bisa dibenarkan. Kesadaran semacam ini, harus sudah mulai ditanamkan kepada para penguasa baik pusat maupun daerah, agar semangat otonomi daerah tidak menabrak ramburambu demokrasi yang menjadi tujuan utamanya.[]
No. 2/TH. II/MARET - JUNI 2007
Aktivitas 8 6
1
2
7
9
3
8
10
Info Foto
4
5
1. Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Ahmad Suaedy bersama delegasi dari beberapa negara menghadiri Ulang Tahun Pondok Pesantren Bantan ke 66 tahun di Nakorn, Thailand Selatan, 27/06/2007 2. Diskusi dan konfrensi pers: Survei Nasional The Wahid Institute dan Indo Barometer tentang Islam, Terorisme dan Toleransi, 21/06/2007. 3. Malam Kesenian Pesantren bersama “Wayang Suket” Slamet Gundono yang merupakan acara penutup Halqah Islam, Demokrasi, dan Penegakan Keadilan di PP API Magelang, 26/06/2007 4. Diskusi Intensif “Kuasa Pengetahuan Pasca Orde Baru Perspektif Michel Foucault” oleh Lingkar Muda The Wahid Institute, 24/06/2007 5. Halqah Bandung I “Mengokohkan Demokrasi dan Penegakan Keadilan” di Pesantren Cijawura, oleh The Wahid Institute - PCNU Kota Bandung - INCReS, 15-17/06/2007
6. Direktur The Wahid Institute, Yenny Zannuba Wahid tengah melakukan presentasi di hadapan panelis dan peserta seminar internasional Islam and Muslims in the World Today di Universitas Cambridge, London, 4/06/2007 7. Gus Dur dalam konferensi internasional antar-agama Tolerance Between Religions: A Blessing for all Creation, Jimbaran, Bali, 12/06/2007 8. Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Ahmad Suaedy menghadiri Konferensi seAsia Pasifik ke-21 yang diselenggarakan Institute of Strategic And International Studies (ISIS) Malaysia, 4-6/06/2007 9. Evaluasi Satu Semester Suplemen The Wahid Institute di Majalah TEMPO, 2/05/2007 10. Direktur The Wahid Institute, Yenny Zannuba Wahid membuka acara Pameran Kaligrafi Multikultural Karya Jauhari Abd. Rasyad di Gedung Galeri Nasional, Jakarta, 26/06 hingga 3/07/2007