Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca reformasi bergulir di Indonesia, salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah semakin sentralnya peran kepala daerah dalam penyelengaraan pemerintahan. Sebagai contoh dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain memiliki tugas dan wewenang untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, kepala daerah juga memiliki tugas dan wewenang penting lain yakni :
a. mengajukan rancangan Perda;
b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
d. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
e. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
1/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
f. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengingat peran sentral kepala daerah pada era reformasi tersebut maka menjadi konsekuensi logis apabila cara atau sistem pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu strategis yang mendapat perhatian serius. Bahkan tidak kurang konstitusi hasil amandemen mengulas secara eksplisit masalah ini. Dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis .
Perubahan mendasar dalam semangat dan sistem ketatanegaraan kita terkait dengan cara dan sistem pemilihan kepala daerah kemudian ditindaklanjuti tingkat regulasi yang lebih rendah. Pasca reformasi telah 2 (dua) undang-undang yang mengatur mengenai otonomi daerah khususnya berkenaan dengan pemilihan kepala daerah yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila dicermati secara seksama terdapat dua problematika yang saling berhimpitan yakni terkait dengan aspek kapasitas dan akseptabilitas dari kepala daerah dari hasil pemilihan. Dalam berbagai dokumen ditegaskan bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya dimaksudkan untuk menyelesaikan problematika tersebut. Sebab kepala daerah hasil pemilihan oleh DPRD seringkali memiliki masalah dalam kaitan akseptabilitas. Terkesan ada jarak yang antara kepala daerah dengan masyarakat karena faktor cara memilihnya. Timbul stigma bahwa kepala daerah hanya mengurus anggota DPRD dan agak mengesampingkan masyarakat.
Dalam perjalanan sistem pemerintahan daerah terkini, dapat diidentifikasi bahwa apa yang dirancang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup. Problematika seputar pemilihan kepala daerah tidak hanya terkait dengan masalah akseptabilitas dan kapabilitas. Masih ada problematika-problematika lain yang sifatnya lebih kompleks karena menyangkut sistem dari pemerintahan daerah itu sendiri. Problematika tersebut adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kekurangan mendasar dalam daerah menempatkan otonom provinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota yang pada akhirnya akan berujung pada bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara memilihnya. Untuk mencermati problematika ini kita perlu menelaah pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa :
(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah
2/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden.
Pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana tersebut di atas secara jelas menyatakan bahwa dengan menempatkan gubernur sebagai wakil Pemerintah di provinsi maka secara otomatis posisi provinsi juga bukan hanya berstatus sebagai daerah otonom saja tetapi juga merupakan wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah. Dalam khasanah akademik, posisi provinsi dalam sistem pemerintahan daerah dapat dikategorikan sebagai Unit Antara pemerintahan. Karakteristik khas dari unit antara dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berkenaan dengan pelaksanaan aktivitas dekonsentrasi ketimbang aktivitas desentralisasi. Sebagai implikasinya, Unit Antara lebih berorientasi pada aktivitas manajerial dan berfokus pada efisiensi. Selain itu, Unit Antara lebih banyak mencerminkan aspek dekonsentrasi ketimbang aspek desentralisasi. Oleh karena itu, pada Unit Antara, atau dalam kasus Indonesia adalah pada lingkup provinsi, aspek elektoral dalam proses pemerintahan kurang diberi tekanan. Ini artinya dengan gubernur dipilih langsung tidak selaras dengan posisi provinsi sebagai wilayah kerja gubernur sebagai wakil Pemerintah (Unit Antara).
Dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa tentunya harus ada perbedaan cara pemilihan antara gubernur dengan bupati/walikota terkait tingkat elektorasi masing-masing. Dari perspektif lokal dan teoritis, wajar apabila bupati/walikota dipilih secara langsung mengingat karakteristik kabupaten/kota sebagai Unit Dasar yang merupakan jenjang pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Kedekatan ini, pada gilirannya, akan menjadikan pemerintahan daerah tersebut diharapkan untuk paling akuntabel, paling responsif, paling efisien dan paling efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, melaksanakan pembangunan daerah, dan menjamin kesinambungan efektivitas pemerintahan nasional. Adapun gubernur perlu dipilih dengan metode yang berbeda dengan bupati/walikota selain karena memang tingkat elektorasi yang berbeda, juga secara substansi karena posisi provinsi sebagai unit antara sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya.
Problematika kedua dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah terkait dengan diskursus posisi wakil kepala daerah. Selain terkait dengan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ini juga membawa sebuah diskursus baru mengenai posisi wakil kepala daerah, apakah merupakan posisi political appointee yang merupakan satu paket dengan kepala daerah atau jabatan administrative appointee sebagai jabatan karir. Secara eksplisit bunyi pengaturan dalam Pasal 18 ayat (4)
3/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
UUD 1945 menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah gubernur, bupati, dan walikota. Dalam kaitan ini muncul diskusi menarik, apakah jabatan gubernur, bupati, dan walikota itu adalah satu jabatan tunggal atau satu paket meliputi dengan wakilnya. Apabila kita gunakan pendekatan formalistik pada apa yang tertulis dalam Pasal 18 (ayat) 4 UUD 1945, jelas ayat dimaksud memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan pemilihan kepala daerah saja tanpa menyebut jabatan wakil kepala daerah. Ini artinya Gubernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan tunggal untuk kepala daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. UUD 1945 pada dasarnya bersifat litterlijk sehingga apa yang tertulis itulah yang merupakan norma. Penafsiran ini sesuai dengan kenyataan bahwa UUD 1945 selalu menyatakan secara eksplisit posisi jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan. Sebagai contoh jabatan Wakil Presiden itu dinyatakan secara tegas, kemudian Menteri , Duta Besar , dan lainnya. Dengan demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk mengatur jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah.
Tidak tepat apabila diskursus mengenai posisi wakil kepala daerah ini hanya berkutat pada penafsiran pengaturan tertulis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tentunya selain karena alasan yang lebih mengarah pada pendekatan semantik, juga terdapat alasan lain yang lebih filosofis untuk melakukan reposisi terhadap wakil kepala daerah. Sebelumnya telah diulas bahwa dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, posisi provinsi merupakan sebuah unit antara pemerintahan sebagai wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gubernur merupakan alter ego Presiden yang ada di daerah tanpa ada lagi pembagian kewenangan kepada subyek lain. Ini selaras dengan pengalaman di beberapa negara yang memiliki unit antara dalam susunan dan bentuk pemerintahan daerah, tidak dikenal lagi posisi wakil wakilnya Pemerintah . Gubernur, sebagai wakil Pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat guna melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dengan demikian pendekatan ini dapat menjadi bahan pemikiran mengenai posisi Wakil Gubernur sebagai administrative appointee karena merupakan salah satu unit dari perangkat gubernur dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Berkaitan dengan posisi wakil bupati dan wakil walikota perlu dilihat dari pendekatan kontruksi organisasi pemerintahan yang saat ini sedang berjalan. Apabila dilihat dari kontruksi yang ada saat ini dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan daerah di Indonesia pada tingkatan kabupaten/kota melaksanakan pola strong mayor system . Hal ini dapat dilihat dari struktur organisasi pemerintahan di kabupaten/kota yang terbagi dalam dua elemen yakni elemen bupati/walikota sebagai elemen eksekutif yang merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota dan elemen DPRD sebagai lembaga yang melakukan pengawasan (checks and balances) pelaksanaan pemerintahan yang dijalankan oleh bupati/walikota. Menurut pengalaman negara lain yang melaksanakan strong mayor system,
4/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
seperti misalnya Kota Virginia di Amerika Serikat, jabatan politik (political appointee) yang ada di daerah setingkat kabupaten/kota hanyalah jabatan mayor atau walikota tanpa didampingi oleh wakil walikota. Dalam pelaksanaan tugasnya mayor dibantu oleh perangkat administratif dibawah pimpinan petugas (officer) yang dikenal dengan istilah chief of administrative officer. Dengan demikian timbul pemikiran bahwa untuk posisi wakil bupati/wakil walikota diarahkan untuk menempati posisi chief of administrative officer sehingga kontruksi pemerintahan daerah yang sudah ada menjadi selaras dengan sistem yang dianutnya.
Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada definisi normatif dalam UU No 32 Tahun 2004, maka unsur otonomi daerah adalah :
1. Hak.
2. Wewenang.
3. Kewajiban Daerah Otonom.
Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus sendiri, urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam UU NO 32 Tahun 2004 yang dimaksud hak dalam konteks otonomi daerah adalah hak-hak daerah yang dijabarkan pada Pasal 21 Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak: 1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. 2. Memilih pimpinan daerah. 3. Mengelola aparatur daerah. 4. Mengelola kekayaan daerah. 5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah. 6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. 7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah. 8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan wewenang dalam konteks otonomi daerah, maka daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
5/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka 6 UU No 32 Tahun 2004) berhak mengurus urusan pemerintahanya, urusan pemerintahan yang tertulis pada Pasal 12 UU No 32 Tahun 2004 memberikan panduan, yaitu: (1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. (2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Selanjutnya urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah di daerah otonom didasarkan pada asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 7 UU No 32 Tahun 2004). Urusan Pemerintahan ini ada yang diklasifikasi menjadi urusan wajib dan dalam konstruksi UU No 32 Tahun 2004 ada urusan wajib berskala provinsi dan berskala kabupaten, sebagaimana diatur pada Pasal 13.
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan. b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. d. penyediaan sarana dan prasarana umum. e. penanganan bidang kesehatan. f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota. i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota. j. pengendalian lingkungan hidup. k. pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota. l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil. m .pelayanan administrasi umum pemerintahan. n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya untuk urusan pemerintahan skala kabupaten Pasal 14. (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan. b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. d. penyediaan sarana dan prasarana umum. e. penanganan
6/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
bidang kesehatan. f. penyelenggaraan pendidikan. g. penanggulangan masalah sosial. h. pelayanan bidang ketenagakerjaan. i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah. j. pengendalian lingkungan hidup. k. pelayanan pertanahan. l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil. m. pelayanan administrasi umum pemerintahan. n. pelayanan administrasi penanaman modal. o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya. p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Untuk melaksanakan kewenangan wajib tersebut, maka daerah otonom dalam melaksanakan otonomi daerah pada Pasal 22 yang menyatakan : Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan. e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan. f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. h. mengembangkan sistem jaminan sosial. i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah. k. melestarikan lingkungan hidup. l. mengelola administrasi kependudukan. m. melestarikan nilai sosial budaya. n. membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kepemimpinan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Persoalan kepemimpinan dan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka berkisar pada lima pilar tata kelola pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu :
Pilar Pertama, Demokrasi melalui PILKADA Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005 ini, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat.
Pilar Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM), Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM yang diperlukan Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill),
7/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan dan fungsinya. Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-sia.
Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Namun moral yang baik belumlah cukup, harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian. Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif dan cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pilar Ketiga, Kebijakan Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah. Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya. Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi dan misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan.
Pilar Keempat, Sistem Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat. Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan. Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif.
8/9
Naskah Akademis tentang Perubahan RUU Pemda Oleh : Muhammad Imam Wahyudi Rabu, 01 Agustus 2012 08:08
Pilar Kelima, yaitu Investasi. Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan. Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.
Untuk mengawal lima pilar tata kelola pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, UU No 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya, memberikan panduan, yaitu asas-asas pengelolaan tata pemerintahan yang baik, sebagaimana dimaksud Pasal 20. (1). Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: a. asas kepastian hukum. b. asas tertib. penyelenggara negara. c. asas kepentingan umum. d.asas keterbukaan. e. asas proporsionalitas. f. asas profesionalitas. g. asas akuntabilitas. h. asas efisiensi. i. asas efektivitas. (2). Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3). Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
9/9