Daftar Isi
Fokus FokusPengawasan Pengawasan
a. Diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2013
2
Dewan Penyunting: Pembina : Moch. Jasin Pengarah : Zaenal Abidin Supi Hilmi Muhammadiyah Sukarma Akso Heffinur Dewan Redaksi: Penanggung jawab: Maman Taufiqurohman Ketua : O. Sholehuddin Sekretaris: Nugraha Stiawan Anggota : Nur Arifin, Anshori Akhmad Hariyanto Ahmad Saubari Ali Ghozi Redaksi : Nurul Badruttamam Ali Machzumi, Agus Salim Ahmad Nida, Mukodas Arif Subekti Produksi : Purnomo Mulyosaputro Sirkulasi : Sarto Alamat Redaksi: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, Jalan RS. Fatmawati Nomor 33A Cipete Jakarta Selatan 12420 PO. BOX 3867, Telp. (021) 75916038, 7697853, Fax. (021) 7692112 www.itjen.kemenag.go.id E-mail:
[email protected] Dewan Penyunting menerima artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam bentuk soft copy.
DAFTAR ISI Surat Pembaca - [3] Dari Redaksi - [4]
Fokus Utama
a Whistleblower sebagai Alternatif Mengungkap Perilaku Koruptor di Lingkungan Kerjanya (Abdullah) - [5] a Whistleblower dalam Bingkai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (Tolka Hidayat) - [11] a Pilihan Berat Menjadi Whistleblower dan Justice Collaborator (M. Nailil Fijjar) - [15] a Pengaruh Whistleblower dan Justice Collaborrator dalam Perspektif Pengawasan (Suparmono) - [22] a Penguatan Peran Whistleblower dalam Membentuk Kementerian Agama Bebas dari Korupsi (Hendro Dwiantoro) - [29] a Whistleblower dan Profesionalisme Auditor (Ade Irma Solihah) - [35]
Pengawasan
a LHKPN sarana untuk Whistleblower (Darori) [40] a Menjadi Auditor yang Efektif dan Berpengaruh dalam Perspektif Islam (Mohamad Ali Irfan) - [45] a Upaya Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (Maman Saepulloh) [49] a Whistleblower System dalam Bingkai Pengawasan Intern Kementerian/Lembaga (Ali Machzumi) - [54]
Opini
a Pendidikan Tinggi di Lingkungan Kementerian Agama (Yanis Naini)- [60] a Dampak Korupsi dan Penciptaan Penyakit Sosial Masyarakat (Syamsuddin N.) - [64] a Peran Pimpinan dalam Mencegah Praktik Korupsi (Dwi Cahyaning Tiasworo) - [66] a Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Imron Fauzi) - [70] a Membangun Psikologi Pelayanan Publik yang Melayani (Miftahul Huda) - [75]
Hikmah
a Menjaga Kehormatan dan Identitas (Abdul Aziz Noor) - [80]
Surat Pembaca Tulisan di Majalah FP Tulisan di Fokus Pengawasan (FP) itu apakah harus artikel yang kita buat sendiri atau kita bisa mengirimkan terjemahan dari artikel luar negeri yang kita terjemahkan sendiri, namun tetap berhubungan dengan topik fokus pengawasan? Mohon infonya! Terima kasih. Emzo, Jakarta Jawaban: Tulisan yang ada pada rubrik di Majalah Fokus Pengawasan sampai saat ini adalah opini sendiri bukan terjemahan, walaupun tulisan tersebut sama dengan tema. Tetapi menarik untuk kita pertimbangkan ke depan apakah nanti ditambah rubrik baru untuk tulisan/artikel terjemahan dari luar negeri. Begitu mas Emzo. Terima kasih atas masukannya.
Apa itu ZI-WBK ? Belum lama ini saya mendengar Kemenag telah mencanangkan ZI-WBK, mohon penjelasannya, terima kasih. Farid, Lampung Jawaban: Saudara Farid, memang Kementerian Agama telah melaksanakan pencanangan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) yang diarahkan untuk mempercepat pencapaian tujuan reformasi birokrasi. Pencanangan Zona Integritas di lingkungan Kementerian Agama telah dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2012, ZI-WBK harus segera ditindaklanjuti dengan menerapkan
20 kegiatan pencegahan korupsi yang konkret dan terukur, sebagaimana dirinci dalam Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 60 Tahun 2012. LHKPN untuk Kemenag Apakah sudah ada peraturan terkait dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (LHKPN) di lingkungan Kementerian Agama? Arif, Cilacap Jawaban: Kementerian Agama sudah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 91 Tahun 2013 tentang Pejabat yang wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di lingkungan Kementerian Agama. Dan pada edisi kali ini kami uraikan tulisan terkait LHKPN. Terima kasih.
Redaksi memohon maaf, tidak semua surat pembaca dapat ditampilkan, karena keterbatasan tempat. Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan!
3
Dari Redaksi Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb. Perilaku dan tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia, akhir-akhir ini bukannya berkurang malah semakin merajalela dan terjadi pada semua lini sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Praktik korupsi sudah merongrong semua lembagalembaga negara, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Sudah berapa banyak pelaku korupsi ditangkap dan menjadi penghuni hotel prodeo, tetapi kondisi tersebut tidak membikin orang jera dan malu mengurangi praktik-praktik korupsi. Hal ini tentu sangat memprihatinkan, sehingga perlu dilakukan upaya dan kerja lebih keras lagi untuk memberantas atau paling tidak mengurangi praktik yang merugikan negara tersebut. Langkah baru yang dimunculkan untuk memudahkan mengungkapan perilaku dan tindakan korupsi adalah Whistleblower dan Justice Collaborator. Karena perkembangan modus perilaku korupsi semakin canggih dan bervariatif. Untuk itu perlu didorong upaya yang lebih mengena dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Dengan peran dari Whisleblower dan Justice Collaborator diharapkan akan membantu pihak penegak hukum dalam mengungkap praktik dan modus korupsi dari orang-orang terdekat pelaku tersebut. Sehingga informasi, data, modus serta praktik korupsi dapat diungkapkan. Pada sisi lain peran yang dimainkan oleh Whistleblower dan Justice Collaborator sebenarnya juga sebagai pengawasan, yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap perilaku dan praktik korupsi di lingkungannya sendiri. Pembaca Fokus yang berbahagia, Hal yang memperparah perilaku dan tindakan korupsi semakin menggurita adalah acuh tak acuhnya lingkungan terhadap praktik tersebut. Orang-orang yang mengetahui praktik-praktik korupsi yang terjadi disekelilingnya seringkali membiarkannya. Pembiaran atau kurang responnya ketika melihat perilaku dan tindakan korupsi bisa jadi disebabkan karena hal itu tidak terkait dengan kepentingannya. Bisa jadi dikarenakan dia juga mendapatkan “keuntungan” dari praktik korupsi yang ada pada lingkungan kerjanya, atau ada belenggu yang kuat sehingga mereka melakukan gerakan silent terhadap praktik haram tersebut. Untuk itu, kami merasa perlu membahas lebih dalam mengenai Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Majalah Fokus Pengawasan edisi 38 Triwulan II Tahun 2013 dengan tema “Penerapan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Prespektif Pengawasan”. Pada sisi lain, pemerintah belum memberikan stimulus dan iming-iming yang “besar” bagi orang-
4
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
orang yang rela menjadi pahlawan pemberantasan korupsi dengan menjadi Whistleblower dan Justice Collaborator. Perang melawan korupsi sudah seharusnya ditabuh oleh semua masyarakat Indonesia bukan hanya oleh penegak hukum. Sehingga peran serta masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dapat terwujud. Memang belum ada peraturan yang memadai terkait dengan Whistleblower dan Justice Collaborator. Oleh karena itu perlu didorong peraturan yang mewadahi kedua hal tersebut sehingga akan memaksimalkan peran keduanya sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif dimaksudkan bahwa orang punya niat korupsi akan takut karena apabila lingkungannya mengetahui akan dilaporkan kepada penegak hukum. Sedangkah langkah represif diartikan apabila orang sudah terjerat hukum terkait dengan perbuatan pidana korupsi “harus” mengungkapkan bagaimana perbuatan tersebut terjadi dan siapa saja yang terlibat. Pembaca Fokus yang terhormat Pada edisi kali ini, rubrik Fokus Utama menampilkan enam artikel yang mengupas tuntas terkait dengan Whistleblower dan Justice Collaborator. Keenam artikel tersebut membahas lebih dalam yakni Whistleblower Sebagai Alternatif Mengungkap Perilaku Koruptor di Lingkungan Kerjanya, Whistleblower dalam Bingkai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, Pilihan Berat Menjadi Whistleblower dan Justice Collaborator, Pengaruh Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Pengawasan, Penguatan Peran Whistleblower dalam Membentuk Kementerian Agama Bebas dari Korupsi, dan Whistleblower dan Profesionalisme Auditor. Selain itu, kami juga menyajikan empat artikel mengenai pengawasan, yaitu; LHKPN sarana untuk Whistleblower, Menjadi Auditor yang Efektif dan Berpengaruh dalam Perspektif Islam, Upaya Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi, dan Whistleblower System dalam Bingkai Pengawasan intern Kementerian / Lembaga. Selain rubrik Fokus Utama dan Pengawasan, kami juga melengkapi lima artikel pada rubrik Opini meliputi; Pendidikan Tinggi di Lingkungan Kementerian Agama, Dampak Korupsi dan Penciptaan Penyakit Sosial Masyarakat, Peran Pimpinan dalam Mencegah Praktik Korupsi, Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, dan Membangun Psikologi Pelayanan Publik yang Melayani. Dan satu artikel dalam rubrik hikmah. Selamat Membaca. [redaksi] Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fokus Utama Whistleblower sebagai Alternatif Mengungkap Perilaku Koruptor di Lingkungan Kerjanya Oleh: Abdullah
P
Penandatanganan Pakta Integritas Pejabat Eselon II dan seluruh pegawai di lingkungan Itjen Jakarta, 11 April 2013
erilaku korupsi merupakan salah satu tindakan yang merusak tatanan kehidupan masyarakat dan merusak sendi-sendi perekonomian dan keuangan negara. Perilaku korupsi sudah lama tumbuh subur di semua lini kehidupan di lingkungan birokrasi pemerintahan, di lingkungan masyarakat, lingkungan swasta bahkan di lingkungan para elit politik. Hal ini disebabkan sikap masyarakat, pejabat, pegawai, karyawan yang ada dalam lingkungan tersebut menganggap perilaku korupsi sebagai hal yang biasa. Pembiaran kondisi tersebut yang sangat dirugikan adalah masyarakat. Lembaga-lembaga pemerintahan sebagai pengguna anggaran negara yang diharapkan dapat bekerja secara maksimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dapat menyediakan fasilitas
untuk kepentingan hajat hidup masyarakat, dapat memperbaiki perekonomian serta dapat menciptakan lapangan kerja serta kesejahteraan masyarakat tidak berfungsi secara maksimal. Hal ini dikarenakan anggaran yang dikelolanya banyak yang diselewengkan oleh oknum pejabat dan pengelola kegiatan/anggaran sehingga target yang ingin dicapai dari setiap penggunaan anggaran negara tidak jelas hasil capaiannya dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat. Keberadaan lembaga-lembaga pemerin-tahan yang dipercaya untuk mengelola keuangan negara untuk kepentingan masyarakat tidak banyak dirasakan perannya oleh masyarakat pada umumnya. Perbuatan korupsi merupakan bentuk kejahatan yang biadab tidak berperikemanusiaan karena umumnya Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
5
Fokus Utama tindakan korupsi dilakukan oleh oknum/ orang-orang yang terdidik dan oknum yang punya kedudukan terhormat yang dipercaya masyarakat untuk mengelola keuangan negara untuk kepentingan memperbaiki permasalahan kehidupan masyarakat. Dampak dari perilaku para koruptor sangat mempengaruhi kelangsungan kehidupan masyarakat terutama masyarakat tingkat bawah yang tidak berdaya yang sebenarnya sangat menunggu peran lembaga-lembaga pemerintah sebagai pengelola keuangan negara. Seharusnya mereka dapat membantu masyarakat terlepas dari himpitan kesulitan kehidupan dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera namun hal itu hanya tinggal harapan karena dalam kenyataannya sulit untuk dapat diwujudkan. Masyarakat lapisan bawah bekerja keras hanya untuk dapat menyambung kehidupan sehari hari, mereka tidak punya harapan masa depan karena bekerja hari ini hanya untuk dapat makan hari ini, hari esok tidak jelas. Para koruptor dengan bangganya berfoya-foya, bermewah-mewah dalam kehidupan yang dipertontonkan kepada masyarakat, tidak pernah berpikir dan tidak pernah menyadari bahwa harta yang dipertontonkannya itu sebagian besar harta milik masyarakat yang dipercayakan kepadanya untuk dikelola dalam rangka memperbaiki kehidupan masyarakat. Pemerintah telah berupaya untuk memberantas oknum para pelaku tindak pidana korupsi dengan membentuk lembaga yang diberi kewenangan luas dalam menindak pelaku korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun sampai saat ini masih belum mampu memberantas secara maksimal. Perilaku korupsi sudah 6
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
begitu luas mengakar di dalam seluruh lini kehidupan baik di lingkungan birokrasi, lingkungan swasta, lingkungan masyarakat dan di lingkungan para elit politik, sementara penyidik KPK yang punya kewenangan untuk melacak dan menindak para pelaku korupsi jumlahnya sangat terbatas sehingga mengakibatkan jangkauannya menjadi sangat terbatas. Untuk memperluas dan mempercepat pemberantasan para pelaku tindak pidana korupsi pemerintah perlu segera menambah jumlah penyidik KPK, memperluas jaringan KPK sampai ke pelosok daerah dan memperkuat sistem pengendalian dan pengawasan dari penanggung jawab anggaran serta memberdayakan Inspektorat Jenderal yang ada di tingkat Kementerian, Inspektorat Wilayah dan Inspektorat
.... diharapkan dengan sistem yang baik orang “sejahat” apapun dan dengan kesempatan seluas apapun untuk melakukan perbuatan korupsi tidak akan pernah bisa terlaksana karena sistem membatasi akses.
Fokus Utama Kabupaten untuk mampu mengungkap sistem yang baik orang “sejahat” apapun penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan dengan kesempatan seluas apapun di institusinya serta meniadakan kegiatan- untuk melakukan perbuatan korupsi kegiatan yang tidak jelas sasaran/ target tidak akan pernah bisa terlaksana karena yang akan dicapai. sistem membatasi akses. Tidak ada ruang Inspektorat Jenderal Kementerian untuk terjadinya transaksi menyimpang Agama sedang berupaya menata aparat dan tidak bisa diakses oleh oknum yang pengawasannya dengan membentuk berniat jahat walaupun yang bersangkutan Inspektorat Investigasi yang tugas utamanya ada didalamnya, oleh karena itu perlu melakukan investigasi terhadap pengaduan diatur kembali mekanisme penggunaan masyarakat dan semua dugaan adanya uang negara agar tidak ada peluang untuk penyimpangan di lingkungan Kementerian terjadinya transaksi menyimpangan. Agama. Itjen Kemenag sekarang lebih Perilaku korupsi tidak mungkin mengefektifkan pelaksanaan audit dengan bisa diselesaikan hanya berharap kepada pola audit kinerja yang diharapkan kekuatan KPK, akan tetapi sangat diperlukan mampu mendeteksi titik-titik lemah dalam juga kerjasama dengan semua komponen pelaksanaan pengunaan anggaran serta masyarakat dan lembaga penegak hukum dapat mengukur anggaran yang digunakan lainnya. Peran serta masyarakat dalam dengan capaian kinerja yang diharapkan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat memuaskan masyarakat sebagai telah diatur dalam Peraturan Pemerintah stakeholder Kementerian Agama. Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Masyarakat tentu menunggu hasil Pelaksanaan Peran serta masyarakat dan dari perbaikan sistem yang dilakukan oleh pemberian penghargaan dalam pencegahan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Masyarakat berharap perbaikan sistem akan Dalam Bab II Pasal 2 dinyatakan “Setiap orang, memiliki dampak positif untuk perbaikan organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya pelayanan masyarakat oleh jajaran masyarakat berhak mencari, memperoleh Kementerian Agama dari tingkat pusat dan memberikan informasi adanya dugaan sampai tingkat pelosok di daerah. telah terjadi tindak pidana korupsi serta Penyebab tumbuh suburnya perilaku menyampaikan saran dan pendapat kepada korupsi diantaranya karena lemahnya penegak hukum dan/atau Komisi mengenai sistem yang ada, oleh karenanya para perkara tindak pidana korupsi”. pelaku korupsi dengan leluasa tanpa ada Dalam Bab III Pasal 7 (1), “Setiap orang hambatan dan tanpa merasa bersalah masyarakat, lembaga swadaya masyarakat “mengembat/mencuri” uang negara sesuai yang telah berjasa dalam usaha membantu keinginannya dengan berbagai alasan upaya pencegahan atau pemberantasan mencari pembenaran yang sesuai selera tindak pidana korupsi berhak mendapatkan oknum pelaku. penghargaan (2) Penghargaan sebagaimana Pemberantasan tindak pidana korupsi dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa tidak akan efektif tanpa didukung dengan piagam dan premi.” Dalam Pasal 9 dinyatakan perbaikan sistem. Diharapkan dengan “Besar premi sebagaimana dimaksud dalam Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
7
Fokus Utama
Bersama Wamenag berkomitmen bersama “Itjen Bersih Kemenag Bersih” Malu untuk KKN
pasal 7 ayat (2) ditetapkan paling banyak sebesar 2 (dua permil) dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan” Berdasarkan ketentuan tersebut di atas pemerintah telah memberikan kesempatan secara terbuka kepada seluruh komponen masyarakat untuk dapat membantu pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bahkan memberikan hadiah dan penghargaan kepada masyarakat yang dapat menyampaikan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan atas adanya tindak pidana korupsi. Untuk pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat terjadi di dalam semua lapisan kehidupan, sangat diperlukan peran whistleblower sebagai pembuka informasi atas dugaan adanya tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungannya. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, whistleblower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan 8
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Namun demikian dalam praktiknya kadang whistleblower juga terlibat dan memiliki peran dalam kejahatan tersebut karena sistem yang ada mendorong untuk terjadinya penyimpangan secara masal. Whistleblower diharapkan dapat tumbuh dan berperan aktif dalam mengungkap praktik-praktik koruptif, penyimpangan, pelanggaran dan tindak pidana pada lembaga-lembaga publik, pemerintahan maupun perusahaan swasta. Whistleblower dapat menyampaikan bukti atas terjadinya tindak pidana korupsi kepada lembaga internal yang dibentuk khusus untuk menangani masalah yang terjadi di dalam perusahaan atau instansi pemerintah. Whistleblower merupakan orang “dalam organisasi”, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja.
Fokus Utama Dengan demikian, seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan di dalam institusi swasta maupun institusi publik. Whistleblower pada lembaga pemerintahan sangat mungkin diperankan oleh auditor pada Inspektorat yang ada pada semua Kementerian/Lembaga, karena hanya auditor yang punya akses luas dapat masuk ke semua lembaga /unit kerja yang ada di lingkungan Kementerian /Lembaga-nya. Peran whistleblower diharapkan dapat segera tumbuh untuk dapat mencegah terjadinya penyimpangan pada lingkungan kerjanya. Dengan tumbuhnya peran whistleblower diharapkan institusi dapat memberikan fungsi pelayanan kepada masyarakat secara maksimal sesuai tugas dan fungsinya. Namun untuk menumbuhkan whistleblower tentu masih banyak kendala karena sistem yang ada pada lembaga pemerintah belum ada jaminan keamanan karena bisa jadi orang yang berperan sebagai whistleblower dianggap sebagai orang yang tidak loyal karena dianggap menjatuhkan atau tidak melindungi institusinya sendiri dengan mengungkapkan keburukan dari entitasnya dan tidak jarang menjatuhkan atasan atau temannya sendiri. Peran Auditor sangat penting untuk dapat mengungkap
Moral adalah sikap mental dan emosional yang dimiliki individu sebagai anggota kelompok sosial dalam melakukan tugas-tugas atau fungsi yang diharuskan kelompoknya serta loyalitas pada kelompoknya.
titik titik rawan penyimpangan yang sering terjadi di semua unit kerja yang ada lingkungan institusinya. Auditor dalam melaksanakan profesinya memiliki etika yang merupakan nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan tingkah laku yang diterima dan digunakan oleh individu atau
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
9
Fokus Utama suatu golongan tertentu. Kode etik auditor merupakan aturan etika menjelaskan kapan suatu perilaku dapat diterima dan kapan suatu perilaku tidak dapat diterima atau dianggap salah. Etika sangat erat kaitannya dengan hubungan yang mendasar antar manusia, dan berfungsi untuk mengarahkan perilaku yang bermoral. Moral adalah sikap mental dan emosional yang dimiliki individu sebagai anggota kelompok sosial dalam melakukan tugas-tugas atau fungsi yang diharuskan kelompoknya serta loyalitas pada kelompoknya. Perilaku etis seorang auditor tidak hanya ditentukan oleh aturan kode etik profesinya, tetapi juga oleh lingkungan budaya, lingkungan profesi, lingkungan organisasi, serta pengalaman-pengalaman pribadinya. Terkait dengan profesionalisme auditor, bahwa pengalaman audit berpengaruh terhadap pembuatan keputusan audit pada saat auditor menghadapi tingkat kompleksitas penugasan yang tinggi, dengan begitu menunjukkan bahwa pengalaman sangat berpengaruh terhadap profesionalisme seorang auditor. Seorang auditor yang profesional bekerja dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, Dedikasi terhadap profesi (dedication), yang dicerminkan melalui dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini berkaitan dengan ekspresi dari pencurahan diri secara keseluruhan terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan ini adalah kepuasan rohani setelah itu baru materi.
10
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Kedua, Kewajiban sosial (social obligation), berkaitan dengan pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik untuk masyarakat ataupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Ketiga, Kebutuhan akan otonomi (autonomy demand), berkaitan dengan pandangan bahwa seorang yang profesional harus mampu untuk membuat keputusan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Keempat, Keyakinan terhadap peraturan profesi (self regulation), berkaitan dengan sikap yakin bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi. Dan kelima, Hubungan dengan sesama profesi (community affiliation), berkaitan dengan pentingnya ikatan profesi sebagai acuan termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Apabila ini dapat disadari oleh profesi auditor, maka dalam rangka meningkatkan kualitas audit, pemahaman serta perilaku auditor dalam mengumpulkan bukti-bukti audit harus menggunakan pengertian evidential matter, yaitu pengumpulan bukti audit yang disertai dengan pemahaman dan keyakinan moral yang penuh, artinya dalam proses pengumpulan bukti-bukti auditor harus senantiasa memiliki dan memelihara skeptisme profesionalnya terhadap semua informasi dan pernyataan lisan maupun tertulis dari klien yang diauditnya, agar diperoleh pemahaman dan keyakinan yang memadai terhadap bukti audit yang diperolehnya.[]
Fokus Utama Whistleblower dalam Bingkai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Oleh: Tolka Hidayat
Sekretaris Itjen memberikan materi pada Kegiatan Penyusunan SOP Kementerian Agama 2013
M
asalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun-temurun, bahkan lebih cepat pertumbuhannya dibanding dengan pemberantasannya. Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu berjalan tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para pelaku korupsi. Di tengah-tengah perdebatan pemberantasan korupsi itu, akhir-akhir ini sering terdengar istilah whistleblower sebagai salah satu pendekatan proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah whistleblower (pengungkap fakta/pelapor) dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Eksistensi seorang whistleblower dalam realitas penegakan hukum di Indonesia belakangan ini semakin memperoleh perhatian publik.
Orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri adanya tindak pidana korupsi yang kemudian mengungkapkan ke publik atau melaporkan kepada pihak berwenang (aparat penegak hukum) dikenal dengan istilah whistleblower. Tindakan whistleblower melaporkan kasus tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum tersebut selama ini menimbulkan polemik tersendiri karena tidak adanya kepastian perlindungan hukum yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena regulasi yang ada di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum yang semestinya bagi whistleblower. Perlindungan whistleblower dalam tindak pidana korupsi sangatlah penting, mengingat dalam tindak pidana korupsi yang menjadi tersangka/terdakwa ataupun pihak yang terkait dengan kasus tersebut dapat mengancam pelapor dengan menggunakan pengaruh jabatannya. Seperti yang telah kita ketahui beberapa contoh pelapor kasus tindak pidana korupsi di Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
11
Fokus Utama Indonesia yang akhirnya justru dijadikan sebagai tersangka karena telah melaporkan ke aparat penegak hukum, misalnya; Agus Tjondro dipecat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lantaran buka suara ke media massa dan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan skandal dugaan suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Kemudian yang paling fenomenal dan banyak menimbulkan kontroversi publik adalah pengungkapan mafia hukum oleh mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji. Pengungkapan adanya mafia hukum oleh Susno tersebut tidak dibalas dengan reward, tetapi justru menjadi bumerang bagi dirinya. Berkaca pada dua contoh kasus diatas, maka tidaklah heran apabila keberanian seorang whistleblower dalam mengungkap fakta-fakta suatu kasus pelanggaran hukum menjadi sangat rentan dan membahayakan para whistleblower itu sendiri. Tidak hanya jabatan, harta, keselamatan jiwa dan keluarganya pun dapat terancam sebagai akibat pengungkapan yang dilakukan. Merujuk pada uraian di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah pertama, mengapa seorang whistleblower masih belum diberi jaminan perlindungan hukum yang semestinya? Kedua, mengapa whistleblower masih belum/kurang mendapat perhatian sebuah penghargaan dan apresiasi. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memaknai Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban. Peraturan ini yang oleh banyak orang sering disebut sebagai dasar hukum bagi seorang whistleblower. Perlindungan Whistleblower Pengaturan mengenai perlindungan whistleblower secara eksplisit diatur dalam 12
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa; “Seorang saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan”. Aturan yang dimuat dalam Pasal 10 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006 ini menjadi ambigu dan bersifat kontradiktif terdapat pasal yang sama dalam ayat (2), yakni : “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apbila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Isi Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006, terdapat kata-kata ”saksi yang juga tersangka” merupakan rumusan yang kurang bisa dipahami secara konsisten terhadap saksi yang juga berstatus sebagai saksi pelapor kemudian tibatiba berubah menjadi tersangka. Hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Eddy O.S. Hiariej, (Newsletter 2010) bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat whistleblower, hal tersebut dikarenakan pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut. Lebih lanjut Hiariej memberikan penilaian bahwa Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) kerancuan yaitu: Pertama, saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama akan menghilangkan hak excusatie terdakwa. Hal ini merupakan salah satu unsur objektifitas peradilan. Ketika whistleblower sebagai saksi di pengadilan maka keterangannya sah sebagai alat bukti jika diucapkan di bawah
Fokus Utama
Orang cenderung tak berani mengungkap kejahatan karena takut akan adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya. sumpah. Apabila whistleblower berstatus sebagai terdakwa yang diberikan tidak di bawah sumpah. Kedua, whistleblower yang memiliki dua status yang berbeda yaitu sebagai saksi sekaligus sebagai tersangka menyebabkan menjadi ambigu, siapa yang akan disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan secara bersamaan. Dan Ketiga, Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 bersifat “kontra legem” dengan ayat (1) dalam pasal dan Undang-undang yang sama, pada hakikatnya menyebutkan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan. Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 membuat pemahaman terhadap saksi yang juga
tersangka semakin tidak jelas, karena disana dijelaskan seorang saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum baik pidana maupun perdata. Hal ini, berarti bisa saja pada waktu bersamaan seorang saksi menjadi tersangka. Meskipun menurut Pasal 10 ayat (2) ini, memungkinkan akan memberikan keringanan hukuman bagi whistleblower, namun kemungkinan tersebut tetap tidak dapat membuat seorang yang menjadi whistleblower akan bernafas lega atau bahkan sama sekali membuat seseorang tertarik untuk menjadi whistleblower. Seorang yang telah menjadi whistleblower, apabila mengacu Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, harapan untuk lepas dari tuntutan hukum sangat sulit, karena pasal ini telah menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Artinya untuk bisa lepas dari tuntutan hukum adalah menjadi harapan bagi whistleblower yang sekaligus juga sebagai pelaku tindak pidana, karena untuk dapat bebas dari tuntutan hukum, hampir tidak mungkin. Menurut M. Jasin (Newsletter, 2006), seorang whistleblower harus mendapat perlindungan. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 33 United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006. KPK sendiri berdasarkan Pasal 15 butir (a) UU No. 30 Tahun 2002 berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor. Meskipun saat ini telah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjalankan tugas memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Namun lingkup LPSK sayangnya belum menjangkau whistleblower, UU No.13 Tahun 2006 tidak mencantumkan bahwa Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
13
Fokus Utama whistleblower adalah pihak yang diberikan perlindungan. Hanya saksi dan korban yang diatur dalam Undang-Undang ini. Untuk itu rumusan Pasal 33 UNCAC seharusnya dimasukkan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006. Perlunya Undang-Undang Khusus Kewajiban untuk mengungkapkan suatu tindak pidana, korupsi, penipuan atau tindak pidana lainnya merupakan hal yang umum di banyak negara, termasuk di Indonesia. Perlindungan whistleblower merupakan konsekuensi logis dari kewajiban tersebut. Namun, belum adanya mekanisme dan perlindungan yang memadai, serta masih lemahnya penegakan hukum, merupakan masalah tersendiri bagi whistleblower. Sebagai pengungkap skandal kejahatan publik, sosok whistleblower nyaris tak memiliki perlindungan hukum. Terdapat beberapa peraturan yang secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap whistleblower, seperti UndangUndang Perlindungan Saksi dan Korban yang sering dianggap melindungi whistleblower, juga Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hanya saja peraturan-peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dapat dilakukan. Serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistleblower. Oleh karenanya, saat ini diperlukan adanya sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower. UndangUndang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme pengungkapan dan perlindungan terhadap whistleblower untuk mengungkap suatu ‘kesalahan’ atau penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan publik. Orang cenderung tak berani mengungkap 14
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
kejahatan karena takut akan adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk segera membentuk dan memiliki Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai cara dan mekanisme perlindungan bagi whistleblower. Penutup dan Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di Indonesia masih belum ada pengaturan secara jelas mengenai whistleblower. Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Pasal 10, mencerminkan bahwa semua norma dalam Undang-Undang LPSK seharusnya dimasukkan untuk memberikan perlindungan terhadap whistleblower, namun justru mengancam whistleblower. Dalam Undang-Undang tersebut hanya mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, bukan terhadap pelapor atau tidak menetapkan whistleblower sebagai pihak yang diberikan perlindungan. Untuk itu, perlu dipertimbangkan rumusan Pasal 33 UNCAC dimasukkan dalam Peraturan Perundangundangan melalui revisi Undang-Undang No.13 Tahun 2006. Untuk menjamin kepastian hukum bagi whistleblower, maka saat ini diperlukan adanya sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower. Kebutuhan adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur whistleblower juga dapat menghilangkan rasa takut bagi seorang whistleblower tentang akan adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya.[]
Fokus Utama Pilihan Berat Menjadi Whistleblower dan Justice Collaborator Oleh: M. Nailil Fijjar
Menag bersama Irjen, Sekjen dan Dirjen Pendis saat Acara Rapat Pimpinan Kemenag Tahun 2013 Jakarta, 1 Mei 2013
P
engertian
whistleblower
menurut
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
Peraturan Pemerintah Nomor 71
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,
Tahun 2000 adalah orang yang
ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.
memberi suatu informasi kepada penegak
Jenis pengungkap kejahatan yang
hukum atau komisi mengenai terjadinya
dilindungi ada dua, yaitu justice collaborator
suatu tindak pidana korupsi dan bukan
dan
pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta
merupakan pihak yang menjadi bagian
(whistleblower)
dari
dalam
Undang-Undang
whistleblower. kelompok
Justice
kejahatan,
collaborator sedangkan
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
whistleblower bisa berasal dari luar kelompok
Saksi
memberikan
ataupun dari dalam kelompok itu. Peran
pengertian tentang “pengungkap fakta”,
whistleblower sangat penting dan diperlukan
akan tetapi hanya memberikan pengertian
dalam rangka proses pemberantasan tindak
tentang saksi. Adapun yang disebut dengan
pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan
saksi menurut Undang - Undang Nomor
semacam suatu gosip bagi pengungkapan
13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat
kasus korupsi maupun mafia peradilan. Yang
memberikan keterangan guna kepentingan
dikatakan whistleblower itu harus benar-
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
benar didukung oleh fakta konkret, bukan
dan
Korban
tidak
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
15
Fokus Utama semacam surat kaleng atau rumor saja.
undang yang ada masih bersifat umum
Penyidikan atau penuntut umum kalau ada
terhadap saksi, pelapor dan korban. Kalau
laporan seorang whistleblower harus hati-
pun ada hanya berbentuk Surat Edaran
hati menerimannya, tidak sembarangan apa
Mahkamah Agung RI (“SEMA”) yaitu SEMA
yang dilaporkan itu langsung diterima dan
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
harus diuji dahulu.
Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) Justice
dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
collaborator merupakan langkah alternatif
Collaborator) di dalam Perkara Tindak
yang
dalam
Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama
membongkar kejahatan korupsi. Namun
Kementerian Hukum dan HAM RI, Komisi
keberadaannya
kelemahan
Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Kejaksaan
mengenai perlindungan status hukum tidak
RI, Polri, dan LPSK tentang Perlindungan
diberikan apabila dari hasil penyelidikan
bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku
dan penyidikan terdapat bukti yang cukup
yang Bekerjasama.
Whistleblower penting
maupun
dan
ensensial
terdapat
keterlibatan
Kedua, Belum adanya pemahaman dan
si pengungkap fakta (pelapor). Dengan
perspektif bersama aparat penegak hukum
demikian, si pengungkap fakta (pelapor)
dalam memberikan perlindungan terhadap
telah menempuh suatu risiko yang tinggi,
whistleblower, kesepakatan bersama hanya
bahkan mempertaruhkan kehidupannya,
di tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di
namun sebuah penghargaan dan apresiasi
tingkat bawah maupun daerah. Ketiga, Belum
kurang diperhatikan, sehingga hal ini
maksimalnya
dapat menimbulkan suatu kondisi krisis
terhadap whistleblower. Hal ini karena Hakim
yang
dapat
memperkuat
kepercayaan perihal penjaminan terhadap diri si pengungkap fakta/pelapor. Permasalahan Whistleblower Beberapa hambatan
hal
yang
dan
masalah
menjadi dalam
perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap fakta (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice
collaborator)
yaitu,
Pertama, Belum adanya dasar hukum
yang
kuat
untuk
menjamin perlindungan terhadap whistleblower, 16
undang-
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
pemberian
perlindungan
Fokus Utama masih mengabaikan rekomendasi aparat
Whistleblower berperan penting dalam
penegak hukum terhadap status seseorang
pengungkapan kasus sehingga perlu ada
sebagai whistleblower. Ini juga disebabkan
penanganan khusus untuk mereka, terutama
SEMA sifatnya tidak punya kekuatan hukum
dalam kejahatan terorganisasi. Pembuktian
mengikat. Dan keempat, Peran Lembaga
kejahatan hukum tidak mudah. "Bukti
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
bisa direkayasa, saksi dari kolega maupun
masih terbatas dalam kewenangan yang
keluarga bisa menghindar, kalaupun mau
dituangkan Undang-Undang Nomor 13
jadi saksi karena terpaksa.
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Seperti diketahui sejumlah justice collaborator dan whistleblower (pembongkar
Korban. instansi
kasus korupsi), telah memperoleh reward
menandatangani pernyataan bersama untuk
berupa pembebasan bersyarat. Penghargaan
memberi perlindungan terhadap peniup
itu merupakan bukti nyata bahwa para justice
peluit (whistleblower) dalam pengungkapan
collaborator tidak hanya dimanfaatkan oleh
tindak pidana. Saksi korban maupun pelaku
aparat penegak hukum untuk membongkar
diharapkan tidak ragu menjadi pengungkap
kasus tindak pidana korupsi, tetapi harus
tabir kejahatan.
benar-benar memperoleh haknya. Seorang
Belum
banyak
pimpinan
tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi sebenarnya tidak bisa memperoleh pembebasan bersyarat, remisi, apalagi grasi.
Spirit penerapan justice collaborator diletakkan dalam konteks untuk
Hanya kepada mereka yang mau bekerja sama membongkar kasusnya bersama aparat penegak hukum berhak memperolehnya. Dengan
pemberian
penghargaan
itu, diharapkan akan menjadi pendorong maraknya orang bersedia menjadi justice
membongkar
collaborator atau whistleblower, khususnya
kejahatan yang
korupsi di Indonesia. Spirit penerapan justice
lebih besar, bukan
collaborator diletakkan dalam konteks untuk
sebagai alat negosiasi
bukan sebagai alat negosiasi pihak-pihak
pihak-pihak yang berkepentingan.
untuk mengungkap kasus tindak pidana
membongkar kejahatan yang lebih besar, yang berkepentingan. Terkait dengan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan, Pasal 197 angka (1) huruf (f ) Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
17
Fokus Utama Posisi sebagai justice collaborator tidak
KUHAP menegaskan bahwa surat putusan pemidanaan
memuat
pasal
peraturan
dapat serta merta dihubungkan dengan
perundang-undangan yang menjadi dasar
upaya
pemidanaan atau tindakan dan peraturan
hukuman.
perundang-undangan yang menjadi dasar
memberikan keringanan hukuman adalah
hukum dari putusan, disertai keadaan yang
berdasarkan hal-hal tersebut di atas, bukan
memberatkan
meringankan
karena setelah menerima tawaran untuk
yang
dapat
menjadi justice collaborator. Sikap kooperatif
meringankan terdakwa antara lain: tidak
seorang terdakwa sudah cukup menjadi
berbelit-belit, kooperatif, belum pernah
dasar
dihukum, berusia masih muda, berkelakuan
keringanan. Jadi spirit penerapan justice
baik atau sopan selama persidangan di
collaborator diletakkan dalam konteks untuk
pengadilan, atau memiliki tanggungan anak
membongkar kejahatan yang lebih besar,
dan istri.
bukan sebagai alat negosiasi pihak-pihak
terdakwa.
dan
Beberapa
yang hal
untuk
memperoleh
Sekiranya
bagi
hakim
keringanan
hakim
untuk
dalam
memberikan
yang berkepentingan. Berdasarkan
Peraturan
Pemerin
tah Nomor 99 Tahun 2012, menjadi justice collaborator adalah salah satu syarat utama bagi
narapidana
untuk
mendapatkan
pembebasan bersyarat atau remisi, selain bukan pelaku utama dan adanya unsur kerjasama
dengan
aparat
penegak
hukum. Semua aturan itu menjadi dasar pertimbangan memberikan penghargaan kepada
whistleblower
(pelapor
tindak
pidana) dan justice collaborator. Regulasi itu penting diketahui khalayak khususnya yang bersentuhan tindak pidana tertentu agar terdorong untuk menjadi whistleblower dan
justice collaborator.
mendapatkan
Mereka
keringanan
akan
hukuman,
semua aparat penegak hukum sudah satu pandangan soal ini. Wamenag saat memberikan tausiyah pada acara bintal pegawai Itjen, 11 April 2013
Untuk mendapat status hukum itu seseorang harus memenuhi persyaratan, bahwa tindak pidana yang akan diungkap
18
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Fokus Utama tergolong serius atau terorganisir. Misalnya,
mua penegak hukum mendukungnya. Tanpa
korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba,
dukungan penegak hukum tidak akan efektif.
terorisme, TPPU, traficking, kehutanan, dan
Peraturan Pemerintah tersebut sebenarnya
lain-lain. Yang bersangkutan juga harus
bisa
memberikan keterangan signifikan, relevan,
pemberantasan korupsi dengan memberikan
dan andal untuk mengungkap suatu tidak
insentif-insentif kepada pihak yang bisa
pidana se rius. Syarat penting lainnya, sak
mem bantu mengungkap korupsi. Mereka
si pe laku bukanlah pelaku uta ma da lam
yang menjadi justice collaborator, semestinya
tindak pidana yang akan di ung kapnya.
mendapat keringanan hukuman sebagai
Selain
kompensasinya, bukan malah sebaliknya.
itu,
kesediaan
mengem balikan
me micu
upaya
mempercepat
sejumlah aset hasil tindak pidana, yang
Syarat menjadi justice collaborator
dinyatakan secara tertulis. Kemudian ada
tidaklah mudah. Dia harus memenuhi kriteria
kekhawatiran akan adanya ancaman nyata
seperti berani mengungkap semua fakta dan
berupa tekanan, baik fisik mau pun psikis
pelaku kasus tindak pidana korupsi, sekalipun
terhadap saksi pelaku yang bekerjasama
orang yang memiliki pengaruh. Selain itu
atau keluarganya apabila tindak pidana itu
ada kerugian negara yang selamatkan yaitu
diungkap menurut fakta sebe narnya. Jika
dengan cara dikembalikan ke negara. Orang
sudah menyandang status itu, sang justice
yang dijadikan justice collaborator sudah
collaborator berhak atas perlindungan fisik,
diberikan hukuman terkait kasus yang men
psikis, hukum, penanganan secara khusus
jeratnya. Pengungkapan infor masi justice
dan penghargaan.
collaborator terhadap bukan asal ucap, kare
Keberadaan PP Nomor 99 Tahun 2012
na harus berdasarkan dengan data. “Apa
yang mengatur soal justice collaborator cukup
yang diungkapkan be lum tentu benar.
efektif mengungkap kejahatan asalkan se
Jangan sampai mengacak-acak kasus.” Jika Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
19
Fokus Utama seseorang telah ditetapkan menjadi justice
pidana
collaborator maka orang tersebut men da
kesalahan, oleh karenanya sangat mudah
patkan perlakuan khusus karena membantu
untuk
mengungkapkan kasus. Misalnya, mendapat
dan
kan remisi, keringanan hukuman, hukuman
memungkinkan baginya adalah lepas dari
dikurangi. Bahkan bisa dapat pembebasan
tuntutan hukum sebagimana terdapat dalam
bersyarat. Tapi bukannya sama sekali tanpa
Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan
dihukum.
bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa
Menurut pakar hukum pidana UGM,
diduga
kuat
telah
membuktikannya meyakinkan
di
melakukan secara
sah
Pengadilan. Yang
perbuatan yang didakwakan kepadanya
Eddy O.S. Hiariej, bahwa Pasal 10 ayat
terbukti,
(2) Undang-Undang No.13 Tahun 2006
merupakan suatu tindak pidana, maka
adalah bertentangan dengan semangat
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
whistleblower, mengapa? Karena pasal ini
hukum
tidak
memenuhi
prinsip
tetapi
perbuatan
itu
tidak
perlindungan
terhadap seorang whistleblower, dimana
Kesimpulan dan Saran
yang bersangkutan tetap akan dijatuhi
Adapun kriteria seorang untuk menjadi
hukuman pidana bilamana terlibat dalam
whistleblower tidak perlu ada, karena siapa
kejahatan tersebut. Pasal 191 ayat (1)
saja yang benar-benar mengetahui adanya
KUHAP menentukan bahwa jika pengadilan
suatu permufakatan jahat, kemudian bila
berpendapat bahwa dari hasil pemerikasaan
dia sungguh-sungguh memberikan laporan
disidangkan pengadilan, kesalahan terdakwa
atau kesaksian kepada penegak hukum,
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya
maka
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sementara whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak
20
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
orang itu wajib hukumnya untuk
dilindungi.
S e o r a n g
Fokus Utama whistleblower seharusnya secara yuridis
collaborator. Selain itu, tak boleh diabaikan
normatif mendapat perlindungan
pula adalah pemberian insentif hukum
Ada beberapa peraturan yang berlaku
(reward) kepada para justice collaborator.
dalam hukum positif di Indonesia yang
Dengan adanya perlakuan ini, diharapkan
menyinggung mengenai pengaturan dan
para justice collaborator dapat memberikan
perlindungan terhadap saksi, pelapor dan
informasi yang benar dan akurat, dan
korban yang dapat menjadi patokan dasar
langkahnya dapat ditiru oleh masyarakat
terhadap pengaturan dan perlindungan
lainnya.
justice collaborator, antara lain: PP No. 71
Bagi pemerintah dan instansi yang
Tahun 2000, PP No. 2 Tahun 2002, PP No.
berwenang yang terkait, diharapkan dapat
57 Tahun 2003, PP No. 24 Tahun, UU No. 13
meningkatkan upaya-upaya perlindungan
Tahun 2006, Undang-Undang No. 31 Tahun
hukum
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, UU No. 8 tahun
whistleblower dan justice
2010, dan Konvensi PBB Anti Korupsi, serta
sehingga dapat terealisasikan hak-haknya
Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional
sampai proses pemeriksaan perkara tindak
yang Terorganisasi.
pidana korupsi tersebut berakhir. Sebaiknya
Namun
baik
khusus
terhadap collaborator,
instrumen
lembaga penegak hukum, baik itu Komisi
internasional dan nasional hanya mengatur
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian,
secara umum saja, tidak ada yang mengatur
Kejaksaan, Lembaga Perlindungan Saksi
secara emplisit mengenai bentuk-bentuk
dan Korban (LPSK) dan Mahkamah Agung
perlindungan hukum bagi justice collaborator.
(MA) membuat suatu konsep pemikiran
Dalam prospek pengaturan tentang Justice
yang
Collaborator dan perlindungan hukumnya
whistleblower dan justice collaborator dan
dalam
terlebih lagi diharapkan segera membuat
peraturan
dalam
secara
perundang-undangan
seragam
atau
sama
mengenai
di Indonesia secara factual belum diatur
peraturan
secara spesifik/khusus. Dengan adanya hal
yang mengatur secara spesifik mengenai
tersebut, peranannya dalam mengungkap
whistleblower dan justice collaborator dan
tindak pidana korupsi menjadi tidak leluasa
perlindungan hukumnya.[]
perundang-undangan
baru
dan cenderung tertekan baik secara fisik maupun psikis. Melihat betapa pentingnya peran justice
collaborator
aparat
penegak
dalam hukum
membantu membongkar
dan memberantas tindak pidana korupsi maka diperlukan payung hukum yang kuat dalam mengatur dan melindungi justice Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
21
Fokus Utama Pengaruh Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Pengawasan Oleh: Suparmono
Irjen Kemenag memberikan arahan pada pembukaan Lokakarya Pengawasan Bogor, 30 Mei 2013
B
erdasarkan beberapa hasil audit yang sering terjadi di beberapa daerah yang pernah penulis kunjungi adalah banyaknya temuan atau kasus kasus yang merugikan negara, dan yang lebih spesifik lagi adalah masalah kerugian negara dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, dalam hal ini adalah masalah kesalahan prosedur, penetapan HPS dan mark up harga barang-barang pengadaan yang nilainya cukup signifikan dan merugikan negara jutaan rupiah bahkan sampai ratusan juta rupiah, bahkan baru baru ini terjadi mark up pengadaan kitab suci Al Qur’an. Hal ini terjadi memang sistem yang dibangun belum menyentuh dan belum dipahaminya peraturan perundang undangan atau pura pura belum memahami bagi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Bendaharawan di dalam menerapkan sistem yang transparan, akuntabel dengan fakta integritasnya yang 22
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
telah dibuat. Sehingga rekayasa penggunaan anggaran tidak dapat di pungkiri lagi dan bahkan cenderung mengabaikan aturan yang telah disepakati dan dipedomani bersama. Dengan semakin gencarnya rekayasa anggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang korup ini, maka perlu dilakukan pembenahan dan perbaikan sistem serta mengikutsertakan para whistleblower dan justice collabolator untuk mengurangi dampak yang terjadi selama ini. Pengertian whistleblower kerap dicampuradukkan dengan justice collaborator walaupun sama-sama melakukan kerja sama dengan aparat hukum dengan memberikan informasi penting terkait kasus hukum. Namun, keduanya memiliki status hukum yang berbeda. Perbedaan whistleblower dengan justice collaborator adalah whistleblower bisa diterjemahkan dengan saksi pelapor, sedangkan justice collaborator sering disebut
Fokus Utama saksi pelaku yang bekerja sama. Arti ini menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, disampaikan dalam Diskusi Media di Auditorium Komisi Pemberantasan Korupsi. Wamenkum HAM menjelaskan bahwa whistleblower tidak terlibat dalam tindak pidana yang diungkapnya. Adapun justice collaborator justru termasuk dalam kelompok atau turut terlibat dalam tindak pidana tertentu. Mantan Staf Khusus Presiden ini mencontohkan kekeliruan yang berkembang selama ini terkait sebutan whistleblower yang sering dikenakan pada Agus Tjondro, mantan anggota Fraksi PDI-P di DPR periode 19992004 itu terlibat dalam kasus cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Gultom tahun 1994. Pada tanggal 10 Agustus 2011 telah diterbitkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yang memerintahkan bahwa para hakim di Indonesia agar melindungi whistleblower dan memberikan keringanan hukuman bagi justice collaborator. whistleblower adalah para pelapor tindak pidana, dan justice collaborator adalah para pelaku yang bersedia untuk bekerja sama demi penuntasan suatu kasus. Masalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan tidak mudah untuk diberantas sampai ke akar-akarnya. Hal ini memang sudah menjadi budaya yang turun-temurun, bahkan korupsi yang ada di Indonesia lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan bagaimana cara untuk mengatasi dan melakukan pemberantasan sampai tuntas. Upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan dengan berbagai macam cara dan model dengan diterbitkannya peraturan perundang undangan, Ketetapan
Whistleblower adalah para pelapor tindak pidana, dan Justice Collaborator adalah para pelaku yang bersedia untuk bekerja sama demi penuntasan suatu kasus.
MPR, Keppres serta dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun seiring berjalannya waktu pemberantasan korupsi berjalan tertatihtatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para pelaku korupsi. Di tengahtengah perdebatan pemberantasan korupsi itu, ada istilah whistleblower sebagai salah satu pendekatan proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun pengertian whistleblower menurut Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
23
Fokus Utama pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri. Whistleblower berkembang diberbagai negara dengan seperangkat aturan
Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dari Accupational Detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan. Ketiga, Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi. Keempat, Australia, Whistleblower
Suasana sidang komisi pada Kegiatan Lokakarya Pengawasan 2013
masing-masing, diantaranya ialah : Pertama, Amerikat Serikat, Whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi. Kedua, Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act
24
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994. Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawaban secara pidana atau perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media. Kelima, Inggris, Whistleblower diatur
Fokus Utama Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.Perkembangan modus tindak pidana kejahatan korupsi di negeri kita akhir-akhir ini menunjukkan skala yang meluas dan semakin canggih. Kenyataan ini juga mendorong upaya pengungkapan kasuskasus korupsi untuk keluar dari cara-cara konvensional. Adapun, salah satu cara untuk mengungkap terorganisirnya praktik korupsi tersebut diperlukan peran whistleblower yang dapat mendorong pengungkapan modus tindak pidana korupsi menjadi relatif lebih mudah untuk dibongkar. Menurut Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, peran Whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tidak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada laporan seorang whistleblower harus hati-hati menerimannya, tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan harus diuji dahulu. Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam di institusi di mana ditengarai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam, seorang whistleblower
merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja. Seorang whistleblower ini bisa merupakan orang yang sama tidak terlibat dalam perbuatan korupsi yang terjadi dalam bagian korupsi yang terjadi. Dalam konteks hukum positif kita, kehadiran whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya mendudukan whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi. Sebab
secara yuridis normative, berdasar UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (2) keberadaan whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
25
Fokus Utama pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Whistleblower merupakan langkah alternatif yang penting dan ensensial dalam membongkar kejahatan korupsi, namun keberadaannya terdapat kelemahan mengenai perlindungan status hukum, karena apabila dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang cukup yang dapat memperkuat keterlibatan si pengungkap fakta (pelapor). Dengan demikian, si pengungkap fakta (pelapor) telah menempuh suatu resiko yang tinggi, bahkan mempertaruhkan kehidupannya.Namun penghargaan dan apresiasi kurang diperhatikan, sehingga hal ini dapat menimbulkan suatu kondisi kritis kepercayaan perihal penjaminan terhadap diri si pengungkap fakta/pelapor. Pengaturan mengenai perlindungan whistleblower (pengungkap fakta/pelapor) secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa “Seorang saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan“. Aturan yang dimuat dalam Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 tahun 2006 ini menjadi ambigu dan bersifat kontradiktif terdapat pasal yang sama dalam ayat (2), yakni: “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Isi Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, terdapat kata-kata ”saksi yang juga tersangka” merupakan rumusan 26
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
yang kurang bisa dipahami secara konsisten terhadap saksi yang juga berstatus sebagai saksi pelapor kemudian tiba-tiba berubah menjadi tersangka. Hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kemudian apabila kita tengok diberbagai negara tentang whistleblower dipastikan berada dalam suatu jaringan mafia, yang jelas mengetahui adanya permufakatan jahat, sehingga tidak jarang kemudian adanya sindikat kejahatan itu dapat dibongkar,
Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Fokus Utama dikarenakan adanya suatu pembangkangan yang dilakukan oleh whistleblower untuk membongkar atau mengungkap apa yang dilakukan oleh kelompok mafia. Sebagai imbalan seorang whistleblower dibebaskan dari tuntutan pidana. Menurut M. Jasin, mantan wakil ketua KPK menyatakan bahwa seorang whistleblower harus mendapat perlindungan. Hal ini diatur
secara tegas dalam pasal 33 United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. KPK sendiri berdasar pasal 15 butir (a) UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor. Meskipun saat ini telah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjalankan tugas memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Namun lingkup LPSK sayangnya belum menjangkau whistleblower. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tidak
mencantumkan bahwa whistleblower adalah pihak yang diberikan perlindungan, hanya saksi dan korban yang diatur dalamnya. Untuk itu rumusan pasal 33 UNCAC seharusnya dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor13 Tahun 2006. Saldi Isra, berpendapat sebagai berikut: semua norma dalam Undang-Undang LPSK seharusnya dimasukkan untuk memberikan perlindungan terhadap whistleblower, namun justru mengancam kepada whistleblower. Hal ini dapat diperhatikan dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, “Seorang saksi yang juga terdakwa dalam kasus sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana jika ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan. Tetapi kesaksiannya bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan”. Menurut Ahmad Yani, di Indonesia belum ada pengaturan secara jelas mengenai whistleblower. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 hanya mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, bukan terhadap pelapor. Lebih lanjut menurut Yani, whistleblower itu tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas perkara-perkara yang dikemukakan kepada penegak hukum. Kasus-kasus besar seperti mafia perpajakan itu biasanya dibongkar oleh orang dalam sendiri, oleh karena itu
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
27
Fokus Utama perlu ada pengaturan perlindungan terhadap whistleblower. Adapun kriteria seorang untuk menjadi whistleblower tidak perlu ada, karena siapa saja yang benar-benar mengetahui adanya
..... siapa saja yang benarbenar mengetahui adanya suatu permufakatan jahat, kemudian bila dia sungguh-sungguh memberikan laporan atau kesaksian kepada penegak hukum, maka orang itu wajib hukumnya untuk dilindungi.
28
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
suatu permufakatan jahat, kemudian bila dia sungguh-sungguh memberikan laporan atau kesaksian kepada penegak hukum, maka orang itu wajib hukumnya untuk dilindungi. Seorang whistleblower seharusnya secara yuridis normatif mendapat perlindungan. Karena hal ini, telah diatur secara tegas dalam Pasal 33 United Nations Convention Againt Corruption (UNCAC). Selanjutnya apabila para pemimpin dan para birokrasi, serta para penegak hukum di pemerintahan ini menginginkan suatu kepemerintahan yang baik, maka pengaruh seorang whistleblower dan justice collaborator dalam perspektif pengawasan sangat positif dalam mendukung terungkapnya suatu permasalahan yang selama ini terjadi pada instansi pemerintah. Namun ada saja kendala dan hambatan yang terjadi antara lain masih ada para pimpinan dan para penegak hukum yang tidak menginginkan whistleblower bekerja secara maksimal dalam mengungkap dan melaporkan kejadian yang sesungguhnya. Seorang whistleblower dianggap sebagai musuh bagi para pimpinan dan penegak hukum yang tidak konsisten. Kemudian peran justice collaborator dalam perspektif pengawasan dapat dijadikan suatu contoh bagi aparatur pengawasan untuk lebih dalam lagi melakukan pemeriksaan dan penyelidikan, sehingga bisa terungkap orangorang yang memang benar benar melakukan kesalahan, dan bukannya orang-orang yang tidak bersalah yang dikenakan sanksi serta dihukum.[]
Fokus Utama Penguatan Peran Whistleblower dalam Membentuk Kementerian Agama Bebas dari Korupsi Oleh: Hendro Dwiantoro
I
ndonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan pembangunan di segala bidang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pembangunan adalah proses perubahan keadaan masyarakat menjadi keadaan masyarakat yang lebih baik dan yang dicita-citakan. Dalam melaksanakan pembangunan jelas memerlukan dana yang tidak sedikit, disamping itu juga akan ditemui h a m b a t a n h a m b a t a n diantaranya adalah kejahatan. Kejahatan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini diantaranya adalah korupsi. Korupsi di Indonesia sudah merajalela sejak tahun 1950-an. Perkembangan korupsi sampai saat ini makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi prilaku sosial sebagaian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat system integritas publik. Birokrasi pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan
kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Budaya birokrasi yang masih bersifat koruptif, diyakini sebagai penyebab masih rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2013 ini. Selain itu masih banyak lagi penyebab terjadinya tindakan korupsi mulai dari conflict of interest, penyuapan, hingga pemerasan. Tak berhenti sampai di situ, praktik k o r u p s i tersebut kemudian dilakukan d e n g a n pencucian uang untuk menyamarkan h a s i l kejahatan para pelaku agar tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum, sehingga akhirnya dana tersebut terlihat bersumber dari kegiatan ekonomi yang bersih dan legal. Strategi pemberantasan korupsi tersebut dapat dilaksanakan melalui pencegahan, pendeteksian, hingga penuntutan. Upaya pencegahan harus lebih dikedepankan dalam menghadapi praktik kejahatan “kerah putih” tersebut. Hal itu bisa diatasi dengan menerapkan tiga terobosan sistem pencegahan. Tiga sistem pencegahan itu antara lain dengan menguatkan peran internal kontrol pada Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
29
Fokus Utama inspektorat setiap kementerian/lembaga, mengimplementasikan Whistleblower System sehingga setiap pegawai berkesempatan untuk mengadukan tindakan koruptif koleganya namun pelapor diberi perlindungan, serta dengan membangun hotline pengaduan masyarakat untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat dalam memberikan kontrol terhadap pelayanan publik. Dalam rangka meningkatkan komitmen membentuk lingkungan Kementerian Agama yang bersih serta bebas dari korupsi dan penyimpangan lainnya, pemerintah perlu memperkuat mekanisme pencegahan dan pengawasan yang bebas korupsi dengan mendorong implementasi Whistleblower System di lingkungan Kementerian Agama. Cara ini diharapkan mampu menutup ruangruang untuk melakukan korupsi. Setiap instansi harus mulai menerapkan sistem peniup peluit (whistleblower), penanganan konflik kepentingan, penegakan disiplin, penegakan kode etik, dan penguatan peran aparatur pengawasan internal pemerintah. Kementerian Agama juga harus dapat merespon cepat isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi seluruh jajaran Kementerian Agama, baik di lingkungan pusat maupun di daerah. Dengan penanganan yang baik, Kementerian Agama akan dapat menyajikan informasi dengan cepat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan intern terhadap seluruh program dan 30
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Istilah whistleblower memiliki makna yang bermacam-macam. Kadang ia diartikan sebagai “peniup peluit”, “saksi pelapor”, “pemukul kentongan”, “berani buka mulut”, atau “pengungkap fakta”. kegiatan Kementerian Agama. Pengawasan tersebut dilakukan melalui kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya. Seluruh Satuan Kerja (Satker) Kementerian Agama harus senatiasa membangun image yang baik, mewujudkan wilayah yang bersih dari korupsi dan penyimpangan lain, meningkatkan kinerja, serta memberikan pelayanan publik yang baik. Karena selama ini, Kementerian Agama mempunyai image kurang bagus di mata masyarakat. Oleh karena itu, Kementerian Agama harus berbenah dalam merubah sistem administrasi, tata kelola, dan pengelolaan keuangan yang benar dan akuntabel. Beberapa dekade terakhir istilah whistleblower menjadi makin populer di Indonesia, terutama sejak munculnya Khairiansyah (mantan auditor BPK) yang mengungkap kasus di tubuh KPU dan
Fokus Utama kemudian Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji korupsi di instansi Polri. Istilah whistleblower memiliki makna yang bermacam-macam. Kadang ia diartikan sebagai “peniup peluit”, “saksi pelapor”, “pemukul kentongan”, “berani buka mulut”, atau “pengungkap fakta”. Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantau publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya. Akan tetapi, untuk disebut sebagai whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar. Pertama, Whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa maupun publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. Pada umumnya, whistleblower akan melaporkan kejahatan di lingkungannya kepada otoritas internal terlebih dahulu. Namun seorang whistleblower tidak berhenti melaporkan kejahatan kepada otoritas internal ketika proses penyelidikan laporannya berhenti. Ia dapat melaporkan kejahatan kepada otoritas yang lebih tinggi, semisal langsung ke dewan direksi, komisaris, kepala kantor, atau kepada otoritas publik di luar organisasi yang berwenang atau ke media massa. Langkah ini dilakukan supaya ada tindakan internal organisasi atau tindakan hukum
terhadap para pelaku yang terlibat. Hanya saja terdapat kecenderungan yang tak dapat ditutupi pula bahwa jika terjadi sebuah kejahatan dalam organisasi, maka otoritas tersebut bertindak kontra produktif. Alih-alih membongkar, terkadang malah sebaliknya, menutup rapat-rapat kasus. Kedua, seorang Whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi. Dengan demikian, seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Laporan yang disampaikan oleh whistleblower merupakan suatu peristiwa faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut. Bukan informasi yang bohong atau fitnah. Seorang whistleblower, jelas berbeda dengan pemfintah atau penghasut, karena biasanya membocorkan rahasia dengan itikad baik dibekali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Misi mereka jelas, memperbaiki kebobrokan yang dibangun suatu sistem secara sistemik. Kasus suap Gayus Tambunan merupakan salah satu contoh klasik betapa whistleblower memegang peran kunci dalam mengurai sebuah kecurangan. Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI, Komjen. Pol. Susno Duaji merupakan orang yang Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
31
Fokus Utama pertama kali membeberkan adanya praktik mafia hukum yang menyeret Gayus H.P. Tambunan dkk kepada publik. Sukses pers dalam kasus Gayus tidak dimungkinkan tanpa Susno Duaji, sang pembocor rahasia yang tetap dijaga jati dirinya. Seorang whistleblower selain dapat secara terbuka ditujukan kepada individu-individu dalam sebuah organisasi atau skandal, seperti Komjen. Pol. Susno Duadji dalam organisasi Kepolisian RI, dapat pula ditujukan kepada para auditor internal. Auditor internal
memiliki kewenangan formal untuk melaporkan adanya ketidakberesan dalam sebuah instansi Pemerintah. Kewenangan formal ini yang membedakan auditor internal dengan para individu di atas dalam kapasitasnya sebagai whistleblower. Ada tiga alasan mengapa auditor internal juga dapat dianggap sebagai whistleblower. Pertama, karena auditor internal memiliki mandat formal meski bukan satu-satunya organ dalam istansi Pemerintah untuk melaporkan bila terjadi kesalahan. Setiap pegawai pemerintahan juga memiliki hak untuk melakukannya juga, meski pada umumnya auditor internal yang lebih paham mengenai kesalahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kedua, laporan auditor internal mungkin bertentangan 32
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
dengan pernyataan seorang pegawai atasan dalam suatu instansi pemerintah. Jika para atasan cenderung menutupi kesalahan guna memoles kondisi instansi, maka laporan auditor internal mengenai kesalahan justru sebaliknya, membuat para stakeholder menjadi kecil hati. Ketiga, perbuatan mengungkap kesalahan merupakan tindakan yang jarang ditegaskan dalam aturan instansi pemerintah. Hanya beberapa asosiasi profesi saja yang menekankan bolehnya pelaporan kesalahan yang telah ditentukan melalui jalur-jalur tertentu di internal instansi. Dengan demikian pada prinsipnya seorang whistleblower atau juga disebut peniup peluit merupakan “prosocial behaviour” yang menekankan untuk membantu pihak lain dalam menyehatkan sebuah organisasi. Motivasi seorang pengungkap fakta melampaui dari kepentingan sempit, seperti pencitraan organisasi, kolegialisme sesama pegawai di lingkungannya bekerja. Meski tak menampik pula ada kepentingan individu sang whistleblower yang terkadang menjadi alasan kuat untuk mengungkap sebuah skandal kejahatan. Peran whistleblower seperti Susno Duadji sangat besar untuk melindungi negara dari kerugian yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi. Namun, praktik pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower bukan tanpa tantangan. Di tengah minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang whistleblower dapat terancam karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi, ancaman tersebut mulai dari ancaman terhadap keamanan sampai dikeluarkan dari instansi tempatnya bekerja. Pihak-pihak yang merasa dirugikan
Fokus Utama
Meski para hamba hukum sudah bisa menerapkan asas pembuktian terbalik, tetapi entry point atas kasus korupsi sangat bergantung pada pemberi informasi awal. kemungkinan besar akan memberikan perlawanan untuk mencegah whistleblower memberikan laporan atau kesaksian. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka yang merasa dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam. Fenomena kasus suap yang dilakukan oleh Gayus menunjukkan para pembocor informasi masih dalam posisi tidak aman. Padahal saat ini Indonesia memerlukan lebih banyak orang yang berani buka mulut saat melihat praktik curang. Merebaknya praktik korupsi di hampir semua bidang kehidupan, tidak mungkin diatasi tanpa peran serta whistleblower. Meski para hamba hukum sudah bisa menerapkan asas pembuktian terbalik, tetapi entry point atas kasus korupsi sangat bergantung pada pemberi informasi awal. Persoalannya, sudahkah kita menyiapkan sistem dan perangkat hukum yang mampu melindungi para ”martir informasi” ini? Tanpa itu semua, siapa pun tak mungkin mau kalau harus mati konyol setelah memberikan informasi penting. Sehingga whistleblower penting untuk
dilindungi. Harus ada payung hukum lainnya, semisal undang-undang perlindungan saksi. Instrumen hukum yang jelas akan memberikan nyali bagi whistleblower melaporkan setiap kecurangan yang dilakukan di sebuah institusi. Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi saat ini, program whistleblower harus menjadi komitmen semua pihak, terlebih pemerintah. Budaya ”Berani Buka Mulut” harus menjadi gerakan sosial yang difasilitasi semua lapisan masyarakat, khususnya dari elit politik. Dengan begitu banyak kecurangan, penyelewengan, dan korupsi di sekitar kita mustahil diberantas tanpa keberanian dari para whistleblower. Whistleblower dapat berperan besar dalam mengungkap praktik-praktik koruptif lembaga-lembaga publik, pemerintahan maupun perusahaan swasta. Tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower, partisipasi publik untuk membongkar suatu dugaan tindak pidana atau pelanggaran menjadi rendah. Hal itu berarti praktik-praktik menyimpang, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin berkembang subur. Oleh karena itu peran whistleblower di Indonesia perlu terus diperkuat, didorong, disosialisasikan, dan diterapkan, khususnya di lingkungan Kementerian Agama. Bagaimana peran whistleblower di Indonesia dibangun dan dikembangkan memang membutuhkan waktu dan sebuah proses. Untuk itu, agar praktik pelaporan dan pengungkapan fakta oleh whistleblower dapat berjalan lebih efektif, dibutuhkan perubahan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 penting untuk diterpakan oleh semua hakim dalam memutus perkara dan selalu dimonitor pelaksanaannya. Adapun poin-poin Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
33
Fokus Utama
an
Te m
uW
ica
ra P
emb
inaan A
uditor 2013
revisi dari UU Nomor 13 Tahun 2006, antara lain, penyempurnaan pengaturan tentang perlindungan saksi antara lain: perlindungan pelapor, perlindungan saksi, perlindungan saksi korban dan perlindungan saksi/pelapor pelaku. Dan, orang-orang yang karena tugas dan jabatannya memiliki resiko yang tinggi dalam pengungkapan kejahatan terorganisir. Selain itu, penguatan peran dan kewenangan LPSK (Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban) dalam menjalankan mandat perlindungan saksi serta penguatan kapasitas kelembagaan masuk dalam rencana revisi UU tersebut. Whistleblower S y s t e m memang b i s a
i
at
eg
menjadi sesuatu yang Ses It jen mem ada b erik an lap oran p bisa diandalkan untuk membersihkan institusi dari korupsi. Namun, perlu dicatat juga akan sisi lain dari Whistleblowing System. Sistem ini bisa berjalan efektif dalam menangkap pegawai yang nakal, tapi bisa juga menjadi ajang saling menjatuhkan sesama pegawai. Hal ini yang harus diperhatikan dan menjadi concern Kementerian Agama. Untuk memastikan hal tersebut tak terjadi, Kementerian Agama telah mempersiapkan proses yang menyeluruh b pem
34
u
a ka
nK
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
dengan perangkat hukumnya agar tidak terjadi salah penggunaan terhadap sistem ini. Tema ini menegaskan kembali bahwa seluruh jajaran Kementerian Agama harus senantiasa berupaya untuk meraih kinerja dan reputasi terbaik, menciptakan aparatur yang berakhlak dan berintegritas tinggi, serta tidak memberi peluang dan celah bagi munculnya penilaian rendah dari masyarakat terhadap institusi dan aparatur Kementerian Agama. Karena ciri bangsa yang sudah maju antara lain adalah menjalankan peran ‘pengawasan’ secara kuat dan melekat. Seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara terkontrol secara baik. Seluruh aparatur negara, swasta, dan masyarakat (3 pilar Good Governance) memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan perannya secara profesional dan jauh dari penyimpangan, sehingga terwujud suasana kehidupan yang tertib, aman, adil, dan sejahtera menuju peradaban bangsa dan negara yang tinggi. Dengan adanya mekanisme pengawasan yang bebas korupsi melalui penguatan peran whistleblower system di lingkungan Kementerian Agama diharapkan seluruh sendisendi organisasi Kementerian Agama dapat berfungsi secara maksimal sehingga terwujud tata kelola birokrasi Kementerian Agama yang profesional berbasiskan semangat religi, bahwa bekerja adalah ibadah. Hal ini agar tugas Kementerian Agama yaitu melakukan pembangunan di bidang agama dan pendidikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diwujudkan. Selain itu, seluruh aparatur Kementerian Agama diharapkan akan mampu menjadi tauladan sebagai aparatur negara yang paling bermoral dan taat dalam beragama.[]
Fokus Utama Whistleblower dan Profesionalisme Auditor Oleh: Ade Irma Solihah
Wamenag Nasaruddin Umar bersama Irjen Kemenag Moch. Jasin dan jajaran pejabat Eselon II pada acara Pembinaan Pegawai dan Penandatangan Pakta Integritas di lingkungan Itjen Kemenag Jakarta, 11 April 2013
M
araknya pemberitaan tentang tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Susno Duadji yang menyeret Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Gayus Tambunan (pegawai dalam Pencegahan dan Pemberantasan pada Direktorat Jenderal Pajak) berimplikasi Tindak Pidana Korupsi adalah orang yang pada perhatian publik akan fenomena memberi suatu informasi kepada penegak whistleblower. Istilah whistleblower ini hukum mengenai terjadinya suatu tindak sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Istilah pidana korupsi dan bukan pelapor. Sedangkan ini pertama kali dipopulerkan oleh Ralph dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nader, seorang aktivis di Amerika Serikat Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan untuk menghindari konotasi negatif terhadap Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) istilah informan atau pengadu. Wikipedia. dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice org menggunakan istilah “Pengungkap Aib” Collaborators) di dalam Tindak Pidana Tertentu untuk menerjemahkan whistleblower. Secara menyebutkan bahwa Whistleblower umum whistleblower sebenarnya tidak hanya diartikan sebagai pihak yang mengetahui melaporkan masalah korupsi saja, tetapi juga dan melaporkan tindak pidana tertentu skandal lain atau segala hal yang melanggar dan bukan merupakan bagian dari pelaku hukum dan dapat menimbulkan tidak hanya kejahatan yang dilaporkannya. Mengutip kerugian tetapi ancaman bagi masyarakat. definisi yang diintrodusir Komite Nasional Pengertian whistleblower menurut Kebijakan Governance, whistleblowing dapat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 diartikan sebagai pengungkapan tindakan Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
35
Fokus Utama pelanggaran atau pengungkapan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara jelas menyatakan bahwa KPK wajib melindungi saksi pelaku, yang bisa juga diartikan sebagai whistleblower. Jaminan keamanan dan perlindungan hukum terhadap whistleblower juga sudah ada sejak 2006 dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Undang-Undang itu sudah dengan tegas mewajibkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada saksi atau pelapor. UU PSK memberikan jaminan
... seorang pahlawan menjadi benalu di antara para mafia; yang putih justru dianggap “hitam” di antara lingkungan yang legam; yang benar belum tentu menjadi “benar” bagi pihakpihak tertentu.
36
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
perlindungan saksi dan pelapor dari ancaman fisik, ancaman terhadap keluarga, dan harta benda. UU itu juga memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan pelapor agar mereka tidak digugat atau dituntut secara perdata. Lahirnya SEMA tahun 2011 semakin mempertegas bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggapi fenomena whistleblower yang dapat dijadikan landasan hukum dalam penindaklanjutan bila terjadi pengungkapan kasus oleh pelapor. Hal ini dapat dipahami karena dalam mewujudkan pemerintah yang efektif, peranan whistleblowing sangat krusial misalnya saja untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi. Jadi kehadiran whistleblower system merupakan salah satu bentuk dan strategi yang digunakan dalam penegakan hukum khususnya terkait pemberantasan tindak pidana korupsi. Hasil penelitian Institute of Bussiness tahun 2007 menyebutkan bahwa 1 dari 4 karyawan mengetahui adanya suatu pelanggaran pada tubuh organisasi. Akan tetapi sebanyak 52% dari yang mengetahui adanya pelanggaran tersebut memilih diam dan tidak melakukan tindakan apapun. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa rancang bangun whistleblower system tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Secara kultural, adakalanya individu yang bekerja pada suatu organisasi tertentu dituntut untuk memiliki rasa keterikatan sosial baik dengan organisasi atau rekan kerja. Hal ini dapat berimplikasi atau bisa berpengaruh buruk terhadap kesehatan organisasi yang berwujud pada “loyalitas buta”. Padahal, di sisi lainnya pernyataan kebenaran justru bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Realita seringkali terjadi berbalik arah. Sang pengungkap justru malah dihukum (misalnya)
Fokus Utama penurunan pangkat, bahkan pengucilan dari “pemberani, sang pelapor”. Alhasil, motif rekan kerjanya yang tiba-tiba berubah. mereka mengungkap kebenaran meski Risiko yang harus ditanggung oleh mereka sadar akan risiko besar yang mungkin pelapor sangat berat; mulai dari ancaman akan ada adalah “keyakinan individual”, kehilangan pekerjaan, intimidasi terhadap walaupun berkonsekuensi logis akan pribadi dan keluarga. Belum lagi tuduhan- dianggap sebagai orang yang tidak loyal tuduhan semacam “sok suci” akan menjadi terhadap organisasi. Terdapat hal yang perlu santapan dan tidak dapat dielakkan. Itulah diperjelas, dalam beberapa pandangan umum ironisnya, realitas kini bertransformasi bahwa whistleblowing sering disamakan menjadi berbalik arah. Kondisi ini dapat dengan pembuka rahasia perusahaan. digambarkan bak seorang pahlawan menjadi Padahal sejatinya, secara substansif sangat benalu di antara para mafia; yang putih justru berbeda. dianggap “hitam” di antara lingkungan yang Lain halnya dengan hasil kajian Ana legam; yang benar belum tentu menjadi Radelat yang melakukan survei terhadap 233 “benar” bagi pihak-pihak tertentu. Gambaran “peniup peluit (whistleblower)”bahwa 90 persen inilah yang membuat orang berpikir seribu dari mereka harus kehilangan pekerjaan. Dari kali untuk melaporkan kasus korupsi. Apalagi, hasil survei ini kiranya dapat dipahami bahwa jika pelapor itu hanya pegawai biasa. mengapa masih sedikit sekali kita temukan Tahun 1986, Glazer dan Glazer orang yang mau mengambil langkah menjadi melakukan kajian terhadap 55 orang “seorang pemberani”. Jika ditelusuri, pada penghujung akhir tahun 2008, PT. Pertamina telah memiliki dan menerapkan sistem whistleblower sebagai salah satu mekanisme kontrol atas jalannya perusahaan. Sistem ini dimaksudkan untuk membangun sebuah etika bisnis dan menjaga kondusifitas kerja. Whistleblower merupakan salah satu bagian yang dibangun dalam rangka pelaksanaan “Pertamina Clean” yang ditujukan untuk menciptakan etika bisnis yang baik. Mencermati sistem yang sudah ada di Pertamina, ada beberapa hal penting yang menjadi topik dalam sistem whistleblower mereka, yaitu (1) korupsi, (2) kecurangan, (3) conflict of interest, (4) code of conduct; dan (5) peningkatan kedisiplinan. Sedangkan prinsip-prinsip sistem whistleblowernya adalah (1) cepat dan tepat, (2) komunikatif, (3) rahasia, (4) akurat, Irjen Kemendikbud Haryono Umar saat menjadi narasumber pada acara Pembinaan Pegawai Itjen Kemenag (5) itikad baik, (6) proteksi, dan (7) tidak ada Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
37
Fokus Utama
... Auditor yang profesional harus memiliki sikap mental yang baik yang tercermin dari kejujuran, objektivitas dan loyalitas kepada profesi.
diskriminasi. Adapun bentuk dan mekanisme pelaporan di Pertamina antara lain pesan singkat melalui telepon seluler, telepon, surat, email, kotak surat, situs, dan fax yang penting laporan harus memuat 5W 1H (what, when, where, who, why, dan how). Ketika ada laporan, pihak Pertamina akan mengirimkan PIN kepada pelapor. PIN ini selanjutnya digunakan pelapor untuk mengecek perkembangan pelaporannya. Dalam praktik di lapangan, meski laporanlaporan tersebut telah memuat unsur 5W dan 1H, tidak semua merupakan laporan yang akurat. Banyak juga kejadian hanya sekadar analisa atau asumsi tanpa bukti. Follow-up dari laporan yang masuk, Pertamina melakukan pencarian data dan investigasi dan melakukan penanganan dengan cara menerapkan sistem kontrol internal yang sudah ada dan bisa juga dilakukan oleh pihak ketiga yang khusus menangani whistleblower system. 38
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Secara prinsip seorang whistleblower merupakan prosocial behavior yang menekankan untuk membantu dalam menyehatkan sebuah perusahaan atau organisasi. Selain termotivasi untuk mengungkap fakta seperti pencitraan organisasi, ada kalanya sang pelapor juga termotivasi oleh kepentingannya sendiri. Dalam hal mengungkap data dan fakta yang dilakukan oleh seorang whistleblower sesungguhnya dilakukan pula oleh para auditor ketika mengaudit. Dengan demikian, atas dasar kesamaan dalam hal pengungkapan data dan fakta tersebut, sesungguhnya profesi auditor dapat berperan sebagai agen yang melakukan whistleblowing. Kehadiran auditor dan atau adanya whistleblower system bagi organisasi yang menjalankan aktivitasnya secara etis, akan diterima tanpa beban. Sedangkan bagi organisasi yang tidak etis dalam menjalankan aktivitasnya, kehadiran auditor dan whistleblower system dapat dianggap sebagai sebuah “ancaman”. Sebagaimana yang kita pahami bersama, auditor internal memiliki peran yang sangat strategis. Auditor bertugas sebagai penilai independen untuk menelaah operasional organisasi dengan mengukur dan mengevaluasi kecukupan kontrol serta efisiensi dan efektifitas kinerja. Profesionalisme Auditor Kata profesionalisme, seringkali dianggap sebagai “slogan yang biasa saja” padahal profesionalisme memiliki makna yang sangat dalam. Profesionalisme dapat diartikan pertama sebagai suatu keahlian, kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai bidang keahliannya atau mendapat imbalan karena keahliannya. Dari makna tersebut, seseorang dapat dikatakan profesional ketika
Fokus Utama ia telah menempuh pendidikan tertentu yang menyebabkan ia memiliki keahlian atau kualifikasi tertentu. Makna kedua profesionalime yaitu merujuk pada sebuah standar pekerjaan yakni prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Prinsip-prinsip moral seperti halnya norma umum masyarakat mengarahkan seseorang dalam hal ini auditor untuk berperilaku sesuai dengan tatanan kehidupan yang profesional. Makna ketiga profesional berarti moral. Seperti halnya dengan keyakinan, kadar moral seseorang dengan lainnya berbeda-beda. Artinya moral dan sikap auditor terhadap etika profesi bersifat individual. Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari seseorang yang profesional. Ciri-ciri seorang profesional antara lain; Pertama, keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai ideal. Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada sesorang yang dipandang memiliki kepiawaian tertentu. Yang dimaksud dengan “piawai ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan seperti kejujuran. Kedua, meningkatkan dan memelihara image profesion. Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara image profesion melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai-bagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh badan, sikap keseharian, dan interaksi dengan individu lainnya.
Ketiga, keinginan untuk sentiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya. Dan keempat, mengejar kualiti dan cita-cita dalam profesion. Profesionalisme ditandai dengan kualiti derajat rasa bangga akan profesion yang dipegangnya. Dapat disimpulkan bahwa auditor yang profesional harus memiliki sikap mental yang baik yang tercermin dari kejujuran, objektivitas dan loyalitas kepada profesi. Untuk mencapai sifat-sifat profesional ibarat memegang seikat bunga mawar. Bunga mawar memiliki banyak duri. Sedangkan dalam profesionalisme ada penyimpangan perilaku. Bukanlah pekerjaan yang menjadikan seseorang menjadi profesional atau tidak, melainkan semangat dalam melakukan pekerjaan tersebutlah yang mengantarkan ia pada tingkatan profesional. Profesional sejati akan dihadapkan pada situasi pengambilan keputusan yang sulit, antara benar dan salah yang acapkali perbedaannya sangat tipis. Dibandingkan dengan profesi yang lain, profesi auditor harus bekerja keras dalam memilih antara benar dan salah. Seorang pengacara menolak menangani kasus yang melibatkan pertentangan kepentingan dan itu akan mengakibatkan ia kehilangan klien. Seorang dokter bisa saja tidak mau memberikan obat yang membahayakan walaupun diminta sendiri oleh pasiennya. Akibatnya pasien akan beralih ke dokter lain. Auditor yang profesional akan dihadapkan pada sekumpulan alternatif yang bebeda. Dalam kondisi inilah prinsip utama profesional yakni independensi auditor sangat berperan. []
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
39
Pengawasan LHKPN Sarana untuk Whistleblower Oleh: Darori
Irjen Kemenag saat melakukan sidak pelaksanaan Ujian PPIH di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 14 Mei 2013
S
ebelum memahami pemanfaatan informasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan oleh penyelenggara negara, marilah kita pahami dulu istilah whistleblower sebagai grand tema dalam tulisan ini. Dalam buku “Memahami whistleblower” yang diterbitkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di jelaskan istilah whistleblower memiliki makna yang bermacam-macam. Kadang ia diartikan sebagai ‘saksi pelapor’, ‘pemukul kentongan’, atau ‘pengungkap fakta’. Hingga saat ini belum ada padanan kata yang pas dalam kosakata Bahasa Indonesia bagi istilah yang secara harfiah disebut ‘peniup peluit’ itu. Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada,
40
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantau publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya. Pada dasarnya seorang whistleblower merupakan seorang martir. Ia sang pemicu pengungkapan skandal kejahatan yang kerap melibatkan atasan maupun koleganya sendiri. Di sektor Pemerintahan whistleblower dapat mencakup orang yang pemberi kesaksian mengenai suatu dugaan pelanggaran atau kejahatan di institusi pemerintah atau publik. Tak banyak whistleblower dari sektor Pemerintahan yang mengungkap kejahatan di lingkup organisasinya. Budaya kerja di sektor Pemerintah amat berbeda dengan perusahaan dimana faktor performa
Pengawasan organisasi lebih penting ketimbang birokrasi. Dengan kata lain, bahwa kolegialisme dalam birokrasi telah menjadi acuan utama dalam setiap kerja pegawai di instansi-instansi Pemerintah. Sehingga bila terjadi kesalahan atau manipulasi dalam birokrasi jarang yang terekspose oleh media massa, kecuali yang telah tertangkap tangan terlibat kejahatan atau karena eksposure yang intensif oleh media massa. Lembaga atau badan pelayanan publik di sektor pemerintahan cukup rawan terjadi dugaan praktik penyalahgunaan wewenang, pelanggaran, atau tindak pidana. Oleh karena itu, pengawasan terhadap praktik administrasi dan keuangan pada lembaga sektor pemerintahan sangat penting. Selama ini, di Indonesia sudah cukup banyak lembaga pengawas yang dibentuk untuk mengawasi kinerja lembaga pemerintah. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial (KY), dan Ombudsman. Lembaga-lembaga itu berperan mengawasi aparatur dan lembaga pemerintah yang diduga melakukan mal-administrasi, pelanggaran, dan tindak pidana. Peran lembaga pengawas itu seringkali belum maksimal dalam mengungkap suatu bentuk dugaan pelanggaran atau tindak pidana yang terjadi dalam suatu lembaga. Mengapa? Salah satu penyebab adalah bahwa lembaga-lembaga itu belum sepenuhnya dikenal sebagai lembaga yang memiliki program atau sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower. Akibatnya, masyarakat sebagai pelapor atau whistleblower kurang yakin terhadap lembaga yang menerima laporan whistleblower. Whistleblower juga merasa kurang yakin
apakah ia dapat terlindungi dan sejauhmana laporan dapat ditindaklanjuti.Tanpa adanya kejelasan program atau sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower, seorang whistleblower cenderung enggan melaporkan pelanggaran atau dugaan tindak pidana yang diketahui. Apalagi, umumnya, para pegawai yang ingin memberikan kesaksian seringkali dihadapkan dengan berbagai dilema dan resiko untuk berani melaporkan suatu pelanggaran atau dugaan tindak pidana yang diketahui. Setidaknya, ada empat pilihan yang dihadapi oleh pegawai untuk melaporkan atau tidak melaporkan suatu pelanggaran atau dugaan tindak pidana di tempatnya bekerja. Pilihan-pilihan tersebut meliputi berdiam diri; melaporkan kekhawatiran melalui prosedur
... tidak semua lembaga pengawas menangani pelaporan whistleblower, termasuk sistem perlindungannya. Sehingga orang yang mengetahui suatu dugaan pelanggaran atau tindak pidana di tempat ia bekerja pun semakin enggan atau takut melapor.
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
41
Pengawasan intern; melaporkan kekhawatiran ke lembaga luar, misalnya pengawas; atau membeberkan ke media. Selama ini tidak semua lembaga pengawas menangani pelaporan whistleblower, termasuk sistem perlindungannya. Sehingga orang yang mengetahui suatu dugaan pelanggaran atau tindak pidana di tempat ia bekerja pun semakin enggan atau takut melapor. Di sisi lain, tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower, lembaga-lembaga pengawas, seperti KPK, PPATK, Kompolnas, KY, Komisi Kejaksaan, atau Ombudsman, menjadi kurang efektif dan maksimal dalam mengungkap suatu dugaan pelanggaran atau kejahatan yang terjadi. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pengawas seperti itu memang perlu memiliki program sistem pelaporan whistleblower yang jelas dan tegas. Dalam sistem pelaporan di KPK, whistleblower diartikan sebagai seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja, dan orang tersebut memiliki akses informasi yang memadaiatas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut. Melalui program atau sistem pelaporan whistleblower yang dikembangkan, KPK menyajikan saluran komunikasi khusus dengan whistleblower atau dikenal dengan ‘kotak komunikasi’. Melalui kotak komunikasi, whistleblower dan pihak KPK dapat saling berkomunikasi dengan sistem yang cukup menjamin kerahasiaan whistleblower dan laporan yang disampaikan. Dalam sistem whistleblower di KPK, kriteria tindak pidana korupsi pun dibatasi, yaitu tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya 42
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara. Selain itu, kasus tindak pidana korupsi mendapat perhatian masyarakat atau menyangkut kerugian negara paling sedikit sebesar Rp 1 miliar. Didalam instsansi sebenarnya seluruh pegawai dapat menjadi whistleblower. Salah satu contoh yang dapat digunakan adalah data LHKPN. Seperti diketahui bahwaada kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan secara periodik mengenai harta kekayaan melaui format LHKPN yang disediakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pegawai instansi maupun masyarakat diharapkan menjadi whistleblower jika terjadi ketidaksesuaian dengan yang dilaporkan penyelenggara negara tersebut dalam LHKPN. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, klasifikasi Penyelenggara Negara berdasarkan Pasal 2, meliputi:1.Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kementerian Agama sebagai bagian dari Kementerian yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 91 Tahun 2013 tentang Pejabat yang Wajib Menyampaikan Laporan
Pengawasan
LHKPN dapat dijadikan sebagai sarana penyediaan kontrol masyarakat dan menciptakan penyelenggara negara yang jujur terbuka dan bertanggung jawab.
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dilingkungan Kementerian Agama. KMA ini memberikan waktu paling lambat dua bulan jika menduduki jabatan pertama kalinya; dan jika menduduki jabatan selama dua tahun untuk melaporkan harta kekayaannya. Pejabat yang diwajibkan untuk meyampaikan LHKPN adalah Pejabat Eselon I Kementerian Agama pusat meliputi: Sekretaris Jenderal; Inspektur Jenderal; Direktur Jenderal; Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan; dan Staf Ahli Menteri Agama. Pejabat selanjutnya yang diwajibkan
adalah Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Negeri meliputi: a. Rektor UIN,IAIN, dan IHDN; b. Ketua STAIN,STAKN,STAKPN,STAHN, dan STABN; c. Wakil Rektor, Dekan, dan Direktur Pasca Sarjana pada UIN, IAIN, dan IHDN; dan d. Wakil Ketua dan Direktur Pasca Sarjana pada STAIN, STAKN, STAKPN, STAHN,dan STABN. Pejabat Eselon II meliputi: a. Sekretaris Itjen; b. Sekretaris Ditjen; c. Sekretaris Balitbang dan Diklat; d. Kepala Biro dan Kepala Pusat pada Setjen; e. Direktur pada Ditjen; f. Inspektur pada Itjen; g. Kepala Pusat pada Balitbang dan Diklat; h. Kepala Kanwil kementerian Agama Provinsi; i. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alqur’an; dan kepala Biro pada UIN, IAIN dan IHDN. Berikutnya adalah Auditor pada Itjen, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan, Kepala Kantor Misi Haji Indonesia di Arab Saudi. Pejabat Pembuat Komitmen(PPK) APBN kecuali pada Madrasah Negeri, Pejabat Pembuat Komitmen BPIH, Bendahara Penerimaan dan/atau pengeluaran APBN kecuali pada Madrasah Negeri serta Bendahara Penerimaan dan/atau Pengeluaran BPIH. Tentunya semangat KMA ini perlu didukung oleh semua pihak yang diwajibkan
Kegiatan Temu Wicara Pembinaan Auditor 2013
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
43
Pengawasan untuk melaksanakan atas keputusan ini. Terutama oleh para pejabat yang diwajibkan melaporkan LHKPN tersebut. Sehingga masyarakat dapat menilai keseriusan Kementerian Agama dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi benar-benar dilaksanakan melalui mekanisme pelaporan LHKPN tersebut.Dengan meyampaikan LHKPN secara benar dan tidak menutup-nutupi data yang sebenarnya setidaknya masyarakat dapat menilai para penyelenggara negara dari mana penghasilan yang diperoleh selama ini dan tidak timbul fitnah atas harta para penyelenggara negara. Sekaligus LHKPN dapat dijadikan sebagai sarana penyediaan kontrol masyarakat dan menciptakan penyelenggara negara yang jujur terbuka dan bertanggung jawab. Selain itu, LHKPN juga dapat berguna sebagai sarana pendeteksian dalam pencegahan korupsi. Hal ini karena periode pelaporan LHKPN yang dibuat selama dua tahun atau hal lain seperti mutasi, pension para penyelenggara Negara diwajibkan menyampaikan kembali LHKPN. Dalam rentan waktu tersebut tentunya masyarakat dapat menilai seberapa penghasilan yang wajar. Inilah peran yang diharapkan kepada whistleblower untuk menyampaikan jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta dan laporannya. Karena pada dasarnya LHKPN yang telah diterima KPK akan diverifikasi dan selanjutnya diumumkan di instansi dimana penyelenggara negara itu bekerja serta dalam Tambahan Berita Negara. Didalam LHKPN itu sendiri terbagi atas pengisian mengenai data pribadi, data keluarga, harta kekayaan, ringkasan harta kekayaan, penghasilan, penghasilan istri/suami, pengeluaran dan Surat pernyataan. Di dalam harta kekayaan yang dilaporkan dalam formulir LHKPN meliputi: Harta tidak bergerak (Tanah 44
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
dan Bangunan); harta bergerak dan Harta bergerak lainnya. Pengertian harta tidak bergerak yang dimaksud dalam formulir ini adalah suatu benda yang karena sifat, tujuan atau karena ditentukan oleh undang-undang sebagai benda tidak bergerak seperti tanah atau bangunan. Termasuk dalam kelompok ini adalah tanah dan atau bangunan yang dimiliki, baik yang ada didalam maupun diluar negeri. Sedangkan yang dimaksud harta bergerak adalah suatu benda yang karena sifatnya atau ditentukan undang-undang sebagai benda bergerak. Yang termasuk dalam kelompok harta bergerak seperti alat transportasi dan mesin lainnya, peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian, kehutanan, tertambangan dan usaha lainnya. Untuk harta bergerak lainnya adalah seluruh jenis benda bergerak lainnya yang berupa: logam mulia, batu mulia. Barangbarang seni dan antik; termasuk peralatan elektronik, perabotan rumah tangga, alat musik/olah raga, dan lain-lain. Di dalam LHKPN juga mencakup pelaporan atas kepemilikan surat-surat berharga; uang tunai, deposito, giro, tabungan dan setara kas lainnya. Yang dimaksud dengan setara kas lainnya seperti asuransi dengan nilai likuiditas tinggi yang dimiliki juga mencakup pelaporan piutang /hutang serta penghasilan. Penghasilan merupakan semua pendapatan yang diperoleh penyelenggara Negara dan isteri/suami baik dari jabatan, kekayaan yang dimiliki ataupun profesi/keahlian. Dengan informasi-informasi yang ada di LHKPN diharapkan peran whistleblower dapat menyampaikan informasi yang berkaitan dengan ketidaksesuaian melalui saluran pengaduan masyarakat yang disediakan instansi terkait.[]
Pengawasan Menjadi Auditor yang Efektif dan Berpengaruh dalam Perspektif Islam Oleh: Mohamad Ali Irfan
S
: Narasumber dari BPKP saat memberikan materi pada Kegiatan Lokakarya Pengawasan 2013
elama lebih dari dua puluh tahun, para pakar manajemen dan organisasi secara ilmiah meneliti dan mengadakan seminar membahas hakekat kepemimpinan yang selalu berubah. Lima tahun yang lalu, sebagai hasil dari penelitian dan pembahasan tentang kepemimpinan ini, teridentifikasi akan karakteristik dan talenta dari para pemimpin yang mampu membuat sejarah atas peradaban kepemimpinan. Mereka yang sukses dalam kepemimpinan adalah orang-orang yang menjadi rujukan pihak lain ketika misi harus ditegakkan, mampu membuat terobosanterobosan serta mencapai tujuan-tujuan secara tepat waktu dalam anggaran yang terbatas dan berperan aktif dalam pengawasannya. Mereka itu adalah para pemimpin yang menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dengan mengoptimalkan potensi manusia melalui kecerdasan dan ketekunan serta memperkuat kemampuan pengawasan segala lini. Audit merupakan salah satu tugas penting seorang pemimpin untuk sukses dalam kepemimpinannya. Sehingga apabila pemimpin memahami filosofi audit maka
secara otomatis pemimpin adalah juga seorang auditor, sehingga apabila ada seorang pemimpin lembaga yang tidak siap menerima kehadiran auditor maka secara langsung dalam kacamata management lembaga yang dipimpinnya dipastikan banyak penyimpangan karena pemimpinnya kurang dapat menyakini kemampuannya untuk mengawasi kerja dari lembaganya atau bahkan dimungkinkan banyaknya kebijakan-kebijakan yang menyimpang dari pimpinannya. Auditor merupakan pimpinan atas lembaga yang diauditnya, auditor disebut pula workleader (pemimpin kerja), sebuah istilah yang menggabungkan pekerjaan dan kepemimpinan sedemikian rupa sehingga mencerminkan hakikat yang sesungguhnya dari kepemimpinan auditor yang efektif. Pola konsisten perilaku auditor sebagai pemimpin kerja yaitu mengatakan hal yang tepat kepada orang yang tepat pada saat yang tepat untuk melakukan pekerjaan yang tepat yang bisa diselesaikan dengan baik, tepat waktu dan sesuai dengan anggaran yang tersedia. Auditor juga dituntut untuk Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
45
Pengawasan menguasai seni percakapan karena banyak pihak menjadi lawan bicara yang memiliki berbagai latar belakang tingkatan sosial, pendidikan, dan kultur serta berbagai keinginan dengan penguasaan seni percakapan, tujuan komunikasi audit akan lebih mudah dipahami dan tujuan audit akan lebih mudah tercapai. Untuk lebih jelasnya bagaimana menjadi auditor yang efektif dan berpengaruh diperlukan syarat-syarat untuk dapat mewujudkannya, yaitu : Berjiwa seorang pendidik (Murabbi) Sarana mempengaruhi yang paling efektif bagi seorang auditor adalah pendidikan. Auditor yang pendidik adalah yang memahami tujuan pendidikan, sasaran dan tahapannya yang secara prinsip terdapat dalam tiga hal berikut: Pembinaan; Independensi; serta konsistensi dan kontinuitas. Pertama, Pembinaan (At-Takwin). Ketika sasaran pembinaan adalah manusia dalam hal ini pihak-pihak objek audit, maka sudah menjadi kewajiban seorang auditor yang pendidik untuk memperhatikan kondisi pihak yang diaudit ini, yang secara prinsip terbagi dalam tiga hal yaitu: Emosional-Afektif, KinetikPsikomotorik, Intelektual-Kognitif Pembinaan tidak akan lepas dari tga komponen di atas dan pengembangannya dengan hal yang sesuai dengan peraturanperaturan yang berlaku. Dari tiga unsur tadi kita dapat mendefinisikan proses pembinaan yaitu: “Memberikan pengetahuan-pengetahuan tertentu dan prilaku-prilaku yang dibutuhkan dengan menggunakan sarana-sarana Kinetik Psikomotorik dan Intelektual-Kognitif yang sesuai dalam iklim Emosional-Efektif yang kondusif.” Setiap proses memerlukan unsur yang beragam, termasuk proses pembinaan ini. 46
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Unsur yang mendasar yang paling penting dan merupakan prioritas pertama adalah pendidikan spiritual imaniah, barulah kemudian unsur-unsur lainnya, seperti : pemikiran, wawasan bisa berupa sosialisasi, pelatihan, lokakarya atau seminar dan seterusnya. Kesuksesan proses ini tampak pada terbentuknya sosok auditor teladan yang dinamis religious yang memiliki niat ikhlas dan diakhiri dengan tercapainya tujuan karena ridho Allah SWT dengan penuh kesadaran akan amanah tugasnya tentunya auditor teladan tersebut dipersenjatai dengan Ilmu yang menjadi petunjuk jalan dan langkah praktis tugas auditnya. Kedua, Independensi (Al-Istiqlaaliyah). Independensi auditor secara sederhana berarti realisasi jati diri setiap individu auditor yang hakiki (memegang teguh prinsip positif). Hal tersebut dapat dicapai dengan hasil jerih payah internal pribadi auditor itu sendiri,
... perilaku auditor sebagai pemimpin kerja yaitu mengatakan hal yang tepat kepada orang yang tepat pada saat yang tepat untuk melakukan pekerjaan yang tepat yang bisa diselesaikan dengan baik, tepat waktu.
Pengawasan namun juga dengan pendidikan. Karena dengan monitoring dan perhatian penuh dari seorang auditor yang bertipe pendidik akan dapat menumbuhkankembangkan suatu kepribadian yang idealis dan independen dalam rangka tugas profesinya dan penghormatan terhadap kebebasan pihak lain dalam hal ini auditi (pihak yang diaudit). Pendidikan pada fase ini member kesempatan kepada setiap auditor untuk memperoleh peningkatan kwalitas diri dari pengalaman-pengalaman pribadi serta pengembangan sikap spontanitas instingtif dan independen sehingga tercapai manfaatmanfaat terhadap jati diri auditor antara lain: pengembangan tanggungjawab pribadi, pengembangan spontanitas instingtif pribadi, mengenali sisi-sisi keistimewaan diri (kemampuan) untuk dimanfaatkan, mengembangkan sikap independensi dan menghormati pihak lain. Keberhasilan fase ini terletak pada kemampuan auditor untuk bersikap spontanitas instingtif berupa perilaku alami dalam indera dan perasaan yang paling dalam, kombinasi tersebut akan membuat auditor lebih cermat dan memiliki tata krama audit agar kode etik audit tidak dilanggar. Ketiga, Kontinuitas/Kesinambungan (Al-Istimror). Tujuan terpenting pada fase ini adalah menjadikan individu auditor dapat menemukan sifat kontinuitas dalam dirinya dan lembaganya. Dengan cara menanamkan dan mengokohkan satu prinsip dalam benaknya bahwa ia adalah pewaris masa lalu dan penanggungjawab masa depan, tentunya mempunyai kewajiban untuk dapat merealisasikan kemajuan yang melebihi generasi sebelumnya, oleh sebab itu seorang auditor harus tahu dari mana memulainya dan menyingkirkan segala sesuatu yang tidak
sesuai dengan norma-norma audit dan agama yang diwariskan. Keberhasilan fase ini terletak pada kesabaran terdapat di dalam jiwa. Berlaku sabar terhadap obrik yang tidak koperatif adalah sikap yang dapat menyebabkan pihak obrik akan menjadi terbuka dan koperatif sehingga tujuan audit akan tercapai. Dan Auditor juga selalu siap siaga atas segala yang terkait dengan peraturan sebagai bingkai audit serta sikap teguh atas apa yang menjadi hasil pengamatan dan penilaian atas hasil audit. Keberhasilan ini juga ditopang pada terbentuknya suatu sosok auditor yang pantas dan mampu mengemban tugas dan memikul beban serta melaksanakan kewajibannya. Dengan ini seorang auditor telah berhasil merealisaskan syarat untuk menjadi auditor yang sukses yaitu sebagai seorang pendidik, maka seorang auditor yang sukses adalah yang mampu melaksanakan tiga syarat yaitu: Seni mengaudit yang memiliki pengaruh kuat, Mempersiapkan para auditor yang layak, Melaksanakan tugas lembaga/instansi tampa pamrih Berjiwa Pendidik (Mu’allim) Auditor yang berpengaruh mampu mewujudkan peningkatan kualitas kinerja para objek audit (auditi) untuk bersikap profesional dengan memperhatikan hal-hal berikut : Pertama, membangkitkan kemampuan, mempertajam obsesi diri setinggi-tingginya dan memotivasi auditan untuk terus berinovasi dan kreatif untuk kemajuan instansinya sehingga membuat auditan bangga dengan Instansinya dan merasa memiliki tanggungjawab besar terhadap kemajuan manajemen instansinya. Kedua, Kepercayaan auditan yang utuh terhadap pemimpinnya yang selalu Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
47
Pengawasan memperhatikan pegawainya lebih dari hakhak yang seharusnya pegawai terima, dan juga pimpinan memberikan kesempatan untuk para pegawai mengeksplorasi kelebihan-kelebihan yang tersembunyi dan mengembangkannya, tanpa harus selalu melihat kesalahan pegawai saja. Ketiga, Memafaatkan seluruh kemampuan auditan untuk berkarya karena auditan merasakan bahwa pimpinan auditan penuh perhatian dan terus memotivasi para jajarannya. Agar auditor yang berkarakter seorang pendidik dapat mencapai tujuan-tujuan di atas ia harus menempuh beberapa cara, antara lain: Pertama, Kecintaan pada pekerjaan. Hal ini dapat terwujud dengan jalan memotivasi para auditan untuk bekerja profesional dan merangsang obsesi diri dengan membangkitkan semangat auditan untuk dapat terus memberikan yang terbaik untuk instansinya. Oleh karena itu bila seorang auditor menginginkan tercapainya hal tersebut maka ia harus tidak memberikan suatu jalan keluar atas kelemahan manajerial kepada auditi tanpa disertai dengan motivasi perubahan. Selain itu auditor juga tidak meminta suatu upaya di luar kemampuan auditi dan tidak meminta kepada auditi suatu perbaikan manajerial yang sulit untuk ditindaklanjuti. Kedua, Memiliki rasa tanggung jawab. Bahwa kemajuan suatu pekerjaan, pelaksaaan tugas dan ditunaikannya tugas-tugas dan kewajiban, semua itu tergantung kepada rasa tanggung jawab yang dimiliki oleh para auditi. Jika tidak ada pula rasa tanggung jawab pada diri auditor dan Tim Auditnya, maka tugas Tim Auditnya itu akan terhenti, tidak berkembang dan sia-sialah tujuan audit yang diharapkannya. Auditor yang karismatik mampu menebarkan pada auditi rasa tanggung jawab dan selalu memberikan jalan keluar perbaikan 48
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
managerial dengan jelas dan penuh inspirasi. Oleh karena itu auditor harus memperhatikan cara merealisasikan rasa tanggung jawab sebagai berikut: Menunjukkan kepercayaannya pada diri, kemampuan dan kapabilitas dalam tugasnya; Memperhatikan dependensinya pada para auditi untuk melaksanakan tanggungjawabnya; Membuatnya merasakan bahwa Tim Auditnya mengharapkan kemampuan dan kreatifitasnya; Menyadarkan auditi bahwa ia berbuat untuk mencapai tujuan kolektif (Lembaga/organisasi). Ketiga, Jiwa Berjamaah (Kesatuan Tim). Berbagai studi telah membuktikan bahwa menanamkan jiwa berjamaah (Kesatuan Tim yang utuh) antaranggota auditor dengan selalu mengingatkan akan urgensi dan buah yang aan dihasilkan oleh amal jamai (Amal bersama) adalah salah satu faktor yang menguatkan efek dan pengaruh. Artinya auditor harus berada dalam kesatuan tim audit yang menjadikan mereka lebih berpengaruh dan mampu mengesampingkan persepsi individualistis pada diri auditor. Mendidik auditor agar mampu merealisasikan ruh kesatuan tim dan mengembangkannya dengan saling memahami, membaur, selaras dan merasa bersaudara sesama anggota tim. Memupuk jiwa kesatuan tim secara terus menerus untuk yakin dengan konsep utuh kesatuan tim dan mau berkorban untuk kemajuan Tim Auditnya. Apabila hal ini semuanya bisa dijadikan jiwa pelaksanaan tugas-tugas audit para auditor maka akan terbentuk auditor yang bekerja secara efektif dan berpengaruh baik atas hasil auditnya maupun terhadap auditi yang selama ini dihadapinya, sehingga tujuan audit akan mudah tercapai serta memiliki dampak positif terhadap perbaikan managerial atas lembaga yang diauditnya.[]
Pengawasan Upaya Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Oleh: Maman Saepulloh
Irjen Kemenag saat memberikan materi pada acara Pembinaan Pegawai di UIN Sunan Kalijaga
R
Yogyakarta, 3 April 2013
eformasi keuangan ditandai dengan terbitnya 3 (tiga) paket undangundang tentang pengelolaan keuangan negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Di dalam ketentuan pengelolaan keuangan negara telah diatur mengenai penyelesaian dan pengenaan ganti kerugian negara/daerah dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Bab XI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab V Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Tata cara tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti kerugian negara/daerah
maupun pengenaan ganti kerugian negara/ daerah terhadap bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain akan diatur dengan peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket undang-undang di atas, namun ketentuan, tersebut sampai saat ini belum juga ditetapkan. Kondisi tersebut dapat memicu berlarut-larutnya dalam penanganan dan penyelesaian kerugian negara/daerah yang semakin hari semakin bertambah besar. Untuk itu diharapkan masing-masing Kementerian/Lembaga dapat mengantisipasi terjadinya kerugian negara/daerah, penyelesaian kerugian negara/daerah yang berlarut-larut, serta dipercepat proses pemulihan kerugian negara/daerah maupun diperkecil terjadinya kerugian negara/daerah dengan segera mengatur tentang pedoman, juklak, dan juknis untuk mengisi kekosongan peraturan pemerintah dimaksud. Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
49
Pengawasan Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, pejabat lain atau pihak ketiga yang dikenai tuntutan ganti rugi negara/daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli warisnya. Tanggung jawab pengampu/ahli warisnya untuk membayar ganti rugi daerah menjadi hapus, apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan, atau yang memperoleh hak/ ahli waris tidak diberitahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara/daerah. Setelah lewat batas-batas waktu kedaluwarsa tersebut di atas, tidak dapat lagi dilakukan tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu mengingat batas waktu kedaluwarsa yang relatif singkat, maka setiap ada kerugian negara/daerah wajib segera dilakukan pemrosesan tuntutan ganti rugi. Pengenaan ganti kerugian negara/ daerah terhadap bendahara dapat dilakukan oleh BPK RI dengan menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah. Selain itu, bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK RI dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan tersebut di atas. Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan ditolak, BPK RI menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian negara/daerah kepada bendahara yang bersangkutan. Kemudian, Menteri/ Pimpinan lembaga/Gubernur/bupati/ 50
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Tuntutan perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan terhadap bendahara, jika dalam pengurusannya terdapat kekurangan perbendaharaan dan kepada bendahara yang bersangkutan diharuskan mengganti kerugian.
walikota melaporkan penyelesaian kerugian daerah kepada BPK RI selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahuinya kerugian daerah dimaksud. Tuntutan perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan terhadap bendahara, jika dalam pengurusannya terdapat kekurangan perbendaharaan dan kepada bendahara yang bersangkutan diharuskan mengganti kerugian. Tuntutan ini berlaku untuk bendahara yang dalam hal ini adalah seseorang yang ditugaskan untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang negara/daerah, suratsurat berharga dan barang milik negara/ daerah, serta bertanggung-jawab kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah. Yang merupakan objek dari penuntutan ini adalah adanya kekurangan perbendaharaan
Pengawasan yang pada dasarnya merupakan selisih kurang antara saldo buku kas dengan saldo fisik kas. Dalam hal ini dapat diselesaikan melalui 4 (empat) cara, yaitu: upaya damai, tuntutan perbendaharaan biasa, tuntutan perbendaharaan khusus, dan pencatatan. Tuntutan Ganti Rugi merupakan suatu proses tuntutan terhadap pegawai dalam kedudukannya bukan sebagai bendahara, dengan tujuan menuntut penggantian kerugian disebabkan oleh perbuatannya melanggar hukum dan/atau melalaikan kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung negara/daerah menderita kerugian. Klasifikasi pegawai disini adalah Pegawai pusat dan daerah, Pegawai negeri/
Penggantian kerugian dalam bentuk barang dilakukan khusus terhadap barang bergerak berupa kendaraan bermotor roda 4 (empat) dan roda 2 (dua) yang umur pembeliannya 1 sampai 3 tahun.
pegawai daerah yang diperbantukan/ dipekerjakan, Pegawai perusahaan negara/ daerah, Pekerja pusat/daerah, TNI dan atau Polri serta purnawirawan TNI dan atau Polri yang dikaryakan/dipekerjakan pada daerah. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan penyelesaian tuntutan ganti rugi, dapat diselesaikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu Upaya Damai, Tuntutan Ganti Rugi Biasa, dan Pencatatan. Pegawai yang bertanggung jawab atas terjadinya kehilangan barang milik negara/ daerah (bergerak/tidak bergerak) dapat melakukan penggantian dalam bentuk uang atau barang yang sesuai dengan cara penggantian kerugian yang telah ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Penggantian kerugian dalam bentuk barang dilakukan khusus terhadap barang bergerak berupa kendaraan bermotor roda 4 (empat) dan roda 2 (dua) yang umur pembeliannya 1 sampai 3 tahun. Penggantian kerugian dalam bentuk uang dapat dilakukan terhadap barang tidak bergerak atau yang bergerak selain yang dimaksudkan di atas dengan cara tunai atau angsuran selama 2 (dua) tahun. Nilai taksiran jumlah harga benda yang akan diganti rugi dalam bentuk uang maupun barang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tuntutan Perbendaharaan (TP) dinyatakan kedaluwarsa (lewat waktu) apabila baru diketahui setelah lewat 30 (tiga puluh) tahun sejak kekurangan kas/ barang tersebut diketahui, dalam kasus dimaksud tidak dilakukan upaya-upaya damai. TP Khusus terhadap ahli waris atau yang berhak lainnya dinyatakan kedaluwarsa (lewat waktu) apabila jangka waktu 3 (tiga) tahun telah berakhir setelah meninggalnya bendahara tanpa adanya pemberitahuan. Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
51
Pengawasan Selain itu, jangka waktu untuk mengajukan keberatan berakhir, sedangkan surat keputusan pembebanan tidak pernah ditetapkan. Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dinyatakan kedaluwarsa setelah lewat 5 (lima) tahun sejak akhir tahun kerugian negara/daerah diketahui atau setelah 8 (delapan) tahun sejak akhir tahun, dimana kerugian tersebut terjadi/perbuatan tersebut dilakukan. Contohnya: Apabila perbuatan/kelalaian dilakukan dalam tahun 1990 dan diketahui dalam tahun 1991, maka kerugian keuangan negara/daerah tersebut mengalami kedaluwarsa 5 tahun sesudah tahun 1991 atau akhir tahun anggaran 1996/1997. Tetapi apabila baru diketahui dalam tahun 1994 maka kerugian negara/daerah tersebut mengalami kedaluwarsa 8 tahun sesudah tahun 1990 atau akhir tahun anggaran 1998/1999 dan bukan 5 tahun sesudah tahun anggaran 1994/1995 atau akhir tahun anggaran 1999/2000. Selanjutnya apabila kerugian negara/ daerah akibat dari perbuatan/kelalaian berturut-turut, waktu 8 tahun tersebut dimulai pada akhir tahun perbuatan/kelalaian yang terakhir dilakukan. Dalam menentukan besarnya kerugian negara/ daerah dihitung kerugian
52
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
negara/daerah yang terjadi 8 (delapan) tahun sebelum tahun penggantian kerugian negara/daerah dibebankan. Misalnya: Apabila perbuatan/kelalaian dilakukan berturut-turut sejak tahun 1985 sampai dengan tahun 1995, maka kerugian negara/ daerah tersebut akan kedaluwarsa 8 tahun sesudah 1995 atau tahun 2003. Apabila pembebanan ganti rugi dilakukan dalam tahun 1998 maka jumlah ganti rugi hanya terbatas sampai jumlah kerugian yang timbul sejak tahun 1990 saja, sedangkan kerugian tahun 1985 sampai dengan 1989 tidak diperhitungkan. Dalam Tuntutan Ganti Rugi (TGR) penghapusan terjadi apabila bendahara/ pegawai ataupun ahli waris/keluarga terdekat/ pengampu yang berdasarkan keputusan kepala daerah diwajibkan mengganti kerugian tidak mampu membayar ganti rugi, maka yang bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada menteri/pimpinan lembaga/ kepala daerah untuk penghapusan atas kewajibannya.Berdasarkan permohonan tersebut menteri/pimpinan lembaga/ kepala daerah memerintahkan Majelis Pertimbangan untuk melakukan penelitian. Apabila ternyata yang bersangkutan memang tidak mampu, maka setelah mendapatkan persetujuan dari DPR RI/ DPRD, selanjutnya menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah dengan surat keputusan d a p a t
Pengawasan menghapuskan TP/TGR baik sebagian ataupun seluruhnya. Penghapusan yang telah dilakukan dapat ditagih kembali apabila dikemudian hari terbukti bahwa bendahara/pegawai/ ahli waris yang bersangkutan ternyata mampu. Surat keputusan penghapusan baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari menteri/pimpinan lembaga. Berdasarkan pertimbangan efisiensi, maka kerugian negara/daerah yang bernilai sampai dengan Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dapat diproses penghapusannya bersamaan dengan penetapan peraturan pemerintah/peraturan daerah tentang Perhitungan APBN/APBD tahun anggaran yang berkenaan. Pembebasan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dalam hal bendahara atau pegawai bukan bendahara meninggal dunia tanpa ahli waris atau tidak layak untuk ditagih, yang berdasarkan surat keputusan menteri/ pimpinan lembaga/kepala daerah diwajibkan mengganti kerugian negara/daerah, maka majelis pertimbangan memohon secara tertulis kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah yang bersangkutan untuk membebaskan sebagian/seluruh kewajiban yang harus dipenuhi, dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR RI/DPRD dan menteri/ pimpinan lembaga. Penyetoran Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dilakukan dalam Penyetoran/
pengembalian secara tunai/sekaligus atau melalui angsuran atas kekurangan perbendaharaan/kerugian negara/daerah atau hasil penjualan barang jaminan/ kebendaan harus melalui kas Negara/ daerah atau dinas/lembaga/satuan kerja daerah yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Dalam kasus kerugian negara/daerah dimana penyelesaiannya diserahkan melalui pengadilan, menteri/pimpinan lembaga/ kepala daerah berupaya agar putusan pengadilan menyatakan bahwa barang yang dirampas diserahkan kepada negara/ daerah dan selanjutnya hasil penjualannya disetorkan ke kas negara/daerah. Khusus penyetoran kerugian negara/ daerah yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), setelah diterima kas negara/daerah segera dipindahbukukan ke rekening BUMN/D yang bersangkutan. Dalam hal pelaporan, Menteri/ pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/ Walikota wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan penyelesaian kerugian negara/ daerah kepada Gubernur setiap semester. Selanjutnya Gubernur wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan penyelesaian kerugian negara/daerah untuk tingkat pust/ provinsi/kabupaten/kota yang berada di wilayahnya setiap semester kepada menteri/ pimpinan lembaga untuk dijadikan bahan pemantauan. Demikian langkah-langkah upaya penyelesaian tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi yang merupakan inplementasi dari peraturan perundangundangan dan pemikian serta pengalaman dalam pelaksanaan audit, mudah-mudahan bermanfaat bagi pemangku kepentingan.[]
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
53
Pengawasan Whistleblower System dalam Bingkai Pengawasan Intern Kementerian/Lembaga Oleh: Ali Machzumi
Sekjen Kemenag Bahrul Hayat saat memberikan materi pada Kegiatan Temu Wicara Pengawasan 2013
B
elum lama ini kita dikagetkan dengan berita diberbagai media cetak maupun elektronik terkait dengan laporan Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Haryono Umar. Laporan yang disampaikan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut terkait dugaan kasus korupsi proyek promosi kebudayaan di Kemendikbud. Yang menarik dari kasus ini adalah karena melibatkan orang penting dalam Kemendikbud yaitu Wakil Menteri Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryati. Dalam kasus ini Wiendu Nuryati diduga memakai sejumlah perusahaan event organizer yang berafiliasi dengan Yayasan Stuppa Indonesia untuk menyelenggarakan sejumlah kegiatan promosi budaya pada tahun 2012. Adapun nilai proyek kegiatan promosi kebudayaan ini cukup besar yaitu Rp. 27, 31 miliar. Yayasan Stuppa merupakan organisasi pengelola pertunjukan dan
54
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
budaya milik Wiendu. Secara rinci Audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud menyebutkan adanya tekanan dan tender tidak wajar dalam penggunaan perusahaan-perusahaan pemenang tender yang diduga berafiliasi dengan Yayasan milik Wamen tersebut. (Tempo, 4 Juni 2013 Edisi No. 4248). Sedikit pemaparan mengenai kasus yang membelit Kemendikbud tersebut sangat menarik untuk kita kaji. Bukan terkait dengan besarnya nilai proyek ataupun karena Kementerian tersebut mengelola dana yang cukup besar dari ABPN, tetapi lebih kepada keberanian dari Inspektorat Jenderal mengungkap dan melaporkan kasus tersebut kepada KPK. Inspektorat Jenderal sebagai pengawasan intern selama ini dipahami oleh publik laporan hasil auditnya “hanya” menjadi konsumsi intern tidak bisa langsung disampaikan kepada publik dan penegak hukum apalagi ke Komisi Pemberantasan
Pengawasan Korupsi (KPK). Langkah yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud dengan mengungkapakan kasus tersebut kepada publik dan melaporkan kepada penegak hukum harus mendapatkan apresiasi yang positif dari masyarakat, karena sebagai langkah maju dalam memberantas korupsi dari dalam. Dengan adanya kasus ini masyarakat khususnya penggiat anti korupsi, menaruh harapan besar kepada seluruh Inspektorat yang ada pada Kementerian/Lembaga untuk lebih memaksimalkan peran dan fungsinya sebagai pemeriksa dan pengawas intern kinerja birokrasi pemerintah. Posisi Inspektorat Jenderal saat ini harus diperkuat dan
Dengan berani mengungkapkan apa yang benar dan salah atau apa yang baik dan jahat diharapkan perbuatan menyimpang dan perilaku korupsi yang dilakukan oleh penyelenggaraan negara dapat terungkap sehingga pengelolaan negara yang bersih bisa terwujud.
didorong untuk menjadi lembaga yang betulbetul menjadi pengendali atas perilaku dan tindakan korupsi pada tingkat Kementerian/ Lembaga. Selama ini laporan hasil-hasil audit yang dilakukan oleh Inspektorat hanya dilaporkan kepada pimpinan lembaga saja, oleh karena itu perlu juga disampaikan secara terbuka kepada publik. Sehingga dengan demikian, masyarakat bisa ikut berpartisipasi terhadap upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Mengacu pada kasus di Kemendikbud di atas, apakah Inspektorat Jenderal sebagai pengawas intern bisa memerankan sebagai Whistleblower? Apakah peran sebagai whistleblower menyalahi aturan sebagai pengawas intern di tingkat kementerian/ lembaga? Sebelum menjawab kedua pertanyaan tersebut perlu kita bahas mengenai apa itu whistleblower. Dalam buku “Memahami Whistleblower” yang diterbitkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Cetakan I, Desember 2011, Whistleblower diartikan sebagai “peniup peluit”, ada juga yang menyebutnya “saksi pelapor” bahkan “pengungkap fakta”. Terjemahan untuk whistleblower yang cukup jelas disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011, diartikan sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Whistleblower Dalam Ranah Publik Menurut pengertian di atas, whistleblower memiliki peran yang cukup signifikan untuk pengungkapan kejadian tindakan penyimpangan dan kejahatan tindak pidana korupsi pada kementerian/ lembaga. Dalam konteks ini whistleblower Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
55
Pengawasan dapat diperankan oleh perseorangan, masyarakat umum ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen pada permasalahan-permasalahan publik. Di sini diperlukan keberanian dan kekuatan moral bagi sosok whistleblower. Dengan berani mengungkapkan apa yang benar dan salah atau apa yang baik dan jahat diharapkan perbuatan menyimpang dan perilaku korupsi yang dilakukan oleh penyelenggaraan negara dapat terungkap sehingga pengelolaan negara yang bersih bisa terwujud. Berbagai upaya telah dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk memberantas perilaku dan tindakan korupsi di negeri ini, baik yang sifatnya preventif maupun represif. Tetapi apa yang terjadi, korupsi bukannya semakin berkurang dan habis melainkan semakin menjadi-jadi. Modus para pelaku korupsi hari demi hari mengalami perkembangan, berbagai cara dilakukan oleh para perampok uang negara tersebut untuk mengelabui aparat penegak hukum agar tindakan dan perilaku korupsinya tidak terendus. Kalau sudah seperti itu tidak ada yang tahu terhadap perilaku dan tindakan korupsi tersebut, selain para pelaku korupsi sendiri dan Tuhan. Hal ini disebabkan sangat rapi dan tertatanya modus yang dipraktikkan oleh para pelaku. Oleh karena itu diperlukan upaya bantuan dari dalam atau orang dalam lingkungan pelaku untuk mengungkapkan kondisi, kejadian dan modus yang dilakukan oleh pelaku korupsi tersebut. Peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi, oleh negara sudah cukup lama diwadahi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam 56
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam peraturan ini mengatur mengenai orang, organisasi masyarakat, ataupun lembaga swadaya masyarakat yang berperan aktif dalam memberikan informasi, saran, dan pendapat terkait dengan kejadian tindak pindana korupsi. Peraturan Pemerintah tersebut menjadi dasar bagi penguatan peran masyarakat dalam pengungkapan tindakan korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Disini diatur lebih detail hak dan tanggungjawab masyarakat terkait dengan: Pertama, dalam mencari, memperoleh, memberi informasi, saran dan pendapat. Kedua, dalam memperoleh pelayanan dan
LPSK perlu membangun link sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower yang terpadu dengan instansi lainnya (penegak hukum, lembaga negara, BUMN, maupun privat sektor).
jawaban dari penegak hukum. Ketiga, dalam memperoleh perlindungan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terkait dengan perlindungan terhadap pelapor menjadi tanggungjawab Lembaga
Pengawasan Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK mendapatkan mandat dari undang-undang untuk memastikan perlindungan pelapor agar tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata sehubungan dengan laporan dan kesaksiannya Yang dimaksud dengan dalam Undang-Undang ini yang dimaksud pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. LPSK juga mendapatkan tugas untuk memastikan keringanan hukuman bagi tersangka yang juga dijadikan saksi oleh LPSK. Untuk mendapatkan perlindungan pelapor mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK sebagaimana prosedur permohonan perlindungan saksi dan korban. Adapun bentuk perlindungan
hukum yang diberikan oleh LPSK terhadap whistleblower dalam hal-hal sebagai berikut; Pertama, whistleblower (pelapor) yang dijadikan terdakwa dalam perkara pencemaran nama baik dalam proses pemeriksaan di Pengadilan. Kedua, Pelapor dan Saksi, juga Terdakwa untuk kasus yang sama, rekomendasi pengurangan hukumannya. Ketiga, Mendampingi Pelapor untuk menyampaikan laporannya ke Aparat
Penegak Hukum. Dan Keempat, Dalam hal pelapor mendapatkan intimidasi dan ancaman maka berdasarkan mandat dalam undang-undang LPSK dapat memberikan perlindungan (perlindungan fisik dan atau perlindungan hukum). Bentuk-bentuk perlindungan terhadap whistleblower sendiri meliputi perlindungan fisik, perlindungan hukum, perlindungan kerahasiaan, pemenuhan hak-hak prosedural, dan penanganan medis dan psikologis. Untuk mekanisme permohonan perlindungan oleh LPSK mengacu pada; Pertama, prosedur perlindungan bagi whistleblower mengikuti proses yang berlaku dalam permohonan perlindungan saksi dan korban. Kedua, LPSK perlu membangun link sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower yang terpadu dengan instansi lainnya (penegak hukum, lembaga negara, BUMN, maupun privat sektor). Disamping itu, untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh whistleblower adalah sebagai berikut; Pertama, adanya informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan atau terorganisir. Kedua, adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap pelapor dan saksi pelapor atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya. Dan Ketiga, laporan tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan kepada Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
57
Pengawasan pejabat yang berwenang sesuai dengan tahap penanganannya dan dibuatkan berita acara penerimaan laporan. Hal penting yang harus diperhatikan bagi whistleblower adalah keakuratan dan kekuatan informasi atau data yang disampaikan. Informasi atau data yang disampaikan harus betul-betul ada unsur kebenaran tidak fitnah atau hanya pepesan kosong. Disamping itu informasi atau data yang disampaikan memiliki dampak yang luas bagi masyarakat dan negara dalam hal potensi kerugian keuangan negara. Karena penyimpangan atau perbuatan korupsi yang terjadi apabila tidak diungkapkan akan menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi bagi organisasi, masyarakat ataupun negara. Whistleblowing System Pada Kementerian/ Lembaga Dalam konteks Kementerian/Lembaga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, disebutkan susunan organisasi dalam Kementerian yang menangani urusan pengawas adalah Inspektorat Jenderal. Sebagai lembaga pengawas intern pada tingkat Kementerian/Lembaga, Inspektorat Jenderal harus mampu menyediakan sarana pengaduan yang memadai bagi aduan atau laporan dari masyarakat terkait dengan penyimpangan dan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu peran Inspektorat Jenderal dalam melakukan pengawasan intern sangat penting. Dalam rangka pengawasan intern tersebut untuk menggali informasi ataupun data dari satuan kerja bisa dilakukan melalui dua jalur dari intern maupun ekstern termasuk aduan dan laporan dari masyarakat. Langkah selanjutnya yang perlu disiapkan oleh Kementerian/Lembaga 58
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
dalam hal ini Inspektorat Jenderal adalah menyiapkan sarana pengaduan dan pelaporan bagi masyarakat dengan membentuk Whistleblowing System. Whistleblowing System sendiri merupakan media yang disediakan oleh suatu organisasi untuk menampung informasi yang dimiliki oleh informan (masyarakat atau intern) yang ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran. Media yang dimaksudkan tersebut bisa melalui surat, fax, telpon, sms, email, dan website, langsung di atau luar kantor dan bisa melalui penerimaan pengaduan langsung melalui unjuk rasa dari perwakilan masyarakat atau lembaga. Hal yang tak kalah penting yang harus diperhatikan dalam Whistleblowing System adalah bagaimana mekanisme penerimaan pengaduan, melindungi kerahasiaan pelapor, perlindungan terhadap pelapor, kemudahan penyampaian pengaduan dan pemantauan tindak lanjut pengaduan, kriteria pengaduan dugaan penyimpangan dan tindak pidana korupsi, review dan pengendalian penanganan pengaduan, dan akuntabilitas penanganan pengaduan dugaan penyimpangan dan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, maka aduan dan laporan yang masuk dari masyarakat bisa dipertanggungjawabkan dan pelapor merasa aman dan nyaman karena merasa terlindungi. Dalam penguatan whistleblower pada masing-masing Kementerian/Lembaga maka Whistleblowing System yang dibangun oleh Inspektorat Jenderal memiliki peran yang sangat signifikan. Peran tersebut bisa dibagi menjadi dua; Pertama, peran ekstern. Pada satu sisi Inspektorat sebagai pengawas intern dapat bertindak sebagai whistleblower sendiri. Ketika Inspektorat melakukan audit atau pemeriksaan kepada auditi dan
Pengawasan menemukan temuan-temuan yang ada indikasi penyimpangan dan korupsi maka harus meneruskan laporan hasil auditnya tersebut kepada penegak hukum atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, peran intern, Inspektorat sebagai pengawas intern mempunyai tugas untuk memperkuat sistem pengawasan intern yang didalamnya termasuk membentuk Whistleblowing System. Hal ini dimaksudkan untuk mewadahi dan menampung laporan-laporan dari pegawai ataupun masyarakat terkait dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada pada satker. Dua peran penting tersebut dari sisi intern maupun ekstern untuk memperkuat whistleblower tersebut harus segera disusun aturan terkait dengan proses, teknik dan prosedur dalam pembentukan Whistleblower System. Karena pengungkapan penyimpangan dan kasus-kasus korupsi yang ada di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan peran serta dari masyarakat. Di sinilah diperlukan cara dan strategi yang tepat oleh aparat penegak hukum untuk memberantas perilaku dan tindakan korupsi sehingga tidak kalah dengan para pelaku kejahatan ekstraordinary tersebut. Kesimpulan Dengan demikian, pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kasus yang dipaparkan di awal mengenai laporan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait dengan dugaan kasus korupsi yang terjadi pada Kemendikbud tersebut adalah pentingnya penguatan whistleblower pada Kementerian/Lembaga. Sehingga ke depan keberadaan whistleblower pada tingkat Kementerian/Lembaga dapat diperankan oleh semua orang pada seluruh
satker, selanjutnya memberikan dukungan yang maksimal bagi peran pengawasan yang dijalankan oleh Inspektorat Jenderal pada masing-masing Kementerian/Lembaga. Oleh karena itu membangun whistlerblowing system yang kuat dan terpercaya pada seluruh Kementerian/Lembaga adalah suatu keniscayaan. Disamping itu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, untuk memperkuat whistleblower pada masing-masing Kementerian/Lembaga perlu dibangun kerjasama yang memadai antara Kementerian/Lembaga dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sehingga ada kesamaan proses dan prosedur yang harus dilalui bagi orang, masyarakat, dan lembaga sosial masyarakat (LSM) yang berkeinginan menjadi whistleblower. Disamping itu, Kementerian/Lembaga bisa memberikan keyakinan yang memadai bagi sosok whisleblower bahwa ada jaminan tindak lanjut penangan kasus yang dilaporkan sekaligus adanya perlindungan bagi whistleblower sendiri. Pada akhirnya siapa pun dapat berperan menjadi whistleblower jika dia bersedia dan mampu melaporkan atau menyampaikan dugaan kejahatan dan tindak pidana yang lebih terorganisir. Karena setiap skandal publik dapat dipastikan akan mempengaruhi segala upaya perbaikan di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial. Lantas bagaimana praktik sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower dapat dilakukan secara lebih maksimal di masa-masa mendatang? Di sini diperlukan upaya perbaikan terusmenerus penerapan sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower yang sudah ada. []
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
59
Opini Pendidikan Tinggi di Lingkungan Kementerian Agama Oleh: Yanis Naini
N
Seorang mahasiswa memberikan pertanyaan kepada Irjen Kemenag saat acara pembinaan di IAIN Sunan Ampel Surabaya, 3 Mei 2013
egara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Selain itu pada Pasal 31
60
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
ayat (5) mengamanahkan agar Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang makin mengutamakan basis Ilmu Pengetahuan, Pendidikan Tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Pada tataran praktis bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antar bangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa lain di pihak lain. Oleh karena itu,
Opini untuk meningkatkan daya saing bangsa dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era globalisasi, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu mewujudkan dharma pendidikan, yaitu menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia. Dalam rangka mewujudkan dharma Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan karya Penelitian dalam cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dapat diabdikan bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia. Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan. Dengan demikian Perguruan Tinggi dapat mengembangkan budaya akademik bagi Civitas Akademika yang berfungsi sebagai komunitas ilmiah yang berwibawa dan mampu melakukan interaksi yang mengangkat martabat bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional. Pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan. Pendidikan
tinggi ditujukan untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/ atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh,
Salah satu Misi Kementerian Agama adalah meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, melalui pendidikan dasar, menengah, atas, dan pendidikan tinggi.
serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan tinggi diantaranya untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
61
Opini dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis. Salah satu Misi Kementerian Agama adalah meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, melalui pendidikan dasar, menengah, atas, dan pendidikan tinggi. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, telah
c. Institut Agama Hindu Negeri (IHDN) d. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) e. Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) f. Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) g. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN)
diatur tentang pendidikan tinggi keagamaan. Pendidikan tinggi keagamaan di lingkungan Kementerian Agama,terdiri atas: a. Universitas Islam Negeri (UIN) b. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
h. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Hal tersebut telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 30 ayat (1) dan (2). Pasal 30 ayat (1), Pemerintah atau masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan. Pasal 30 ayat (2), Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis. Pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 7 ayat (4) diatur juga bahwa dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang dilaksanakan
Rumpun ilmu pengetahuan yang dapat diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri adalah rumpun ilmu keagamaan.
62
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Opini
Pendalaman materi Pra Diklat JFA bagi calon auditor Itjen Kemenag 2013
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Univesitas Islam Negeri (UIN) merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Rumpun ilmu pengetahuan yang dapat diselenggarakan Universitas Islam Negeri adalah berbagai rumpun ilmu keagamaan maupun rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi. Institut Agama Negeri merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun ilmu Pengetahuan dan/ atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Rumpun ilmu pengetahuan yang dapat diselenggarakan Institut Agama Islam Negeri adalah beberapa rumpun ilmu keagamaan. Sekolah Tinggi Agama merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam
satu rumpun ilmu Pengetahuan dan/atau teknologi dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Rumpun ilmu pengetahuan yang dapat diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri adalah rumpun ilmu keagamaan. Saat ini Kementerian Agama telah menyelenggarakan 74 (tujuh puluh empat) pendidikan tinggi keagamaan se-Indonesia, terdiri atas: 6 (enam) UIN, 15 (lima belas) IAIN, 1 (satu) IHDN, 31 (tiga puluh satu) STAIN, 2 (dua) STAKPN, 5 (lima) STAKN, 2 (dua) STAHN, dan 2 (dua) STABN. Kementerian Agama senantiasa ikut melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya adalah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.[]
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
63
Opini DAMPAK KORUPSI DAN PENCIPTAAN PENYAKIT SOSIAL MASYARAKAT Oleh: Syamsuddin N.
P
embicaraan tentang korupsi rasanya tidak pernah sepi terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “penyakit sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam praktiknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum
64
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi tentunya merupakan sebuah penyakit sosial yang harus segera diberantas. Model Penyakit Sosial yang berkembang Secara prinsip korupsi mampu merubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat gotong royong dan kekeluargaan berubah menjadi masyarakat yang berpahamkan kebendaan atau materialistik. Filosofi hidup masyarakat yang “suka menolong” menjadi masyarakat yang selalu mengharap pamrih atas setiap bantuan yang diberikan. Perubahan pola sikap yang demikian membawa ruang tersendiri pada korupsi untuk terus-menerus menjadi bagian dan sistem moral masyarakat Indonesia. Korupsi menjadikan budaya ikhlas menjadi budaya pamrih. Di antara perubahan moral masyarakat yang diakibatkan oleh korupsi yaitu: Pertama, Penciptaan moral hipokrit. Adanya budaya korupsi menyebabkan berkembangnya budaya moral hipokrit atau munafik di masyarakat. Sebagai ilustrasi misalkan ada seseorang yang ingin membuat surat izin tertentu, dimana secara peraturan gratis. Karena budaya yang berkembang menyebabkan ia bertanya: berapakah yang harus saya bayar?”. Pertanyaan itu mencerminkan
Opini betapa untuk memperoleh pelayanan publik seseorang harus membayar dengan harga yang ditentukan sendiri oleh aparat pemerintah, padahal yang bersangkutan telah digaji oleh negara untuk melakukan tugas-tugas itu. Kedua, Berkembangnya budaya menjilat. Sebuah hal yang sangat menyedihkan yaitu pada masyarakat yang korup, istilah halal dan haram ataupun baik dan buruk hilang
dalam frame pemikiran. Yang terjadi adalah budaya bagaimana sebuah keinginan terjadi, tanpa peduli apakah berlawanan dengan syariat atau tidak. Sehingga banyak orang mau merendahkan diri sendiri asal sang pejabat atau pemimpin mau mengakomodasi keinginannya. Dalam hubungannya dengan atasan, koruptor selalu memposisikan diri sebagai bawahan yang tunduk dan patuh atas tugastugas yang dibebankan atasan, padahal sang atasan memanfaatkan tugas tersebut untuk kepentingan dirinya. Model orang seperti ini sudah tidak malu lagi untuk menjilat di
muka atasan. Tidak ada lagi rasionalitas yang mampu mengendalikan untuk berkata “tidak” kepada atasan yang mempunyai jabatan basah. Dan yang Ketiga, Berkembangnya karakter penipu. Jujur adalah sebuah karakter yang hilang dalam budaya koruptor. Perbuatan korupsi menjadikan ketidakjujuran berkembang baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Semakin ketidak jujuran itu diketahui orang lain, semakin banyak orang-orang yang ditipu atas perbuatannya. Ketika koruptor adalah seorang pejabat publik yang diwajibkan oleh undangundang untuk menyerahkan daftar kekayaan kepada KPK, yang terjadi adalah bahwa yang bersangkutan tidak mengembalikan daftar kekayaannya atau dia melakukan kebohongan publik dengan menutupi daftar kekayaan sesungguhnya. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa korupsi sesungguhnya berdampak terhadap penyakit social masyarakat. Korupsi menjadikan budaya penjilat berkembang, masyarakat berkarakter hipokrit dan masyarakat berkarakter penipu. Islam sebagai diin yang sempurna, mengajarkan sikap antikorupsi dalam segala bidang. korupsi harus dilawan dan diperangi. Korupsi jelas-jelas merusak moral masyarakat yang berkeadaban. Korupsi menjadikan manusia kehilangan fitrahnya.[]
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
65
Opini Peran Pimpinan dalam Mencegah Praktik Korupsi Oleh: Dwi Cahyaning Tiasworo
B
Irjen Kemenag saat melakukan sidak Ujian Nasional di MAN I Malang Malang, 15 April 2013
erbicara masalah korupsi tidak ubahnya dengan membicarakan sesuatu yang tidak ada ujung pangkalnya, serta sulit untuk diberantas dalam jangka waktu yang cepat. Sebab masalah korupsi seperti halnya menegakkan benang yang basah, seperti onta yang dimasukkan kedalam lubang jarum (‘ibarah ini seperti tersurat di dalam salah satu ayat al-Qur’an ). Korupsi merupakan problematika bangsa yang sistemik dan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan seseorang, ia tidak dapat dibasmi hanya dengan cara-cara instan, melainkan perlu waktu, biaya, strategi dan taktik, yang dituangkan dalam cara-cara yang sistemik dan terprogram, berkesinambungan (continous), yang paling penting adalah adanya political will yang terwujud dalam program dan kebijakan para pimpinan secara arif dan bijaksana dalam melihat dan menganalisa permasalahan korupsi dalam mencari solusi yang mujarab.
66
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
Kebijakan para pemimpin yang dilandasi dengan prinsip etika dan moralitas dalam memberantas korupsi perlu didukung dengan penerapan sistem dan aturan yang bersih dari praktik-praktik korupsi. Ketika para pemimpin memegang amanah dan tanggung jawabnya, maka mereka telah memberi uswah atau suri teladan yang baik bagi dirinya maupun bawahannya. Dalam ayat al-Qur’an dijelaskan Laqod kaana lakum fi Rasuulillahi uswatun hasanah. Kandungan ayat ini memberikan pesan motivasi sekaligus ajakkan untuk menjadi uswah/teladan dalam berperilaku baik sebagai konteks pribadi maupun sosial. Kaitannya sebagai pemimpin (leader) maka menegakkan aturan dan tata nilai yang baik serta mencegah terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah cermin sifat ketauladanan itu sendiri. Seorang pemimpin tidak bisa menjalankan roda organisasi secara sendirian tanpa bantuan orang lain, termasuk dalam
Opini memberantas praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam konteks ini ia hanya menjadi leader dari suatu organisasi, ia juga mempunyai kapasitas merumuskan berbagai kebijakan, kemudian seluruh elemen organisasi dan masyarakat saling bahu membahu dan bekerjasama dalam menanggulangi terjadinya praktik KKN. Sebagai makhluk yang beragama, seharusnya kita mengenal, mendalami, dan mempraktikkan ajaran agama kita masing-masing supaya kita tidak terjerumus pada ajakkan syaitan. Dalam agama Islam, praktik KKN sangatlah dilarang dan haram hukumnya, selain bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan al-Hadis, praktik ini juga akan menyengsarakan dirinya pribadi, keluarga, dan masyarakat secara umum. Praktik KKN juga dilarang oleh agama– agama lain yang ada dimuka bumi ini, karena dampak dari perbuatan ini bukan hanya merugikan masyarakat, bangsa, dan negara saja, melainkan dampak yang paling esensial adalah kita telah durhaka kepada Tuhan kita dan akan mendapat balasannya.
Jika praktik korupsi ibarat budaya, maka faktor kepemimpinan merupakan salah satu benteng untuk mencegah praktik tersebut.
Sebenarnya apakah korupsi itu? Mengutip Amir Hamzah, dalam buku yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kata Korupsi berasal dari kata corruption atau corruptus, lantas apa maknanya? Korup menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), berarti busuk, rusak, suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Dampak dari perbuatan korupsi adalah membuat masyarakat yang lain menjadi menderita/sengsara, depresi, stress, bahkan banyak yang menjadi gila akibat adanya kesenjangan sosial dan penumpukkan harta oleh segelintir orang dengan cara-cara yang tidak benar. Akibat korupsi tingkat kesejahteraan menjadi menurun, subsidi pendidikan berkurang, dan pembangunan di segala bidang menjadi terbengkalai karena anggarannya disunat di sana-sini. Akhirnya negara yang harus menanggung semua sehingga rakyat kecil yang kena dampak dan menanggung beban hutang yang menjadi kewajiban negara. Beberapa tahun lalu, kita dikejutkan dengan berita di koran dan media elektronik lainnya, bahwa seorang pegawai golongan III/a pada Ditjen Pajak yaitu Gayus Tambunan begitu leluasanya melakukan korupsi hingga mencapai miliaran rupiah jumlahnya. Kenapa hal itu terjadi? Dimana pengawasan oleh atasannya? Apakah ia melakukannya sendiri? Kalau kita kaji lebih dalam, bahwa praktik korupsi tidak akan terjadi apabila peran para pemimpin dalam melakukan pengawasan dilaksanakan secara benar dan tidak memberikan kewenangan secara luas dan begitu mudahnya.
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
67
Opini Sebenarnya, praktik korupsi sudah ada sejak zaman penjajahan, beratusratus tahun lamanya kita hidup pada masa penjajahan, sehingga pada saat itu disana sini banyak terjadi praktik korupsi, mulai dari penggelapan, suap atau sogokan. Menurut Imam Widodo, dalam buku Soerabaia Tempo Doeloe mengatakan bahwa Gubernur Nicolaas Enggelhard menjadi kaya raya karena mendapat sogokan atau upeti dari pribumi yang menginginkan jabatan, menginginkan pangkat dan status yang lebih baik, menjadi hulu balang, prajurit, dan sebagai bala tentara perang yang akan mendapat jaminan hidup layak dan lebih baik dari Belanda. Merebaknya praktikpraktik korupsi sampai saat ini, menurut Samuel P. Huntington, bahwa praktik korupsi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia selama ini berlangsung tanpa rasa sungkan dan malu lagi. Menurutnya, di antara sekian negara yang paling banyak praktik korupsinya adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika. Tetapi Huntington mengecualikan Singapura yang dianggap sebagai negara yang bersih, sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia. Sejak era reformasi, upaya pemberantasan korupsi sebenarnya sudah mulai dilaksanakan, adanya tuntutan terhadap para konglomerat hitam/pejabat yang korupsi untuk diproses hukum menunjukkan bahwa ada keinginan kuat negara kita dalam membasmi korupsi. Namun banyak kalangan status quo yang mencoba menghalanginya, dan tidak suka kalau korupsi diberantas sebab mereka akan 68
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
terjerat hukum dan kehilangan pundi-pundi hartanya. Kemudian lahirlah ketetapan MPR No. XI/1998, salah satu butirnya adalah meminta pengusutan terhadap koruptor dan mewajibkan penyelenggara negara melaporkan kekayaannya. Hal ini merupakan upaya untuk mencegah serta membentengi negara kita dari praktik-praktik kotor para koruptor. Setelah itu, berdirilah lembaga independen yang bertugas menuntut dan menindak perbuatan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia lahir sebagai anak kandung reformasi, sehingga kehadiran dan kiprahnya sangat diharapkan dalam menanggulangi bahaya korupsi yang mendera negeri kita ini. KPK terlahir karena ada ketidakpercayaan kepada lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. Sehingga KPK yang dianggap sebagai lembaga super body seringkali melakukan gebrakan dalam rangka mengungkap praktik-praktik korupsi, baik di lingkup politisi, pejabat negara/ pemerintah, institusi penegak hukum dan sebagainya. Kewenangan KPK yang dimiliki juga didukung dengan peralatan information technology serta sumber daya manusia yang berkualitas dan kompeten. Perang melawan korupsi memang tidak pernah berakhir, karena ia akan selalu ada dan bersimbiosis terus menerus. Berbagai modus operansi yang dijalankan semakin canggih dan mengkelabui aparat penegak hukum, ia memanfaatkan kelengahan dan celah-celah hukum yang masih banyak ditemukan di negara kita
Opini
... memilih pemimpin yang bersih, jujur dan anti korupsi, pemimpin yang mempunyai kepedulian dan cepat tanggap, pemimpin yang bisa menjadi teladan.
ini. Hingga alur praktik korupsi ibarat telah membudaya dalam kehidupan keseharian kita. Jika praktik korupsi ibarat budaya, maka faktor kepemimpinan merupakan salah satu benteng untuk mencegah praktik tersebut. Salah satu wujud untuk melawan virus korupsi adalah adanya kepemimpinan (leadership) yang kokoh didukung kondisi sosial yang aktif melawan korupsi tersebut. Dalam catatan Litbang Kompas, selama tahun 2005 hingga 2009 terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga, mulai dari lembaga negara seperti penegak hukum, BUMN, departemen, birokrasi, pemerintah daerah, partai politik, hingga para anggota parlemen. Kenapa korupsi makin merajalela walaupun sudah ada 3 aparat penegak hukum yaitu KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian? Franz Magniz Suseno, teolog dan Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia semakin merebak disebabkan
gagalnya pendidikan etika dan agama. Menurutnya agama gagal membendung moral bangsa dalam hal mencegah korupsi, padahal Indonesia memiliki masyarakat yang beragama. Pemeluk agama di mata Franz, masih memandang agama hanya berkutat pada urusan ibadah saja, sehingga agama nyaris tidak memainkan peran sosial yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia (social interaction). Padahal agama memiliki kesempatan memainkan peran yang lebih besar dibanding ormas sekali pun. Sebab agama memiliki hubungan emosional dengan sesama pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan hubungan emosional ini mampu menyadarkan umat, bahwa korupsi bisa membawa dampak buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga langkah pertama pemberantasan korupsi adalah memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman. Di sinilah agama berperan, dengan cara para pemuka agama berupaya mempererat ikatan emosional antara agama dan pemeluknya. Para pemuka agama diberbagai kesempatan hendaknya menekankan bahwa korupsi adalah perbuatan yang bukan hanya tercela, akan tetapi juga dosa. Pemberantasan korupsi dimulai diantaranya dengan mengalihkan kesetiaan bukan hanya kepada keluarga, golongan, suku, ras, agama, akan tetapi kepada bangsa. Langkah berikutnya adalah memilih pemimpin yang bersih, jujur dan anti korupsi, pemimpin yang mempunyai kepedulian dan cepat tanggap, pemimpin yang bisa menjadi teladan. Sudahkah kita melakukannya? Sebab baik dan buruknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh pemimpinnya. []
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
69
Opini Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Oleh: Imron Fauzi
S
Irjen Moch. Jasin melakukan sidak pelaksanaan tes calon Petugas Haji 1434 H di Kankemenag Kota Pontianak Kalbar Pontianak, 9 April 2013
ejak dilantik tanggal 3 Agustus 2012, Inspektur Jenderal Kementerian Agama Moch. Jasin, pangkat Pembina Utama golongan (IV/e) dan pernah menjabat Wakil Ketua KPK, ia merubah program pengawasan yang sebelumnya menggunakan metode audit per-bidang meliputi 4 aspek, yaitu: Aspek Tugas dan Fungsi, Aspek Keuangan, Aspek Barang Milik Negara dan Aspek Sumber Daya Manusia menjadi audit kinerja sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Audit kinerja yang diterapkan ini, pertama kali lebih menitikberatkan pada satuan kerja Perguruan Tinggi (UIN, IAIN) dan Kantor Wilayah Provinsi. Adapun audit kinerja ini dititikberatkan pada 4 komponen yaitu : Stakeholders, Internal Proses, Pertumbuhan,
70
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
dan Keuangan. Pada Bulan September 2012 sudah diterapkan Audit Kinerja yaitu pada satuan kerja IAIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Sultan Thaha Jambi, STABN Tangerang Banten dan bulan Oktober Kanwil Provinsi Bali, IAIN Banjarmasin. Selanjutnya diawal tahun 2013 ini, audit kinerja yang ingin dicapai selain opini Kementerian Agama Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), juga ingin bebas dari permasalahan korupsi. Sehingga sebelum melakukan audit kinerja pada lingkungan Kementerian Agama, para auditor ditugaskan melakukan monitoring dan evaluasi selama 2 bulan dalam mengawasi bantuan dari Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam. Apa kaitan audit kinerja dengan pengukuran dan evaluasi kinerja atas
Opini rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga? Dasar hukum pengukuran dan evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga adalah Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 Pasal 19 ayat (4) tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ lembaga. Pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 2 Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan Evaluasi Kinerja tahun sebelumnya dan tahun berjalan lingkup Kementerian/ Lembaga yang dipimpinnya, dilakukan per Program dan dapat mendelegasaikan kepada Pimpinan Unit Eselon I atau pejabat lain sebagai penanggungjawab program berkenaan serta melibatkan pemangku kepentingan. Evaluasi kinerja dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsi akuntabilitas dan fungsi peningkatan kualitas, bertujuan untuk membuktikan dan mempertanggungjawabkan secara profesional kepada masyarakat atas penggunaan anggaran yang dikelola Kementerian/Lembaga bersangkutan bagi kepentingan masyarakat. Fungsi peningkatan kualitas bertujuan untuk mempelajari faktor-faktor yang menjadi pendukung dan/atau kendala atas pelaksanaan RKA-K/L sebelumnya sebagai bahan penyusunan dan pelaksanaan RKAK/L serta upaya peningkatan kinerja di tahun-tahun berikutnya. Sedangkan Evaluasi Kinerja terdiri atas 3 (tiga) Aspek yaitu: Pertama, Aspek Implementasi, dilakukan dalam rangka menghasilkan informasi kinerja mengenai pelaksanaan kegiatan dan pencapaian keluaran. Indikator yang diukur atas aspek ini meliputi: penyerapan anggaran; konsistensi antara perencanaan
dan implementasi; pencapaian keluaran; dan efisiensi. Kedua, Aspek Manfaat, yaitu evaluasi kinerja atas aspek manfaat dilakukan dalam rangka menghasilkan informasi mengenai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan/atau pemangku kepentingan sebagai penerima manfaat atas keluaran yang telah dicapai. Indikator yang diukur merupakan capaian indicator kinerja utama. Dan ketiga, Aspek Konteks, evaluasi kinerja atas aspek konteks dilakukan dalam rangka menghasilkan informasi mengenai relevansi masukan, kegiatan, keluaran, dan hasil, dengan dinamika perkembangan keadaan, termasuk kebijakan pemerintah. Evaluasi kinerja atas aspek implementasi dan aspek manfaat dilakukan setiap tahun, sedangkan evaluasi kinerja atas aspek konteks dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sesuai kebutuhan dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan keadaan. Tahapan Evaluasi Kinerja meliputi: a. Persiapan evaluasi kinerja; b. Pengumpulan data; c. Pengukuran dan penilaian; dan d. Analisis, dimulai sejak RKA-K/L ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan menjadi dokumen pelaksanaan anggaran. Persiapan evaluasi kinerja paling sedikit meliputi : a. Mempersiapkan model logika informasi kinerja; b. Inventarisasi dan identifikasi berbagai indicator dan target kinerja; dan c. Penyusunan desain pengumpulan data. Model logika merupakan gambaran ringkas yang menjelaskan hubungan antara masukan, kegiatan, keluaran, dan hasil serta kebutuhan masyarakat dan/atau pemangku kepentingan. Model logika informasi kinerja serta indikator dan target kinerja didasarkan pada data dalam dokumen RKA-K/L. Desain Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
71
Opini pengumpulan data difokuskan pada penyusunan mekanisme untuk memperoleh data realisasi indikator kinerja keluaran dan indikator kinerja utama program. Data yang diperlukan dalam rangka evaluasi kinerja atas aspek implementasi meliputi: a. pagu anggaran; b. target volume keluaran; c. target indikator kinerja keluaran; d. rencana penarikan dana. Sehingga realisasi anggaran yang bersumber dari
dokumen Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara; Realisasi volume keluaran diperoleh berdasarkan: a. bukti serah terima barang/jasa; b. surat pernyataan yang dibuat oleh pejabat pengelola kegiatan; dan/atau c. bukti atau dokumen lain yang dapat dipertanggungjawabkan) dan realisasi indikator kinerja keluaran diperoleh dari: a. riviu dokumen; b. survei; c. observasi; dan/atau d. diskusi kelompok terarah (Fokus group discussion) yang melibatkan pemangku kepentingan. Pengumpulan data realisasi anggaran dan realisasi volume keluaran dilakukan setiap bulan sesuai dengan realisasi yang telah 72
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
dicapai dan dapat digunakan sebagai bahan monitoring atas pelaksanaan RKA-K/L pada tahun berjalan. Menurut pasal 9 bahwa data yang diperlukan dalam rangka evaluasi kinerja atas aspek manfaat meliputi: a. Data target indikator kinerja utama, bersumber dari dokumen RKA-K/L yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan b. Data realisasi indikator kinerja utama diperoleh dari : a. riviu dokumen; b. survei; c. observasi; dan/atau d. diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) yang melibatkan Pemangku Kepentingan. Sehingga Data yang diperlukan dalam rangka Evaluasi Kinerja atas aspek konteks meliputi data kependudukan, indicator ekonomi, indeks tingkat kemiskinan, data dibidang ekonomi, social, politik, arah kebijakan Pemerintah dan prioritas pembangunan nasional serta informasi lain yang terkait. Data tersebut dapat diperoleh dari: a. riviu dokumen (merupakan dokumen yang diterbitkan oleh lembaga yang kredibel, baik berasal dari dalam negeri atau luar negeri), yang terdiiri dari laporan hasil riset, laporan hasil survei, dan/atau data sensus; b. survei; c. observasi; dan/atau d. diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) yang melibatkan pemangku kepentingan. Pengertian pengukuran dan penilaian dapat dijelaskan bahwa pengukuran merupakan proses menghasilkan suatu nilai capaian kinerja untuk setiap indikator yang dilakukan dengan cara membandingkan data realisasi dengan data target yang telah direncanakan sebelumnya. Sedangkan
Opini
Nilai kinerja atas aspek implementasi diperoleh dengan menjumlahkan seluruh perkalian antara nilai masingmasing indikator aspek implementasi dengan masing-masing bobot berkenaan. penilaian merupakan proses interprestasi atas seluruh nilai capaian kinerja hasil pengukuran ke dalam informasi yang menggambarkan tingkat keberhasilan program guna dianalisis lebih lanjut. Proses pengukuran dan penilaian hanya dilakukan untuk evaluasi kinerja atas aspek implementasi dan aspek manfaat. Sehingga pengukuran penyerapan anggaran pada evaluasi kinerja atas aspek implementasi dilakukan dengan membandingkan akumulasi realisasi anggaran seluruh satuan kerja dengan akumulasi pagu anggaran seluruh satuan kerja. Pengukuran capaian hasil pada evaluasi kinerja atas aspek manfaat dilakukan dengan membandingkan realisasi indikator kinerja utama dengan target indicator kinerja utama. Penilaian kinerja dilakukan dengan menghitung nilai kinerja atas aspek implementasi dan nilai kinerja atas aspek
manfaat, dikalikan dengan bobot masingmasing aspek berkenaan. Bobot kinerja atas aspek implementasi dan bobot kinerja atas aspek manfaat adalah sebagai berikut : a. aspek implementasi = 33,3 % b. aspek manfaat = 66,7 %. Bobot masing-masing indikator pada aspek implementasi terdiri atas : a. penyerapan anggaran = 9,7 %; b. konsistensi antara perencanaan dan implementasi = 18,2 %; c. pencapaian keluaran = 43,5 %; dan d. efisiensi = 28,6 %. Nilai kinerja dihitung dengan menjumlahkan hasil perkalian antara nilai kinerja atas aspek implementasi dan nilai kinerja atas aspek manfaat dengan masing-masing bobot Nilai kinerja atas aspek implementasi diperoleh dengan menjumlahkan seluruh perkalian antara nilai masing-masing indikator aspek implementasi dengan masing-masing bobot berkenaan. Nilai kinerja atas aspek manfaat diperoleh dari perkalian antara nilai capaian hasil dengan bobot aspek berkenaan. Hasil penilai-an kinerja dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut : a. nilai kinerja lebih dari 90% sampai dengan 100% dikategorikan dengan Sangat Baik; b. nilai kinerja lebih dari 80% sampai dengan 90% dikategorikan dengan Baik; c. nilai kinerja lebih dari 60% sampai dengan 80% dikategorikan dengan Cukup atau Normal; d. nilai kinerja lebih dari 50% sampai dengan 60% dikategorikan dengan Kurang; dan e. nilai kinerja sampai dengan 50% dikategorikan dengan Sangat Kurang; Adapun tahapan analisis untuk evaluasi kinerja atas aspek implementasi dan evaluasi kinerja atas aspek manfaat meliputi : a. analisis hubungan sebab akibat atas hasil pengukuran dan penilaian untuk setiap indikator yang dievaluasi; b. analisis mengenai keterbatasan yang Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
73
Opini
dihadapi dalam menjalankan setiap proses evaluasi kinerja c. analisis perubahan hasil pengukuran dan penilaian dibandingkan dengan hasil evaluasi kinerja pelaksanaan kegiatan, pencapaian keluaran, dan hasil. Sementara tahapan analisis untuk evaluasi atas aspek konteks meliputi: a. identifikasi dan analisis kesesuaian antara kebutuhan dan/atau permasalahan yang terdapat dalam masyarakat dengan hasil yang ditargetkan; b. analisis kesesuaian antara keluaran yang ditargetkan dengan capaian hasil; c.
74
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
analisis kesesuaian antara kegiatan yang direncanakan dengan pencapaian keluaran; dan d. analisis kesesuaian dan ketepatan masukan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan dan pencapaian keluaran. Berdasarkan hasil analisis disusunlah pelaporan hasil evaluasi kinerja bahwa Menteri/pimpinan lembaga menyampaikan laporan hasil evaluasi kinerja untuk setiap program kementerian/lembaga yang dipimpinnya kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan paling lambat pada tanggal 1 April. Laporan hasil evaluasi kinerja memuat : a. Hasil evaluasi kinerja atas aspek implementasi dan evaluasi kinerja atas aspek manfaat atas RKA-K/L tahun sebelumnya; dan b. Hasil evaluasi kinerja atas aspek konteks atas RKA-K/L tahun berjalan. Dalam hal tanggal 1 April merupakan hari libur, laporan hasil evaluasi kinerja berkenaan harus diterima Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan pada hari kerja terakhir sebelum hari libur tersebut. []
Opini Membangun Psikologi Pelayanan Publik yang Melayani Oleh: Miftahul Huda
Suasana Upacara Hari Pendidikan Nasional di Kemenag Lapangan Banteng Jakarta, 2 Mei 2013
M
anusia menurut Alexis Carrel (1935), dalam buku Man, The Unknown adalah sebuah misteri. Sehingga dalam tradisi filsafat, siapa hakikat manusia itu? masih banyak perdebatan sampai sekarang tak kunjung tuntas. Meskipun telah banyak dilakukan penelitian tentang manusia terutama yang dilakukan oleh para psikologi, tetapi problema seputar manusia masih banyak yang belum terjawab. Ada suatu teori yang memandang bahwa manusia adalah makhluk yang berada dalam keadaan sekarat dan tinggal menunggu ajal (man is dead or dying). Sehingga dengan fenomena ini manusia layaknya barang yang dapat ‘diolak-alik’ sedemikian rupa dan dapat berubah setiap saat. Sehingga pola pikir (mindset), kebiasaan, kesadaran, dan perilaku seseorang dapat berubah setiap saat baik akibat rangsangan dari luar maupun berasal
dari dalam diri pribadi. Dalam kajian ilmuan psikologi, hakikat manusia seringkali muncul menjadi pertanyaan yang susah dijawab para ahli, selalu saja pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Yang terjadi adalah banyak perspektif para ahli dalam mendefinisikan hakikat manusia. Dalam dunia psikologi pandangan umum tentang manusia bisa disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Para ilmuan fisiologi lebih melihat manusia dari kumpulan fungsi anggota tubuhnya dan melihat perilakunya sebagai kumpulan aktifitas fisik dan kimia; Kedua, adanya pandangan dari para psikolog klinis yang lebih melihat manusia dari kumpulan insting yang membinasakan dan melihat perilakunya sebagai kumpulan syahwat yang memuaskan insting tersebut, Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
75
Opini baik dilakukan dengan cara yang benar atau menyimpang; Ketiga, melihat perilaku melihat manusia sebagai satu alat hidup, sehingga perilaku yang ditangkapkannya merupakan hasil dari pemuasan dorongan syahwat saja; dan Keempat, pandangan dari para psikolog ststistik yang lebih melihat manusia sebagai kumpulan angka dan statistik ‘belaka’. Perilakunya yang ditampakkannya merupakan kumpulan dari angka-angka yang semu dan menyesatkan. Kenapa ilmu psikologi lebih banyak mengkaji dimensi manusiasebagai ranah rumpun kajian sosial? Karena menurut Mussen & Rosenwieg, ilmu psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang mind (pikiran) atau The Study of mind, yang dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behaviour (tingkah laku) sehigga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia baik sebagai pribadi maupun makhluk sosial. Manusia hidup di dunia sebagai mahluk sosial, dalam kehidupannya mereka selalu terkait dan saling berhubungan (social interaction) antara yang satu dengan yang lainnya. Namun, hasil interaksi tersebut tidak selalu memuaskan, satu waktu kita kesal terhadap orang lain, lain kali kita merasa senang dengan orang lain. Contoh tersebut sebenarnya dapat kita rumuskan ke dalam pertanyaan psikologis, yaitu bagaimanakah kita dapat bekerja sama dengan orang lain? Bagaimanakah agar orang lain tertarik dengan diri kita? Bagaimanakah caranya agar kita giat bekerja dan sebagainya, dan dalam situasi bagaimana kita mendapat reward dan punishment. Di sinilah faktor pribadi dan lingkungan sosialnya yang akan menilai, membentuk, dan menjadikan hakikat manusia tersebut, atau dengan kata lain, dengan 76
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
mempelajari psikologi, kita dapat memahami perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan mempelajari ilmu psikologi, kita diharapkan bisa mengkaji/melihat dimensi manusia dari berbagai unsur kecenderungan yang berdampak dalam perilaku keseharian dan watak/karakter seseorang. Perilaku seseorang tersebut bisa dilihat dalam beberapa aspek: (1). Aktivitas Psikomotoris, /yaitu aktivitas individu yang berkaitan dengan kinerja organ-organ tubuh manusia, seperti berlari, menangis, memukul, menari, tertawa. (2). Aktivitas kognitif, yaitu aktivitas yang berhubungan dengan daya kinerja otak atau pikiran seperti, mengamati, menilai,
... faktor pribadi dan lingkungan sosialnya yang akan menilai, membentuk, dan menjadikan hakikat manusia tersebut, atau dengan kata lain, dengan mempelajari psikologi, kita dapat memahami perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Opini menyimpulkan, berpendapat, berpidato. (3). Aktivitas afektif, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan perasaan atau emosi manusia seperti marah, melamun,, sedih, gembira, suka, tidak suka. Oleh karena itu, perilaku atau sikap (karakter) manusia dalam hubungannya dengan konsep pelayanan publik yang ada di lingkup (scoup) pemerintahan atau swasta, akan memposisikan satu sisi manusia sebagai subyek pemberi layanan (share holder), disisi lain manusia sebagai objek penerima layanan (stake holder). Perbedaan tingkat kharakter, sikap dan moralitas inilah yang akan memperlihatkan bahwa tipologi manusia akan berbeda satu sama lainnya, bahkan ada yang cenderung emosional, egaliter, atau bersifat sebagai pelayan yang baik untuk membantu stake holder yang membutuhkan. Berbagai karakter dan kencenderungan seseorang ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya, yaitu unsur kepribadian, tingkat pendidikan pengalaman, pergaulan dan lain sebagainya. Karena pelayanan merupakan suatu proses interaksi antara seseorang yang berupaya memenuhi kebutuhan (share holder) dengan seseorang yang ingin terpenuhi kebutuhannya (stake holder). seperti pelanggan, tamu, klien, nasabah, pasien, karyawan, dan pegawai. Istilah pelayanan (service-bahasa Inggris) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Masing masing huruf dalam kata Service dapat diuraikan sebagai berikut : S Smile for everyone (selalu tersenyum pada setiap orang).
E
Excellence in everything we do (selalu melakukan yang terbaik dalam bekerja). R Reaching out to every guest with hospitality (menghadapi setiap tamu dengan penuh keramahan). V Viewing every guest as special (melihat setiap tamu sebagai orang yang istimewa). I Inviting guest to return (mengundang tamu untuk datang kembali ke prusahaan kita). C Creating a warm atmosphere (menciptakan suasana hangat saat berhadapan dengan tamu). E Eye contact that shows we care (kontak mata dengan tamu untuk menunjukkan bahwa kita penuh perhatian terhadap tamu). Makna psikologi pelayanan dari kesimpulan di atas adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam proses interaksi kerja di instansi/industri jasa pelayanan, yang didalamnya terdapat unsur share holder dan stake holder seperti pelanggan atau tamu, klien, nasabah, pasien, para petugas, pegawai dan karyawan. Abraham Maslow dalam teorinya menjelaskan bahwa setiap individu memiliki tingkat kebutuhan tertentu, dari yang terendah sampai yang tertinggi, dan bila salah satu kebutuhan tingkat rendah terpenuhi, maka kebutuhan lain yang lebih tinggi akan mengikuti untuk dipenuhi pula. Dalam sektor yang bergerak di bidang jasa pelayanan, seseorang baik yang menduduki posisi sebagai atasan maupun bawahan dituntut mempelajari psikologi pelayanan tidak lain karena mempunyai maksud sebagai berikut: Pertama, pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial, artinya manusia membutuhkan orang lain dalam hidup ini, dan oleh karenanya kita Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
77
Opini perlu memahami orang lain. Kedua, ketika seseorang memahami orang lain, maka akan memudahkan dalam memberikan pelayanan kepada orang tersebut. Ketiga, pemahaman akan orang lain menjadikan kita yang bekerja di dalam sektor jasa pelayanan/instansi pemerintah dapat bertindak secara bijaksana baik terhadap orang yang kita layani maupun diri pribadi. Untuk mewujudkan konsep pelayanan publik (public service) yang baik, secara mutu dan kualitas layanan mampu dinikmati dan memuaskan masyarakat yang diberikan layanan. Maka mempelajari kajian psikologi pelayanan akan sangat membantu seseorang untuk menjadi share holder yang baik dan mampu meminimalisir komplain dari masyarakat yang membutuhkan. Landasan untuk memberikan
pelayanan yang baik dalam instansi/industri jasa, menurut Endar Sugiarto (1999), terdapat 8 (delapan) dasar pelayanan yang harus diperhatikan seseorang yaitu: Pertama, Memberikan pusat perhatian pada 78
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
pelanggan (stake holder). Kedua, memberikan pelayanan yang seefisien mungkin. Ketiga, memposisikan tamu/pelanggan sebagai ‘raja’ (dalam istilah lain menaikkan harga diri tamu). Keempat,senantiasa membina relasi/hubungan baik dan harmonis dengan pelanggan. Kelima, sebisa mungkin memberikan penjelasan dan informasi secara tuntas, jelas dan baik. Keenam, mencoba mengetahui apa keinginan pelanggan sehingga pelanggan tidak perlu banyak bertanya. Ketujuh, senantiasa memberikan penjelasan pelayanan apa saja yang bisa diberikan oleh instansi/perusahaan jasa yang ia geluti. Kedelapan, kalau dirasa seseorang tidak menguasai konsep pelayanan yang harus diberikan, maka ia meminta bantuan/mengalihkan tugas tersebut pada yang lebih mampu agar tidak terjadi salah pemahaman. Suatu instansi/perusahaan jasa akan mampu memberikan konsep pelayanan yang memuaskan (excellent service) jika hal tersebut didukung dengan sistem yang terintegrasi serta mempunyai kualitas sumber daya manusia (SDM) memadai dalam menjalankan sistem sesuai peraturan yang ada (by system and regulation). Kualitas SDM dalam melaksanakan pelayanan publik, selain ditunjang skill, kinerja dan profesionalitas juga dipengaruhi oleh kharakter dan kepribadian. Karena dalam diri manusia terdapat akal, pikiran dan emosi yang akan membedakan satu sama lainnya. Menurut Heldebrand (1988), kepribadian sebagai berikut : Personality is the composite of the qualities, habits and reactions that
Opini compose our consciousness and which is known favorably or unfavorably in the degree that their predominance is pleasantly or unpleasantly reacte to by those with whom we come in contact.” Artinya: Kepribadian merupakan gabungan kualitas, kebiasaan dan reaksi yang terbentuk atas dasar kesadaran kita dan yang dikenali sebagai suatu hal yang baik atau tidak dalam hal kelazimannya yang dapat direspon secara positif atau tidak oleh mereka yang melakukan hubungan dengan kita. Untuk melihat kepribadian seseorang bisa (personality) dilihat dari beberapa teori sebagai berikut, pertama adalah Teori Nature, teori yang menganggap bahwa kepribadian manusia yang terbentuk adalah hasil bawaan sejak ia dilahirkan.Kepribadian yang hadir secara alami dan tergantung pada potensi yang dimilikinya. Kedua, Teori Nurture adalah teori ini menganggap bahwa kepribadian manusia terbentuk oleh lingkungannya, dalam arti titik berat perkembangan pribadi manusia terletak pada seberapa besar lingkungannya mempengaruhi. Ketiga, teori Konvergensi (oleh W. Stern), teori ini menyatakan bahwa kepribadian manusia terbentuk sebagai hasil interaksi antara Nature dan Nurture, interaksi antara potensi yang dimilikinya dan seberapa jauh lingkungan mempengaruhi perwujudan potensi tersebut. Keragaman manusia dengan segala kekhasannya baik dari segi sikap, kepribadian dan moralitas serta semakin kompleksnya permasalahan dan tuntutan kinerja yang optimal dan profesional terutama dalam dunia pelayanan publik, mengakibatkan setiap manusia dituntut untuk memahami diri sendiri dan lingkungan di luar dirinya, agar sanggup bersaing untuk memperoleh kesempatan dalam pencapaian tujuan yang diinginkannya. Sehingga setiap manusia
dituntut untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dan mengantisipasi masalah yang akan muncul di masa yang akan datang agar kinerja seseorang tersebut terukur, selalu dievaluasi dan optimal. Menurut A. Parasuraman, V.A. Zeithaml, dan L.L Berry , bahwa kualitas pelayanan bisa mencapai nilai kinerja optimal dan memuaskan apabila berlandaskan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1).Reliability, menempati prestasi yang konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability). (2). Responsiveness, berkait dengan kerelaan atau kesiapsediaan para karyawan untuk menyediakan jasa. (3). Competence, memiliki skill/keahlian sesuai tugas dan fungsinya. (4). Accessible, bersifat egaliter dan tidak menjaga jarak dengan stake holder (bersifat menutup-nutupi).(5). Courtesy, senantiasa bersifat sopan-santu tata kerama (politeness), menaruh rasa hormat pada klien (respect), ramah-tamah (friendliness). (6). Communication skill, mempunyai keterampilan komunikasi yang baik dan mampu menjelaskan secara jelas dan memuaskan. (7). Credibility and integrity, mempunyai kredibilitas dan integritas yang baik yang dapat dipercaya. (8). Security, senantiasa menjaga keamanan dan minimalisasi resiko yang dapat menghambat pekerjaan. (9). Understanding/knowing the customer, berusaha mengerti kebutuhankebutuhan para stake holder. (10). tangibles, senatiasa memperhatikan tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk fisik (physical evidence) yang dapat menjadi bukti dan membantu dalam memberikan pelayanan. []
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
79
Hikmah Menjaga Kehormatan dan Identitas Oleh: Abdul Aziz Noor
Pengibaran Sang Merah Putih saat Upacara Hari Pendidikan Nasional di Kemenag
“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar, agama adalah fondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya, segala sesuatu yang tidak berfondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap,” (Imam Al-Ghzali)
A
gama dan moral merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam suatu Negara (one body unity). Menurut Zakiah Drajat seorang pakar Pendidikan, moral secara bahasa berasal dari kata mores (latin) yang berarti kebiasaan adat kebiasaan, moral atau sering disebut ethos merupakan sikap manusia yang berkenaan dengan hukum, moral yang didasarkan oleh sebuah kebebasan. Tentunya masih hangat dalam ingatan bagaimana para politisi negara ini dibuat ketar-ketir dan tak tenang dikarenakan penangkapan atas kasus korupsi atau suap. Bahkan tidak hanya para politisi, beberapa pejabat negara pun banyak yang dijebloskan penjara karena terlibat praktik korupsi dan
80
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
pelanggaran-pelanggaran lain. Keadaan ini sangat menyedihkan, mengingat apa yang telah mereka perbuat sebelumnya, sedangkan sebagian besar kehidupan rakyat masih berada di bawah standar kelayakan. Merujuk dari ungkapan Imam Ghozali di atas, maka harapan untuk melihat keceriaan dan kebahagiaan seluruh rakyat dapat terwujud jika ada harmonisasi agama dan kekuasaan. Semua agama menuntun kepada kebaikan, dan jika perilaku para pengelola Negara ini maupun warganegara selaras dengan apa yang telah diajarkan dalam agama, maka tidak hanya tercipta keadilan dan kesejahteraan social, akan tetapi kesatuan bangsa pun akan semakin kokoh.
Hikmah Untuk mewujudkan misi mulia ini, maka institusi dan lembaga negara, terutama lembaga penegak hukum dan insan-insan di dalamnya, perlu memiliki sportivitas tinggi. Nilai-nilai sportivitas seperti jujur, watak ksatria, mengakui kesalahan, lapang dada, mau menerima kritik perlu ditanamkan pada sanubari dan senantiasa diaktualkan sebagai perilaku spontan dalam menjalankan tugas yang diembannya. Contoh sportivitas hidup bernegara telah diteladankan oleh manusia terpilih—
Muhammad SAW—dan keteladanannya berlaku universal bagi siapapun dan kapanpun. Dalam pidato di hadapan umatnya, beliau menyatakan kesediaannya untuk menerima qishash (balasan setara dengan kesalahan yang dibuat). Bagi mereka yang merasa pernah disakitinya, beliau menyediakan diri untuk dibalas. Ini adalah sebuah teladan yang sangat hebat. Meski beliau adalah seorang Rasul dan pemimpin tertinggi, beliau tidak malu untuk mengakui dan menerima pembalasan dari siapa saja yang pernah tersakiti karena perbuatan atau perkataannya. Pengakuan kesalahan secara ksatria dan bertanggung jawab itulah
yang dinamakan sportivitas. Luar biasa. Bila boleh jujur, kebanyakan pada kita (terutama pejabat yang tertimpa dugaan kasus korupsi) sering bersikap sebaliknya dari sportivitas keteladanan Muhammad SAW di atas. Mereka tidak mau mengakui kesalahan. Bahkan sebaliknya, mereka sering mencari kambing hitam dari kesalahan yang dilakukannya. Hingga akhirnya, banyak korban tak bersalah yang harus menerima akibat perbuatannya. Bukankah kita telah diseru Sang Pencipta ”Dan janganlah kamu samarkan antara yang benar dan batil, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui” (QS Al- Baqarah:42). Kehidupan bersih dari korupsi merupakan bagian penting dari substansi bernegara hukum. Kehidupan demikian hanya terwujud apabila segenap komponen bangsa menjunjung tinggi nilainilai sportifitas, mengamalkan tuntunan agama dengan benar dalam menegakkan hukum dan tidak mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Jika seluruh komponen elemen bangsa –terlebih lagi para pimpinan bangsa- ini mampu bersikap ksatria, jujur, amanah dan tidak menyimpang dari ruh agama, maka karakter sejati bangsa ini akan muncul dan tidak akan pernah lenyap. Karakter bangsa yang telah diwariskan oleh para pendahulu akan senantiasa melekat dalam setiap denyut nadi generasi-generasi yang akan datang. Menjaga Moral sebagai Identitas Beragama dan Berbangsa Agama adalah moral, etika, sosial Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
81
Hikmah
Banyak dari masyarakat kita –terutama para pimpinan dan penguasa- yang telah mengesampingkan moral dalam kehidupannya. Agama hanya menjadi pelampiasan dan tujuan akhir ketika mereka telah terdesak.
dan keyakinan. Senada dengan yang dikemukakan Moh Mahfud MD dalam Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Berdasarkan Konstitusi (17/10/2012), adalah dengan adanya moralitas dalam bernegara maka masyarakat akan hidup tentram dan saling mengasihi, membantu satu sama lainnya, begitu pula dengan keyakinan yang merupakan landasan dari sebuah perbuatan. Islam sangat menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan. Kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai yang bermartabat, rendah hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman dan dewasa. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah 82
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Surat Al-Luqman 18). Apa yang terjadi belakangan ini justru bertolak belakang dengan tuntunan agama. Banyak dari masyarakat kita – terutama para pimpinan dan penguasayang telah mengesampingkan moral dalam kehidupannya. Agama hanya menjadi pelampiasan dan tujuan akhir ketika mereka telah terdesak. Bahkan yang lebih parah lagi adalah, seolah-olah antara agama dan kekuasaan bukanlah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka berpikir bahwa ketika kekuasaan sedang di tangannya, maka agama hanya menjadi penghalang untuk merengkuh kekayaan atau impiannya. Jika ini yang terjadi, maka masa depan Negara ini tak ubahnya seperti Negara sekuler, karena agama hanya akan menjadikan kekacauan dalam bernegara antar umat manusia, tidak ada moral agama di balik sebuah kemajuan suatu negara, dan negara maju hanyalah berkat tangan manusia sendiri. Hal ini sangat bertolak berlakang dengan pemikiran Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199, “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama
Hikmah dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” Sebuah Agama, moral dan sosial akan terjaga bilamana kekuasaan dalam suatu Negara berpihak teguh terhadap nilai-nilai keagamaan. hal ini senada dengan konsep pemikiran Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa juz 28 halaman 394, beliau mengatakan “Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak”. Maka daripada itu, agar tercipta sebuah tatanan masyarakat yang bermoral, sosial, etika dan beradab, pemerintah dan seluruh masyarakat khususnya hendaknya kembali memahami dengan seksama pesanpesan moral dalam agama, yang kemudian dapat ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semua dapat terwujud dalam suatu negara apabila Agama sebagai landasan moral dijadikan salah satu factor utama terhadap hukum-hukum dalam suatu negara, karena moralitas lebih tinggi daripada sebuah hukum demikian juga dengan masalah ekonomi, politik, social dan budaya. Langkah konkretnya berupa memahami, menjalankan dan menegakkan hukum secara utuh dan otentik. Dalam keutuhan dan keotentikannya, hukum itu akan menjadi ”rumahnya nilai-nilai”. Di situ, teks peraturan perundangan merupakan satu kesatuan dengan ide, pesan moral, dan wawasan hidup bernegara. Karenanya, sangat ditabukan menafsirkan teks peraturan perundangan secara parsial dan tekstual
hanya untuk membela diri seraya melalaikan tujuan hidup bernegara. Ini selaras dengan apa yang diajarkan dalam setiap agama. Jika pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan –baik aturan agama maupun aturan kenegaraan- masih saja dilakukan, maka itu termasuk daripada tindakan amoral, juga cermin sikap dan perilaku tidak sportif. Sejarah menunjukkan bahwa sebuah negara ambruk ketika bangsanya gemar berbuat zalim dan nihil sportivitas. Sang Pencipta akan menetapkan waktu yang tepat saat keambrukannya. Mengerikan. Kita berlindung, agar negara kita terselamatkan dari berita buruk itu. Wallahua’lam.[]
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan I1 2013
83