Daftar Isi
Fokus FokusPengawasan Pengawasan
a. Diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2012
2
Dewan Penyunting: Pembina : Moch. Jasin Pengarah : Zaenal Abidin Suphi Hilmi Muhammadiyah Sukarma Achmad Zaenuddin Abdul Ghany Abubakar Dewan Redaksi: Penanggung jawab: Maman Taufiqurohman Ketua : O. Sholehuddin Sekretaris: Nugraha Stiawan Anggota : Nur Arifin, Anshori Akhmad Hariyanto Ahmad Saubari M. Ali Zakiyuddin Ali Ghozi Hakim Jamil Redaksi : Nurul Badruttamam Moh. Anshari, A. Nida Abdur Rahman Saputra Produksi : Purnomo Mulyosaputro Sirkulasi : Sarto Alamat Redaksi: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, Jalan RS. Fatmawati Nomor 33A Cipete Jakarta Selatan 12420 PO. BOX 3867, Telp. (021) 75916038, 7697853, Fax. (021) 7692112 www.itjen.kemenag.go.id E-mail:
[email protected] Dewan Penyunting menerima artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam bentuk soft copy.
DAFTAR ISI Surat Pembaca - [3] Dari Redaksi - [4]
Fokus Utama ■■
■■ ■■ ■■
Mengoptimalkan Peran Whistle Blower dalam Mewujudkan ZI Menuju WBK (Laili Fuad) - [5] Zona Integritas, Penting dan Perlu! (Wendi Wijarwadi) - [10] Meraih Predikat WBK dengan Mewujudkan WTA (Ilman) - [15] Cegah Kebocoran dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Kelik Nugraha) - [18]
Pengawasan ■■
■■ ■■
■■ ■■ ■■
Pelaporan Hasil Kinerja Audit Kinerja dan Pemantauan Tindak Lanjut (Ahmad Fahroji) - [25] Peran Psikologi dan Komunikasi (Nikmatul Atiyah) - [31] Menilai Integritas Pengadaan Barang dan Jasa dengan Probity Audit (Abdur Rahman Saputra) - [40] Menakar Pola Komunikasi Auditor (Miftahul Huda) - [44] Napak Tilas Sejarah Kelahiran Itjen Kemenag (Moh. Anshari) - [50] Peran Diklat sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Aparatur Negara (Siti Marwati) - [54]
Opini ■■ ■■ ■■ ■■
Efektivitas Pengawasan (Ali Saban) - [59] Optimalisasi Audit Kinerja (Shaleh) - [64] Komitmen Diri PNS (Ahmad Nida) - [69] Penyelenggaraan Haji Versi Pengawasan (Nurul Badruttamam) - [73]
Resensi Buku ■■
Selamatkan Bangsa dari Korupsi (Moh. Soleh) - [83]
Surat Pembaca Audit Kinerja Dari informasi yang saya dapatkan, saat ini Inspektorat Jenderal Kementerian Agama tengah memberlakukan audit kinerja. Dengan audit kinerja tidak ada lagi pembidangan dalam melakukan praktek audit di lapangan seperti yang sebelumnya dipraktekkan. Saya mohon informasi mengenai apa dan bagaimana audit kinerja dan seluk beluk prakteknya di lapangan. Demikian terima kasih.
Produk Pengawasan Sebagai institusi aparat pengawasan, tentu ada
Suherman Jaya, Bengukulu Selatan Jawaban: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama memang baru-baru ini menurunkan tim audit kinerja. Semoga dalam waktu dekat akan ada tulisan yang mengulas seluk beluk audit kinerja. Terima kasih
terbitan produk buku pengawasan di Itjen Kemenag, baik itu karya pribadi auditor maupun institusi. Sebagai institusi pengawasan, tentu banyak hal yang bisa dijadikan inspirasi bagi auditor untuk dijadikan sebuah karya yang segar dan inspiratif. Untuk itu, mohon kami
atas ide yang sangat inspiratif.
diperbanyak pengayaan dunia audit dengan tulisan-
Inspektorat Investigasi
selalu diinformasikan karya-karya tersebut.
tulisan dan karya-karya auditor dan mohon untuk
Saya sudah lama mendengar bahwa saat ini struktur di Inspektorat Jenderal Kementerian Agama bertambah dengan hadirnya Inspektorat Investigasi. Yang kami ketahui ini dibentuk sebagai upaya tindak lanjut atas kasus yang perlu diperdalam lagi. Namun saya belum banyak mendengar terkait apa tujuan dihadirkannya
struktur
baru
tersebut,
mohon
ulasannya. Shinto Dewi Aisyah, Papua Barat Jawaban: Memang saat ini struktur Inspektorat Investigasi sudah terbentuk, akan kami ulas dalam edisi-edisi mendatang mengenai tujuan dibentuknya Inspektorat tersebut. Terima kasih atas sarannya. Direktori Nama Pejabat Baru Sebagai sebuah informasi bagi kami di lingkungan Kementerian Agama, saya mengusulkan setiap pejabat yang dilantik diinformasikan dalam
A. Dedi Saputra, Nanggro Aceh Darussalam Jawaban: Dalam resensi buku, pasti akan diulas produk buku pengawasan. Semoga ke depan kami akan memperbanyak produk-produk buku pengawasan. Pakta Integritas Saya mendengar pejabat yang dilantik harus menandatangai Pakta Integritas, apakah ini sebuah kewajiban bagi pejabat yang akan dilantik? Karena seperti kita ketahui Pakta Integritas ini sebagai upaya pencegahan dini bagi pejabat yang dilantik untuk berkomitmen tidak melakukan upaya-upaya korupsi. Sekian terima kasih. Joko Dwipraya, Bangka Belitung Jawaban: Menandatangani pakta integritas merupakan sebuah kewajiban bagi pejabat yang akan dilantik.
setiap edisi Fokus Pengawasan. Kami hamper tidak dapat akses secara formal terkait setiap pergantian pejabat di Kementerian Agama, sebagai sebuah informasi tambahan hal ini merupakan hal penting. Ja’far Arifin, Yogyakarta Jawaban: Semoga bisa diwujudkan menjadi satu kolom khusus. Terima kasih sebelumnya.
Redaksi memohon maaf, tidak semua surat pembaca dapat ditampilkan, karena keterbatasan tempat. Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan!
3
Dari Redaksi Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb.
I
4
npres Nomor 5 Tahun 2004 yang selanjutnya diikuti dengan terbitnya Inpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012 diyakini sebagai upaya kesungguhan pemerintah dalam rangka mendorong seluruh instansi untuk menjadi aparatur yang bersih dan bebas dari korupsi. Selain itu, telah terbit Permenpan dan RB Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi di lingkungan K/L/D/I. Istilah Zona Integritas dimaknai sebagai sebuah predikat yang diberikan kepada suatu K/L/D/I yang pimpinan dan jajarannya mempunyai niat (komitmen) untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani sedangkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) yaitu sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja pada Zona Integritas yang memenuhi syarat indikator mutlak dan memperoleh hasil penilaian indikator operasional diantara 8090. Pembaca Fokus yang berbahagia, Mengingat WBK merupakan prioritas pada percepatan pemberantasan korupsi dan sudah dicanangkan dalam Permenpan, untuk itu kami merasa perlu untuk menuangkannya pada Majalah Fokus Pengawasan edisi Triwulan III Tahun 2012 akan diulas lebih dalam terkait hal tersebut. Setiap pimpinan pada K/L/D/I wajib melakukan pencanangan, bahwa instansi yang dipimpinnya telah siap menjadi Wilayah Bebas Korupsi dan Zona Integritas. Aksi ini sangat penting demi memperteguh dan mengaplikasikan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini hanya akan terjadi
jika sejak perencanaan proses pembangunan Zona Integritas dilakukan dengan matang dan sebaik-baiknya. Hal ini tidak terlepas dari pembinaan yang dilakukan oleh Unit Penggerak Integritas (UPI) yang secara exofficio dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam hal ini di kita dijalankan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Pembaca Fokus yang terhormat, Pada edisi kali ini, rubrik Fokus Utama menampilkan empat artikel yang memaparkan dengan lebih dalam terkait Wilayah Bebas Korupsi (WBK). Ketiga artikel tersebut mengulas Zona Integritas dan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) secara lebih mendalam. Artikel pada Fokus Utama tersebut yaitu Mengoptimalkan Peran Whistle Blower dalam Mewujudkan ZI Menuju WBK, Zona Integritas, dan Meraih Predikat WBK dengan Mewujudkan WTA Selain tema WBK, kami juga menyajikan enam artikel unggulan dalam rubrik Pengawasan. Pada rubrik ini dibahas Pelaporan Hasil Kinerja Audit Kinerja dan Pemantauan Tindak Lanjut, Peran Psikologi dan Komunikasi, Menilai Integritas Pengadaan Barang dan Jasa dengan Probity Audit, Menakar Pola Komunikasi Auditor, Napak Tilas Sejarah Kelahiran Itjen Kemenag, dan mengulas tentang Peran Diklat sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Aparatur Negara Kami juga melengkapi artikel dalam rubrik Opini yang menampilkan empat artikel: Efektivitas Pengawasan, Optimalisasi Audit Kinerja, Komitmen Diri PNS, dan terkait dengan Penyelenggaraan Haji Versi Pengawasan. Pada sesi akhir diisi resensi buku Selamatkan Bangsa dari Korupsi. Selamat Membaca !! [Redaksi] Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fokus Utama Mengoptimalkan Peran Whistle Blower dalam Mewujudkan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi Oleh: Laili Fuad
Pelantikan dan Serah Terima Jabatan Irjen Kemenag (Dr. H. Mundzier Suparta, MA. - Dr. H. Moch. Jasin, MM). Jakarta, 3 Agustus 2012
A
da peristiwa yang penting di Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Pertama, Itjen telah memiliki gedung baru yang cukup representatif. Maklum saja, selama ini Itjen masih menempati gedung lama yang sudah tidak sesuai dengan jumlah pegawainya. Kedua, institusi pengawasan intern Kementerian Agama ini memiliki Inspektur Jenderal baru. Adalah Moch. Jasin, mantan komisioner KPK kini dipercaya menjadi nahkoda baru Itjen Kementerian Agama menggantikan Mundzier Suparta. Pergantian pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Agama sebenarnya merupakan hal yang biasa. Sebelumnya, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu
juga dilantik menjadi Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Namun, pergantian Irjen kali ini terasa sangat spesial. Sebab, Moch. Jasin adalah mantan pimpinan KPK dan KPK adalah lembaga yang saat ini masih dipercaya masyarakat dalam memimpin perang melawan korupsi. Di sisi lain, Kementerian Agama tengah berjuang agar terus mendapat kepercayaan masyarakat dalam membangun institusi/satker yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai pimpinan baru, setelah dilantik Irjen langsung menyelenggarakan ramah-tamah dengan seluruh pegawai dan pejabat di lingkungan Inspektorat Jenderal. Dalam acara tatap muka tersebut, Irjen menyampaikan beberapa pemikiran ke depan Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
5
Fokus Utama terkait dengan perbaikan kinerja Inspektorat Jenderal dan Kementerian Agama pada umumnya. Di sela-sela memberikan arahan, tiba-tiba Irjen memberikan nomor handphone pribadinya. Seluruh pegawai dan pejabat yang hadir pada saat itu langsung mencatat dan menyimpannya ke dalam contact HP masingmasing. Acara tatap muka tersebut menurut penulis menjadi sangat penting. Hal ini bukan hanya karena penyampaian visi-misi Irjen namun lebih karena kesediaan Itjen memberikan nomor HP pribadinya. Maklum, tidak semua pejabat mau memberikan nomor pribadinya. Alih-alih memberikan nomor, justru sebagian para pejabat terkadang sulit dihubungi dengan berbagai alasan. Kesediaan Irjen memberikan nomor HP pribadi setidaknya memiliki maksud yang sangat penting. Pertama, hal ini mencerminkan pribadi Irjen yang low profile namun high capacity. Memang selama ini M. Jasin dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan memiliki komitmen tinggi. Kedua, yang lebih penting lagi kesediaan memberikan nomor pribadi
ini akan menjadi sarana bagi para pelapor (whistle blower) untuk melaporkan segala penyimpangan yang terjadi di Inspektorat Jenderal dan seluruh satker Kementerian Agama. Hal ini tentu saja relevan dengan program Kementerian Agama yang akan membangun Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK). Ke depan, para whistle blower ini akan mudah melaporkan segala bentuk penyimpangan tanpa diketahui identitasnya. Oleh karena itu, tulisan singkat ini akan membahas tentang definisi whistle blower, sejarah whistle blower, tugas dan fungsinya, serta bagaimana mengoptimalkan peran whistle blower di Kementerian Agama dalam rangka mewujudkan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi. Whistle blower secara bahasa berasal dari bahasa Inggris. Whistle artinya peluit dan blower artinya peniup. Jadi whistle blower artinya adalah “peniup peluit ”. Disebut demikian karena sebagaimana wasit dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya, meniupkan peluit berarti
Pelantikan Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Dr. H. Moch. Jasin, MM.) Auditorium Kementerian Agama, 3 Agustus 2012 6
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Fokus Utama pertanda telah terjadi pelanggaran. Dalam ranah penegakan hukum, istilah “peniup peluit” diartikan sebagai orang yang telah membongkar dan melaporkan peristiwa skandal, praktik korupsi dan pelanggaran hukum berat lainnya. Whistle blower kerap dicampuradukkan dengan istilah justice colaborator. Walaupun keduanya sama-sama melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum namun keduanya memiliki status hukum yang berbeda. Whistle blower tidak terlibat dalam tindak pidana yang diungkapnya. Sedangkan justice collaborator justru termasuk dalam kelompok atau turut terlibat dalam tindak pidana tertentu. Baik whistle blower maupun justice collaborator membutuhkan perlindungan mengingat adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran adanya serangan balik dari pihak yang dilaporkan. Pasalnya, kedua jenis informan itu sangat dibutuhkan dalam tindak pidana berat, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, dan tindak pidana pencucian uang (money loundry). Sejarah whistle blower sangat dekat dengan pelaku sejarah kelam aksi kejahatan tertua dan terbesar di daratan Italia selatan seperti daerah Napoli, Palermo, Scisilia, yang kemudian dikenal dengan istilah mafioso. Para mafioso ini memiliki jaringan organisasi yang sangat rapi dan kuat. Mereka menguasai hampir semua lini baik eksekutif, legislatif, serta yudikatif. Organisasi ini berkembang di negara lain dengan istilah yang lain seperti triad di China, cartel di Colombia dan Yakuza di Jepang.
Organisasi ini bergerak di bidang kejahatan yang sangat beresiko tinggi. Ancaman hukumanya bisa seumur hidup atau hukuman mati seperti narkoba, perdagangan manusia dan tindak pidana pencucian uang. Tidak jarang jaringan yang sangat kuat sehingga sulit diberantas. Namun jika terjadi pecah kongsi, artinya salah seorang dari mereka berkhianat, salah satu mereka mengungkapkan ke publik. Inilah yang kemudian sebagai wishtle blower. Sebagai imbalannya kemudian diringankan atau dibebaskan dari segala tuntutan. Lantas kemudian apa kaitan antara kesediaan Irjen memberikan nomor HP pribadi, whistle blower, dan pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi Kementerian Agama sebagaimana judul tulisan ini? Untuk memahaminya perlu dijelaskan pengertian dan tahapan-tahapan membangun ZI menuju WBK. Menurut Permenpan Nomor 20 Tahun 2012, Zona Integritas (ZI) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada Kementerian/Lembaga yang pimpinan dan jajarannya mempunyai niat (komitmen) untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani. Sedangkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja pada ZI yang memenuhi syarat indikator mutlak dan memperoleh hasil penilaian indikator operasional di antara 80 dan 90. Di atas WBK ada Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), yaitu sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja pada ZI yang memenuhi syarat indikator mutlak Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
7
Fokus Utama dan memperoleh hasil penilaian indikator operasional 90 atau lebih. Dalam mewujudkan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi setidaknya ada beberapa tahap. Tahap pertama, tahap pencanangan. Pada tahap ini dimulai dengan penandatanganan Dokumen Pakta Integritas oleh pimpinan dan seluruh pegawai, dan ditandai dengan penandatanganan deklarasi/ pernyataan komitmen oleh pimpinan K/L. Dokumen ini kemudian dipublikasikan secara luas, dengan maksud agar semua pihak dapat memantau, mengawal, dan mengawasi, serta berperan serta dalam pelaksanaan program kegiatan pencegahan korupsi, reformasi birokrasi, dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang telah ditetapkan. Harapannya agar terwujud K/L yang sungguh-sungguh berintegritas dan bebas dari korupsi. Tahap kedua, tahap pembangunan. Pada tahap ini K/L yang telah mencanangkan kesiapan/kesanggupan menjadi K/L yang berpredikat ZI mewujudkan komitmen pencegahan korupsi melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan pencegahan korupsi yang nyata (konkret) secara terpadu dan disesuaikan dengan kebutuhan K/L yang bersangkutan. Guna efektivitas pelaksanaan kegiatan tersebut, maka dilakukan pembinaan oleh pihak Unit Penggerak Integritas (dilaksanakan oleh APIP masing-masing K/L) bersama instansi terkait, sepanjang diperlukan, misalnya BPKP, BKN, dan LKPP. Kegiatan-kegiatan pencegahan korupsi yang dilakukan bersifat konkret terutama berupa sosialisasi/pelatihan/kampanye anti
8
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
korupsi, penyampaian LHKPN, pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi, penyusunan kode etik pegawai, penyediaan sistem dan sarana pengaduan masyarakat (whistle blower system), kajian dalam rangka perbaikan sistem, dan kegiatan-kegiatan lain yang merupakan inisiatif dari K/L/Pemda. Tahap ketiga, tahap identifikasi/ penilaian. Pada tahap ini setelah proses pembangunan ZI berlangsung dalam waktu yang dinilai memadai, pimpinan K/L/ Pemda yang sudah memperoleh opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan sekurang-kurangnya Wajar Dengan Pengecualian (WDP) melakukan identifikasi unit kerja yang dianggap berkinerja baik dan dapat diusulkan menjadi unit kerja yang berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Identifikasi unit kerja dilakukan berdasarkan pada hasil evaluasi dan penilaian internal (self assesment) oleh UPI atas unit kerja yang bersangkutan dengan fokus penilaian pada hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan pencegahan korupsi yang telah dilaksanakan sejak pencanangan kesiapan/ kesanggupan K/L untuk menjadi ZI. Unit kerja yang telah diidentifikasi atau terpilih, dapat diusulkan oleh pimpinan K/L/Pemda kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk dilakukan penilaian. Penilaian terhadap unit kerja yang diusulkan oleh pimpinan K/L dilakukan oleh Tim Penilai Independen dengan keanggotaan Kementerian PAN dan RB, KPK, dan Ombudsman RI. Penilaian dilakukan untuk memperoleh kesimpulan apakah
Fokus Utama unit kerja yang diusulkan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan predikat WBK. Penilaian dilakukan secara bertahap dimulai dengan penilaian indikator mutlak dan apabila hasilnya memenuhi syarat minimum requirement, penilaian dilanjutkan kepada indikator operasional. Penilaian indikator operasional ada dua macam yaitu indikator utama program pencegahan korupsi (komitmen pimpinan) dengan bobot 60% dan indikator penunjang dengan bobot 40%. Penilaian indikator utama program pencegahan korupsi meliputi: penandatanganan Dokumen Pakta Integritas, LHKPN, akuntabilitas kinerja, laporan keuangan, kode etik, sistem perlindungan pelapor (whistle blower system), program p e n g e n d a l i a n g ra t i f i ka s i , ke b i j a ka n penanganan benturan kepentingan (conflict of interest), program inisiatif anti korupsi, kebijakan pembinaan purna tugas (post employment policy), dan pelaporan transaksi keuangan yang tidak wajar oleh PPATK. Sedangkan penilaian dari aspek penunjang mencakup: promosi jabatan secara terbuka, rekrutmen secara terbuka, mekanisme pengaduan masyarakat, eProcurement (layanan pengadaan barang dan jasa berbasis internet), pengukuran kinerja individu, dan keterbukaan informasi publik. Tahap keempat, tahap penetapan. Pada tahap ini berdasarkan usulan/rekomendasi dari Tim Penilai Independen tersebut, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menerbitkan Keputusan yang menetapkan unit kerja tersebut sebagai unit kerja berpredikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK), sedangkan unit kerja
berpredikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) ditetapkan oleh Presiden. Penetapan predikat WBK ini dapat dicabut apabila pada waktu-waktu setelah penetapannya, ditemukan/terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan tidak dipenuhinya lagi indikator penilaian. Dari penjelasan tentang tahapantahapan pembangunan ZI menuju WBK di atas, perlu dicermati tentang tahap ketiga atau tahap penilaian. Pada unsur penilaian utama program pencegahan korupsi ternyata menempatkan sistem perlindungan pelapor (whistle blower system) sebagai unsur yang sangat penting. Bahkan unsur whistle blower system termasuk ke dalam unsur utama yang bobotnya 60%. Dengan demikian menjadi jelas urgensi dari whistle blower atau “peniup peluit” dalam membangun ZI menuju WBK. Namun dalam Permenpan Nomor 20 Tahun 2012 belum menjelaskan secara jelas bagaimana mekanisme whistle blower. Apa yang dilakukan oleh Irjen Kemenag, Moch. Jasin dengan memberikan nomor HP pribadi kepada seluruh pegawai dan pejabat di lingkuntan Itjen mungkin dapat dijadikan solusi mengoptimalkan peran whistle blower di lingkungan Kementerian Agama. Dengan demikian baik pegawai atau pejabat yang meyakini ada perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan dapat dengan mudah melaporkannya kepada pimpinan tanpa harus diketahui oleh rekan kerja masing-masing. Bahwa siapapun dan dimanapun apabila melihat penyimpangan dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dapat menjadi whistle blower. [Laili Fuad]
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
9
Fokus Utama Zona Integritas, Penting dan Perlu! Oleh: Wendi Wijarwadi
Pembekalan Tim Monitoring dan Evaluasi - Distribusi Al-Quran dan Laboratorium Komputer Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
D
alam sebuah video di situs populer Youtube, terdapat sebuah video menarik berjudul ‘‘Tree; Lead India”. Video berdurasi 2.32 Detik ini menceritakan tentang usaha seorang anak kecil untuk menyingkirkan batang pohon besar yang tumbang sehingga menyebabkan kemacaten. Sekilas, usaha itu tampak siasia mengingat tubuh kecil tak bertenaga anak kecil tersebut. Apalagi, orang-orang disekitar tampak tidak perduli dan cenderung saling menyalahkan dan emosi. Tanpa menghiraukan kondisi sekitar, anak tersebut terus mendorong batang pohon tersebut dalam kondisi hujan lebat. Situasi yang mustahil tersebut ternyata membawa dampak positif dan massif. Orang-orang tergerak
10
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
oleh keteguhan sang anak dan berbondongbondong berusaha menyingkirkan batang pohon besar tersebut dari tengah jalan. Di akhir cerita, usahanya berhasil, batang pohon besar berhasil disingkirkan, lalu lintas kembali normal dan semua orang bergembira. Cerita tersebut memang hanya sebuah video. Namun, Video ini menjadi menarik sebab tidak banyak orang yang punya komitmen seperti anak tersebut untuk melakukan sesuatu yang tampak mustahil. Di sisi yang lain, alih-alih membantu menyelesaikan masalah, justru orangorang malah sibuk mengeluh dan saling menyalahkan. Lantas, pertanyaannya adalah, apa kaitan antara prolog video tersebut
Fokus Utama dengan judul tulisan ini? Apakah Zona Integritas itu?Apa urgensinya dan bagaimana menerapkan Zona Integritas di dalam perilaku aparat pemerintahan? Untuk membahas tema tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui apa itu Zona Integritas. Zona seringkali diartikan sebagai daerah dengan pembatasan khusus. Dalam kata lain, Zona tersebut dibatasi oleh aktifitas atau batasan yang disepakati bersama. Misalnya, Zona Industri yang berarti daerah tersebut hanya boleh melakukan aktifitas Industri. Selain itu, Zona juga bersifat melindungi suatu daerah/lingkup yang telah disepakati dari hal-hal yang tidak diinginkan. Di dunia, kita mengenal apa yang disebut sebagai Korean DMZ atau Demilitary Zone. DMZ (Zona Bebas dari Aktifitas Militer) adalah sebutan untuk sebuah daerah yang menjadi batas pemisah antara dua korea yang berseteru, Korea Utara dan Selatan. Zona ini disepakati oleh kedua negara sebagai zona aman dan bebas dari aktivitas militer. Tak perduli apakah situasi Korea utara dan Korea Selatan sedang memanas dan terjadi aksi angkat senjata, kawasan ini harus tetap steril dari peperangan dan aksi militer. Sementara itu, kata ‘Integritas (Integrity)’ dalam Kamus Cambridge Advance Learner’s Dictionary dipadupadankan dengan beberapa karakteristik utama yaitu kualitas seseorang untuk bersikap jujur dan memiliki prinsip moral yang kuat, menunjukkan standar kerja yang tinggi dan berusaha maksimal untuk tidak bekerja di bawah standar yang ditentukan.
Apabila dikaitkan dengan istilah Zona Integritas, kita bisa mengatakan bahwa zona tersebut disepakati bersama sebagai zona yang hanya boleh melakukan aktifitas dengan penuh integritas. K/L/Pemda yang telah mendeklarasikan dirinya mengikuti program Zona Intergitas wajib mengikuti ketentuanketentuan yang telah ditentukan. Setiap Institusi termasuk setiap individu pegawainya yang telah diberi label Zona Integritas wajib memiliki sikap kerja yang penuh integritas. Zona Integritas ini juga merupakan pintu gerbang untuk menciptakan wilayah bebas dari korupsi. Amanah tentang Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi termaktub dalam Permen PAN & RB nomor 20 tahun 2012. Dalam Permen PAN &RB tersebut, Zona Integritas didefinisikan sebagai sebutan atau predikat yang diberikan kepada K/L/Pemda yang pimpinan dan jajarannya mempunyai niat (komitmen) untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani. Hal ini muncul karena dari 10 poin Instruksi Umum yang tertuang dari Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Instruksi nomor 5 yang mengamanahkan perwujudan WBK menjadi poin yang masih perlu penguatan dalam aspek implementasinya. Zona Integritas Hadir guna menjawab visi mulia pemerintah untuk membumihanguskan korupsi dari negeri tercinta ini. Menurut Menteri PAN/RB Dr. Azwar Abu Bakar, ada tiga penyakit utama yang menghinggapi perilaku birokrat kita saat ini, yaitu efisiensi, akuntabilitas dan korupsi. Permen PAN & RB nomor 20 tahun 2012 ini diharapkan mampu memperbaiki 3 penyakit utama tersebut. Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
11
Fokus Utama Pertanyaannya kemudian, apakah program ZI menuju WBK ini mampu menjawab tantangan bangsa untuk lepas dari sekapan korupsi yang tengah menggurita ini? Apabila pohon besar dalam video tersebut dianalogikan dengan korupsi yang tengah tumbuh makmur di Indonesia, mayoritas orang mungkin sudah capek dan pesimis dengan pemusnahan korupsi dari negeri tercinta ini. Semua orang saling tunjuk seolah korupsi hanyalah urusan pemerintah belaka. Apalagi, ekspose kasus korupsi berhasil menjadi top rating berita diberbagai TV nasional dan media massa populer dalam beberapa bulan terakhir ini. Jauh sebelum program ZI menuju WBK ini, Pemerintah secara terus menerus melakukan ijtihad untuk membebaskan bangsa ini dari jeratan korupsi. Berbagai gerakan anti korupsi telah seringkali dilakukan melalui pembentukan lembaga anti korupsi ataupun gerakan-gerakan anti korupsi. Tercatat, pemerintah sudah tujuh kali melakukan ijtihad
melalui kebijakan-kebijakan anti korupsi. Hal tersebut dimulai pada Tahun 1967 dengan pembentukan Tim Pemberantas Korupsi melalui Keppres 228/1967 yang diketuai oleh Mayjen Sutopo Juwono. Berlanjut dengan pembentukan Tim Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970 yang salah satu anggotanya adalah Akbar Tanjung, pembentukan Tim Gabungan Anti Korupsi pada tahun 1999 hingga yang paling gress melalui Pembentukan Lembaga KPK melalui payung hukum UU 30/2002. Di zaman reformasi ini, berbagai kegiatan pencegahan anti korupsi pun terus menerus digaungkan dan dilaksanakan baik itu oleh KPK maupun Instansi lain (Kemenpan, ORI, Dll) antara lain melalui program LHKPN, KWS, PIAK, SI, Sosialisasi, Diklat, Integrity Fair, dan lain-lain. Lantas, ditengah banyaknya kegiatan pencegahan anti korupsi tersebut, apa yang membuat ZI menuju WBK ini diperlukan? Dalam sebuah acara sosialisasi program ZI menuju WBK, salah seorang
Penguatan Character Building dan Out Bond Calon Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
12
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Fokus Utama
Silaturrahim dan Buka Bersama di Rumah Dinas Inspektur Jenderal Kementerian Agama
narasumber dari KPK mengatakan bahwa usaha-usaha program anti korupsi yang digulirkan pemerintah perlu mendapatkan penguatan. Keberhasilan upaya pencegahan korupsi tersebut dirasakan kurang optimal, salah satu sebabnya diduga karena upaya tersebut tidak dilakukan secara terpadu dan direncanakan dengan baik. Program zona integritas ini hadir untuk menjembatani kekurang optimalan tersebut. Zona Integritas merupakan kebijakan yang berkesinambungan dalam gerakan nasional anti korupsi dan merupakan lanjutan dari program yang sudah ada. Sebagaimana tertuang dalam Permenpan & RB nomor 20 tahun 212, ZI merupakan syarat utama menuju predikat Wilayah Bebas dari Korupsi. Predikat Wilayah Bebas dari Korupsi ini tidak dapat begitu saja diikuti oleh semua K/L/Pemda karena hanya K/L/Pemda yang minimal mendapatkan opini WDP dari BPK dan predikat LAKIP minimal CC yang menjadi sasaran program ini. Hal ini sekaligus jawaban atas pendapat bahwa predikat WTP dari BPK
tidak menjamin ketiadaan korupsi di sebuah institusi. Selain itu, keterlibatan semua pegawai dalam gerakan ini melalui penandantangan pakta integritas menjadi titik unik kenapa ZI ini perlu dan penting. Sebagaimana kita ketahui, pakta integritas sebelumnya hanya terkait dengan pejabat dan panitia pengadaan barang dan jasa saja. Melalui ZI ini, setiap individu aparat pemerintahan didorong untuk memperbaiki kinerja dan sikap yang tertuang dalam pakta integritas. Sebagaimana definisinya, ZI ini sangat menghargai komitmen dan niat dari seluruh personel aparat pemerintahan. Bukankah Islam pun mengajarkan bahwa titik awal keberhasil sebuah perbuatan terletak pada niatnya? Baik buruknya perbuatan tergantung pada niatnya? Program ini mengerti betul kekuatan magis dibalik prinsip ajaran Islam tersebut. Oleh Karena itu, setiap individu pegawai diharapkan mampu untuk melakukan inisiatif perubahan personal untuk selanjutnya menciptakan perubahan komunal Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
13
Fokus Utama di lingkungan kerjanya masing-masing. Selanjutnya, program ZI ini tidak berhenti pada niat dan komitmen saja. ZI ini menghendaki penguatan niat dan komitmen melalui pendampingan program ZI oleh Unit Penggerak Internal (UPI) bernama Inspektorat Jenderal. Disinilah kekuatan sebuah komitmen dan niat yang tertuang dalam ZI diuji. Efektivitas pelaksanaan ZI akan dibantu oleh pendampingan-pendampingan sesuai kebutuhan untuk memperkuat kapasitas dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh penyelenggaran negara. Lantas apa hubungan antara prolog video diatas dengan program ZI menuju WBK? Penulis setidaknya mengidentfikasi benang merah antara video tersebut dengan implementasi Zona Integritas, yaitu: Pertama, komitmen dan keteguhan dari satu orang mampu membawa perubahan positif dan massif dalam masyarakat. Sejarah telah banyak mencatat bahwa perubahan massif sebuah bangsa seringkali diawali oleh satu orang yang memiliki visi yang kuat dan komitmen perubahan yang tangguh. Kedua, berbuat sesuatu lebih baik daripada hanya mengutuk keburukan. Dalam peribahasa populer, seringkali di sebuah dengan It’s Better to light one candle than to curse the darkness, Menyalakan satu lilin lebih baik daripada mengutuk kegelapan. Ketiga, Semuanya mungkin selama ada keinginan dan komitmen bersama untuk melakukan sesuatu. Tentunya, keberhasilan pembangunan Zona Integritas ini sangat ditentukan oleh kapasitas dan kualitas integritas masingmasing individu dan integritas dari organisasi.
14
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Kapasitas dan kualitas integritas dari individu sangat menentukan kapasitas dan kualitas integritas dari organisasi dimana individu itu berada dan melakukan kegiatannya. Namun demikian, kita pun pasti sepakat bahwa bahwa program ZI menuju WBK ini bukan jalan pintas menuju Indonesia yang bebas dari korupsi. Proses yang berkesinambungan akan melahirkan sebuah perubahan yang holistik sementara perubahan yang cepat akan bersifat prematur dan mudah kembali ke kebiasaan lama. Selaras dengan itu, Peter Senge, seorang pengarang buku insprirasional tentang manajemen organisasi berjudul The Fifth Discipline: The art and practice of the learning organization, berpendapat bahwa perubahan atas sesuatu hal yang sangat kompleks membutuhkan persistensi dan penanaman disiplin yang tinggi. Kemampuan untuk melihat sebuah masalah dari berbagai sudut pandang yang saling berkaitan sangat dibutuhkan ketimbang melihat masalah dari satu sudut saja. Artinya, perencanaan yang matang dan individu yang komitmen dan berkompeten menjadi syarat pendukung mutlak keberhasilan program ZI menuju WBK ini. Pada Akhirnya, kita patut memberikan rasa optimis bahwa ijtihad pemerintah untuk melakukan perbaikan sistem tata kelola pemerintahan melalui Permenpan 20/2012 tentang ZI menuju WBK dapat membuahkan h a s i l . Tu ga s k i ta s e b a ga i p e l a ks a n a pemerintahan untuk senantiasa mendukung apa yang menjadi niat baik pemerintah tersebut. Wallahu A’lam bisshowab. [Wendi Wijarwadi]
Fokus Utama Meraih Predikat WBK dengan Mewujudkan WTA Oleh: Ilman
A
lhamdulillah, berkat komitmen, usaha dan kerja keras seluruh jajaran aparatur Kementerian agama, akhirnya Kementerian Agama mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan (WTP DPP) atas Laporan Keuangan tahun anggaran 2011. Prestasi ini tentunya bukanlah sesuatu yang mudah dalam mencapainya, banyak cerita pahit dan manis yang dialami setiap satuan kerja dalam upaya mewujudkan hal tersbut. Dan di sisi lain, bukan perkara yang gampang pula untuk mempertahankan prestasi yang sudah ditangan ini, terlebih lagi harus meningatkan supaya ke depan opini ini tidak lagi ada catatan sebagai paragraf penjelas (DPP). Untuk diketahui, berdasarkan surat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor: 278/S/VII-XVIII/5/2012 tanggal 31 Mei 2012 yang menjelaskan hal-hal yang diungkapkan dalam Paragraf Penjelasan untuk Laporan Keuangan (LK) dalam opini atas Laporan Keuangan Kementerian Agama tahun anggaran 2011 adalah: (a) adanya PNBP yang berasal dari penerimaan pada perguruan tinggi non BLU yang digunakan langsung diluar mekanisme APBN, (b). adanya kesalahan klasifikasi pembebanan anggaran dan (c): aset
tetap hasil inventarisasi dan menilaian kembali menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan berbeda dengan nilai koreksi yang dilaporkan dalam Laporan BMN Kementerian Agama. Menilik isi surat tersebut, sebenarnya hal-hal yang diungkapkan di atas merupakan masalah/kesalahan yang sering terulang. Tetapi tetap ada ditahun-tahun berikutnya. Karenanya, untuk masa yang akan datang, perlu suatu upaya yang sistematis juga didukung oleh komitmen dari jajaran pimpinan dan berbagai elemen pegawai Kementerian Agama untuk memperbaiki segala kelemahan yang ada guna mempertahankan dan meningkatkan prestasi yang telah dicapai. Di antara berbagai upaya yang bisa dilakukan diantaranya adalah upaya mewujudkan Wilayah Tertib Administrasi (WTA). Wilayah Tertib Administrasi merupakan suatu capaian instansi yang menggambarkan tercapainya rencana kerja secara tepat waktu dan secara efisien, tertib penataan BMN/BMD, tertib administrasi belanja perjalanan dinas, terselenggaranya penilaian risiko secara rutin, tersusunnya Fraud Control Plan, tercapainya level kompetensi APIP yang memadai, telah ditindaklanjutinya rekomendasi dari BPK dan APIP, penyerapan anggaran yang optimal dalam rangka mendukung kinerja dan kepatuhan kepada peraturan, serta pemerintahan yang Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
15
Fokus Utama bersih dan bebas dari korupsi pada instansi tersebut. Wilayah Tertib Administrasi terbagi atas tiga kelompok tertib yaitu tertib pengelolaan keuangan dan BMN, tertib pengawasan, dan tertib SPIP. Terwujudnya WTA merupakan fondasi awal sebelum mencapai kondisi lain yang lebih besar. Dengan mencapai WTA, maka instansi atau satuan kerja akan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangannya. Tanpa adanya administrasi yang tertib, penyajian informasi keuangan organisasi akan bias dari kondisi sebenarnya, dan mustahil satuan kerja tersebut akan mendapat opini WTP dari BPK RI. Oleh karena itu, kiranya sudah menjadi sebuah kebutuhan penting dan mendesak saat ini bagi Kementerian Agama untuk segera membuat sebuah master plan terkait upaya mewujudkan wilayah tertib administrasi. Hal ini melihat kondisi yang ada bahwa sudah menjadi rahasia umum di banyak Kementerian/ Lembaga untuk pencatatan barang milik Negara (BMN) saja masih banyak yang tidak tertib. Mulai dari tidak tercatatnya tanah, sehingga diakui oleh pihak lain, bangunan yang tidak terawatt sehingga menimbulkan kerugian negara, barang inventaris kantor yang tidak termonitor keberadaannya sehingga tidak jelas rimbanya, dan juga masih banyak lagi permasalahan lainnya. Parameter penilaian WTA mencakup lima komponen, yaitu pelaksanaan kinerja; pengelolaan keuangan dan barang milik negara; pengelolaan SDM; hasil pengawasan; dan pelaksanaan percepatan pemberantasan korupsi Wilayah Tertib Administrasi merupakan
16
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
modal awal bagi instansi pemerintah atau satuan kerja dalam mewujudkan Kepemerintahan yang baik (good governance). Indikator sebuah instansi mencapai Wilayah Tertib Administrasi terbagi atas tiga kelompok tertib yaitu tertib pengelolaan keuangan dan BMN/BMD, tertib pengawasan, dan tertib SPIP. Wilayah Tertib Administrasi merupakan sebuah capaian/fondasi awal sebuah instansi sebelum mencapai kondisi lain yang lebih besar, yaitu tercapainya Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). yaitu sebutan atau predikat yang diberikan kepada unit kerja pada Zona Integritas (ZI) yang mempunyai indeks integritas tertentu dari hasil survei integritas dan telah mampu memenuhi indikator lain yang ditetapkan. Saat ini, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama telah gencar melakukan sosialisasi kepada satuan kerja dilingkungan Kementerian Agama guna terkait pembentukan wilayah yang bebas dari korupsi. Dalam ketentuan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Repormasi Birokrasi Nomor 20 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dijelaskan bahwa Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa WBK hanya dapat terwujud apabila didahului dengan komitmen pemberantasan korupsi oleh seluruh unsur dalam instansi pemerintah atau kementerian/lembaga/pemerintah daerah (K/L/Pemda). Komitmen pemberantasan korupsi sebagaimana disebutkan di atas, diwujudkan dalam bentuk Zona Integritas (ZI) dalam lingkup K/L/Pemda, yang dicirikan dengan adanya program pencegahan korupsi yang konkrit sebagai bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi dan peningkatan
Fokus Utama pelayanan publik, disertai dengan sosialisasi dan upaya penerapan program tersebut secara konsisten. Zona Integritas (ZI) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu K/L/Pemda yang pimpinannya mempunyai niat (komitmen) mencegah terjadinya korupsi dan mempunyai program kegiatan pencegahan korupsi, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan reformasi birokrasi di lingkungan kerja yang menjadi tanggung jawabnya, yang diawali dengan penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh pegawainya. Predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) pada dasarnya ada sebuah hasil dari upaya yang dilakukan oleh instansi yang telah memiliki zona integritas dan telah dilakukan penilaian atas syarat indikator mutlak dan memperoleh hasil penilaian indikator operasional dengan skor di antara 80 dan 90. Sebuah instansi atau satuan kerja dapat dikatakan menjadi Wilayah Bebas dari Korupsi jika memenuhi beberapa indikator meliputi indikator mutlak, indikator operasional, dan indikator penunjang. Indikator mutlak merupakan minimum requiretment yang harus dipenuhi sebagai pre requisite untuk penilaian selanjutnya berdasarkan indikator operasional, dalam arti bahwa apabila ada salah satu unsur yang tidak terpenuhi, maka unit kerja yang bersangkutan dinyatakan gugur sebagai calon WBK. Adapun indicator yang digunakan meliputi nilai indeks integritas berdasarkan penilaian KPK, nilai indeks kepuasan masyarakat, jumlah kerugian negara yang diselesaikan , jumlah temuan inefektif dan inefisien dari APIP, jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin dan kasus
korupsi, dan jumlah pengaduan masyarakat yang tidak terselesaikan. Sedangkan Indikator Operasional adalah indikator utama program pencegahan korupsi (komitmen pimpinan), penilaian yang digunakan meliputi penandatangan dokumen pakta integritas, LHKPN, akuntabilitas kinerja, Laporan Keuangan, Kode Etik, whistleblower system, program pengendalian gratifikasi, kebijakan penanganan conflict of interest, program inisiatif anti korupsi, kebijakan pembinaan purna tugas, dan pelaporan transaksi tidak wajar PPATK. Adapun indikator penunjang meliputi promosi jabatan secara terbuka, rekruitmen secara terbuka, mekanisme pengaduan masyarakat, e-procurement, pengukuran kinerja individu, dan keterbukaan informasi publik. Dengan upaya yang dilakuan aparatur pada Kementerian Agama umumnya dan Inspektorat Jenderal pada hususnya, semoga masalah-masalah yang dihadapi kedepan baik dalam penataan Barang Milik Negara (BMN), pengelolaan sistem keuangan, dan lain sebagainya semakin baik. Wallahu ‘alam. [Ilman]
“Predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) pada dasarnya ada sebuah hasil dari upaya yang dilakukan oleh instansi yang telah memiliki zona integritas dan telah dilakukan penilaian atas syarat indikator mutlak dan memperoleh hasil penilaian indikator operasional dengan skor di antara 80 dan 90”
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
17
Fokus Utama Cegah Kebocoran dengan SPIP Oleh: Kelik Nugroho
Inspektur Jenderal Kementerian Agama - Dr. H. Moch. Jasin, MM. Pada Acara Silaturrahim dan Pembinaan bagi Pejabat dan Pegawai Kakanwil Kemenag Jabar
S
ejalan dengan reformasi birokrasi di instansi pemerintahan, sistem pengendalian intern belakangan ramai diperbincangkan dan menjadi perhatian luas. Auditor intern, auditor ekstern, penyusun laporan keuangan, asosiasi profesi, badan-badan legislatif, dan para birokrat memberikan perhatian yang serius terhadap peran sistem pengendalian intern dalam instansi. Hal ini dipicu oleh banyaknya kejadian terkait dengan kegagalan sistem pengendalian intern dalam pengelolaan instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Di lingkungan pemerintahan, akhirakhir ini ada beberapa permasalahan yang menjadi isu nasional antara lain: Pertama, opini
18
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
tidak memberikan pendapat (disclaimer) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan instansi pemerintah. Opini ini berdampak menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Kedua, penyerapan anggaran yang relatif rendah serta lambat oleh instansi pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini tentu akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor riil serta menghambat upaya pemerintah meningkatkan peluang/kesempatan kerja dan menekan tingkat kemiskinan. Ketiga, isu lainnya yang mendapat perhatian serius oleh publik adalah berkaitan
Fokus Utama dengan korupsi. Walaupun telah terjadi belum sampai pada tingkat perencana atau peningkatan skor pada indeks persepsi korupsi regulator. (Corruption Perception Index/CPI) menurut hasil survei Transparancy Internasional tahun 2011, Mengenal SPIP (Sistem Pengendalian Intern Indonesia menempati posisi skor CPI sebesar Pemerintah) 3.0 naik 0.2 dibanding tahun sebelumnya Tak kenal maka tak sayang, tak sayang sebesar 2,8. Dalam indeks tersebut posisi maka tak cinta! Itulah ungkapan yang sering Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat disampaikan oleh banyak orang ketika Ia korupsi yang tinggi. Hal ini terlihat dari posisi tidak memberikan perhatian kepada “sesuatu” indonesia yang berada diperingkat ke-100 dari padahal yang “sesuatu” itu adalah penting 183 negara yang disurvei. Isu korupsi menjadi bahkan amat penting untuk dikenal dan ramai diperbincangkan media setelah Pusat dicintai. Lantas apa yang dimaksud dengan Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan “sesuatu” dalam tulisan ini? Adalah Sistem (PPATK) merilis laporan yang mengindikasikan Pengendalian Intern Pemerintah yang disingkat adanya temuan aliran transaksi keuangan dengan SPIP. Banyak orang telah mengucapkan yang mencurigakan oleh para penyelenggara tetapi tidak faham artinya, banyak orang negara, bahkan ditemukan PNS-PNS muda telah membaca tetapi tidak tahu maksudnya, di beberapa instansi yang memiliki rekening padahal SPIP telah ditetapkan dalam Peraturan dengan nominal yang tidak wajar alias rekening Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang gendut. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Banyak kalangan berpendapat bahwa yang telah disosialisasikan ke seluruh instansi penyebab terjadinya permasalahan tersebut pemerintahan. salah satunya adalah kelemahan sistem Untuk memahami apa itu SPIP, terlebih pengendalian intern. Fungsi pengawasan dahulu perlu kita ketahui pengertian dari SPIP itu internal yang dijalankan baik oleh pemerintah sendiri. Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 pasal 1 pusat maupun daerah dinilai belum berjalan disebutkan bahwa Sistem Pengendalian Intern efektif. Di lingkungan pemerintahan, opini adalah “proses yang integral pada tindakan disclaimer disebabkan tidak memadainya dan kegiatan yang dilakukan secara terus kompetensi sumber daya manusia pengelola menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai keuangan negara, khususnya di bidang untuk memberikan keyakinan memadai atas akuntansi. Tingginya tingkat korupsi, terutama tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan disebabkan oleh pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan yang masih bertumpu pada penindakan keuangan, pengamanan aset negara, dan (represif) daripada pencegahan (preventif), ketaatan terhadap peraturan perundangyakni melalui pengelolaan risiko dan kegiatan undangan. pengendalian. Di sisi lain penanganan korupsi Dengan demikian yang dimaksud hanya menyentuh level bawah, sehingga para dengan SPIP dalam PP ini adalah sistem pelaku yang terjerat baru sebatas eksekutor, pengendalian intern yang diselenggarakan Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
19
Fokus Utama secara menyeluruh di lingkungan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa sistem pengendalian intern ini memiliki beberapa cakupan antara lain: (a) Proses; (b) Terintegrasi dalam tindakan dan kegiatan; (c) Secara terus menerus; (d) Pimpinan dan seluruh pegawai; (e) Memberikan keyakinan memadai; dan (f) Mencapai tujuan organisasi, melalui: Kegiatan yang efektif dan efisien, Keandalan pelaporan keuangan, Pengamanan aset negara; dan Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa sistem pengendalian intern tidak bisa dilaksanakan secara parsial, Ia harus terintegrasi dalam bentuk tindakan dan kegiatan. Dilaksanakan oleh semua anggota organisasi tanpa terkecuali baik pimpinan maupun bawahan, mulai dari pimpinan tertinggi (top management), middle management maupun lower management. Semua barsatu padu membentuk konfigurasi yang terpola dalam satu kesatuan, yang satu tidak perlu merasa lebih penting dari yang lain, dan yang lain tidak boleh merasa dilangkahi atau melangkahi yang lain tetapi harus mempunyai tekad yang sama yaitu mencapai tujuan organisasi sebagaimana termaktub dalam visi, misi dan rencana strategis kinerja organisasi. Pencapaian tujuan tidak asal tercapai saja, melainkan dengan sumber daya yang efektif dan efisien baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Laporan keuangannya harus handal, aset barang milik negara terjaga dengan baik dan aman dalam koridor sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Setiap kegiatan,
20
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan harus dapat dipahami oleh semua unsur atau pelaku yang terlibat di dalam organisasi tersebut. Tidak dikenal istilah manajemen tunggal tetapi yang diutamakan adalah manajemen partisipatif, semua untuk satu dan satu untuk semua, itulah moto yang pantas disematkan dalam mengimplementasikan SPIP. Tujuan Utama SPIP Dengan hadirnya PP 60/2008 tentang SPIP diharapkan dapat terbangunnya sebuah sistem pengendalian intern yang mengarahkan pada empat tujuan yang hendak dicapai, antara lain: Pertama, kegiatan yang efektif dan efisien. Kegiatan instansi pemerintah dikatakan efektif apabila telah ditangani sesuai dengan rencana dan hasilnya telah sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Pengendalian harus dirancang agar efektif menjaga tercapainya tujuan. Sedangkan istilah efisien lebih sering dikaitkan dengan pemanfaatan aset untuk mendapatkan hasil. Kegiatan instansi pemerintah dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan produk yang berkualitas tinggi (pelayanan prima), dengan bahan baku (sumber daya) sesuai dengan standar. Kedua, keandalan laporan keuangan. Tujuan ini didasarkan pada pemikiran utama bahwa informasi sangat penting bagi instansi pemerintah untuk pengambilan keputusan. Agar keputusan yang diambil tepat sesuai dengan kebutuhan, maka informasi yang disajikan harus andal atau layak dipercaya, dengan pengertian menggambarkan keadaan
Fokus Utama yang sebenarnya. Laporan keuangan yang disajikan secara tidak memadai dan tidak benar akan menyesatkan dan dapat mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan serta dapat merugikan organisasi. Ketiga, pengamanan aset negara. Aset negara diperoleh dengan membelanjakan uang yang berasal dari masyarakat terutama dari penerimaan pajak dan bukan pajak yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Pengamanan aset negara ini menjadi perhatian penting pemerintah dan masyarakat karena kelalaian dalam pengamanan aset akan berakibat pada mudahnya terjadi pencurian, penggelapan, dan bentuk manipulasi lainnya. Kejadian terhadap aset tersebut dapat merugikan instansi pemerintah yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat sebagai pengguna jasa. Upaya pengamanan aset ini, antara lain dapat ditunjukkan dengan kegiatan pengendalian seperti pembatasan akses penggunaan aset, data dan informasi, penyediaan petugas keamanan, dan sebagainya. Keempat, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Setiap kegiatan dan transaksi merupakan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, transaksi atau kegiatan yang dilaksanakan harus taat terhadap kebijakan, rencana, prosedur, dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pelanggaran terhadap aspek hukum dapat mengakibatkan tindakan pidana maupun perdata. Keempat tujuan sistem pengendalian intern tersebut tidak harus dicapai secara terpisah-pisah. Instansi pemerintah tidak perlu merancang secara terpisah pengendalian untuk mancapai satu tujuan. Suatu kebijakan atau prosedur dapat saja dikembangkan untuk dapat
mencapai lebih dari satu tujuan pengendalian. Sebagai contoh, kegiatan penyusunan dan penyampaian laporan keuangan dan kinerja per-triwulan, bukan saja dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban atas tujuan kepatuhan terhadap peraturan sebagaimana diamantkan dalam PP Nomor 8 Tahun 2006 tantang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, melainkan juga dilakukan untuk mencapai tujuan keandalan laporan keuangan dan berguna bagi pimpinan instansi pemerintah untuk menilai efisiensi dan efektifitas suatu kegiatan. Unsur-unsur SPIP Dalam PP 60/2008 tentang SPIP ini terdapat lima unsur SPIP yang harus diimplementasikan oleh seluruh pimpinan dan pegawai pada semua jajaran instansi pemerintah adalah sebagai berikut: Pertama, lingkungan pengendalian adalah kondisi dalam instansi pemerintah yang dapat membangun kesadaran semua personil akan pentingnya pengendalian dalam instansi untuk menjalankan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya sehingga dapat meningkatkan efektifitas sistem pengendalian intern; Kedua, penilaian risiko adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah yang meliputi kegiatan identifikasi, analisis dan mengelola risiko yang relevan bagi proses atau kegiatan instansi; Ketiga, kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
21
Fokus Utama efektif; Keempat, informasi dan komunikasi, dalam hal ini informasi adalah data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik; Kelima, pemantauan adalah proses penilaian atas mutu kinerja sistem pengendalian intern dan proses yang memberikan keyakinan bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti. Keterkaitan antara kelima unsur sistem pengendalian intern ini merupakan suatu unsur yang terjalin erat satu dengan yang lainnya. Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai, maka yang menjadi fondasi dari pengendalian adalah orang-orang (SDM) di dalam organisasi yang membentuk lingkungan pengendalian yang baik dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan yang akan dicapai oleh intansi pemerintah. Penyelenggaraan unsur lingkungan pengendalian, dimulai dengan membangun integritas dan nilai etika organisasi dengan maksud agar seluruh pegawai mengetahui aturan untuk berintegritas yang baik dan melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati dilandasi pada nilai etika yang berlaku untuk seluruh pegawai tanpa terkecuali. Integritas dan nilai etika tersebut perlu dibudayakan sehingga menjadikan suatu kebutuhan bukan keterpaksaan. Dengan demikian, budaya kerja
22
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
yang baik pada instansi pemerintah perlu dilaksanakan secara terus menerus tanpa henti. Untuk membangun kondisi yang nyaman, lingkungan pengendalian yang baik harus memiliki kepemimpinan yang kondusif. Kepemimpinan yang kondusif diartikan sebagai situasi dimana pemimpin selalu mengambil keputusan berdasarkan pada data hasil penilaian risiko. Berdasarkan kepemimpinan yang efektif inilah, maka muncul kewajiban bagi pimpinan untuk menyelenggarakan penilaian risiko diinstansinya. Penilaian risiko dimulai dengan melihat kesesuaian antara tujuan kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan sasarannya, dan kesesuaian dengan tujuan strategik yang ditetapkan pemerintah. Setelah penetapan tujuan, instansi pemerintah melakukan identifikasi atas risiko intern dan ekstern yang dapat mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, kemudian menganalisisnya untuk mendapatkan risiko yang memiliki probability kejadian dan dampak yang sangat tinggi sampai dengan risiko yang sangat rendah. Berdasarkan hasil penilaian risiko, selanjutnya dilakukan respons atas risiko dengan membangun kegiatan pengendalian yang tepat. Dengan kata lain, kegiatan pengendalian dibangun dengan maksud untuk merespons risiko yang dimiliki instansi pemerintah. Seluruh penyelenggaraan unsur SPIP tersebut haruslah dilaporkan dan dikomunikasikan serta dilakukan pemantauan secara terus menerus guna perbaikan yang berkesinambungan.
Fokus Utama Implementasi SPIP sebagai Upaya Pencegahan Dalam rangka mendorong upaya reformasi di instansi pemerintahan, pemerintah telah melakukan reformasi di bidang keuangan negara, dengan menetapkan tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Tanggung Jawab, dan Pengelolaan Keuangan Negara. Re fo r m a s i r e g u l a s i d i b i d a n g keuangan negara tersebut membawa implikasi pengelolaan keuangan negara yang terdesentralisasi dan diwujudkan dalam suatu sistem yang transparan, akuntabel, dan terukur. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu sistem pengendalian intern yang dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu instansi pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. PP 60/2008 tentang SPIP secara tegas telah mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk membangun SPIP guna mencegah timbulnya kegagalan dan ketidakefisienan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sudah saatnya setiap instansi pemerintah segera menerapkan SPIP ke dalam manajemen pemerintahan. Hal ini berlaku baik bagi instansi pemerintah pusat maupun daerah.
Penyelenggaraan sistem pengendalian intern ini menjadi tanggung jawab menteri/ pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/ walikota di lingkungan masing-masing. Sebagai langkah awal, pimpinan instansi pemerintah (pusat/daerah) perlu menetapkan ketentuan atau keputusan untuk penerapan SPIP di lingkungannya masing-masing dengan mengacu pada PP-SPIP serta membentuk satgas penyelenggaraan SPIP yang bertugas untuk mengawal tahap-tahap penerapan SPIP serta melakukan pengujian terhadap efektifitas penyelenggaraan SPIP. Tahap persiapan ini merupakan tahap awal penyelenggaraan yang ditujukan untuk memberikan pemahaman atau kesadaran yang lebih baik, serta melakukan pemetaan kebutuhan penerapan lebih lanjut. Tahap ini terdiri atas: a). Pemahaman (knowing) melalui sosialisasi dan diklat; b). Pemetaan atau diagnostic assessment (mapping), yang dimaksudkan untuk menentukan area of improvement. Pemetaan dilakukan oleh BPKP, dimulai dengan melihat kondisi SPIP yang telah ada secara umum (survei) dan dilanjutkan dengan diagnostic assessment. Dalam tahap pelaksanaan, pembangunan SPIP meliputi pembangunan infrastruktur dan internalisasi. Pada tahap ini, BPKP dapat memberikan bimbingan dan konsultasi jika diperlukan. Lebih rinci, tahap ini terdiri atas : a). Membangun dan menyempurnakan infrastruktur (norming); b). Internalisasi (forming), yaitu proses implementasi infrastruktur yang sudah dibangun; c). Pengembangan berkelanjutan (performing). Sedangkan tahap pelaporan merupakan bentuk pertanggungjawaban atas Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
23
Fokus Utama pelaksanaan SPIP. Untuk memperkuat dan menunjang efektifitas sistem pengendalian intern tersebut diperlukan pengawasan dan pembinaan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yang terdiri atas Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga, Inspektorat Daerah P ro v i n s i / Ka b u p ate n / Ko ta d a n B a d a n Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pengawasan atas terlaksananya SPIP ini dimaksudkan agar upaya perbaikan secara berkelanjutan dapat terus dilakukan. Perbaikan dapat dilakukan dari berbagai arah, secara bottom up dari unit kerja pelaksana hingga ke penyusun kebijakan (regulator) tingkat pusat. Perbaikan dapat pula mengalir secara top down dari penyusun kebijakan (regulator) tingkat pusat dengan upaya perbaikan kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan oleh para pelaksana di unit kerja masing-masing. Disadari bahwa penerapan SPIP bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, jangan sampai penerapan SPIP hanya sebatas kewajiban rutin yang tidak berdampak pada peningkatan kinerja pengelolaan keuangan negara maupun pada efektifitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan pemerintahan. Oleh karena itu, peran BPKP sebagai pembina penyelenggaraan SPIP hendaknya tidak terbatas pada pemberian sosialisasi SPIP, bimbingan teknis SPIP, dan penyelenggaraan diklat SPIP. BPKP bersama-sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) pada masing-masing instansi perlu secara objektif melakukan pengawasan terhadap penerapan SPIP di instansi pemerintah sekaligus menyusun 24
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
instrumen untuk menilai kualitas penerapan SPIP secara terukur. Bagi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) diharapkan peranannya secara aktif dalam mengawal penyelenggaraan S P I P d a n p e n c a p a i a n t a r g e t- t a r g e t pembangunan nasional, serta berperan juga sebagai quality assurance atas kegiatan pelaksanaan pembangunan sehingga pimpinan instansi pemerintah memperoleh keyakinan yang memadai terhadap tercapainya tujuan pembangunan secara efektif dan efisien. Upaya penyelenggaraan SPIP secara bertahap dan terus menerus, selanjutnya dapat mewujudkan pencapaian empat tujuan sistem pengendalian intern pemerintah, yaitu efisiensi dan efektifitas operasi, keandalan pelaporan keuangan, serta pengamanan aset secara nasional. Perbaikan SPIP secara berkelanjutan pada akhirnya akan memperbaiki pelaporan keuangan pemerintah, efisiensi dan efektifitas kegiatan serta ketaatan pada peraturan perudang-undangan serta iklim yang kondusif untuk mencegah KKN yang akan memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan negara yang bermuara pada tata kelola pemerintahan yang baik. Instansi pemerintah yang sudah memperoleh opini WTP pun berkewajiban untuk menerapkan SPIP agar dapat berkinerja lebih baik lagi dan sebagai upaya pencegahan terhadap praktik yang menyimpang. Dengan penerapan SPIP secara konsisten dan berkesinambungan, maka akan terwujud budaya internal control culture dalam instansi pemerintah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. [Kelik Nugroho]
Pengawasan Pelaporan Hasil Audit Kinerja dan Pemantauan Tindak Lanjut Oleh: Ahmad Fahroji
Para Inspektur Jenderal Kementerian Agama RI Lintas Periode
L
aporan pada dasarnya merupakan alat penyampaian informasi dari satu pihak kepada pihak lain, terutama dari seorang pejabat/petugas kepada pejabat/petugas lain dalam suatu sistem administrasi. Dilihat dari sudut hierarki masing-masing pejabat/unit, laporan selalu disampaikan oleh pejabat/unit kepada pejabat/ unit yang lebih tinggi kedudukannya. Isi laporan dapat berupa hasil percobaan, penelitian, pengamatan, pengalaman dan sebagainya. Selain sebagai alat untuk menyampaikan informasi, laporan juga berfungsi sebagai: Pertanggungjawaban oleh orang yang diberi tugas; Bahan/landasan bagi pemimpin lembaga/perusahaan dalam mengambil kebijakan/keputusan; Alat bagi pemimpin
untuk melakukan pengawasan; Dokumen untuk bahan studi bagi yang memerlukan; dan Sumber pengalaman bagi orang lain. Laporan mempunyai peranan yang penting pada suatu organisasi karena dalam suatu organisasi dimana hubungan antara atasan dan bawahan merupakan bagian dari keberhasilan organisasi tersebut. Dengan adanya hubungan antara perseorangan dalam suatu organisasi baik yang berupa hubungan antara atasan dan bawahan, ataupun antara sesama karyawan yang terjalin baik maka akan bisa mewujudkan suatu sistem delegation of authority dan pertanggungjawaban akan terlaksana secara effektif dan efisien. Kerja sama diantara atasan bawahan bisa dilakukan, dibina melalui komunikasi baik Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
25
Pengawasan komunikasi yang berbentuk lisan maupun tulisan (laporan). Agar laporan tersebut bisa efektif mempunyai syarat-syarat yang perlu dipenuhi demi terbentuknya laporan yang baik maka seseorang perlu mengetahui secara baik bagaimana pembuatan format laporan yang sempurna. Sehingga dengan laporan yang terformat bagus akan bisa bermanfaat baik dalam komunikasi maupun dalam mencapai tujuan organisasi. Laporan adalah komunikasi resmi untuk menyampaikan hasil audit dalam bentuk tulisan dan disampaikan pada pihak yang berkepentingan terhadap hasil audit. Secara umum terdapat dua bentuk laporan hasil audit yang digunakan dalam pelaporan hasil audit kinerja yaitu, pertama, bentuk surat yang dikenal sebagai surat tindak lanjut, berisikan ringkasan hasil audit dan laporan hasil audit yang disajikan secara lengkap dan komprehensif. Surat Laporan Hasil
Audit Kinerja (tindak lanjut). Surat Laporan Hasil Audit Kinerja secara formal disampaikan kepada pimpinan unit terkait untuk menindaklanjuti hasil audit kinerja. Surat berisikan ringkasan hasil audit yang terdiri dari: kepala surat, isi surat (temuan positif dan temuan yang perlu ditindaklanjuti), dan penutup surat yang ditandatangani oleh pimpinan Inspektorat Jenderal. Selanjutnya surat hasil audit ini disampaikan kepada lembaga yang diaudit, dengan tembusan unit kerja terkait. Kedua, Laporan hasil audit kinerja merupakan hasil kompilasi dari hasil audit pada setiap satuan kerja dan diserahkan paling lambat dua minggu setelah audit selesai. laporan hasil audit kinerja ditulis menggunakan huruf arial Laporan ini terdiri dari empat bab yaitu: pendahuluan, pengukuran kinerja, hasil dan analisis audit, kesimpulan, dan rekomendasi. Laporan audit ditandatangani oleh penanggung jawab audit dan pengendali
Silaturrahim dan Ramah Tamah Keluarga Besar Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
26
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pengawasan mutu setelah melewati proses reviu. Penyusunan Notisi Audit Notisi audit merupakan dokumen yang berisikan temuan dan rekomendasi penting yang dihasilkan selama pelaksanaan audit kinerja. Dokumen ini dibuat berdasarkan kertas kerja audit. Ketika menyusun notisi audit perlu diingat bahwa arahnya akan bermuara pada laporan audit final. Sehingga diharapkan penulisan notisi audit tersebut mempunyai struktur logika yang sama ketika akan digunakan dalam penyusunan konsep laporan. Notisi audit harus dibuat ringkas, tetapi tetap mencakup informasi yang cukup untuk menggambarkan permasalahan secara memadai. Notisi juga harus memuat akibat dari permasalahan tersebut. Usulan perbaikan dapat dimasukkan apabila diperlukan. Hal ini dapat mengarahkan implementasi rekomendasi secara lebih dini sehingga berdampak pada perbaikan administrasi publik. Oleh karena itu, notisi audit harus mengikuti kaidah penyusunan temuan audit, yaitu memiliki kelengkapan unsur-unsur temuan berupa: kondisi (“apa yang ada”), kriteria (“apa yang seharusnya”), sebab (“mengapa terdapat deviasi antara kondisi dengan kriteria”), akibat (“apa konsekuensinya”), rekomendasi (“apa yang perlu dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab”), dan tanggapan auditi. Penyusunan notisi audit dilaksanakan dengan urutan kegiatan sebagai berikut: 1) Konsep disusun oleh anggota tim atau ketua tim auditor pada saat audit berlangsung di lokasi auditi. Khusus untuk konsep yang
disusun oleh anggota tim harus mendapatkan koreksi/persetujuan dari ketua tim audit. 2) Notisi disampaikan kepada pimpinan auditi untuk dibahas dan diberikan komentar/ tanggapan. Komentar auditi tersebut kemudian didokumentasikan dan dianalisis. Apabila auditi tidak setuju dengan notisi audit tersebut, maka alasan tidak setuju harus dianalisis. 3) Ketua tim audit menghimpun konsep notisi audit yang telah memperoleh komentar/tanggapan dari auditi menjadi himpunan notisi audit. 4) Tanggapan pimpinan satuan organisasi dianalisis oleh tim audit dan dibuatkan komentar, sehingga diperoleh kesepahaman antara auditor dengan auditi. Komentar auditor dapat ditambahkan atau dilampirkan dalam temuan tersebut. Komentar auditor bisa berupa tanggapan positif artinya menerima tanggapan auditi atau tanggapan negatif artinya menolak tanggapan dan alasan auditi karena bukti dan alasan yang diajukan tidak dapat diterima. Seluruh dokumen komunikasi baik surat menyurat, pembicaraan telepon antara auditor dan auditi tentang temuan harus didokumentasikan dihimpun menjadi himpunan notisi audit. 5) Auditor dan auditi menandatangani bersama seluruh konsep temuan, baik temuan sebelum ditanggapi, tanggapan dari auditi, dan komentar auditor maupun bukti pendukung yang digunakan. Pada akhir pelaksanaan audit; seluruh temuan audit yang telah dibahas, disampaikan oleh ketua tim audit kepada pimpinan auditi dengan menggunakan notisi audit. Proses Penyusunan Laporan Hasil Audit dan Saran Tindak Lanjut Laporan Hasil Audit (LHA) merupakan Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
27
Pengawasan dokumen atau media komunikasi auditor untuk mengendalikan/menilai mutu materi laporan menyampaikan informasi tentang kesimpulan, hasil audit kinerja. Laporan final adalah konsep laporan temuan dan rekomendasi hasil audit kinerja yang dilakukan terhadap satuan organisasi/ yang telah melalui proses reviu berjenjang oleh penanggung jawab audit. Konsep laporan kerja atau program. LHA yang memuat hasil audit kinerja yang telah diperbaiki dan disetujui dan yang objektif dan independen serta saran ditandatangani oleh penanggung jawab audit untuk peningkatan kinerja, bermanfaat bagi kemudian disampaikan kepada Sub Bagian Tata para pengguna laporan (Menteri Agama, Rektor, Usaha Inspektur Wilayah untuk digandakan. dan stakeholder lainnya) sehingga diharapkan Selanjutnya laporan tersebut diberi nomor dan terjadi perubahan yang positif tidak hanya ditandatangani oleh penanggung jawab untuk dalam pelaksanaan kegiatan auditi tetapi juga seterusnya didistribusikan kepada pihak yang pada pengelolaan (governance) satuan kerja di berkepentingan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. lingkungan Kementerian Agama. Laporan hasil audit kinerja baik Penyelesaian konsep laporan selambat- audit kinerja atas satuan lambatnya 7 (tujuh) organisasi/kerja maupun hari setelah pekerjaan “Laporan mempunyai peranan audit kinerja atas program lapangan selesai yang penting pada suatu organisasi pendidikan dibuat dalam berlandaskan fakta yang karena dalam suatu organisasi bentuk bab. Laporan direkam dalam (KKA), dimana hubungan antara atasan Audit Kinerja ini berisi dan bawahan merupakan Notisi Audit, dan hasil bagian dari keberhasilan organisasi pendahuluan, informasi diskusi/pembahasan tersebut” umum, uraian hasil audit akhir dengan auditi. kinerja, kesimpulan Selanjutnya, konsep dan rekomendasi yang laporan direviu oleh penanggung jawab audit. Reviu konsep laporan disusun secara sistematis disertai dengan bertujuan untuk menentukan kelayakan dan penjelasan yang terinci yang disampaikan ketepatan format dan materi laporan dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. dilakukan secara berjenjang dimulai dari Bersamaan dengan finalisasi LHA, tim audit pengendali teknis (Dalnis), Inspektur Wilayah harus membuat Saran Tindak Lanjut (STL). STL terkait, Inspektur Jenderal untuk dikoreksi dan/ merupakan ringkasan temuan dan rekomendasi hasil audit yang proses penyusunannya sama atau disetujui. Formulir-formulir yang digunakan dengan LHA namun ditandatangi oleh Inspektur dalam melakukan reviu laporan adalah: Jenderal. Routing Slip untuk mengendalikan ketepatan dan kecepatan penyelesaian laporan; dan Review Sheet yang berfungsi sebagai lembar kendali materi laporan yang digunakan untuk
28
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pemantauan Tindak Lanjut Kinerja satuan organisasi/kerja atau program diharapkan dapat meningkat melalui
Pengawasan penerapan rekomendasi dimuat dalam LHA. Jenderal dan satuan organisasi/kerja dan Untuk itu dibutuhkan suatu pendekatan program yang diaudit untuk memantau yang konsisten dan sistematis dalam hal apakah tindak lanjut telah dilaksanakan sesuai menindaklanjuti hasil audit kinerja. Proses rekomendasi. Forum ini dapat dilaksanakan tindak lanjut umumnya akan dilaksanakan 6 bulan sekali dengan peserta dari Inspektur bila manfaat atau dampak dari kegiatan tindak Wilayah terkait didampingi oleh koordinator lanjut tersebut diharapkan sebanding dengan kelompok, auditor dan staf terkait. Sedangkan dari pihak satuan organisasi/kerja dipimpin biayanya. Pemantauan tindak lanjut hasil audit oleh pimpinan satuan organisasi/kerja atau kinerja dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu: koordinator tindak lanjut. Kegiatan ini dapat korespondensi, pembahasan tindak lanjut dilakukan dengan menugaskan tim monitoring (follow-up meeting), dan audit tindak lanjut ke daerah atau memanggil pimpinan satuan kerja dan atau koordinator tindak lanjut ke (follow-up audit). Korespondensi adalah Penyampaian pusat. Audit Tindak Lanjut (follow-up audit). Laporan Hasil Audit kepada auditi disertai Audit tindaklanjut permi ntaan untuk merupakan audit yang menyampaikan dilakukan terhadap “Laporan adalah komunikasi resmi informasi langkahsaran/rekomendasi langkah perbaikan untuk menyampaikan hasil audit yang material dan yang telah diambil dalam bentuk tulisan dan disampaikan belum selesai atau untuk menindaklanjuti pada pihak yang berkepentingan belum ditindak lanjuti rekomendasi auditor. terhadap hasil audit” dalam jangka waktu Surat tanggapan atau tertentu sampai informasi tindak lanjut dengan saat audit dari auditi diharapkan diterima oleh Inspektorat Jenderal Kementerian berikutnya pada satuan organisasi/kerja yang Agama paling lambat 3 (tiga) bulan sejak LHA bersangkutan, alasan atau penyebab belum diterima oleh auditi. Apabila belum ada ada ditindaklanjuti. Selain itu, auditor harus tanggapan, akan diberikan surat teguran menentukan apakah terdapat temuan yang pertama. Bila dalam 2 (dua) bulan setelah surat sifatnya berulang. Frekuensi audit diharapkan teguran pertama belum ditindaklanjuti, maka tidak lebih dari satu kali audit tindak lanjut diberikan surat teguran kedua. Bila dalam 1 yang dilaksanakan dalam jangka waktu 1 (satu) (satu) bulan setelah surat teguran kedua belum tahun untuk satu satuan organisasi/kerja. juga ditindaklanjuti, maka akan dilaksanakan follow-up meeting. Pembahasan Tindak Lanjut (follow-up meeting). Rapat pembahasan tindak lanjut adalah suatu forum resmi antara Inspektorat
Prosedur Tindak Lanjut Pertama, Tindak Lanjut Melalui Korespondensi. Surat tanggapan atau informasi tentang tindak lanjut dari pihak auditi dibahas Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
29
Pengawasan oleh penanggungjawab audit beserta staf. Hasil pembahasan surat tanggapan tindak lanjut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tuntas, apabila saran/rekomendasi telah ditindaklanjuti secara memadai; Belum tuntas, apabila saran/ rekomendasi masih dalam proses pelaksanaan atau telah ditindaklanjuti sebagian; dan Belum ditindaklanjuti, apabila seluruh saran/ rekomendasi belum ditindaklanjuti sama sekali. Hasil pembahasan diajukan kepada Inspektur Wilayah terkait untuk memperoleh arahan, koreksi, dan atau persetujuannya. Apabila dari hasil pembahasan menunjukkan bahwa semua atau sebagian besar saran dan rekomendasi telah ditindaklanjuti oleh auditi, maka diusulkan untuk tidak perlu dilanjutkan ke forum follow-up meeting atau follow-up audit. Sebaliknya, apabila sebagian besar atau seluruh saran dan rekomendasi belum ditindaklanjuti, maka dapat diusulkan untuk dilaksanakan forum follow-up meeting atau follow-up audit. Kedua, tindak lanjut melalui Follow-up Meeting. Forum pembahasan tindak lanjut hasil audit dengan pihak auditi dilaksanakan apabila untuk klasifikasi saran/rekomendasi yang belum selesai dan atau belum ditindaklanjuti. Hasil follow-up meeting dapat berupa: Tuntas, apabila saran/rekomendasi telah ditindaklanjuti secara keseluruhan; Belum tuntas, apabila saran/rekomendasi masih dalam proses pelaksanaan atau telah ditindaklanjuti sebagian; Belum ditindaklanjuti, apabila seluruh saran/ rekomendasi belum ditindaklanjuti sama sekali. Prosedur atau tata cara pelaksanaan follow-up meeting dilakukan sesuai dengan yang diatur dalam Keputusan Inspektur Jenderal 30
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Departemen Agama Nomor IJ/280/2006 tang¬gal 20 Desember 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pengawasan pada Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Ketiga, tindak lanjut melalui fllow-up audit. Audit tindak lanjut dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan audit kinerja tahun berikutnya pada satuan organisasi/kerja yang sama. Salah satu cara yang efektif untuk melaksanakan kegiatan ini adalah pada awal pelaksanaan audit tindak lanjut, mengkonfirmasi status tindakan untuk masing-masing rekomendasi. Informasi yang tersedia kemudian dijadikan sebagai titik awal yang berguna untuk melaksanakan berbagai pengujian dokumen dan wawancara. Hasil dari tindak lanjut rekomendasi audit harus dicatat sesuai dengan kategori “status tindakan” yang paling tepat untuk menggambarkan tindakantindakan yang telah diambil. Alasan-alasan atas tidak dilaksanakannya rekomendasi harus didokumentasikan dan langkah selanjutnya dipertimbangkan tergantung dari pentingnya rekomendasi yang tidak dilaksanakan. Hasil follow-up audit disajikan dalam laporan hasil audit kinerja, terutama terkait dengan saldo temuan yang belum ditindaklanjuti. Terhadap temuan yang sudah ada berkas tindak lanjutnya, maka ditetapkan status penyelesaiannya terlebih dahulu oleh ketua tim dan Inspektur Wilayah yang bersangkutan kemudian disampaikan kepada sekretariat (Bagian Pengolahan Hasil Pengawasan). [Ahmad Fahroji]
Pengawasan Peran Psikologi dan Komunikasi dalam Penugasan Profesionalisme Audit Oleh: Nikmatul Atiyah
I
Penguatan Character Building dan Out Bond bagi Calon Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
ntegritas, objektivitas, dan independensi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan profesional seorang auditor. Integritas adalah unsur karakter yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk mewujudkan apa yang telah disanggupinya dan diyakini kebenarannya. Objektivitas berarti kejujuran dalam mempertimbangkan fakta, terlepas dari kepentingan pribadi yang melekat pada fakta yang dihadapinya. Sedangkan independensi berarti bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan dan tidak tergantung pada orang lain.
Bagi auditor di samping ketiga hal diatas, kemampuan berkomunikasi merupakan suatu hal lain yang sangat dibutuhkan dalam melaksanakan penugasan profesionalnya. Dalam proses audit, seorang auditor senantiasa berhubungan dengan pihak yang diaudit atau auditi. Hubungan ini diarahkan pada suatu kerjasama agar proses audit dapat berjalan dengan lancar dan hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan kedua belah pihak. Dalam meningkatkan profesionalisme seorang auditor haruslah terlebih dahulu memahami dirinya sendiri dan tugas yang akan Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
31
Pengawasan pengamatan, perasaan, pikiran dan sebagainya. Aspek Sosial: manusia dengan penghayatan pada kedua hal diatas dalam interaksinya dengan lingkungan atau dunia luar, baik secara pasif maupun aktif. Dalam setiap tingkah laku, aspek-aspek tersebut memainkan peranannya sendirisendiri, namun dalam keadaan tertentu salah satu aspek mungkin lebih menonjol dari aspek lainnya. Untuk memahami makna tingkah laku, semua aspek tersebut perlu diperhitungkan peranannya. Contoh: tingkah laku auditi yang tidak mau memberikan informasi/data yang diperlukan auditor, atau pada auditor yang meminta data secara kasar. Kita dapat memahami bagaimana peranan aspek-aspek diatas pada kondisi demikian. Peranan faktor psikologi dalam praktek audit bagi seorang auditor adalah: (1). Penguasaan personal yakni Keterampilan untuk mengklarifikasi dan memahami visi orang, dan mempunyai kesabaran dalam mencapai tujuan; (2). Keterampilan membuat asumsi, generalisasi, gambaran atau kesan secara mendalam dalam memahami kehidupan dan menentukan sikap yang harus diambil; Peranan Psikologi dalam Audit Manusia sebagai individu merupakan (3). Keterampilan dalam menciptakan visi kesatuan yang integral dan tidak dapat dipisah- bersama sehingga segala usaha menuju tujuan pisahkaan antara aspek-aspek fisiologis, tersebut tercapai; (4). Seorang auditor dapat menciptakan suasana nyaman dan aman psikologis, dan sosial sebagai berikut: Aspek Fisiologis: Manusia sebagai sehingga secara psikologis auditi tidak merasa organisme dengan segala masalah biologis serta terancam dalam memberikan segala sesuatu fungsinya seperti fungsi penginderaan, fungsi atau informasi yang akan dibutuhkan dalam kelenjar, fungsi susunaan syaraf pusat, fungsi pelaksanaan proses audit. Secara normal aspek psikologis bekerja peredaaraan darah, dan lain sebagainya. Aspek Psikologis: Manusia dengan bedasarkan aspek fisiologis yang sehat dan segala fungsi kemampuan psikis seperti disesuaikan dengan keadaaan linngkungan dilaksanakannya serta selalu meningkatkan dan mengendalikan dirinya dalam berhubungan dengan auditi. Auditor juga harus berusaha memahami perilaku auditi dan juga membangun komunikasi dan kerjasama dengan pihak auditi. Disadari atau tidak bahwa auditor maupun auditi adalah individu-individu yang mempunyai ciri-ciri, sifat-sifat, ataupun kebiasaan-kebiasaan yang tampil secara khas melalui tingkah lakunya. Pemahamaan mengenai tingkah laku manusia menjadi penting bagi auditor manakala interaksi antara auditor dengan pihak auditi tidak berlangsung harmonis yang dapat mengganggu kelancaran proses audit. Kondisi demikian memerlukan Keterampilan khusus atau keahlian seorang auditor untuk melakukan pendekatan yang lebih baik secara psikologis maupun komunikatif. Hal ini bertujuan agar para auditor dapat memahami atau mempelajari langkah-langkah dan cara-cara yang dapat ditempuh untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan pihak yang di audit.
32
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pengawasan sosial, fasilitas sekitarnya, serta nilai-nilai kehidupan yang ada. Kesatuan dari ketiga aspek tersebut dalam perkembangannya pada setiap orang berbeda. Karenanya sering disebut bahwa manusia adalah makhluk yang unik. FUNGSI PSIKIS MANUSIA a. Persepsi Merupakan kemampuan manusia dalam mengorganisasikan pengamatan. Implementasi dari hal tersebut bagi auditor adalah memberikan persepsi yang baik kepada pihak auditi. Bentuk konkret dari persepsi yang baik ini adalah tampilnya auditor dengan pakaian yang rapi, sopan santun, gaya bicara yang wajar. Secara faktual satu objek yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh dua orang atau lebih. Hal ini disebabkan pada beberapa hal berikut: Pertama, Perhatian. Faktor ini disebabkan oleh perbedaan fokus perhatian. Contohnya adalah saat penugasan audit oleh dua orang auditor. Auditor A memfokuskan perhatian pada penerimaan oleh auditi yang ramah, sedangkan auditor B memfokuskan pada lingkungan kantor auditi yang kumuh dan terkesan kotor. Kedua,Set. Set adalah harapan seseorang akan rangsang yang timbul. Perbedaan set akan menimbulkan perbedaan persepsi. Contoh adalah perbedaan persepsi oleh dua orang mengenai harga suatu barang. Seorang mengatakan bahwa harga barang tersebut murah sedangkan yang lain mungkin akan mengatakan mahal. Ketiga, Kebutuhan. Kebutuhankebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang akan mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap suatu hal. Contoh: Suatu penugasan audit, oleh auditor A merupakan kebutuhan untuk mendalami pengetahuan baru tentang sebuah rekening yang khas dalam suatu perusahaan yang diaudit sedangkan auditor B mungkin menganggap penugasan tersebut sebagai kebutuhan untuk memperoleh penghasilan yang cukup lumayan. Keempat, Sistem Nilai. Sistem nilai yang berlaku di masyarakat dapat mempengaruhi persepsi anggota masyarakat. Contoh: S adalah seorang wanita muda yang cantik, murah senyum dan banyak bicara dipersepsikan sebagai wanita yang genit oleh A yang hidup pada lingkungan dimana wanita semacam itu diang gap demikian. Sedangkan B mempersepsikan S sebagai wanita yang supel dan ramah karena lingkungan dimana B tinggal memang demikian. Ke l i m a , C i r i Ke p r i b a d i a n . C i r i kepribadian seseorang akan berpengaruh terhadap persepsi. Auditor A yang pemalu akan mempersepsikan direktur dari suatu auditi pada saat klarifikasi data sebagai tidak dalam tingkatnya, sedangkan auditor B yang supel akan melakukannya dengan biasa terhadap klarifikasi data yang dia butuhkan b. Berpikir dan Belajar Belajar merupakan proses dimana seseorang menimbulkan atau memperbaiki tingkah laku melalui berbagai aksi atas situasi yang terjadi sehingga seseorang tersebut memperoleh pengetahuan atau Keterampilan yang baru. Proses belajar tidak hanya menyangkut aktivitas fisik saja tetapi terutama menyangkut kegiatan otak. Yang terakhir inilah yang disebut dengan berpikir. Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
33
Pengawasan
Sosialisasi Program Unggulan Itjen - Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) Di Kanwil Kemenag Provinsi Sumatera Barat
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar: waktu istirahat, pengetahuan tentang materi yang dipelajari secara menyeluruh, pengertian terhadap materi yang dipelajari sebagai modal dalam belajar sesuatu, pengetahuan akan prestasi sendiri. Pada kondisi demikian kita diharapkan mampu melakukan self-evaluation sehingga akan membantu dalam proses belajar secara lebih cepat. c. Emosi Emosi merupakan perasaan yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari. Setiap orang mempunyai emosi yang berbeda-beda, terkadang seseorang meluapkannya dengan cara yang kurang etis tetapi adakalanya seseorang meluapkannya dengan cara yang santun. Pada dasarnya 34
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
tidak mudah membedakan emosi dan menggolongkannya dalam suatu jenis, hal ini disebabkan: adanya kesulitan dalam menentukan emosi pada kondisi emosi yang mendalam, Satu orang dapat menghayati satu emosi dengan berbagai cara, emosi biasanya dipengaruhi oleh sifat rangsangannya, bukan pada keadaan emosinya dan adanya pengaruh dari budaya/lingkungan. d. Motif Motif berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku. Sedangkan motivasi merupakan seluruh proses gerakan manusia, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang timbul oleh situasi tersebut, dan tujuan atau akhir dari pada gerakan atau perbuatan.
Pengawasan Dalam upaya untuk memahami tingkah laku seseorang, kita perlu memahami dan mengerti terlebih dahulu apa, bagaimanakah motif tingkah lakunya atau apa yang dilakukannya, bagaimana ia melakukannya, serta mengapa ia melakukan hal itu. Contoh: Seorang auditor yang mendapat perlakuan atau pelayanan yang kurang simpatik, sinis dan tidak mau terbuka dari pihak auditi, maka auditor perlu mengetahui motif dari orang tersebut. Mungkin penyebab kurang simpatiknya auditee adalah karena ia baru mendapat masalah, atau baru saja dimarahi oleh atasannya, atau hal lainnya. Pemahaman Diri Sebagai Auditor Sebagai seorang auditor, pemahaman diri mengenai siapa dirinya ataupun tugasnya menjadi suatu hal yang penting dalam rangka pelaksanaan tugas profesionalnya. Hal ini dimaksudkan agar auditor selalu meningkatkan dan mengendalikan dirinya dalam berhubungan dengan pihak audit. Hal-hal yang perlu dikenali dan dipahami oleh auditor mengenai dirinya adalah: (a). Penampilan auditor: cara berdandan,gaya bicara, bahasa tubuh, nada suara, dan cara duduk; (b). Kemampuan dan keahlian; (c). Etika pergaulan; (d). Sifat-sifat kepemimpinan: disiplin dan dapat dipercaya, teliti dan luwes, berkemauan keras dan ulet, inisiatif, kreatif dan percaya diri Pemahaman Terhadap Perilaku Audit Memahami perilaku auditee merupakan hal yang penting juga. Hal ini disebabkan auditor akan langsung berhubungan atau berhadapan langsung dengan audit. Terkadang seorang
manusia mempunyai sikap dan perilaku yang berubah-ubah dalam waktu yang relatif pendek. Hal ini disebabkan kondisi, keadaan dan lingkungan dimana seorang tersebut berada. Dalam rangka pemahaman di atas perlulah auditor untuk memahami hal-hal berikut: Motivasi Motivasi merupakan dorongan yang menggerakkan seseorang untuk berbuat atau bertingkah laku yang sangat erat hubungannya dengan kebutuhan hidup manusia. Manakala seorang manusia telah tercukupi kebutuhan hidupnya, baik lahir maupun batin maka dia akan cenderung bersikap tenang dan sangat menghargai orang lain. Berdasarkan urgensinya, kebutuhan hidup seseorang terdiri dari: kebutuhan dasar/primer, kebutuhan sekunder, kebutuhan sosial dan rasa aman, dan Kebutuhan akan dihargai dan aktualisasi diri. Tipe-tipe Manusia Pemahaman terhadap tipikal manusia diperlukan dalam rangka memahami lebih luas mengenai perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap individu manusia. Tipe manusia sangat beragam berdasarkan pendekatanpendekatan yang dipakai. Berdasarkan arah perhatiannya, Jung C.G. membedakan manusia menjadi tiga golongan: Pertama, tipe manusia extraverse dan orangnya disebut extravert. Ciri-ciri seorang yang extravert: mementingkan lingkungannya daripada diri sendiri, mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, dan berhati terbuka, gembira, ramah, luwes dalam pergaulan dan mudah mendapat kawan. Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
35
Pengawasan Kedua, tipe manusia introverse dan orangnya disebut introvert. Ciri-ciri seorang yang introvert: mementingkan dirinya daripada lingkungannya, mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, cenderung pendiam, egois, menyendiri, sukar bergaul dan membutuhkan waktu lama untuk berteman. Ketiga, tipe yang ketiga adalah ambiverse dan orangnya disebut ambivert. Seorang yang bertipe demikian mempunyai gabungan sifat dari kedua tipe sebelumnya. Kemunculan diantara keduanya tergantung ciri mana yang lebih menonjol. Berdasarkan fakta yang ada, manusia lebih banyak memiliki tipe yang ketiga ini. Sikap Manusia Sikap atau attitude merupakan kesediaan seseorang untuk berreaksi terhadap suatu hal. Biasanya hal atau objek yang dijadikan sasaran dari sikap manusia tersebut adalah orang-orang, benda-benda, norma-norma, peristiwa-peristiwa, peraturan-peraturan dan lain-lain. Sikap manusia cenderung dipengaruhi oleh perwujudan manusia sebagai mahluk sosial dan individu. Ketika seseorang berhadapan dengan kepentingan sosial maka secara tidak langsung dia harus berlaku sosial. Dan ketika kepentingan individunya muncul seketika, maka muncullah sikap individunya. Sifat-sifat Manusia Dalam hal ini terdapat dua kecenderungan sifat-sifat manusia yaitu sifat baik/positif dan jelek/negatif. Sifat yang baik perlu untuk dikenali untuk diarahkan dan dikembangkan sehingga menjadi pendorong
36
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
yang kuat, sedangkan sifat yang negatif perlu dicegah sehingga tidak menjadi faktor penghalang yang menonjol. Tipe Kepemimpinan Tipe kepemimpinan merupakan ciri khas seorang pemimpin dalam membimbing, mengarahkan, mempengaruhi dan mengerahkan bawahannya pada suatu tujuan tertentu. Memahami hal diatas bagi seorang auditor sangat penting karena dalam penugasan audit dia harus berhadapan dengan pimpinan dari sebuah institusi atau lembaga yang diaudit. Pada umumnya tipe kepemimpinan dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis: 1. Kepemimpinan Otoriter; 2. Kepemimpinan Demokratis; 3. Kepemimpinan Bebas. Hubungan (Human Relation) dan Komunikasi Audit Auditor perlu mempelajari Human Relation (HR) dan komunikasi dengan harapan diperoleh kerjasama yang baik dan harmonis dengan pihak auditee pada saat melaksanakan tugas auditnya. HR dan komunikasi ini berorientasi pada kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan tertentu dengan mengubah sikap, pandangan, atau perilaku auditee. Biasanya pendekatan yang dipakai adalah secara persuasif dan partisipasif. Dalam HR dan komunikasi terdapat dua faktor penting yang harus dipahami oleh auditor yaitu etika dan empati. Faktor etika dapat menimbulkan sikap etik sedangkan empati dapat menimbulkan sikap yang empatik. HR dan komunikasi ini sangat berkaitan
Pengawasan dengan upaya menghilangkan hambatan komunikasi, mencegah salah pengertian dan mengembangkan sifat keterbukaan auditi dalam penemuan-penemuan fakta audit oleh auditor. Interaksi antara auditor dan auditee nantinya sangat mendukung dalam keberhasilan tugas keduanya. PEMAHAMAN AUDITOR DALAM KOMUNIKASI AUDIT Peranan Komunikasi Audit Bagi auditor komunikasi sangatlah penting karena kegiatan audit menyangkut proses penyampaian informasi dan perolehan informasi yang diperlukan dalam mencapai hasil audit. Dalam kaitan ini para auditor setidaknya dapat menciptakan suasana psikologis terhadap auditi. Suasana psikologis tersebut antara lain menciptakan suasana nyaman, aman, dan auditi tidak merasa terancam dalam memberikan informasi yang dibutuhkan menyangkut adanya fakta penyimpangan yang ditemukan auditor. Unsur-unsur dan Proses Komunikasi Pemahaman mengenai unsur-unsur dan proses komunikasi merupakan hal yang penting pula bagi auditor agar komunikasi dapat dilakukan dengan baik. Unsur-unsur terjadinya komunikasi meliputi: • Komunikator: Orang yang menyampaikan pesan; • Pesan: Dapat berupa ide, informasi, keluhan, anjuran, isyarat, dan sebagainya • Komunikan: Orang yang menerima pesan • Media: Sarana yang mendukung pesan jika komunikan jauh atau berjumlah banyak; • Efek: Dampak sebagai pengaruh dari
pesan; • Penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui berbagai sarana akan menimbulkan efek dalam komunikasi itu sendiri. Dan efek inilah sebenarnya hal yang pokok dalam komunikasi walaupun untuk memunculkannya membutuhkan seni tersendiri. Dampak efek yang ditimbulkan dari komunikasi adalah: • Efek Kognitif: Efek ini bekaitan dengan pikiran, nalar atau rasio, misalnya komunikan yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang semula tidak menjadi mengerti. • Efek Afektif: Efek ini berkaitan dengan perasaan, misalnya rasa senang dan tidak senang terhadap suatu pesan atau informasi. • Efek Konatif : Efek konatif ini berkaitan d e n g a n e fe k y a n g m e n i m b u l k a n kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu secara fisik/jasmaniah. Efektifitas komunikasi tampak dari dampak yang timbul dari ketiga efek tersebut. Memang tidak mudah untuk menimbulkan efek-efek tersebut, bahkan sering kali kita mengalami kegagalan dalam proses komunikasi. Penyebab kegagalan dalam komunikasi lebih disebabkan pada ketidakmampuan dan kondisi unsur-unsur komunikasi itu sendiri (Davis and Newstrom : 1985 ) : • Komunikator: Tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar (hambatan semantis), awam mengenai pesan yang disampaikan, diragukan kredibilitasnya, dan lain-lain; • Pesan: Tidak menarik bagi komunikan atau tidak menyangkut kepentingan komunikan; Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
37
Pengawasan •
•
•
•
•
•
• •
•
•
Media: Terkadang media yang dipakai tidak tepat, terdapat gangguan mekanik, gangguan suara/berisik; Lingkungan: Terjadi ketidakserasian secara sosiologis dan psikologis antara komunikan dan komunikator; Untuk mendukung keberhasilan dalam proses komunikasi, auditor perlu untuk memahami beberapa hal yang menjadi kunci dalam berkomunikasi: Credibility : Adanya saling kepercayaan antara auditor dengan audit akan kemampuan professional masing-masing. Context: Berhubungan erat dengan situasi atau kondisi lingkungan dimana auditi berada. Content : Terdapat adanya pengertian/ pemahaman auditi terhadap tugas auditor serta adanya kepuasaan kedua belah pihak. Clarity: Adanya kejelasan isi pesan dan tujuan audit yang hendak dicapai Continuity and Consistensy: Komunikasi antara auditor dan auditi terjadi terusmenerus dan tidak bertentangan. Capability of Audience: Auditor hendaknya menyesuaikan dengan kemampuan auditi. Channel of Distribution: Media komunikasi, menggunakan yang sudah ada atau biasa. Contoh : telpon, faximile, internet, dan lain-lain.
Komunikasi Lisan dan Tertulis dalam Audit Dalam audit, komunikasi lisan dan tertulis merupakan hal yang biasa dilakukan. Komunikasi lisan biasanya dilakukan dengan wawancara baik secara tatap muka (langsung) 38
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
atau menggunakan media (tidak langsung). Komunikasi secara langsung diharapkan dapat menghindari adanya kesalahpahaman terhadap persepsi auditor dan auditi pada suatu wacana audit tertentu dan menciptakan suasana kerja yang penuh keakraban dan demokratis. Komunikasi tertulis dalam audit biasanya bersifat konfirmasi, penyusunan kertas kerja audit, memo dan pembuatan laporan keuangan. Komunikasi tertulis ini pada dasarnya dapat digunakan sebagai bukti audit. Bukti audit inilah yang pada akhirnya akan menentukan hasil opini oleh auditor. Wawancara Wawancara merupakan suatu proses interaksi yang dilakukan dengan komunikasi lisan dengan menggunakan metode tanya jawab yang mempunyai tujuan tertentu. Menurut Sarlito Wirawan wawancara merupakan upaya untuk menggali pendapat, perasaan, sikap, pandangan, proses berpikir, proses penginderaan dan bebagai hal yang merupakan tingkah laku dari subjek yang diwawancarai. Pada dasarnya wawancara dilakukan secara berhadap-hadapan fisik antara auditor dan auditee. Wawancara dalam audit digunakan untuk mendapatkan data maupun fakta yang digunakan untuk mencapai tujuan audit. Dalam kaitan ini berfungsi sebagai metode pelengkap atau sebagai kriterium. Sebagai metode pelengkap, wawancara digunakan sebagai alat untuk mencari informasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain contohnya: investigasi dan observasi. Sedangkan sebagai kriterium, wawancara digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan dari suatu bukti
Pengawasan audit yang telah diperoleh sebelumnya. ditemukan akar permasalahan dan dapat dicari Dalam wawancara audit, perlu titik solusi yang baik. dipertimbangkan adanya suasana psikologis Melakukan komunikasi yang baik dengan yang penuh persahabatan, ramah tamah, auditi untuk mencapai tujuan tertentudapat saling menghargai, saling mempercayai dengan menghilangkan hambatan dan mencegah harapan auditi merasa aman, nyaman dan salah komunikasi dan mengembangkan sikap tidak merasa terancam sehingga informasi keterbukaan akan sangat mendukung dalam audit dapat diperoleh sesuai tujuannya. Pada keberhasilan tugas kedua belah pihak. kondisi demikian auditor diharapkan dapat menjaga penampilan diri, menguasai suasana Kesimpulan dan benar-benar menimbulkan suasana yang Dalam rangka melaksanakan tugas bebas pada auditi. profesionalnya, auditor dituntut untuk dapat Dalam pelaksanaan proses audit, di selalu menjaga dan mencapai tujuan audit. mana auditor dituntut untuk profesional, maka Dalam mencapai hal tersebut auditor harus auditor terlebih dahulu memahami dirinya memperhitungkan berbagai faktor yang sendiri dan tugas yang akan dilaksanakannya mempengaruhi dalam tugasnya. Faktor serta selalu meningkatkan dan mengendalikan psikologi dan komunikasi audit merupakan dirinya dalam berhubungan dengan auditi. faktor yang sangat mempengaruhi tugas Auditor haruslah dapat memahami suatu auditor dilapangan manakala secara langsung lingkungan di mana terdapat beberapa auditi maupun tidak langsung harus berhadapan yang berbeda dalam segala tingkah laku dan atau berhubungan dengan auditi. Karena auditi kondisi yang menyertainya. Terlebih dulu dapat mempunyai sifat dan karakter yang berbedadilakukan pengamataan dan memberikan beda yang lebih dipengaruhi oleh suasana persepsi yang baik dalam bentuk penampilan pribadi, budaya atau lingkungan. Pemahaman diri auditor itu sendiri. mengenai tingkah laku auditi menjadi penting Apabila auditor merasa nyaman manakala interaksi antara auditor dan auditi dalam bekerja maka dia dapat menyelesaikan tidak berlangsung harmonis yang dapat pekerjaaan yang memuaskan bagi kedua mengganggu kelancaran proses audit. belah pihak, demikian juga bagi auditi dalam Hal diatas mendorong auditor untuk memberikan informasi yang dibutuhkan mengenali dirinya dan tugasnya dalam rangka auditor dalaam pelaksanaan tugas auditornya. meningkatkan dan mengendalikan diri dalam Bila auditee tidak mau bekerja sama dalam berhubungan dengan pihak auditi. Penampilan pelaksanaan tugas dengan tidak memberikan diri, kemampuan dan keahlian, etika pergaulan, data yang lengkap maka auditor harus mampu kemampuan berkomunikasi, mampu membaca mencari permasalahan yang ada dibelakang psikologis auditi dan sifat kepemimpinan tingkah laku auditi tersebut dengan mengamati merupakan faktor yang sangat penting dalam dan melakukan interaksi serta pendekatan- mendukung keberhasilan dalam penugasan pendekatan sehingga pada akhirnya dapat audit. [Nikmatul Atiyah] Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
39
Pengawasan Menilai Integritas Pengadaan Barang dan Jasa dengan Probity Audit Oleh: Abdur Rahman Saputra
Irjen Kemenag Dr. H. Moch. Jasin, MM. pada Acara Pembinaan Pejabat dan Pegawai Di Kanwil Kementerian Agama Provinsi DIY
T
ahun 2012 merupakan sebuah tahun belum bisa ditindak lanjuti secara tuntas. Kementerian Agama yang kehadirannya yang sangat berat bagi Kementerian Agama. Betapa tidak. Berbagai diharapakan bisa menjadi penjaga akhlak dan macam persoalan mencuat ke publik. moral bangsa sungguh mempunyai beban Mulai dari adanya kasus pengadaan Al-Quran moral dan mental yang sangat berat dalam yang diduga terindikasi korupsi, pengadaan lab menghadapi badai isu yang sangat dahsyat ini. komputer untuk madrasah yang bermasalah, Tetapi terlepas dari segala persoalan di atas, sampai adanya statemen/pernyataan perlu kiranya kita berpikir jernih, sebenarnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimana letak akar persoalannya? Inspektorat Jenderal Kementerian Abraham Samad yang mengatakan bahwa Kementerian Agama merupakan Kementerian Agama secara tugas dan fungsi mempunyai yang paling bandel dalam menindaklanjuti peran untuk melakukan pengawasan rekomendasi hasil litbang KPK tahun 2011 internal, baik secara preventive (pencegahan), terkait pencegahan titik-titik rawan korupsi detective (deteksi), corrective (koreksi), dalam penyelenggaraan ibadah haji yang directive (pengarahan) maupun compensative
40
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pengawasan (pengganti). Diantara bentuk pengawasan yang selama ini dilakukan adalah Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT), audit khusus dan audit kasus. Dan sejak adanya Inspektur Jenderal baru di Kementerian Agama (Moch. Jasin) digulirkan pula program audit kinerja sebagai pengganti PKPT. Program ini dijalankan dalam rangka menilai capaian kinerja setiap satuan kerja dan mengawal pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. I n s p e k t o ra t J e n d e ra l s e b a g a i Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) wajib melakukan pengawasan atas setiap penyelenggaraan kegiatan internal Kementerian Agama, termasuk pengadaan barang/jasa sebagai wujud pelaksanaan Pasal 116 Peraturan Presiden RI No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pimpinan instansi pemerintah wajib untuk melakukan pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Unit Layanan Pengadaan/ Pejabat Pengadaan di lingkungan instansi masing-masing, dan menugaskan aparat pengawasan intern yang bersangkutan untuk melakukan audit sesuai dengan ketentuan. PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menjabarkan lebih lanjut kewenangan APIP untuk melakukan pengawasan intern atas penyelenggaran tugas dan fungsi instansi pemerintah melalui kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan berlaku. Secara spesifik, terdapat beberapa model yang dapat digunakan APIP dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengadaan
barang/jasa pemerintah antara lain: (1) Probity advising, yaitu melakukan observasi, reviu dan memberikan panduan untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa telah sesuai dengan ketentuan dan pedoman yang berlaku dan memenuhi prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, (2) Probity audit, yaitu audit yang dilakukan untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara adil, akuntabel dan transparan sesuai dengan harapan publik dan ketentuan yang berlaku (Independent Commission Againts Corruption of New South Wales, 2005). (3) Pre-award audit dapat didefinisikan sebagai sebuah alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi untuk menentukan harga atau biaya yang ditawarkan oleh pihak penawar. Audit pre-award merupakan analisis detail pada suatu proposal dan memuat informasi atas metode dan dasar yang disiapkan penawar dalam proposalnya serta perbedaan biaya atau data harga yang berlaku saat proposal dibuat (USAID, 1992). The Federal Acquistion Regulation (FAR) lebih jauh menyatakan bahwa “Pre-award audit merupakan evaluasi kemampuan kontraktor calon untuk melakukan kontrak yang diusulkan (FAR, 2005).” (4) Progress Payment Audit dapat didefinisikan sebagai audit yang dilakukan untuk menentukan kesesuaian antara pembebanan biaya yang dilakukan oleh penyedia barang/jasa dengan kemajuan pekerjaan dan ketentuan yang berlaku (Defense Contract Audit Agency, 2005). Salah satu bentuk penerapan audit ini adalah audit atas eskalasi harga pengadaan barang/ jasa. (5) Post audit, adalah yang dilakukan setelah seluruh kegiatan yang diaudit selesai Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
41
Pengawasan dilaksanakan untuk menilai kualitas dan nilai sebagai ukuran atau kriteria yang menjadi pengadaan barang/jasa yang diberikan oleh alasan pentingnya dilakukan probity audit. penyedia barang/jasa Berikut beberapa unsur kritreria Dalam artikel ini, penulis ingin p r o b i t y a u d i t te rs e b u t m e l i p u t i : ( a ) memfokuskan pembahasan pada probity Integritas pelaksanaan proyek atau kegiatan audit. Secara bahasa probity memiliki arti dipertanyakan atau diragukan, (b). Ada sebagai integritas, kejelasan, dan kejujuran. pengalaman terjadi kontroversi atau litigasi Istilah ini digunakan mengacu pada sifat dari pada pelaksanaan kegiatan atau proyek serupa, audit itu sendiri yang bertujuan untuk menilai (c) Kegiatan atau proyek memiliki ‘politically integritas, kejelasan, dan kejujuran dari sebuah sensitive’ dan potensi terjadi kontroversi, (d) kegiatan atau entitas. Pada umumnya, probity Untuk mengantisipasi timbulnya persepsi audit digunakan pada proses pengadaan telah terjadi bias atau ‘favoritism’ pada proses barang dan jasa dengan kondisi tertentu. pelelangan, (e) Kegiatan atau proyek inovatif Probity audit dilaksanakan tidak dimana perlu adanya perlindungan terhadap sekedar untuk mencegah terjadinya korupsi ‘intelectual property’, (f) Kegiatan atau proyek atau ketidak jujuran pada suatu kegiatan. sangat rumit atau complex, seperti kegiatan Lebih daripada itu, audit ini dilakukan untuk Built, Operate, Transfer (BOT). menilai seluruh proses yang terjadi sejak awal Selain kriteria yang harus dipenuhi, perencanaan hingga akhir yaitu monitoring dalam pelaksanaan Probity Audit ini juga dan evaluasi hasilnya. Pada pengadaan barang harus didasari oleh prinsip-prinsip yang dan jasa, audit dilakukan mulai dari proses menjadi landasan dilaukannya jenis audit identifikasi kebutuhan sampai dengan barang/ ini. Adapun prinsip-prinsipnya adalah : a) jasa dimanfaatkan atau hanya beberapa Setiap pengeluaran keuangan negara harus tahapan terpilih dari proses pengadaan memberikan value for money yang terbaik barang/jasa. Walaupun demikian,manajemen (Best value for Public Money). Hal ini bukan probity yang efektif lebih menekankan pada berarti pengadaan barang dan jasa dengan prosedur, proses, dan sistem yang digunakan menetapkan harga yang termurah, namun daripada pencapaian hasil. harus memberi keyakinan bahwa penetapan Probity Audit bukanlah jenis audit yang akan memberikan hasil (outcome) yang sifatnya rutin seperti yang biasa dilakukan oleh terbaik. (b) Audit diarahkan untuk menjaga Inspektorat Jenderal (PKPT, pendampingan kenetralan dan keadilan tetap berjalan pada laporan keuangan,dan audit kinerja), probity setiap tahapan proses kegiatan (Impartiality audit ini merupakan jenis audit yang masuk and Fairness). (c) Deal with Conflict of Interest. kedalam golongan audit dengan tujuan Pengalaman dari berbagai kasus yang ada, tertentu. Ketika auditor ingin menerapkan sebagian besar terkait dengan adanya confl ict probity audit ini pada kegiatan auditnya, maka of interest antara tugas pemerintahan dengan perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti kepentingan publik. Audit harus mampu kriteria, prinsip-prinsip, sasaran dan tehnik mengungkapkan adanya conflict of interest
42
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pengawasan yang ada dan memberi keyakinan hal tersebut telah dikelola secara tepat. (d) Kegiatan atau proyek harus dilaksanakan secara akuntabel dan transparan (accountability). Hal ini akan memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa sumber daya telah dikelola dengan baik. Disamping kriteria dan prinsip-prinsip pelaksanaan probity audit harus terpenuhi, juga sasaran pasti dilaksanakannya probity audit yaitu sebagai berikut:1) Meyakinkan bahwa pengadaan barang/jasa dilakukan secara benar sesuai dengan kebutuhan yang benar, baik dari segi jumlah, kualitas, waktu dan nilai pengadaan yang menguntungkan negara. 2) Meyakinkan bahwa prosedur pengadaan barang/ jasa yang digariskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa telah diikuti dengan benar sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3) Meyakinkan bahwa kuantitas, kualitas dan harga barang/jasa yang diperoleh melalui proses pengadaan telah sesuai dengan ketentuan dalam kontrak serta diserah terimakan tepat waktu. 4) Meyakinkan bahwa barang yang diperoleh telah ditempatkan di lokasi yang tepat, dipertanggungjawabkan dengan benar, dan dimanfaatkan sesuai tujuan penggunaannya. 5) Mencegah penyimpangan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa. 6) Mengidentifi kasikan kelemahan sistem pengendalian intern atas pengadaan barang/ jasa guna penyempurnaan sistem tersebut. Untuk mencapai hasil yang optimal, maka pelaksanaan probity audit harus didukung dengan teknik yang matang. Adapun teknik yang digunakan dalam melakukan probity audit antara lain melalui
desk audit, field audit, benchmarking atau penggunaan tenaga ahli dari luar. Desk audit dilakukan dengan penelaahan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku dan mengidentifikasikan kelemahan dalam system dan prosedur pengadaan barang/ jasa. Sedangkan field audit dilakukan dengan pemeriksaan lapangan terkait kebenaran jumlah, mutu dan penempatan, ketepatan waktu penyerahan dan pemanfaatan barang/ jasa. Dan teknik lainnya adalah benchmarking yaitu melakukan perbandingan harga, dan penggunaan tenaga ahli pada umumnya untuk menilai kewajaran kualitas barang/jasa. Penerbitan pedoman probity audit memang menjadi sebuah langkah maju dalam pengembangan jenis kegiatan pengawasan intern di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan peran pengawas intern dalam mengawal jalannya roda organisasi. Yang menjadi tantangan berikutnya adalah membuktikan bahwa metodologi ini mampu meningkatkan efektivitas peran pengawasan intern dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan diIndonesian Dimasa yang akan datang, semoga auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama bisa menerapkan metode probity audit ini untuk menilai sejauh mana tingkat integritas para Unit layanan Pengadaan (ULP), Pejabat Pembuat komitmen (PPK) dan pihak-pihak terkait dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan instansi Kementerian Agama ini guna tercapainya rasa keadilan, kejujuran dan keterbukaan. [Abdur Rahman Saputra]
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
43
Pengawasan Menakar Pola Komunikasi Auditor Oleh: Miftahul Huda
Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan RI Ke-67 Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Jakarta, 17 Agustus 2012
A
uditor sebagai aparatur Negara sebagaimana diatur dalam PP 60 tahun 2008 yang mempunyai tugas fungsional, melakukan pemeriksaan/audit terhadap satuan kerja yang berada dibawah naungan kementerian atau lembaga/instansi tersebut. Tugas pengawasannya meliputi seluruh satuan kerja yang tersebar di seluruh Indonesia. Di Inspektorat Jenderal Kemeneterian Agama, audior mempunyai daerah kerja masing-masing. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 10 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama dijelaskan bahwa
44
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
struktur organisasi di Inspektorat Jenderal terdiri dari Sekretariat Inspektorat Jenderal, 4 (empat) Inspektorat Wilayah dan 1 (satu) Inspektorat Investigasi dan kelompok jabatan fungsional auditor. Tugas dan tanggung jawab audit Inspektorat Wilayah I (pasal 663) meliputi wilayah Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua serta Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Sementara jangkauan audit Inspetorat Wilayah II meliputi wilayah Prov. Jambi, Jawa Barat, Kalimantan
Pengawasan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, tentu akan mempengaruhi sikap mental dan Bali dan Irian Jaya Barat, serta Direktorat kepribadiannya, untuk itu dalam menjalankan Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, tugasnya sebagai pemeriksa, tentu seorang Inspektorat Jenderal, dan Badan Penelitian auditor dituntut untuk bisa mengatasi dan Pengembangan serta Pendidikan dan berbagai masalah yang ada dilapangan. Dalam pribahasa Sunda ada istilah Pelatihan. Sementara dalam Pasal 671 PMA “hade ku omong, goreng ku omong” artinya Nomor 10 Tahun 2010 disebutkan bahwa baik buruknya suatu masalah itu karena Inspektorat Wilayah III mempunyai jangkauan ucapan (komunikasi). Tentunya pribahasa audit meliputi wilayah Sumatera Utara, Sunda tersebut bisa dijadikan suatu prinsip Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, bagi setiap auditor untuk bisa mengatasi DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi berbagai persoalan (baik faktor alam, maupun Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan manusia) dengan menjalin komunikasi yang Banten, serta Sekretariat Jenderal, dan baik dan benar dengan pihak-pihak terkait. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Pada tulisan ini ada beberapa faktor yang Hindu. dan untuk Inspektorat Wilayah IV perlu diperhatikan sebagai acuan untuk meliputi wilayah Aceh, Riau, Bengkulu, Jawa keberhasilan dalam komunikasi auditor dalam Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, menjalankan tugasnya, yaitu melalui aspek Maluku Utara dan Gorontalo, serta Direktorat metodologi, aspek kepribadian, dan aspek Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, bahasa. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, dan Direktorat Jenderal Bimbingan Aspek Metodologi Aspek ini sengaja penulis kutip dari Masyarakat Buddha. Dan untuk Inspektorat Investigasi mempunyai jangkauan audit yang modul diklat jabatan fungsional auditor “Teknik sangat luas, yaitu meliputi seluruh wilayah Komunikasi Audit” yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Indonesia. Melihat penjabaran di atas, tugas BPKP sebagai bahan mengingat kembali terkait auditor dalam mengaudit sangat berat, bukan teknik atau metodologi komunikasi yang hanya berat dalam menganalisis data-data umum digunakan dalam audit adalah: Wawancara. merupakan suatu proses yang ada untuk mengukur tingat kinerja para satuan kerja, tetapi bisa juga berat secara interaksi yang dilakukan secara lisan dengan risiko yang bisa mempengaruhi psikologis. metode tanya jawab yang mempunyai Sebagai contoh, jarak tempuh medan yang tujuan. Wawancara digunakan oleh auditor harus dilalui oleh auditor menuju lokasi untuk memeroleh data ataupun fakta yang obrik, bagi sebagian auditor itu menjadi diperlukan. Wawancara merupakan alat momok tersendiri yang sangat menakutkan. yang sangat baik untuk memeroleh informasi, Kemudian karekteristik masyarakat setempat pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, yang jauh berbeda dengan kebiasaan auditor masa depan ataupun tanggapan seseorang Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
45
Pengawasan mengenai sesuatu hal, karena auditor dapat menangkap aksi, reaksi seseorang dalam bentuk gerak-gerik dan ekspresi saat wawancara berlangsung. Daftar pertanyaan (kuesioner). Daftar pertanyaan adalah metode pengumpulan informasi yang mengajukan pertanyaan secara tertulis dan mengharapkan jawaban secara tertulis pula. Apabila tim audit secara geografis berjauhan atau apabila dibutuhkan data kuantitatif, teknik kuesioner dapat menjadi media yang paling berguna. Kuesioner memungkinkan individu untuk menuliskan apa yang mereka rasa tidak pantas untuk diungkapkan secara lisan. Lebih dari itu, kuesioner dapat dianalisis secara akurat dan dapat memberikan data kuantitatif yang solid untuk mendukung temuan data kualitatif. Konfi rmasi . Konfi rmasi adal ah permintaan penegasan kepada pihak ketiga mengenai kebenaran suatu data atau informasi. Sebagai contoh, auditor meminta penegasan atas informasi bahwa pihak A di provinsi lain telah menerima kiriman barang, maka auditor mengkonfirmasi ada tidak penerimaan barang yang dilakukan oleh pihak A. Data terbuka. Data terbuka adalah metode pengumpulan data menggunakan pertemuan kelompok. Sebagai contoh, auditor ingin mendapatkan informasi dari beberapa orang anggota koperasi tentang jumlah pinjaman yang diterima dan jumlah biaya yang harus dibayar oleh mereka, maka auditor mengadakan pertemuan dengan mereka. Auditor tidak melakukan wawancara satu per satu, melainkan menanyakan langsung kepada seluruh peserta pertemuan.
46
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
P re s e n ta s i . P re s e n ta s i a d a l a h penyampaian pesan berupa ide atau gagasan kepada khalayak atau sekelompok orang. Presentasi adalah komunikasi yang dilaksanakan dengan tatap muka. Dalam presentasi bukan hanya pesan verbal yang dapat ditangkap, pesan non verbal juga penting untuk diperhatikan. Rapat. Rapat adalah komunikasi kelompok yang digunakan untuk bertukar pikiran dalam memahami sesuatu atau menyelesaikan masalah. Rapat adalah bentuk komunikasi yang lazim kita temui di dunia kerja. Dalam audit, rapat ini bisa dilaksanakan intern tim, atau melibatkan pihak auditan. Laporan Hasil Audit. Laporan hasil audit adalah media penyampaian hasil audit kepada pihak-pihak yang berkepentingan secara tertulis. Setiap penugasan audit harus menghasilkan laporan, meskipun untuk penugasan yang tidak mencapai tujuan sebagai akibat dari berbagai faktor, misalnya sangat buruknya sistem pengendalian auditan yang menyebabkan auditor kesulitan dalam menentukan validitas dokumen-dokumen yang ditemuinya. Aspek Kepribadian Manusia adalah makhluk yang unik dan menarik. Unik dilihat dari segi kepribadian mempunyai karakter yang berbeda. Menarik karena dibalik setiap kepribadian tersembunyi berbagai rahasia yang tak bisa diketahui dengan waktu sebentar dan sambil lalu. Karenanya dalam kehidupan sehari-hari, proses interaksi antara individu dibutuhkan waktu yang cukup untuk bisa saling mengenal dan mengerti jiwa dan kepribadian masing-
Pengawasan masing, apalagi jika diantara orang-orang tersebut berasal dari suku dan latar belakang yang berbeda. Kepribadian adalah suatu organisasi dinamis dalam diri individu yang sistem sikofisiknya menentukan karakteristik, tingkah laku, serta cara berpikir seseorang. 1 Contoh perbedaan kepribadian adalah adanya tipe kepribadian menurut Carl Gustav Jung yang membagi kepribadian berdasarkan arah perhatian. Tipe-tipe tersebut adalah introverse, ekstroverse, dan ambiverse. Jika perhatiannya lebih ditujukan keluar dari dirinya yakni sekelilingnya, maka orang tersebut digolongkan sebagai tipe extroverse. Jika perhatiannya lebih dominan ditujukan ke dalam dirinya sendiri, maka tipe kepribadian orang tersebut adalah introverse. Sedangkan tipe ambiverse memiliki arah perhatian yang berada di antara 2 titik ekstrim tipe ekstroverse dan tipe introverse. Dalam teori lain, disebutkan bahwa Kepribadian Extrovert merupakan kepribadian
yang stimulus utamanya berasal dari lingkungan. Karenanya orang dengan kepribadian extrovert senang bersosialisasi, asertif, dan terbuka pada lingkungan. Sebaliknya kepribadian introvert merupakan kepribadian yang stimulus utamanya berasal dari diri sendiri. Orang dengan kepribadian introvert biasanya cenderung lebih tertutup, tidak asertif dan menyenangi kegiatankegiatan individual. Kedua ciri kepribadian tersebut memiliki aspek-aspek positif dan negatif, sehingga sebenarnya tidak ada kepribadian yang lebih baik atau lebih buruk diantara keduanya. Menjadi penyendiri bukan berarti hal yang negatif atau memiliki kelainan, begitu pula sebaliknya dengan orang yang selalu membutuhkan orang lain. Setiap orang memiliki batasan kenyamanan tertentu dalam bersosialisasi, bergaul dan membuka dirinya pada lingkungan. Oleh karena itu tidak ada yang salah dengan menjadi extrovert maupun introvert. Hal yang perlu diperhatikan adalah
Para Pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia Ke-67
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
47
Pengawasan selama kepribadian tersebut tidak merugikan Berikut adalah dampak dari tidak diri sendiri dan orang lain, maka kita tidak adanya persamaan persepsi atas makna perlu memiliki kekhawatiran yang terlalu atau arti dari apa yang disampaikan: Asep dalam. Tetapi apabila kepribadian tersebut seorang yang berasal dari daerah Jawa Barat, sangat merugikan diri sendiri dan orang lain, berprofesi sebagai sopir truk barang, setiap maka sebaiknya kita melakukan sesuatu. Hal hari Asep membawa barang ke pasar ditemani ini bukan berarti merubah diri kita secara total, Joko sebagai kondektur, suatu waktu ketika melainkan menyesuaikan diri kita terhadap membawa barang menuju paasar mobil yang lingkungan. ditumpangi rodanya bocor. Asep langsung Untuk itu auditor dituntut harus turun dari mobil dan hendak menggantinya. mampu peka dan cepat dalam memahami “Mas Joko tolong cokot dongkrak”, Joko yg setiap pribadi dan karakteristik setiap orang berasal dari Jawa langsung menjawab dengan yang terlibat dalam proses pemeriksaan. tenang “atos kang”, Asep ngomong lagi Auditor harus mempunyai banyak gaya dan dengan nada suara yang meninggi “mana cara dalam mengatasi dan menghadapi orang dongkraknya?, buruan cokot dongkrak!”. “ yang introvert, atau extrovert. atos Kang Asep” jawab Joko dengan nada tinggi juga..” yeh siamah ngajakan ribut nyah.. Aspek Bahasa cepetan cokot eta dongkrak, panas yeuh…” Manusia adalah mahluk komunikan, timpal Asep dengan nada kesal karena berkaliartinya manusia tidak lepas dari upaya untuk kali ngomong tapi belum mendapatkan menjalin interaksi dengan pihak lain. Supaya dongkraknya. Apa yang terjadi selanjutnya? interaksi berjalan lancar dan dan sesuai dengan Ada dua kata kunci yang menyebabkan keinginan, maka dibutuhkan komunikasi yang Asep dan Joko mengalami kesalahan persepsi efektif. Komunikasi bisa dikatakan efektif jika dalam komunikasi di atas, dan kedua kata apa yang dimaksudkan oleh komunikator kunci itu adalah kata “cokot dan atos” Bisa (penyampai pesan) sesuai dengan apa yang dibayangkan apa yang akan terjadi jika dipersepsikan oleh komunikan (pendengar). kedua orang tersebut tetap ngotot dengan Contoh sederhana adalah ketika seseorang ucapan dan persefsi masing-masing terhadap bernama Rudi mengatakan sapi, maka Jono kata itu. Dilihat dari persepsi masyarakat sebagai lawan bicaranya membayangkan Jawa barat, kata “cokot” bermakna ambil, seekor binatang yang mempunyai kaki empat, dan “atos” adalah sudah. Tetapi lain halnya mempunyai buntut dan lain sebagainya. Salah dengan persefsi warga Jawa Tengah atau Jawa satu cara yang bisa mengantarkan komunikator Timur kata “cokot” artinya gigit, dan “atos” dan komunikan bisa menjalin komunikasi yang artinya keras. Anda bisa rangkaikan kosa kata efektif adalah adanya persamaan makna/arti tersebut pada percakapan Asep dan Joko di terhadap kata yang dibicarakan makna/arti ini atas! Maka tidak heran jika keduanya tetap akan mudah dipahami jika ada saling mengerti pada pendirian masing-masing, selama salah bahasa yang digunakan. satu tidak ada yang menyadari bahwa ada
48
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pengawasan kesalahan dalam metode komunikasi yang dibangun, maka akan terjadi kesalahfahaman yang bisa berujung pada kekerasan fisik dan psikis. Auditor adalah seorang manusia yang ketika menjalankan tugasnya tidak lepas dari latar belakang suku, bahasa dan adat istiadat. Sebagai orang yang sering mendapatkan tugas keliling Indonesia dan sering berhadapan dengan berbagai individu yang berasal dari berbagai suku bahasa dan latar belakang, maka sudah seharusnya untuk menjalin interkasi yang lebih baik, serta bisa memudahkan pekerjaan yang diemban dan melancarkan tugas yang dilaksanakan, maka auditor bisa belajar menyesuaikan bahasa dengan bahasa setempat, atau jika tidka bisa maka dibutuhkan satu komitmen bersama antara auditor dan auditi untuk bersama-sama menggunakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Sangat susah dibayangkan jika dalam interaksi terjadi dua pola komunikasi yang terjadi. Misalkan seorang auditor yang berasal dari daerah Sumatera, akan mengalami kesulitan berkomunikasi jika dia sedang berada di Jakarta berbicara dengan warga Betawi (penduduk asli Jakarta) dan dia tetap menggunakan bahasa daerah Sumatera. Jika kendala tersebut tidak segera diatasi, maka selain mengalami kesulitan dan hambatan dalam berinteraksi, lama kelamaan akan menciftakan dinding tebal anatara dua individu tersebut yang bisa menimbulkan dugaan dan prasangka buruk serta saling curiga. Pada kenyataannya, fakta keseharian sering sekali ditemukan adanya pihak-pihak
yang tetap menggunakan bahasa daerah (ibu) digunakan diruang-ruang public. Penggunaan bahasa ibu ini tidaklah salah, tetapi perlu menyesuaikan tempatnya. Dilain sisi, tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan bahasa ibu dalam interaksi sehari-sehari membawa dampak positif dan negative. Postif jika di lakukan bersama-sama orang yang berasal dari satu daerah atau yang mengerti bahasa tersebut, tetapi akan menjadi masalah besar jika dilakukan dengan orang yang tidak faham. Penggunaan bahasa ibu dalam lingkup sehari-hari bisa dilihat dari berbagai motif, bisa karena unsur psikologis atau dari motif politik. Secara psikologis penggunaan bahasa yang sama akan mendekatkan hubungan personal antara komunikan dan komunikator. Sudah menjadi hal yang lazim, kecenderungan orang akan lebih nyaman jika berinteraksi dan berkomunikasi dengan yang berasal dari daerah yang sama dan menggunakan bahasa ibu. Dan secara politik, hal ini merujuk pada adanya keinginan untuk mendekatkan diri dengan seseorang yang hendak di dekati maka tidak heran jika orang tersebut berupaya untuk belajar memahami bahasanya. Contoh, seorang karyawan mempunyai bos yang berlainan bahasa daerah, didorong adanya keinginan untuk bisa lebih dekat dan akrab maka sang karyawan tersebut akan berupaya untuk belajar bahasa bosnya agar bisa menyesuaiakan diri atau mencari perhatian. Dengan mencoba menerapkan tiga hal di atas, maka insya Allah berdasarkan keyakinan penulis, siapapun auditornya tidak akan kesulitan dalam menjalankan tugas auditnya dimanapun berada. [Miftahul Huda] Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
49
Pengawasan Napak Tilas Sejarah Kelahiran Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Oleh: Moh. Anshari
Silaturrahim Irjen Lintas Periode, Halal bi Halal dan Lepas Sambut Irjen Kemenag Dr. H. Mundzier Suparta, MA. - Dr. H. Moch. Jasin, MM.
K
apan hari lahir Inspektorat Jenderal Kementerian Agama? Tak mudah untuk menjawab pertanyaan ini, dan hingga kini belum ada jawaban yang pasti dan bersifat resmi. Mesti diakui, hari jadi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama -selanjutnya disingkat Itjen Kemenagmemang masih menjadi teka-teki dan misteri tersendiri. Sebab, belum ada rujukan dan referensi sejarah maupun keputusan resmi Kementerian Agama yang menyebut hari lahir Itjen Kemenag. Dalam naskah profil sejarah Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yang ada, tidak ada penjelasan detail kapan lahirnya Itjen Kemenag dan bagaimana
50
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
sejarah perjalanannya dari periode awal berdiri sampai periode terkini. Rupanya, catatan sejarah itu agak terlupakan selama ini, dan kelak bisa menjadi ironi sejarah bagi generasi-generasi berikutnya. Padahal, Inspektorat Jenderal di beberapa kementerian sejak lama sudah menetapkan secara resmi hari lahir Itjen, meski tidak semua kementerian menetapkannya. Sebut saja, misalnya, Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian yang menetapkan tanggal 31 Mei sebagai hari berdirinya Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian. Pasalnya pada 31 Mei 1967, Menteri Pertanian
Pengawasan saat itu menetapkan susunan organisasi, bidang tugas dan tata kerja Inspektorat Jenderal Departemen Pertanian. Untuk mengabadikan momentum yang sangat bersejarah itu, tanggal 31 Mei 1967 diperingati sebagai hari berdirinya Inspektorat Jenderal Departemen Pertanian. (Lihat: http://itjen. deptan.go.id, Sejarah Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian). Sementara, 21 September 1966 diperingati sebagai hari lahir Inspektorat Jenderal delapan departemen (baca: kementerian), salah satunya Departemen Keuangan. Karena pada waktu tersebut dibentuk Inspektorat Jenderal di delapan departemen, termasuk Departemen Keuangan. Departemen Keuangan sendiri pada waktu itu mengangkat H.A.Pandelaki sebagai Pejabat Inspektur Jenderal Departemen Keuangan yang pertama. (Lihat: Vanina Rosa M : 2009). Urgensi Memahami Sejarah Pentingkah mengulas sejarah kelahiran Itjen Kemenag? Bagi sebagian kalangan, barangkali kajian historis tersebut dipandang sepele, hal remeh-temeh dan bukan perkara penting. Namun, bagi penulis, membuka tabir sejarah ini menarik untuk diangkat, dengan berbagai alasan. Pertama, mengetahui awal berdirinya Itjen bisa menjadi medium reflektif yang bisa mengingatkan kita ihwal capaian dan perjalanan organisasi dari waktu ke waktu, pasang surut dan dinamika yang melingkupi sejarah perjalanan Itjen dari babak periode tertentu ke babak periode berikutnya. Kedua, dalam konteks Itjen Kemenag, momentum pergantian pucuk pimpinan lembaga penjamin mutu Kementerian Agama tersebut pada awal
Agustus 2012 lalu seolah membuka cakrawala yang membawa penulis untuk memikirkan bagaimana siklus perubahan yang terjadi di Itjen dari waktu ke waktu. Lebih dari sekadar seremoni belaka, pergantian pimpinan Itjen tersebut mesti dijadikan sebagai wahana untuk merefleksikan kembali gerak perubahan tentang masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang di Itjen. Dengan mengetahui sejarah, kita bisa memaknai apa arti perjuangan dan pengorbanan. Intinya, sejarah adalah ibrah (pelajaran) yang sangat penting bagi gerak sebuah perubahan. Sehingga tidak heran kalau Bapak Proklamator RI, Bung Karno, selalu menggemakan pekik “Jasmerah” (jangan lupakan sejarah). Sementara, menurut Bapak Proklamator RI lainnya, Bung Hatta, bahwa manusia pada hakekatnya ingin mengetahui sejarah hidupnya. Dalam pikirannya, zaman sekarang adalah buah dari masa lalu, kemudian masa sekarang itu menentukan pula bentuk zaman yang akan datang. (Muhammad Hatta: 1957). Tidak ada hari esok tanpa melalui hari ini dan tidak ada hari ini tanpa hari kemarin. Demikian pula, apa yang dapat diraih dan dilalui oleh kita sekarang ini merupakan hasil dari hari yang telah lalu pula. Maka apa yang kita perbuat hari ini, kita akan memetik hasilnya di masa yang akan datang. Seorang filsuf asal Spanyol, George Santayana, mengatakan, mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya. Negarawan dari Inggris Raya, Winston Churchill, menegaskan bahwa satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya. Sehingga menurut Churchill Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
51
Pengawasan yang juga mantan jurnalis dan seorang penulis memoir yang berpengaruh ini, sejarah akan baik kepada penulis sejarah manakala ia menulisnya. Harlah Itjen Kemenag 5 Agustus 1967? Melacak jejak-jejak historis untuk mengetahui kapan persisnya hari lahir (harlah) Itjen Kemenag tidak terlalu mudah. Penelusuran sekilas yang dilakukan penulis dalam mencari sumber referensi terpercaya maupun dokumen resmi tentang waktu persisnya kelahiran Itjen Kemenag agak mengalami kesulitan. Hanya ada beberapa sumber referensi yang menyinggung sejarah Itjen Kemenag, namun tingkat otentisitasnya belum diuji. Misalnya, sumber website resmi Itjen Kemenag yang sekilas mengulas sejarah singkat kelahiran Kemenag. Dalam website tersebut pada rubrik “Tentang Kami” dengan konten “Sejarah” hanya disebutkan bahwa nama atau nomenklatur “Inspektorat” pertama kali terdapat dalam KMA Nomor 56 Tahun 1967 tentang Perincian Struktur Organisasi, Tugas, dan Wewenang Departemen Agama. (Lihat: http://itjen. kemenag.go.id.). Tak ada penjelasan kapan Itjen Kemenag lahir dan kapan mulai ada, setidaknya menyebutkan kapan tanggal dan bulan KMA yang menyebut pertama kali nomenklatur Inspektorat itu diterbitkan. Memang, secara umum, referensi yang menulis secara lengkap dan komprehensif tentang kesejarahan Kementerian Agama terbilang langka. Demikian pula studi akademik tentang kesejarahan Kementerian Agama yang ada selama ini belum paripurna, sehingga catatan sejarah masih terserak dan parsial. 52
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Hanya ada profil-profil singkat yang kurang mendetail, termasuk segenap profil yang ditampilkan dalam website beberapa satuan kerja Kementerian Agama, baik di pusat maupun di daerah. Namun, di tengah keterbatasan referensi itu, sebuah catatan sejarah dan profil Kementerian Agama yang lumayan detail tertera di website resmi Kantor Wilayah Kementerian Agama Profinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari catatan profil di dalamnya dapat ditelisik bahwa ternyata hari lahir Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yaitu pada tanggal 5 Agustus 1967. Hal ini mengacu pada tanggal lahirnya Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 56 Tahun 1967 yang diterbitkan pada tanggal 5 Agustus 1967. KMA tersebut mengatur tentang Perincian Struktur Organisasi, Tugas, dan Wewenang Departemen Agama (Pusat). Tentu sangat tepat jika Kementerian Agama menjadikan momentum bersejarah tersebut sebagai tonggak awal berdirinya Itjen Kementerian Agama, atau disebut sebagai hari lahir (harlah) Itjen Kementerian Agama. Sebagaimana disebutkan di awal bahwa kali pertama penyebutan nama dan nomenklatur “Inspektorat” yaitu terdapat dalam KMA nomor 56 tahun 1967. Di situ disebutkan bahwa susunan organisasi Kementerian Agama (saat itu disebut Departemen Agama) di pusat terdiri dari tiga unsur: Unsur Pimpinan, Unsur Pembantu Pimpinan, dan Unsur Pelaksana. Inspektorat masuk dalam unsur pelaksana, dengan nama Inspektorat Pengawasan Keuangan. Dalam perjalanannya, keberadaan Itjen dalam struktur Kementerian Agama mengalami
Pengawasan berbagai perubahan. Hingga akhirnya, pada tahun 2001, tepatnya tanggal 03 Januari 2001 bertepatan dengan HAB Kementerian Agama ke-55, ditetapkan KMA Nomor 1 Tahun 2001, tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama sebagai pengganti struktur lama berdasarkan KMA Nomor 18 Tahun 1975 yang telah beberapa kali disempurnakan. Dalam KMA Nomor 1 Tahun 2001 tersebut, susunan organisasi Kementerian Agama Pusat terdiri dari: Menteri, Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji dengan 5 Direktorat dan 1 Sekretariat, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam dengan 4 Direktorat 1 Sekretariat, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen dengan 1 Direktorat dan 1 Sekretariat, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik dengan 1 Direktorat dan 1 Sekretariat, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha dengan 2 Direktorat dan 1 Sekretariat, Badan Penelitian Pengembangan Agama dan Pendidikan Pelatihan Keagamaan dengan 5 Pusat dan 1 Sekretariat, serta Inspektorat Jenderal dengan 5 Inspektur Regional dan 1 Sekretariat. Dalam perkembangan terakhir, berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI nomor 3 tahun 2006, struktur organisasi Kementerian Agama mengatur bahwa Inspektorat Jenderal membawahi 5 Inspektur Wilayah dan 1 Sekretariat, yaitu meliputi: Inspektur Wilayah I, Inspektur Wilayah II, Inspektur Wilayah III, Inspektur Wilayah IV, Inspektur Wilayah V (yang kemudian berubah
menjadi Inspektur Investigasi) dan Sekretaris Inspektorat Jenderal. Dari sekian babak sejarah perjalanan itu, Itjen Kementerian Agama mengalami dinamika dan pasang surut, terutama dalam perannya menjadi bagian dari manajemen pengawasan keuangan negara. Dalam masingmasing periode kepemimpinan Itjen Kemenag ada berbagai capaian yang berhasil ditorehkan oleh Irjen dari satu periode tertentu ke periode berikutnya. Tentu ada karakteristik kepemimpinan yang berbeda-beda dari masing-masing Irjen. Di sini tak mungkin dihadirkan satu per-satu prestasi kinerja terbaik yang pernah ditorehkan oleh masingmasing Irjen. Namun, secara umum, capaian prestasi yang layak diapresiasi yaitu prestasi Kementerian Agama yang berhasil menyabet opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-DPP) dalam Laporan Keuangan tahun 2011 yang lalu. Meski demikian, capaian ini justru menghadapi tantangan berat tatkala Kementerian Agama akhir-akhir ini didera berbagai kasus dugaan korupsi. Ini tentu menjadi tantangan terberat bagi Itjen Kementerian Agama untuk membersihkan satuan-satuan kerja Kemenag dari limbah korupsi. Di era Irjen Kemenag yang baru, Bapak Mochammad Jasin yang kepemimpinannya masih dalam suasana “bulan madu”, kiranya kita patut untuk melakukan refleksi sejarah perjalanan Itjen di masa lalu, untuk menatap kiprah dan kinerja Itjen pada hari ini dan esok yang lebih cerah. [Moh. Anshari]
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
53
Pengawasan Peran Diklat sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Aparatur Negara Oleh: Siti Marwati
S
Penyerahan Penghargaan Kepada Peserta K2TLHP di Palembang Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
ejalan dengan tuntutan nasional Menciptakan aparatur yang mampu berperan d a n ta nta n ga n g l o b a l , u nt u k sebagai pembaharu dan perekat persatuan mewujudkan kepemerintahan yang dan kesatuan bangsa; Memantapkan sikap dan baik diperlukan sumber daya manusia semangat pengabdian yang berorientasi pada aparatur yang memiliki kompetensi dalam pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan. masyarakat; Menciptakan kesamaan visi dan Untuk menciptakan SDM yang memiliki dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas kompetensi tersebut diperlukan peningkatan pemerintahan umum dan pembangunan demi pengetahuan, keterampilan, dan sikap terwujudnya kepemerintahan yang baik. mental yang baik untuk pengabdian dan Dari uraian tersebut jelas bahwa kesetiaan pada perjuangan bangsa dan terwujudnya kepemerintahan yang baik negara. Maka tujuan diklat aparatur sering merupakan tujuan akhir dari diklat aparatur. diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan, Sebab perlu disadari semua pihak bahwa keahlian, keterampilan, dan sikap untuk aspek SDM aparatur merupakan salah satu dapat melaksanakan tugas jabatan secara masalah yang terus berkembang dalam tata profesional dengan dilandasi kepribadian dan kelola organisasi. Ada tiga pilar pokok yang etika PNS sesuai dengan kebutuhan publik; mendukung kemampuan suatu bangsa dalam
54
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pengawasan melaksanakan good governance, antara yang menandai good governance secara lain: pemerintah (the state), civil society universal antara lain adalah “kepastian hukum, (masyarakat madani, masyarakat sipil), dan transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan akuntabilitas, yang dalam konteks nasional pemerintahan yang baik dan bertanggung perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip jawab baru tercapai bila dalam penerapan “daya guna, hasil guna, bersih, desentralisasi, otoritas politik, ekonomi dan administrasi kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya memiliki jaringan dan interaksi yang setara saing”. dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti Banyak orang ketika mendengarkan kata itu biasanya baru dapat berkembang subur PNS (Pegawai Negeri Sipil) mengasosiasikan bila ada kepercayaan, transparansi, partisipasi, pikirannya kepada sosok yang memberikan serta tata aturan yang jelas dan pasti. Good pelayanan yang buruk, tidak ramah dan governance yang sehat juga akan berkembang responsif, tidak transparan, dan korupsi. sehat di bawah kepemimpinan yang berwibawa Dengan kondisi seperti ini sepertinya mustahil dan memiliki visi yang jelas. mengharapkan PNS menerapkan prinsip Dalam kondisi seperti sekarang, prinsip pemerintahan yang baik (good pemerintah yang selama ini mendapat tempat governance) yang mengharuskan mereka yang dominan dalam penyelenggaraan untuk transparan, akuntabel, responsif otoritas politik, ekonomi dan administrasi, kepada masyarakat yang dilayani. Dan sukar diharapkan secara sadar dan sukarela dengan kondisi seperti tersebut, reformasi akan berubah dan menjelma menjadi bagian birokrasi termasuk manajemen kepegawaian yang efektif dari good governance Indonesia. sudah seharusnya menjadi agenda nasional Karena itu pembangunan good governance yang penting, kritis dan strategik. Sayangnya dalam menuju Indonesia Masa Depan harus reformasi yang terjadi hampir sepuluh tahun dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar terakhir didominasi oleh reformasi di bidang birokrasi atau pemerintah, yakni melalui politik dan sepertinya mengabaikan reformasi pemberdayaan civil society dan dunia usaha birokrasi/kepegawaian. untuk memperbesar partisipasi warganegara Sebagai contoh yaitu pengangkatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. honorer menjadi PNS hingga tahun 2010 Adapun nilain-nilai dan prinsip dasar yang kemarin juga dikritik oleh berbagai kalangan, menandai civil society, antara lain adalah dianggap sebagai kebijakan populer bernuansa “Ketuhanan, kemerdekaan, etika, hak asasi politik. Pengangkatan pegawai honorer ini dan martabat manusia, supremasi hukum, juga bertentangan dengan kebijakan zero kebangsaan, demokrasi, sistem checks and growth dan di banyak daerah kebijakan ini balances, kemajemukan, perbedaan pendapat, bahkan lebih KKN dibandingkan pengangkatan kebersamaan, persatuan dan kesatuan, PNS dari pelamar umum. Selain rekruitmen, kemitraan, kesejahteraan bersama, dan promosi, dan kenaikan pangkat PNS saat ini keadilan”. Sedangkan nilai dan prinsip dasar juga masih belum didasarkan pada kinerja Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
55
Pengawasan (performance). Promosi yang seharusnya berdasarkan senioritas dan kinerja rawan dimanipulasi karena pangkat minimal yang digunakan sebagai ukuran senioritas dapat dipenuhi oleh banyak PNS sedangkan instrumen penilaian kinerja (DP-3) sangat tidak memadai. Akibatnya promosi PNS di daerah sangat didominasi oleh keinginan pejabat pembina kepegawaian. Promosi menjadi sangat politis, KKN dan merebaknya isu putra daerah. Hal ini menyebabkan PNS menjadi mementingkan diri sendiri karena tidak ada jaminan kinerja yang baik akan berdampak positif pada karier mereka. Belum lagi pada aspek mutasi dan transfer pegawai antar daerah saat ini juga semakin sulit. Selain adanya tumpang tindih kewenangan di antara instansi pemerintah pusat, prosedur dan mekanisme transfer pegawai juga tidak begitu jelas. Permasalahan juga masih ditemui dalam hubungannya dengan pelatihan dan pengembangan pegawai yang belum berdasarkan kebutuhan. Pensiun sebagai siklus akhir karier seorang PNS juga bukan hal yang dinantikan oleh banyak PNS. Malahan sebaliknya, banyak PNS yang berusaha untuk memperpanjang usia pensiun karena paket pensiun saat ini sangat tidak memadai. Usia pensiun yang “dapat diperpanjang” diinterpretasikan berbedabeda dan banyak dipolitisasi dan syarat KKN di banyak daerah. Dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa manajemen SDM Aparatur yang modern belum dilaksanakan di Indonesia. Banyak aturan dan kebijakan yang sudah kadaluwarsa dan reformasi manajemen kepegawaian yang sistematis belum nampak.
56
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Belum terlihat visi, keinginan politik, dan kemampuan teknis untuk melaksanakan reformasi birokrasi. Dengan kondisi seperti ini reformasi birokrasi termasuk manajemen SDM Aparatur adalah prasyarat untuk bisa mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia. Dasar pelaksanaan pembinaan S D M A p a ra t u r m e n ga c u p a d a t u ga s pokok pemerintah yakni penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat; dengan mewujudkan ke arah pemerintahan yang baik (good governance) dan/atau clean governance serta menciptakan sumber daya manusia aparatur yang berkualitas dan profesional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk membentuk sosok PNS yang memiliki kompetensi, profesional, berbudi pekerti luhur, berdaya guna, berhasil guna, sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara, abdi masyarakat dan abdi negara diperlukan diklat yang mengarah pada: Peningkatan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa, negara, dan tanah air; Peningkatan kompetensi teknis, manajerial, dan/atau kepemimpinannya; serta peningkatan semangat kerja sama dan tanggung jawab sesuai dengan lingkungan kerja dan organisasinya. Untuk mencapai ketiga fokus tersebut di atas, maka peran diklat sangat penting. Diklat merupakan salah satu usaha meningkatan kompetensi SDM yang sangat efektif. Diklat memegang peranan penting serta memiliki kontribusi besar dalam mempersiapkan aparatur yang profesional di bidangnya,
Pengawasan
Pengurus Persatuan Dharma Wanita Itjen Kemenag
memiliki etos kerja tinggi serta menjunjung tinggi etika dan moral baik pada tataran teoritis maupun praktis. Dalam konteksnya dengan Kementerian Agama, maka diklat sebagaimana diatur dalam KMA No. 1 Tahun 2003, adalah penyelenggaraan proses belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kompetensi pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Agama. Sejalan dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang diterapkan dalam pelayanan administrasi keagamaan serta tuntutan pelayanan publik yang semakin maju, maka aparatur Kementerian Agama harus senantiasa tanggap terhadap perkembangan serta tuntutan tersebut dengan cara meningkatkan kompetensinya. Diklat PNS terdiri dari 2 jenis yakni, Diklat Prajabatan dan Diklat dalam Jabatan. Diklat prajabatan merupakan diklat yang dipersyaratkan dalam pengangkatan CPNS menjadi PNS . Setiap CPNS untuk dapat diangkat menjadi PNS wajib mengikuti dan
lulus diklat prajabatan . CPNS wajib diikut sertakan dalam diklat prajabatan selambat lambatnya 2 tahun setelah pengangkatannya sebagai CPNS. Sedangkan Diklat dalam Jabatan dibagi menjadi 3 jenis diklat yakni, Diklat Kepemimpinan, Diklat Teknis, dan Diklat Fungsional. Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan atau disingkat Diklatpim dilaksanakan untuk mencapai persyaratan ko m p e te n s i ke p e m i m p i n a n a p a rat u r pemerintah yang sesuai dengan jenjang jabatan struktural yang diemban. Diklat Teknis merupakan diklat yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas PNS Kompetensi teknis yang dimaksud adalah kemampuan PNS dalam bidang-bidang teknis tertentu untuk pelaksanaan tugas masing-masing. Diklat Fungsional merupakan diklat yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang jabatan fungsional masingmasing. Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
57
Pengawasan Kita sering mendengar istilah diklat JFA (Jabatan Fungsional Auditor), diklat ini termasuk dalam diklat dalam jabatan. Dalam diklat ini meliputi auditor/calon auditor di lingkungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen, Bawasda/Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota, dan para Aparat Pengawasan pada Lembaga Pemerintah Non Departemen(LPND), sehingga mampu melakukan tugas di bidang pengawasan secara profesional. Melalui diklat JFA (Jabatan Fungsional Auditor) inilah para calon auditor dan yang sudah menjadi auditor akan digodok agar menjadi auditor yang tangguh. Dengan diklat ini calon auditor dan auditor diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme pelaksanaan tugas pengawasan atas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar terlaksana secara efesien dan efektif serta sesuai dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan jenis diklat lainnya yang dinahkodai oleh Badan Diklat dan Pengembangan setiap Kementerian/Daerah, khusus Diklat JFA ini di bawah naungan Pusdiklatwas BPKP. Diklat merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi. Dengan sifatnya yang fleksibel dan dinamis diklat diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi para pegawai dalam bentuk peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tergambar pada kemampuannya menerapkan metode, teknik, prosedur, alat-alat, serta aplikasi terbaru dalam rangka menyelesaikan tugas-tugasnya 58
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
di bidang pemerintahan dan pembangunan. Mengingat demikian pentingnya peran Diklat bagi peningkatan kualitas pegawai, maka pihak manajemen Kementerian Agama telah meletakkan secara proporsional fungsi kediklatan melalui pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada unit diklat untuk menyelenggarakan dan mengembangkan program diklat bagi pegawai Kementerian Agama, yang secara jelas diatur dalam PMA Nomor 3 Tahun 2006 yang kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan teknis Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tentang kediklatan. Penetapan fungsionalisasi kediklatan sebagaimana dimaksud, tentunya menjadikan peluang sekaligus tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh unit diklat dalam rangka mengemban tugas-tugas pengembangan dan peningkatan kualitas aparatur Kementerian Agama. Dengan demikian, lembaga diklat sebagai lembaga yang diberi tugas untuk membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan baik teknis, fungsional, maupun manajerial (struktural) bagi SDM Aparatur, harus dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan berbagai diklat yang mengarah pada terwujudnya konsep good governance. Oleh karena itu, lembaga diklat harus mampu mendesain dan sekaligus meng-update berbagai kurikulum agar relevan dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pengelolaan good governance, sehingga SDM Aparatur memiliki kompetensi yang mampu bersaing di dunia internasional. [Siti Marwati]
Opini Efektivitas Pengawasan Telaah atas Peran Pengawasan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Oleh: Ali Saban
Pembinaan bagi Pejabat dan Auditor Di Lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
P
e ra t u ra n P r e s i d e n R e p u b l i k Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Pasal 492 menyatakan bahwa Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Agama. Dalam melaksanakan tugas, Inspektorat Jenderal menyelenggarakan fungsi: penyiapan perumusan kebijakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Agama; pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Agama terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya; pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas
penugasan Menteri Agama; penyusunan laporan hasil pengawasan di lingkungan Kementerian Agama; dan pelaksanaan administrasi Inspektorat Jenderal. Selaras dengan Perpres tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) pada bagian Kedua tentang Pengawasan Intern atas Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Instansi Pemerintah, Pasal 48 menyatakan bahwa Pengawasan intern dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Aparat pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui: audit; reviu; evaluasi; pemantauan; dan kegiatan pengawasan lainnya.
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
59
Opini Inspektorat Jenderal secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tulisan berikut akan membahas dan mengupas seberapa jauh efektifitas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama terhadap satuan kerja/satuan organisasi (satker/sator) yang ada di lingkungan Kementerian Agama. Sumber utama tulisan ini berasal dari makalah Penelitian Efektivitas Pengawasan Fungsional Bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama yang disampaikan oleh Prof. DR. Machasin, MA, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, pada Pertemuan Konsultasi Koordinator Tindak Lanjut Hasil Pengawasan di lingkungan Kementerian Agama Tahun 2012 di Palembang. Kementerian Agama telah menetapkan hasil jangka menengah
yang diharapkan akan dicapai dengan adanya pengawasan dan peningkatan akuntabilitas kinerja aparatur Kemenag yaitu: Pertama, meningkatnya ketaatan aparatur Kementerian Agama terhadap peraturan perundangundangan, yang diukur melalui penurunan tingkat pelanggaran dan penyimpangan. Tingkat pelanggaran dan penyimpangan tahun 2014 diharapkan hanya sebesar 5%. Kedua, meningkatnya mutu kinerja aparatur dan satuan organisasi/satuan kerja (Sator/ Satker) Kementerian Agama yang ditandai dengan peningkatan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Tingkat mutu kinerja aparatur dan Sator/Satker Kementerian Agama ditargetkan sebesar 75% pada tahun 2010 dan diharapkan akan meningkat menjadi 90% pada tahun 2014. Ketiga, meningkatnya akuntabilitas kinerja Sator/Satker Kementerian Agama, yang diukur melalui penerapan 3 asas akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dengan target capaian kinerja sebesar 75% tahun 2010 menjadi 95% pada tahun 2014.
Para Pejabat dan Pegawai Kanwil Kemenag NTB Sedang Menerima Arahan dan Pembinaan dari Irjen Kemenag - Dr. H. Moch. Jasin, MM. 60
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Opini Ada beberapa masalah yang menjadi bahan pertanyaan dalam penelitian sebagai berikut yaitu: Sejauhmana tingkat efektivitas pengawasan fungsional yang dilakukan Itjen berdasarkan persepsi aparatur Kemenag? Seberapa baik budaya kerja organisasi Kemenag, tingkat efektifitas kepemimpinan serta tingkat motivasi kerja aparatur Kementerian Agama? Sejauhmana tingkat kinerja aparatur Kemenag selama ini? Seberapa besar pengaruh pengawasan fungsional, budaya kerja organisasi, kepemimpinan serta motivasi kerja terhadap peningkatan kinerja aparatur Kementerian Agama? Penelitian yang dilaksanakan oleh Balitbang Diklat Kementerian agama bertujuan untuk membuktikan secara empiris beberapa hal terkait dengan pelaksanaan pengawasan yang dilaksanakan oleh Itjen Kemenag. diantara tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui tingkat efektifitas pengawasan fungsional yang dilakukan Inspektorat Jenderal dimata aparatur Kementerian Agama; mengetahui tingkat budaya kerja organisasi, tingkat efektifitas kepemimpinan serta tingkat motivasi kerja aparatur Kementerian Agama; mengetahui sejauh mana tingkat kinerja aparatur Kementerian Agama? dan Pengaruh faktor pengawasan fungsional, budaya kerja organisasi, kepemimpinan serta motivasi kerja terhadap kinerja aparatur Kementerian Agama. Populasi yang diambil dalam penelitian ini meliputi seluruh Pegawai Kemenag di bagian keuangan dan BMN. sedangkan pengambilan sampel ditentukan secara purposive di 17 Provinsi dan Pusat, di mana masing-masing provinsi diambil sampel 35 responden dan untuk pegawai pusat
sebesar 100 responden. Penggunaan validitas untuk menunjukkan sejauh mana skor atau ukuran yang diperoleh benar-benar menyatakan hasil pengukuran yang ingin diukur. Metode uji validitas yang dilakukan dalam peelitian ini adalah validitas isi (content validity) dan validitas konstrak (construct validity). Validitas isi dilakukan dengan mengonsultasikan butir-butir pertanyaan/instrumen yang telah disusun kepada para ahli. Validitas konstrak digunakan untuk menguji apakah instrumeninstrumen mengukur aspek yang sama untuk konstrak tertentu. Temuan-temuan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Balitbang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Indeks masing-masing variabel. Secara keseluruhan indeks profesionalisme auditor mencapai 75,90 (dalam skala 100) yaitu mempunyai rentang kualitas “baik”. Pegawai keuangan/BMN memberikan persepsi baik terhadap apa yang telah dilakukan auditor dalam proses audit, pendampingan dan pembinaan. Kinerja Inspektorat Jenderal juga dinilai tidak jauh berbeda dengan kinerja auditor. Secara keseluruhan satuan kerja memberikan skor penilaian dalam indeks sebesar 77,34 dengan kualitas “baik”. Indeks kepemimpinan dinilai paling positif diantara variabel penelitian lainnya yang mencapai skor 78,78. Budaya organisasi tempat dimana pegawai bekerja juga dinilai baik oleh pegawai. Indeks budaya organisasi terhitung 74,61. Indeks motivasi pegawai berada dalam rentang kualitas baik yaitu 71,80 meskipun mempunyai skor yang paling rendah dibandingkan variabel lainnya. Sedangkan Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
61
Opini indeks kinerja pegawai sendiri dinilai berada dalam rentang kualitas baik yang mencapai 76,91. Kedua, Profesionalisme Auditor. Secara keseluruhan rata-rata skor indeks profesionalisme auditor adalah 75,9 berada dalam kualitas baik. Indikator “kesungguhan dalam mengaudit” dinilai paling positif oleh satuan kerja dimana mencapai skor 78,7. Lima indikator lainnya mempunyai rata-rata skor lebih dari rata-rata skor keseluruhan. Kelima indikator tersebut adalah transparan dalam audit (76,5), ketelitian dalam audit (76,8), ketegasan dalam bersikap (76,3), komunikatif (77,6) serta kritis dalam data/ barang bukti (77,1). Kelima indikator beserta indikator kesungguhan dinilai sebagai indikator prestasi. Satuan kerja menempatkan ke-6 indikator tersebut sebagai indikator yang paling baik menggambarkan profesionalisme kinerja auditor Inspektorat Jenderal kementerian Agama. Ke-4 indikator lainnya berada dalam rentang kualitas “baik” meskipun demikian nilai rata-rata skor berada di bawah ratarata skor secara keseluruhan. Indikator tersebut mempunya rata-rata skor sebagai berikut: “tingkat pengetahuan auditor (73,8), independen (74,5), sistematis /terstruktur dalam audit (72,9) serta objektif dalam memberikan penilaian atau keputusan (74,6)”. Pegawai keuangan/BMN memberikan perhatian atas ke-4 indikator tersebut untuk ditingkatkan kompetensinya. Ketiga, Kinerja Inspektorat Jenderal. Secara keseluruhan indeks kinerja Inspektorat Jenderal dalam memberikan pelayanan, bimbingan, arahan serta pengawasan dalam 62
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
kinerja keuangan/BMN dinilai baik oleh satuan kerja, yakni pada level 77,34 skala 100. Ada 86% satuan kerja dari total 695 pegawai menilai bahwa Inspektorat Jenderal adalah bagian penting dalam suatu organisasi pemerintahan pada indeks 80,9 pegawai menyatakan bahwa Inspektorat jenderal memiliki peran strategis dalam meningkatkan kinerja. Meskipun demikian kinerja Inspektorat Jenderal terkait konsistensi pengawasan menuju good governance hanya dinilai baik pada indeks 75,6. Keempat, Kepuasan Kerja terhadap Inspektorat Jenderal. Tingkat kepuasan satuan kerja menyatakan seberapa besar kepuasan yang merasa rasakan dari pelayanan yang diberikan Inspektorat Jenderal secara keseluruhan baik pelayanan langsung yang dilakukan oleh auditor dalam proses audit, pendampingan tau pembinaan maupun pelayanan langsung dari kinerja Inspektorat Jenderal itu sendiri. Secara keseluruhan ada 412 (60%) pegawai keungan/BMN menyatakan “puas” atas pelayanan Inspektorat Jenderal dan masih ada proporsi yang cukup besar yaitu sekitar 214 (31%) nya menyatakan “agak puas” dan sisanya ada 63 (9%) yang menyatakan tidak puas. Kelima, Kepuasan Per-satuan kerja. Distribusi tingkat kepuasan satuan kerja dapat dilihat dalam grafik di atas menurut satuan kerja. Survei menunjukan bahwa hanya 30% pegawai Kantor Pusat menyatakan puas atas pelayanan keseluruhan Inspektorat Jenderal dan ada 48% menyatakan “agak puas” serta sisanya ada 22% menyatakan “tidak puas”. Proporh, terbesar kedua yang menyatakan
Opini “agak puas” dan “tidak puas” adalah pegawai Kantor Wilayah yang tercatat ada 34% pegawai menyatakan “agak puas” dan 14% pegawai memberi respon “tidak puas”. Pegawai Madrasah, Kankemenag, Perguruan Tinggi serta BDK/BLA menyatakan tingkat kepuasan “puas” di atas 60%.
“auditor” tidak mudah dipahami, dan bahkan beberapa saran dan rekomendasi, terutama yang menyangkut penindakan kadang datang terlambat. Pengawasan akan memiliki pengaruh yang lebih kuat, apabila didorong oleh budaya kerja dan kepemimpinan. Dengan cara yang sama, pengawasan harus mendorong budaya Penutup kerja dan kepemimpinan untuk menuju kinerja Dalam instrumen penelitian terhadap pegawai. peran pengawasan yang dilakukan oleh Itjen Untuk lebih meningkatan juga dilakukan melalui pertanyaan terbuka profesionalisme auditor, maka perlu upaya terhadap responden. Responden diminta peningkatan dalam beberapa hal yaitu: (a) menulis beberapa saran yang mungkin pengetahuan auditor, (b) independensi dapat dilakukan untuk meningkatkan auditor, (c) audit yang sistematis/terstruktur, kinerja pengawasan yang dilakukan oleh serta (d) bersikap objektif dalam memberikan Itjen. Beberapa saran yang disampaikan penilaian, karena berdasarkan hasil penelitian oleh responden antara lain adalah: 1) 4 hal tersebut berada dibawah rata-rata skor Persoalan waktu. Tidak sedikit reponden secara keseluruhan. Skor tingkat pengetahuan yang mengeluhkan “lamanya” pemeriksaan auditor (73,8), independen (74,5), sistematis/ dalam satu hari, dan bahkan terkadang terstruktur dalam audit (72,9) serta objektif hingga larut malam; 2) Berkaitan dengan dalam memberikan penilaian atau keputusan perencanaan. Auditi merasakan, ketika (74,6). auditor datang melakukan pengawasan/ Ada dua hal yang perlu mendapat pembimbingan seringkali meminta data tidak perhatian dari budaya organisasi yaitu secara terstruktur. Akibatnya penyediaan data orientasi pada SDM dan orientasi tim, karena sering mengalami kewalahan; 3) Pembakuan berdasarkan hasil penelitian 2 hal tersebut laporan. Tidak sedikit auditi yang mengeluhkan berada dibawah rata-rata skor secara tidak adanya laporan yang baku, sehingga keseluruhan. Untuk orientasi pada SDM (69.0) dalam kurun waktu tertentu sering mengalami dan orientasi tim (71.9). perubahan; 4) Peningkatan kemampuan. Pengawasan harus mampu mendorong Auditi sering menemukan auditor yang tidak munculnya budaya kerja yang kondusif serta menguasai permasalahan; 5) Pembinaan kepemimpinan yang dapat memotivasi kinerja satker, hendaknya dilakukan sampai ke pegawai, hal demikian akan lebih memiliki pelosok. 6) Sosialisasi terhadap peraturan pengaruh yang lebih kuat bagi peningkatan dan perundang-undangan yang baru; dan kinerja karyawan di masa yang akan datang. 6) Ada kesepahaman bahasa dan rentang Semoga bermanfaat. Amin. [Ali Saban] waktu dalam temuan. Seringkali bahasa Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
63
Opini Optimalisasi Audit Kinerja untuk Menjaga Komitmen dan Integritas Aparatur di Lingkungan Kementerian Agama Oleh: Shaleh
F
Irjen Kemenag (Dr. H. Moch Jasin, MM.) didampingi Irwil II (Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, M.Si.) Sedang Memberikan Arahan dan Pembinaan Kepada Para Auditor Itjen Kemenag
o k u s I n s p e k t o r a t J e n d e r a l program-program yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama di akhir tahun kementerian/lembaga pemerintah mampu 2012 adalah pelaksanaan Audit memberikan dampak terhadap kesejahteraan Kinerja dan Audit Dengan Tujuan masyarakat. Inilah alasan mengapa diperlukan Tertentu (ADTT). Penekanan audit kinerja ini perluasan tujuan dan jenis audit dari audit adalah 3E (Ekonomis, Efisiensi ,dan Efektivitas). bidang menjadi audit kinerja (perfomance Pertanyaannya adalah kontribusi apa yang audit). dapat diberikan oleh audit kinerja untuk mendongkrak mutu pelayanan kementerian Gambaran tentang Audit Kinerja agama yang saat ini sedang berbenah? Secara umum audit kinerja dapat di Saat ini publik semakin kritis dan definisikan sebagai audit yang dilakukan secara menuntut pengelolaan kementerian/lembaga objektif dan sistematis terhadap berbagai yang transparan dan akuntabel. Sebagai macam bukti untuk menilai kinerja entitas pemegang kedaulatan tertinggi di republik yang diaudit dalam hal ekonomi, efisiensi, dan ini, masyarakat berhak untuk mengetahui efektivitas, dengan tujuan untuk memperbaiki apakah program kementerian/lembaga dapat kinerja entitas yang diaudit dan meningkatkan dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip akuntabilitas publik. Sedangkan Audit Dengan ekonomis, efisiensi, dan efektifitas (spend less, Tujuan Tertentu adalah audit khusus, di spend well, dan spend wisely). Lebih lanjut, luar audit keuangan dan audit kinerja yang masyarakat juga berhak mengetahui apakah bertujuan untuk memberikan simpulan atas 64
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Opini hal yang diaudit. Audit dengan tujuan tertentu dapat bersifat menguji (examination), reviu (review), atau prosedur yang disepakati (agree-upon procedures). Audit dengan tujuan tertentu mencakup audit atas hal-hal lain di bidang keuangan, audit investigatif, dan audit atas sistem pengendalian internal. Komitmen dan Integritas Aparat S e b a ga i Pe ga wa i N e g e r i S i p i l , Aparat Kementerian Agama telah diambil komitmennya melalui sumpah/janji PNS dan atau sumpah/janji jabatan sebagaimana dijabarkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Ada 12 butir kewajiban dan 5 butir larangan bagi PNS yang harus dipegang teguh selama mengemban amanah tersebut. Ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan yang berlaku (terutama yang dijelaskan dalam Pasal 10 Ayat 2, 3, 4, 5, 7, 10, 12 dan 13) merupakan ukuran komitmen dan integritas PNS. Persoalannya adalah faktor manusiawi aparat yang mempunyai kekurangan selain berbagai kelebihannya. Ia dapat larut oleh berbagai godaan, kekhilafan dan kealphaan. Pertanyaannya adalah apakah Audit kinerja sebagai salah satu sub Sistem Pengendalian Internal dapat memerankan fungsi untuk menjaga kealpaan aparat terhadap pelaksanaan tugas dan fungsinya? Ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat mewujudkan hasil audit kinerja yang optimal, yaitu; Pertama, objektivitas dan sistematika audit yang terukur. Sifat objektif selain bermakna sebagai sesuatu yang sesuai dengan kondisi asli/apa adanya, juga harus dapat menjawab apakah suatu program atau
kegiatan yang benar telah dilakukan (doing the right things)?, dan apakah suatu program atau kegiatan telah dilakukan dengan cara yang benar (doing the things right)?. Kedua, untuk menjawab apakah suatu program atau kegiatan yang benar telah dilakukan dan apakah suatu program atau kegiatan telah dilakukan dengan cara yang benar diperlukan bukti-bukti pendukung. Pengumpulan bukti dilakukan oleh auditor mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap tindak lanjut. Bukti audit adalah informasi yang dikumpulkan dan digunakan untuk mendukung temuan audit. Auditor harus merencanakan secara cermat jenis bukti yang akan digunakan dan sumber dari mana bukti-bukti tersebut akan diperoleh. Secara umum terdapat empat jenis bukti audit yaitu bukti fisik, bukti dokumenter, bukti kesaksian, dan bukti analitis. Bukti fisik dapat diperoleh melalui inspeksi langsung atau pengamatan yang dilakukan oleh auditor terhadap orang, a s et , ata u p e r i st i wa . B u kt i te rs e b u t dapat didokumentasikan dalam bentuk memorandum, foto, gambar, bagan, peta, atau contoh fisik. Bukti dokumenter terdiri atas informasi yang diciptakan seperti surat, kontrak, catatan akuntansi, faktur, dan informasi manajemen atas kinerja. Bukti dokumenter adalah jenis bukti yang paling umum dan sering dijumpai oleh auditor dalam pelaksanaan audit. B u k t i ke s a k s i a n ( t e s t i m o n i a l ) diperoleh melalui permintaan keterangan, wawancara, atau kuesioner. Jenis bukti ini meliputi perhitungan, perbandingan, serta pemisahan informasi menjadi unsur-unsur Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
65
Opini dan alasan yang rasional. Bukti ini juga ditujukan pada bidang-bidang tertentu yang dapat diperoleh dari pernyataan-pernyataan dianggap sangat menentukan keberhasilan/ yang biasanya merupakan jawaban atas kinerja suatu entitas yang diaudit, yang disebut pertanyaan-pertanyaan dan wawancara. sebagai area kunci. Area kunci merupakan area Pernyataan-pernyataan tersebut dapat atau kegiatan yang dilaksanakan oleh auditi dan berasal dari pegawai entitas yang di audit, sangat menentukan tingkat keberhasilan atau para ahli, konsultan, dan pihak-pihak lain yang kegagalan kinerja auditi yang bersangkutan. dihubungi untuk memberikan bukti-bukti Pemilihan area kunci yang terlalu luas akan mengabaikan hasil audit terlalu luas dan tidak audit tersebut. Dan ketiga, kriteria-kriteria yang “fokus” sehingga rekomendasi yang diberikan dipakai dalam menilai 3E. Untuk dapat menilai oleh auditor tidak tajam dan tidak menyentuh apakah suatu entitas telah melaksanakan pokok permasalahan yang dihadapi oleh auditi. tugas pokok dan fungsinya berdasarkan Sebaliknya, lingkup audit yang telalu sempit prinsip efisien, efektif, dan ekonomis (3E) dapat mengabaikan temuan dan rekomendasi maka auditor harus mampu mengukur audit tidak mewakili permasalahan yang kinerja organisasi yang di audit. Artinya ada pada auditi. Dengan demikian, tahap bahwa audit atas 3E dapat dilaksanakan analisis dan identifikasi area kunci merupakan dengan baik apabila entitas pelaporan tahap yang paling kritis dan menentukan telah memiliki standar atau ukuran kinerja keberhasilan suatu audit kinerja. Penentuan area kunci dapat dilakukan dari suatu kegiatan atau program. Aspek pengukuran kinerja suatu entitas meliputi berdasarkan faktor pemilihan (selection (1) Input (masukan), yaitu sumber daya yang factors) yang terdiri dari: Pertama, risiko dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan manajemen; Dalam audit kinerja, pendekatan dalam rangka menghasilkan output, seperti audit berbasis risiko lebih ditekankan pada sumber daya manusia (SDM), dana, material, risiko yang ditanggung manjamen terkait waktu, teknologi, dan sebagainya. (2) Proses dengan aspek ekonomi, efisien, dan efektivitas. (process), yaitu kegiatan yang dilakukan Beberapa hal yang dapat digunakan untuk untuk mengolah input menjadi output. (3) menilai kemungkinan terjadinya risiko Output (keluaran), yaitu barang atau jasa yang manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi, dihasilkan secara langsung dari pelaksanaan dan efektivitas adalah sebagai berikut ; (a) Pengeluaran di bawah atau di atas pagu kegiatan. anggaran, dimana pengeluaran tersebut cukup signifikan, (b) Tidak tercapainya tujuan Identifiaksi Area Kunci (Key Performance yang telah ditetapkan, (c) Tingginya mutasi Indicator/KFI) Audit kinerja tidak harus mengaudit pegawai, (d) Manajemen tidak bereaksi atas seluruh area atau kegiatan auditi dan tidak kelemahan yang ditemukan, (e) Ekspansi pula memeriksa seluruh aspek 3E pada setiap program secara mendadak, (f) Hubungan area dan kegiatan suatu auditi. Audit kinerja tanggung jawab yang tumpang tindih, tidak 66
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Opini
Irjen Kemenag - Dr. H. Moch. Jasin, MM. Acara KPK - Internasional Workshop. Yogyakarta, 10 September 2012
jelas, atau membingungkan, (g) Aktivitas yang bersifat rumit dalam suatu lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian. Penentuan risiko manajemen sangat dipengaruhi oleh penilaian auditor atas sistem pengendalian internal. Pengendalian internal yang lemah atas suatu program/kegiatan menunjukkan adanya risiko yang tinggi. Kedua, signifikansi suatu program, yang mencakup materalitas keuangan, batas kritis keberhasilan, dan visibilitas, Konsep signifikansi dalam audit kinerja hampir sama dengan materialitas dalam audit keuangan. Signifikansi suatu area kunci berkaitan dengan dampak yang dihasilkan area tersebut terhadap objek audit secara keseluruhan. Materialitas keuangan merupakan salah satu faktor dalam menentukan tingkat signifikansi. Faktor ini didasarkan pada penilaian total nilai kekayaan entitas, pengeluaran tahunan, dan/
atau penerimaan tahunan dalam area yan dapat diaudit. Semakin material suatu area maka semakin tinggi prioritas yang diberikan pada area tersebut. Ketiga, dampak audit, Dampak audit merupakan nilai tambah yang diharapkan dari audit tersebut, yaitu suatu perubahan dan perbaikan yang dapat mengingkatkan 3E. Nilai tambah yang dihasilkan dari suatu audit merupakan hal penting dalam menentukan area kunci yang akan diperiksa secara terinci. Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh auditor adalah “Apakah audit yang dilaksanakan akan mengakibatkan suatu perubahan?” Apabila audit tampaknya tidak akan menimbulkan perubahan berarti pada kinerja manajemen, auditor dapat memberikan bobot yang rendah terhadap dampak audit. Dan keempat, auditabilitas. Auditabilitas berkaitan dengan kemampuan tim audit untuk Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
67
Opini melaksanakan audit sesuai dengan standar profesi, dengan kata lain setiap lembaga audit haruslah terlebih dahulu memiliki standar audit kinerja sebelum melaksanakan audit kinerja. Berbagai situasi mungkin terjadi, sehingga auditor memutuskan untuk tidak melaksanakan audit secara profesional pada area tertentu atau bahkan pada seluruh area entitas, baik karena keadaan entitas maupun keadaan auditor itu sendiri. Apabila hal ini terjadi, auditor perlu mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan audit ke pengujian terinci. Kriteria Audit Kriteria audit adalah standar, ukuran, harapan, dan praktik terbaik yang seharusnya dilakukan atau dihasilkan oleh entitas yang diaudit. Auditor dapat menggunakan dua pendekatan untuk menetapkan kriteria, yaitu kriteria proses dan kriteria hasil. Apabila auditee belum mempunyai kriteria yang jelas atas hasil yang ingin dicapai, penelaahan kegiatan melalui kriteria hasil tampaknya lebih efektif jika dibandingkan dengan kriteria proses. Tim audit dapat membuat kesepakatan dengan auditi mengenai kriteria serta diterima atau tidaknya temuan yang didasarkan pada kriteria tersebut. Karakteristik kriteria yang baik mencakup hal-hal sebagai berikut ; (a) dapat dipercaya, (b) objektif, (c) berguna, (d) dapat dimengerti, (e) dapat diperbandingkan, (f) kelengkapan, dan (g) dapat diterima. Hubungan antara auditor dan auditi dalam menentukan dan mengembangkan kriteria audit cukup penting, namun auditor harus menyadari pengaruh negatifnya. Berdiskusi dengan auditi memberikan 68
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
kesempatan bagi auditor untuk menguji objektivitas kriteria yang akan dipakai. Oleh karena itu, auditor harus memperhatikan kepentingan auditi, sepanjang kepentingan tersebut tidak mengarah pada kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi penilaian hasil audit. Auditor harus dapat meyakinkan auditi tentang objektivitas kriteria yang digunakan dalam penilaian dan menunjuk sumber yang berwenang. Jika terjadi ketidaksepakatan antara auditor dan auditi mengenai kriteria atau tanggung jawab manajemen, hal ini harus diungkapkan dalam kertas kerja audit disertai dengan penjelasan mengapa auditor yakin bahwa manajemen bertanggung jawab atas hal tersebut dan/atau mengapa auditor menggunakan kriteria tersebut. Kesalahpahaman antara auditor dan auditi bisa terjadi yang disebabkan oleh penentuan dasar penilaian yang kurang tepat. Kesalahpahaman ini sebetulnya dapat dihindari apabila auditor dan auditi mendiskusikan kriteria audit yang akan dipakai sebelum audit berakhir. Komitmen dan Integritas yang Terarah Jika semua prosedur dan kriteria audit kinerja ini dipenuhi oleh auditor dan dibarengi oleh sikap mental yang benar, yakni pribadi auditor dapat menunjukkan bahwa sesuatu yang baik telah dilakukan/doing the right things dan sesuatu dilakukan dengan baik/doing the things right, maka peranan audit kinerja sebagai penjaga komitmen dan integritas aparat dalam menjalankan tugas dan fungsinya akan dapat diarahkan sebagaimana aturan main yang ada. [Shaleh]
Opini Komitmen Diri Pengawai Negeri Sipil (PNS) Oleh: Ahmad Nida
A
Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia Ke-67
manat Menteri Agama RI pada pemantapan pelaksanaan pelayanan di Pe r i n gata n H A B ke - 6 6 ya n g Lingkungan Menteri Agama. b e r te m a ka n “ M e m p e r te g u h Komitmen untuk Membangun Perbaikan Citra Kementerian Agama yang Bebas dari Korupsi” Untuk memperbaiki pelayanan dan Tema ini menegaskan kembali bahwa seluruh citra buruk yang melekat, ada banyak hal yang jajaran Kementerian Agama harus senantiasa harus di benahkan dalam sistem pelaksanaan berupaya untuk meraih kinerja dan reputasi pekerjaan di lingkungan kementerian agama,hal terbaik, menciptakan aparatur yang berakhlak tersebut sesuai dengan tujuan UU Nomor 28 dan berintegritas tinggi, serta tidak memberi Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara peluang dan celah bagi munculnya penilaian yang Bersih dan Bebas dari Korupsi ,Kolusi, dan rendah dari masyarakat terhadap institusi Nepotisme dan Inpres Nomor 5 tahun 2004 dan aparatur Kementerian Agama. Hal ini tentang Percepatan Pemberantasan Porupsi. menjelaskan bahwa para pegawai negeri Hal tersebut sama yang disampaikan oleh sipil di lingkungan kementerian agama harus Prof. Dr. Mustopadidjaja AR dalam Seminar memiliki komitmen dari dirinya sendiri untuk Pembangunan Nasional VIII, ia menyebutkan menjalankan tugas dan pekerjaan sesuai bahwa reformasi birokrasi sebagai syarat dengan fungsi pokok unit kerja masing- pemberantasan korupsi, oleh karena itu di masing, hal tersebut sesuai dengan Instruksi lingkungan kementerian agama dari sisi SDM Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2001 tentang harus selalu diawasi baik dari pihak internal Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
69
Opini maupun eksternal. Inspektorat Jenderal selaku unit Pengawas Internal Kemenag selalu melakukan kegiatan untuk meminimalisir aparat yang bertindak menyalahi aturan main pelaksanaan pekerjaan. Selain melalui kegiatan audit, monitoring, dan pendampingan, Itjen memiliki program salah satunya dengan kegiatan Pegawasan melalui Pendekatan Agama, dalam buku “mengembangkan budaya kerja melalui pengawasan dengan pendekatan agama “ yang di terbitkan oleh ITJEN, disebutkan bahwa PPA adalah bentuk pengawasan dini melalui pemberdayaan nilainilai agama guna mendorong terwujudnya self control dan jati diri aparatur negara agar selalu merasa diawasi tuhan, tidak memiliki niat berbuat menyimpang dan berkinerja secara maksimal. Adapun pada pelaksanaan program PPA menggunakan beberapa pendekatan yaitu: (1). Pendekatan Rasional-Kognitif, yaitu Penanaman nilai-nilai agama yang berkaitan dengan pengertian dan hakikat pengawasan dengan menggunakan pemikiran logis dan argumentatif; (2). Pendekatan EmosionalAfektif, yaitu Penanaman nilai-nilai agama yang berkaitan dengan pengawasan dan menyentuh hati nurani umat beragama; (3). Pendekatan Pembiasaan-Psikomotrik, yaitu Penanaman nilai-nilai agama dalam pengawasan melalui pengamalan dan penanaman akhlak mulia dan tata nilai positif yang berkembang di masyarakat; (4). Pendekatan Keteladanan, yaitu Penanaman nilai-nialai agama dalam pengawasan melaui contoh atau teladan yang baik dari aparatur negara dan para tokoh terhadap masyarakat pada umumnya; (5). Pendekatan Pembalasan/Keseimbangan,
70
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
yaitu setiap perbuatan sekecil apapun akan mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Pembentukan Mental Pegawai Baru Hal tersebut di atas yang sampai saat ini tetap dilaksanakan untuk para pegawai kemenag di seluruh satker, untuk para pegawai baru di lingkungan kemenag di mulai dari setiap penerimaan atau perekrutan CPNS yang di lakukan di lingkungan Kemenag selalu di perbaiki sistem dan kualifikasi persyaratannya kemudian diberikan pembinaan atau pembekalan mengenai wawasan tentang lingkungan kementerian sampai dengan pengetahuan tentang unit kerja masingmasing. Kemudian setelah bekerja ada beberapa persyaratan sebagai CPNS yang dilakukan, sesuai PP Nomor 101/2000 tentang pendidikan dan pelatihan Jabatan pegawai negeri sipil. Dalam hal inilah yang terpenting karena awal dari pembentukan karakter dari seorang PNS, oleh karena itu Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI sebagai unit eselon I yang mengurusi pendidikan dan pelatihan para pegawai atau sumber daya manusia di lingkungan kementerian agama harus memiliki kurikulum dan materi yang berkualitas agar membentuk dan menghasilkan pegawai yang memiliki karakter yang jujur dan bermental pekerja keras (profesional). Materi yang di berikan dalam diklat Prajabatan sangat beragam mulai dari Dinamika Kelompok (pengenalan individu dengan kelompok), Sistem Penyelenggaraan Pemerintah NKRI, Manajemen Kepegawaian Negara (bagaimana aturan main seorang
Opini pegawai pemerintah), Etika Organisasi, Pelayanan Prima (Pembahasan mengenai PNS sebagai pelayan masyarakat), Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, Manajemen Perkantoran Modern, Membangun Kerjasama Tim (Team Building), Komunikasi yang Efektif, Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka NKRI, Percepatan Pemberantasan Korupsi, Pemerintahan yang baik (good governance), pola pikir (mind setting) PNS, selain itu pula dalam diklat ini di bentuk pula sikap disiplin kepada para calon pegawai negeri sipil agar memiliki mental yang selalu mengedepankan professionalitas dalam bekerja seperti : upacara bendera dan pelajaran baris berbaris. Yang menarik adalah salah satu materi dalam diklat ini yang akan membentuk karakter pegawai negeri yang ideal ialah pola pikir (mind setting), menurut Bisma Renaldi dalam buku panduan diklat prajabatan yang dikeluarkan LAN pola pikir ialah pola-pola dominan yang menjadi acuan utama seseorang untuk bertindak kemudian juga dikatakan bahwa pola pikir adalah pola yang menetap dalam pikiran bawah sadar seseorang. Kemudian tujuan yang diajarkan dalam materi ini ialah pola pikir pegawai negeri sipil diharapkan mampu merancang kerangka kerja dan mampu mengatasi hambatan-hambatan yang akan dihadapi dalam penerapannya, konsep diri PNS akan terbentuk melalui proses belajar dan pengalaman yang terus menerus dan berkesinambungan. Konsep diri yang positif akan membentuk kebiasaan dalam bekerja secara efektif, oleh karena itu PNS akan selalu menghindari konsep diri yang negatif.
Komitmen yang Dibangun Setelah para CPNS memiliki pola pikir yang diharapkan lalu diperlukan sebuah komitmen yang di bangun dari awal yaitu komitmen terhadap diri pribadi, institusi, dan masyarakat. Dengan ketiga hal tersebut landasan yang di gunakan para pegawai baru untuk menjalani tugas di unit kerja masing-masing. Komitmen diri sendiri adalah perjanjian atau keterikatan untuk melakukan sesuatu perbuatan atau sikap yang dilakukan dengan positif, sedangkan menurut porter komitmen pegawai ialah kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasi keterlibatan dirinya ke dalam organisasi atau lembaga. Menurut Richard M. Teers (Teers. 1985:50) komitmen pegawai atau karyawan adalah rasa kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi atau institusi dengan kesedian untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi atau institusi (rasa loyalitas). Dari kesemuanya itu dinyatakan oleh pegawai terhadap organisasinya. Sedangkan Steers berpendapat bahwa komitmen karyawan atau pegawai merupakan kondisi di mana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasi atau institusinya. Komitmen karyawan lebih dari sekadar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Jadi komitmen karyawan mencakup unsur loyalitas terhadap organisai.atau institusi, keterlibatan dalam pekerjaan dan identifikasi nilai-nilai terhadap organisasi atau institusinya. Setelah
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
71
Opini komitmen pribadi dan komitmen pegawai, lalu harus di lengkapi dengan komitmen terhadap sosial atau lingkungan masyarakat. Komitmen sosial adalah suatu kesepakatan dari diri sendiri dalam bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari di masyarakat atau berinteraksi sosial. Aspek ini sangat penting juga karena berkaitan langsung dengan perilaku dimata masyarakat, jika sikap dan perilaku para pegawai kementerian agama sangat baik maka citra buruk yang selama ini menempelpun akan hilang lambat laun. Kesimpulnnya komitmen berarti kemampuan menepati janji dan disiplin pada “personal challenge” yang sudah dibuat. D a l a m d i k l at p ra j a b ata n p a ra widyaiswara selain memberikan materi mengenai pola pikir setelah itu diberikan semacam kontrak perjanjian tentang komitmen yang harus dijalankan sebagai pegawai kementerian agama dalam 3 (tiga) aspek yaitu pribadi, pegawai, dan sosial. Dan dari ketiga aspek tersebut peserta diklat yang menentukan dan menyepakati isi dari masingmasing komitmen 3 aspek tersebut. B a nya k s e ka l i p o i n - p o i n ya n g disepakati oleh masing-masing kelompok pada setiap angkatan diklat prajabatan, mengambil salah satu contoh dari beberapa komitmen yang telah di sepakati dan idealnya harus dimiliki oleh PNS ialah sebagai berikut: (a) Aspek Pribadi: jujur dan amanah, cerdas dan rendah hati, tanggung jawab, percaya diri, dan mandiri; (b) Aspek Pegawai: disiplin, profesional, loyalitas, kreatif dan inovatif, integritas; (c) Aspek Sosial: setia kawan, gotong royong, keteladanan, ramah dan peduli 72
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Hasil yang telah di sepakati, kemudian para peserta diambil sumpah atau pernyataan s i ka p a ka n s e l a l u m e n ga m a l ka n d a n melaksanakan komitmen yang telah di buat baik dari aspek pribadi, pegawai dan sosial. Serta kemudian ditandangani oleh masingmasing dan juga para saksi dari pembimbing akademik dan widyaiswara yang bersangkutan, seperti halnya membuat perjanjian secara hukum atau pakta integritas. Idealnya untuk seluruh pegawai yang ada di lingkungan Kementerian Agama seluruh Indonesia harus melakukan komitmen tersebut sebagai landasan yang di miliki dan di laksanakan terutama dalam aspek pegawai yang harus di jadikan pedoman atau diwajibkan di amalkan dan dilakukan dalam bekerja seharihari, karena PNS adalah sebagai pelayan masyarakat. Dari semua hal tersebut jika dilakukan oleh setiap pegawai baru ataupun yang sudah lama mengabdi di lingkungan Kementerian Agama, maka akan menjadi mungkin jika tujuan dari amanat Menteri Agama dalam peringatan HAB ke-66 yaitu komitmen untuk membangun Kementerian Agama yang bebas dari korupsi dan target menuju opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) akan terwujud karena para aparatur kementerian agama sudah memiliki mental dan jiwa yang bersih, profesional dan bertanggung jawab. [Ahmad Nida] “Komitmen pegawai atau karyawan adalah rasa kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi atau institusi dengan kesedian untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi atau institusi”
Opini Penyelenggaraan Haji Versi Pengawasan Oleh: Nurul Badruttamam
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI (Anggito Abimanyu) Di Embarkasi Donohudan Solo Jawa Tengah
I
badah Haji merupakan ibadah yang sangat istimewa bagi ummat Islam karena dijanjikan Allah SWT bahwa pahala haji mabrur adalah surga. Dengan melaksanakan ibadah haji, seorang Muslim merasa telah menyempurnakan kelima rukun agamanya. Gelar haji di Indonesia juga merupakan status sosial yang dihormati sekaligus mengindikasikan tingkat kemampuan ekonomi penyandangnya. Karena tingginya nilai ibadah haji, maka umat Islam Indonesia tidak segan-segan mengorbankan sebagian harta kekayaannya, meninggalkan pekerjaan dan keluarganya selama waktu tertentu dan siap bersusah payah untuk menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Maka tidak heran kalau seiring
dengan meningkatnya kemampuan ekonomi Indonesia, jumlah jamaah haji Indonesia dari waktu ke waktu mengalami peningkatan dan bahkan belakangan ini jumlah pendaftarnya melampaui kuota yang telah ditetapkan. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah jamaah haji, maka komponen-komponen yang diperlukan untuk penyelenggaran ibadah tersebut juga semakin meningkat, seperti transportasi, pemondokan dan catering. Pengadaan komponen-komponen ini memiliki nilai ekonomi yang cukup besar sehingga dapat berubah menjadi lahan bisnis yang sangat menggiurkan, tidak saja bagi orang Indonesia tapi juga orang Arab Saudi. Banyak pihak yang ingin mengeruk manfaat dari kegiatan tersebut Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
73
Opini dan tangan-tangan jahil pun seringkali bermain di dalamnya. Oleh karena itu, tidak heran kalau terjadi tarik-menarik kepentingan dalam penyelenggaraan haji ini. Kecenderungan tersebut kalau tidak dikendalikan dengan baik maka arah penyelenggaraan ibadah haji bisa bergeser, yaitu dari kegiatan yang mengutamakan nilai ibadah dengan membantu memberi pelayanan kepada orang yang memenuhi panggilan Allah, berubah menjadi kegiatan yang berorientasi hanya mencari keuntungan semata. Harus kita akui, kurangnya efektifitas dan efesiensi dalam penyelenggaraan haji selama ini turut mempengaruhi kualitas pemberian pelayanan dan perlindungan kepada jamaah. Akibat dari penyimpangan arah dan kurangnya efektifitas dan efisiensi penyeleggaraan haji serta pengeksploitasian sikap ikhlas jamaah haji, maka sepanjang perjalanan sejarah perhajian Indonesia sejak zaman kolonial Belanda hingga saat ini senantiasa diwarnai oleh dinamika pendapat, kemelut dan persoalan yang tidak berujung. Sebenarnya penyelenggaraan haji akan berjalan baik apabila dikelola oleh lembaga yang kuat dan diusung oleh SDM yang jujur, amanah, bertanggung jawab, kompeten, dan berorientasi pada pemberian pelayanan dan perlindungan kepada jamaah. Setidaknya ada 4 (empat) pilar ya n g d i t u a n g ka n ke d a l a m p ro g ra m strategis oleh Menteri Agama terdahulu yang dapat ditindaklanjuti oleh Menteri Agama Suryadharma Ali, yang pertama adalah penciptaan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dalam arti lain terwujudnya clean government dan good 74
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
governance, kedua terwujudnya kerukunan intern dan antar umat beragama, ketiga terlaksananya penyelenggaraan haji yang semakin baik dari sisi pelayanan kepada jamaah haji dan terakhir adalah peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan. Program yang ketiga lah yang akan menjadi bahan kajian evaluasi khusus terkait dengan penyelenggaraan haji dalam perspektif pengawasan. Penyelenggaran ibadah haji merupakan salah satu icon Kementerian Agama. Bagi sebagian orang, keberhasilan kinerja Kementerian Agama kerap hanya diukur sejauh mana Kementerian ini sukses menyelenggarakan pengelolaan ibadah tahunan tersebut. Apabila dianggap tidak sukses, maka dapat dipastikan ratusan jari telunjuk menuding Kementerian Agama. Cara pandang tersebut tentu tidak benar, tetapi juga tidak bisa disalahkan. Bagaimana pun orang akan lebih mudah mengetahui kinerja Kementerian Agama dari penyelenggaraan haji. Alasannya: Pertama, kegiatannya dilakukan rutin setahun sekali dengnan waktu dan lokasi tertentu. Kedua, kegiatannya bersifat massif melibatkan banyak pihak, bersifat lintas Kementerian dan swasta. Ketiga, melibatkan jumlah anggaran yang sangat besar. Tiga alasan tersebut cukup menjadikan Kementerian Agama sebagai sasaran kritik banyak pihak. Visi dan Misi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Kementerian Agama yang memiliki tugas di bidang pembangunan agama, mempunyai agenda prioritas pembangunan
Opini 5 (lima) tahun ke depan, meliputi: 1) peningkatan kualitas kehidupan beragama; 2) peningkatan kualitas kerukunan umat beragama; 3) peningkatan kualitas pelayanan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan; 4) peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji; dan 5) peningkatan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sebagai lembaga pengawasan fungsional, Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama memiliki tugas dan tanggungjawab untuk mengawal Kementerian Agama mewujudkan kelima agenda pembangunan di atas. Dalam rangka mewujudkan arah kinerja pengawasan 5 tahun ke depan agar mampu mengemban tugas dan fungsinya secara optimal, maka perlu dirumuskan Rencana Strategis Tahun 2010-2014. Renstra Itjen disusun dengan mengacu pada Renstra Kementerian Agama dan RPJMN sesuai dengan tugas dan fungsinya. Visi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kementerian Agama) tahun 2010-2014 adalah: ”Menjadi Pengendali dan Penjamin Mutu Kinerja Kementerian Agama”. Menjadi pengendali mutu kinerja memiliki arti bahwa Itjen Kementerian Agama diharapkan mampu mengendalikan pelaksanaan tugas dan fungsi seluruh satuan organisasi/kerja di lingkungan Kementerian Agama agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ruang lingkup pengendalian dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, hingga pelaporan. Menjadi penjamin mutu kinerja memiliki pengertian bahwa Itjen Kementerian Agama diharapkan mampu melakukan pengawasan dalam rangka memastikan bahwa
seluruh satuan organisasi/kerja di lingkungan Kementerian Agama dapat mewujudkan kinerja yang tinggi sesuai tugas dan fungsinya (quality assurance). Pencapaian kinerja yang tinggi tersebut adalah salah satu wujud dari akuntabilitas publik. Itjen Kementerian Agama diharapkan mampu mengendalikan dan mengarahkan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Agama melalui pengawasan fungsional agar sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa Kementerian Agama mampu menghasilkan kinerja yang tinggi dan pelayanan prima di bidang keagamaan. Perubahan Visi dan Misi Inspektorat Jenderal sebagai Penjamin dan Pengendali Mutu Kementerian Agama menjadikan peran itjen semakin strategis. Salah satu peran Inspektorat Jenderal Kementerian Agama adalah sebagai konsultan. Dengan peran ini diharapkan tidak hanya mampu menyajikan temuan, namun juga memberikan bimbingan atas kendala dan permasalahan yang sering dihadapi dalam pelaksanaan tugas penyelangaraan dan pelaksaan penggunaan anggaran selama dalam proses dan setelah proses kegiatan. Perubahan peran ini juga menuntut Itjen untuk terlibat secara langsung dalam mengawasi pelaksanaan penggunaan anggaran melalui pendampingan mulai dari proses perencanaan, proses dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Haji Versi Pengawasan Mengelola dan menyelenggarakan ibadah haji lebih rumit dibanding mengelola dan menerjunkan pasukan tempur. Itulah Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
75
Opini
Jamaah Haji Indonesia Kloter SOC 1 di Asrama Haji Donohudan Solo Jawa Tengah Tahun 1433 H / 2012 M
kiasan yang digunakan Menteri Agama Suryadharma Ali untuk menggambarkan kompleksitas masalah penyelengggaraan haji Indonesia. Pe ny e l e n g ga ra a n I b a d a h H a j i merupakan tugas nasional karena jumlah jemaah haji Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan. Di samping itu, Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan di negara lain dalam waktu yang sangat terbatas yang menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Di sisi lain adanya upaya untuk melakukan peningkatan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tuntutan reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam setiap periode penyelenggaraan ibadah haji, hampir selalu ditemukan kekurangan. Meskipun persiapan dan perencanaan sudah cukup matang, masalah 76
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
dan hambatan selalu muncul. Ibarat kata pepatah populer, tiada gading yang tak retak. Namun demikian, seiring dengan komitmen Kementerian Agama RI untuk memperbaiki kinerja demi kepuasan jemaah, petugas haji pun tak henti bertekad melakukan peningkatan pelayanan. Setidak-tidaknya ada tiga acuan kriteria utama untuk mengukur sukses tidaknya sebuah pelayanan, hal ini tentu ada kaitannya dengan sertifikat ISO 9000-2001. Pertama, profesional, Kedua, mengacu pada standard operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan, dan Ketiga, berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat khususnya jemaah haji. Bertugas dalam kegiatan pelayanan haji tidak lain dari beribadah dan menjalankan amanah. Dalam kondisi ini, yang diperlukan bagi seorang petugas haji bukan hanya sekadar penguasaan terhadap tugas dan fungsi di lapangan, tetapi juga komitmen dan kesadaran untuk memberikan yang terbaik pelayanan kepada umat
Opini Testimoni Opini Terhadap Penyelenggaraan Haji Siap tidak siap, penyelenggara haji (baca: Kementerian Agama up. Direktorat Penyelenggara Haji dan Umrah) sering kali mendapatkan berbagai opini penilaian terhadap berhasil dan tidaknya penyelenggaraan ibadah haji, hal ini wajar dikarenakan beberapa hal, antara lain adalah (1) penyelenggaraan Ibadah haji merupakan pekerjaan rutin tiap tahun, pekerjaan yang sangat besar, dan melibatkan banyak orang dan pihak, (2) penyelenggaraan ibadah haji sangat menarik dan bahkan menggiurkan banyak pihak, karena selain mengandung nilai ibadah juga terkait keuangan yang sangat besar. Karena itu, banyak pihak melalukan monitoring dan pengawasan, ada DPR-RI, DPD-RI, KPK, BPKRI, BPKP, kalangan pers, LSM, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan dan tidak ketinggalan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama juga melakukan monitoring dan pengawasan, (3) tidak adanya persepsi yang sama yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan ibadah haji dan bahkan mungkin masingmasing pihak menilai keberhasilan dan kegagalan penyelenggaraan ibadah haji dengan memakai tolok ukur masing-masing, dan (4) setiap tahun penyelenggaraan ibadah haji selalu saja ada masalah yang timbul. Ta n p a m e n g e s a m p i n g k a n keberagaman penilaian dari berbagai pihak, atas hasil monitoring dan pengawasan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, saya menilai bahwa pelaksanaan operasional haji dari tahun ke tahun tergolong sukses dan lebih baik dari penyelenggaraan ibadah
haji tahun sebelumnya. Penilaian saya ini mendasarkan pada ukuran yang dipakai oleh Kementerian Agama, sebagaimana beberapa kali dikatakan oleh Menteri Agama bahwa tolok ukur kesuksesan penyelenggaraan haji ini adalah “bahwa seluruh calon jamah haji bisa diberangkatkan menuju Arab Saudi, menjalankan syarat dan rukun haji, dan bisa dipulangkan menuju tanah air dalam kurun waktu 40-45 hari dengan selamat”. Haji adalah ibadah dan merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan hanya kepada muslim yang mampu (istitha’ah) dan hanya satu kali seumur hidup dan hanya ridla Allahlah yang diharapkan. Pelaksanaan ibadah haji memang sangat berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti halnya shalat, zakat, puasa. Dalam ibadah haji memerlukan perjuangan tersendiri, terlebih lagi haji dilaksanakan di negara lain dengan jamaah berjumlah lebih dari tiga juta orang yang berasal dari berbagai negara yang pasti memiliki budaya, adat istiadat, bahasa, dan perilaku yang tidak sama. Dengan tidak bermaksud mengelak dari permasalahan yang terjadi, saya kira sulit mencari satu negara di dunia ini, dalam kurun waktu seperti waktu penyelenggaraan ibadah haji yang mampu memberangkatkan jamaah atau pasukan dengan jumlah sebesar jamaah haji. Kalaupun ada, kondisi dasar jamaah atau pasukan, baik usia, kemampuan dan ukuran fisik, kemampuan, dan lain-lain jauh berbeda dengan kondisi (calon) jamaah haji yang ada. Karena itulah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut: Pertama, perlu dibuat dan disempurnakan peraturan perundang-undangan dan standar keberhasilan Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
77
Opini dan kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji. Sekalipun tidak mungkin standar tersebut mampu memenuhi semua kebutuhan dan keinginan semua pihak, tetapi paling tidak ada standar yang baku atau standar minimal layanan penyelenggaraan ibadah haji; Kedua, meningkatkan koordinasi dengan pihak Kedutaan Arab Saudi di Indonesia dan Kementerian Hukum dan HAM dalam layanan visa jemaah haji agar mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008, yaitu setiap pendaftaran Haji harus melalui Kementerian Agama; Kedua, perlunya dilakukan kajian dan perancangan ulang terhadap struktur organisasi PPIH Arab Saudi yang berlaku maksimal 5 tahun ke depan, dengan menetapkan petugas yang berkesinambungan untuk posisi-posisi tertentu yang dipandang strategis dan menjadi kunci penanganan keberhasilan operasional haji di Arab Saudi; Ketiga, perlunya ditetapkan standar baku untuk jabatan-jabatan strategis pada PPIH, terutama yang berkaitan langsung dengan layanan terhadap jamaah, seperti jabatan Kepala Daerah Kerja dan Kepala Sektor; Perlu dilaksanakan pelatihan/orientasi khusus atau bagi Kepala Daerah Kerja dan Kepala Sektor; Keempat, kepada semua pihak, agar penyelenggaraan ibadah haji berjalan dengan baik, syukur bila sampai memuaskan “marilah kita sukseskan penyelenggaraan ibadah haji dengan cara bijak, tidak sekedar menyalahkan dan mencari kesalahan, tetapi jauh lebih penting adalah ikut membantu mencarikan solusi terbaik atas hal-hal yang selama ini dianggap sebagai kelemahan”. Penyelenggaraan ibadah haji adalah gawe 78
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
nasional, pekerjaan banyak pihak yang akan membawa dan menampilkan wajah bangsa dan negara Indonesia di mata masyarakat dunia. Pada akhirnya untuk kesuksesan tugas pelayanan haji diperlukan pemberdayaan fungsi manajemen dan kepemimpinan yang mau memberi hati, pikiran, tenaga bahkan segenap dedikasi secara ikhlas untuk membantu, memberi kemudahan, menuntun dan melindungi jemaah haji sehingga dapat menjalankan ibadah haji dengan aman, khusuk, dan nyaman dalam rangka meraih haji Mabrur. Perlu disadari bahwa pelayanan haji adalah kerja kolaboratif. Sebagai kerja kolaboratif, maka prestasi kerja satu orang mempengaruhi prestasi kerja tim. Oleh karena itu, untuk menyukseskan kembali penyelenggaraan ibadah haji 1433 H/2012 dan tahun-tahun berikutnya, ke depan diperlukan team work bukan hanya sekadar penguasaan terhadap tugas dan fungsi di lapangan, tetapi juga komitmen dan kesadaran untuk memberikan yang terbaik pelayanan kepada umat semata-mata menganut prinsip angel principle untuk menggapai ridha Allah SWT. Menunggu Hadirnya KPHI Proses reformasi yang sudah berjalan selama kurang lebih sebelas tahun telah membawa perubahan yang luar biasa. Perubahan itu sebagian membawa ke arah kedewasaan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan masyarakat menjadi kritis atas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan terutama terkait dengan pelayanan kepada masyarakat. Kondisi ini
Opini mengharuskan pemerintah melakukan perubahan kebijakan yang langsung menyentuh pada kebutuhan riil masyarakat. Perubahan dimaksud sekaligus menjadi jawaban atas tuntutan masyarakat terhadap perwujudan birokrasi yang profesional, akuntabel, bersih, dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Differensiasi struktur dan spesialisasi tugas serta fungsi kerja merupakan prasyarat bagi proses perumusan kebijakan hukum dan penyelenggaraan kebijakan dimaksud secara demokratis. Keberadaan lembaga pengawasan memainkan peranan penting untuk memastikan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan legalitas/aturan main, seirama dengan kompetensi, dan sejalan dengan kepentingan masyarakat. Penyelenggaraan tata kelola pemerintahan di bidang agama khususnya Penyeleng-garaan Ibadah Haji tak terkecualikan, tanpa pengawasan, dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Pada tanggal 1 April 2008, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disetujui DPR bersama pemerintah dan menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dengan disahkannya Undang-Undang ini maka secara otomatis menggugurkan UndangUndang Nomor 17 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Haji. Salah satu revisi yang sangat sensitif terhadap undang-undang nomor 17 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Haji menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji terdapat dalam Pasal 12 yang dengan tegas menyatakan adanya pembentukan lembaga pengawasan yang bersifat mandiri yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Revisi ini dilakukan karena masyarakat menuntut agar secepatnya dilakukan pembenahan penyelenggaraan haji, baik tataran regulasi maupun teknis operasional. Tujuan sederhananya adalah agar jemaah haji dapat menjalankan ibadah haji dengan khusuk. Komisi ini lahir karena keharusan demokratis, keniscayaan pertanggungjawaban publik, dan tuntutan masyarakat. Keberadaan komisi ini akan memperkuat peran lembaga pengawasan lain. Saat ini untuk pengawasan penyelenggaraan ibadah haji bidang keuangan, diawasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan internal oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, dari segi penyelenggaraannya oleh DPR, tetapi dari segi kebijakannya, belum ada yang mengawasi. Di sinilah peran dan tanggung jawab Komisi Pengawas Haji Indonesia untuk melakukan pengawasan, bahkan terhadap berbagai aktifitas penyelenggaraan haji seperti pelayanan pemondokan, penerbangan, katering, kesehatan dan berbagai urusan penyelenggaraan ibadah haji lainnya, dalam semua aspek penyeleggaraan haji, Komisi Pengawas Haji Indonesia harus bisa berperan melakukan pengawasan secara intensif. Demikian, semoga memberikan manfaat demi perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji di masa-masa depan. Semoga Allah SWT meridlai dan memberikan kekuatan kepada kita dalam berkhidmat kepada nusa dan bangsa ini. [Nurul Badruttamam] Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
79
Resensi Buku Judul Penulis Penerbit
: Selamatkan Bangsa dari Korupsi Melacak Genealogi Korupsi dan Solusinya : Dr. H. Mundzier Suparta, MA. Editor : H. Nurul Badruttamam, S.Ag., MA. : Itjen Kemenag Terbit : 20 Juni 2012 Tebal : 205 Hal
Wakil Ketua DPR RI dan Wakil Ketua MPR RI AM. Fatwa, Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Dirjen Bimas Hindu IBG. Yudha Triguna, MS, dan Rektor UIN Malang Imam Suprayogo. Salah satu agenda reformasi yang menjadi fokus perhatian Pemerintah sampai saat ini adalah pemberantasan korupsi. Langkah pemberantasan korupsi selain menyangkut penindakan dan penegakan hukum, juga meliputi upaya pencegahan melalui perbaikan sistem, penataan aturan serta menciptakan lingkungan yang membuat orang takut berbuat korupsi.
B
uku ini berjudul, “Selamatkan Bangsa dari Korupsi - Melacak Genealogi Korupsi dan Solusinya” setidaknya nanti dapat dijadikan sebahagian kecil pencerahan untuk menuju Indonesia emas, Indonesia berhati emas dan berkarakter emas. Buku setebal 205 ini turut memberikan kata pengantar dan testimoni: Menag Suryadharma Ali, Wakil Ketua BPK RI Hasan Bisri, mantan
80
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
Pencegahan korupsi di negara kita memerlukankomitmendankerjasamasemua elemen bangsa. pencegahan korupsi antara lain dapat dilakukan melalui pendekatan agama, pendidikan dan pewarisan nilai-nilai keteladanan. Peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan sebagai inti kehidupan beragama diharapkan dapat mencegah dan memperbaiki mental dan perilaku koruptif. Di samping itu, keluarga dan institusi pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mendidik manusia yang berkarakter baik, jujur dan antikorupsi. Buku karya Mundzier Suparta ini, mengupas tuntas masalah korupsi mulai dari A-Z. Pada bagian satu, berisi tentang gambaran korupsi, memahami
Resensi Buku perkembangan modus operandi korupsi, dan “momok” bagi bangsa dan negara Indonesia membumihanguskan korupsi. Kemudian pada yang sudah cukup lama virus ini menghantui bagian dua, penulis mencoba mengurai sejarah negeri ini. Pasca ’98, era reformasi pun datang, timbulnya korupsi, mulai dari pengertian harapan banyak orang adalah praktik-praktik korupsi dan perkembangannya, dan sebab- korupsi mampu dibasmi/ditiadakan. Namun kini, harapan ini kelihatannya masih jauh dari sebab timbulnya korupsi. Bagian tiga, merangkum korupsi dari kenyataan, faktanya korupsi masih merebak masa ke masa mulai era manusia pertama, di mana-mana dengan berbagai gaya/modus era Islam, era Pra kemerdekaan Indonesia, operandi yang baru. Pertanyaannya mengapa pasca kemerdekaan, orde baru dan reformasi. korupsi masih langgeng dan semakin beranakBagian empat, berbicara agama dan korupsi pinak? versi agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Kemudian pada bagian lima, memperkuat bahwa korupsi itu benar-benar bisa menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan, menyengsarakan manusia, dan menghancurkan masa depan anak bangsa. Peran keluarga, masyarakat dan perguruan tinggi sangat membantu sekali dalam upaya pemberantasan korupsi, dikupas pada bagian enam dan tujuh. Di penghujung tulisan penulis menjelaskan tentang bagaimana upaya-upaya pemerintah dalam memerangi korupsi melalui peraturan perundang-undangan, institusi penegak hukum, dan pengawasan internal. Dan disinilah kekhasan penulis, dalam memberikan solusi melalui pencegahan korupsi melalui pengembangan budaya ala Kementerian Agama. Sebagaimana kita ketahui “korupsi” merupakan kata yang acapkali kita (orang lain) ucapkan akan membuat detak jantung berdebar yang bisa membuat orang marah dengan mengumpat/menghujat ataupun perasaan kesal lainnya. Tentunya, khalayak umum sudah paham bahwa selama ini korupsi menjadi
Te n t u n y a , j a w a b a n n y a t i d a k sesederhana yang kita bayangkan atau hanya sekedar mengutarakan teori-teori anti korupsi dari berbagai pakar/ahli. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi karena menggunakan “jejaring sistemik” yang melibatkan banyak aktor. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan dari tingkat pusat sampai daerah. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, disinyalir banyak praktik korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Secara historis, pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktik-praktik korupsi. Banyak peraturan perundang-undangan yang melarang praktik tersebut walaupun masih banyak celah/ kekurangan yang perlu disempurnakan. Korupsi sudah dilarang sejak dulu. Misalnya upaya pemerintah mengambil berbagai kebijakan Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
81
Resensi Buku
Launching Buku “Selamatkan Bangsa dari Korupsi” Karya Mudzier Suparta Hotel Mercure Ancol Jakarta, 20 Juni 2012
berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi, yaitu UUD Tahun 1945 sampai dengan UU tentang Pemberantasan Korupsi. Selain itu, komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi juga dibentuk oleh pemerintah seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini dimaksudkan untuk mempersempit gerak laju perilaku korupsi dan menindak para aktor yang melakukannya tanpa pandang bulu. Selain pembentukan komisi-komisi penindakan, upaya pencegahan praktik korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, di mana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat adalah melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien, dan ekonomis 82
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dibentuknya berbagai peraturan dan pembentukan komisi-komisi anti korupsi jika bisa berjalan secara maksimal seharusnya sudah mampu memberantas/mencegah praktik korupsi. Namun, hal ini urung terwujud, karena dianggap masih ada skenario “tebang pilih” dalam praktiknya. Sehingga banyak kasus korupsi yang tidak terendus dan mandek di tengah jalan. Mungkin hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk bersungguh-sungguh dan lebih kretif dalam upaya mencegah praktikpraktik korupsi di sekitaran kita. Hal itu harus kita awali dengan lingkup yang terkecil dari diri kita, keluarga, atau lingkungan terdekat. Ketika masing-masing orang sadar dan membiasakan budaya anti korupsi, maka konsep pencegahan dini akan berjalan dengan sendirinya. Dalam dunia birokrasi misalnya, banyak sorotan masyarakat dan media yang men-
Resensi Buku stigma-kan birokrasi pemerintahan baik pusat sampai daerah menjadi ladang subur praktik korupsi. Tentunya, kita yang berada di birokrasi menjadi malu dan terusik. Toh, kenyataan banyak praktik-praktik korupsi di birokrasi banyak yang terungkap dan ditindak. Jawaban yang bijak untuk menangkal stigma negatif tersebut adalah kinerja birokrasi pemerintah haruslah lebih baik dan mampu menerapkan konsep reformasi birokrasi yang telah diatur dalam berbagai peraturan tentang reformasi birokrasi. Konsep penyadaran sedini mungkin (dalam diri sendiri dan lingkungannya), sedikit demi sedikit akan mampu mengikis budaya korupsi, yakni dengan menerapkan budaya kerja yang efektif, efesien, dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif sebagai upaya pencegahan praktik korupsi, dibutuhkan pemenuhan prasyarat, yaitu: (1) Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yang kuat dan muncul dari kesadaran sendiri; (2) Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari konflik kepentingan. Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun dalam lingkungan birokrasi, penulis menegaskan perlunya political will pemerintah, di antaranya melalui: (1) Penyempurnaan Undang-Undang Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi. Selain itu, diperlukan sistem pendidikan korupsi di lingkungan pendidikan dari tingkat terendah
sampai perguruan tinggi. Hal ini diperlukan dalam rangka pencegahan praktik korupsi. Berkenaan dengan pewarisan nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi, sejarah Indonesia mencatat keteladanan sikap hidup para pemimpin dan guru bangsa sekaliber Bung Hatta, KH. Hasyim Asy’ari, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, K.H. A.R. Fachruddin, Lafran Pane dan tokoh panutan lainnya. Kesadaran untuk berkaca pada sejarah dan meneladani sikap hidup negarawan dan tokoh agama yang bertakwa, berintegritas, hidup sederhana dan lurus tulus mengabdi untuk kepentingan masyarakat dan bangsa perlu dimiliki oleh generasi muda Indonesia di tengah berbagai tantangan masa kini. Sejalan dengan upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan kepedulian seluruh elemen bangsa untuk terlibat aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan masing-masing, hadirnya buku “Selamatkan Bangsa dari Korupsi - Melacak Genealogi Korupsi dan Solusinya”, layak dibaca dan wajib hukumnya. Sebab buku ini menawarkan solusi yang relevan untuk mengatasi dan mencegah korupsi, terutama melalui penataan perilaku aparatur negara. Kehadiran buku ini sangat tepat momentumnya di tengah pesimisme sebagian kalangan terhadap pemberantasan korupsi dan perbaikan perilaku birokrasi yang dianggap belum menunjukkan hasil memuaskan. Sebenarnya cukup banyak hasil positif yang dicapai dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di negara kita. [Moh. Soleh]
Fokus Pengawasan Nomor 35 Tahun IX Triwulan III 2012
83
Fokus Foto Itjen
Pelantikan Irjen Kementerian Agama Dr. H. Moch. Jasin, MM.
Silaturrahim, Halal bi Halal dan Lepas Sambut Inspektur Jenderal Kemenag Lintas Periode
Penyerahan Cinderamata dan Lepas Sambut Ketua Persatuan Dharma Wanita Itjen Kemenag
Menag, Wamenag dan Pejabat Eselon I Kemenag Rapat dengan Komisi VIII DPR RI
Pejabat Eselon I dan II Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan RI Ke-67
Sosialisasi Program Unggulan Itjen - PPA Di Kanwil Kemenag Prov. Sumatera Barat