Daftar Isi
DAFTAR ISI
Fokus Pengawasan Diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2013
2
Dewan Penyunting: Pembina : Moch. Jasin Pengarah : Zaenal Abidin Supi Hilmi Muhammadiyah Sukarma Akso Heffinur Dewan Redaksi: Penanggung jawab: Maman Taufiqurohman Ketua : Akhmad Hariyanto Sekretaris: Nugraha Stiawan Anggota : Nur Arifin, Anshori Ahmad Saubari Ali Ghozi M. Ali Zakiyudin Redaksi : Nurul Badruttamam Ali Machzumi, Agus Salim Ahmad Nida, Mukodas Arif Subekti Produksi : Purnomo Mulyosaputro Sirkulasi : Sarto Alamat Redaksi: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, Jalan RS. Fatmawati Nomor 33A Cipete Jakarta Selatan 12420 PO. BOX 3867, Telp. (021) 75916038, 7697853, Fax. (021) 7692112 www.itjen.kemenag. go.id E-mail:
[email protected] Dewan Penyunting menerima artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam bentuk soft copy.
Surat Pembaca - [3] Dari Redaksi - [4]
Fokus Utama
a Konsep dan Implementasi Dimensi AfektifSpiritual bagi Auditor dan Aparatur (Khalilurrahman) - [5] a Mengenal PPA: Upaya Internal Menuju Perbaikan Organisasi (Ilman) - [9] a Efektivitas Program Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) (Akso) - [13] a Aplikasi Nilai-Nilai Agama dalam Mencegah Korupsi (Rio Antonio) - [19] a Pendekatan Nilai-Nilai Islam dalam Memberantas Korupsi (Hilman Panji Kusuma) - [23] a Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) sebagai Pengawasan Melekat (Shaleh) - [29]
Pengawasan
a APIP Berintegritas, Mendorong Pengawasan yang Berkualitas (Mukodas Arif Subekti) - [34] a Peran Penting Itjen sebagai Mitra BPKP dan Posisinya dalam APIP (Mahmudi) - [41] a Pengaruh Pimpinan dalam Mencegah Korupsi melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) (Suparmono) - [47] a Pentingnya Laporan sebagai Pengawasan Melekat (Ahmad Nida) - [53]
Opini
a Masihkah Para Koruptor Itu Beragama? (Muhammad Rofiq)- [56] a Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); karena Meninggalkan Agama? (Mohamad Fitri) - [60] a Menata KUA, Menata Angin (Farid Ma’ruf ) – [66]
Hikmah
a Pengawasan Melekat Malaikat Raqib dan ‘Atid (Purwanto) - [74]
Resensi
a Pencegahan Korupsi melalui Sentuhan ‘Qalbu’ dan Pendalaman Agama [80]
Surat Pembaca INFO KEGIATAN KEMENAG Majalah Fokus Pengawasan (FP) Inspektorat Jenderal apakah hanya untuk tulisan artikel atau opini saja? Bagaimana kalau Majalah FP juga menyediakan rubrik tentang info-info aktual terkait dengan kegiatan yang ada di Kemenag? Terima Kasih Ahmad, Tangsel Jawaban: Terima kasih Ahmad, memang betul Majalah Fokus Pengawasan (FP) sampai saat ini hanya untuk tulisan artikel/opini saja. Untuk info-info aktual terkait dengan Kementerian Agama khususnya Inspektorat Jenderal kita sudah mempunyai medianya yaitu Buletin ItjenNews dan untuk berita aktual harian bisa diakses di alamat: http:// itjen.kemenag.go.id/web/berita. TUGAS DAN IZIN BELAJAR Mohon penjelasannya terkait dengan mekanisme dan persyaratan pengajuan tugas belajar dan izin belajar bagi pegawai di lingkungan Kementerian Agama. Terima kasih. Taufik, Jombang Jawaban: Terima kasih kembali atas pertanyaannya Sdr. Taufik, terkait dengan mekanisme dan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi bagi pegawai di lingkungan Kementerian Agama yang akan mengajukan tugas belajar ataupun ijin belajar bisa mengacu kepada Surat Edaran dari Sekjen Kemenag Nomor: SJ/B.II/4/ Kp.02.3/2850/2013 tentang Tugas Belajar dan Izin Belajar di Lingkungan Kementerian Agama.
REMUNERASI KEMENAG Kepada Redaksi Majalah FP, saya mau bertanya terkait dengan Remunerasi pada Kementerian Agama. Info yang saya dengar Kemenag pada tahun 2014 akan melaksanakan remunerasi, apakah itu untuk jajaran Unit Eselon I pusat saja atau seluruh Kementerian dari pusat sampai ke daerah. Atas jawabannya saya sampaikan terima kasih.
Shaleh, Bantul Jawaban: Kementerian Agama pada Tahun 2014 Insyaallah akan melaksanakan Reformasi Birokrasi pada seluruh Kementerian dari Pusat sampai ke daerah. Remunerasi merupakan bagian dari penerapan dari Reformasi Birokrasi, dengan remunerasi diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan sehingga aparatur Kemenag mampu meningkatkan kinerja untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat.
Redaksi memohon maaf, tidak semua surat pembaca dapat ditampilkan, karena keterbatasan tempat. Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan!
3
Dari Redaksi Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb. Indonesia merupakan negara yang religius, penduduknya seratus persen memeluk agama, bisa kita lihat dan saksikan tempat-tempat ibadah berdiri di seantero wilayah republik ini. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, nilai-nilai dan moral agama selalu menjadi pedoman masyarakat. Dalam peringatan hari-hari besar keagamaan selalu dihadiri oleh ribuan para pemeluk agama dengan suasana yang khidmat dan spiritualitas yang tinggi. Hal ini jelas membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang kehidupan masyarakatnya sangat religius dan selalu dekat dengan nilai dan norma agama. Akan tetapi mengapa kondisi masyarakat yang religius tersebut, pada saat yang sama korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) justru mengakar kuat di negara ini. Apakah religiusitas masyarakat dan perilaku korupsi tidak memiliki korelasi yang signifikan atau memang kondisi sosial-budaya masyarakat modern telah menggerusnya? Dalam ajaran Agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu sudah pasti melarang perbuatan dan tindakan yang menyimpang, kejahatan dan korupsi. Karena perbuatan dan tindakan tersebut merugikan sesama. Seperti dalam ajaran Islam disebutkan, bahwa Allah SWT melaknat orang yang memberi suap, penerima suap, dan broker suap yang menjadi penghubung keduanya. Korupsi dapat disamakan dengan perbuatan melakukan penyuapan untuk mencapai maksud dan tujuan. Dengan demikian, maka pemberi, menerima dan menjadi perantara terjadinya suap merupakan tindakan korupsi yang jelas dilarang. Berbagai upaya pencegahan dan penindakan telah dilakukan oleh KPK dan Aparat penegak hukum tetapi belum membuat jera dan meminimalisasi perbuatan korupsi dari negeri ini. Maka perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan yang lebih menyentuh kesadaran spiritualitas kepada segenap penyelenggara negara.Barangkali 4
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
sebagai negara yang religiusitas masyarakatnya tinggi perlu dilakukan upaya pencegahan korupsi melalui pendekatan agama. Oleh karena itu, perlu digugah, diingatkan, dan diulas kembali kesadaran bahwa Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa selalu mengawasi perbuatan dan perilaku kita. Kita sebagai manusia atau aparatur negara harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita baik di hadapan manusia maupun nanti di hadapan Sang Pencipta. Pembaca Fokus yang berbahagia, Setiap umat beragama pasti akan menjunjung nilai dan norma agama yang dianutnya. Dan sudah barang tentu nilai dan norma agama akan menjadi sandaran, acuan dan panutan bagi setiap pemeluknya. Dalam problematika korupsi yang terjadi di Indonesia, agama harus mampu memberikan solusi atas persoalan yang melilit bangsa ini. Untuk itu, kami merasa perlu membahas lebih dalam mengenai bagaimana peranan agama dalam pencegahan perilaku korupsi dalam Majalah Fokus Pengawasan edisi 39 Triwulan III Tahun 2013 dengan tema “ Strategi Pencegahan Korupsi melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama”. Pencegahan korupsi dengan Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) merupakan upaya preventif dan detektif dengan penanaman nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan mampu meminimalisasi dan menghilangkan ”NIAT” aparatur negara untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, diharapkan sejak dalam dirinya muncul kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa selalu mengawasi terhadap kinerjanya. Baik dan buruknya kinerja akan dipertanggungjawabkan baik dalam lingkup lingkungan kerjanya di dunia dan nanti di akhirat. Sehingga hal ini akan menjadi upaya preventif terhadap berbagai penyimpangan dan perilaku korupsi. Selamat Membaca. [redaksi] Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Fokus Utama Konsep dan Implementasi Dimensi Afektif-Spiritual Bagi Auditor dan Aparatur Oleh: Khalilurrahman
Irjen, Kabag TU Kanwil dan Mantan Rektor UIN Malang bersama peserta Sosialisasi PPA Provinsi Maluku Utara Tahun 2013
P
engawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) merupakan program unggulan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yang menekankan arti pentingnya kesadaran diri atas pengawasan Allah SWT. Tujuan utama dari pada PPA, setelah sosialisasi PPA, terwujudnya aparatur Kementerian Agama yang menjunjung tinggi etika dan moral dalam pelaksanaan tugas kedinasan pada Kementerian Agama, khususnya dan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada umumnya. Di samping itu, PPA juga bertujuan agar ketiga dimensi yang hendak dicapai yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik yang merupakan tujuan dari materi dalam modul PPA dapat terimplementasikan dalam pelaksanaan kerja pada unit kerjanya masing-masing.
Oleh karena itu, mengingat luasnya pembahasan ketiga dimensi, dalam tulisan ini akan dibatasi pada implementasi dimensi afektif saja dengan sebelumnya menguraikan konsep PPA menurut literatur kajian ulama. Konsep PPA (Muroqobah) Mundzier Suparta, Inspektur Jenderal Kementerian Agama (2007-2012) pernah memberikan konsep pengawasan dengan pendekatan agama (PPA) sebagai bentuk pengawasan dini melalui pemberdayaan nilai-nilai agama guna mendorong terwujudnya self control dan jati diri aparatur negara agar selalu merasa diawasi Tuhan, tidak memiliki niat berbuat menyimpang dan berkinerja secara maksimal.
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
5
Fokus Utama Konsep PPA tersebut di atas, dengan Allah SWT, zat yang Maha Mengawasi dan penekanan pada aspek pengawasan Mengetahui segala apa yang dikerjakan Tuhan, dalam khazanah literatur kajian manusia sehingga segala maksud dan citaIslam sejalan dengan konsep muroqobah citanya harus sesuai dengan kehendakNya yang dikemukakan para ulama. Untuk tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. lebih mengetahui konsep muroqobah, Konsep muroqobah yang lebih perlu diuraikan penjelasan ulama tentang rinci dikemukakan Ibnu Qayyim almuroqobah tersebut. Jauzi, menurutnya muroqobah adalah pengetahuan dan keyakinan manusia atas pengawasan Allah SWT yang senantiasa terjaga baik lahir maupun batin. Buah dari melestarikan konsep muroqobah ini adalah lahirnya pengetahuan bahwa Allah SWT …seseorang dalam senantiasa melihat dan mendengarnya, segala aktifitas mengawasi semua amalnya setiap saat, setiap kehidupannya harus nafas dan setiap kejapan mata. Lebih lanjut, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Konsep mengetahui bahwa muroqabah pada hakikatnya merupakan dirinya senantiasa bentuk penghambaan atau ibadah dengan nama-nama Allah SWT yaitu ar-Raqîb (Yang diawasi oleh Allah Maha Mengawasi), al-Hafîdz (yang Maha SWT, zat yang Maha Menjaga), al-’Alim (Yang Maha Mengetahui), Mengawasi dan as-Sami’ (Yang Maha Mendengar), dan alBashîr (Yang Maha Melihat). Mengetahui segala Ibrahim al-Khawas sebagaimana yang apa yang dikerjakan dikutip Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam Tahdzîb Madârij as-Sâlikîn berpendapat bahwa manusia… muraqabah adalah bersihnya jiwa manusia baik lahir maupun batin kepada Allah SWT. Salah satu ulama yang memberikan Konsep ini memberikan pengertian bahwa konsep muroqobah adalah Abu Hamid bin kebersihan jiwa manusia baik lahir maupun Muhammad bin Muhammad al-Ghazali batin tergantung pada kebersihan seorang atau yang dikenal dengan Imam al-Ghazali. hamba dalam melakukan ibadah kepada Muroqobah menurut al-Ghazali dalam Ihya Allah SWT. Apabila ibadahnya murni semataUlumuddin, juz 5, adalah adanya pengawasan mata karena Allah SWT maka bersihlah dari Dzat yang Maha Mengawasi dan jiwanya namun apabila ibadahnya dicemari memalingkan maksud dan cita-cita oleh unsur selain Allah maka jiwanya akan kepada-Nya. Pengertian ini memberikan kotor. Muroqobah menurut Abu Bakar Jabir alpemahaman bahwa seseorang dalam segala aktifitas kehidupannya harus mengetahui Jazairi adalah kesadaran jiwa seorang muslim bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi 6
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Fokus Utama dirinya, menyertai setiap saat aktifitas kehidupannya sehingga ia merasa yakin bahwa Allah menelitinya, mengetahui halhal yang disembunyikan jiwanya, konsisten mengawasi perbuatan dan segala apa yang diperbuat jiwanya yang dengan demikian jiwanya tenggelam dalam pengawasan keagungan dan kesempurnaan Allah SWT, merasa senang mengingat-Nya, menemukan ketentraman dalam taat kepada-Nya, senang berada di sisi-Nya, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya. Konsep muroqobah yang diuraikan Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam Minhajul Muslim mengandung pengertian bahwa pertama, seorang muslim berkeyakinan bahwa dirinya senantiasa diawasi dan diteliti oleh Allah SWT yang mengetahui perbuatan batin dan lahir. Kedua, akibat dari pengawasan Allah SWT, jiwanya merasakan kenikmatan berupa ketenangan, ketentraman jiwa, cinta berdekatan dengan Allah SWT dan tidak mau berpaling dari selain Allah SWT. Sementara, al-Habib Abdullah alHaddad berpandangan bahwa konsep muroqobah adalah pengawasan Allah SWT terhadap segala gerak-gerik, sikap diam, kedipan mata, hasrat, keinginan, dan seluruh keadaan seseorang dan merasa kehadiran Allah SWT dekat dengan dirinya. Dari beberapa konsep tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa konsep muroqobah merupakan suatu bentuk kesadaran diri seorang hamba atas pengawasan Allah SWT pada segala sikap, ucapan, tindakan yang dilakukan hambanya sehingga dengan merasakan pengawasan dan keagungan-Nya ia mendapatkan ketentraman dalam taat kepada-Nya, senang berada di sisi-Nya, senang menghadap kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.
Implementasi Dimensi Afektif-Spiritual Salah satu dimensi yang hendak dicapai dan terimplementasikan dari materi modul PPA adalah dimensi afektif. Dimensi afektif sangat penting bagi aparatur negara dalam rangka perwujudan good governance dan clean government. Reformasi birokasi akan terwujud dan terselenggara dengan baik apabila aparatur pemerintah memiliki komitmen untuk mewujudkan prinsip-prinsip good governance dan clean government. Hal yang terpenting dalam perwujudan prinsip good governance dan clean government adalah sejauh mana aparatur memiliki nilai-nilai dan menerapkan sikap yang mencerminkan budaya kerja Kementerian Agama. Dimensi afektif memiliki relevansi yang kuat dengan watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Indikator keberhasilan PPA pada dimensi afektif-spiritual akan tercermin pada kedisiplinannya dalam melaksanakan ibadah shalat lima waktu, menunaikan zakat, melaksanakan puasa, dan ibadah lainya. Dalam konteks tugas dan tanggung jawab sebagai pegawai negeri sipil, dimensi afektif akan tercermin dalam menepati waktu kehadiran dan kepulangan, kedisiplinan menepati penyelesaian tugas yang diberikan, motivasi yang tinggi untuk bekerja dan berkarya, motivasi untuk selalu belajar dan meningkatkan kemampuannya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap pimpinan, rekan kerja, dan masyarakat yang dilayaninya. Dimensi afektif secara teoritis secara rinci terbagi ke dalam lima jenjang, yaitu: (1) receiving (penerimaan) (2) responding (partisipasi) (3) valuing (penilaian) (4) organization (organisasi) (5) characterization Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
7
Fokus Utama by evalue or calue complex (karakter dengan nilai). Dalam jenjang penerimaan, seorang pegawai memiliki kemampuan menanyakan hal-hal yang perlu penjelasan atas permasalahan yang dihadapi dengan mencari jawaban secara mandiri atau melalui bantuan orang atau sarana lainnya. Di samping kemampuan bertanya, dalam jenjang ini seseorang juga mampu menjawab hal-hal yang ditanyakan atau membutuhkan jawaban. Kemampuan memilih, mengikuti dan melanjutkan juga bagian dari kemampuan pada jenjang penerimaan ini. Seorang auditor dalam pelaksanaan tugas audit, tidak jarang dituntut harus memilih, mengikuti dan melanjutkan suatu keputusan audit yang bertentangan dengan norma-norma audit dan kode etik auditor. Seorang auditor yang memiliki kemampuan afektif – spiritual tidak akan terjebak dan terjerumus pada keputusan yang yang bertentangan dengan norma-norma audit, kode etik auditor, dan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Pada jenjang responding membekali seorang auditor memiliki kemampuan melaksanakan pekerjaan audit dengan tanggap sesuai dengan rencana dan membantu dan menawarkan auditee menyelesaikan permasalahan dan kelemahan yang ditemukan dengan mengoptimalkan peran konsultan. Pada jenjang valuing (penilaian), seorang auditor dibekali kemampuan memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan dan mengambil prakarasa serta merekomendasikan atas kelemahan yang ditemukan untuk perbaikan. Dalam jenjang penilaian ini pula, Auditor mengimplementasikan nilai-nilai etika yang 8
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
menjadi barometer penerapan komitmen dan integritas auditor. Pada jenjang organisasi, auditor memiliki kemampuan untuk senantiasa melakukan perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pengendalian dalam setiap pelaksanaan tugas audit. Dalam jenjang ini pula, auditor dibekali kemampuan untuk berpegang teguh pada norma dan standar audit dan mempertahankan kebenaran serta mengintegrasikan kemampuan yang dimiliki dengan pengalamannya. Sementara pada jenjang characterization by evalue, seorang auditor memiliki kemampuan bertindak, menyatakan, memperlihatkan kompetensi dan kemampuan professional audit dengan mengedepankan peran konsultan dan pembinaan. Kelima jenjang dalam dimensi afektif yang dituju dalam program PPA sesungguhnya mengarah pada perwujudan aparatur dan auditor di Kementerian Agama yang bersih dan berakhlaq mulia dengan prinsip ibda’ binafsik serta melakukan pengawasan secara professional, objektif, akuntabel dan akurat. Dimensi afektif menjadi bagian yang terpenting bagi setiap aparatur di Kementerian Agama sebagai aparatur pemerintah yang menjadi penjaga garda moral bangsa dengan etika dan moral keagamaan yang menjadi dasar pijakan dan landasan pelaksanaan tugas dan pengabdian kepada masyarakat.[]
Fokus Utama Mengenal PPA: Upaya Internal Menuju Perbaikan Organisasi Oleh: Ilman
Survey Pendahuluan PPA di Provinsi Bali Tahun 2013
K
omitmen nasional untuk pemberantasan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan pengembangan budaya kerja dalam penyelenggaraan negara dengan prinsip good governance mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini nampak dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang diikuti dengan ahirnya paket Undang-undang di bidang Keuangan Negara yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Keputusan Men-PAN Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai aparat pengawasan fungsional internal Kementerian Agama,
bertekad mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab melalui pengawasan dan atau monitoring dan evaluasi yang profesional dan indepeden. Langkah-langkah peningkatan kinerja pengawasan yang dilakukan adalah penguatan sistem pengawasan dan atau monitoring dan evaluasi dengan penerapan standar kompetensi aparat pengawasan melalui penyusunan pedoman, panduan, prosedur, tata cara, pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang sumber dananya berasal dari APBN atau Non APBN. Diantara berbagai pengawasan rutin yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal, Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) merupakan satu program unggulan sebagai langkah preventif mencegah terjadinya sebuah penyimpangan. Dalam modul PPA yang diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dikatakan bahwa definisi Pengawasan dengan Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
9
Fokus Utama Pendekatan Agama (PPA) adalah bentuk rintisan awal atau sebagai pedoman pengawasan dini melalui pemberdayaan umum dalam penyebarluasan pengawasan nilai-nilai agama guna mendorong melalui berbagai jalur. Satu di antara jalur terwujudnya self control dan jati diri aparatur yang ditetapkan dalam paket penerangan negara agar selalu merasa diawasi Tuhan, tersebut adalah jalur yang pelaksanaannya tidak memiliki niat berbuat menyimpang diserahkan kepada Departemen Agama. Atas dan berkinerja secara maksimal. dasar tersebut lahirlah program PPKPMJA. Lahirnya program PPA merupakan Jika mencermati perkembangan kelanjutan dari program sebelumnya, PPA dewasa ini, dapat dipahami bahwa yaitu Penyebarluasan Pengertian dan PPA pada awalnya merupakan satu Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur “program” yang khas dan berdiri sendiri Agama (PPKPMJA). Kegiatan PPKPMJA yang memuat tentang model pendekatan dilaksanakan berdasarkan petunjuk Wakil dalam pengawasan melalui agama, tanpa Presiden RI tentang Paket Penerangan dikaitkan dengan program lain. Namun mengenai Penyebarluasan Pengertian dan seiring dengan kebijakan pemerintah, Kesadaran Pengawasan tanggal 7 November keberadaan PPA berkembang menjadi 1984. Paket tersebut disusun bersama oleh satu “pendekatan” yang berfungsi menginternalisasi kan dan mensosialisaskan program lain, tahun 2006/2007 berkaitan dengan program RAN-PK, tahun 2008 berkaitan dengan pembangunan jati diri bangsa, sedang tahun 2009 berkaitan dengan budaya kerja. Perkembangan ini tentunya lebih menunjukkan eksistensi dan kebermanfaatan PPA dalam upaya mewujudkan good governance di lingkungan Kementerian Agama RI. Disebagian pihak mungkin muncul pertanyaan sebenarnya apa manfaat adanya pengawasan dengan pendekatan agama?, untuk apa dan siapa yang berwenang melakukan pengawasan itu?, dan bagaimana pengawasan itu dijalankan supaya berhasil? Di bawah ini akan diuraikan tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yang berlandaskan pada dalil-dalil agama.
.... setiap individu mempunyai kewajiban yang sama dalam melakukan pengawasan melekat atau internal, karena semua perilakunya akan dimintai pertanggungjawaban.
Menteri Penerangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Kepala BP-7 Pusat pada tanggal 17 September 1985, dimaksudkan sebagai 10
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Apa manfaat PPA? Pengawasan pada hakikatnya adalah anjuran memberi peringatan bagi sesama manusia, agar hidupnya lebih baik. Dalam
Fokus Utama modul PPA yang diterbitkan oleh Inspektorat Di lain sisi manusia perlu pengawasan Jenderal disebutkan bahwa Program ekternal karena dirinya memiliki beberapa PPA ditujukan pada objek (1) Aparatur kelemahan, seperti: pertama, Sifat lemah di lingkungan Departemen Agama; (2) “Allah hendak memberikan keringanan Aparatur pemerintah; (3) Aparatur negara; kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat (4) Pemuka agama dan tokoh masyarakat; lemah. (QS. Al-Nisa’:28)”; kedua , Memiliki dan (5) Pemuda, pelajar dan mahasiswa , baik kecendedungan berbuat buruk dan di instansi pemerintahan maupun swasta. menyimpang “Dan aku tidak membebaskan Sasaran/manfaat diselengarakan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya program PPA sebagai berikut: (1) nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, Membangun budaya pengawasan diri (self kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh control) aparatur negara sebagai upaya Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha preventif untuk mengajak kebenaran Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. dan mencegah kemungkaran melalui Yusuf:53); ketiga, Tergesa-gesa, “Manusia pendekatan agama dalam rangka telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu disiplin, akuntabel, dan profesional; (2) tanda-tanda (azab)-Ku. Maka janganlah Mengembangkan instansi yang memiliki jati kamu minta kepada-Ku mendatangkannya diri dan citra yang baik dalam memerankan dengan segera. (QS. Al -Anbiya’:37)”; keempat, fungsinya pada pengawasan fungsional, Keluh kesah,“Apabila ia ditimpa kesusahan ia pengawasan melekat dan pengawasan berkeluh kesah. (QS. Al-Ma’arij:20). Berangkat masyarakat sesuai dengan nilai agama; (3) dari kelemahan-kelemahan itulah, maka Meningkatkan koordinasi dengan unit atau menjadi sangat wajar jika pengawasan instansi pemerintahan lainnya dalam rangka mutlak diperlukan untuk menghindari atau mengenalkan PPA yang lebih luas, menjadi mencegah terjadinya perbuatan salah dan model pengawasan aparatur negara. melanggar hukum. Dan yang berwenang melakukan Untuk apa ada pengawasan? pengawasan adalah setiap individu Allah SWT, berfirman “dan tetaplah mempunyai kewajiban yang sama dalam memberi peringatan, karena sesungguhnya melakukan pengawasan melekat atau peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang internal, karena semua perilakunya akan yang beriman” (Qs. Adz-Dzariyat [51]:55). dimintai pertanggungjawaban. “Apakah Dari firman Allah tersebut, sesungguhnya manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan pengawasan itu sangatlah penting dalam begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” setiap aktifitas kehidupan. Apalagi yang (Qs. Al-Qiyamah [75]: 36). Adanya kewajiban menyangkut hajat hidup orang banyak dan bagi seluruh manusia, tanpa memandang melibatkan anggaran keuangan yang besar. kedudukan dan statusnya, untuk melakukan Tentunya sebagai upaya mencegah manusia pengawasan fungsional, dengan cara yang lemah ini tergelincir pada jurang mengingatkan saudaranya yang lain agar kesalahan, perlu diingatkan sedari awal dan berbuat sesuai aturan dan menghindari diawasi selama proses pelaksanaan kegiatan. tindak penyimpangan. “Dan hendaklah Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
11
Fokus Utama ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs. Ali Imran [3]: 104).
kedua, jika terjadi penyimpangan setelah melakukan pengawasan maka harus diberi peringatan dengan kekuasaan, jika tidak mampu dengan teguran, jika masih tidak mampu dengan membencinya dalam hati. “Barangsiapa yang melihat kemungkaran Bagaimana pengawasan dilakukan? maka cegahlah dengan kekuasaan. Jika tidak Untuk bisa mencapai sasaran yang mampu maka dengan teguran lisan. Jika telah ditentukan, lancar tidaknya proses tidak mampu maka membenci dengan hati, dalam pelaksanaan, serta seberapa banyak karena demikian itu selemah-lemah iman”. pihak lain menerima atas pelaksanaan (HR. Muslim dari Abu Sa’id). kegiatan tersebut. Maka perlu kiranya Ketiga, Pengawasan dilakukan dengan para pelaku-pelaku pengawasan (auditor) penuh cinta kasih bila ditujukan pada orang mempunyai metodologi yang bekerja sesuai dengan yang efektif. Jika menengok aturan, tetapi perlu tindakan dalam Alquran Allah tegas bila berhadapan dengan SWT telah memberikan pembangkang. “Muhammad panduan kepada segenap itu adalah utusan Allah dan manusia, setidaknya ada orang -orang yang bersama beberapa cara pendekatan dengan dia adalah keras yang bisa dilakukan, yaitu terhadap orang-orang kafir, ”Serulah (manusia) kepada tetapi berkasih sayang sesama jalan Tuhanmu dengan mereka”. (QS. Al-Fath:29). Ke hikmah dan pelajaran empat, Orang yang bekerja yang baik dan bantahlah dengan baik perlu mendapat mereka dengan cara hadiah, sedang yang yang baik. Sesungguhnya menyimpang perlu mendapat Tuhanmu Dialah yang lebih hukuman. “Tidak ada balasan mengetahui tentang siapa yang tersesat dari kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (QS. Aljalan -Nya dan Dialah yang lebih mengetahui Rahman : 60). orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. “Dan balasan suatu kejahatan Al-Nahl:125)” adalah kejahatan yang serupa, maka Penjabaran dari kalimatillah tersebut barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik bisa digambarkan sebagai berikut: maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. pertama dengan cara melakukan dan Sesungguhnya Dia tidak menyukai orangmengkomunikasikan pengawasan dengan orang yang zalim.” (QS. Al-Syura:80).[] penuh bijaksana bila yang dihadapi orang yang terpelajar atau memiliki jabatan tinggi, nasehat yang baik bila dengan orang biasa, dan berdebat/memberi tekanan secara psikologis bila dia mengingkari perbuatannya. 12
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Fokus Utama EFEKTIVITAS PROGRAM PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA (PPA) Oleh : Akso
Abd. Rahman I Marasabessy, Rektor IAIN Ternate, saat menjadi narasumber pada Sosialisasi PPA di Provinsi Maluku Utara, 2013
P
engawasan dengan Pendekatan Agama (PPA), siapa tidak kenal dengan salah satu program unggulan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama ini? Terutama bagi segenap karyawan di lingkungan Kementerian Agama, PPA bukanlah hal yang baru. Bahkan tidak hanya terbatas di Kementerian Agama saja, di Kementerian dan Lembaga pemerintahan lainnya PPA juga banyak di kenal dan tidak sedikit yang mengapresiasi program ini. Menjadi suatu kewajaran memang jika PPA diapresiasi sedemikian rupa melihat kondisi sebagian aparatur pemerintah yang sudah mulai lebih takut akan aparat hukum dibandingkan dengan hukum Allah SWT. Pada dasarnya PPA itu sendiri merupakan sebuah pengembangan peran dan fungsi serta salah satu misi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dibidang
pengawasan. Pengembang an peran dan fungsi tersebut telah ditetapkan dalam program capacity building, yaitu dalam peran Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai konsultan, di sam ping peran dan tugas utamanya melakukan pengawasan fungsional. Hal lain yang mendasari adalah keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Inspektorat Jenderal dan tentunya berpengaruh pada daya jangkau pengawasan terhadap jumlah auditi yang cukup besar. Diperburuk lagi dengan fungsi pengawasan melekat (waskat) belum berjalan maksimal yang tentunya membuka peluang dan kesempatan untuk terjadinya penyimpangan, hal ini terlihat dengan banyaknya temuan berulang, baik oleh auditor internal maupun auditor eksternal. Metodologi yang digunakan dalam PPA berusaha memadukan manajemen Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
13
Fokus Utama pemerintahan yang baik dengan nilai-nilai Jenderal Kementerian Agama paham betul ketuhanan dan suara hati nurani. Diharapkan bahwa untuk menghasilkan institusi yang dengan metodologi ini dapat membentuk bersih dibutuhkan terlebih dahulu institusi aparatur dengan karakter dan jati diri yang yang baik sistemnya dan manusianya. baik sehingga mampu menciptakan kontrol Sumber Daya Manusia (SDM) memegang diri (self control) yang baik juga. Kontrol diri peranan penting dalam menciptakan, sangat erat kaitannya dengan niat atau i’tikad merubah dan menjalankan sistem. Sistem dari individu atau kumpulan individu itu yang baik menjadi tidak berfungsi tanpa sendiri. Penyebab dari suatu penyimpangan didukung oleh sumberdaya yang baik. adalah didominasi oleh faktor manusianya Peranan Sumber Daya Manusia dalam karena sistem pada dasarnya bersifat pasif, Organisasi disinilah pentingnya kontrol diri. SDM merupakan faktor sentral dalam Dari tahun ke tahun metode maupun aktivitas pengelolaan suatu organisasi. SDM modul yang diterapkan terus mengalami menggerakkan roda organisasi dengan cara perbaikan. Sejak tahun 2012 program menggunakan sumber daya dan fasilitas yang PPA dilaksanakan berbeda dengan tahunada untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tahun sebelumnya, dimana program PPA dan sasaran organisasi yang ditetapkan. SDM diadakan dalam beberapa tahapan. Pertama, bersifat aktif sehingga dibutuhkan SDM yang Survei Pendahuluan yang di dalamnya berkualitas sehingga dapat menjadi modal adalah pengumpulan masalah-masalah yang kuat bagi organisasi itu sendiri. SDM yang terdapat pada satker. Kedua, diskusi dapat dikatakan berkualitas apabila memiliki pendahuluan. Ketiga, Sosialisasi. Keempat 2 kriteria minimal, yaitu memiliki etos kerja Pendampingan, pada tahapan ini satkeryang tinggi dan memiliki kompetensi. satker yang mempunyai masalah diberikan Etos kerja yang tinggi harus dilandasi wadah konsultasi untuk memperbaiki dengan motivasi kerja yang tinggi. Dan masala-masalah yang sudah dikumpulkan motivasi kerja tinggi terbentuk dari pada tahapan survei pendahuluan, tahapan akumulasi peran dan keterlibatan SDM terakhir adalah evaluasi. di dalam organisasi itu sendiri. Motivasi Inspektorat kerja tinggi terbentuk efektif apabila SDM tersebut memiliki harapan dan impian yang sejalan dengan manajemen. Oleh karenanya manajemen harus mau dan mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi SDM agar SDM tersebut mampu mengenal organisasi secara utuh dengan segala kelebihan dan kekurangan. Sehingga pada akhirnya SDM akan memiliki pemahaman tersendiri untuk membuat 14
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Fokus Utama
Ses Itjen saat memberikan materi pada Sosialisasi PPA Tahun 2013
organisasi tersebut tetap eksis, pemikiran inilah yang akan menjadi bahan bakar membangun motivasi kerja yang tinggi karena SDM akan berpikir juga bahwa bagaimanapun kondisi organisasi menjadi tanggung jawabnya juga. Semangat kebersamaan juga perlu dibangun di dalam organisasi agar kebersamaan dan komunikasi dapat tergalang dengan baik di semua lini. Jadi jangan sampai ada yang namanya diskriminasi karena hanya dalam waktu sekejap diskriminasi hanya akan menjadi pemicu masalah yang membuat suasana di dalam organisasi menjadi tidak kondusif. Situasi yang tidak kondusif inilah yang akan membuat motivasi kerja SDM menjadi berkurang, SDM akan memiliki pemikiran bahwa upaya kerja keras yang dilakukan tidak akan membawa manfaat apapun bagi dirinya dan karirnya. Sedangkan kompetensi SDM yang unggul dapat diperoleh dengan dua hal, yaitu : sistem rekrutmen yang baik dan transparan serta fasilitas pelatihan peningkatan kompetensi internal maupun
eksternal yang memadai. Secara umum setiap SDM pasti memiliki kemampuan dasar yang rata-rata sama untuk jenjang yang diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Kemampuan ini kemudian diasah di dalam organisasi dengan model pelatihanpelatihan, yang tentunya menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan organisasi. Selain itu perlu juga ditekankan tentang peningkatan profesionalisme SDM. Maksudnya adalah SDM tidak harus selalu menguasai satu bidang keahlian saja. Akan terapi harus juga mampu dan menguasai bidang-bidang lain yang terkait. Motivasi Kerja Pegawai Kementerian Agama Kementerian Agama merupakan salah satu insitusi pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi menjaga moral bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut Kementerian Agama memiliki kepanjangan tangan di daerah tingkat 1 sampai dengan tingkat kecamatan. Dengan jumlah satuan kerja (satker) yang sangat besar dan terbesar di dunia, yaitu lebih dari 10.000 satker bukanlah hal mudah untuk mengelola sumber daya manusia yang dimiliki. Berhasil atau tidaknya tugas-tugas pemerintah yang dalam hal ini pada Kementerian Agama ditentukan oleh para pegawainya, dengan kata lain bila seorang pegawai tidak mempunyai motivasi kerja yang tinggi maka akan berdampak negatif dengan hasil kerjanya. Dalam hal ini kepribadian seorang pegawai juga menpunyai peran sangat penting untuk menentukan arah keberhasilan suatu Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
15
Fokus Utama departemen, karena jika dalam suatu departemen banyak mempekerjakan pegawai yang mempunyai kepribadian dengan tipe A yaitu orang-orang yang mempunyai semangat kerja yang tinggi maka performa kerja departemen itu akan menghasilkan kinerja yang baik. Seperti disampaikan Susanto (dalam Cokroaminoto, 2007) menyatakan bahwa tipe kepribadian sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja seseorang. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa tipe kepribadian berperan penting memotivasi seorang pegawai untuk bekerja secara maksimal. Akan tetapi, terlepas dari tipe A dan tipe B tersebut sebenarnya yang menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi Kementerian Agama adalah untuk senantiasa menjaga motivasi kerja para pegawainya. Motivasi kerja pegawai dapat dijaga dengan berbagai cara, salahsatunya adalah melalui pendampingan dan pembinaan yang berkesinambungan. Pendampingan dan pembinaan dapat dilakukan oleh atasan langsung melalui Pengawasan Melekat (Waskat) dan institusi yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan serta pembinaan yang dalam hal ini adalah Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama memiliki tugas untuk melakukan pengawasan internal pada kementerian agama. Peran Inspektorat Jenderal Kementerian Agama telah bergeser dari hanya sekedar watchdog akan tetapi juga ada fungsi katalisator. Dimana dimungkinkan bagi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama untuk melakukan fungsi konsultasi
16
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
yang di dalamnya juga meliputi fungsi pendampingan dan pembinaan terhadap seluruh pegawai Kementerian Agama. Hubungan Antara Motivasi dan Korupsi Korupsi itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu : corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok perilaku pejabat publik (pejabat pemerintahan), yang secara tidak wajar dan tidak legal dalam rangka memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Mengapa orang melakukan korupsi? Hasil penelitian mengatakan bahwa lingkunganlah yang lebih kuat untuk memberikan dorongan untuk melakukan korupsi. Kekuatan dorongan ini dapat mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi jati diri pribadinya. Seringnya lingkunganlah yang meberikan dorongan yang seharusnya adalah memberikan hukuman pada pelaku ketika melakukan korupsi. Secara empiris didapatkan hasil bahwa pada umumnya faktor penyebab korupsi bersumber pada tiga aspek yaitu: Pertama, kerusakan pada lingkungan makro (negara) di mana sistem hukum, politik, pengawasan, kontrol, transparansi rusak. Kerusakan tersebut menjadi latar lingkungan yang merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang. Tentunya menjadi jelas ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan imbalan terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang
Fokus Utama (korupsi) malah akan diulang-ulang karena akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan. Kedua, Pengaruh dari iklim koruptif di tingkat kelompok atau departemen. Ketiga, Faktor kepribadian. Motivasi ala PPA Kementerian Agama Kementerian Agama dalam hal ini melalui Inspektorat Jenderal menyadari akan luasnya jangkauan obyek pengawasan yang tentunya dengan besarnya jumlah SDM yang harus di “manage”, sedangkan di sisi lain masih terbatasnya SDM pengawasan. Dampaknya adalah kurang maksimalnya dan kurang meratanya jangkauan audit yang dapat dicapai. Dapat dikatakan bahwa tumpuan terbesar berada pada fungsi pengawasan melekat dari atasan langsung. Akan tetapi fungsi pengawasan melekat pun belum berjalan maksimal pada setiap unit kerja. Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) hadir sebagai unsur pendukung dan penguat dalam upaya pencegahan terjadinya penyimpangan. Intinya adalah pada upaya pencegahan, harapannya dengan adanya PPA ini maka akan terbentuk benteng diri yang kuat agar pegawai Kementerian Agama dapat terhindar dari hal-hal yang menyimpang. Bagi pegawai
yang telah mengikuti program PPA akan memiliki motivasi kerja yang tinggi, dengan motivasi kerja pegawai yang tinggi tentunya akan mempengaruhi k i n e r j a organisasi. O rg a n i s a s i y a n g baik akan menciptakan iklim kerja yang baik dimana semua roda organisasi berjalan dengan baik, termasuk Sistem Pengendalian Internalnya. Sistem Pengendalian Internal yang baik akan memperkecil terjadinya peluang kecurangan. PPA tidak hanya berbicara tentang anti korupsi akan tetapi berbicara juga tentang tanggung jawab terhadap pekerjaan, disiplin kerja dan motivasi kerja. PPA mencoba menyentuh pegawai dari sisi hati nurani, bagaimana sebuah kesadaran dibangun dari dalam diri sendiri. Sebuah ironi memang disaat manusia lebih takut dengan sesama manusia dan hukum manusia daripada Allah SWT dan hukumNya. Dengan kata lain Inspektorat Jenderal mempunyai pendekatan tersendiri dalam memotivasi pegawai Kementerian Agama. Efektifitas Program PPA Kementerian Agama Efektivitas suatu program dapat diukur dengan cara membandingkan pencapaian sasaran outcome program dengan tujuan Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
17
Fokus Utama program. Program dapat dikatakan efektif apabila pencapaian sasaran dan dampak outcome program mendukung pencapaian tujuan program. Untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu program mencapai sasaran dan tujuan yang direncanakan, maka perlu diadakan evaluasi dalam rangka peningkatan kinerja program tersebut. Seperti yang diungkapkan Hikmat (2004) bahwa evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja proyek untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja proyek. Selain itu adalah pelaksanaan program, pelaksanaan program memegang peranan penting dalam menentukan hasil akhir yang ingin dicapai. Memang dari tahun ke tahun pelaksanaan PPA terus mengalami perbaikan baik secara teknis pelaksanaan maupun materi program. Akan tetapi di sisi lain masih ada persepsi miring tentang PPA, hal ini positif agar dapat menjadi pengimbang dan bahan koreksi bagi pemegang progam maupun user dari PPA. Kritik dan masukan sangat diperlukan bagi kemajuan PPA itu sendiri. Agar PPA semakin baik lagi masamasa mendatang, ada beberapa saran bagi penyelenggara dan bagi satuan kerja yang menjadi “user” dari PPA ini, yaitu : Pertama, sebaiknya narasumber berasal dari luar Kementerian Agama, agar proses edifikasi dapat lebih efektif. Dalam hal ini bukan berarti menyangsikan kemampuan para professional dari kalangan internal Kementerian Agama, akan tetapi lebih bersifat untuk menjaga obyektifitas peserta terhadap narasumber. Sebagai contoh peserta akan
18
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
memandang skeptis terhadap salah satu narasumber internal karena sebagian peserta mengetahui sesuatu hal yang dipandang kurang baik dari riwayat pekerjaan dan riwayat kehidupan pribadi narasumber. Apabila skeptisme sudah muncul maka efektifitas akan transformasi informasi dari narasumber menjadi sulit tercapai. Kedua, hendaknya bagi para peserta yang mendapatkan kesempatan mengikuti PPA agar tidak menjadikan PPA sebagai kegiatan formalitas, akan tetapi menjadikan momen PPA untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Senantiasa menjaga perubahan positif tersebut sepanjang waktu tanpa terbatas pada saat pelaksanaan PPA. Perubahan yang sungguh-sungguh untuk menjadi pribadi yang baik, bersinergi bersama menghasilkan budaya organisasi yang baik. Tidak akan dapat tercipta organisasi yang baik tanpa ada sumber daya manusia yang baik dan budaya organisasi yang baik. Kelangsungan Kementerian Agama ada di tangan kita semua selaku keluarga besar Kementerian Agama. PPA hanyalah sebagai salah satu sarana untuk berubah ke arah yang lebih baik, masih banyak sarana di luar sana yang dapat kita gunakan juga untuk berubah. Intinya adalah banyak cara yang dapat kita lakukan agar Kementerian Agama menjadi semakin lebih baik dari tahun ke tahun. Saat ini kita memliki PPA, amat disayangkan apabila kita tidak dapat memanfaatkan program ini dengan baik. Tanpa kesungguhan dari kita semua maka akan menjadi sesuatu hal yang mustahil mencapai efektifitas PPA yang diharapkan.[]
Fokus Utama APLIKASI NILAI-NILAI AGAMA DALAM MENCEGAH KORUPSI Oleh: Rio Antonio
Suasana Sosialisasi PPA Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2013
K
orupsi yang terjadi di Indonesia kalau dikaji asal mulanya disebabkan oleh antara lain budaya feodal yang materialistis, senang menggunakan jalan pintas, takut berbicara kebenaran, kurang kritis serta tidak berani ambil resiko. Belum lagi pengaruh sistem perekonomian Neo Liberal yang didominasi paham kapitalisme dan globalisasi serta tata pemerintahan yang buruk (bad governance) menyebabkan ajaran Agama tidak lagi digunakan sebagai pandangan hidup manusia. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilainilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa dan bernegara. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tindak korupsi dan penyimpangan tidak lagi merasa harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, apalagi kepada sesama
manusia. Perilaku lebih dikendalikan oleh kenikmatan duniawi dan yang menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan kedudukan di tengah masyarakat. Kehidupan manusia menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. Untuk memperoleh harta dan jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan orang lain sehingga martabat manusia diabaikan, uang menjadi hal yang paling menentukan. Pada tahun 2013, data yang dirilis oleh Lembaga Transparansi Internasional, menempatkan Indonesia di posisi 118 dari 176 sebagai negara terkorup di dunia. Angka itu menunjukan kalau Indonesia masih berada di pusaran korupsi yang sistemik. Di kawasan ASEAN, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Sejak terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
19
Fokus Utama sekarang kecenderungan korupsi belum ada penurunan. Melawan korupsi tidak cukup hanya menangkap pelaku-pelakunya tapi diperlukan gerakan pemberantasan korupsi dengan membangun budaya anti korupsi yang dapat diwujudkan melalui kesadaran bahwa korupsi itu tindakan melawan kesejahteraan bersama, dosa berat melawan kehendak Tuhan sendiri dan Kepuasan sesaat yang dipicu oleh konsumerisme, hedonis dan egoisme sebagai akar dosa sosial. Untuk itu perlu dilakukan gerakan bertobat, kembali kepada Tuhan adalah panggilan bagi kita semua yang berkehendak membangun negara menjadi lebih baik. Membangun budaya anti korupsi adalah membangun sistem baru yang lebih mewujudkan watak sosial dan religius yang melakukan solidaritas dan keadilan dari pada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Perlu menanamkan ”budaya malu” pada semua perbuatan yang merugikan seperti mencuri, merampas hak milik orang lain, serta menjunjung tinggi budaya bangsa yaitu sebagai bangsa yang bermoral, beradab dan bermartabat. Disamping itu diperlukan pula beberapa aksi untuk mencegah terjadinya korupsi yaitu: Pertama, aksi perorangan, implementasi nilai-nilai agama dengan mencegah korupsi yang dilakukan oleh perorangan. Harus dimunculkan kesadaran akibat dosa yang dilakukan oleh pribadi manusia dan kemudian diberi kesadaran untuk bertaubat betapa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan mengampuni apabila tidak mengulangi
20
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
... agama sangat mencela perbuatan korupsi dengan segala bentuknya, tidak saja merugikan orang perorang, akan tetapi juga merugikan banyak orang bahkan kepentingan yang lebih luas. perbuatan tersebut. Sikap tobat adalah sikap yang ingin mengubah cara hidup yang lama menuju dan menjalankan cara hidup baru berdasarkan nilai-nilai agama. Kedua, aksi dalam tingkat masyarakat. Membangun budaya anti korupsi hendaknya dikembangkan terus menerus pada Kementerian/Lembaga hingga ke masyarakat luas melalui aksi nyata, aksi sosial, aksi peduli sesama dalam kerja sama dengan berbagai pihak termasuk lembaga antar agama. Membangun budaya anti korupsi akan menjadi lebih efektif bila juga pembicaraan masyarakat atau bersama rekan sekerja ataupun bersama warga RT/ RW setempat.
Fokus Utama Ketiga, aksi dalam tingkat lingkungan Kementerian. Aksi keluarga untuk membangun budaya mencegah koropsi, baru akan sungguh efektif apabila didukung oleh komunitas di lingkungan Kementerian/ Lembaga terkait. Gerakan anti korupsi hendaknya dijadikan gerakan bersama yang tentunya harus dimulai dari atasan dan dilaksanakan beserta seluruh bawahannya. Implementasi nilai-nilai agama dalam pencegahan korupsi mencakup kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan individu. Prinsip melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syariah. Disamping itu perlu pemahaman bersama bahwa kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang lebih kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus dapat diterima/ diambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar. Sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih besar. Dengan demikian dapat dipahami mengapa agama sangat mencela perbuatan korupsi dengan segala bentuknya, tidak saja merugikan orang perorang, akan tetapi juga merugikan banyak orang bahkan kepentingan yang lebih luas. Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang suap, korupsi dan hadiah kepada pejabat. Fatwa tersebut merupakan respon atas keresahan masyarakat yang meminta pandangan hukum agama tentang suap,
korupsi dan hadiah kepada Pejabat yang semakin menggejala dinegeri ini. Model sosialisasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi dengan pendekatan agama terdapat 4 (empat) macam yaitu : Pertama, Penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) didasarkan pada nilai/ajaran agama. Kedua, Peningkatan kesadaran dan tanggungjawab aparatur dalam pelaksanaan tugas sebagai bagian ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat secara efektif, efisien, dan transparan yang didasari rasa amanah dalam setiap pelaksanaan tugas. Dan Keempat, peningkatan wawasan tentang cara-cara membangun kelembagaan yang bersih dan amanah. Tata pemerintahan yang baik dapat diwujudkan dengan melaksanakan semua peraturan dibidang Pemberantasan Korupsi melalui Pendekatan Agama melalui pendekatan sentuhan Emotional Spiritual Quetision, dan menggunakan metodologi partisipatif, seperti Focus Group Disscusion (FGD) dan Pendidikan Orang Dewasa (POD) yang sudah terbukti lebih efektif dibandingkan dengan metode ceramah. Untuk mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan dalam rangka memberantas atau paling tidak meminimalisir korupsi dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, Menigkatkan kesadaran masyarakat terhadap akibat buruk korupsi, kesadaran ini dapat dilakukan dengan menginternalisasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, terutama Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
21
Fokus Utama dalam proses mendapatkan harta. Usaha peningkatan kesadaran ini bisa dimulai dari lingkungan yang paling kecil yaitu lingkungan keluarga. Sistem pendidikan dirancang untuk memasukan dalam kurikulum pendidikan mulai dari SLTP, yang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga rasa memiliki negara ini, dengan mengajarkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan korupsi, akibatnya, dan rasa kebenciannya terhadap korupsi dan lain sebagainya. Kedua, sistem hukum yang berlaku, seharusnya dalam pelaksanaan sistem hukum negara kita jangan ada perbedaan perlakuan dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun, dalam hal ini diperlukan adanya aturan perundang-undangan yang memadai. Ketiga, kontrol sosial dari masyarakat, yang menyadari bahwa perbuatan korupsi merugikan semua orang, dan korupsi uang negara adalah perbuatan jahat yang direncanakan dan menyengsarakan rakyat. Bahwa koruptor itu berjuta kali lebih jahat dan kejam dari segala perbuatan kriminal lainnya. Keempat, seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, dan pegawai negeri perlu dibenahi, dengan prinsip dasar transparan. Sehingga jelas dasar dan alasan seseorang diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil, juga pengangkatan pejabat di jabatan dan posisi tertentu. Dan Kelima, saluran terbuka untuk masyarakat, seringkali masyarakat mengetahui tentang adanya korupsi, tetapi tidak tahu harus melapor kemana dan kepada siapa. Juga ketakutan akan dijadikan saksi yang bakal
22
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
merepotkan dirinya, perlu dipikirkan agar adanya akses langsung dari masyarakat luas kepada pihak yang betul-betul dapat menjamin dan melindungi pelapor. Menindak lanjuti laporan tersebut, sehingga tidak menciptakan sikap masa bodoh dari masyarakat. Sekarang masyarakat sudah mulai sadar bahwa korupsi akan merugikan orang banyak sehingga apabila masyarakat mendengar ada pejabat yang berbuat korupsi akan melakukan demo kepejabat penegak hukum. Akhirnya, dalam ajaran agama masalah korupsi bukan sekedar masalah pemerintah, melainkan masalah umat beragama juga. Masalah korupsi bukan saja menjadi masalah yang berdiri sendiri tetapi merupakan konspirasi yang saling terkait satu sama lain secara menyeluruh. Dalam rangka komitmen bersama bagi aparatur negara di lingkungan Kementerian atau Lembaga dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (KKN) maka perlu ada sosialisasi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi dengan pendekatan agama.[]
Fokus Utama PENDEKATAN NILAI-NILAI ISLAM DALAM MEMBERANTAS KORUPSI Oleh: Hilman Panji Kusuma
K
asus-kasus korupsi di tanah air saat ini bisa dikatakan sudah benar-benar mewabah. Selain korupsi saat ini telah merasuki infrastruktur kenegaraan baik di tingkat pusat sampai daerah. Korupsi pun telah menjangkiti institusi-institusi sosial dan seluruh sendisendi kehidupan masyarakat. Hubungan tinggi-rendahnya tingkat korupsi di sebuah negara dengan tingkat keberagamaan (religiusitas) negara terkadang sulit ditentukan. Ironisnya, negara yang dikenal religius seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih rekor yang tinggi dalam urusan korupsi. Hal ini berbanding terbalik dengan sejumlah negara sekuler yang cenderung mengabaikan pokok-pokok ajaran agama, justru berhasil menekan tingkat korupsi
hingga pada tingkatan yang paling minim. Padahal, jika merujuk doktrin-doktrin normatif agama yang amat ideal (dalam hal ini Islam), Indonesia sebagai negara dengan populasi umat Islam paling besar di dunia, tidak sepantasnya menduduki peringkat negara terkorup. Pertanyaannya mengapa hal itu bisa terjadi? Arti Korupsi dalam Perspektif Islam Jika ditelusuri dari segi bahasa, kata korupsi yang berasal dari kata corruptio (Latin) sebenarnya sudah disepakati sejak zaman para filsuf Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione. Dalam pemahaman Aristoteles, kata korupsi -yang ditempatkan dalam konteks filsafat alamnyalebih berarti perubahan, meski punya warna Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
23
Fokus Utama ”penurunan”. Dalam arti ini secara semantis kata korupsi masih jauh dari kata kekuasaan, apalagi uang. Namun dalam pemahaman umum, korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Makna ini, jika dibandingkan dengan makna awal korupsi di masa Yunani kuno tadi telah mengalami reduksi atau penyempitan makna yang cukup besar. Reduksi makna tidak saja bersifat netral secara moral, akan tetapi reduksi itu memang disengaja untuk kepentingan pribadi sehingga reduksi menjadi korupsi. Dalam hal ini, reduksi bisa tampak sebagai distorsi ada kesengajaan dan perkara nilai di dalamnya.
Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai kerusakan terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan dalam perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi yang amat dikutuk Allah SWT. 24
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Disamping itu ada pula keuntungan yang mau dicapai. Biasanya distorsi makna di buat untuk menyembunyikan sebuah tindakan koruptif. Korupsi berkaitan dengan penyalagunaan kekuasaan yang memberikan muatan moral pada korupsi. Di banding kata corruptio dalam pemahaman Aristoteles, muatan moral kata korupsi dewasa ini sangatlah kental. Korupsi bukan lagi bermakna netral, melainkan sudah menjadi perkara moral. Muatan moral itu menjadi jelas ketika unsur kesengajaan dalam penyalagunaan kekuasaan itu ditonjolkan. Karena itu pula, unsur agency lalu masuk dalam perhitungan. Dalam pemahaman baru, hanya manusia yang notabene punya kekuasaan dan kebebasan, yang bisa melakukan korupsi. Kontek ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai kerusakan terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan dalam perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi yang amat dikutuk Allah SWT. Korupsi itu merusak dan alasannya sederhana saja, yakni, karena keputusankeputusan penting diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik. Muhammad Ali Al-Shabuniy dalam kitabnya Rawai’u al-Bayan (jilid I hal.546) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fasad, yaitu segala perbuatan yang
Fokus Utama menyebabkan kehancurkan kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat tersebut korupsi sama buruk dan jahatnya dengan terorisme. Penyebab Timbulnya Praktek Korupsi Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan tindakan korupsi. Praktek korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai-nilai moral yang dapat mencegah korupsi yang akan dilakukannya. Hal situasional seperti adanya peluang korupsi tidak akan mendukung terjadinya korupsi apabila individu memiliki nilai-nilai moral yang terintegrasi menjadi kepribadiaan yang kokoh. Menurut Abu Fida Abdur Rafi, dalam tulisannya, Terapi Penyakit Korupsi, metode untuk mengintegrasikan moral pada tiap individu dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu: Pertama, Pendekatan rasionalistik, yakni menanamkan moral dengan konsep-konsep yang bersifat rasional, misalnya dengan menanamkan pola fikir bahwa korupsi merupakan perbuatan yang merusak dan menghancurkan diri, lingkungan dan negara. Pendekatan ini dilakukan dengan menanamkan pada individu bahwa korupsi merupakan perbuatan yang harus dihindarkan dalam dirinya.
Kedua, Pendekatan spiritualistik, yakni menanamkan moral dengan konsepkonsep yang bersifat spiritual yaitu dengan menanamkan rasa takut kepada Tuhan dan adzab-Nya. Pendekatan ini dapat diperoleh individu yang takut kepada Tuhan dan adzabNya, sehingga dirinya dapat menghindari untuk melakukan praktek korupsi. Ketiga, Pendekatan kombinasi antara rasionalistik dan spiritualistik, yaitu dengan menggabungkan pendekatan pertama dan kedua secara bersamaan, yakni di samping menggunakan cara-cara yang rasionalistik juga menggunakan metode-metode spiritualistik. Untuk pendekatan pertama yakni pendekatan rasionalistik tidaklah cocok untuk diterapkan sebagian individu di Indonesia. Argumen ini adanya bukti dengan maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh kalangan akademisi dan cendekiawan yang banyak di antara mereka berpendidikan pasca sarjana. Padahal, kalangan-kalangan tersebut merupakan orang-orang yang mempunyai pola fikir yang rasional. Praktik korupsi pada kalangan tersebut terjadi karena dua kemungkinan, yakni: Pertama, Gagalnya sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional belum mampu membentuk individu-individu yang rasional yang mampu mencega praktek korupsi dalam dirinya. Kedua, Karakter masyarakat Indonesia yang tidak rasionalistik, sehingga walaupun ditanamkan pola fikir yang rasional tetap saja mereka melakukan praktek korupsi. Orang yang bijaksana adalah mereka yang ketika melihat banyak terjadi kasus Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
25
Fokus Utama korupsi mereka tidak berdiam diri tanpa berusaha untuk mencari solusi agar kasuskasus korupsi tidak terulang kembali. Paling tidak, memberikan konsep bagi individuindividu di negeri ini agar bisa dijadikan sebagai metode untuk mengintegrasikan moral dalam dirinya, sehingga tidak terjerumus untuk melakukan praktek korupsi. Adapun efek-efek yang ditimbulkan dari praktek korupsi adalah: Pertama, Bagi dirinya sendiri berupa nilai negatif di mata publik, jatuhnya harga diri (muru’ah), merusak karier, dan hukuman penjara baginya. Kedua, Efek bagi publik secara luas yakni berupa terganggunya kepentingan orang banyak. Ketiga, Efek bagi negara berupa kerugian material yang tak terhitung jumlahnya, menurunkan kepercayaan para investor sehingga menghambat investasi dan menguras energi dan dana negara untuk memberantasnya yang seharusnya energi dan dana itu bisa difokuskan untuk menyelesaikan masalah lain yang semakin rumit.
Peran Para Tokoh Agama Terhadap Praktek Korupsi Upaya pemberantasan korupsi,dengan melibatkan semua pihak adalah salah satu prasyarat yang tidak bisa dihindarkan. Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa dukungan banyak kalangan. Salah satu komponen yang memiliki peran strategis dalam membangun gerakan sosial anti korupsi adalah tokoh-tokoh agama yang dalam kehidupan masyarakat memegang peran cukup sentral. Keterlibatan agamawan dalam upaya pemberantasan korupsi akan memberikan motivasi dan dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi. Untuk menggalakkan upaya pemberantasan korupsi di tanah air, Islam sebagai agama dapat berperan dalam beragam bentuk sebagaimana berikut ini: Pertama, Nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap kian menyebarnya praktek
Panitia dan Peserta Sosialisasi PPA di Provinsi Maluku Utara Tahun 2013
26
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Fokus Utama korupsi. Untuk itu, diperlukan radikalisasi interpretasi terhadap nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam. Di sini diharapkan agar persoalan korupsi mendapatkan perhatian yang memadai dalam kajian-kajian atau interpretasi nilai-nilai moralitas Islam. Kedua, Agar nilai-nilai moralitas Islam tersebut dapat berfungsi sebagai modal untuk membangun etika sosial baru yang memberdayakan rakyat kecil dan memandang korupsi sebagai kejahatan yang harus dilawan bersama. Etika sosial baru ini dapat mendorong masyarakat untuk senantiasa menjauhkan diri dari praktek korupsi, melahirkan semangat mendorong upaya pemberantasan korupsi dengan mencegah, mengawasi, melaporkan dan jika mungkin memperbaiki sejumlah mekanisme sanksi sosial yang hidup di masyarakat yang diberlakukan kepada setiap orang atau kelompok yang melakukan korupsi. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai moralitas ini pun diharapkan dapat diturunkan dalam kerangka aturan-aturan hukum Islam (fiqih) mengenai korupsi. Ketiga, untuk memperoleh pengejawantahan yang memadai agar nilainilai moralitas Islam dapat diajukan sebagai salah satu sumber bagi penyusunan aturanaturan hukum maupun suplemen kebijakan yang berpengaruh bagi kemaslahatan umat, dengan orientasi pemberdayaan masyarakat kecil dan penekanan terhadap praktek korupsi. Tidak ada yang membantah bahwa korupsi merupakan tindakan yang bathil.
Pemberantasan Korupsi dengan Pendekatan Islam Berbicara tentang agama, setidaknya ada dua hal yang patut diperhatikan, yaitu: pertama adalah mengenai nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam ajaranajaran yang disampaikan agama. Kedua, mengenai institusi sosial keagamaan sebagai penyokong berjalannya kehidupan beragama. Dalam konteks perlawanan terhadap tindakan korupsi yang makin akut di Indonesia, peranan institusi sosial keagamaan menjadi sangat penting sebagai pendorong. Dari segi ini, institusi sosial keagamaan mestinya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu garda depan dalam upaya pemberantasan korupsi, bergandengan tangan dengan gerakan anti korupsi dari kalangan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama strategis sesuai dengan perannya masing-masing dalam upaya pemberantasan korupsi. Dari sini, institusi sosial kegamaan dengan agamawan perlu mendapatkan penekanan mengingat posisi strategisnya di dalam kehidupan masyarakat.
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
27
Fokus Utama Beberapa langkah konkrit mendesak di ambil terutama ketika kita sepakat korupsi adalah musuh bersama bagi bangsa ini dan kejahatan luar biasa yang tidak terampuni adalah sebaga berikut: Pertama, jaringan sinergi sosial seperti di prakarsai NUMuhammadiah untuk memerangi korupsi harus dikembangkan secara lebih massif di tingkat nonstruktural. Langkah semacam ini menjadi exemplary action yang patut di contoh lembaga-lembaga sosial masyarakat yang lain. Kedua, langka pertama itu harus dikerangkai sistem teologi baru yang lebih akseologis, yakni jihad melawan korupsi di seluruh jenjang dan lini kehidupan sekali lagi, ini dimaksudkan memberi basis normatif yang jelas dan terarah. Ketiga, langkah di seminasi doktrin jihad melawan korupsi harus di korparasikan dengan pranata stategis kelembagaan agar bisa diakses seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda, sebab pendidikan adalh langkah efektif membangun peradaban. Keempat, membangun personifikasi atau pencitraan kesyahidan baru yang relevan dengan tuntutan pemberantasan korupsi. Kalau perlu, seluruh elemen masyarakat mendesak agar Negara mengangkat para mujahid yang mati dalam pemberantasan korupsi sebagai pahlawan Nasional di satu sisi, dan tak segan-segan merupakan capital punishment bagi para koruptor kakap di sisi lain. Sebagai kejahatan luar biasa, pemberantasan korupsi hanya bisa berhasil melalui cara-cara yang luar biasa pula. Sebab masyarakat mulai meragukan cara-
28
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
cara struktural yang justru terkesan kian menumbuhsuburkan praktek korupsi. Kesimpulan Urgensi perang suci melawan korupsi salah satunya di dorong merebaknya berbagai anomali menyangkut pembacaan atas doktrin agama yang secara langsung atau tidak menjadi ”landasan pacu” bagi merebaknya perbuatan korupsi. Agama apapun pasti melarang perbuatan korupsi. Pelaku korupsi pun tahu pasti agama apapun melarang dan mengutuk tindakan itu. Mungkin dengan pendekatan agama bisa dipakai untuk pencegahan yang bersifat kultural. Paradoks itu menunjukkan bahwa ibadah ritual yang tidak bermutu tidak berdampak positif bagi para prilaku. Singkatnya,dalam upaya memberantas korupsi, peranan agamawan dengan institusi sosial keagamaannya sangatlah strategis. Agamawan yang memiliki kedekatan dengan masyarakat tentu sangat efektif dalam menyosialisasikan pesan-pesan agama anti korupsi. Apalagi pada kenyataannya, struktur sosial-politik Indonesia menempatkan agamawan mempunyai legitimasi dan pengaruh yang luas, yang jauh melampaui sekadar fungsi-fungsi spiritual. Sehingga pada sisi ini, gerakan sosial anti korupsi yang terpusat di kalangan tokoh agama harus dimaknai sebagai sebuah gerakan moral, yang diharapkan memiliki implikasi politik. Pemberantasan korupsi yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip luhur, hanya akan melahirkan kekerasan atau anarkisme serta diyakini tidak akan pernah mematikan akar-akar kejahatan tersebut.[]
Fokus Utama Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) sebagai Pengawasan Melekat Oleh: Shaleh
D
alam ilmu manajemen, pengawasan adalah bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur manajemen lainnya. Schermerhorn (2005) memaknai manajemen sebagai sebuah proses yang terdiri dari planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC). Istilah controlling sering diterjemahkan dengan kata pengendalian dan pengawasan (Pusdiklatwas BPKP, 2009). Sementara dalam manajemen pemerintah, istilah pengawasan didefinisikan sebagai seluruh proses kegiatan penilian terhadap objek pengawasan dan/atau kegiatan tertentu dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi objek pengawasan dan atau kegiatan tersebut telah sesuai dengan yang ditetapkan. Sanri (2002), membagi pengawasan menjadi 4 (empat) jenis, antara lain: pengawasan melekat (waskat), pengawasan
fungsional (wasnal), pengawasan legislatif (wasleg), dan pengawasan masyarakat (wasmas). Jika ditarik tali hubungan antara pemetaan pengawasan Sanri dengan Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA), maka PPA dapat dikaitkan dengan pengawasan melekat (waskat) yang memiliki sifat preventif. Dalam konteks sistem pengendalian manajemen, PPA merupakan bagian dari jenis pengendalian pencegahan (preventive controls). Pendekatan agama di dalam pengawasan manajemen dimaksudkan untuk menjaga integritas dan nilai etika di dalam prilaku manajemen yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan pengendalian (environment control) (baca; SPIP 5 (lima) unsur, PP Nomor 60 tahun 2008) yang juga relevan dengan konsep Commintee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO).
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
29
Fokus Utama Kesadaran tentang arti penting pengawasan preventif dalam manajemen pemerintah, telah muncul sejak lama. Pada era Orde Baru, di dalam Repelita IV tentang sistem pelaksanaan dan pengawasan pembangunan telah menyebutkan (dalam salah satu program pokoknya), yaitu pembinaan dan pemasyarakatan pengawasan, menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman, kerjasama pemerintah dengan institusi agama yang menyangkut berbagai program dan kegiatan telah membawa hasil yang menggembirakan. Sejalan dengan itu, berdasarkan petunjuk Wakil Presiden RI (1985) diterbitkan paket penerangan mengenai penyebarluasan pengertian dan kesadaran pengawasan yang disusun bersama oleh Menteri Agama, Menteri penerangan, Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Jaksa Agung, dan Kepala BP7 Pusat pada tanggal 17 September 1985. Paket tersebut dimaksudkan sebagai rintisan awal untuk dijadikan pedoman umum dalam menyebarluaskan pengawasan melalui berbagai pendekatan yang dapat dimanfaatkan dalam rangka membudayakan pengawasan, baik wasnal, wasmas, dan waskat (Juklak PPKPMJA, 1995). Menurut Juklak PPKPMJA (1995), Satu jalur yang ditetapkan dalam paket penerangan mengenai penyebarluasan pengertian dan kesadaran pengawasan adalah jalur agama. Jalur ini cukup penting dan perlu dipergunakan, sebab agama memberikan landasan spiritual, moral, dan etik yang utuh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Inilah yang kemudian melahirkan program
30
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPMJA). Pada saat itu, bentuk usaha PPKPMJA dilakukan melalui 3 metode, yaitu metode langsung, metode tidak langsung, dan metode pemberian contoh/tauladan. Metode langsung dilakukan melalui Khutbah agama, ceramah pengajian, penyuluhan, sarasehan, dan penasehatan serta kegiatan kegiatan lain dalam bentuk tatap muka. Metode tidak langsung dilaksanakan dengan menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronika. Sementara metode pemberian tauladan harus ditunjukkan oleh setiap unsur kepemimpinan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama baik di lingkungan kerja maupun dalam pergaulan sosial.
Tak satupun tokoh agama yang menolak bahwa agama merupakan sumber nilainilai luhur yang dapat dijadikan dasar untuk memberdayakan fungsi pengawasan.
Fokus Utama Lembaga-Lembaga Keagamaan Mendukung PPA Program Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPMJA) sebagai cikal bakal PPA telah menuai berbagai tanggapan positif dari lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia yang kemudian dituangkan dalam pengantar juklak program PPKMJA. Tanggapan positif lembaga-lembaga tersebut antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Ketua MUI KH. Hasan Basri (tanggal 15 Nopember 1995) menyatakan tanggapannya yang antara lain adalah sebagi berikut: (1) Majelis Ulama’ Indonesia mendukung segala upaya pemerintah meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, sebab dengan pengawasan
merupakan landasan moral, etik dan spiritual dalam pelaksanaan pembangunan dan sekaligus merupakan sumber motivasi dalam membudayakan pengawasan; (3) menyambut baik kegiatan yang dilakukan Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) dalam rangka memasyarakatkan pengawasan melalui jalur agama, antara lain dengan diterbitkannya juklak Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPMJA) ini. (4) Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa naskah petunjuk pelaksanaan Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPMJA) yang disusun oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Ditjen Bimas (Kristen) Protestan, Ditjen
diharapkan mampu menghindari terjadinya penyimpangan dan penyelewengan serta mengantarkan tercapainya tujuan pembangunan nasional; (2) agama
Bimas Katolik, dan Ditjen Bimas Hindu dan Buddha, dapat dijadikan sebagai acuhan dan pedoman dalam memasyarakatkan pengawasan melalui jalur agama; (5) Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
31
Fokus Utama Menghimbau agar menyampaikan materi dari naskah ini hendaknya menggunakan bahasa yang komunikatif, akomodatif, dan bijaksana. Kedua, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Drs. Made Sudiartha (1995), memberikan tanggapan terhadap program PPKMJA antara lain sebagai berikut: (1) Parisada Hindu Dharma Indonesia mendukung segala upaya pemerintah meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan dalam pembangunan, sebab dengan pengawasan diharapkan mampu menghindari terjadinya penyimpangan dan penyelewengan serta mengantarkan tercapainya tujuan pembangunan nasional; (2) Parisada Hindu Dharma Indonesia sependapat bahwa agama merupakan landasan moral, etik, dan spiritual dalam pelaksanaan pembangunan dan sekaligus merupakan sumber motivasi dalam membudayakan pengawasan; (3) Parisada Hindu Dharma Indonesia menyambut baik kegiatan yang telah dilakukan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) dalam rangka memasyarakatkan pengawasan melalui jalur agama, antara lain dengan diterbitkannya juklak Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama ini. Ketiga, Dukungan yang senada juga diberikan oleh Perwalian Umat Buddha Indonesia, yang dinyatakan oleh ketua Dewan Pimpinan Pusat Drs. Teja S.M. Rashid (1995), yaitu bahwa dalam Negara Pancasila, agama mempunyai kedudukan yang penting dan agama-agama di Indonesia
32
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
memberikan landasan moral, etik, dan spiritual dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian agama akan merupakan sumber motivasi dalam membudayakan pengawasan pembangunan. Oleh sebab itu, Perwalian Umat Buddha Indonesia mendukung segala upaya pemerintah meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dukungan majelismajelis agama di Indonesia dan meningkatnya kesadaran hidup beragama diharapkan mampu mencegah terjadinya penyelewengan dan penyimpangan dari tujuan pembangunan nasional. Keempat, Pdt Dr. Sularso Sopater (1996) Persekutuan atas nama Gerejagereja di Indonesia menyatakan bahwa gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia dengan diri sebagai bagian yang integral dari bangsa, senantiasa berupaya untuk menjalankan partisipasinya secara maksimal dalam pembangunan bangsa dan negara. Sesuai dengan sifatnya sebagai lembaga keagamaan, gereja-gereja ikut menggarap pembinaan di bidang spiritual, moral dan etik yang akan sangat mempengaruhi sisisisi lain dari pembangunan yang bersifat menyeluruh. Pembinaan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, seperti yang telah dijalankan di lingkungan gerejagereja melalui program pembinaan warga gereja, perlu lebih dilengkapi dengan komponen kesadaran warga Negara untuk memahami dengan baik makna serta hakikat pengawasan. Buku petunjuk pelaksanaan Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPMJA)
Fokus Utama yang diterbitkan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), telah secara ringkas dan gamblang menguraikan masalah tersebut disertai pendasaran teologisnya. Oleh karena itu buku ini perlu dibaca oleh setiap warga gereja, dan dapat diolah lebih jauh untuk bahan pembinaan warga gereja, dalam rangka perwujudan kewarganegaraan yang bertanggungjawab. Dan Kelima, Mgr. V. Kartosiswoyo, Pr (1996), menjelaskan melalui goresan kata pengantarnya untuk petunjuk pelaksanaan PPKMJA bahwa “betapapun (ketatnya-red) pengawasan dari rekan dan atasan, masih juga orang bisa mengelabuhinya. Lain halnya kalau pengawasan itu “dilakukan oleh Tuhan” dalam arti lewat kesadaran hati nurani yang berdasarkan keyakinan agamanya. Orang tidak bisa menipu diri sendiri. Kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya diketahui dan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, membuat orang berpikir dua kali sebelum berbuat penyimpangan-penyimpangan. Itulah yang dimaksud dengan pengawasan lewat jalur agama. Kesadaran hidup beragama akan meningkatkan kadar keimanan (sraddha) terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan nilai luhur yang menjiwai dan mengendalikan setiap usaha dan kegiatan pembagunan nasional. Nilai luhur itu dalam kehidupan sehari-hari diwujudkan dengan tidak melakukan perbuatan buruk (akusala kamma), memperbanyak perbuatan baik (kusala kamma) dan membersihkan hati dan pikiran dengan melakukan puja bhakti, mediasi dan perenungan Dharma.
Dukungan kelima lembaga keagamaan tersebut di atas merupakan modal utama bagi pengembangan program Pengawasan dengan Pendekatan Agama. Tak satupun tokoh agama yang menolak bahwa agama merupakan sumber nilainilai luhur yang dapat dijadikan dasar untuk memberdayakan fungsi pengawasan. Nilainilai agama yang dipahami, dihayati, dan diamalkan akan memperkokoh kendali diri (self control) dan semakin memperkecil dan bahkan menghilangkan ruang untuk berbuat menyimpang. Sangat banyak teori yang menjelaskan pengertian kontrol diri ini. Seperti pendapat Goleman sebagaimana dikutip oleh Carlson (1987), memaknai kontrol diri sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, suatu kendali batiniah. sementara Chaplin (1997), yang menjelaskan bahwa self control atau kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Tidak dapat dipungkiri bahwa semua agama telah mengajarkan kepada manusia untuk menahan diri dari perbuatan tercela dan berusaha sebisa mungkin untuk berbuat kebajikan di muka bumi ini. Nilai universal inilah yang menjadi dasar PPA untuk mensiarkan aktualisasi nilai-nilai tersebut di dalam bekerja dan dalam kehidupan nyata di dunia ini, sehingga dengan sendirinya nilai-nilai itu akan menjadi bagian dari pengawasan melekat aparatur pemerintahan.[] Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
33
Pengawasan APIP Berintegritas, Mendorong Pengawasan yang Berkualitas Oleh: Mukodas Arif Subekti
Sekjen dan Irjen saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VIII DPR RI
H
ingga memasuki tahun ke 15 (lima belas) sejak reformasi digulirkan, perbaikan birokrasi pemerintah belum memperlihatkan tanda-tanda kemajuan yang signifikan. Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan sehingga banyak kelemahan birokrasi yang belum menampakkan tandatanda dilakukannya perbaikan. Kiranya tidak berlebihan jika Presiden menyatakan bahwa ”kinerja birokrasi amburadul, sulit dikendalikan dan tidak memiliki inisiatif
34
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
untuk turut menyukseskan agenda negara”. Peran birokrasi yang profesional, yang mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat agar masyarakat mampu melakukan kegiatan lainnya secara mandiri belumlah nampak. Salah satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak dan tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas dalam mencoba
Pengawasan memperbaiki birokrasi kita. Upaya tersebut sangat perlu dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari penyakit kronis KKN yang diidapnya dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini lembaga dan pada hampir semua kegiatan. Istilah reformasi secara populer digunakan sejak bangsa Indonesia mengalami pergerakan menuju demokratisasi di segala bidang dengan meninggalkan era Orde Baru. Semenjak itu, bangsa ini mengalami era baru, salah satunya di bidang birokrasi yang dianggap banyak menyimpan masalah. Hal yang sama juga menjadi tatanan baru di lingkungan Kementerian Agama. Ada banyak hal yang harus dibenahi Kementerian Agama agar birokrasi menjadi lebih baik menuju kepemerintahan yang baik dan bersih (good government and clean governance), terpenting lagi bagaimana menjadikan wilayah satuan kerja bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Reformasi birokrasi dilakukan untuk pembenahan praktik birokrasi secara komprehensif menuju terwujudnya good governance. Dalam menciptakan birokrasi pemerintah yang lebih efektif dan efisien bukan hanya dari aspek organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), prosedur dan peraturan, melainkan juga pembenahan dari aspek pengawasan dan akuntabilitas yang dapat memberikan nilai tambah terhadap kualitas pelayanan publik. Aparatur negara sebagai abdi masyarakat harus mampu melaksanakan tugas dan fungsi yang diemban secara professional dan bertanggung jawab,
sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara memuaskan. Pembaharuan sistem manajemen pemerintahan, pendekatan dan strategi yang dapat digunakan, antara lain: a) Menciptakan pola dasar organisasi atau lembaga pemerintah (termasuk unit pelaksana pelayanan publik); b) Mengubah sistem manajemen kepegawaian dari manajemen ketatausahaan ke manajemen SDM aparatur; c) Menyederhanakan dan menyempurnakan ketatalaksanaan, sistem prosedur dan mekanisme pelayanan publik; d) Memperbaiki sistem pengelolaan barang milik negara; e) Menyempurnakan sistem manajemen keuangan unit pelayanan publik; f ) Mengembangkan sistem pengawasan dan akuntabilitas kinerja aparatur.
Pengawasan intern pemerintah merupakan alat pengawasan eksekutif. Ruang lingkup pengawasan intern lebih luas daripada pengawasan ekstern yang hanya melakukan pengawasan melalui kegiatan audit. Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
35
Pengawasan Sasaran yang akan dicapai dalam pelaksanaan reformasi birokrasi meliputi: a) Kelembagaan/organisasi, yakni tepat fungsi dan tepat ukuran; b) Budaya organisasi, yakni birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi; c) Ketatalaksanaan, yakni sistem proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance; d) Regulasi dan deregulasi birokrasi, yakni regulasi yang tertib, tidak tumpang tindih, berjalan secara kondusif; dan e) SDM, yakni memiliki integritas, kompeten, professional, produktif dan sejahtera. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik, berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bebas dari KKN, serta bertanggung jawab di lingkungan Kementerian Agama diperlukan adanya peningkatan pengawasan terhadap aparatur negara. Pengawasan ini dapat dilakukan secara internal, yaitu pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang berkualitas dan profesional. Ini bertujuan untuk mengurangi praktik KKN di lingkungan Kementerian Agama dan sangat berkaitan dengan upaya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Untuk meningkatkan citra APIP, pola kerja profesional harus lebih dikedepankan dengan mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja birokrasi pemerintah sebagai tolok ukur keberhasilan dan atau kegagalan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah kepada masyarakat. Dengan melakukan pemantauan, evaluasi dan penilaian kinerja yang didasarkan atas profesionalisme, etika dan moral APIP. Dalam mewujudkan pemerintahan seperti itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan tugas bagi seluruh aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) tidaklah ringan. Tugas APIP memerlukan tenaga dan pemikiran tindakan serta ketegasan sikap secara sungguh-sungguh. Konteks pemikiran ini tidak bisa lepas dengan proses filosofi. Jadi para auditor berperan dalam tugas audit juga merumuskan filosofi audit itu sendiri. Terhadap tugas audit ini sangat mutlak diperlukan pemikiran yang cermat, teoritis, sistimatis, objektif, dan independen. Menurut PP. 60 Tahun 2008 tentang SPIP, maka tugas pengawasan APIP adalah melakukan audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu yang di dalamnya adalah
Pengawasan intern diarahkan untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan, profesional, dan memiliki budaya kerja yang baik. 36
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Pengawasan audit Investigasi. Satuan kerja (satker) di lingkungan Kementerian Agama merupakan satker terbesar di dunia tidak hanya di Indonesia karena sebanyak 4.474 satker. Sehingga APIP harus bisa meningkatkan perbaikan ke semua satker baik pusat maupun daerah agar Kementerian Agama bisa bebas dari KKN. Oleh karena itu, berbagai temuan yang sifatnya berulang setiap tahun dan tidak terdeteksi harus bisa diperbaiki dan selalu diingatkan pada satker yang bersangkutan, karena fungsi pengawasan harus memberikan masukan penyempurnaan dan tindakan koreksi. Perlu disadari bahwa paradigma pengawasan dewasa ini menempatkan peran APIP sebagai konsultan dan katalisator untuk membantu pihak manajemen birokrasi pemerintah dalam mempercepat proses pencapaian instansi pemerintahan. Secara universal diakui bahwa pengawasan intern dan berperan dalam mendorong perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance) melalui peningkatan akuntabilitas dan transparansi instansi pemerintah yang diawasi. Pengawasan intern pemerintah merupakan alat pengawasan eksekutif. Ruang lingkup pengawasan intern lebih luas daripada pengawasan ekstern yang hanya melakukan pengawasan melalui kegiatan audit. Pengawasan intern pemerintah merupakan salah satu unsur manajemen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan utama pengawasan intern adalah membantu pimpinan instansi pemerintah meningkatkan keberdayaan institusi pemerintah melalui kegiatan
pengawasan yang mampu memberikan keyakinan/jaminan yang memadai bagi pencapaian kinerja pemerintah yang telah ditetapkan, dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Pengawasan intern pemerintah dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan pengawasan yaitu audit, evaluasi, review, pemantauan, dan kegiatan asistensi, konsultasi serta sosialisasi tentang masalah masalah yang berhubungan dengan sistem administrasi keuangan dan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pengawasan intern, kegiatan-kegiatan di luar kegiatan audit mempunyai kedudukan dan manfaat yang sama pentingnya dengan kegiatan-kegiatan audit, karena seluruh kegiatan tersebut bersifat membantu pimpinan instansi pemerintah dalam meningkatkan kinerja organisasi. Sebagai aparat pengawasan internal pemerintah, lnspektorat Jenderal Kementerian Agama memiliki visi menjadi pengendali dan penjamin mutu kinerja Kementerian Agama. Untuk mencapai visi tersebut dibutuhkan aparat pengawas yang berintegritas, profesional, dan independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Profesionalitas dan independensi harus didukung dengan peraturan dan pedoman yang memuat ketentuan-ketentuan pokok pengawasan intern dalam bentuk standar audit. Standar audit yang dipedomani oleh para auditor akan berdampak pada kualitas hasil pengawasan di lingkungan Kementerian Agama. Pengawasan intern diarahkan untuk menciptakan penyelenggaraan Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
37
Pengawasan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan, profesional, dan memiliki budaya kerja yang baik. Pemerintahan yang bersih di lingkungan Kementerian Agama dapat diartikan sebagai institusi yang bebas dari praktik KKN yang berpotensi merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia. Transparansi dalam kegiatan di lingkungan Kementerian Agama merupakan wujud
akuntabilitas publik yang diperlukan agar anggota masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam mengawasi pelaksanaan tugas, menciptakan kelancaran informasi dan komunikasi yang diperlukan bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat di bidang keagamaan. Untuk itu diperlukan pemerintahan yang profesional pada tataran aparaturnya, karena aparatur menempati garis depan dalam penyelenggaraan
38
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Profesionalisme aparatur tersebut akan tercermin pada tingkat kinerja aparatur dalam penyeleng garaan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Kinerja yang terpantau, terukur, dan selalu diperbaiki, lambat laun akan menyatu dalam pelaksanaan tugas dan sikap perilaku aparatur, sebagai pencerminan dari terbentuknya kerja yang baik dengan prinsip ikhlas beramal. Keberadaan APIP perlu ditetapkan dan diberdayakan secara tepat agar dapat berperan secara efektif dan efisien. Hal lain yang perlu dibangun dalam penyelenggaraan lingkungan pengendalian yang baik adalah menciptakan hubungan kerja sama yang baik antara instansi pemerintah yang terkait. Agar lembaga pengawasan intern dapat berperan secara efektif dan efisien, terdapat dua faktor mendasar yang perlu dipenuhi yaitu: pertama, adanya standar profesi kegiatan pengawasan intern yang diterima secara umum dan diakui secara meluas dalam dunia pengawasan intern, dan kedua, adanya lingkungan yang mendukung, yang meliputi : a) Dasar hukum yang memberikan batasan tentang sistem, prinsip, dan fungsi pengawasan intern, b) Sistem manajemen yang jelas dan berfungsi dengan baik pada objek yang diawasi, c) Independensi yang cukup, d) Mandat pengawasan yang jelas meliputi ruang lingkup dan jenis kegiatan pengawasan, e) Supervisi atas pelaksanaan tugas pengawasan.
Pengawasan Pengawasan intern mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengendalian intern karena pengawasan intern merupakan bagian dari pengen dalian intern instansi pemerintah yang bersifat menyeluruh. Pengawasan intern diperlukan oleh pimpinan instansi pemerintah untuk memberikan keyakinan bahwa sistem pengendalian intern di dalam instansi yang dipimpinnya telah berjalan secara efektif.
efisiensi, dan kehematan), hambatan, kelemahan dan penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kegiatan unit-unit kerja di bawahnya. Apabila hasil pengawasan mengidentifikasikan adanya temuan-temuan tersebut, pimpinan organisasi dapat mengambil tindakan korektif untuk meyakinkan bahwa temuantemuan tersebut tidak terulang lagi. Dalam hal ini,pengawasan intern juga
Lembaga pengawasan intern melakukan evaluasi secara berkala maupun sewaktuwaktu terhadap kehandalan dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hasil evaluasi sistem pengendalian intern di sampaikan kepada pimpinan instansi pemerintah serta unsur-unsur pimpinan lainnnya dalam instansi pemerintah yang dipandang perlu untuk menindaklanjuti hasil evaluasi dan pengawasan tersebut. Hasil pengawasan intern bermanfaat bagi pimpinan organisasi karena dapat memberikan penilaian yang bersifat independen dan obyektif tentang keandalan sistem pengendalian intern, tingkat pencapaian kinerja (efektivitas,
dapat berperan sebagai katalisator dalam hal peningkatan kinerja organisasi, pemberi rekomendasi yang berkesinambungan bagi perbaikan/peningkatan teknis pelaksanaan yang sedang berjalan, pemberi masukan tentang perlunya mengganti/mengubah pendekatan dalam kegiatan yang sedang berjalan, yang terbukti kurang operasional atau sudah terlalu ketinggalan zaman. Di era transparansi saat ini, peran APIP sangat strategis sebagai bagian dari organisasi yang dapat membantu manajemen dalam meningkatkan kinerja, terutama aspek pengendalian, di mana dalam perkembangannya telah terjadi Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
39
Pengawasan perubahan pandangan profesi internal auditor menjadi paradigma baru yang lebih mengedepankan peran sebagai konsultan. Ini diharapkan dapat menciptakan komitmen APIP untuk meningkatkan kinerja pengawasan yang mendorong tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun daerah. APIP harus dapat menyamakan persepsi dan menyatukan langkah dalam menjalankan tugas sesuai fungsi dan perannya sebagai aparat pengawasan intern. Tidak kalah pentingnya melaksanakan koordinasi dan komunikasi yang baik antara aparat pengawasan dengan para SKPD (Satuan Kereja Perangkat Daerah) untuk meningkatkan komitmen dan kesepahaman bersama dari unsur pimpinan tingkat atas, sampai ke bawah dalam memperbaiki tata kelola keuangan daerah sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Melalui pengawasan intern dapat diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesusai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan rancana, kebijakan yang telah ditetapkan. Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan untuk mendorong good governance dan clean goverment dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, serta bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
40
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Hasil kerja APIP diharapkan bermanfaat bagi pimpinan dan unitunit kerja serta pengguna lainnya untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintahan secara keseluruhan. Hasil kerja ini akan dapat digunakan dengan penuh keyakinan jika pemakai jasa mengetahui dan mengakui tingkat profesionalisme auditor yang bersangkutan. Untuk memastikan dan memberikan jaminan yang memadai (quality assurance) apakah audit yang dilaksanakan telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan maka perlu dilakukan pengendalian mutu terhadap mutu audit yang dilakukan oleh APIP. Dengan diikutinya standar tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan audit akan memberikan hasil yang dapat diyakini validitas dan keakuratannya. Dengan adanya pengawasan intern melalui APIP diharapkan seluruh sendi-sendi organisasi Kementerian Agama dapat berfungsi secara maksimal sehingga terwujud tata kelola birokrasi Kementerian Agama yang profesional berbasiskan semangat religi dan berslogan “Ikhlas Beramal”, bahwa bekerja adalah ibadah. Hal ini dimaksudkan agar tugas Kementerian Agama yaitu melakukan pembangunan di bidang agama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diwujudkan. Selain itu, diharapkan seluruh aparatur Kementerian Agama mampu menjadi tauladan sebagai aparatur negara yang paling bersih dan bermoral serta paling taat dalam beragama.[]
Pengawasan Peran Penting Itjen sebagai Mitra BPKP dan Posisinya dalam APIP Oleh: Mahmudi
Irjen Saat memberikan materi Raker Kanwil Provinsi Jateng Tahun 2013
T
untutan atas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih harus dicermati sebagai sebuah harapan untuk diwujudkan oleh semua pihak. Untuk itu, seluruh jajaran pemerintahan harus memperkuat sistem pengendaliannya, antara lain melalui pemberdayaan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Hal ini mutlak dilakukan mengingat pemberdayaan APIP merupakan salah satu pilar menuju tercapainya tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik (good and clean governance). Terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, adil, transparan, dan akuntabel adalah sebuah kemutlakan, adanya, namun bukan berarti tidak bisa diupayakan. Semua ada proses yang harus dilalui, ada jalannya dan memakan waktu.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama adalah bagian dari APIP yang memiliki peran penting dalam membangun pemerintahan yang bersih dan baik. Peran ini merupakan tugas mulia, sehingga memerlukan kepastian akan ketercapaian atau peningkatan outcome dari sebuah program/kegiatan, atau pelaksanaan tugas organisasi dan pada saat yang bersamaan efektifitas biaya untuk menghasilkan outcome tersebut. Dengan demikian outcome sebagai hasil akhir atau kemanfaatan dari suatu aktivitas organisasi merupakan refleksi dari pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal ini dapat berupa pelayanan publik kepada masyarakat baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
41
Pengawasan Sebagai bagian dari APIP, secara otomatis Itjen bekerja sama dengan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). BPKP adalah Lembaga pemerintah nonkementerian Indonesia yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan yang berupa Audit, Konsultasi, Asistensi, Evaluasi, Pemberantasan KKN serta Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hasil pengawasan keuangan dan pembangunan dilaporkan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan dalam menjalankan pemerintahan dan memenuhi kewajiban akuntabilitasnya. Hasil pengawasan BPKP juga diperlukan oleh para penyelenggara
Pengawasan represif non justisia digunakan sebagai dasar untuk membangun sistem manajemen pemerintah yang lebih baik untuk mencegah moral hazard atau potensi penyimpangan (fraud). 42
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
pemerintahan lainnya termasuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pencapaian dan peningkatan kinerja instansi yang dipimpinnya Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan yang dilakukan BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak sepenuhnya bersifat audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau pendampingan, dan evaluasi merupakan kegiatan yang mulai digeluti BPKP. Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam membantu aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian keuangan negara. Pada masa reformasi ini BPKP banyak mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman dengan pemda dan kementerian/lembaga sebagai mitra kerja BPKP. MoU tersebut pada umumnya membantu mitra kerja untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka mencapai good governance. BPKP menegaskan tugas pokoknya pada pengembangan fungsi preventif. Hasil pengawasan preventif (pencegahan)
Pengawasan dijadikan model sistem manajemen dalam rangka kegiatan yang bersifat pre-emptive. Apabila setelah hasil pengawasan preventif dianalisis terdapat indikasi perlunya audit yang mendalam, dilakukan pengawasan represif non justisia. Pengawasan represif non justisia digunakan sebagai dasar untuk membangun sistem manajemen pemerintah yang lebih baik untuk mencegah moral hazard atau potensi penyimpangan (fraud). Di sinilah sesungguhnya peran Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai bagian dari APIP memiliki peran penting sebagaimana peran BPKP. Hal ini karena salah satu tugas Itjen yaitu bagian pengelolaan haswas eksternal dan dumas yang terkait dengan BPKP adalah sebagai Pelaksana Pengadministrasian Teknis Pengelolaan Hasil Pengawasan BPKP Untuk Satker Eselon I Pusat.
laporan hasil pengawasan di lingkungan Kementerian Agama.Dan kelima,Pelaksanaan administrasi Inspektorat Jenderal. Dalam struktur Inspektorat Jenderal, Bagian pengelolaan haswas eksternal dan dumas yang terkait dengan BPKP mempunyai tugas Pelaksana Pengadministrasian Teknis Pengelolaan Hasil Pengawasan BPKP Untuk Satker Eselon I Pusat dan Satker Daerah. Dalam melaksanakan tugasnya, bagian pengelolaan haswas eksternal dan dumas yang terkait dengan BPKP menyelenggarakan fungsi: Menyampaikan hasil audit BPKP satker yang bersangkutan, Mengentri LHP dari BPKP perwakilan dan pusat, dan Menagih Tindak Lanjut (TL) pada satker yang mempunyai temuan. Sedangkan untuk Subbagian pengelolaan haswas eksternal dan dumas yang terkait dengan BPKP mempunyai tugas melakukan pemantauan atas Laporan Tugas dan Fungsi Hasil Pengawasan (LHP). Sebagaimana dijelaskan dalam Dalam melaksanakan tugasnya, BPKP PMA Nomor 10 Tahun 2010, bahwa tugas didukung oleh seperangkat peraturan yaitu; Inspektorat Jenderal adalah melaksanakan Pertama, Keputusan Presiden RI No.103 pengawasan intern di lingkungan Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas Kementerian Agama. Inspektorat Jenderal Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi menyelenggarakan fungsi: Pertama, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Penyiapan perumusan kebijakan Departemen yang telah diubah terakhir pengawasan intern di lingkungan dengan Peraturan Presiden Republik Kementerian Agama. Kedua, Pelaksanaan Indonesia Nomor 64 Tahun 2005. Kedua, pengawasan intern di lingkungan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Kementerian Agama terhadap kinerja dan tentang Sistem Pengendalian Internal keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, Pemerintah. Dan ketiga, Instruksi Presiden pemantauan, dan kegiatan pengawasan No.4 Tahun 2011 tanggal 17 Februari 2011 lainnya. Ketiga, Pelaksanaan pengawasan tentang Percepatan Peningkatan Kualitas untuk tujuan tertentu atas penugasan Akuntabilitas Keuangan Negara Menteri Agama. Keempat, Penyusunan Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
43
Pengawasan Identifikasi Masalah Proses pengawasan intern terhadap pembangunan nasional dilaksanakan oleh beberapa unit kerja APIP seperti BPKP, Inpektorat Jenderal Kementerian/Lembaga, Inpektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Ruang lingkup penugasan APIP saat ini, telah diatur pada Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pasal 48 (2) ketentuan tersebut menyebutkan, aparat pengawas intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain. Di samping itu,pasal 49 (2) menyebutkan peran tambahan bagi BPKP untuk melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi kegiatan yang bersifat lintas sektoral, kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara serta kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden. Terkait dengan peran auditor eksternal, salah satu pasal penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2004 antara lain menyebutkan bahwa untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan aparat pengawas intern pemerintah. Hal ini mengandung konsekuensi tersendiri bagi APIP, yaitu adanya kewajiban untuk
44
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya kepada BPK. Laporan hasil pemeriksaan APIP selanjutnya akan turut mempengaruhi luas dan ruang lingkup pemeriksaan yang akan dilakukan oleh BPK RI. Dilingkungan Kementerian Agama masih banyak ditemukannya para pelaku kebijakan, yang salah dalam melaksanakan kebijakannya tersebut. Hal ini bisa dilihat dari beberapa temuan hasil audit BPKP. Kesannya adalah banyak satker yg tidak paham tupoksinya, terutama bendahara. Sehinga sering terjadi kesalahan penggunaan anggaran. Pemahaman yang utuh atas tugas pokok dan fungsi, terutama dalam pengunaan dan pelaporan keuangan negara, khususnya yang terkait dengan pengawasan BPKP di kalangan satker daerah maupun eselon I di lingkungan Kementerian Agama belum bisa dilaksanakan sesuai dengan aturan dan standar akuntansi BPKP. Seiring dengan perjalanan berbangsa dan bernegara, hal ini pun sudah banyak mengalami kemajuan. Sebagai APIP Itjen pun telah mengalami pergeseran peran yang cukup signifikan dari audit konvensional menjadi aktivitas yang berorientasi kepada kebutuhan stakeholders. Langkahlangkah yang telah dilakukan diantaranya melalui peran konsultasi terhadap isu-isu strategis, penjamin kualitas atas pelaksanaan kegiatan atas permintaan stakeholders baik pada eselon I maupun
Pengawasan
Suasana Raker Kanwil Kemenag Provinsi Jateng
satker-satker daerah, diantaranya sebagai satgas penjaminan kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi, mendorong percepatan implementasi sistem pengendalian intern pemerintah, pembenahan dan pembangunan sistem pengelolaan keuangan negara dan sebagainya. Sementara itu upaya represif yang dilakukan oleh APIP antara lain melalui audit ketaatan (compliance audit) dan audit investigasi. Walaupun berbagai kegiatan pengawasan intern telah dilakukan oleh APIP, namun hingga saat ini proses pengawasan intern belum sepenuhnya mampu menciptakan nilai tambah (add value) bagi institusi, apalagi bagi bangsa. Hal ini menunjukkan efektivitas pengawasan intern di Indonesia masih membutuhkan penyempurnaan dan pengembangan proses bisnis. Sebagai contoh, kegiatan reviu atas laporan keuangan oleh APIP masih belum mampu menjamin diperolehnya opini WTP atau WDP atas penyajian laporan keuangan. Akan tetapi, keseriusan Itjen dalam
melaksanakan kerja yang didukung oleh satker-satker di bawah kemenag telah mengantarkan Kementerian Agama mendapatkan WTP dari BPK. Hal ini merupakan bukti bahwa Itjen bekerja dengan serius dalam rangka menghantarkan kementerian agama memperoleh predikat WTP. Kondisi ini sekaligus menjawab dan menepis bahwa Kementerian Agama merupakan Kementerian yang Korup dan penuh dengan KKN tidak terbukti. Jika masih ada penilaian yang negatif terhadap kemenag maka perlu dipertanyakan dari sudut pandang mana penilaian tersebut dilakukan. Kesimpulan Ke depan, Itjen akan mendorong terwujudnya manajemen yang baik untuk memperbaiki efektivitas sistem pengendalian intern pemeritah (SPIP) dan manajemen risiko, serta tata kelola kepemerintahan yang baik. Dalam hal ini tentunya terkait dengan penggunaan anggana negara. Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
45
Pengawasan Upaya efektifitas implementasi atas SPIP sebaiknya tidak hanya terfokus pada upaya sosialisasi saja. Perlu penetapan pilot project, baik satker daerah maupun eselon I yang dapat dijadikan best practices penerapan SPIP. Upaya ini diharapkan dapat menjadi faktor penggerak kearah yang lebih baik. Langkah lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan audit atau penilaian terhadap pencapaian outcome dan Indikator Kinerja Utama satker, tidak sekedar output saja. Dalam hal ini bisa merujuk pada Study 13 tentang Governance in the Public Sector: A Governing Body Perspective oleh The International Federation of Accountants (IFAC) pada tahun 2001. Sehingga dengan demikian hal ini akan mengoptimalkan peran APIP dalam hal ini Inspektorat Jenderal Kemenag. Selanjutnya fungsi audit internal yang efektif mencakup reviu yang dilaksanakan secara sistematis, penilaian dan pelaporan atas keandalan dan efektivitas penerapan sistem manajemen, keuangan, pengendalian operasional, dan penganggaran. Ruang lingkup audit yang dapat dilakukan oleh audit internal sangatlah luas dan komprehensif untuk menjamin ketercapaian tujuan organisasi. Jika APIP diberi kewenangan, peran, dan fungsi yang jelas dan luas seperti itu, maka hasil pekerjaan APIP sepertinya akan sangat bermanfaat dan mampu membangun nilai bagi seluruh pihak-pihak yang berkepentingan dan pada akhirnya kepada masyarakat. Tugas berat dan menantang yang dinanti oleh para stakeholders terhadap APIP, tentu saja membutuhkan kerja keras dan komitmen yang tinggi dari
46
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
semua pihak. Ke depan, APIP sudah harus melakukan perubahan pendekatan dari audit konvensional menuju audit berbasis risiko (risk based audit approach). Pola audit yang didasarkan atas pendekatan risiko difokuskan terhadap masalah parameter risk assessment yang diformulasikan pada risk based audit plan. Penggunaan pendekatan ini akan menghasilkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan audit yang dilakukan oleh APIP. Di samping itu, perlu pembenahan infrastruktur dari APIP, diantaranya melalui kejelasan luas dan ruang lingkup serta kewenangan APIP untuk menjamin sinergitas peran APIP. Mengingat lingkup tugas dan tuntutan yang semakin besar terhadap peran APIP, perlu komitmen Itjen untuk menempatkan orang-orang terbaik, baik dari aspek kapabilitas maupun integritas serta menjamin independensi dan obyektifitasnya. Dalam hal ini auditor Itjen harus diisi oleh orang-orang yang memiliki paradigma dan pandangan luas untuk dapat menilai segala sesuatu secara makro bukannya mikro. Melalui upaya-upaya revitalisasi dan pemberdayaan aparat pengawasan yang dimiliki Itjen, diharapkan Itjen dapat mendukung Kementerian Agama untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik (good and clean governance) di lingkungan Kemenag. Sehingga goolnya adalah terciptanya pelayanan publik yang baik dan memuaskan sebagaimana diharapkan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian predikat WTP akan bisa dipertahankan.[]
Pengawasan Pengaruh Pimpinan dalam Mencegah Korupsi melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) Oleh: Suparmono
Menag bersama Pejabat Eselon I saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, pada acara KTLHP 2013
D
i dalam Al-qur’an Allah SWT telah dijelaskan bahwa manusia pada dasarnya lemah dan tidak berdaya, namun di balik ketidakberdayaan manusia, ada pula manusia atau orang orang yang sanggup dan mampu untuk melawan ketidakberdayaan itu, yaitu orang orang yang beriman yang selalu berbuat dan berpikir optimis dan menatap masa depan yang lebih baik lagi. Walaupun negara ini akan rusak dan akan hancur sekalipun dilanda oleh gelombang korupsi, namun kita harus yakin dan optimis untuk melakukan yang terbaik demi bangsa dan negara. Bertitik tolak dari pemikiran inilah penulis mencoba untuk mengungkap permasalahan-permasalahan yang selama ini terjadi serta memberikan jalan keluar dari
kemelut ini. Penulis mencoba menguraikan ajakan atau arahan yang disampaikan Moch. Jasin selaku Inspektur Jenderal mengajak kita untuk selalu peduli terhadap hal– hal terkait dengan masalah korupsi. Permasalahan korupsi itu sudah bertahun tahun dan bahkan sudah menjadi budaya di negeri kita, dimana batas antara halal dan haram sudah hampir tidak kelihatan, yang semula abuabu menjadi putih dan yang semula putih berubah menjadi abu-abu, bahkan menjadi hitam pekat. Beliau tidak bosan-bosannya selalu memberikan nasihat saat pembekalan auditor yang akan melaksanakan tugas ke lapangan agar para auditor tidak lagi untuk diantar dan dijemput baik berangkat maupun pulang, apalagi diberikan oleh– oleh maupun bingkisan oleh auditi. Auditor Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
47
Pengawasan dilarang untuk menerima pemberian dari auditi, begitulah pesan beliau kepada para auditor yang tidak jenuh-jenuhnya demi kebaikan kita semua.
... agama di mata Franz, masih memandang agama hanya berkutat pada urusan ibadah saja, sehingga agama nyaris tidak memainkan peran sosial yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Padahal agama memiliki kesempatan memainkan peran yang lebih besar dibanding ormas sekalipun.
Budaya korupsi yang menjadi akar permasalahan di muka bumi ini berawal dari kolusi dan nepotisme, dimana persahabatan yang semula menjadi hal yang lumrah menjadi tidak lumrah ketika dikait-kaitkan dengan pekerjaan atau proyek yang ditangani oleh seorang sahabat yang 48
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
menjadi rekanan di suatu proyek dengan nilai milyaran rupiah, dan auditor sebagai seorang yang melakukan pemeriksaan pada proyek itu. Pada mulanya audit dilakukan secara transparan, sesuai dengan standar audit yang telah berjalan sesuai dengan ketentuan, namun seiring berjalannya waktu audit, terjadi pergesekan kepentingan yang mengakibatkan seorang auditor terbawa arus untuk melakukan penyimpangan dan pelanggaran. Inilah awal dari persoalan yang menyebabkan terjadinya korupsi yang menjadi cikal bakal budaya sampai saat ini yang sulit untuk diberantas. Hal inilah yang selalu didegung-dengungkan dan dibicarakan oleh Moch. Jasin di setiap kesempatan Temu Wicara Pengawasan dan pada saat Halal Bihalal yang di hadiri oleh beberapa mantan Irjen periode 1985 s.d 2012. Budaya korupsi yang selama ini menjadi kendala untuk dilakukan pencegahannya, memerlukan suatu keberanian untuk memberantasnya melalui mekanisme dan sistem peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas tanpa pandang bulu. Bukankah agama Islam telah mengajarkan kita untuk melaksanakan kewajiban atau tugas kita dengan penuh tanggung jawab dan tegas terhadap aturan yang telah dibuat. Menurut Samuel P. Huntington, seorang futurulog mengaitkan hubungan antara budaya kita dan korupsi yang selama ini berlangsung tanpa sungkan dan malu – malu menyebutkan bangsa Indonesia. Menurut beliau diantara sekian negara yang
Pengawasan paling terkorupsi adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika. Tapi Huntington mengecualikan Singapura sebagai negara yang bersih sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia “ Anomali Singapura adalah kepemimpinan Lee Kuan Yew. Di Indonesia ada keinginan yang kuat untuk segera membasmi dan memberantas tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di sisi lain ada juga yang sebenarnya ingin tetap dipertahankan tata hubungan yang korupsi dan tidak ingin bangsa ini bebas dari korupsi, Namun kenyataannya kekuasaan Orde Baru telah berakhir dengan adanya perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. B e r b i c a r a masalah korupsi tidak ubahnya (seperti) membicarakan sesuatu yang tidak ada ujung pangkalnya, serta sulit untuk diberantas dalam jangka waktu yang cepat. Sebab masalah korupsi seperti halnya menegakkan benang yang basah, seperti onta yang dimasukkan kedalam lubang jarum (arti ayat ini tercantum didalam Al Qur’an), masalah korupsi ini tidak dapat dibasmi secara instan, dan memerlukan waktu, biaya, tenaga, serta segenap kemampuan bangsa melalui sistem dan mekanisme yang teratur, berkesinambungan, kemudian didukung
oleh kebijakan para pimpinan yang arif serta bijaksana dalam melihat dan menganalisa permasalahan ini dengan baik dan benar. Franz Magniz Suseno, teolog dan Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menyebut korupsi di Indonesia disebabkan gagalnya pendidikan etika dan agama. Menurutnya agama gagal membendung moral bangsa dalam hal mencegah korupsi, padahal Indonesia memiliki masyarakat yang beragama. Pemeluk agama di mata Franz, masih memandang agama hanya berkutat pada urusan ibadah saja, sehingga agama nyaris tidak memainkan peran sosial yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Padahal agama memiliki kesempatan memainkan peran yang lebih besar dibanding ormas sekalipun. Sebab agama memiliki hubungan emosional dengan sesama pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan hubungan emosional ini mampu menyadarkan umat, bahwa korupsi bisa membawa dampak buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Maka langkah pertama pemberantasan korupsi adalah memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman. Di sinilah agama berperan, dengan cara para Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
49
Pengawasan pemuka agama berupaya mempererat ikatan emosional antara agama dan pemeluknya. Para pemuka agama diberbagai kesempatan hendaknya menekankan bahwa korupsi adalah perbuatan yang bukan hanya tercela, akan tetapi juga dosa. Pemberantasan korupsi dimulai diantaranya dengan mengalihkan kesetiaan bukan kepada keluarga, golongan, suku, ras, agama, akan tetapi kepada bangsa. Langkah
berikutnya adalah memilih pemimpin yang bersih, jujur dan anti korupsi, pemimpin yang mempunyai kepedulian dan cepat tanggap, pemimpin yang bisa menjadi teladan. Strategi pencegahan Untuk melakukan pencegahan suatu penyakit yang namanya korupsi, memang sangat sulit sekali dan bahkan 50
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
banyak kalangan yang meragukan terhadap keberhasilan pemberantasan itu. Segenap elemen bangsa dikerahkan untuk memberantas hal itu, namun sampai saat ini dimana Negara Republik Indonesia yang telah merdeka selama 68 Tahun, masih banyak kejadian kejadian di sejumlah Kementerian yang melakukan perbuatan dan praktik KKN pada saat dimulainya pembahasan RKAKL antara pimpinan/lembaga dengan orang orang yang ada di Badan Anggaran DPR. Praktik korupsi yang terjadi selama ini berawal dari niat seseorang di dalam menjalankan tugas, terutama tugas para pembuat kebijakan dan para pembuat aturan/peraturan perundang-undangan, dimana yang membuat undang – undang adalah para wakil rakyat yang berada di keanggotaan DPR. Untuk membuat undang-undang, anggota DPR banyak yang dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang ingin mengambil keuntungan dari terbitnya peraturan itu, sebut saja misalkan pada saat pembahasan anggaran tentang Standar Biaya Umum (SBU) untuk perjalanan dinas para pegawai di seluruh kementerian, dimana biaya penginapan untuk Golongan III ratarata Rp. 400.000,00 s.d Rp. 500.000,00/malam, sedangkan untuk Golongan IV rata-rata Rp. 600.000,00 s.d Rp. 1.100.000,00/malam. Ini berdampak pada sepinya hotel-hotel kelas menengah ke bawah dan akhirnya banyak hotel-hotel yang bangkrut dan pailit. Hal itu dikarenakan pada umumnya para pegawai akan menghabiskan biaya penginapannya dengan anggaran yang telah disediakan oleh kementeriannya masing, maka tidak
Pengawasan heranlah sekarang banyak hotel hotel yang berbintang 4 dan 5 semakin berkembang pesat, hal perlu ditinjau ulang peraturan tentang penggunaan standar biaya umum. Idealnya memang standar biaya umum diberlakukan sama antara uang penginapan dengan uang harian, sehingga terdapat unsur keadilan dan pemerataan penghasilan. Banyak lagi produk produk peraturan yang dihasilkan oleh DPR syarat dengan nuansa kolusi, korupsi dan nepotisme, alangkah baiknya segala produk peraturan yang akan dihasilkan oleh DPR diharamkan untuk anggota dan pimpinan DPR menerima uang dari suatu kementerian yang akan membuat undang-undang. Oleh karena itu diperlukan langkah atau strategi yang dilakukan dalam rangka pencegahan korupsi antara lain melalui pengawasan dengan pendekatan agama, antara lain sebagai berikut : Sebagai seorang pempinan agar menjadi suri tauladan dan contoh terhadap bawahannya dengan cara pergi dan pulang kantor sesuai dengan waktu yang telah ditentukan serta menjalankan tugasnya dengan penuh rasa tanggungjawab dan disiplin, bukan karena takut pada pimpinan yang lebih atasnya, akan tetapi lebih takut kepada Allah SWT, berdasarkan dalil dalam al hadits yang berbunyi Laqod kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah yang artinya, “Niscaya sungguh di
dalam diri Rasulullah contoh yang paling baik”. Beliau sebagai seorang pemimpin selalu mengerjakan apa yang telah dikatakan dan mengatakan apa yang telah dikerjakan, maksudnya adalah Beliau selalu konsisten terhadap apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan. Beliau mengatakan, “Apabila anakku Fatimah Binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya”. Akan tetapi, sejarah menyatakan bahwa anaknya yang bernama Fatimah Binti Muhammad adalah anak yang sholehah, sehingga hingga akhir hayatnya tidak pernah sedikitpun mencuri dan menjadi contoh para wanita yang sholehah di dunia ini. Sebagai seorang pemimpin agar dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan Standar Operasioanl Prosedur, memberikan arahan dan petunjuk kepada bawahannya, agar didalam menjalankan tugasnya para pelaksana mengacu kepada standar atau prosedur yang telah ditentukan dan tidak
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
51
Pengawasan menyimpang dari aturan yang berlaku, misalkan dalam hal pekerjaan pengadaan barang dan jasa, dimana proses yang dilalui sungguh sangat banyak titik rawan dan bernuansa terjadinya penyimpangan, mulai dari perencanaan, proses dan hasilnya. Sebagai seorang pemimpin supaya memperhatikan kedisiplinan para bawahannya, kemudian memberikan reward and punishment kepada pegawainya yang rajin dan malas, sehingga ada semangat untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, bukan PGPS (Pintar Goblok Pendapatan Sama), serta para pimpinan juga harus memperhatikan senioritas, bukankah semua itu sudah tertuang dalam DUK (Daftar Urut Kepangkatan) bukan DUK (Daftar Urut Kedekatan). Jabatan adalah sebuah amanat yang diberikan kepada seseorang yang sudah menjadi tanggung jawabnya, oleh karena itu sebagai seorang pimpinan harus berani mengambil langkah dan sikap yang tegas terhadap keputusannya, jangan terpengaruh oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang ingin mencari muka, mencari simpati yang akhirnya dapat menjerumuskan kepemimpinannya. Sebagai seorang pemimpin supaya tidak jenuh dan bosan di dalam amar ma’ruf nahi munkar ( memerintahkan berbuat pada kebaikan dan melarang perbuatan pada kejelekan ) kepada pegawai atau bawahannya, karena pada dasarnya manusia itu apabila selalu diingatkan dan dinasihati lambat laun akan menjadi baik, namun sebaliknya apabila manusia itu dibiarkan, tidak diingatkan dan tidak dinasihati, akan
52
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
menjadi orang yang jelek. Sebagai contoh Nabi Ibrahim AS mengajak umatnya untuk menjadi orang orang yang beriman, yang pada waktu itu mereka menyembah pada berhala dan patung-patung, serta budaya mereka adalah menyembah batu-batuan, sehingga sulit untuk diajak menyembah kepada Allah SWT, namun berkat kegigihan dan kesabaran beliau dalam mengajak kebaikan, akhirnya berbondong – bondong banyak orang yang masuk Agama Tauhid. Inilah bukti kesabaran dan ketelatenan beliau dalam mengajak kebaikan. Kesimpulan Norma agama merupakan petunjuk dan dasar manusia untuk berpijak dan berperilaku sesuai aturan yang sesuai dengan kaidah–kaidah agama, diantara kaidah dan norma norma agama yang patut dipraktikkan dan diamalkan adalah bagaimana kita menjalankan kehidupan sesuai dengan rel yang ada. Kalau kita sadari dan pahami bahwa manusia itu ada yang mengawasi, maka kita sebagai manusia seharusnya sadar dan tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar norma–norma agama. Norma-norma agama yang telah ada merupakan suatu jalan untuk menuju kesempurnaan hidup manusia dimuka bumi ini. Agama selalu mengajak kita untuk selalu hidup bersih dari dosa, yakni melakukan perbuatan perbuatan yang dilarang antara lain berjudi, minum minuman yang memabukkan, mempermainkan wanita, berbuat selingkuh dengan istri orang lain, berzina, dan korupsi.[]
Pengawasan Pentingnya Laporan sebagai Pengawasan Melekat Oleh: Ahmad Nida
Irjen bersama Ses Itjen saat memberikan arahan TOT LHKPN 2013
P
enyelenggara negara atau Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas pokoknya harus selalu mengikuti aturan dan pedoman yang telah dibuat, dalam segala bidang pekerjaan yang diamanatkan atau ditugaskan segala sesuatunya harus dalam koridor peraturan maupun panduan dan pedoman yang telah disusun. Setiap pekerjaan yang dilakukan sampai dengan penggunaan uang negara harus dilakukan pertanggungjawaban secara tepat dan riil . Sebuah laporan dapat diartikan sebagai sebuah saksi atas terjadinya kegiatan atau hal-hal peristiwa karena dalam sebuah laporan menjelaskan tentang peristiwa dan kegiatan yang terjadi. Sebuah laporan membahas masalah atau kegiatan yang terjadi secara rinci, kemudian laporan
juga membawa informasi penting yang dapat diandalkan untuk menjadi sebuah keputusan maupun kebijakan pimpinan dalam suatu organisasi. Program kegiatan yang telah dilakukan pelaksanaan kegiatannya wajib membuat laporan pertanggungjawaban baik dalam bentuk laporan kegiatannya maupun pertanggungjawaban realisasi bagian keuangan, hal ini tertuang dalam PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang petunjuk pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah pasal 1 ayat (3) laporan kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
53
Pengawasan Mengenai masalah keuangan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penyelenggara negara dalam menggunakan uang negara harus membuat laporan akuntabilitasnya. Laporan Menjadi Alat Pengawasan Berbicara mengenai pengawasan banyak sekali jenis dan bentuknya ada yang melalui pihak internal maupun eksternal, Pengawasan melekat (Waskat) merupakan salah satu bentuk pengendalian atasan langsung/pimpinan di lingkungan satuan organisasi/kerja dalam meningkatkan kinerja organisasi agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dalam sistem pengawasan melekat pelaksanaannya berdasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang kemudian diikuti dengan Keputusan Menteri PAN Nomor KEP/46/M.PAN/4/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pengawasan di Lingkungan Departemen Agama. Dalam PMA tersebut yang dimaksud pengawasan melekat adalah segala upaya dalam suatu organisasi yang dilakukan oleh pimpinan atau atasan langsung satuan organisasi 54
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
atau satuan kerja terhadap bawahannya dan sistem pengendalian intern untuk mengarahkan seluruh kegiatan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis. Menulis sebuah laporan merupakan sebuah tanggung jawab masing-masing tim atau panitia penyelenggara kegiatan, disinilah peran para pimpinan untuk menjalankan fungsi pengawasannya berupa Direct Control pimpinan terhadap pelaksananya. Dilihat dari kegunaan sebuah laporan, banyak sekali hal-hal yang bisa diambil manfaatnya antara lain: (1) mengatasi dan menyelesaikan masalah; (2) mengambil sebuah keputusan yang efektif; (3) mengadakan pengawasan, Perbaikan, dan Evaluasi; (4) menemukan teknik dan system baru untuk menyelesaikan masalah. Dalam menulis laporan ada beberapa esensi yang harus diperhatikan, biasanya permasalahan para pembuat laporan hanya sekedar menjalankan perintah pimpinannya tanpa memperhatikan substansi dan tujuan laporan itu dibuat. Sebenarnya penulisan sebuah laporan menitikberatkan kepada sebuah informasi yang akan disampaikan kepada pemangku kebijakan atau pimpinan sebagai sebuah pertanggung jawaban maupun alat untuk pengambil keputusan suatu kebijakan, biasanya laporan tersebut berbentuk singkat, sistematis, mudah dipahami dan lengkap. Kegiatan atau program yang telah dilakukan harus selalu di lengkapi oleh sebuah laporan kegiatan, pengertian laporan kegiatan adalah sebuah laporan hasil penyelenggaraan kegiatan atau program sebagai bukti tanggungjawab telah dilakukannya kegiatan atau program.
Pengawasan Ada beberapa bentuk laporan yang biasanya lazim dibuat dan biasanya isinya terdiri dari : (1) Pendahuluan, (2) Isi, (3) Penutup. Namun bentuk laporan tersebut tidak bisa digunakan dalam beberapa kegiatan karena bentuk informasi yang akan disampaikan belum mewakili untuk sebuah penyampaian hasil kegiatan. Jika melihat aturan KMA 81 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan melekat dilingkungan Kementerian Agama pada Bab II dijelaskan bahwa kriteria pelaporan yang baik harus meliputi unsur mengandung kebenaran, obyektif, dan dapat dibuktikan, lengkap, Jelas, akurat, langsung mengenai sasaran, tepat waktu, manfaat dan biaya. Maka sistematika bentuk penulisan laporan pelaksanaan kegiatan harus memiliki poin-poin sebagai berikut : Kata Pengantar Daftar Isi BAB I Pendahuuan A. Latar Beakang B. Dasar Hukum C. Maksud dan Tujuan BAB II Pelaksanaan Kegiatan A. Kepanitian B. Persiapan C. Pelaksanaan Kegiatan BAB III Evaluasi dan Hasil Kegiatan A. Evaluasi B. Hasil Kegiatan BAB IV Penutup Lampiran a. TOR b. RAB c. Undangan d. SK Panitia e. Materi
f. g. h.
Daftar Hadir Kegiatan Dokumentasi/Foto Kegiatan Hal-hal lain yang perlu di informasi- kan sebagai data dukung kegiatan
Dari bentuk laporan di atas merupakan beberapa unsur yang minimal harus terdapat dalam sebuah laporan kegiatan. Gambaran tersebut di atas sifatnya tidak baku dan dapat disesuaikan dengan jenis kegiatan atau program yang dilaksanakan. Dalam organisasi, sebuah laporan dianggap valid jika laporan tersebut memuat informasi yang akuntable dan tersusun secara sistematis. Sementara itu sebuah organisasi dianggap berhasil, jika organisasi tersebut dapat melaksanakan tertib administrasi dan menjalankan sistem administrasinyang efektif. Sehingga ketika dilaksanakan pengawasan maupun monitoring dan evaluasi dari pokok laporan internal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengontrol suatu kebijakan dan keputusan. Ketika pengawasan melekat berjalan sebagaimana mestinya, maka kelemahan kedisiplinan kinerja aparatur pemerintah, penyalahgunaan wewenang, kebocoran, pemborosan keuangan negara, pungutan liar, dan penyimpangan lainnya dapat diminimalisir serta pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan sehingga disiplin dan prestasi kerja pegawai dapat terus ditingkatkan, penggunaan dana dapat dipertanggungjawabkan, kualitas pelayanan dan kepuasan publik dapat meningkat, tujuan menjadi good governance akan terwujud. []
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
55
Opini Masihkah Para Koruptor itu Beragama? Oleh: Muhammad Rofiq
B
erbicara tentang agama merupakan bicara tentang sesuatu yang sakral, dogmatis, dan ritual karena menyangkut identitas kepercayaan dan praktik peribadatan seseorang. Dalam istilah ajaran Islam disebut dengan Addien dan Almillah. ‘Addien’ berarti syari’at dan ‘almillah’ berarti orang yang melaksanakan ibadah agamanya. Jika dilhat dari segi lughat (bahasa), kata “dien” itu masdar dari kata kerja “daana”-“yadiinu”. Menurut lughat, kata ‘dien’ mempunyai bermacam macam arti yaitu: cara atau adat, perhitungan, peraturan, hari kiamat, undang-undang, nasehat, taat atau patuh, agama, meng-Esakan tuhan, kemenangan, pembalasan, dan kekuasaan.
56
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Mengapa kita beragama? Mengingat banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik atau bahkan sebenarnya mereka mendustakan agama karena perbuatannya. Padahal mengenal agama seharusnya berada pada tahap awal sebelum mengamalkan ajarannya. Sejak menganut Islam, kita ditasyhidkan dengan 2 kalimat syahadat yang merupakan puncak dari ajaran tauhid. Sehingga kesaksian kita bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasulullah. Dalam konsepsi Islam, dien mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian
Opini rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan, Istilahnya kita berada dalam batas ‘maqom’ dan tidak bisa dipisahkan antara satu ‘ibadatut taajir yang hanya menghitung nilai dengan yang lainnya. Dengan menjalankan ibadah dari segi pahala dan dosa, hal itu din, maka kebahagiaan, kedamaian, dan seperti konsep para pedagang yang hanya ketenangan akan teraih di dunia dan di menghitung untung dan rugi. akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin Sejatinya, Islam adalah pegangan (ber-dien dengan baik), jika dia dapat hidup (way of life) yang lengkap dan melengkapi dirinya dengan tiga dimensi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan agama tersebut secara proporsional, maka manusia, baik secara individu maupun dia pasti berbahagia. kemasyarakatan. Islam agama yang sangat Tetapi secara realita, keberagamaan luas dan fleksibel. Dalam faktanya, banyak sebagian besar dari kita tidak lepas hanya orang yang beragama atau paham terhadap sekedar menggugurkan kewajiban semata agamanya, tetapi mereka ‘lihai’ melakukan (takut dari ancaman dosa), kita hanya takut tindakan penyelewengan (korupsi) dengan pada keberadaan neraka sebagai punishment berbagai alasan klise. Hal itu bisa dilihat ketika tidak menjalankan kewajiban. ketika mereka ditangkap oleh pihak penegak hukum, seribu macam alasan keluar sebagai pembenaran dari tindakan yang telah dilakukan atau untuk meringankan dakwaan nantinya. Sungguh, bukankah mereka telah berbohong pada Tuhannya, padahal dzat Tuhan maha mengetahui baik dari yang dhahir maupun yang batin. Tidakkah sejatinya mereka menipu diri sendiri (dhalim li nafsihi) dan akan merugi diakhirat nanti. Tapi mereka tidak sadar apa yang telah diperbuatnya atau mereka takut sanksi dunia (penjara) dibanding sanksi akhirat. Banyak penelitian mengatakan bahwa orang yang melakukan tindakan korupsi adalah orang cerdas dan pintar, terdidik (lulusan perguruan tinggi), namun dengan spiritual yang rendah. Selain itu, mereka didorong hasrat cepat kaya atau kehidupan prestise duniawi serta adanya kesempatan, sehingga mata batin dan hati nuraninya tertutup oleh kehidupan dunia.
...korupsi ibarat dunia hantu dalam kehidupan manusia. sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak wujud jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya.
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
57
Opini In fact, korupsi yang selama ini terjadi selalu berkaitan dengan pemerintahan sebuah negara atau public office, sebab esensi korupsi merupakan perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di pemerintahan/pelayanan publik yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang terkadang dalam suatu jabatan di satu pihak dan di pihak lain terdapat unsur perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya. Tidak salah apabila ada ungkapan tentang korupsi yang berbunyi akhdul amwal hukumah bil bathil. Apapun istilahnya, korupsi ibarat dunia hantu dalam kehidupan manusia. sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak wujud jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya sebuah kepercayaan. Seorang muslim atau orang yang mengaku beragama lainnya, semestinya tidak akan melakukan korupsi, karena perbuatan itu merupakan khianat dan tidak amanah yang seharusnya dijauhi dalam diri seorang muslim. Karena korupsi dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal (maksiat) dalam kontek risywah (suap), saraqah (pencurian), al-ghasysy (penipuan) dan khiyanah (pengkhianatan). Selain itu, tindak korupsi sangat merugikan rakyat, perekonomian, merendahkan martabat manusia dan bangsa. Bentuk dari memakan atau mengambil harta orang lain dengan cara batil yang diharamkan Islam. Sehingga pelakunya akan mendapatkan
58
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
hukuman di dunia dan akhirat. Ajaran agama apapun tidak ada yang mengajarkan pemeluknya untuk berbuat korupsi dan berbagai aktivitas mungkar lainnya, karena mutlak hal itu bertentangan dengan norma/ajaran suatu agama. lantas kenapa masih banyak pemeluk agama yang tergelincir dalam kubangan dosa (perbuatan korupsi)? Sekali lagi, itu bukan salah agama, tetapi kesalahan pemeluk agamanya, bisa jadi muaranya adalah sang pemeluk agama lebih mementingkan hawa nafsu duniawi dibandingkan mengikuti ajaran agama yang suci dan fitrah dalam menjaga integritas manusia. Dan motif dia melakukan berbagai kejahatan bukan karena faktor agama. bisa jadi karena faktor ekonomi, sehingga membuat dia nekat untuk manipulasi, faktor interest politik/ kekuasaan yang membuat seseorang melakukan suap. Hati nurani mereka sebenarnya yang bisa menjawab secara jujur. Toh, mereka masih ‘terlena’ oleh tipuan dunia yang bersifat fatamorgana. Pertanyaan sebenarnya adalah, benarkah para koruptor itu masih beragama? Hasil survei Transparancy Internasional menunjukkan korupsi dan suap di Indo nesia memburuk dari tahun ke tahun. Dalam laporan berjudul The Global Corruption Barometer 2013, terungkap sebanyak 3039,9% responden Indonesia mengaku melaku kan suap di salah satu atau lebih dari delapan institusi pemerintah; kepolisian, pengadilan, pendaftaran, pertanahan, medis, pendidikan, pajak, dan pekerjaan umum (Harian Haluan, 18/9/2013). Bukankah semua penduduk di Indonesia adalah orang yang
Opini beragama, namun faktanya agama hanya menjadi pelengkap identitas belaka, karena perbuatannya hanya menuruti keinginan hawa nafsu setan. Menurut Hujjatul Islam, imam alGhazali, keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak
“... agama apa pun tidak ada yang mengajarkan pemeluknya untuk berbuat KORUPSI dan berbagai aktivitas mungkar lainnya, karena mutlak hal itu bertentangan dengan norma/ajaran suatu agama.” tergantung pada keadaan jiwanya. Sebab jiwa merupakan pokok dari agama, asas bagi orang yang berjalan menuju Allah, serta tempat bergantung ketaatan atau kedurhakaan manusia kepada Allah. Jiwalah yang pada hakikatnya taat, durhaka, atau ingkar kepada Allah. Jadi, unsur jiwa sangat di tekankan. Jiwa seseorang yang ‘shaleh’ akan termanifestasikan pada perbuatanperbuatan yang baik dan mencegah dari kemunkaran karena mereka mampu mengalahkan hawa nafsunya.
Karena al nafs ialah kekuatan hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia yang merupakan sumber bagi timbulnya akhlak tercela (al-nafs al-ammarat). Inilah pengertian nafsu yang di maksud ahli tasawuf umumnya. Jika mereka mengatakan: " Mari berjihad melawan hawa nafsu", maksudnya adalah berjihad melawan kekuatan nafsu syahwat perut, kemaluan (faraj), dan marah, ketiga syahwat itu merupakan sumber bagi timbulnya akhlak dan sifat tercela. Sehingga al nafs yang dinamakan alnafs al-ammarat (jiwa yang jahat karena suka mendorong orang berbuat dosa ) adalah nafsu yang menenggelamkan dirinya dalam kejahatan, mengikuti nafsu marah, syahwat, perut, dan godaan setan. Jadi, orang yang beragama adalah orang yang menjalankan perintah agamanya, bersih jiwanya, dan mampu mengendalikan hawa nafsunya untuk tidak terjerumus pada perbuatan korupsi atau penyelewengan lainnya yang mencederai norma/ajaran agamanya. Hakikatnya, kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani dan ruhani, maka akan menjadi ladang bagi kehidupan akhirat (al dunya mazra’atul akhirat), dan merupakan salah satu manzilnya hidayah Allah. Karena kehidupan dunia (jasmani ) merupakan tangga bagi kehidupan akhirat (rohani), memelihara, membina, mempersiapkan, dan memenuhi keperluannya agar tidak binasa adalah juga perlu (wajib), namun harus dilakukan dengan cara-cara yang benarkan oleh agama dengan konsepsi mencarim rizki yang halalan thoyiban. [] Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
59
Opini Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Karena Meninggalkan Agama? Oleh: Mohamad Fitri
W
alaupun negara kita tidak berdasarkan agama, namun 100 persen penduduk negara ini beragama. Sering sekali kita saksikan para aktor tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang beragama bahkan memiliki ilmu pengetahuan keberagamaan yang cukup mendalam. Pertanyaannya
60
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
apakah dalam ajaran agama mereka tidak melarang perbuatan tindak pidana korupsi? Padahal mereka mengetahui bahwa ajaran agama melarang perbuatan haram tersebut namun tetap saja merek melakukan tindakan yang dilarang oleh agama tersebut. Ada pertanyaan mendasar ketika yang berbuat korupsi merupakan orang yang beragama, yaitu mana peran agama dalam menangkal, membentengi pemeluknya untuk tidak melakukan perilaku yang menyimpang itu. Terjadinya perilaku koruptif disebabkan agama ditinggalkan oleh pemeluknya, ajaran agama tidak diinternalisasi dalam hati sanubari manusia dan menyatu dalam perbuatan manusia. Sehingga dapat dikatakan aturan sudah banyak dan komprehensif namun manusia (SDM) tetap yang menjadi faktor utama penentu penegakan aturan tersebut. Ancaman agama bagi perilaku koruptif yang tidak riil di dunia, banyak pemuka dan tokoh agama menjelaskan bahwa ancaman hukuman perbuatan korupsi adanya di akhirat setelah mati. Maka “agama” disepelekan oleh pelaku korupsi karena hukuman bagi perilaku korupsi tersebut terjadinya nanti di akhirat. Sementara pada saat di dunia tidak ada hukuman bagi koruptor, apalagi dengan pemahaman bahwa dengan bertaubat maka dosa dari tindakan korupsi akan hilang dan diampuni.
Opini Seharusnya ancaman hukuman Tuhan juga diterangkan bahwa di dunia juga menerima akibatnya yakni penderitaan dan kehinaan di dunia seperti tersebut dalam Al Qur’an QS.2. ayat 85: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. Sebagai bukti siksaan di dunia berupa sakit parah yang menghabiskan uang banyak menimpa para koruptor dan keluarga dekatnya, baik anak, dan isteri yang terkena penyakit atau celaka. Jika disadari sebenarnya uang hasil korupsi menguapnya juga cepat, karena uang panas yang pasti cepat terlepas dari genggaman. Ada diskriminasi dalam pemberantasan korupsi, sebenarnya perilaku korupsi itu tidak hanya terjadi pada instansi pemerintah saja, bahkan korupsi yang dilakukan oleh instansi swasta bisa lebih besar dan lebih gila-gilaan dibanding korupsi pada instansi pemerintah, disebabkan pengawasan terhadap instansi pemerintah yang sudah berlapis mulai dari Inspektorat Jenderal, BPKP dan BPK, ditambah pengawasan dari penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan KPK. Sementara pihak swasta hanya diawasi oleh KAP, tidak tersentuh undang-undang Tipikor, kecuali yang bersinggungan dengan keuangan negara. Padahal sering dijumpai dalam beberapa pemberitaan media bahwa partai politik menerima suap dan melakukan
korupsi, yang sebenarnya bisa dijerat dengan korupsi korporasi. Ancaman hukuman dari perbuatan korupsi masih lebih besar uang hasil dari perbuatan korupsi, hal ini juga menjadi pemicu maraknya perilaku koruptif, kalau kita melihat UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2000 pasal 2 bahwa denda bagi koruptor maksimal paling besar Rp1 M, sementara hasil dari korupsi lebih dari 1 M. Korupsi terjadi lebih disebabkan karena melanggar aturan, baik aturan negara maupun aturan agama. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur dari 4 unsur sebagai berikut: Pertama, perbuatan melawan hokum. Kedua, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Ketiga, memperkaya, menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Dan
.... ajaran agama yang menyatakan katakanlah suatu kebenaran walaupun itu pahit. Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
61
Opini keempat, merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Jika kita bandingkan perbuatan tindak pidana korupsi dari sisi hukum yang memenuhi unsur pidana yakni ketika perbuatan korupsi tersebut ada unsur pelanggaran hukum, dari sisi agama disamping tuntutan hamba Tuhan untuk taat kepada aturan hukum agama, juga dituntut ketaatan kepada hukum pemerintah, sesuai ajaran dalam Al-Qur’an tentang perintah taat kepada Allah, taat kepada Rosul dan ulil amri minkum (pemerintah). Larangan Korupsi dalam Islam Kalau membaca literatur Islam baik dari Al-Qur’an dan Hadits serta bukubuku literature Islam, banyak sekali yang memberikan pengajaran tentang larangan melakukan perbuatan korupsi, perbuatan menyimpang, mengambil harta dengan jalan tidak benar, ada ancaman dan hukuman berat bagi pelaku. Tidak boleh ada ewuh pakewuh, itulah budaya jawa yang kerap kali menjadi perilaku dan habit masyarakat, walaupun terkadang budaya ewuh menjadi penyebab berlangsungnya perilaku koruptif. Misalnya tidak mau melaporkan perilaku koruptif yang dilakukan atasannya karena ewuh sebagai bawahan, karena ewuh sebagai teman, karena ewuh pakewuh sesama pegawai. Ada ajaran agama yang menyatakan katakanlah suatu kebenaran walaupun itu pahit “qulil haqo walau kaana murron”.
62
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan: “Ud’u ila sabili robbika bil hikmati wa mauidzotil hasanati, wajadilhum billati hiya ahsan”. Ayat tersebut dapat dijadikan pedoman dalam melakukan tahapan pencegahan tindak pidana korupsi. Adapun tahap pertama dalam menindak perilaku korupsi adalah melalui kekuasaan yang dimiliki, dengan tangan dan kekuatan. Tahap kedua menindak dengan lisan, pembicaraan. Tahap ketiga menindak dengan hati bahwa hati kita tidak mentolerir atas perilaku koruptif sebagaimana ajaran Rasulullah SAW: “Man ro’a minkum mungkaron fal yughoyyirhu biyadih, fainlam yastati’ fabilisanih, wainlam yastati’ fabiqolbih wahua ad’aful iman”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim). Ada gambaran utuh dalam hadits Rasulullah SAW bahwa orang tidak mungkin melakukan perbuatan yang dilarang agama ketika ada iman dalam hatimu. Dalam firman Allah SWT Surat At-Taubah: 122 disebutkan bahwa: “Seyogyanya ada sekelompok orang dalam suatu kaum yang mendalami ilmu agama, dan menyeru kepada kaumnya s e t e - lah mereka
Opini
“... diwajibkan mentaati dan menghormati pemerintah dan hidup sebagai hamba Allah dengan hidup sebagai orang merdeka, tetapi tidak menyalahgunakan kemerdekaan untuk menutupi kejahatan yang dilakukan.” kembali”. Ayat ini sejalan dengan QS. AtTaubah: 41 yang menjelaskan bahwa kita dilarang untuk memakan harta dengan jalan tidak benar/bathil. “wala ta’kulu amwalakum bainakum bil batil” QS. An-Nisa:29, al-baqoroh: 188. Dalam ayat lain disebutkan dan orang-orang yang ketika melakukan perbuatan keji/jahat atau berbuat dholim maka mereka mengingat Allah dan meminta diampuni dosanya. QS. Ali Imron: 135, “walladzina idzaa faalu fahisyatan aw dzolamu angfusahum dzakarulloh fastaghfaru lidzunubihim”. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya, sedangkan mereka mengetahuinya. Ada hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaknat
orang yang memberi suap, menerima suap dan yang menjadi perantara suap. (HR.Ahmad dan Hakim). Larangan korupsi dalam Kristen Ajaran Kristen memerintahkan kepada umatnya untuk menghindari perbuatan yang menyimpang baik dari aturan agama maupun aturan Negara. Akibat dosa manusia cenderung untuk berbuat salah, menuruti kehendak hatinya sendiri. Dosa telah membawa akibat yang buruk dalam segala derap langkah dan tugas mereka (Kej, 6:5; pengkh, 8:1, Mat, 15:19a, Mark.7:21a, Roma,3:23, I Yoh.1:8.) Perbuatan baik itu hendaklah tidak mencari keuntungan sendiri (I Kor 10:24). Negara adalah lembaga ciptaan Allah. Negara dan pemerintah wajib dihormati dan dihargai (Roma 12:2, I Pet 2:29, Maz 37:3, Fil 2:12) serta didoakan misinya (I Tim 2:1, I Pet.17). Larangan korupsi dalam Katolik Umat Katolik diwajibkan mentaati dan menghormati pemerintah dan hidup sebagai hamba Allah dengan hidup sebagai orang merdeka, tetapi tidak menyalahgunakan kemerdekaan untuk menutupi kejahatan yang dilakukan (bdk.1 Petrus 2:13-16). Berbahagialah orang yang suci hatinya/jujur, karena mereka akan melihat Alah (Mat,5:8). Agar kita mematikan keinginan dunia yang merongrong dirinya seperti hawa nafsu, keinginan jahat dan keserakahan (bdk.Kol 3:5). Membaktikan diri kepada kepentingan Negara dan menerima tugas dari Negara (GS.75).
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
63
Opini Larangan korupsi dalam Hindu Disebutkan dalam ajaran agama Hindu bahwa “yo durlabhataram prapya manusyam lobhato narah, dharmavamanta kamatma bhavet sakalavancitah” (Ss.1.9) terjemahannya: mereka yang terlahir manusia tetapi hanya mengumbar nafsu dan serakah, mereka itu disebut tersia-sia dan penuh bahaya, karena menyimpang dari ajaran dharma (kebenaran, kebajikan). Dalam Ss.1;11 Itulah sebabnya Aku tak henti-hentinya berseru memperingatkan: “dalam mencari harta kekayaan dan kesenangan, haruslah berlandaskan pada dharma, demikian kataku, namun jarang yg mendengarkan; memang tidak mudah berbuat dharma”. Jika orang mengetahui bahwa sang maut senantiasa mengintai dan merenggutnya, hendaklah ia tidak serakah dan rakus, apalagi untuk melakukan perbuatan yg melanggar hukum. (Ss.1.26 M.Dh.VIII.128) Seorang pemimpin yang menghukum orang yang tidak layak dihukum, dan tidak menghukum orang yang patut dihukum, serta ikut melindungi orang yang tidak jujur dan rakus, akan menyebabkan sangat tidak popular namanya dan bahkan akan tenggelam ke dalam neraka setelah mati. (Ss 20.264) Jika ada orang yg begini perilakunya; berusaha mendapatkan uang (harta kekayaan) dengan cara adharma/tidak benar, kemudian uang itu dipakai untuk membiayai usaha-usaha dharma; orang yg demikian perilakunya jangan ditiru, sebab lebih baik menghindari lumpur daripada menginjaknya walaupun dapat dibasuhnya. Ss 20:266 Uang yg diperoleh dengan
64
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
jalan kotor, uang yg diperoleh dengan jalan melanggar hukum, ataupun uang yang diberikan musuh, uang yg demikian hendaknya jangan engkau inginkan. Larangan korupsi dalam Buddha Ajaran agama Budha menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat menghindarkan dirinya dari akibat perbuatan jahatnya, (Dhammapada ayat 127). Dhammapada 119-121 orang yang berbuat jahat akan menerima akibatnya. Pikiran jahat menjadi sumber perbuatan jahat karena itu pembersihan pikiran dari bentuk pikiran jahat merupakan upaya manusia yg paling utama (Dhammapada 116-117). Berbuatlah baik segera, bersihkanlah pikiranmu dari pikiran jahat, karena orang yg penuh dengan pikiran jahat, ia akan senang melakukan perbuatan jahat. Bila sesorang melakukan kejahatan, hendaknya ia jangan mengulanginya lagi, sebab seorang yg sering berbuat jahat akan senang dalam melakukan perbuatan jahat, tetapi sesungguhnya sangat menderita bilamana seorang terus menimbun kejahatan. Solusi untuk tidak melakukan korupsi Solusi bagi pemeluk agama agar tidak melakukan korupsi adalah yang penulis tawarakan adalah sebagai berikut: Pertama, perubahan pemikiran bahwa hukuman terhadap perilaku koruptif bukan hanya di akherat setelah mati namun di dunia juga mendapat siksaan dan penderitaan. Kedua, kembali kepada ajaran agamanya, agama jangan ditinggalkan. Kebodohan cara berpikir dari semua pelaku/aktor penyakit kronis yang bernama korupsi ini yang
Opini melihat dunia sebagai akhir dari tujuan hidupnya, sehingga nilai-nilai larangan agama yang dianutnya diterobos secara sadar untuk memperoleh keinginan yang ingin diperolehnya. Intelektualitasnya dikalahkan oleh nafsu/keinginannya untuk memperoleh kemewahan duniawi semata, sehingga kecerdasan otak dan nalar pikiran yang jernih dikesampingkannya bahwa kenyataan hidupnya hanya menunggu waktu kematiannya, tidak ada kontrak dengan Tuhannya bahwa pelaku/aktor korupsi ini dapat hidup selamanya. Ketiga, taat kepada agama berarti taat kepada aturan Negara. Pemerintah telah berupaya dalam mencegah perilaku korupsi dengan pengendalian meliputi penetapan undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan menteri yang mengatur tentang pengelolaan keuangan Negara dan Daerah. Keempat, hukuman pidana dan denda yang harus ditingkatkan. Seharusnya dalam penanganan tindak pidana korupsi harus dikaitkan dengan hasil korupsinya, kita sering menyaksikan ketika dipersidangan jaksa penuntut mengungkapkan jumlah yang dikorupsi namun denda tetap tidak melampaui angka yang ada di hukum positif, jumlah yang dikorupsi sering kali melebihi 1 milyar namun denda yang diputus hakim kurang dari 1 milyar, sehingga tidak menimbulkan efek jera, karena koruptor masih dapat untung walaupun dipidana. Konsep memiskinkan koruptor sangat perlu diterapkan dalam penanganan kasus korupsi. Walaupun pada satu sisi langkah penegak hukum seperti KPK yang sudah
mulai menerapkan undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), tindak pidana pencucian uang, kita sangat berharap segala perilaku korupsi dijerat dengan tuntutan TPPU, sehingga asset-aset yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dapat disita oleh penegak hukum. Penanganan perilaku koruptif sudah harus berubah paradigma, yang awalnya hanya berkonsetrasi pada pemidanaan, sudah harus mulai kepada penyelamatan keuangan Negara dengan berorientasi pada pengambilan kembali profit crime atau hasil dari tindakan criminal, ini yang akan menambah efek jera kepada para pelaku, karena mereka tahu bahwa hasil korupsi akan sia-sia karena akan disita oleh Negara. Kelima, ketegasan penerapan sanksi sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku hasil penanganan kasus baik oleh internal organisasi seperti Inspektorat Jenderal maupun penindakan oleh penegak hukum agar menerapkan hukuman maksimum, seringkali penanganan kasus korupsi terkesan lambat, seperti lambatnya penerapan hukuman disiplin yang sudah direkomendasikan dari hasil audit. Dan yang Keenam, peningkatan kesejahteraan yang memenuhi kebutuhan hidup layak. Aturan dan ancaman hukuman agama diabaikan karena terdesak pada kebutuhan yang menuntut pelaku korupsi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, maka pemenuhan kesejahteraan dapat menjadi solusi memperkecil hasrat pelaku korupsi karena kebutuhan hidupnya sudah tercukupi dengan penghasilannya yang memadai.[]
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
65
Opini Menata KUA, Menata Angin Oleh : Farid Ma’ruf
Irjen bersama Dirjen Bimas Islam saat rapat mengenai Solusi Biaya Nikah KUA tahun 2013
B
erbicara tentang Kementerian Agama beberapa waktu terakhir ini membuat hati menjadi miris memang, apa pasal? karena Kementerian Agama sering diidentikan dengan kata “korupsi”. Sedih, amarah, kecewa, heran, dan bingung mungkin kata-kata yang dapat mewakili perasaan sebagian masyarakat Indonesia. Suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, inilah pil pahit yang harus ditelan oleh kita semua sebagai masyarakat dari bangsa yang menjunjung tinggi moralitas. Sedangkan Kementerian Agama adalah sebuah institusi besar yang memegang peran sebagai garda terdepan dan diharapkan mampu menjaga moralitas bangsa ini. Sebelum kita membahas lebih dalam tentang image Kementerian Agama Korup, tidak ada salahnya kita melihat 66
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
kondisi di Kementerian/ Lembaga lainnya yang sebenarnya setali tiga uang dengan Kementerian Agama. Dimana korupsi menjangkiti hampir seluruh Kementerian/ Lembaga. Seperti tidak ada habisnya media memuat berita tentang oknum pejabat maupun pegawai yang diproses hukum dan berakhir di “hotel prodeo”. Dan ini masih berbicara di tingkat eksekutif, bagaimana dengan legislatif dan yudikatif? Seolah tidak mau kalah, berapa banyak oknum anggota dewan dan oknum aparat penegak hukum yang harus “reuni” bersama oknum eksekutif di “hotel prodeo”? Hal inilah yang perlu menjadi perhatian kenapa pada saat kasus korupsi di Kementerian Agama menyeruak, media seolah menjadikan sesuatu yang lebih boombastis. Tampak kurang fair memang, akan tetapi jika dilihat sisi positifnya maka ini menandakan masyarakat selaku stakeholder
Opini Kementerian Agama masih cinta dengan Kementerian Agama. Dan juga seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa masyarakat menaruh harapan besar pada Kementerian Agama untuk menjadi institusi yang lebih bermoral daripada Kementerian/ Lembaga lainnya. Kasus korupsi di Kementerian/ Lembaga tentunya bukan sulap semata yang tiba-tiba ada. Semua ini bisa jadi merupakan warisan dari generasi-generasi ataupun hasil “kreativitas” generasi sekarang. Dimana dari masa ke masa korupsi semakin cangggih baik metode ataupun macamnya. Kementerian Agama pun mengalami hal yang sama, meskipun karakteristiknya berbeda dengan yang terjadi pada institusi yang lain karena memiliki kegiatan-kegiatan yang spesifik yang bernuansa agama. Potensi Korupsi Di Kementerian Agama Dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didapatkan hasil bahwa Kementerian Agama mendapatkan nilai 6, dan untuk layanan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam hal administrasi pernikahan mendapatkan nilai 6,07 yang itu berarti masih berada di bawah nilai rata-rata nasional yaitu 6,35. Melihat hasil survei ini memang sudah sepantasnya apabila Kementerian Agama harus memberikan perhatian lebih terhadap KUA sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Bagaimana dengan opini masyarakat? Pada umumnya masyarakat menilai bahwa potensi korupsi terbesar
selain pada administrasi KUA juga pada penyelenggaraan ibadah haji. Mulai dari penetapan biaya haji, pelayanan haji sampai dengan pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU). Seperti bom waktu, permasalahan KUA dan penyelenggaran ibadah haji menyeruak pada saat yang hampir bersamaan. Hal ini menambah panjang dan pelik permasalahan pada Kementerian Agama karena belum juga selesai dihantam masalah terkait dugaan korupsi pengadaan Al Qur’an dan pengadaan alat laboratorium untuk madrasah. Kesemuanya tentu berimbas negatif pada image masyarakat terhadap Kementerian Agama. Besarnya potensi korupsi di Kementerian Agama cukup beralasan, selain memiliki Satuan Kerja (satker) yang sangat banyak yaitu hampir 5 ribu satker tidak termasuk KUA dan tersebar di seluruh penjuru tanah air. Dengan luasnya wilayah kerja tentunya juga membuat kurang optimalnya fungsi pengawasan berjalan. Diperburuk juga dengan minimnya sumber daya manusia aparat pengawas internal pada Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Korupsi Di KUA Apa yang pertama kali ada di benak masyarakat jika berbicara tentang KUA? Tentu saja akan langsung terbersit adalah tentang Nikah, Talak, Cerai, Rujuk (NTCR), meskipun sebenatnya untuk Talak dan Cerai berada pada Pengadilan Agama (PA) yang saat ini berada pada naungan Mahkamah Agung (MA) bukan Kemeneterian Agama lagi. Banyak masyarakat yang masih belum paham bahwa KUA bukan hanya mengenai Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
67
Opini pernikahan akan tetapi banyak hal yang juga tidak dapat dipisahkan dari KUA yaitu urusan wakaf, zakat, penyelenggaraan ibadah haji termasuk memberikan manasik, dan membina kerukunan umat beragama. Hal itulah yang memposisikan KUA sebagai ujung tombak Kementerian Agama yang bersentuhan langsung dengan segenap lapisan masyarakat dalam hal pelayanan. Memang tidak dapat dipungkiri jika KUA identik dengan pernikahan dengan biaya yang mahal. Padahal menurut masyarakat menikah itu murah hanya Rp. 30.000,- seperti yang sudah diatur dalam ketentuan perundangan yaitu Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2000 Tentang Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk. Akan tetapi pada kenyataanya biaya pernikahan bisa berpuluh kali lipat dari angka tersebut. Meskipun masyarakat sebenarnya sudah banyak yang paham bahwa biaya tersebut adalah apabila pernikahan dilakukan di KUA dan pada jam kerja. Disparitas inilah yang menyebabkan muculnya opini negatif tarhadap KUA. Opini negatif masyarakat tentang KUA bukanlah tanpa dasar jika melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat. Besaran biaya nikah yang tidak ada standard pastinya dan budaya permisif yang ada di masyarakat semakin menjadikan KUA sebagai “bulan-bulanan” opini masyarakat. Jika ditelisik lebih dalam, maka hal tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari masyarakat itu sendiri selaku stakehoder, dan jika diinventarisir hal-hal yang umum terdapat di masyarakat sebagai berikut :
68
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Pertama, adanya kesan bahwa jika harus menikah di KUA maka biasanya diakibatkan adanya faktor “x”. Semisal pernikahan untuk yang kedua kalinya dan pernikahan karena hamil di luar nikah. Jika tidak karena dua hal tersebut, alasannya adalah dikarenakan kekurangmampuan biaya dari kedua calon mempelai. Kedua, adanya rasa gengsi di masyarakat terkait besaran biaya nikah yang dikeluarkan untuk KUA. Sebagai contoh disaat akan menyelenggarakan acara pernikahan, pihak keluarga calon mempelai akan menggali informasi kepada sanak famili ataupun tetangga yang sudah pernah melaksanakan pernikahan tentang kisaran biaya yang harus “diamplopi” untuk pihak KUA yang dalam hal ini adalah penghulu. Karena adanya rasa gengsi tadi, pihak yang ditanya seringnya memberikan informasi yang dilebih-lebihkan agar terlihat lebih “hebat” karena mampu mengeluarkan biaya yang lebih. Ketiga, budaya permisif yang tertanam di masyarakat Indonesia yang juga menyuburkan kegiatan tersebut. Pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral dengan harapan hanya terjadi sekali seumur hidup, sehingga banyak kalangan yang menganggap bahwa tidak ada salahnya untuk memberi “amplop” dengan jumlah tertentu sebagai wujud rasa syukur. Keempat, adanya pejabat adminstrasi non formil di tengah masyarakat yang juga harus diakui eksistensinya, seperti RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa. Mereka inilah yang sering menjadi jembatan antara masyarakat dengan KUA dan konyolnya
Opini mereka dapat menentukan besaran tarif Pertama, Opini yang ada pada diri tanpa ada dasar penghitungannya. Yang penghulu dan berdasarkan aturan yang ada memperburuk keadaan adalah seringnya bahwa tugas dari penghulu hanyalah sebagai mereka menggunakan dan bertindak atas petugas pencatat nikah dan pernikahan nama KUA dalam menentukan besaran tarif. dilakukan di KUA serta pada hari kerja. Atas Seandainya pun tidak mengatasnamakan dasar inilah penghulu menganggap tradisi KUA, masyarakat tetap akan menganggap “salam tempel” sebagai sebuah kewajaran. bahwa besaran tarif tersebut merupakan Kedua, kondisi dan jarak lokasi tarif dari KUA. Anehnya, besaran tarif tersebut pernikahan yang berbeda-beda menjadikan menjadi tarif yang berlaku secara umum pertimbangan bagi kebanyakan penghulu yang berlaku dimasyarakat. untuk mengamini tradisi “amplopan”. Ketiga, dana KUA yang minim sering Keempat hal tersebut mungkin hanya juga dijadikan sebagai dalih, penghulu sebagian kecil dari banyak hal yang dianggap menganggap bahwa “amplopan” yang umum dan berlaku turun menurun yang mereka terima juga demi kebaikan KUA. menjadikan tradisi “salam tempel” menjadi Memang dana “amplopan” yang diterima hal yang lumrah di masyarakat dan akhirnya oleh penghulu tidak sepenuhnya masuk ke dianggap sebagai sebuah “budaya”. Lantas dalam kantong pribadi penghulu tersebut, bagaimana dengan faktor internal yang juga akan tetapi sebagian juga masuk ke dalam “uang kas” KUA yang tidak jarang digunakan untuk operasional KUA. Peraturan Keempat, Perundangan yang masih belum berpihak pada KUA sehingga menjadikan KUA seperti “sandal jepit”, saat dibutuhkan disayang-sayang sedangkan pada saat tidak dibutuhkan dicampakan. Hal ini membuat KUA berjalan “mandiri”, bertumbuh dan bertahan dengan gayanya masing-masing t u r u t tanpa ada payung hukum yang jelas. berperan memakmurkan tradisi “salam tempel” ? Jika dilihat dari poin di atas dapat Faktor internal adalah faktor dari simpulkan bahwa faktor eksternal dan faktor dalam KUA dan oknum pegawai KUA yang internal memiliki andil yang sama dalam antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut : menyuburkan tradisi “amplopan” pada Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
69
Opini faktor-faktor yang menjadi penyebab pada permasalahan KUA. Masih segar dalam ingatan kita bahwa “amplopan” yang diterima oleh penghulu ataupun petugas pencatat nikah menurut Mahfud MD bukanlah merupakan gratifikasi. Mahfud MD beralasan karena hal tersebut tidak akan mempengaruhi keputusannya di kemudian hari. Lantas, kapankah tradisi “salam tempel” yang terjadi pada KUA mulai dilegalkan sebagai sebuah bentuk korupsi juga? Mengapa hal ini terindikasi sebagai korupsi ? Dalam pasal tentang korupsi, salah satunya adalah mengenai gratifikasi. Banyak yang beranggapan bahwa yang disebut gratifikasi itu hanya terkait pada jabatan-jabatan besar dan tinggi. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Agar lebih jelas, berikut dikutipkan apa itu gratifikasi. Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 bahwa Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sedangkan untuk pengecualian juga sudah menjadi suatu hal yang turun temurun dan dianggap sebagai hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 biasa meskipun sebenarnya tidak biasa. Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) : Ketentuan Penulis merasa faktor-faktor penyebabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat pun tidak akan jauh berbeda dengan (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan
pernikahan yang melibatkan KUA. Sehingga sangatlah tidak adil apabila gonjang-ganjing yang sedang terjadi pada saat ini dibebankan hanya pada KUA dan Kementerian Agama sebagai institusi induk KUA. Pertanyaannya kemudian adalah apakah permasalahan yang masih harus mendapat perhatian pada KUA hanya terbatas pada urusan Nikah dan Rujuk ? Bagaimana dengan urusan wakaf ? Benar, wakaf merupakan salah satu tugas fungsi di KUA yang juga sering mendapat sorotan dari masyarakat? Di lapangan masih banyak oknum-oknum yang melakukan pungutan liar terhadap masyarakat dalam mengurus administrasi wakaf. Hal ini
70
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Opini gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah: Pertama, pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, Kedua, pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Penjelasan aturan Hukum tentang Pasal 12 UU No. 20/2001, didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar adalah: Pertama, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Kedua, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sedangkan untuk sanksi diatur dalam pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Permasalahan KUA pun menjadi semakin pelik, karena cakupannya yang bersifat nasional dari Sabang samapi merauke tersebar di seluruh daerah dan peristiwa nikah itu hampir 80 persen itu terjadi pada hari sabtu dan minggu serta hari libur. Inspektur Jenderal Kementerian Agama Moch. Jasin bahkan memperkirakan potensi gratifikasi terkait pernikahan dapat mencapai Rp 1,2 triliun per tahun. Solusi untuk KUA Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut tentunya harus segera dicari pemecahan masalahnya, agar permasalahan KUA tidak semakin mengkristal. Dibutuhkan langkah-langkah strategis dan taktis agar permasalahan KUA dapat segera dibenahi secara sistematis.Tanpa suatu langkah konkrit pembenahan KUA sekaligus perbaikan citra KUA itu sendiri agar KUA tidak lagi menjadi bulan-bulanan opini liar di masyarakat. Menurut Inspektur Jenderal Kementerian Agama bahwa Kementerian Agama sudah menginventarisir jalan keluar atas permasalahan utama tentang pungutan liar di KUA. Setidaknya ada 8 jalan keluar, namun yang paling mungkin dilakukan adalah menetapkan tarif yang sesuai dengan tempat pernikahan atau memberikan petugas KUA insentif. Kedelapan opsi
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
71
Opini tersebut yaitu: Pertama, menggratiskan biaya pernikahan serta semua pencatatan nikah dilakukan di KUA dan di hari kerja. Kedua, menaikkan biaya pencatatan nikah dan pencatatan nikah tetap dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja. Ketiga, membebaskan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transportasi local kepada para penghulu sesuai dengan Standar Biaya Masukan yang berasal dari APBN sebesar Rp.110.000,- atau dengan perhitungan at cost kepada penghulu yang diberikan setiap peristiwa nikah yang dilaksanakan di luar KUA. Keempat, menaikkan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transportasi local kepada para penghulu sebesar Rp.110.000,- untuk setiap pencatatan pernikahan di luar kantor.
Kelima, membebaskan biaya pencatatan nikah dan memberikan uang transportasi local, honorarium untuk penghulu yang menjadi wali nikah dan memberikan khutbah nikah dengan perhitungan Standar Biaya Keluaran yang diberikan per perlaksanaan tugas di luar KUA dimana dana tersebut dibebankan pada APBN. Keenam, menaikkan biaya pencatatan pernikahan dan memberikan uang transportasi local dan uang lembur sesuai dengan SBM kepada para penghulu yang melakukan tugas tidak hanya sebagai pencatat nikah. Ketujuh, tarif biaya nikah tidak dinaikkan atau tetap Rp.30.000,- dan bagi penghulu yang melaksanakan tugas di luar kantor diberikan uang transportasi lokal dan jasa profesi sesuai dengan SBK apabila yang bersangkutan melakukan tugas khutbah
Menag, Irjen dan Sekjen bersama kepala KUA menerima penghargaan sebagai KUA Penggiat Anti Gratifikasi
72
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Opini nikah dan menjadi wali. Kedelapan, membebaskan tariff pencatatan biaya nikah dan bagi penghulu yang melaksanakan tugas di luar kantor diberikan biaya transportasi local sebesar Rp.110.000,- atau at cost. Bagi penghulu yang memberikan khutbah nikah maupun menjadi wali diberikan biaya profesi sebesar Rp.390.000,-. Namun, menurut Inspektur Jenderal Kementerian Agama bahwa Kementerian Agama ingin mengambil opsi yang paling berpihak di masyarakat. Diantara 8 solusi yang diusulkan, 2 di antaranya yang paling mungkin dilakukan, yaitu usulan ketujuh dan usulan kedelapan. Usulan ketujuh tidak perlu mengubah PP Penerimaan Negara Bukan Pajak, biaya pernikahan tetap Rp 30 ribu apabila nikah dilaksanakan di kantor (KUA). Apabila nikah di luar kantor dibiayai Rp 110 ribu, ditambah dengan jasa profesi Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu, jadi tidak genap Rp 500 ribu. Akan tetapi semisalkan, yang bersangkutan selain menikahkan, diminta untuk ceramah juga, mengisi pengajian juga, jadi bisa diberikan uang jasa profesi Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu. Sedangkan untuk usulan solusi kedelapan adalah membebaskan biaya administrasi pernikahan di KUA. Sebagai gantinya, Kementerian Agama memberikan insentif petugas KUA yang bekerja di hari libur dan biaya pernikahan ditanggung APBN. Solusi kedelapan ini menunjukkan niat Kementerian Agama dalam keberpihakan kepada publik. Untuk biaya penghulu yang menikahkan di luar hari kerja, dari pemerintah akan diberikan Rp 110 ribu untuk wilayah Jawa, kemudian terdapat real
cost terutama untuk daerah pegunungan dan kepulauan yang harus menyeberang laut. Yang keseluruhan biaya tersebut diatas diharapkan dapat dibebankan pada APBN. Kini bukan saatnya lagi membiarkan KUA menjadi bulan-bulanan opini liar di masyarakat. Memang tidak dapat dipungkiri masih terdapat oknum-oknum di KUA yang menyalahgunakan jabatan dengan memasang tarif dalam menikahkan yang tentunya memperburuk citra KUA. Tapi juga tidak boleh dipungkiri bahwa penghulu pada KUA juga merupakan sebuah profesi yang juga membutuhkan sebuah penghargaan atas jasa yang diberikan. Jadi sebenarnya yang dibutuhkan adalah sebuah legalisasi atas imabalan yang memang sudah semestinya diterima oleh penghulu. Pembenahan dan penataan KUA hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia jika tidak dibarengi dengan payung hukum yang melandasi. Sekarang ini “bola” ada di tangan para legislatif dan para eksekutif untuk memberi respon dan segera mengambil langkah kebijakan atas alternatif solusi yang telah diusulkan oleh Kementerian Agama. KUA merupakan tanggung jawab semua pihak dan bukan hanya tanggung jawab Kementerian Agama. KUA yang baik hanya akan menjadi sebuah angan-angan belaka apabila kita semua tidak berupaya bersamasama untuk menata KUA. Pihak internal KUA itu sendiri ataupun pihak eksternal memiliki tanggung jawab yang sama merubah citra KUA yang pada akhirnya akan berpengaruh pada citra Kementerian Agama. Tanpa itu semua pembenahan dan penataan KUA hanya akan seperti menata angin.[]
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
73
Hikmah Pengawasan Melekat Malaikat Raqib dan ‘Atid Oleh: Purwanto “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya. Dan, Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Ingatlah ketika malaikat mencatat perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisi-Nya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat”. (QS. Qaaf: 16-18)
F
irman Allah yang tersurat dalam al-Qur’an Surat Qaaf: 16-18 di atas jelas mengisyaratkan atas Kemahakuasaan dan Kemahatahuan Allah SWT atas segala perbuatan hambanya, baik yang bersifat sirrun (tersembunyi) maupun dzaahirun (jelas). Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa segala perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia senantiasa te-record (tercatat) oleh Malaikat Raqib dan Atid tanpa ada satu pun yang terlewatkan. Dalam al-Qur’an surat Qaaf [50:18] Allah juga berfirman:
74
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
ِ ُ ﴿ما یـل ِْف ِ ﴾قیب َعتی ٌد َ ٌ ظ م ْن قـَْو ٍل إِالَّ لَ َدیْه َر “Tiada suatu ucapan pun (baik atau buruk) yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Raqib dan Atid (malaikat pengawas yang selalu hadir).” (Qs. Qaaf [50]:18) Menurut sebagian riwayat, seperti riwayat yang dikutip dari Imam Ja’far asShadiq, “Bagi setiap orang terdapat dua Malaikat yang menulis apa pun yang diucapkan oleh manusia dan kemudian menyerahkan catatan itu kepada dua maliakat yang lebih tinggi darinya dimana
Hikmah dua malaikat itu memisahkan ucapanucapan baik dan buruk dan masing-masing menulis secara terpisah kedua ucapan itu.”[ al-Mathba’at al-‘Ilmiyah, Qum. Cetakan Kedua, 1402 H.]. Mengambil hikmah dari ayat alQur’an dan riwayat di atas, bahwa manusia diciptakan di dunia dibekali dengan perilaku manusia di dunia . Apa peran Malaikat Pengawas? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Allah SWT telah menciptakan malaikat dari cahaya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: “Malaikat telah diciptakan dari cahaya.” (HR. Muslim). T u g a s (pekerjaan) mereka adalah mereka mengurus alam semesta ini sesuai perintah (iradah) dan masyi’ah (kehendak) Allah SWT. Dan mereka, para malaikat, tidak akan melakukan sesuatu kecuali dengan perintah Allah SWT. Diantara tugas/amal para Malaikat adalah selalu bertasbih dan tunduk secara total dan sempurna kepada Allah swt., turun membawa wahyu, dan mencatat semua amal. Allah swt. menerangkan tentang hal ini kepada kita sebagai mana ayat berikut: “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi
(pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS: Al-Infithar: 10-12) Di banyak riwayat menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki dua petugas pencatat amalan-amalan manusia yang bernama Raqib dan ‘Atid yang senantiasa menyertai manusia hingga ia akhir hayatnya. Karena itu, pada setiap orang terdapat dua malaikat yang menyertainya, Raqib dan ‘Atid. Hal itu sesuai perkataan Imam Shadiq AS, bahwa penyertaaan dua malaikat ini atas manusia menjadi sebab supaya para hamba dalam menaati Allah SWT dan menjauhi maksiat lebih berhati-hati dalam amalan-amalan dan tindakan-tindakannya. Boleh jadi manusia berpikir ingin melakukan maksiat dan dosa, namun dengan mengingat kedudukan dua malaikat tersebut maka ia tidak lagi ingin melakukan dosa dan berkata, “Tuhanku melihatku dan para penjagaku akan memberikan kesaksian atasku.” Kita tahu bahwa malaikat adalah makhluk Allah yang selalu taat dan tidak pernah berbuat maksiat. Maka sebagai orang yang beriman kepada adanya para malaikat, kita berusaha untuk mencontoh kepatuhan mereka dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Di samping itu kita sendiri yakin Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
75
Hikmah bahwa di sebelah kiri dan kanan kita selalu ada Malaikat yang senantiasa mencatat perbuatan baik dan buruk kita tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dengan demikian pengawasan melekat (Waskat) pun bisa kita artikan sebagai pengawasan malaikat yang sudah pasti akurat dibanding pengawasan melekat yang dilakukan atasan langsung, karena tidak ada tendensi apapun kecuali hanya taat menuju kepatuhan yang hakiki, yakni kepatuhan kita dalam mengabdi pada Ilahi Rabbi untuk selalu taat pada perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam surat Al-Infithar ( QS. 82:1012), Allah SWT juga berfirman yang artinya “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dari uraian di atas sudah terang dan jelas bahwa semua perilaku manusia di muka bumi ini selalu terpantau dan tercatat oleh kehadiran kedua Malaikat pencatat amal yang selalu memantau gerakgerik kita. Sehingga hisab Allah SWT di yaumil hisab nanti sudah haqqul yakin adanya tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun, karena di situlah lembaga peradilan yang sejati (tempat mencari keadilan hakiki). Pengawasan dalam perspektif Islam Dimensi pengawasan (controlling) bisa dilaksanakan secara eksternal maupun internal, namun yang paling efektif adalah yang datang dari diri sendiri sebagai
76
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
tanggung jawab pribadi kita masingmasinhg. Sebagaimana sering kita dengar dalam setiap taushiyah, nasehat yang berbunyi Ittaqillaha haitsu maa kunta (bertaqwalah kepada Allah dimanapun anda berada). Takwa dan takut kepada Allah swt tidak mengenal waktu dan tempat juga tidak mengenal posisi dan jabatan seseorang. Ketakwaan dan perilaku manusia harus selalu didasarkan
pada prinsip keimanan, ke-Islaman dan ke-ihsanan Di samping itu, kita sendiri yakin bahwa di kiri kanan kita ada malaikat yang selalu mencatat perbuatan baik dan buruk kita tanpa ada yang terlewat sedikitpun. Maka waskat pun bisa kita artikan sebagai pengawasan malaikat yang sudah pasti akurat dibanding pengawasan melekat yang dilakukan atasan langsung.
Hikmah
"Janganlah pernah kalian menyangka kalian dapat menyembunyikan seluruh perbuatan kalian dari pantauan Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mukminin. Karena dalam waktu dekat perbuatan cela kalian akan terungkap, di dunia ini.” Dijelaskan dalam surat Al Infithaar (QS. 82:10-12) Allah swt berfirman: “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikatmalaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Oleh karena itu, fungsi pengawasan dalam Islam muncul dari pemahaman tanggung jawab individu, amanah dan keadilan. Islam memerintahkan setiap individu untuk menyampaikan amanah yang diembannya, jabatan merupakan amanah
yang harus dijalankan. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (An-nisa’. 4:58). Menunaikan amanah merupakan kewajiban dari setiap pegawai orang, mereka harus fokus dan bertanggung jawab atas pekerjaannya, selalu mengevaluasi diri sebelum dievaluasi oleh orang lain, dan merasa Allah dan Malaikat-Nya selalu mengawasi setiap aktivitas seseorang. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW: “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolaholah engkau melihat-Nya, jika tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat engkau”. Dan juga sabda Rasul SAW yang berbunyi: “Evaluasilah diri kalian, sebelum kalian dievaluasi”. Revitalisasi Fungsi ‘Mawas Diri’ Menuju Pribadi yang Bertanggung Jawab Pengawasan terhadap diri sendiri (inner control) bagi setiap pribadi senantiasa akan menjauhkan akan memberikan efek evaluasi diri sendiri, sehingga hal itu akan mencegah berbagai penyimpangan dan berlaku tidak adil dalam mengemban amanah, dan menuntunnya konsisten dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Dalam surat at-Taubah difirmankan: “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
77
Hikmah Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 9: 105) Ayat ini merupakan ancaman bagi para orang munafik dan penentang perintah Allah SWT bahwa, "Janganlah pernah kalian menyangka kalian dapat menyembunyikan seluruh perbuatan kalian dari pantauan Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mukminin. Karena dalam waktu dekat perbuatan cela kalian akan terungkap, di dunia ini. Selain itu, pada Hari Kiamat kelak kalian akan berurusan dengan Allah SWT yang mengetahui batin dan seluruh perbuatan yang kalian lakukan secara sembunyi-sembunyi.” Ada suatu riwayat yang mengatakan bahwa pengetahuan Rasulullah terhadap amal perbuatan umatnya tidak terbatas pada masa hidup beliau saja, melainkan saat ini pun beliau tengah memantau amal perbuatan umatnya. Begitu pula dengan orang-orang mukmin, orang yang ikhlas, serta para wali Allah yang suci dan maksum juga memiliki kemampuan yang sama, bahkan setelah mereka meninggal, dengan izin Allah SWT, mereka dapat mengetahui amal perbuatan manusia. Hikmah dari ayat di atas terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik, yaitu (1). Mengingatkan kita bahwa seluruh amal perbuatan senantiasa di awasi Allah SWT, sehingga langkah terbaik adalah menjauhkan diri dari dosa dan menjaga jiwa dan takwa kita. (2). Kita merasa malu perbuatan buruk kita dilihat dan diawasi
78
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
orang banyak, seharusnya kita lebih merasa malu amal perbuatan buruk kita langsung diawasi oleh Allah SWT. Manusia sebagai hamba Allah, pada dasarnya diciptakan dalam keadaan suci (fithrah) terbebas dari noda dan dosa. Namun setelah sekian lama hidup dan berinteraksi dengan sesama makhluk dan lingkungan, maka sadar atau tidak sadar manusia telah banyak melakukan kesalahan sehingga
mengakibatkan timbulnya dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Allah sendiri telah memberikan perangkat akal dan nafsu kepada manusia agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, tidak jarang akal manusia dikendalikan oleh nafsunya, sehingga
Hikmah timbullah dosa yang pada akhirnya keluar dari fitrahnya yang suci itu. Prinsip mawas diri memberikan efek early warning bagi setiap manusia untuk senantiasa berprilaku sesuai perintah dan aturan yang dibenarkan oleh Allah SWT. Menurut Ibnu Athaillah, nafsu itu adalah sumber segala bencana. Dalam Al-Hikam, Ibnu Athaillah berkata “Asal usul maksiat, syahwat dan kealpaan adalah kerelaan kita
kepada nafsu”. Maksiat adalah tindakan yang menyimpang dari perintah Allah dan melanggar larangan-Nya. Sedangkan menuruti hawa nafsu berarti menyalurkan kompensasi atau suatu keinginan yang cenderung kearah kesenangan. Oleh karena itu, rela menuruti hawa nafsu memiliki tanda-tanda sebagai berikut
yaitu; (1). Melihat kebenaran menurut selera dirinya. (2). Memanjakan nafsu dan memejamkan mata dari aib-aib nafsu itu sendiri, sehingga jauh dari penyucian jiwa. Adapun asal usul ketaatan, mawas diri, dan sadar diri adalah ketidakrelaan terhadap ajakan hawa nafsu”. Tanda-tanda ketidakrelaan kita kepada nafsu antara lain; (1). Curiga pada siasat nafsu, waspada pada bahayanya. (2). Menekan hawa nafsu pada berbagai kesempatan. Oleh karena itu, sikap curiga terhadap setiap langkah kita agar tidak terjerumus hawa nafsu merupakan bagian dari ‘mawas diri’ yang harus kita lakukan setiap beraktivitas. Karena dalam banyak aspek, kita seringkali tidak menyadari berbagai keputusan yang kita ambil dalam setiap tindakan kita. Tipu daya nafsu harus kita sadari dapat menyusup kapan saja dan dimana saja. Tanpa adanya sifat curiga dan mawas diri maka kita akan cenderung sangat akomodatif, bahkan pada taraf tertentu kita bisa dikatakan terpesona dan memandang dengan penuh hasrat sehingga kitapun kemudian terjebak, tertipu, dan terjerumus dalam lubang nafsu dan maksiat. Hal ini sesuai perkataan Abu Hafs Al-Haddad bahwa “Siapa yang tidak curiga terhadap nafsunya sepanjang waktu; tidak menentangnya dalam semua perilaku; tidak menekannya setiap hari, maka orang itu telah terpedaya (terkena tipu daya )”. []
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
79
Resensi Pencegahan Korupsi melalui Sentuhan ‘Qalbu’ dan Pendalaman Agama Judul Buku : Penerbit : Tahun :
A
gama seringkali hanya menjadi label (identitas) yang di’semat’kan pada seseorang kalau dirinya adalah umat penganut agama tertentu. Namun, tindakan (perilaku) kita seringkali tidak sesuai dengan tuntutan dan norma yang diajarkan oleh agama kita masing-masing. Tak ayal lagi, kalau image negatif sebagai bangsa yang semua penduduknya wajib beragama, namun perilaku korupsi sebagian penduduknya ‘tak kepalang tanggung’. Menurut pemberitaan website TEMPO. CO, (Kamis, 11/07/2013), dengan mengutip rilis yang dikeluarkan oleh Lembaga Transparency Internasional Indonesia (TII), bahwa Indonesia berada di empat negara terbawah dalam urutan tingkat korupsi. Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang 80
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) (Modul Agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama 2013
dilansirnya, Indonesia berada di angka 32. Indeks persepsi korupsi ini merupakan indikator gabungan yang mengukur tingkat persepsi korupsi dari negara-negara di ASEAN. Hal ini sungguh sangat ironi dan mencegangkan kita semua, entah harus dari mana kita mulai menata kembali bangsa kita yang sudah terjangkit akut dengan virus korupsi. Namun, masih ada jalan dan kesempatan untuk menata kembali bangsa kita menjadi bangsa yang adil, makmur dan sejahtera. Buku Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) lintas agama terbitan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama tahun 2013 terdiri dari 5 (lima) modul, yaitu PPA Modul Agama Islam, PPA Modul Agama Kristen, PPA Modul Agama Katholik, PPA
Resensi Modul Agama Hindu, dan PPA Modul Agama integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi Budha merupakan program ‘monumental’ (WBK). Buku tersebut juga dilengkapi Itjen Kemenag untuk berikhtiyar menuju dengan dalil-dalil naqli yang diambil dari Kementerian yang bebas dari korupsi dan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits. gratifikasi. Dalam buku PPA Modul Agama Kristen, Dalam pendahuluan Buku PPA dijelaskan dalam bagian kesatu halaman Modul Agama Islam dijelaskan bahwa 10, bahwa masukan-masukan (ajaran) program PPA merupakan pengembangan keagamaan yang dominan seseorang peran konsultan di bidang pengawasan sangat mempengaruhi nilai-nilai hidup yang ditetapkan dalam program capacity dan kehidupannya. Karena orang yang building dalam rangka menanamkan nilai- mempunyai nilai-nilai keagamaan yang baik, nilai agama sebagai kekuatan moral untuk kokoh, dan kuat akan menjadikanya semakin membangun semangat dan budaya kinerja kuat dan taat kepada ajaran Tuhan Yesus aparat Kementerian Agama sesuai dengan Kristus dan kehidupannya penuh dengan visi dan misinya. cinta kasih. Buku setebal 372 halaman dan terdiri Menurut ajaran agama Katholik dari 11 (sebelas) bagian ini pengertian dan sebagaimana dijelaskan dalam buku PPA sejarah perkembangan PPA, tujuan, fungsi Modul Agama Katholik pada Bab Keempat dan sasaran PPA, asas, prinsip dan metode tentang PPA dan Budaya Kerja (hal: 115), pelaksanaannya, PPA sebagai moral dan bahwa yang menjadi perhatian Rasul spiritual force, serta kajian tentang hakikat Paulus adalah manusia memiliki potensi manusia sebagai aparatur negara yang yang harus dimaksimalkan dengan baik. berbudaya kerja dan berintegritas luhur Potensi yang ada harus dimaksimalkan dan dalam menyongsong pembangunan zona diwujudkan dalam hasil yang nyata. Sebagai orang kristiani sejati, setiap orang harus ikut
Buku setebal 120 halaman dan terdiri dari 5 (lima) bagian ini berusaha mengarahkan umat pemeluk agama Kristen, terutama yang mengabdi sebagai aparatur negara untuk senantiasa mendalami dan mempraktikkan ajaran agama Kristen yang penuh dengan cinta dan kasih dengan cara menjadikan ajaran agama Kristen sebagai spirit dalam membangun budaya kerja yang baik dan berintegritas, serta menjauhi sifat-sifat tercela dan tindakan korupsi. Sehingga semua umat Kristen harus tersinari ajaran Tuhan Yesus Kristus dalam setiap jejak langkahnya. Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
81
Resensi “menggarami dan menerangi dunia” lewat tindakan dan perkaataannya. Melalui buku PPA Modul Agama Katholik, umat Katholik diajak untuk selalu memberi makna pada setiap pekerjaan yang dilakukannya. Sebagaimana dalam LE 6 ditegaskan bahwa manusia adalah tujuan terakhir dari setiap kerja. Kerja tidak boleh berhenti pada dirinya sendiri (in se), melainkan kerja pertama-tama adalah “demi manusia” dan bukan “manusia demi kerja”. (hal: 112-113). Sementara menurut Agama Hindu, bahwa Sang Hyang Widhi selalu mengawasi dan melindungi alam semesta sebagaimana dijelaskan dalam Bhagavadgita (IX.10) “Alam semesta ini dibawah pengawasan prakritiKu menjadikan segala sesuatu yang bergerak dan yang tidak bergerak, wahai putra Kunti, dengan ini dunia berputar.” (Buku PPA Agama Hindu:hal. 71). Oleh karena itu, tindakan yang menyimpang mungkin saja disebabkan oleh manusia yang tidak percaya bahwa Sang Hyang Widhi berada di alam semesta sebagai pengawas sekaligus pelindung. Padahal tidak ada tempat yang tidak dikuasai-Nya. Ia mengawasi perilaku hewan dan tumbuhan serta perilaku benda –benda mati sekalipun. (Buku PPA Agama Hindu: hal.170). Adapun menurut ajaran agama Budha, manusia yang mengabdi sebagai aparatur negara harus selalu memerankan fungsi pengawasan terutama dalam dirinya sendiri. Manusia hendaknya selalu mempraktikkan samma sati (selalu sadar penuh), maka setiap langkah dan tindakan harus disadari sepenuhnya, baik perbuatan sendiri maupun perbuatan teman sekerja, sehingga setiap perbuatan yang menyimpang dengan segera dapat diketahui, dan dapat dilakukan langkah82
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan III 2013
langkah pencegahan atau pemberantasannya (Buku PPA Agama Budha: hal.22). Mengutip Dhammapada Bab.XII, Atta Vagga Syair 161 dijelaskan bahwa “Oleh diri sendiri perbuatan jahat dilakukan, lahir didalam diri sendiri dan diciptakan oleh diri sendiri. Kejahatan mengikis orang yang tidak bijaksana, seperti intan mengikis batu permata yang paling keras” (hal.20). Dengan program PPA yang dicanangkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, diharapkan satuan kerja (satker) yang dibina (sebagai pilot project) harus bisa menjadi ‘teladan’ dan nihil temuan, terutama tentang kerugian negara atau penyalahagunaan wewenang. Karena pada dasarnya program PPA adazah bagian dari pengawasan preventif yang pesertanya para pejabat dan paham tentang ajaranajaran agamanya masing-masing. Tujuan pelaksanaan PPA adalah bagaimana program ini mampu merubah pola pikir (mindset) seseorang atau aparatur negara yang akhirnya mampu meningkatkan disiplin (etos kerja) serta mampu bekerja sesuai regulasi yang berlaku. Program PPA yang dikemas dengan berbagai metode yang menyenangkan dan menuntut partisipasi aktif peserta baik dalam hal diskusi pendahuluan, sosialisasi, pendampingan serta evaluasi yang didukung pemanfaatan teknologi multi media, forum diskusi kelompok, film bersifat motivasi, dan ice breaking yang menyegarkan diharapkan menjadi pilot project Itjen Kemenag sehingga nantinya bisa ditiru oleh lembaga atau kementerian lain, karena belum ada kementerian lain yang mempraktikkan program PPA selain Kementerian Agama. [] (Agus Salim)
Resensi
Fokus Pengawasan Nomor 39 Tahun X Triwulan II1 2013
83