BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Peraturan Daerah atau Perda merupakan produk hukum yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah yakni untuk Pemerintah Daerah Provinsi dibentuk oleh Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi dan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota. Perda sebagai produk hukum daerah merupakan bentuk hukum yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum. Substansi dari perda tersebut haruslah merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan kekhususan masing-masing daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum. Dalam masyarakat daerah, peraturan daerah dibentuk dengan tujuan mengatur masyarakat daerah secara umum, agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan
agar
dapat
mendukung
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI Tahun 1945) menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
1
2
undang. Hal ini berarti negara mengakui adanya pemerintahan di daerah yang diawali dengan adanya suatu desentralisasi. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) tersebut masih bersifat umum, tetapi mengenai bentuk dan susunan Pemerintah Daerah itu belumlah diketahui, karena segala sesuatunya akan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang yakni Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), (selanjutnya disingkat UU No. 32 Thn 2004).1 Pada pasal ini juga menekankan pemerintah diwajibkan
melaksanakan
asas
desentralisasi,
dekonsentrasi
dan
tugas
pembantuan yang semuanya diatur dengan Undang-Undang organik.2 Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), selanjutnya disingkat UU No. 23 Thn 2014 maka UU 32 Thn 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kembali. Penulis tetap mempergunakan UU No. 32 Thn 2004 sebagai objek dan materi kajian mengingat UU No. 23 Thn 2014 baru saja berlaku dan masih berada pada masa transisi menuju ke UU No. 23 Thn 2014. Selain itu dengan belum dibentuknya peraturan pelaksana dari UU No. 23 Thn 2014 maka akan terjadi kekosongan hukum agar hal ini tidak terjadi maka dengan berbagai pertimbangan penulis tetap mempergunakan UU No. 32 Thn 2004 sebagai materi pengaturannya. 1
Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom Adminstratif, Bandung CV. Armico, h. 24. 2
dan Wilayah
Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE, h. 16.
3
Salah satu dampak positif berkembangnya ide otonomi daerah adalah menguatnya eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai produk legislatif daerah yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan daerah mendapat payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang (Wet) di tingkat pusat, dilihat dari ruang lingkup materi muatan, cara perumusan, pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis) peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) serta daya berlakunya sebagai norma hukum. Dalam pembentukan Perda, ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh pihakpihak yang terlibat agar Perda tersebut memberikan hal yang positif bagi masyarakat daerah. Perda sebagai produk hukum di daerah, hendaknya mampu mengarahkan masyarakat daerah ke arah yang lebih baik dan mampu mengayomi masyarakat. Jika disimak pendapat dari Meuwissen yang menyataan bahwa hukum mempunyai keberlakuannya apabila mampu berlaku secara sosiologis, berlaku secara yuridis dan berlaku secara moral.3 Perda yang baik hendaknya mencerminkan aspek filosofis yang berkaitan dengan prinsip bahwa Perda akan menjamin keadilan, sosiologis berkaitan dengan harapan bahwa Perda yang dibentuk merupakan keinginan masyarakat daerah, dan yuridis berkaitan dengan harapan bahwa Perda memenuhi dan menjamin kepastian hukum seperti halnya pembentukan Undang-undang.4
3
B. Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan, Refika Aditama, Bandung, h. 46-47.
4
Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), (selanjutnya disingkat UU PPPU) menentukan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Selain materi muatan yang terkandung pada setiap pembentukannya, Perda dalam pembentukannya juga harus memuat asas yang telah diatur dalam Pasal 5 UU PPPU, dan Pasal 137 UU No. 32 Thn 2004. Apabila Perda tersebut mengandung unsur bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum maka Pemerintah dapat membatalkan suatu Perda tersebut. Pembatalan suatu Perda merupakan kewenangan Pemerintah dalam kaitannya dalam melaksanakan proses pengawasan kepada Daerah. Pengawasan terhadap Perda ini lahir dari kewenangan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya mengenai Peraturan yang dibuat Daerah. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terdapat dua bentuk yakni, pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif melalui tahap evaluasi kepada Rencana Perda (Ranperda) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah dan 4
Bagir Manan, 1991, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, h. 14. (Selanjutya disebut Bagir Manan I).
5
retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang yang didasarkan pada UU No. 32 Thn 2004. Pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah dan retribusi daerah, serta Peraturan Daerah tata ruang Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur, sedangkan pengawasan preventif terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah tata ruang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri. Sementara pengawasan represif dilakukan oleh Pemerintah terhadap seluruh Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang pada dasarnya sesudah dilakukannya pengawasan preventif. Telah banyak peraturan daerah yang dibatalkan, pembatalan ini dikarenakan seperti yang tertuang dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 lama, Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih tinggi seperti
Undang-undang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan bertentangan dengan kepentingan umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
6
Menurut Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, serta Pasal 145 ayat (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Hal ini diperjelas kembali dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4593), (selanjutnya disingkat PP 75 Tahun 2005). Pasal 37 ayat (4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. Pada Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004, apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya, dan dengan Pasal 40 ayat (2) PP 79 Tahun 2005. Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1) dan tetap menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan
7
kepala daerah, Mendagri dapat membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri. Sama halnya dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang dibahas sebelumnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, (selanjutnya disingkat Pemendagri 1 Thn 2014) Pasal 80 ayat (3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda dan/atau peraturan gubernur, Mendagri membatalkan Perda dan peraturan gubernur dengan Peraturan Menteri. Proses pembatalan ini merupakan tahapan evaluasi yang dilakukan oleh Mendagri kepada Daerah Provinsi. Proses evaluasi ini dilakukan terhadap Raperda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang. Pada Pasal 90 ayat (3) Hasil klarifikasi Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri. Ayat (4)
Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan Permendagri. Proses ini merupakan tahapan klarifikasi terhadap Perda Provinsi. Proses klarifikasi ini dilakukan terhadap Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang. Dimana pada tahap ini Mendagri dapat membatalkan Perda dengan mengacu pada Pasal 90 ayat (3) dan (4) Permendagri 1 Thn 2014 yang menyatakan Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila tidak sesuai dengan hasil evaluasi maka Perda dimaksud dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.
8
Pasal 91 ayat (4) apabila pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil klarifikasi terkait pembatalan perda, maka Mendagri mengajukan permohonan kepada Presiden untuk membatalkan Perda. Jika kita lihat sebenarnya kewenangan pembatalan Perda tetap berada pada Presiden. Sehingga dapat kita teliti produk hukum pembatalan Perda yakni, Peraturan Presiden terhadap seluruh Perda. Pembatalan Perda tersebut merupakan bagian dari kewenangan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah, baik pengawasan secara preventif maupun pengawasan secara represif. Sehingga dalam asas desentralisasi Pemerintah Daerah tidak lepas dari Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Daerah masih tetap dalam kontrol dari Pemerintah Pusat. Karena asas desentralisasi tidak berarti daerah dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri tetapi tetap pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pembatalan perda berkaitan pengawasan secara represif terdapat dua model pembatalannya yang dilakukan oleh pemerintah pusat. 1. Pembatalan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden terhadap seluruh perda tanpa terkecuali. 2. Pembatalan oleh Mendagri dengan Permendagri terhadap Raperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan perda tata ruang provinsi dalam proses evaluasi dan pada tahap
klarifikasi bentuknya sudah
Perda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan perda tata ruang provinsi.
9
Hal inilah yang mendasari adanya dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi yang mana dua lembaga yang berada pada ranah eksekutif memiliki kewenangan untuk membatalkan perda. Karena seperti yang kita ketahui perda tersebut tidak ada pembedaan baik dalam perencanaan, penyusunan hingga pengundangannya, namun dalam pembatalannya terdapat perbedaan pembatalan oleh pemerintah pusat, yakni berkaitan pada tahap klarifikasi yang bentuknya sudah menjadi Perda dan merupakan proses pengawasan secara represif yang pada UU No. 32 Thn 2004, PP No. 79 Thn 2005 dan Permendagri 1 Thn 2014 merupakan kewenangan Presiden dan juga kewenangan Menteri Dalam Negeri sebagaimana yang diatur pada Permendagri 1 Thn 2014. Ketika terjadi permasalahan berkaitan dengan Pembatalan Perda yang melibatkan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, yang masing-masing memiliki penafsiran berbeda akan sebuah Perda serta untuk menemukan suatu kejelasan maksud daripada suatu Perda, diberikan suatu upaya penyelesaian dengan mengajukan keberatan terhadap pembatalan perda oleh pemerintah pusat kepada Mahkamah Agung. Pengajuan keberatan terhadap Perda yang dibatalkan oleh pemerintah pusat tersebut ke Mahkamah Agung sebagai upaya untuk memperoleh keadilan serta penafsiran yang tepat mengenai Perda yang dibatalkan oleh Presiden. Dengan diajukannya keberatan pembatalan perda ke Mahkamah Agung akan memberikan kejelasan tentunya berkaitan pembatalan yang sejatinya pertimbangan dalam pembatalan suatu Perda serta apakah memang benar-benar perda tersebut melanggar ketentuan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 atau tidak terjadi pelanggaran terhadap Pasal tersebut, serta menolak pembatalan perda
10
yang dilakukan oleh Presiden. Mahkamah Agung bukan hanya menguji keberatan tetapi juga berwenanga menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang termasuk Perda ketika bertentangan dengan peraturan perundangundangan di bawah Undang-undang. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah hukum ini dalam bentuk tesis yang berjudul : “DUALISME PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
PROVINSI
DENGAN
PERATURAN
PRESIDEN
DAN
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini yakni berkaitan dengan : 1. Bagaimanakah pengaturan pembatalan Perda Provinsi yang dilakukan dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Dalam Negeri? 2. Apakah akibat hukum pembatalan Perda dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Dalam Negeri? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Mengenai ruang lingkup permasalahan ini berkaitan dengan pembatalan Perda, Perda yang dimaksudkan adalah Perda Provinsi yang dibatalkan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden dan Perda APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah serta tata ruang yang dibatalkan oleh Mendagri pada proses evaluasi dan klarifikasi melalui Permendagri yang mengacu pada Pasal Pasal 145 ayat (3) UU
11
No. 32 Thn 2004, Pasal 37 ayat (4) PP 79 Tahun 2005, serta Pasal 91 ayat (4) Permendagri No. 1 Tahun 2014 serta Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004, Pasal 40 ayat (2) PP 79 Tahun 2005 dan Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 90 ayat (3) Permendagri 1 Thn 2014, untuk melihat pengaturan, kejelasan, kepastian serta prosedur pembatalan hingga akibat hukum dibatalkannya Perda tersebut. Kewenangan Mendagri tidak hanya pada proses preventif yakni berkaitan dengan evaluasi Ranperda bahkan juga represif dengan proses klarifikasi yang mana seharusnya untuk tindakan represif yakni berkaitan denggan pembatalan perda merupakan kewenangan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum a. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. b. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum. c. Untuk mengetahui adanya dualisme Pembatalan Perda Provinsi. d. Untuk memberikan penjelasan terhadap adanya dualisme tersebut. e. Untuk memberikan pemahaman terkait
akibat
hukum
adanya
pembatalan Perda. 1.4.2. Tujuan Khusus a. Untuk
mengetahui
sejauhmana
kewenangan
pengaturan
oleh
pemerintah pusat pembatalan terhadap Perda Provinsi. b. Untuk mengetahui alasan pembatalan Perda Provinsi sebagai upaya pengawasan dalam negara kesatuan.
12
c. Untuk mengetahui sejauhmana upaya yang dapat ditempuh Pemerintah Daerah Provinsi akibat adanya suatu pembatalan Perda Provinsi. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis a. Dapat
mengetahui
hubungan
antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dalam bentuk negara kesatuan b. Dapat mengetahui bentuk hukum serta akibat hukum pembatalan Perda Provinsi. c. Dapat mengetahui dasar kewenangan pembatalan Perda serta upaya yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Daerah Provinsi akibat adanya suatu pembatalan Perda. 1.5.2. Manfaat Praktis a. Dapat dijadikan sumber berkaitan penelitian mengenai pembatalan Perda. b. Dapat memberikan pemahaman dalam penyusunan dan pembentukan perda sehingga tidak lagi suatu perda tersebut dibatalkan. c. Dapat memberikan penjelasan kepada Pemerintah Provinsi berkaitan upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap pembatalan Perda tersebut. 1.6. Orisinalitas Penelitian Berkaitan mengenai Peraturan Daerah (Perda) sebenarnya sudah pernah diteliti oleh beberapa penulis yang menjadikan Perda sebagai kajian permasalahan hukumnya, namun penulis juga berupaya menjadikan Perda sebagai objek permasalahan yang akan diteliti. Permasalahan berkaitan dengan Perda yang
13
penulis teliti ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya seperti : 1. Tesis yang ditulis oleh Putu Novarisna Wiyatna dengan judul “Wewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” dalam tesis ini mengangkat permasalahan : a. Bagaimanakah bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah tentang Retribusi? b. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap keputusan pembatalan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah? Jika melihat dari judul serta rumusan masalah yang diteliti tersebut berbeda dengan yang akan penulis teliti mengingat pada tesis tersebut menekankan kepada bentuk hukum pembatalan Perda serta mengenai tindakan hukum yang dapat dilakukan pemerintah daerah ketika dibatalkannya Perda yang telah dibuat tersebut. Sedangkan penulis lebih menekankan kepada terjadinya dualisme pembatalan Perda dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Dalam Negeri serta lembaga manakah yang berwenangan membatalkan suatu Perda. 2. Tesis yang ditulis oleh I Made Sutama dengan judul “Pengawasan Pemerintah Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung dibidang lingkungan hidup, dalam tesis ini mengangkat permasalahan :
14
a. Bagaimanakah
Pmerintah
Daerah
mengatur
kewenangan
pengawasan dalam penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung dibidang lingkungan hidup? b. Apakah fungsi pengawasan telah dilaksankan dalam menegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung dibidang Lingkungan Hidup? c. Kendala-kendala
apakah
yang
dihadapi
dalam
melaksankan
pengawasan pada penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung diidang lingkungan hidup? Permasalahan yang diteliti penulis pada tesisnya sangat berbeda dengan apa yang akan penulis buat, meningat pada tesis tersebut menekankan kepada upaya penegakan Peraturan Daerah sementara penulis akan menekankan mengenai pembatalan Perda serta lembaga manakah yang berwenangan membatalkan suatu Perda. 3. Tesis yang ditulis oleh I Ketut Suta dengan judul “Kajian sanksi paksaan pemerintahan dalam penegakan Peraturan Daerah tentang bangun-bangunan di Kota Denpasar. Dengan permasalahan yang diteliti yakni : a. Apakah yang menjadi dasar hukum dari kewenangan Pemerintah Kota Denpasar untuk menerapkan sanksi paksaan pemerintahan dalam penegakan Peraturan Daerah Kota Denpasar dibidang bangunbangunan? b. Upaya perlindungan hukum apa yang dapat dan telah ditempuh para pihak terhadap penerapan sanksi paksaan pemerintahan dalam
15
penegakan Peraturan Daerah Kota Denpasar dibidang bangunbangingan yang dirasakan merugikan. Permasalahan yang diteliti dari tersebut juga berbeda dengan apa yang akan penulis teliti. Mengingat pada tesis tersebut menekankan kepada pelaksanaan paksaan pemerintahan dalam menegakan Peraturan Daerah mengenai bangunbangunan dan bukan mengenai pembatalan Perda yang akan penulis teliti. 4. Tesis yang ditulis oleh Ni Ketut Adiani dengan judul “Pergeseran wewenang membentuk Peraturan Daerah setelah perubahan UndangUndang Dasar Negara Tahun 1945”. Pada tesis ini mengakat masalah : a. Elemen-elemen/unsur-unsur apakah yang mengalami pergeseran berkaitan dengan wewenang membentuk Peraturan Daerah? b. Apakah implikasi konstitusional dan ketatanegaraan dari pergeseran elemen-elemen wewenangan membentuk Peraturan Daerah? Tesis inipun berbeda dengan apa yang akan penulis teliti mengenai permasalahan hukumnya. Pada tesis ini menekankan pada pembentukan Perda setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sementara penulis akan meneliti permasalahan hukum mengenai Pembatalan Perda, yang dimana antara peermasalahan hukum yang akan penulis teliti sangat berbeda dengan tesis tersebut. 1.7. Landasan Teoritis Untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas pada tesis ini dipergunakanlah beberapa teori, konsep, asas serta pandangan dan pendapat para ahli hukum sebagai pisau analisis untuk mengkaji serta memberikan argumentasi
16
bahkan memberikan pembenaran berkaitan dengan permasalahan tersebut. Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan abstraksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja. 5 Asas-asas hukum berfungsi memberikan pedoman bagi suatu perilaku, sekalipun tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asasasas hukum menjelaskan dan menjastifikasikan norma-norma hukum, yang di dalamnya terkandung (bertumpu) ideologi tertib hukum.6 Teori, konsep, dan asas yang dipergunakan untuk membahas permasalah tersebut seperti : 1. Negara Hukum 2. Pertanggaan Peraturan Perundang-undangan 3. Teori Kewenangan 4. Asas Desentralisasi 5. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 6. Konsep Pengawasan 7. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan 1.7.1. Negara Hukum Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan pendapat Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan7 bahwa:“Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang secara kekal menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan 5
Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung, h.
19-22. 6
Herlin Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.82. 7
Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, h.
92.
17
kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”. Selanjutnya pada penegasan Kelsen, yang menganggap negara sebagai komunita hukum bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu selain korporasi yang berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya)”.8 Negara hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyebut dengan istilah rechtstaat, sedangkan A.V. Dicey yang merupakan ahli hukum Anglo Saxon menyebut dengan istilah rule of law.9 Unsur dari Rechstaat : a. Adanya perlindungan hak asasi manusia. b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika. c. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid van bestuur). d. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Sedangkan Rule of Law seperti yang diungkapkan oleh A.V. Dicey, unsurnya : 1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya berdasarkan pada hukum. 2. Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). 3. Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu yang didasarkan pada Konstitusi (the constitution based on individual rights).10
8
Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia Jakarta, h. 226. 9
Meriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 113. 10
A.V. Dicey, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, h. 251-261.
18
Selanjutnya Ridwan yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge dalam W. Riawan Tjandra, menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dalam negara hukum11, yaitu: 1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang formal. 2. Perlindungan hak asasi; 3. Pemerintah terikat pada hukum; 4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah. 5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum yang dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka. Dengan kenyataan bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut prinsip “Negara hukum yang dinamis” atau Welfare State, maka dengan sendirinya tugas pemerintah Indonesia begitu luas. Pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat baik dalam bidang politik maupun dalam sosial dan ekonominya. Konsep negara hukum selanjutnya berkembang menjadi dua sistem hukum yakni, sistem hukum eropa kontinental dengan istilah rechtsstaat dan sistem anglo saxon (rule of law).12 Konsep Negara hukum,
11
W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 12-13.
19
Pemerintah memiliki fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan bukan berarti Pemerintah dapat bertindak sewenang-wenang sebab Negara hukum
(rechtstaat) sebagaimana
yang
disebutkan oleh Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burken : “Adalah Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum“.13 Hal ini dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa tujuan dari pada hukum ialah “Untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara“.14 Mengingat Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum yang dianut Indonesia bukanlah negara hukum dalam artiaan formal melainkan negara hukum dalam artian materiil yakni negara kesejahteraan (welfarestate). Konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia yakni negara hukum Pancasila. Negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono adalah suatu kehidupan bangsa Indonesia atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas
12
Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Pblisher, Jakarta, h. 162. 13
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.18. (Selanjutnya disebut Ridwan H.R. I). 14
Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Fungsi Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 2.
dan
Perkembangan
Hukum
dalam
20
dalam arti merdeka, berdaulat, adil dan makmur yang didasarkan atas hukum baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis sebagai wahana untuk ketertiban dan kesejahteraan
dalam
arti
menegakan
demokrasi,
perikemanusiaan
dan
perikeadilan.15 Kemudian untuk menindak lanjuti apa yang dimaksudkan UUD NRI Tahun 1945 maka setiap tindakan harus didasarkan atas hukum. Hukum disini harus telah diatur untuk itu hukum disini bentuknya tertulis dan tidak tertulis. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dalam konsep negara hukum, asas legalitas merupakan unsur yang utama dalam sebuah negara hukum. 16 Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.17 Selanjutnya menurut Sri Soemantri, ada 4 (empat) hal yang dapat dijumpai dalam suatu Negara Hukum, yakni: 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan atau peraturan perundangundangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterilije control).18 Negara hukum merupakan dasar suatu negara dalam melaksanakan tindakan yang menempatkan asas legalitas sebagai dasar tindakan dari suatu 15
Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta, h.153-
155. 16
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h.59. (Selanjutnya disebut A. Mukthie Fadjar I). 17
H. Mustamin DG. Matutu, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h 8. 18
Sri Soemantri M, 1992, Bunga rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni, Bandung, h.29-30.
21
negara. Dalam melaksanakan pemerintahan Pemerintahan Indonesia yang menggambarkan negara hukum haruslah sesuai dengan unsur-unsur yang telah dikemukakan tadi, sehingga nantinya apabila pemerintah daam melaksankan tindakannya dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan memiliki dasar pembenaran, maupun ketika tindakannya itu menyimpang dapat diajukan suatu upaya hukum sebagaimana unsur dari negara hukum lainnya yakni peradilan administrasi, sebagai suatu lembaga yang diberikan kepada masyarakat untuk melawan serta memperoleh keadilan ketika berhadapan dengan negara. konsep negara hukum ini sendiri erat kaitannya dengan asas legalitas yang memberikan dasar serta kepastian akan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah serta memudahkan masyarakat untuk mengontrol tindakan pemerintah tersebut apakah telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Adanya peradilan administrasi merupakan suatu bentuk pengawasan yang dilaksanakan oleh lembaga yudikatif yang dalam hal ini merupakan tujuan daripada adanya suatu pengawasan. Pengawasan dalam rangkan pelaksanaan pemerintahan yang berada pada bidang eksekutif dilaksanakan oleh pemerintah pusat sebagai bagian adanya pelaksanaan desentralisasi. Sehingga kepada daerah dengan adanya desentralisasi tidak berarti daerah bisa bertindak semuanya mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang dimana dalam suatu negara tidak ada negara lagi yang berbeda dengan negara federal. Oleh karenanya maka pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada daerah yang dimana erat kaitannya dengan fungsi peradilan dalam hal ini pengawasan.
22
Pengawasan ini dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah daerah tetap berada dalam koridor NKRI yang mana walaupun daerah diberikan kewenangan dan kebebasan untuk mengurus sendiri rumah tangga pemerintahanya namun tidak lantas pemerintah daerah bebas tanpa batas. Pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah tetap harus dalam koridor NKRI dan di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka pembinaan terhadap pemerintahan daerah agar terwujud good government. Dasar hubungan antara pusat dan daerah adalah bahwa pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenang pemerintahannya kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga daerah (otonom).19 Selanjutnya agar wewenang yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah agar tidak disalahgunakan, maka digunakan instrumen pengawasan. Diana Halim Koencoro, menyebutkan pengawasan dalam perspektif HAN adalah mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki penyimpangan yang terjadi (represif).20 Secara harfiah, pengawasan/kontrol mengandung arti penilikan dan penjagaan; pengawasan (umum) berarti pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap segala kegiatan pemerintah daerah. Dalam bahasa Inggris pengawasan disebut dengan “controlling” (yang berarti pengawasan, termasuk didalamnya ada pengendalian).
19
Widodo Ekathahjana, 2008, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan Sistem Peradilannya di Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta, h. 39. 20
S.F.Marbun 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press Jogjakarta, h. 267. (selanjutnya disebut S.F. Marburn I).
23
Pengawasan atau kontrol ini dapat dibedakan atas pertama kontrol yang bersifat intern dan kontrol bersifat ekstern. Kontrol intern disini diartikan bahwa pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri. Bentuk kontrol semacam ini dapat digolongkan dalam jenis teknis-administratif atau disebut pula built-in control.21 Dan jenis kontrol yang kedua adalah kontrol yang bersifat eksternal yaitu kontrol yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal terjadinya persengketaan atau perkara dengan pihak Pemerintah. Pengawasan juga dapat dibedakan dari dua sisi, yaitu pengawasan dari sisi saat/waktu pelaksanaan dan pengawasan dari sisi obyek. a. Pengawasan dari sisi saat/waktu Control priori dan control a-posteriori. control priori dilakukan bilamana pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu putusan atau ketetapan pemerintah atau pun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi wewenang Pemerintah. Sedangkan dalam control aposteriori dilakukan bilamana pengawasan itu baru dilakukan sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan Pemerintah atau sesudahterjadinya tindakan/perbuatan Pemerintah.22 b. Pengawasan dari sisi objek Kontrol dari sisi hukum (rechmatigheidstoetsing) dan kontrol dari sisi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing). Kontrol dari sisi hukum ini pada prinsipnya menitikberatkan pada segi legalitas, yaitu penilaian tentang sah atau tidaknya suatu perbuatan pemerintah. Sedangkan kontrol dari sisi kemanfaatan 21
Widodo Ekathahjana, Op.Cit, h. 41
22
Ibid
24
disini ialah pada prinsipnya menilai perbuatan pemerintah berdasarkan benar tidaknya perbuatan tersebut dari segi pertimbangan kemanfaatannya, khususnya dalam kerangka pencapaian kesejahteraan masyarakat.23 Khusus terkait dengan pengawasan terhadap satuan pemerintahan otonomi, Bagir Manan menyatakan ada dua model pengawasan terkait yaitu pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht).24 Kedua model pengawasan ini ditujukan berkaitan pengawasan produk hukum yang dihasilkan daerah maupun pengawasan terhadap tindakan tertentu dari organ pemerintahan
daerah,
yang
dilakukan
melalui
wewenang
mengesahkan
(goedkeuring) dalam pengawasan preventif maupun wewenang pembatalan (vernietiging) atau penangguhan (schorsing) dalam pengawasan represif. Bila dikaitkan dengan model pengawasan di atas dengan implementasi pengawasan peraturan daerah sebagai salah satu produk penyelenggaraan pemerintahan otonomi, maka model pengawasan preventif ini dilakukan dengan memberikan pengesahan atau tidak memberi (menolak) pengesahan Perda yang disusun oleh Pemerintah Daerah. Menurut hemat penulis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah merupakan pengawasan internal yang hanya berada pada ranah eksekutif. 1.7.2. Pertanggaan Peraturan Perundang-undangan Berkembangnya teori hukum berjenjang (stufenbou theory) tidak dapat dipisahkan dari tiga nama ahli hukum, yaitu Adolf Merkl, Hans Kelsen, dan Hans
23
Ibid, h. 42
24
Ibid, h. 43.
25
Nawiansky.25
Mengenai
teori
pertanggan
Peraturan
Perundang-undangan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan “stufenbou theorie yang menganut aliran hukum murni”.26 Menurut Hans Kelsen norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki yang dimana norma hukum yang lebih rendah itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi, norma hukum yang lebih tinggi itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya hingga akhirnya sampai kepada norma yang tidak dapat lagi untuk ditelusuri lagi pembentukannya yakni norma dasar (grundnorm).27 Berdasarkan teori tersebut mengklasifikasikan bahwa norma yang ada pada suatu negara yakni berjenjang, berlapis-lapis dimana norma yang paling tinggi adalah norma yang menjiwai setiap norma lain yang berada pada tingkatan yang lebih rendah. Norma yang paling tinggi itu disebut grundnorm dan norma yang paling rendah disebut dengan norm. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU PPPU Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
25
Imam Soebechi, 2012, Judicial Review Perda Pajak Dan Retribusi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 147. 26
Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press Citra Media, Jakarta-Yogyakarta, h. 50-53. (Selanjutnya disebut Jazim Hamidi I). 27
Maria Farida Indrati S., 2012, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Cet. 13, Kansius Yogyakarta, h.26-27. (Selanjutnya disebut Maria Farida I).
26
UUD NRI Tahun 1945 merupakan suatu grundnorm yang menjadikan konstitusi sebagai suatu produk hukum tertinggi yang dijadikan sumber tertinggi dari suatu peraturan perundang-undangan. Menurut Wheare “Constitutions as primarly and almost exclusively a legal document in which, therefore, there is a place for rules of law but for practically manifiesto, a confenssion of faith, a statement of charter of the land”.28 Sehingga peraturan yang lebih tinggi kedudukannya harus menjiwai peraturan yang lebih rendah dan peraturan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam
pertanggaan
Peraturan
perundang-undangan
akan
terlihat
kedudukan Perda sebagai bagian dari suatu peraturan perundangan yang diakui dalam hukum Indonesia. Dengan diletakannya Perda sebagai bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan maka perda tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga apabila terjadi pertentangan maka sudah sewajarnya perda tersebut dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku. Dimana jika dinalisis dengan teori ini akan diketahui letak dari hirarki suatu Perda serta untuk melihat terjadinya pertentangan Perda tersebut dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dengan alasan tersebut dipergunakanlah teori ini untuk membahas permasalahan tersebut sehingga nantinya akan ditemukan dengan peraturan manakah suatu Perda tersebut bertentangan.
28
KC. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, p. 32.
27
1.7.3. Teori Kewenangan Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara.29 Pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan
(legalitiet
beginselen).30
Tanpa
adanya
kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan, menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, “Yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintahan atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak)”.31 Ateng syafrudin menerangkan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang–undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum
29
HM Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, h 61. 30
Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok HukumAadmiistrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta. h. 49. 31
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta, h.30.
28
dan komformitas hukum”.32 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar. Menurut Philipus M. Hadjon,33 ruang lingkup keabsahan tindakan pemerintahan dan Keputusan Tata Usaha Negara meliputi: wewenang, substansi dan prosedur. Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi legalitas formal. Bagir Manan34 menyatakan : Di bidang otonomi Perda dapat mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang tidak diatur oleh pusat. Di bidang tugas pembantuan Perda tidak mengatur substansi urusan pemerintahan atau kepentingan masyarakat. Perda di bidang tugas pembantuan hanya mengatur tata cara melaksanakan substansi urusan pemerintahan atau suatu kepentingan masyarakat. Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara mengenai keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa hukum ada karena kekuasaan yang sah.35 Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah. 32
Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga”, Surabaya, h. 2. (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I). 33
Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta h.1. (Philipus M. Hadjon II). 34
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Pusat Studi Hukum (PSH) Fak Hukum UII, Yogyakarta h.185-186. (Selnajutnya disebut Bagir Manan II). 35
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 25.
29
Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri (zelfhestuten),36 sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan
sebagaimana
mestinya.
Vertikal
berarti
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan.37 Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.38 Kewenangan yang sumbernya dari peraturan perundang-undangan disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang merupakan sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga negara.39 Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut : 1. Atribusi adalah kewenangan yang diperoleh oleh organ pemerintahan secara langsung dari peraturan perundang-undangan 2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 36
Philipus M. Hadjon I).op.cit, h.79.
37
Ridwan, HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 73. (Selanjutnya disebut Ridwan HR II). 38
Ibid, h. 104.
39
Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher. h.11. (Selanjutnya diesebut Jazim Hamidi II)
30
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.40 Pada Atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Dapat diberi uraian bahwa ketentuan hukum
yang menjadi
dasar dikeluarkannya keputusan
yang
disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha negara (TUN) yang diberi wewenang pemerintah, jadi dasar wewenang tersebut dinamakan bersifat atributif.41 Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Dengan demikian, suatu delegasi selalu di dahului oleh adanya atribusi wewenang, adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu pada waktu mengeluarkan suatu keputusan yang berisi suatu pendelegasian wewenang berdasarkan suatu wewenang pemerintah atributif yang sah atau tidak. Dalam hal mandat, maka tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada, yang ada hanya suatu hubungan intern, pemberi mandat (mandans) menugaskan penerima mandat (mandataris) untuk atas nama mandans melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan Tata
40
Ridwan HR II,op.cit, h. 105.
41
A. Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Bandung, h. 4.
31
Usaha Negara tertentu. Jadi pada mandat, wewenang pemerintahan tersebut dilakukan oleh mandataris atas nama dan tanggung jawab mandans. Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan diperoleh, yaitu pertama, kekuasaan diperoleh melalui attributie. Setelah itu dilakukan pelimpahan dan dilakukan dalam dua bentuk yaitu delegatie dan mandaat. Di sisi lain pelimpahan wewenang pusat kepada daerah didasarkan pada teori kewenangan, yaitu pertama kekuasaan diperoleh melalui atribusi oleh lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan, setelah menerima kewenangan atribusi berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 untuk kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu delegasi dan mandat, delegasi dapat diturunkan kembali hanya sampai pada sub-sub delegasi.42 Dalam hal atribusi tanggung jawab wewenang ada pada penerima wewenang tersebut (atributaris), pada delegasi tanggung jawab wewenang ada pada penerima wewenang (delegans) dan bukan pada pemberi wewenang (delegataris), sementara pada mandat tanggung jawab wewenang ada pada pemberi mandat (mandans) bukan penerima mandat (mandataris). Jika dilihat dari sifatnya wewenang itu dapat dibedakan menjadi tiga yakni : 1. Wewenang yang sifatnya terikat yakni terjadi apabila telah dirumuskan secara jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus dilaksanakan serta telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya diambil. 2. Wewenang fakultatif yakni wewenang tersebut tidak wajib dilaksanakan karena masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat
42
I Ketut Suardita, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Pajak daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, h. 23.
32
dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan pada peraturan dasarnya. 3. Wewenang bebas yakni wewenang yang dapat dilakukan ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata usaha negara untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan diambilnya.43 Kewenangan pembentukan Perda merupakan sumber kewenangan atribusi, karena pembentukan Perda merupakan pemberian atribusi untuk mengatur daerahnya sesuai dengan Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004, di samping itu pembentukan Perda merupakan suatu pelimpahan wewenangan (delegasi) dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.44 Serta pendelegasian kewenangan Pemerintah (Presiden) kepada pembantunya yakni Mendagri dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan daerah. Karena jika kita lihat pada Pasal 145 ayat (2) perda dibatalkan oleh pemerintah, jika kita menafsirkan Pasal 1 angka 1 yang disebut Pemerintahan Pusat adalah Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga yang membatalkan perda adalah Presiden dan bukan Mendagri.
43
Ridwan HR II, loc.cit.
44
Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik Penyusunan), Kansius, Yogyakarta, h. 23. (Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati S. III). Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati II).
33
1.7.4. Asas Desentralisasi Istilah desentralisasi dari bahasa latin “de” yang berarti lepas dan “centrum” yang berarti pusat.45 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepala daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia. Pemberian wewenang ini dimaksudkan untuk dapat menjamin efektifitas maupun efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada warga masyarakat dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan, potensi yang ada serta keanekaragaman daerah, hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam arti ketatanegaraan desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerahdaerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonomi). Desentralisasi ketatanegaraan dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam : 1. Desentralisasi teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom). 2. Desentralisasi fungsional, yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. 46 Konsepsi pemerintahan daerah bukanlah dalam artian sebuah lembaga, melainkan menunjuk pada tempat proses penyelenggaraan urusan atau tugas negara, yakni di daerah sebagai perpanjangan penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah
45
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, h. 89. 46
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, h. 119.
34
Pusat.47 Dalam hal pemerintahan daerah yang menjadi fokus perhatian adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sebagaimana yang ditulis oleh Yamin, bahwa: “Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan itu antara pusat dan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan segala-galanya pada pusat pemerintahan.”48 Setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka untuk menampung aspirasi masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya harus disesuaikan dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial memihak bagi golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh untuk kepentingan masyarakat.49 Otonomi mengandung arti perundangan (regeling), dan pemerintahan (bestuur). Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijke),
bukan
hanya
tatanan
administrasi
negara
(administratiefrechtelijke). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.50 Sebagai konsekwensi pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan local self goverment. Dalam
negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintahan pusat tetap
mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom.51 Dengan demikian
47
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar, h. 37.
48
Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada, h. 92.
49
Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49. 50
Ibid, h. 23.
35
maka daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara nyata dan bertanggung jawab dengan diberikannya hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika kita amati asas desentralisasi ini akan melahirkan adanya otonomi dan tugas pembantuan pada otonomi itu akan melahirkan adanya suatu hak dan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan pada tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Sehingga dengan adanya otonomi dan tugas pembantuan akan melahirkan suatu pemerintahan daerah yang didasarkan pada kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah hingga pada pemerintahan desa. Dalam rangka menjalankan pemerintahan daerah tersebut maka pemerintah daerah akan membentuk suatu peraturan daerah yang dijadikan sumber hukum untuk melaksanakan wewenangnya yang bersumber pada kewenangan atribusi pemerintah pusat yang kemudian di delegasikan kepada pemerintah daerah. Perda sebagai bagian daripada desentralisasi ini merupakan aturan hukum yang termasuk ke dalam Hirarki peraturan perundang-undangan yang materi muatannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
51
Josef Riwo Kaho, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Identifikasi Beberapa yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya), Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada, h.5.
36
1.7.5. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Agar suatu Peraturan Perundang-undangan itu dapat diterima dan berlaku dalam pembentukannya haruslah memenuhi beberapa asas yang menjadi dasar pembentukannya, asas-asas tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Van der Vlies membagi asas tersebut ke dalam asas formal dan materiil. 1. Asas Formal terdiri atas : a. Asas kejelasan tujuan, mencakup ketetapan peraturan perundangundangan dengan kebujakan pemerintah, tujuan khusus peraturan yang dibentuk, tujuan dari bagian yang akan dibentuk. b. Asas kelembagaan/organ pembentuk yang tepat, menetapkan kejelasan organ yang menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut. c. Asas perlunya pengaturan, menentukan alternatif maupun relevansi dibetuknya aturan untuk menyelesaikan permasalahan pemerintahan. d. Asas dapat dilaksanakan, peraturan yang dibuat dapat ditegakan. e. Asas kedayagunaan dan keberhasilgunaan, f. Asas konsensus, kesepakatan rakyat untuk menaati aturan sebagai konskwensi ditetapkannya aturan. 2. Asas materiil terdiri atas : a. Asas terminologi/sistematika yang benar, setiap peraturan dipahami oleh masyarakat. b. Asas pelaksanaan yang sama dalam hukum, hal ini untuk memberikan keadilan dalam praktik pelayanan dan penegakan hukum. c. Asas kepastian hukum, peraturan yang dibuat mengandung aspek konsistensi. d. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual, memberikan penyelesaiaan khusus menyangkut kepentingan individual.52 Pada Pasal 5 UU PPPU, Dalam membentuk Peraturan Perundangundangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; 52
Hamzah Halim, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis Menyusun dan MerancangPeraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 34-35.
37
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan Dalam pembentukan setiap Peraturan Perundang-undangan hendaknya asas
tersebut
menjiwai
setiap
peraturan
perundang-undangan
sehingga
kemungkinan untuk dibatalkannya suatu peraturan perundang-undangan tersebut akan sangat kecil, yang dimaksud pada asas-asas tersebut dapat ditemukan pada Penjelasan Pasal 5. Pertama yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kedua yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Ketiga yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
38
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Keempat yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Kelima yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keenam yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Ketujuh yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
mulai
dari
perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khusus mengenai Perda asas-asas tersebut juga tidak dapat dipisahkan sebagaimana yang tertuang pada Pasal 137 UU No. 32 Thn 2004 Tentang
39
Pemerintahan Daerah Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Asas-asas
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
dapat
dipergunakan sebagai suatu analisis terhadap keterberlakuan suatu peraturan perundang-undangan khususnya Perda untuk menilai apakah suatu Perda tersebut telah memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga dengan dibentuknya Perda tersebut memberikan keadilan, kepastian serta kemanfaatan yang merupakan tujuan dibentuknya hukum. Asas-asas ini juga dapat dipergunakan untuk mengkaji suatu Perda apabila asas-asas ini tidak terpenuhi dalam pembentukan suatu Perda, maka Pemerintah dapat membatalkan Perda tersebut sesuai dengan mekanisme yang diamanatkan dalam Peraturan perundangundangan. Manfaat dari asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik bagi penyusun peraturan perundang-undangan (legal drafter) akan dapat menghasilkan rancangan produk hukum yang memiliki dasar pikiran yuridis yang kuat. Namun perlu disadari juga bahwa legal drafter yang dituntut memiliki
40
pengetahuan
hukum
yang
mendalam
dari
pengetahuan
lainnya
secara
interdisipliner, serta kehatihatian dan kecermatan akan prosedur serta penguasaan akan materi muatan produk hukum yang dirancang. Karena apabila asas-asas diabaikan atau dilanggar dapat berakibat fatal. Yakni peraturan tersebut dinyatakan batal demi hukum , dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dalam rangka pengujian formal dan/atau materiil (judicial review). 1.7.6. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan Hak menguji berasal dari terjemahan Toetsingrechts yang berarti hak untuk menguji atau kewenangan untuk menguji. Jika hak atau kewenangan menguji ini diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan maka akan dikenal dengan istilah dalam bahasa Inggris Judicial Review. Pengertian Judicial Review dapat dilihat dalam kamus hukum yang menyatakan Judicial review is a court’s power to review the action of other branches or levels of goverment, esp, the court power to invalidate legislative an executive action as being un constitutional.53 Mengenai pengujian (toetsingrechts)54 ada dua macam pengujian yakni : 1. Hak menguji formal (formale toetsingrechts), dan 2. Hak menguji material (material toetsingrechts). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti Undang-undang misalnya yang terjelma melalui cara-cara sebagaimana 53
Bryan A, Garner, 1999, Black’s Law Dictionary Seventh Edition, In chief West GruopSt. Paul, Minn, p. 852. 54
Ph. Kleintjes sebagaimana dikutip Sri Soemantri, 1997, Hak Menguji Di Indonesia¸Ed. 2, Alumni, Bandung, h. 1.
41
telah ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku.55 Pengujian formal biasanya lebih kepada menekankan pada kompetensi lembaga yang membentuknya. Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.56 Sebagai kontrol normatif, pengujian dapat dilakukan oleh lembaga pembuatnya atau juga dapat dilakukan oleh lembaga di luar lembaga pembuat peraturan tersebut. Pengujian yang dilakukan oleh lembaga pembuat peraturan tersebut disebut dengan pengujian internal, dan pengujian yang dilakukan oleh lembaga lain dari pembuat peraturan disebut pengujian eksternal. Berkaitan dengan pembentuk peraturan tersebut apabila peraturan tersebut terletak pada legislatif, maka kontrol normatif pengujian tersebut disebut dengan legislatif review, dan apabila pembentuk peraturan tersebut dibentuk oleh eksekutif maka kontrol normatifnya disebut eksekutif review. Berkaitan dengan pengjian yang dilakukan oleh legislatif review dan eksekutif review maka ini disebut dengan pengujian internal. Sedangkan pengujian eksternal dilakukan oleh lembaga lain yakni lembaga yang berwenang melakukan pengujian tersebut adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakkan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah Undangundang terhadap Undang-undang. Sedangkan Mahkamh Konstitusi memiliki kewenangan uji materi Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan 55
Ibid
56
Ibid, h. 11.
42
demikian berkaitan mengenai kewenangan menguji peraturan Perundangundangan ada pada 2 cabang yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan hak pengujian yang dilakukan oleh hakim dalam hal ini Mahkamah Agung, diberikan kewenangan secara atribusi dalam peraturan perundang-undangan yakni Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang dan memiliki kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-undang. Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076) menentukan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. pasal 20 ayat (3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik berhubungan dengan pemerinksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan pemohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359), (selanjutnya disingkat UU MA). (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang.
43
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemerinksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan pemohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Mengingat jika dianalisis Perda merupakan suatu Peraturan Perundangundangan yang diakui dalam hirarki peraturan perundang-undangan kemudian jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Perda tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan Perda tersebut dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung ketika terjadi pemahaman yang berbeda mengenai penafsiran dari pada suatu perda. Perbedaan ini muncul ketika Perda tersebut telah lebih dahulu dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini kaitannya dengan Pembatalan dengan Peraturan Presiden maupun Permendagri. Dengan adanya pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, apabila Pemerintah Daerah keberatan dengan hasil pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dapat mengajukan uji materiil terhadap suatu Perda ke Mahkamah Agung ketika Perda tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang maupun untuk mengetahui serta memberikan kejelasan serta keadilan untuk membuktikan apakah perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
44
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.57 Ada beberapa pengertian penelitian hukum yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya : menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.58 Soetandyo Wignyosoebroto, peneletian hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan.59 Apabila hukum dilihat dari aspek yuridis normatif dan yuridis empiris maka dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu ilmu hukum tentang kaidah, ilmu hukum tentang segi hukum yang dicita-citakan, dan ilmu hukum tentang kenyataan yang hidup di masyarakat. Oleh Morris L. Cohen dan Kent C. Olson hukum dikatakan “The law consits of those recordedrules that society will enforce and the procedures that can implement them”.60 Penelitian hukum itu berdasarkan tujuannya terdiri atas pertama; penelitian hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, 57
Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.38. 58
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18.
59
Ibid.
60
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, St. Paul,
Minn, p.2.
45
penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinskronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. Kedua; penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang mencakup, penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.61 Dalam tesis ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum secara Normatif. Adapun penelitian hukum secara normatif adalah suatu pendekatan masalah yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan Peraturan
Perundang-undangan
yang
digunakan
adalah
terkait
dengan
permasalahan yang dibahas yang kemudian dilakukan pemecahan masalah dengan menganalisa atau mengkaji pengaturan yang berlaku sebagai dasar dari pemecahan masalah. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu hukum memiliki karakteristik yang khas, ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif.62 1.8.2. Jenis Pendekatan Penelitian Hukum Normatif mengenal lima (5) jenis pendekatan yakni: 1. 2. 3. 4. 5.
Pendekatan Undang-undang (The Statue Approach) Pendekatan kasus (cases approach) Pendekatan Sejarah (historical approach) Pendekatan komparatif (comparatif approach) Pendekatan konseptual (conceptual approach)63
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, Pendekatan kasus (cases approach), dan Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach). 61
A. Muktie Fajar dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. h. 153. (Selanjiutnya disebut A. Mukthie Fajar II) 62
Philipus M. Hadjon II, op.cit, h. 11.
63
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana Prenada Media Gruop, Jakarta, h. 93. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I).
46
1. (The Statue Approach) peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait anatara satu dengan yang lainnya secara logis. b. All-inclusive, artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekosongan hukum. c. Systematic, yaitu bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hirarkis. 2. Pendekatan kasus (cases approach), dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam pratik hukum. 3. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach). Pendekatan analitis ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan, dengan begitu peneliti memperoleh gambaran pengertian atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapan secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum. Pendekatan konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analitis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep-konsep bagi suatu fakta hukum.64 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Sumber Bahan Hukum terbagi menjadi dua, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini ditulis dari sumber bahan hukum antara lain: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.65 Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat.66
64
A. Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad II, op.cit, 184-191.
65
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana, Jakarta, h.141. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II).
47
Bahan hukum primer dalam penelitian ini diantaranya : Peraturan Perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas seperti : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan retribusi daerah, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang, Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Permendagri No. 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, dan sebagainya.67 Bahan hukum sekunder juga semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku
teks,
jurnal-jurnal
hukum,
dan
komentar-komentar
atas
putusan
pengadilan.68
66
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke 3, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, h. 52. 67
Ibid.
68
Ibid.
48
3. Bahan Hukum Tertier bahan hukum penunjang yang berupa kamuskamus hukum. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam hal penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum dengan cara membaca, melihat, mendengarkan maupun dengan media internet.
69
Pengumpulan bahan hukum ini
menggunakan teknik Bola salju (snowbaal method)70. Metode bola salju adalah metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka yang berkaitan dengan Pembatalan Peraturan Daerah. 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis menggunakan teknik deskripsi, teknik argumentasi, teknik sistematisasi. Teknik analisis secara deskripsi berarti menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi hukum mengenai pelaksanaan pembatalan perda oleh Mendagri. Teknik argumentasi berarti penilaian harus didasarkan pada alasanalasan yang bersifat penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Berkaitan dengan adanya suatu pertentangan suatu peraturan perundangundangan atau terjadinya konflik norma penyelesaiaannya dapat dilakukan dengan mempergunakan asas preferensi yakni :
69
A. Muktie Fajar dan Yulianto Ahmad II, op.cit, h. 160.
70
I Made Wahyu Candra, 2013, Tesis : Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana, h. 35.
49
1. Lex Specialis Derogat Legi Generalis (Ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum). 2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori (Peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang terdahulu). 3. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (Ketentuan yang lebih tinggi tingkatannya mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah).71
71
Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, h. 59-60.
50
BAB II TINJAUAN UMUM DUALISME PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
2.1. Pengertian Dualisme Dualisme merupakan suatu istilah untuk menunjukan adanya dua perbedaan aliran maupun pemahaman terhadap suatu objek, maupun suatu model penerapan akan suatu objek yang sama namun dipandang dengan cara yang berbeda. Dualisme berasal dari suku kata “dua” dan ditambah dengan akhiran “isme”. Dua berarti bilangan satu dengan satu. Sufiks –isme berasal dari bahasa yunani –ismos. Pada mulanya sufiks –isme memang dipungut dari bahasa asing, ismus, Perancis Kuna –isme, dan Inggris –ism.72 Akhiran ini menandakan suatu faham atau ajaran atau kepercayaan, akan tetapi lambat laun afiks itu menjadi produktif, sehingga bentuk –isme dianggap layak diterapkan juga pada dasar kata Indonesia.73 Sementara berkaitan dengan perda harus dilihat dari kata yang membentuknya yakni peraturan dan daerah. Dualisme menurut kamus Bahasa Indonesia : 1. ajaran yang berdasar dua asas yang bertentangan (seperti kebaikan ada pula kejahatan); 2. Sifat mendua, yaitu satu sama lain saling bertentangan (tidak sependapat).74
72
Hasan Alwi et al., 2003, Tata Bahasa Baku Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 103.
73
Ibid.
51
Dualisme juga berarti : 1. Faham bahwa dikehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan (seperti ada kebaikan ada pula kejahatan, ada terang ada gelap); 2. Keadaan bermuka dua, yaitu satu sama lain saling bertentangan atau tidak sejalan.75 Jika kita kaitkan antara dualisme dengan pembatalan perda akan dilihat bahwa dualisme pembatalan perda merupakan suatu pandangan yang berbeda terhadap suatu model pembatalan perda, dimana kedua model pembatalan perda tersebut tetap berlaku dan dilaksanakan dalam rangka menganalisis suatu perda hingga pada keputusan suatu pembatalan. Dualisme pembatalan perda ini dilihat dari pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri dalam bentuk Permendagri dan Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden. Dalam pembatalan perda yang menjadi objek pembatalan adalah perda Provinsi. Pembatalan yang dilakukan dengan Perpres dan Permendagri ini dapat dikatakan dualisme karena Pembentukan Perda merupakan satu kesatuan dimana proses awalnya dimulai dengan pembentukan ranperda hingga menjadi suatu perda. Proses pembentukan Ranperda kemudian dibatalkan oleh Mendagri dengan Permendagri sementara perda itu sendiri dibatalkan oleh Presiden dengan peraturan Presiden hal inilah yang dimaksudkan dengan dualisme yang seharusnya tidak terjadi pembedaan dalam proses pembatalannya dan dilakukan
74
W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, h.303. 75
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dualisme, diakses 8 Agustus 2014
52
oleh organ pemerintahan yang sama dan dengan bentuk hukum yang sama apakah Perpres ataukah Permendagri. 2.2. Pemerintahan Daerah Sejarah tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1948.76 Perkembangan tentang pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah terutama mengalami perubahan adalah sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dimana di dalam UndangUndang tersebut telah dicanangkan tentang penekanan pemberian otonomi kepada Daerah Tingkat II dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar isi dan prosedur pembentukannya tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan hukum nasional, maka terhadap Perda perlu diadakan pengawasan. Dalam
hirarkhi
peraturan
perundang-undangan
Indonesia,
Perda
merupakan bentuk hukum terakhir dimana menurut UU No. 32 Thn 2004, pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden (dengan Peraturan Presiden). Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat 1 ini menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang menurut C.F. Strong negara kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah satu
76
P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah Dan Pelaksanaanya, Tarsito, Bandung, 1982, h. 1.
53
pemerintahan pusat.77 Dalam rangka menjalankan pemerintahan dalam kaitannya melakukan pemerataan pembangunan pemerintah pusat memberikan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk lebih mengoptimalkan serta mengefisiensikan serta mempercepat pembangunan. Dasar hukum otonomi daerah adalah Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang mengamanatkan Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyerahan kewenangan kepada daerah ini tidak lagi pemerintahan yang sifatnya sentralistik yang hanya terpusat oleh pemerintah pusat semata dengan bergesernya kewenangan serta daerah diserahi tugas untuk mengatur daerahnya prinsip desentralisasi ini menjadi sangat penting sehingga akan melahirkan otonomi daerah dan prinsip tugas pembantuan. Desentralisasi dalam arti Self goverment menurut Smith dalam Khairul Muluk berkaitan dengan adanya subsidi teritori yang memiliki self goverment melalui lembaga politik yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yurisdiksinya.78 Maksudnya bahwa pemilihan anggota DPRD serta kepala daerah merupakan suatu cermin dari adanya pemilihan yang demokratis yang rakyat di daerah tersebut yang memilih siapa saja wakil serta kepala daerahnya. Meningat Kepala daerah dan DPRD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Desentralisasi
merupakan
pengalihan
kekuasaan
secara
hukum
untuk
77
C. F. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA Teamwork, penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, h. 87. 78
Smith, dalam Kharul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia Publishing, Malang, h. 8.
54
melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.79 Penyerahan urusan pemerintahan menjelaskan bahwa desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi, dengan kata lain bahwa desentralisasi merupakan pengotonomian menyangkut proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. 80 Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Thn 2004, telah membawa perubahan besar dalam setiap segmen penyelenggaraan pemerintahan daerah
sebagaimana
yang
diungkapkan
Soekarwo
Dasar
Pertimbangan/Konsideran huruf (a) UU No. 32 Thn 2004 sebagaimana dapat dilihat bukunya dalam Akmal Boedianto81. Dalam penjelasan umum UU No. 32 Thn 2004 juga menegaskan bahwa: Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan negara.
79
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, h. 117. (Selanjutnya disebut Juanda II). 80
Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 8. 81
Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 1.
55
Pada hakekatnya desentralisasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 32 Thn 2004 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah yang tertuang pada Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Thn 2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga desentralisasi merupakan wewenang pemerintahan yakni berkaitan dengan pendelegasian kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan kekhususan yang dimiliki oleh daerah tersebut, sementara otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban daerah untuk melaksankan pemerintahan tersebut sehingga dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah secara bertanggung jawab mengelola urusan pemerintahan yang telah didelegasikan tersebut secara penuh tanggung jawab. Dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut munculnya tugas pembantuan yang berarti penugasan pemerintah yang secara langsung kepada daerah hingga langsung pada pemerintahan desa berkaitan dengan tugas tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 32 Thn 2004 Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam hal pemberian otonomi kepada daerah tentu berimplikasi pada berhaknya tiap-tiap daerah dalam
56
mengurus dan mengatur sendiri pemerintahan daerah secara otonom atau mandiri, salah satu implikasi yang menjadi titik berat disini adalah di mana daerah diberi hak untuk membentuk dan menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah. Otonomi daerah diadakan bukan hanya untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, namun juga merupakan cara untuk memelihara negara kesatuan.82 Otonomi berarti pemerintahan sendiri (Autos = sendiri, Nomos = aturan)83. Sehingga otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgiving) atau pemerintahan sendiri (zelfbestuur).84 Dalam perkembangan sejarah di Indonesia otonomi juga mengandung arti perundangan (regeling) dapat juga berarti pemerintahan (bestuur). Jadi pada dasarnya urusan pemerintahan otonomi adalah bersifat pelayanan,85 karena itu otonomi merupakan titik balik pergeseran pemerataan pembangunan serta untuk meningkatkan daerah ke arah yang lebih baik jika pemerintahan di daerah mampu mengelola dengan baik kewenangannya dengan menciptakan suatu program-program yang sangat diharapkan oleh masyarakat di daerah karena daerah tidak lagi menunggu pusat yang memberikan pelayanan, mengingat dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah lebih cepat serta lebih mengetahui kebutuhan daerahnya karena awalnya semua bermula dari daerah. 82
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Hukum UII, Yogyakarta, h. 3. (Selanjutnya disebut Bagir Manan III). 83
Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 6.
84
Abdurahman 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, h. 9. 85
Bagir Manan III, op.cit, h. 247.
57
Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban yang melekat pada otonomi daerah tersebut pemerintahan daerah selaku penyelenggara urusan pemerintahan yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD bersama-sama melakukan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka 2 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan dari pembentukan pemerintahan daerah dapat dilihat dari aspek pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Unsur pemerintahan daerah yakni Pemerintah Daerah pada tingkat provinsi yang terdiri dari Gubernur dan pada tingkat kabupaten/kota yakni Bupati/Walikota dan unsur lainnya yakni DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.dalam kaitannya menjalankan pemerintahan daerah dengan prisip asas desentralisasi, otonomi dan tugas pembantuan dengan tujuan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya daerah dapat membentuk suatu produk hukum daerah yakni berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. Dalam Pasal 2 produk hukum daerah terdiri atas : a. b. c. d. e.
Peraturan Daerah Peraturan Kepala Daerah Peraturan Bersama Kepala Daerah Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah
58
Dari jenis produk hukum daerah sebagaimana yang disebutkan dalam Permendagri tersebut nampak jelas bahwa produk hukum itu terdiri atas produk legislasi dan regulasi. Produk legislasi pada prinsipnya dapat diartikan sebagai aturan hukum yang pembentukannya melibatkan badan legislatif, untuk tingkat daerah bentuknya Peraturan Daerah, sedangkan regulasi adalah produk hukum daerah yang dimana badan legislatif tidak terlibat dalam pembentukannya.. untuk tingkat daerah akan dijumpai pada peraturan kepala daerah, yang mengatur hal-hal yang secara umum, sedangkan hal-hal yang bersifat lebih kongkret individual disebut dengan keputusan kepala daerah (order atau Beschiking).
86
Regulasi
adalah produk badan eksekutif atau pemerintah, dan badan legislatif tidak ikut campur dalam pembentukannya. Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere) atau keharusan (obigatere) ataupun kebolehan.87 Produk hukum daerah adalah peraturan daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu bentuk produk hukum daerah adalah keputusan kepala daerah. Dalam produk hukum yang bersifat penetapan salah satunya adalah keputusan gubernur, satuan kerja perangkat daerah melakukan penyusunan produk hukum daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
86
I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Implementasinya di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Bali, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, h. 199. (Selanjutnya disebut Wairocana I). 87
Jimly Asshiddiqie, 2008, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press dengan Syaamil Cipta Media, Jakrta h. 9. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I).
59
2.3. Peraturan Daerah 2.3.1. Pengertian Peraturan Daerah Pengertian Perda umumnya dapat kita jumpai dalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya : a. UU No. 32 Thn 2004 Pasal 1 angka 10 Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. b. UU 28 Tahun 2009 Pasal 1 Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dan/atau daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. c. UU PPPU Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. d. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka 25 Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Dengan melihat beberapa penegertian Perda yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan maka dapat dilihat beberapa unsur dari Perda tersebut yakni : a. Merupakan suatu bentuk peraturan,
60
b. Adanya persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah c. Berlaku hanya di daerah yang membentuknya d. Perda Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi bersama-sama dengan Gubernur
dan
Perda
Kabupaten/Kota
dibentuk
oleh
DPRD
Kabupaten/Kota dengan Bupati/Walikota. Sebagai pembanding pengertian Perda di Indonesia hampir sama dengan pengertian Delegate Legislation di Ingris yang juga merupakan negara kesatuan yang mempunyai daerah otonom, dimana Delegate Legislation diartikan sebagai Local authorities in the form bylaws to regulate their locallity according localized need.88 Berdasarkan prinsip-prinsip dalam otonomi daerah di Indonesi, yaitu otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, salah satu urusan yang menjadi urusan pemerintahan daerah adalah dalam bidang legislasi, yakni atas prakarsa sendiri membuat peraturan daerah beserta aturan-aturan pelaksananya. 89 Dalam perkembangan pemerintahan daerah otonom, eksistensi peraturan daerah ternyata
banyak
memberikan
warna
bagi
masing-masing
pelaksanaan
pemerintahan daerah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya peraturan daerah yang dihasilkan oleh masing-masing pemerintah daerah dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perihal adanya pemerintahan daerah otonom, tentu saja terkait dengan pembentukan suatu peraturan pemerintahan daerah iru sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie:90
88
Hilaer Barnett, 2002, Constitutional And Administrative Law, Queen Mary, University,of London Cavendish Publishing Limited, London, p. 484. 89
Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, sinar Grafika, Jakarta, h. 9.
61
Dalam keadaan yang normal, sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan undang-undang dasar dan perangkat peraturan perundang-undangan yang secara resmi diadakan untuk mengatur berbagai aspek yang berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan bernegara pada umumnya, akan tetapi kadangkadang kurang terbayangkan bahwa aka nada keadaan lain yang bersifat tidak normal, dimana sistem hukum yang biasa itu tidak dapat diharapkan efektif untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. 2.3.2. Sejarah Pengaturan Peraturan Daerah Secara historis, pengaturan dimaksud dapat diketahui dari berbagai produk peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah seperti dibawah ini, yaitu:91 a. b. c. d. e.
Decentralisatie wet Tahun 1903; Bestuur S.H.ervorming Tahun 1922; Undang-Undang No. 1 Tahun 1945; Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah; Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerahdaerah Indonesia Timur; f. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah; g. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah; h. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960; i. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; j. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; k. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa; l. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun 1999 dan tahun 2000; m. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya; n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sampai sekarang.
90
Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 1. (Selanjtnya disebut Jimly Asshidiqie II). 91
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 395-396. (Selanjutnuya disebut Jimly ASShiddiqie III).
62
o. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksananya. p. Undang-undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. q. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan desentralisasi dalam sejarah Indonesia telah berlangsung jauh sebelum Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1903. Awalnya desentralisasi diatur dalam Regering Reglement yang disingkat RR yang ditetapkan pada tahun 1854. RR ini kemudian diganti dengan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS) Tahun 1925.92 Pada tahun 1948 diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948 tentang Peraturan Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Dari Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1948 tersebut menegaskan bahwa daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Setiap wilayah tersebut otonom atau dalam istilah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948 disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintah sendiri) dan masing-masing disebut Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III (Dati III) sama dengan desa (kota kecil) nagari, marga dan lain-lain dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948. 92
Ibid, h. 396-397
63
Selanjutnya setelah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah dicabut dan selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Setelah berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan demokrasi terpimpin. Dampak langsungnya terhadap otonomi daerah adalah diberlakukannya Penpres (penetapan presiden) No. 6 Tahun 1959 dan Penpres (Penetapan Presiden) No. 5 Tahun 1960. Adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan posisi Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah serta melanjutkan ide Penpres No. 6 Tahun 1959. Bahkan ketentuan didalam Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960, seluruhnya diadopsi ke dalam UndangUndang Repubik Indonesia No. 18 Tahun 1965 ini, yang mengacu kepada konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang ini membagi wilayah negara dalam tingkatan daerah-daerah otonom (Pasal 2 ayat (1) yang terdiri atas provinsi atau kotapraja sebagai dati I, kabupaten atau kotamadya sebagai Dati II dan kecamatan atau kotapraja sebagai Dati III. Selanjutnya adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggantikan posisi UndangUndang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Prinsip penting yang dianut dalam Undang-Undang No.
64
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah adalah otonomi daerah. Dalam Undang-Undang ini dengan jelas ditentukan bahwa: “tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”. Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan posisi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebagai jawaban terhadap krisis pada tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi dikonstruksikan dengan otonomi seluas-luasnya. Hubungan provinsi dan kabupaten ditentukan tidak lagi bersifat hierarkis, seperti dalam Undang-Undang sebelumnya. UU No. 32 Thn 2004 gubernur dan bupati/walikota memiliki hubungan hierarkis satu dengan yang lain, selain itu dalam UU No. 32 Thn 2004 ini juga mengatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahyang diinterpretasikan sebagai pemilihan secara langsung yakni rakyatlah yang memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Thn 2004 juga mengatur mengenai rancangan peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau gubernur atau bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara tidak langsung juga mengatur
65
peraturan daerah yang menjadi suatu dasar pijakan dalam mengambil kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai manifestasi dari upaya tinjauan historis mengenai peraturan daerah. Undang-undang
No.
33
Tahun
2004
yang
mengatur
tentang
perimimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pemanfaatan, sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Serta pengaturan pengelolaan keuangan daerah untuk pelaksanaan desentralisasi dan keuangan yang diberikan pemerintah pusat untuk daerah untuk melaksanakan dekonsentrasi. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). 2.3.3. Materi Muatan Peraturan Daerah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota berwenang untuk membuat perda dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Substansi atau penjabaran dari perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang substansi yang diatur dalam perda dilarang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Perda sebagai bagian dari Peraturan Perundang-undangan
66
dalam pembentukan serta penyusunannya tetap berpedoman kepada teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini, Yuliandri menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.93 Suatu bentuk keberlakuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah kaidah hukum, memiliki bentuk keberlakuan yuridik, sebagaimana pendapat Arief Sidharta, keberlakuan yuridik dimaksudkan bahwa suatu kaidah hukum dibentuk sesuai aturan-aturan hukum prosedur yang berlaku oleh badan yang berwenang dan bahwa ia juga lebih dri itu dalam aspek lain secara substansial tidak bertetangan dengan kaidah hukum lainnya (kaidah yang lebih tinggi).94 Pendapat Jimmly Asshidiqie, yang menyebutkan bahwa kegiatan legislasi dan pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pemerintahan yang tercakup dalam bidang hukum tata negara dan tata usaha negara atau administrasi negara.95 Mengingat perda merupakan salah satu jenis hirarki peraturan perundangundangan sebagaimana tertuang pada UU PPPU Pasal 7 ayat (1) Perundangundangan terdiri atas:
93
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 2. 94
Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika aditama, Bandung, h. 47. 95
Jimmly Asshidiqie IV, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, h. 45. (Selanjutnya disebut Jimmly Asshidiqie IV).
67
a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sehingga asas dan materi muatan yang diatur dalam perda tetap mengacu pada UU PPPU yang dijadikan pedoman dalam penyusunan dan pembentukan suatu perda baik perda Provinsi dan perda Kabupaten/Kota. Pasal 5 UU PPPU mengatur mengenai asas-asas yang ada pada suatu perda yakni “Dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan
harus
dilakukan
berdasarkan
pada
asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi”: a. b. c. d. e. f. g.
kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Penjelasan Pasal 5 UU PPPU yang menjelaskan dari asas-asas yang tertuang dalam Pasal 5 UU PPPU maksud dari asas-asas tersebut yakni ; a. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. c. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan.
68
d. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. e. Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sementara Pasal 6 UU PPPU mengamanatkan materi muatan yang diatur dalam perda adalah ayat (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 6 memberikan penjelasan maksud dari materi muatan dalam peraturan perundang-undangan diantaranya :
69
Pada Pasal 6 ayat (1) a. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. f. Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
70
Pada Pasal 6 ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih khusus mengenai Perda diatur dalam UU No. 32 Thn 2004, mengingat perda merupakan produk hukum daerah yang tidak terlepas dari pemerintahan daerah yang dengan adanya asas desentralisasi menyebabkan daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya berdasarkan faktor kekhasan yang dimiliki daerah. Pasal 1 angka 13 UU PPPU Materi Muatan Peraturan Perundangundangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Mengenai materi muatan dalam perda dapat ditemukan dalam Pasal 137 Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Pasal 138 (1) Materi muatan Perda mengandung asas:
71
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. (3)
pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi Perda dapat yang bersangkutan. Selain asas dan metode dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan menurut Kant dalam LG Saraswati dkk, adalah prinsip kebebasan, prinsip kesetaraan dan prinsip otonomi.96 Selanjutnya diuraikan bahwa prinsip kebebasan adalah pemerintah disini adalah yang memikirkan kebahagiaan rakyatnya, untuk prinsip kesetaraan, bahwa setiap anggota masyarakat berhak untuk menolak hukum-hukum yang tidak disepakati dan prinsip otonomi sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai legislator, harus bebas dan setara dalam menyepakati hukum. 2.3.4. Pembentukan Peraturan Daerah Dalam UU PPPU pembentukan undang-undang berbeda dengan pembentukan
peraturan
pemerintah
pengganti
undang-undang,
peraturan
pemerintah dan peraturan daerah.97 Peraturan daerah merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang, dimana proses pembentukan peraturan daerah provinsi,
peraturan
daerah
kabupaten/kota
memiliki
kemiripan
dengan
pembentukan Undang-undang. Ketentuan mengenai pembentukan pearturan 96
97
L. G. Saraswati, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, filsafat –UI Press, Jakarta, h. 83-84.
Jimly Ashidiqqie, 2010, Perihal Undang-undang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 184. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie V).
72
daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten dan peraturan daerah kota dalam UU PPPU mengatur beberapa tahapan seperti : 1. Tahap perencanaan; 2. Tahapa penyusunan; 3. Tahap pembahasan dan penetapan; 4. Tahap pengundangan; 5. Tahap penyebarluasan. Tahap perencanaan peraturan daerah provinsi diatur pada Pasal 32 sampai dengan Pasal 38, untuk peraturan daerah kabupaten/kota tahap perencanaannya diatur pada Pasal 39sampai dengan 41. Untuk tahap penyusunan peraturan daerah provinsi kabupaten/kota diatur mualai dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 56. Sementara untuk tahap pembahasan penetapan rancangan peraturan daerah diatur mulai dari Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 serta Pasal 78 sampai dengan Pasal 80. Tahapanberikutnya yakni tahapan pengundangan diatur dari Pasal 81 sampai dengan Pasal 86. Tahapan terakhir yakni berkaitan dengan penyebarluasan perda diatur pada Pasal 92 sampai dengan 95. Penyusunan pembentukan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota dimulai dengan penyusunan suatu program legislasi daerah (Prolegda). Prolegda memuat rancangan peraturan daerah provinsi atau kabupaten/kota, materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya, dimana materi yang diatur tersebut setelah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.
73
Pengaturan mengenai peraturan daerah dalam UU No. 32 Thn 2004 diatur secara khusus dalam BAB VI mengenai peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut tahapan yang harus dilewati dalam pembentukan peraturan daerah yakni : 1. Tahap persiapan; 2. Tahap pembahasan, persetujuan bersama dan penetapan/pengesahan; 3. Tahap penyebarluasan; 4. Tahap klarifikasi dan evaluasi; 5. Tahap pengundangan. Ketentuan proses pembentukan peraturan daerah pada tahap persiapan, pembahasan, penyebarluasan, dan partisipasi publik pada dasarnya tidak ada pembedaan dengan UU PPPU. Pada tahap klarifikasi dan evaluasi inilah yang membedakan tahapan proses pembentukan peraturan daerah dalam UU PPPU dan UU No. 32 Thn 2004 yang berimplikasi pada proses pengesahan dan pengundangan peraturan daerah. Mengingat Perda ini merupakan hasil kerjasama Kepala Daerah dan DPRD
maka gagasan perumusannya dapat melalui Kepala Daerah maupun
DPRD. Dalam membentuk Perda tersebut harus ditinjau dari unsur pemerintahan daerah tersebut : 98 a. Unsur DPRD Perda adalah suatu bentuk produk legislatif tingkat daerah, karena itu tidak dapat terlepas dari DPRD. Keikutsertaan DPRD dalam pembentukan Perda tidak terlepas dari kewenangan DPRD dibidang legislatif. 98
Ni’matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, h.86-87. (Selanjutnya disebut Ni’matul Huda I).
74
b. Unsur Kepala Daerah Keikutsertaan Kepala Daerah dalam pembentukan Perda mencakup kegiatan-kegiatan :1). Bersama-sama DPRD membahas Ranperda; 2) Menetapkan Ranperda yang telah disetujui DPRD menjadi Perda; 3) pengundangan. c. Unsur Partisipasi Partisipasi bermaksud sebagai keikutsertaan pihak-pihak di luar DPRD dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan dan pembentukan Ranperda atau Perda. Proses klarifikasi dan evaluasi ini merupakan konskwensi dari kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh pemerintah pusat.99 Ketentuan tentang tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur atau Bupati/Walikota, diatur dengan peraturan Presiden, sedangkan tata cara mempersiapkan rancangan perda oleh DPRD diatur dalam peraturan tata tertib DPRD. Untuk rancangan perda mendapat masukan oleh masyarakat maupun pakar maka dilaksanakan oleh oleh sekretariat DPRD dan disebarluaskan oleh sekretariat daerah. Perda dapat memuat suatu ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagaian kepada pelanggar. Paksaan penegakan hukum itu umumnya berwujud mengambil atau meniadakan, mencegah, melakukan, atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan, atau ditiadakan yang bertentangan dengan hukum.100 Khusus Perda APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Perda tertentu mengatur tentang pajak daerah , retribusi daerah APBD, Perubahan APBD dan tata ruang, berlakunya setelah melalui tahapan evaluasi oleh 99
Anis Ibrahim, 2008, Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Plotik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah, In Trans Publishing, Malang, h. 146. 100
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 20.
75
pemerintah. Hal ini ditempuh dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya, terutama perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur, atau Bupati/Walikota, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian rancangan perda tersebut, dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan perda ditetapkan oleh Gubernur, atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama. Apabila rancangan perda
yang tidak ditetapkan oleh Gubernur,
atau
Bupati/Walikota dalam waktu 30 hari, perda tersebut sah menjadi perda dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah. Pengesahan perda harus dirumuskan dengan kalimat pengesahan yang berbunyi “Perda ini dinyatakan sah”, dengan mencantumkan tanggal sahnya dan kalimat itu harus dibubuhkan pada halaman terakhir perda, sebelum pengundangan naskah perda ke dalam lembaran daerah. Sebagai upaya pengawasan terhadap perda oleh pemerintah, paling lama tujuh hari setelah ditetapkan, perda tersebut harus disampaikan kepada pemerintah. Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum dapat dibatalkan oleh pemerintah. Keputusan pembatalan perda tersebut ditetapkan dengan dengan peraturan presiden dan peraturan menteri dalam negeri paling lama 60 hari sejak diterimanya perda yang dimaksud. Paling lama tujuh hari setelah keputusan
76
pembatalan perda yang dimaksud, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut perda yang dimaksud. Proses pembuatan perda, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda. Rancangan perda harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah dan atas persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam pembentukannya, setiap peraturan daerah dapat dipastikan akan melalui proses pembahasan yang dilakukan secara bersama-sama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Selanjutnya UU PPPU, dalam Pasal 32 sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Perencanaan penyusunan Perda Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi”, kemudian pada Pasal selanjutnya yaitu Pasal 33 UU PPU menegaskan: (1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Perda Provinsi dengan judul Rancangan Perda Provinsi, materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya (2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi rancangan Perda yang meliputi: a. Latar belakang dan tujuan penyusunan; b. Sasaran yang ingin diwujudkan; c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. Jangkauan dan arah pengaturan (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.
77
Kemudian pada Pasal selanjutnya dipaparkan lebih jelas lagi terutama mengenai Perda APBD, yaitu : Pasal 34 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. (2) Prolegda Provinsi ditetapkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda Provinsi. (3) Penyusunan dan Penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Perda Provinsi tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi. Pasal 35 Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan Perda Provinsi didasarkan atas: a. Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. Rencana pembangunan daerah; c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. Aspirasi masyarakat daerah. Pasal 36 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertical terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur. Pasal 37 (1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.
78
Pasal 38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas : a. Akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. Untuk mengatsi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum. Untuk melaksanakan perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah, dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, perda, dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Peraturan kepala daerah diundangkan dalam berita daerah yang dilakukan oleh sekretaris daerah. 2.3.5. Pembatalan Peraturan Daerah Telah banyak peraturan daerah yang dibatalkan, pembatalan ini dikarenakan seperti yang tertuang dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004, Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih tinggi seperti
Undang-undang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan bertentangan dengan kepentingan umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32
79
Thn 2004 adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam perspektif kajian pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi melalui Peraturan Mendagri juga merupakan suatu upaya pembangunan atau pembinaan hukum di Negara Indonesia. Pembinaan hukum bahkan harus diawali dengan adanya suatu kajian mengenai konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo, yang menegaskan bahwa: ”Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan hukum dalam arti yang lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentulah tidak dapat diharapkan berbicara tentang pembinaan hukum secara bersungguh-sungguh, apabila hanya mempersoalkan tentang bagaimana meningkatkan efisisensi suatu peraturan yang ada serta meningkatkan efisiensi kerja dari lembaga-lembaga hukum. Pada suatu ketika, usaha untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan peraturannya sendiri. Dengan demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah tempat kaitan antara pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum tersebut bertemu”.101 Menurut Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, serta Pasal 145 ayat (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
101
Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 16.
80
Hal ini diperjelas kembali dengan PP 79 Tahun 2005. Pasal 37 ayat (4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. Pada Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004 Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya, dan dengan Pasal 40 ayat (2) PP 75 Tahun 2005. Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1) dan tetap menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri. Jika melihat Pasal 158 ayat (4) dan (5) UU PDRD pada ayat (4) berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden, ayat (5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden Paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sehingga dapat kita teliti produk hukum pembatalan Perda yakni pada UU No. 32 Thn 2004 :
81
a. Peraturan Presiden terhadap seluruh Perda kecuali Perda APBD, pajak daerah, dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang. b. Peraturan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda APBD, pajak daerah, dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang Pembatalan Perda tersebut merupakan bagian dari kewenangan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah. Sehingga dalam asas desentralisasi Pemerintah Daerah tidak lepas dari Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Daerah masih tetap dalam kontrol dari Pemerintah Pusat. Karena asas desentralisasi tidak berarti daerah dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri tetapi tetap pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika terjadi permasalahn berkaitan dengan Pembatalan Perda ini yang melibatkan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat yang masing-masing meiliki penafsiran berbeda akan sebuah Perda serta untuk menemukan suatu kejelasan maksud daripada suatu Perda. Diberikan suatu upaya penyelesaian dengan mengajukan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung. Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota, tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda yang dimaksud dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa peraturan presiden menjadi batal dan tidak memiliki kekuatan hukum. Demikian pula apabila pemerintah tidak mengeluarkan peraturan presiden untuk membatalkan perda yang dimaksud, perda dinyatakan tetap berlaku.
82
BAB III PENGATURAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
3.1. Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dalam Kerangka Negara Kesatuan Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam hubungan antar pemerintahan dikenal adanya konsep sentralisasi dan desentralisasi. Konsep sentralisasi menunjukan karakter bahwa semua kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada pada pemerintah pusat sedangkan, konsep desentralisasi menunjukan karakter bahwa sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah. Indonesia menganut sistem desentralisasi hal ini dapat kita temukan pada Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat maka penyelenggaraan pemerintahan di daerah bukanlah bersifat mandiri sebagaimana negara federal, tetapi merupakan kelanjutan dari urusan negara/pemerintah pusat yang diamanatkan pada alenia IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Secara normatif pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tanpa adanya wewenang tersebut, pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindak hukum maupun mengadakan hubungan hukum. Berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan
negara
kesatuan
ukuran
untuk
menerapkan
83
sentralisasi/desentralisasi adalah efisiensi.102 Dalam pelaksaan pemerintahan, pemerintah pusat membagi tugas baik secara horozontal maupun secara vertical untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. pembagian secara vertical dapat dilihat dari adanya pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pembagian wewenang ini kaitannya juga dengan tanggung jawab, oleh karenanya pembagian tugas juga merupakan pembagian wewenang.103 Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan adapun tujuan dilakukannya pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah untuk dapat memberikan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap setiap warga negara, mengingat luasnya wilayah negara Republik Indonesia dan jumlah penduduk yang begitu besar menjadikan susahnya memenuhi kebutuhan akan pelayanan dan pembangunan untuk itu perlunya adanya pembagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah. Otonomi daerah dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan demikian, seperti halnya penyelenggaraan negara oleh pemerintah pusat penyelenggaraan pemerintahan daerah juga harus berdasarkan hukum sebagai amanat dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan Indonesia adalah negara hukum.
102
A. W. Widjaja, 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.3. (Selanjutnya disebut H. A. W. Widjaja I). 103
Soebekti, 2000, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta h. 93.
84
Sebagai konskwensi dari sebuah negara hukum maka negara Indonesia Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menggunakan prinsip hukum dan demokrasi menimbulkan distribusi kewenangan sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pada UU No. 32 Thn 2004 daerah memiliki kewenangan untuk membentuk perda sebagai hukum, instrumen dan tolak ukur keabsahan tindakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan tugas dan kewenangan
sebagai
penyelenggara
pemerintahan
negara
dalam
upaya
melaksanakan pelayanan dan pembangunan di daerah. Seperti yang diamnatkan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai wujud dari demokrasi yang merupakan bagian dalam konsep negara hukum dilaksanakan dengan penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Konsepsi hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang demokratis dengan memberikan kewenangan urusan dalam penyelenggaraan pemerintahan kepada pemerintahan daerah. Kewenangan yang menjadi urusan pemerintahan daerah adalah kewenangan terbatas pada urusan rumah tangga daerah. Dalam implementasinya diselenggarakan atas kebebasan, kemandirian, serta prakarsa daerah sendiri sebagai upaya partisipasi masyarakat sesuai dengan keadaan dan potensi daerah serta kebutuhan masyarakat sebagai ujung tombak dari pembangunan dan pelayanan yang semakin dekat dengan masyarakat.
85
Menurut soemitri dalam M. R. Khairul Muluk Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur sebaik-baiknya tentang otonomi dan madebewind.104 Urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah-daerah adalah dalam bidang yang tidak termasuk kepentingan umum yang diurus oleh pemerintah pusat karena telah diatur dalam peraturan tersendiri dan urusan sisa yang tidak menjadi urusan daerah otonom sebagaimana yang diamantkan pada UU No. 32 Thn 2004. Pasal 13 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; m. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. (2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
104
M. R. Khairul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan daerah, Bayumedia Publishing, Malang, h. 134.
86
Pasal 14 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. (2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Penyelenggaraan pemerintahan negara dalam pemerintahan daerah yang bersifat otonom, menurut Hestu B. Handoyo menyebutkan bahwa pemerintahan daerah otonom (local state goverment), yakni satuan-satuan pemerintahan lokal yang berada di bawah pemerintahan pusat yang berhak atau berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dengan ciri-ciri : 1. Urusan-urusan pemerintahan atau wewenang pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan lokal otonom adalah urusan atau wewenang yang telah menjadi urusan rumah tangga sendiri; 2. Penyelenggaraan pemerintahan lokal otonom dijalankan oleh pejabatpejabat yang merupakan pegawai pemerintahan lokal itu sendiri atau
87
dengan kata lain pejabat-pejabat tersebut diangkat dan diberhentikan oleh pemerintahan lokal otonom itu sendiri; 3. Penyelenggaraan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal otonom adalah hubungan yang bersifat pengendalian dan pengawasan atau hubungan kemitraan (partnerships).105 Kewenangan atau kekuasaan yang ada pada pemerintahan daerah bersifat derivatif (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas. 106 Hal ini merupakan salah satu ciri dari negara kesatuan mengingat bentuk dari negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan. Menurut C.F. Strong : “The two essential qualities of unitary state may there for be said ; (1) the supremacy of the central parliament and (2) the absence of susdiary souvereign bodie”.107 Dua ciri yang mendasar melekat pada suatu negara kesatuan; (1) adanya supremasi tertinggi pada Dewan Perwakilan Pusat dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat. Salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam tujuan otonomi derah yakni pelaksanaan pembangunan dan layanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.108 Tujuan kebijakan otonomi daerah diantaranya : 1. 2. 3. 4. 5.
Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah; Pemberdayaan masyarakat dan daerah; Peningkatan kualitas layanan masyarakat; Peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan; Terselenggaranya tata kelola kepemerintahan yang baik;
105
Hestu B. Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 288. 106
Moh Kusnadi dan B. Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, h.
108. 107
C. F. Strong, 1966, Modern Political Constitutional, Sidgwick 7 Jackson Limited London E. L. B. S. EditionFirst Publised, p. 84. 108
H. A. W. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 208. (Selanjutnya disebut H. A. W. Widjaja II).
88
6. Terbebasnya praktek penyelenggaraan pemerintahan dari malpraktek, baik berupa korupsi, kolusi , dan nepotisme.109 Dalam kaitannya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya untuk itu dibentuklah suatu peraturan daerah yang bertujuan untuk mengatur serta menjadi penilaainn terhadap tindak pemerintahan daerah. Perda sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan dalam pembentukannya terjadi karena dua hal yakni karena kewenangan atribusi dan karena kewenangan delegasi. Secara atribusi pembentukan peraturan daerah dapat kita lihat pada Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Perda merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Dalam
pembentukan
Peaturan
perundang-undangan
kaitannya
dengan
kewenangan atribusi mengandung unsur-unsur : 1. Penciptaan wewenang (baru) untuk membuat peraturan perundangundangan; 2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-UndangDasar atau pembentuk Undang-undang kepada suatu lembaga; 3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut. Dalam pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur : 1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan; 2. Wewenang tersebut diserahkan oleh pemegang wewenang atribusi (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris); 3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas pelaksaan wewenang tersebut.110
109
Joko Widodo, 2008, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayu Media Publishing, Malang, h. 6.
89
Syarat yang harus dipenuhi dalam membuat peraturan perundangundangan termasuk juga perda adalah :111 1. Dibuat oleh organ /pejabat yang berwenang; 2. Tidak ada kekurangan yuridis; 3. Diberi bentuk tertentu dan sesuai dengan prosedur dan tat cara pembentukannya. 4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. Ada juga syarat yang lain yang harus dipenuhi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan keputusan syarat tersebut dibedakan menjadi syarat formal dan syarat materiil.112 Syarat formal : 1. Syarat-sarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan diabuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; 2. Keputusan harus diberi bentuk tertentu yang ditentukan; 3. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi; 4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan tidak boleh dilewati. Syarat materiil : Alat negara yang membuat keputusan itu harus berwenang; 1. Dalam kehendak alat negara yang membuat keputusan itu tidak boleh ada kekurangan; 2. Keputusan harus dibuat berdasarkan suatu keadaan tertentu;
110
I Nyoman Suyatna, 2006, Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Konteks Kepentingan Lokal, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 31 No. 2. Juli 2006, h. 60 111
Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurhendeling), Djumali, Surabaya, h.8. (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon III). 112
Ibid, h.9-10.
90
3. Keputusan harus dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan lain, serta isi dan tujuan harus sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar keputusan tersebut. Berpijak pada persyaratan yang telah diuangkap di atas pada prinsipnya menekankan pada kewenangan, isi,/materi, bentuk maupun hirarki perundangundangan. Berkaitan dengan pembentukan perda yang harus dicermati adalah materi yang dijadikan muatan perda tersebut menjadi wewenangnya atau tidak apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau kepentingan umum, apakah prosedurnya telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sehingga akan berpengaruh terhadap keabsahan tindak ataupun keputusan yang dikeluarkan tersebut. Apabila kita mengkaji mengenai keabsahan legislasi daerah, diatur dengan jelas di dalam UU No. 32 Thn 2004, bahwa pembentukan perda merupakan tugas dan wewenang Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kewenangan Kepala Daerah membentuk Perda diatur dalam Pasal 25 huruf b dan huruf c Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: mengajukan rancangan Perda; menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. Sementara wewenang DPRD dalam kaitannya dengan membentuk Perda diatur pada Pasal 42 ayat (1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
91
Perda sebagai suatu produk hukum daerah hendaknya juga mencerminkan tiga aspek yang menjadi dasar berlakunya hukum di masyarakat. Ketiga dasar kekuatan berlakunya hukum yakni mencerminkan aspek filosofi, sosiologi dan yuridis. Berlakunya hukum secara filosofi, artinya hukum itu berlaku sesuai dengan cita-cita hukum itu sebgai nilai yang positif yang tertinggi. Dalam arti bahwa hukum itu sendiri memiliki nilai kebenaran, keadilan. Berlakunya hukum secara sosiologis maksudnya apabila kaidah-kaidah yang diatur dalam hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Landasan ini merupakan pencerminan kenyataan hidup dalam masyarakat yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Berlakunya hukum secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang tingkatannya lebih tinggi, dibentuk oleh lembaga yang berwenang, dibuat dalam bentuk tertentu, serta dilakukan menurut tata cara yang telah ditetapkan. Landasan inilah yang sering menjadi acuan terhadap perda yang dibentuk oleh daerah. Karena pada landasan ini seringkali pembentukan perda maupun raperda menjadi permasalahan. Pemerintah pusat yang masih memiliki kewenangan untuk mengawasi daerah terkait pembentukan perda sering kali menemukan adanya pertentangan perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk itu agar suatu raperda dan perda ini tidak mengalami permasalahan serta menimbulkan akibat hukum setelah berlaku untuk itu perlunya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap perda yang dibentuk oleh pemerintah daerah.
92
3.2. Pengawasan Pemerintah Pusat kepada Daerah Dalam rangka melaksanakan otonomi, dalam kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah, Perda tidak boleh bertentangan dengan prinsip Negara kesatuan dan hukum nasional. Oleh karena itu, maka harus tetap dimungkinkan adanya pengawasan terhadap Perda. Pengawasan diperlukan untuk memastikan bahwa Perda tidak bertentangan dengan prinsip Negara kesatuan dan hukum nasional. Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi, jika kita melihat pembentukan perda seharusnya pemerintah pusat tidak perlu lagi melakukan pengawasan terhadap perda, mengingat pada tahapan pembentukannya perda tersebut dibahas secara bersama-sama oleh kepala daerah dan DPRD untuk selanjutnya disahkan dan ditetapkan menjadi perda. Ketika suatu perda itu ditetapkan kiranya telah memenuhi unsur aspirasi, demokrasi dan rasa keadilan masyarakat daerah tersebut. Namun dalam kaitannya dengan negara kesatuan dimana pemerintah pusat tetap melakukan pengawasan terhadap daerah. Hal ini dimaksudkan untuk semua aktivitas pelaksanaan pemerintahan daerah tidak terlepas dari prinsip negara kesatuan serta menjaga keutuhan NKRI. Pengawasan juga berfungsi untuk melindungi rakyat dari kesewenangan penguasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Bagir Manan113 yang menyatakan Prinsip-prinsip negara berotonomi adalah: a. Otonomi adalah perangkat dalam negara kesatuan. Jadi seluas-luasnya otonomi tidak dapat menghilangkan arti, apalagi keutuhan negara kesatuan. b. Isi otonomi bukanlah pembagian jumlah (quantum) urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Pembagian urusan harus dilihat dari sifat dan kualitasnya. Urusan-urusan rumah tangga daerah selalu 113
Bagir Manan III, op.cit, h. 185-186.
93
lebih ditekankan pada urusan pelayanan (services). Otonomi luas harus lebih diarahkan pada pengertian kemandirian (Zelfstandigheid) yaitu kemandirian untuk secara bebas menentukan cara-cara mengurus rumah tangganya sendiri, menurut prinsip-prinsip umum negara berotonomi. c. Dalam setiap otonomi, selalu disertai dengan sistem dan mekanisme kendali dari pusat. Kendali itu adalah kendali pengawasan dan kendali keuangan. Salah satu hubungan pusat dan daerah yaitu dalam hal pengawasan. Pada umumnya pemakaiaan pengertian pengawasan lebih sering dipergunakan dalam hubungannya dengan manajemen, oleh karena itu secara terminologis istilah pengawasan disebut juga dengan istilah controlling, evaluating, appraising, correcting maupun control.114 George R. Terry mendefinisikan pengawasan adalah “Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measure, if needed to ensure result in keeping with the plan” (pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menetapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan rencana).115 Pengawasan terhadap pemerintah adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja ataupun tidak, sebagai usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu sebagai usaha represif.116 Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan
114
Muh Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 90. 115
John Salihendo, 1995, Pengawasan Melekat aspek-aspek Terkait dan Implementasinya, Bumi Aksara, Jakarta, h. 25. 116
Paulus Effendi Lotulung, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.56-57.
94
dengan sesuai rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan terhadap segala tindak pemerintah termasuk keputusan kepala daerah dan peraturan daerah merupakan suatu akibat mutlak dari adanya Negara Kesatuan. Dalam Negara Kesatuan tidak mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar dengan Negara, tidak pula mungkin ada Negara dalam Negara. untuk menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah dan rencana pembangunan pada umumnya, maka fungsi pengawasan memiliki nilai yang sangat penting, dimana pengawasan merupakan suatu usaha untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna, serta agar kesatuan negara tetap terpelihara. Pengawasan adalah sebagaian dari kewenangan pemerintah secara menyeluruh, karena pada tingkat akhir pemerintah pusatlah yang harus bertanggung jawab mengenai seluruh penyelenggaraan pemerintahan Negara dan Daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan pasal 218 ayat (1) UU No. 32 Thn 2004 dilaksanakan oleh pemerintah meliputi duan bentuk pengawasan yakni : 1. Pengawasan atas pelaksaan urusan pemerintahan di daerah; 2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Pengawasan dimaksud adalah proses kegiatan yang
95
ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemerintahan desa berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan ini dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan bidang kewenangannya masing-masing. Adapun pengawasan yang dimaksud berdasarkan Pasal 28 PP No.79 Tahun 2005 dilaksanakan melalui : a. Pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah; b. Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu; c. Pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja; d. Pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi penyimpangan, korupsi, kolusi, dan nepotisme; e. Penilaiaan atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan; f. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan desa. Pengawasan terhadap segala tindakan pemerintahan daerah, termasuk juga produk hukum daerah menurut sifatnya digolongkan menjadi : 1. Pengawasan umum 2. Pengawasan preventif 3. Pengawsan represif.117 Pengawasan umum adalah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Pengawasan umum meliputi : 1. 2. 3. 4.
Bidang pemerintahan Bidang kepegawaiaan Bidang keuangan dan peralatan Bidang pembangunan 117
Irawan Soetjito, 1993, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, h. 11.
96
5. Bidang perumahan daerah 6. Bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Mendagri.118 Untuk menjaga kewibawaan Pemerintah Daerah dan kepentingan daerah serta menghindarkan atau memperkecil kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau kelalaian dalam adminsistrasi yang dapat merugkan daerah dan/atau negara, maka dianggap perlu untuk menyelenggarakan pengawasan secara preventif. Pengawasan preventif ini berbentuk memberi pengesahan atau tidak memberi pengesahan atau menolak pengesahan. Sesuai sifatnya pengawasan preventif dilakukan sebelum keputusan itu mulai berlaku. Pengawasan preventif hanya dilakukan terhadap keputusan Kepala daerah dan Peraturan daerah yang berisi atau yang mengatur materi-materi tertentu. Berbeda dengan pengawasan preventif yang hanya dapat dilakukan terhadap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tertentu, yang disebut dalam peraturan Undang-undangan atau Peraturan Pemerintah, pengawasan represif dapat dilakukan terhadap semua peraturan daerah dan atau keputusan kepala daerah apabila peraturan atau keputusan kepala daerah tersebut dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau bertentangan
dengan
dengan
menyangkut
penangguhan
kepentingan
atau
umum.
pembatalan
Pengawasan
perundang-undangan
repersif yang
tingkatannya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang terhadap segala peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. Pengawasan represif itu berwujud :
118
Kansil dan Christine Kansil, 2001, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h.13.
97
1. Menangguhkan berlakunya suatu peraturan daerah atau keputusan kepala daerah; 2. Membatalkan suatu peraturan daerah dan atau keputusan kepala daerah.119 Pemerintah dalam melakukan pengawasan melalui proses evaluasi terhadap Ranperda jika bermasalah maka memberikan suatu perintah kepada pemerintah daerah untuk tidak mengeluarkan Ranperda (Muatan materi tertentu) menjadi Peraturan Daerah, dan Ranperda tersebut dikembalikan lagi kepada pemerintah daerah untuk dikoreksi kembali dan dibahas bersama kembali untuk menjadi Ranperda yang memenuhi ketentuan yang berlaku. Peraturan daeraha yang menyimpang dari hukum dapat setiap saat dibawakan ke Mahkamah Agung untuk dapat dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah Agung.120 UU No. 32 Thn 2004 mengatur tentang pengawasan Peraturan Daerah secara preventif melalui evaluasi rancangan peraturan daerah dan pengawasan represif melalui klarifikasi. Evaluasi terhadap rancangan Peraturan Daerah diatur di dalam Ketentuan Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 189. Klarifikasi terhadap Perda diatur di dalam Pasal 145. Dengan kata lain dapat dikatakan pembatalan perda oleh Mendagri pada tahap klarifikasi merupakan pengawasan yang sifatnya represif yang dimana kewenangan pembatalan perda juga menjadi kewenangan daripada Presiden. Sehingga dalam pembatalan perda terdapat dua kewenangan pembatalan
119
Irawan Soetjito, op.cit, h. 51
120
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, h. 38. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VI).
98
yang dilakukan oleh Presiden dan Mendagri yang dimana hal ini yang dimaksudkan terdapat dualisme pembatalan perda. Pengawasan tersebut merupakan implikasi dari adanya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah apalagi skema-skema hubungan itu kemudian ternyata menggiring pada persoalan bagaimana kontrol atau pengendalian pemerintah pusat terhadap daerah melalui instrumen pengawasan, yang baik langsung maupun tidak langsung telah menyeret fungsi pemerintah sebagai badan eksekutif masuk ke ranah fungsi yudisial yang lazimnya menjadi otoritas badan yudikatif.121 Ditinjau dari hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan, agar kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan apabila “pengikat” tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal itu terjadi, pengawasan bukan lagi merupakan satu sisi dari desentralisasi
tetapi
menjadi
“pembelenggu”
desentralisasi.
Untuk
itu,
pengawasan harus disertai pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan tersebut akan mencakup pembatasan macam atau bentuk pengawasan, yang sekaligus mengandung pembatasan tata cara menyelenggarakan pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah termasuk Perda dan Keputusan Kepala Daerah merupakan suatu akibat mutlak dari adanya negara kesatuan. Di dalam negara kesatuan kita tidak mengenal
121
Widodo Ekathahjana, Op.Cit, h. 37.
99
bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara, tidak pula mungkin ada negara di dalam negara.122 Pengawasan pemerintah terhadap pemerintah daerah dengan mekanisme pembatalan Perda yang oleh pemerintah dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum, kemudian dianggap menjadi metode kontrol pemerintah pusat yang efektif untuk mengawasi dan mengendalikan setiap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah tidak cukup hanya presiden yang membatalkan, tetapi Mendagri pun juga memiliki kewenangan untuk membatalkan produk-produk hukum daerah tersebut. Terhadap Perda yang bermasalah tersebut dapat dilakukan executive review oleh pemerintah dengan melihat apakah Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Executive Review terhadap suatu Perda, apabila secara murni mengacu pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 bukanlah menjadi suatu permasalahan, karena Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah Pusat atau berada dibawah Pemerintah Pusat. Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah pusat atau berada di bawah pemerintah pusat. Sehingga, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Pengujian terhadap suatu peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintahan daerah. 122
Ni’Matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, h. 5. (Selanjutnya disebut Ni’matul Huda II).
100
Pembatalan-pembatalan perda yang dilakukan oleh pemerintah secara teoritikal berada dalam kerangka teori tentang hubungan antara pusat dengan daerah. Dasar hubungan antara pusat dan daerah adalah bahwa pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenang pemerintahannya kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga daerah (otonom).123 Selanjutnya agar wewenang yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah agar tidak disalahgunakan, maka digunakan instrumen pengawasan yang dalam praktiknya dapat membatalkan produk-produk hukum atau kebijakan daerah berupa perdaperda. Dengan demikian praktik pembatalan perda secara inklusif melekat pada fungsi pengawasan pusat terhadap daerah. Pertama tentang istilah dari pengawasan itu sendiri, istilah pengawasan disini dapat dijumpai dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Pada intinya pengawasan terhadap pemerintahan daerah dibedakan menjadi dua, yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif.124 Model pengawasan preventif ini dilakukan dengan memberikan pengesahan atau tidak memberi (menolak) pengesahan Perda yang disusun oleh Pemerintah Daerah. Dimana dalam pengawasan preventif ini, suatu Perda yang dihasilkan hanya dapat berlaku apabila telah terlebih dahulu disahkan oleh penguasa yang berwenang mengesahkan. Model pengawasan preventif ini pada prinsipnya hanya dilakukan terhadap Perda yang mengatur sejumlah materi-materi tertentu yang ditetapkan sebelumnya melalui peraturan perundang-undangan.
123
Widodo Ekatjahjana, op.cit. h. 39.
124
Ibid
101
Berbeda dengan model pengawasan preventif, pengawasan represif dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu menangguhkan berlakunya suatu perda atau membatalkan suatu Perda. Model pengawasan represif ini dapat dijalankan terhadap semua peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan kepentingan umum. Khusus untuk penangguhan, sebenarnya instrumen ini merupakan suatu usaha persiapan dari proses pembatalan, dimana penangguhan suatu aturan terjadi karena sedang dilakukan pertimbangan untuk membatalkan Perda dimaksud. Namun demikian tidak semua pembatalan harus melalui proses penangguhan, dimungkinkan pejabat yang memiliki kewenangan ini dapat langsung membatalkan perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan kepentingan umum. Ketentuan tentang pengawasan Peraturan Daerah di dalam UU No. 32 Thn 2004 dijabarkan lebih lanjut ke dalam PP 79 Tahun 2005. Secara umum isi PP 79 Tahun 2005 adalah sama dengan isi UU No. 32 Thn 2004. Hal baru yang diatur di dalam PP 79 tahun 2005, yang merupakan penjabaran terhadap ketentuan Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004, adalah kepada Gubernur dan Bupati/Walikota diberikan waktu 15 hari kerja sejak diterimanya pembatalan untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. (Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Jo. Pasal 39 PP No.79 Tahun 2005). Ketentuan Pasal 42 PP No.79 Tahun 2005 menyatakan :”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah serta evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan
102
peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri”. Permendagri 53 tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang saat ini telah diganti dengan Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dan dirubah kembali dengan Permendagri No. 1 tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Pengawasan represif disebut juga sebagai executive review, sedangkan pengawasan preventif disebut sebagai executive preview. Konsep pengujian memiliki beberapa jenis yang mana diantaranya adalah toetsingsrecht dan judicial review.125 Pemerintah Pusat mempunyai dasar untuk melakukan pengujian terhadap perda, yaitu bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 1. Pengujian perda bertentangan dengan kepentingan umum Kewenangan Pemerintah Pusat, masih sangat luas cakupannya. Istilah kepentingan umum bisa diartikan sebagai kepentingan umum nasional ataukah kepentingan umum lokal (daerah). Maksud bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang mengakibatkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Mengingat
Peraturan
Daerah
merupakan
peraturan
perundang-undangan yang bersifat lokal (local wet), maka yang dimaksud
125
Ibid, h.40
103
dengan istilah kepentingan umum, tidak lain merupakan kepentingan umum yang hanya mencakup daerah setempat. 2. Pengujian perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengujian ini berpedoman pada asas lex superior derogate lex inferiori yang intinya adalah hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah tingkatannya. Jadi peraturan yang secara hirarki berada pada tingkatan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, sehingga harmonisasi hierarki perundang-undangan dapat terjaga dan tidak terjadi konflik norma. Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan ditegaskan pada Pasal 7 ayat (1) UU PPPU jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; KetetapanMajelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. pembuatannya
perda
juga
harus
memperhatikan
asas
larangan
penyalahgunaan wewenang, artinya bahwa suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan dan maksud lain, selain yang ditetapkan. Untuk dapat dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan pengujian terhadap ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan suatu perda maka dapat dipergunakan suatu peraturan yang memberikan wewenang tersebut atau menggunakan peraturan dasar yang melahirkan wewenang tersebut.
104
Dalam pembatalan Perda itu sendiri terjadi dualisme, maksud dualisme ini adalah pembatalan Perda Provinsi itu sendiri dilakukan oleh dua instansi pemerintah pada ranah administrasi. Karena jika mengacu pada Pasal 145 dan Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 terlihat pembatalan itu dapat dilakukan oleh Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden dan dilakukan oleh Mendagri dengan instrumen Peraturan Menteri Dalam Negeri. 3.3. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 UU
Pemda sebagai landasan hukum penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, yang menyerahkan wewenang pemerintahan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sesuai aspirasi masyarakat sebagai upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan daerah. Sehubungan dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, Kepala Daerah dan DPRD diberikan kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah yang berfungsi sebagai instrumen hukum yang memberikan, mengatur dan sekaligus mengawasi pelaksanaan wewenang pemerintahan, serta sebagai alat uji keabsahan tindakan penyelenggara pemerintahan di daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan di daerah sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004. Pasa1 136 (1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. (2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
105
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. (4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. (5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih tinggi yang diuraikan pada Pasal 136 ayat (4) seperti Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan
Peraturan
Presiden. Berkaitan dengan bertentangan dengan kepentingan umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Untuk memastikan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah dan DPRD tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka dilakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dimaksud, sebagaimana dikatakan oleh S. Prayudi Atmosudirjo dan Muchsan bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap Peraturan Daerah pada hakikatnya merupakan upaya Pemerintah untuk mencocokan materi muatan Peraturan Daerah yang dibuat itu sesuai tidak dengan materi muatan peraturan perundang-undangan di atasnya. Ketika dalam pembentukannya perda terdapat ketidak sinkronan yang menimbulkan suatu perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan
106
kepentingan umum baik perda provinsi maupun perda kabupaten/kota maka perda tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah. Berkaitan dengan pembatalan perda ada mekanisme yang harus ditempuh oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Salah satu terhadap pembatalan perda provinsi salah satu aturan yang mengatur pembatalan perda provinsi adalah UU No. 32 Thn 2004 yang diatur pada Pasal 145 yang mengatur sebagai berikut : (1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah rnencabut Perda dimaksud. (5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan ;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Pengaturan lain pembatalan Perda Provinsi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Thn 2004 yang menjabarkan kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda Provinsi diantaranya : Pasal 185 (1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum
107
(2)
(3)
(4)
(5)
ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepantingan umum dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersarna DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
Ketentuan Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 memberi wewenang kepada Menteri Dalam Negeri membatalkan Raperda Provinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD yang bertentangaran dengan kepentingan umum atau perataturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah Gubernur tidak mengindahkan hasil evaluasi. Pasal 186 (1) Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. (2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bapati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
108
perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota. (4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi. (5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya. (6) Gubernur menyampaikan hasil, evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri. Ketentuan Pasal 186 UU No. 32 Thn 2004 memberi wewenang kepada Gubernur untuk membatalkan Raperda Kabupaten/ Kota tentang APBD dan Peraturan Bupati/ Walikota tentang Penjabaran APBD yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah Bupati/ Walikota tidak mengindahkan hasil evaluasi. Pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 menetapkan kewenangan pembatalan perda ada pada Presiden dengan instrumen Perpresnya. Kemudian pada pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 menyatakan Mendagri memiliki kewenangan untuk membatalkan perda juga, tetapi kewenangan pembatalan yang dimiliki oleh Mendagri di sini terbatas hanya pada perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah, dan RTRW. Berdasarkan ketentuan Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 189 UU No. 32 Thn 2004, Peraturan Daerah tentang APBD, Tata Ruang Daerah, Pajak Daerah
109
Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan bersama Kepala Daerah dan DPRD, sebelum disahkan oleh Kepala Daerah, harus dimintakan evaluasi terlebih dahulu kepada Mendagri untuk Perda Provinsi atau kepada Gubernur untuk Perda Kabupaten/Kota. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 harus sudah disampaikan oleh Mendagri atau Gubernur kepada Pemerintah Daerah paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterimanya Perda. Jika membedah UU No. 32 Thn 2004 sebagai dasar pembatalan perda maka yang akan dapat ditemukan dalam UU No. 32 Thn 2004 ini adalah : 1. Mengatur mengenai pembatalan perda provinsi dengan instrumen hukum pembatalannya adalah Peraturan Presiden terhadap seluruh Perda baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota kecuali Perda APBD, Perda pajak daerah dan retribusi daerah dan perda RTRW, Provinsi maupun Kabupaten/Kota, sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 145. 2. Mengatur mengenai pembatalan Raperda Provinsi terbatas pada Raperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW dengan melalui tahap evaluasi terlebih dahulu oleh Mendagri, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 185, dengan instrumen hukumnya yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri. 3. Mengatur mengenai pembatalan Raperda Kabupaten/Kota terbatas pada Raperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW dengan
110
melalui tahap evaluasi terlebih dahulu oleh Gubernur sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 186. 3.4. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) (selanjutnya disingkat UU PDRD). Mengatur khusus mengenai Pajak daerah dan Retribusi Daerah yang jika kita lihat mengacu pada UU Pemda merupakan kewenangan pembatalan yang ada pada Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana yang di atur dalam Pasal 185 bahwa Pajak daerah dan Retribusi daerah terlebih dahulu melewati tahapan evaluasi baik Perda Pajak daerah dan Retribusi daerah Provinsi maupun Perda Pajak daerah dan Retribusi daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan mengenai tahapan evaluasi Raperda hingga tahapan pembatalannya diatur pada Pasal 157 dan Pasal 158. Pasal 157 (1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. (2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. (3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan UndangUndang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundangundangan lain yang lebih tinggi. (4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian
111
Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. (5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. (6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan. (7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud. (8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan penolakan. (9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan. (10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Pasal 158 (1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. (2) Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. (3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (duapuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. (5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam
112
(6)
(7)
(8)
(9)
puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
Pengaturan pembatalan Perda pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158 memang menjadi kewenangan Menteri Dalam negeri jika mengacu pada Pasal 185 dan Pasal 186 UU Pemda meningat Pajak daerah dan Retribusi daerah merupakan bagian dari perda yang harus melalui tahapan evaluasi dan klarifikasi. Tahapan evaluasi itu menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri terhadap Raperda yang disampaikan oleh Gubernur. Begitu pula halnya dengan Gubernur yang melakukan evaluasi terhadap Raperda yang diajukan oleh Kabupaten/Kota, berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah dengan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Apabila hasil evaluasi menunjukan pada Raperda yang disampaikan oleh Gubernur untuk Raperda Provinsi dan Bupati/Walikota untuk Raperda Kabupaten/Kota tidak terjadi permasalahan maka dapat diteruskan untuk selanjutnya menjadi Perda. Akan tetapi ketika Raperda yang disampaikan oleh Gubernur tersebut ditolak oleh Menteri Dalam Negeri dan Raperda yang
113
disampaikan oleh Bupati/Walikota ditolak oleh Gubernur dengan alasan bahwa Raperda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum, maka Gubernur dan Bupati/Walikota harus menyempurnakan kembali Raperda tersebut. Tahapan Klarifikasi itu menjadi kewenangan Presiden untuk membatalkan Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota. Perda Provinsi dan Perda Kabupaten tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan proses klarifikasi. Hasil Klarifikasi Perda Pajak Daerah dan Retribusi daerah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan tersebut dapat berupa persetujuan terhadap perda maupun penolakan terhadap Perda. Ketika hasil klarifikasi menunjukan persetujuan maka Pemerintah Daerah dapat menentapkannya menjadi Perda, tetapi jika hasil klarifikasi menunjukan penolakan maka Menteri Keuangan merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda kepada Presiden untuk membatalkan Perda yang dimaksud. Pada undang-undang ini juga memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung apabila tidak menerima keputusan Pembatalan Perda. Jadi kewenangan pembatalan Perda yang terdapat pada UU PDRD ada pada Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden. Menteri Dalam Negeri maupun Gubernur memiliki kewenangan pembatalan hanya pada tahapan evaluasi yang bentuknya masih Raperda dan bukan Perda.Uuntuk Provinsi pembatalannya ada pada Menteri Dalam Negeri dan Kabupaten/Kota pembatalannya menjadi kewenangan Gubernur. Sementara Menteri Keuangan pada tahapan evaluasi dan
114
klarifikasi hanya sebatas memberikan rekomendasi
semata dan bukan
memberikan keputusan pembatalan. Dengan diundangkannya UU No. 23 Thn 2014 maka ketentuan Pasal 157, Pasal 158, dan Pasal 159 juga dinyatakan tidak berlaku dan embatalan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah merupakan kewenangan dari Mendagri. 3.5. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Diundangkannya UU No. 23 Thn 2014 Tentang Pemerintahan Daerah maka dengan itu UU No. 32 Thn 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak berlaku kembali, oleh karenanya aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah yang masih mengacu pada UU No. 32 Thn 2004 harus menyesuaikan kepada UU No. 23 Thn 2014. Terdapat perbedaan dan persamaan pengaturan mengenai pembatalan perda yang diatur pada masing-masing Undang-undang tersebut. Pengaturan pembatalan perda pada UU No. 23 Thn 2014 dapat dilihat pada : Pasal 245 (1) Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh gubernur. (2) Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang tata ruang daerah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang. (3) Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota. (4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam melakukan evaluasi rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Menteri
115
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan, dan untuk evaluasi rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang tata ruang daerah berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang. Hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi dan rancangan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) jika disetujui diikuti dengan pemberian nomor register. Pasal 245 ini menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan dalam rangka mengevaluasi Ranperda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah, yang mana terdapat penambahan yakni berkaitan dengan RPJPD dan RPJMD yang pada UU No. 32 Thn 2004 tidak diatur. Pada UU No. 32 Thn 2004 hanya mengatur mengenai Ranperda APBD, PDRD, dan RTRW. Pasal 250 (1) Perda atau Perkada sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. (2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Terganggunya kerukunan antar warga masyarakat; b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum; d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan, dan gender. Pengaturan pada Pasal ini sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 136 UU 32 Thn 2004 yakni mengatur alasan pembatalan Perdayang hanya terdapat penambahan pada bertentangan dengan kesusilaan semata.
116
Pasal 251 (1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. (2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. (3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota. (4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. (5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. (6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah mencabut Perkada dimaksud. (7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima. (8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima.
117
Pasal ini dengan tegas menjabarkan kewenangan Menteri Dalam Negeri yang berkaitan dengan pembatalan perda provinsi serta perda kabupaten/kota apabila Gubernur yang memiliki kewenangan untuk membatalkan perda tersebut tidak melakukan pembatalan. Mendagri juga memiliki kewenangan untuk menerima keberatan penyelenggara Kabupaten/Kota terhadap pembatalan Perda yang dilakukan oleh Gubernur, kewenangan Mendagri ini sangatlah lebih besar jika dibandingkan saat pengaturanya pada UU No. 32 Thn 2004. Mengingat sebelumnya pembatalah Perda dalam kaitannya pengawasan secara represif yang sebelumnya pada UU 32 Thn 2004 Pasal 145 merupakan kewenangan Presiden kini dengan adanya UU 23 Thn 2014 kewenangan pembatalan Perda semua beralih menjadi kewenangan Mendagri sehingga pembatalan perda bukan lagi menjadi kewenangan Presiden. Proses Ranperda hingga pada tahap Perda mekanisme pembatalannya semua dilakukan oleh mendagri terhadap seluruh perda tanpa terkecuali sebagaimana yang diatur pada Pasal 251 UU 23 Thn 2014 tersebut. Pasal 267 (1) Rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD dan RPJMD yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak persetujuan bersama disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi. (2) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD dan RPJMD yang telah disetujui bersama oleh bupati/wali kota dan DPRD Kabupaten/Kota sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak persetujuan bersama disampaikan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk dievaluasi. Pasal 268 (1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan RPJPN dan
118
rencana tata ruang wilayah provinsi, kepentingan umum dan/atau ketentutan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari sejak Rancangan Perda diterima. (3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD tidak sesuai dengan RPJPN dan rencana tata ruang wilayah provinsi, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil evaluasi diterima. (4) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD serta gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD menjadi Perda, Menteri membatalkan Perda dimaksud. Pasal 269 (1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan RPJPD Provinsi dan RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada Gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari sejak rancangan Perda dimaksud diterima. (3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD tidak sesuai dengan RPJPD provinsi dan RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil evaluasi diterima. (4) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD menjadi Perda, Menteri membatalkan Perda dimaksud. Pembatalan terhadap Ranperda RPJPD dan RPJMD Provinsi merupakan kewenangan baru yang dimiliki Mendagri karena sebelumnya pada UU No. 32 Thn 2004 pengaturan pembatalan Ranperda ini tidak pernah ada. Pasal 314 (1) Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur, paling lama 3 (tiga) Hari, disampaikan
119
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
kepada Menteri untuk dievaluasi, dilampiri RKPD, serta KUA dan PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan DPRD. Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD dengan: f. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; g. kepentingan umum; h. RKPD serta KUA dan PPAS; dan i. RPJMD. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda Provinsi dan rancangan peraturan gubernur dimaksud diterima. Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta RPJMD, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan peraturan gubernur. Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta RPJMD, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima. Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan peraturan gubernur, Menteri membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda dan peraturan gubernur dimaksud. Dalam hal pembatalan dilakukan terhadap seluruh isi Perda Provinsi tentang APBD dan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberlakukan pagu APBD tahun sebelumnya.
Hal ini merupakan kewenangan Mendagri dalam melakukan evaluasi terhadap APBD yang diajukan oleh Gubernur, seperti halnya yang terdapat pada UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) pada saat evaluasi dilakukan oleh Mendagri pembatalannya sifatnya masih preventif.
120
Pasal 324 (1) Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) Hari disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi. (2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda Provinsi dimaksud diterima. (4) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi dimaksud menjadi Perda Provinsi. (5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima. (6) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah menjadi Perda, Menteri membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda Provinsi dimaksud. (7) Menteri dalam melakukan evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan. Merupakan kewenangan Mendagri untuk membatalkan pada proses evaluasi yang bentuknya masih pengawasan secara preventif seperti halnya pengaturan yang terdapat pada UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) jo Pasal 189. UU No. 23 Thn 2014 memiliki berbagai perbedaan dan persamaan berkaitan materi yang diatur khususnya mengenai Pembatalan Perda. Persamaan dari pengaturan pembatalan perda ini dapat dilihat pada kewenangan yang dimiliki oleh Mendagri yakni Mendagri memiliki kewenangan pembatalan
121
terhadap Ranperda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta rencana tata ruang yang diatur pula dalam UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) jo Pasal 189. Perbedaan yang signifikan terjadi ketika melihat kewenangan Mendagri yakni adanya penambahan pembatalan yang masih bentuknya Ranperda pada Ranperda RPJPD dan RPJMD serta mengenai kewenangan yang dimiliki Presiden dalam Pembatalan Perda. Sebelumnya dalam UU No. 32 Thn 2004 Presiden membatalkan seluruh Perda tanpa terkecuali pada UU No. 23 Thn 2004 ini kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Mendagri sehingga mendagrilah yang memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda. Presiden hanya memiliki kewenangan terhadap keberatan yang diajukan pemerintah daerah terhadap pembatalan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Selain itu Mendagri juga berwenangan untuk membatalkan perda apabila Gubernur tidak melakukan pembatalan terhadap Perda yang diajukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota serta menerima keberatan yang diajukan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap pembatalan perda yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. 3.6. Pembatalan Perda Provinsi dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 Sebagai tindak lanjut dari Pasal 145, Pasal 185, dan Pasal 186 UU No. 32 Thn 2004 dibentuklah PP 79 tahun 2005. PP ini mengatur mengenai pejabat yang memiliki kewenangan pembatalan Perda, bentuk hukum pembatalan perda dan produk hukum daerah yang dibatalkan. Lebih lanjut pengaturan mengenai pembatalan Perda dapat dijumpai pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 42.
122
Pasal 37 (1) Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan. (2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. (3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. (5) Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 38 (1) Peraturan Presiden tentang pernbatalan Peraturan Daerah ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Daerah diterima oleh Pemerintah. (2) Peraturan Menteri tentang pembatalan Peraturan Kepala Daerah ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Peraturan Kepala Daerah diterima oleh Menteri. Pasal 39 (1) Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Peraturan, Kepala Daerah tentang penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi dan rencana tata ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (2) Menteri melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan peraturan Gubernur tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. (3) Gubernur melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah kabupaten/kota dan rancangan peraturan. Bupati/Walikota tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. (4) Evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana diatur pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan dimaksud. Pasal 40 (1) Gubernur dan Bupati/Walikota menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterima.
123
(2) Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1) dan tetap menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, Menteri dapat membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri. (3) Apabila Bupati/Walikota tidak menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1) dan tetap menetapkan menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan, kepala daerah, Gubernur dapat membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan Gubernur. Pasal 41 (1) Apabila Gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah dan peraturan-kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya pembatalan. (2) Apabila Bupati/Walikota tidak dapat menerima.keputusan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Bupati/ Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya pembatalan. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah serta evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri. Pengaturan dalam PP ini mulai membedakan pengawasan perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang dengan perda di luar empat jenis perda tersebut. Pembedaan pengawasan perda ini juga berimplikasi pada kewenangan pejabat yang membatalkan. Pengawasan dan pembatalan perda APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang dilakukan secara berjenjang oleh Gubernur untuk perda kabupaten/kota dan oleh Mendagri untuk perda provinsi.
124
Gubernur dapat membatalkan Raperda Kabupaten/Kota terhadap Raperda APBD, Pajak daerah dan Retribusi Daerah dan RTRW saat berada pada tahapan evaluasi dan apabila sudah berada pada tahapan klarifikasi jika dirasakan Perda yang diajakan oleh Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum Gubernur membatalakan Perda tersebut dengan Peraturan Gubernur. Sedangkan Mendagri dapat membatalkan Raperda Provinsi yang diajukan oleh Gubernur untuk Raperda APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah dan RTRW setelah melalui tahapan evaluasi dan membatalakan Perda Provinsi berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah dan Retribusi daerah dan RTRW setelah melalui tahapan Klarifikasi melalui Peraturan Menteri. Sementara untuk perda selain perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi daerah dan RTRW tersebut tidak melalui tahapan evaluasi dan Klarifikasi melainkan langsung dapat dibatalkan setelah dinilai oleh Mendagri selaku yang mengawasi daerah menilai bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum pembatalannya dilakukan melalui Peraturan Presiden berdasarkan usulan Mendagri. Ketentuan lebih lanjut dan lebih rinci terkait dengan pengawasan atau pembatalan perda diatur dalam Permendagri 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
125
3.7. Pembatalan Perda Provinsi dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 Pembentukan Permendagri ini merupakan penjabaran dari UU No. 32 Thn 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005. Permendagri 1 Tahun 2014 mengatur sebagai berikut: 1. Istilah pengawasan represif yang telah lazim disebutkan sebagai pengawasan setelah sahnya peraturan diganti dengan istilah klarifikasi. 2. Wewenang melaksanakan klarifikasi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/ Wlikota yang sebelumnya menurut PP No.79 Tahun 2005 merupakan wewenang Mendagri, dilimpahkan kepada Gubernur (Pasal 3). Pelimpahan wewenang ini bertentangan dengan asas “delegatus non potest delegare” yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang yang menerima kekuasaan secara delegasi tidak boleh mendelegasikan kembali kekuasaan tersebut kepada pihak lain (bertentangan dengan asas kepercayaan). Permendagri mengatur dua model pengawasan yaitu klarifikasi untuk perda dan evaluasi untuk ranperda. Evaluasi dilakukan untuk empat jenis perda. Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan berjenjang dan pejabat yang membatalkan perda APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang tidak banyak berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah. Namun untuk pengawasan perda di luar empat jenis perda, Permendagri melakukan pengaturan lebih rinci terkait dengan mekanisme pengawasan dan pejabat yang berwenang membatalkan.
126
Tahapan evaluasi Raperda Provinsi dan Raperda Kabupaten/Kota mengenai APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW diatur pada Pasal 76 sampai dengan pasal 85. Pasal 76 (1) Gubernur menyampaikan Rancangan Perda provinsi tentang APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban APBD, pajak daerah, retribusi daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD, penjabaran perubahan APBD dan penjabaran pertanggungjawaban APBD kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Keuangan Daerah untuk mendapatkan evaluasi. (2) Gubernur menyampaikan Rancangan Perda provinsi tentang tata ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Pembangunan Daerah untuk mendapatkan evaluasi. Pasal 77 (1) Menteri Dalam Negeri membentuk tim evaluasi Rancangan Perda. (2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah dan rancangan perda tentang retribusi daerah; b. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang tata ruang daerah; dan c. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban APBD. (3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri. (4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembangunan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri. (5) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Keuangan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri. (6) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan.
127
Pasal 78 (1) Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) melakukan evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. (2) Tim evaluasi sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang. (3) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dijadikan sebagai bahan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pasal 79 (1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 melaporkan hasil evaluasi Rancangan Perda provinsi kepada Menteri Dalam Negeri. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara sebagai bahan keputusan Menteri Dalam Negeri. Pasal 80 (1) Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. (2) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi. (3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda dan/atau peraturan gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan peraturan gubernur dengan Peraturan Menteri. Berdasarkan pengaturan pada Pasal 76 sampai dengan Pasal 80 merupakan pengaturan mengenai tahapan evaluasi Raperda Provinsi berkaitan dengan APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah yang dievaluasi oleh Mendagri dengan berkoordinasi dengan Menteri keuangan dan Perda RTRW oleh Menteri Dalam Negeri dengan berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang. Apabila hasil evaluasi menunjukan penolakan terhadap raperda yang diajukan oleh Gubernur Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dengan Peraturan Menteri.
128
Pasal 81 Bupati/walikota menyampaikan Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban APBD,dan pajak daerah, retribusi daerah serta tata ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada gubernur untuk mendapatkan evaluasi. Pasal 82 (1) Gubernur membentuk tim evaluasi untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, yang keanggotaannya terdiri atas SKPD sesuai kebutuhan. (2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Pasal 83 (1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 melaporkan hasil evaluasi Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 kepada gubernur. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara untuk dijadikan bahan keputusan gubernur. Pasal 84 (1) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan tentang tata ruang daerah dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan bahan Keputusan Gubernur. Pasal 85 (1) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) kepada bupati/walikota paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. (2) Bupati/walikota menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi. (3) Apabila bupati/walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda atau peraturan bupati/walikota, gubernur membatalkan Perda dan/atau peraturan bupati/walikota dengan peraturan gubernur.
129
Berdasarkan pengaturan pada Pasal 81 sampai dengan Pasal 85 merupakan pengaturan mengenai tahapan evaluasi Raperda Kabupaten/Kota berkaitan dengan APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah yang dievaluasi oleh Gubernur dengan berkoordinasi dengan Menteri keuangan dan Perda RTRW oleh Gubernur dengan berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang. Apabila hasil evaluasi
menunjukan
penolakan
terhadap
raperda
yang
diajukan
oleh
Bupati/Walikota Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dengan Peraturan Gubernur. Tahapan Klarifikasi atas hasil evaluasi Raperda Provinsi dan atau Kabupaten/Kota mengenai APBD Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan RTRW diatur pada Pasal 86 sampai dengan Pasal 87 Pasal 86 (1) Gubernur menyampaikan Perda tentang pajak daerah, Perda tentang retribusi daerah, Perda tata ruang daerah, Perda tentang APBD, Perda tentang Perubahan APBD dan Perda tentang Pertanggungjawaban APBD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diundangkan kepada Menteri Dalam Negeri. (2) Klarifikasi terhadap Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim evaluasi. (3) Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila tidak sesuai dengan hasil evaluasi maka Perda dimaksud dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 87 (1) Pembatalan Perda tentang Perda tentang pajak daerah, Perda tentang retribusi daerah, Perda tata ruang daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya pembatalan harus dihentikan pelaksanaannya. (2) Pembatalan Perda tentang APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) sekaligus dinyatakan berlaku pagu APBD tahun anggaran sebelumnya/APBD tahun anggaran berjalan.
130
Klarifikasi yang dimaksud pada Pasal 86 dan Pasal 87 merupakan klarifikasi atas hasil evaluasi sebelumnya berkaitan dengan Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang sebelumnya telah mendapatkan penolakan oleh Mendagri terhadap Raperda Provinsi dan penolakan oleh Gubernur terhadap Raperda Kabupaten/Kota. Tahapan Klarifikasi berikutnya sebagaimana yang diatur pada Pasal 88 sampai dengan Pasal 98 merupakan bentuk pengawasan represif oleh pemerintah pusat berkaitan dengan pembentukan produk hukum daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota berkaitan dengan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW. Pasal 88 (1) Gubernur menyampaikan Perda provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi. (2) Bupati/walikota menyampaikan Perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota kepada gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi. Pasal 89 (1) Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri membentuk tim klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan. (2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pasal 90 (1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 melakukan klarifikasi Perda dan Perkada. (2) Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi; dan b. hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
131
(3) Hasil klarifikasi Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri. (4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 91 (1) Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat kepada kepala daerah yang berisi pernyataan telah sesuai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf a. (2) Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat hasil klarifikasi kepada kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf b yang berisi rekomendasi agar pemerintah daerah melakukan penyempurnaan Perda dan/atau melakukan pencabutan Perda. (3) Tindak lanjut terhadap penyempurnaan dan/atau pencabutan Perda, Perkada dan Peraturan DPRD dalam bentuk perubahan Peraturan daerah, perubahan Perkada dan perubahan Peraturan DPRD dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk pembatalan. Pengaturan Klarifikasi sebagai bentuk pengawasan represif pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk Provinsi untuk Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW hasil klarifikasi dapat berbentuk persetujuan bahwa Perda Provinsi dinyatakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau perda provinsi tersebut dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi yang selanjutnya Mendagri membatalkan Perda Provinsi tersebut dengan Peraturan Mendagri dan meminta daerah untuk melakukan penyempurnaan dan/atau mencabut perda yang telah dibatalkan tersebut. Akan tetapi jika pemerintah daerah tidak mengindahkan hasil klarifikasi
132
dan tetap menetapkannya menjadi Perda maka Mendagri akan meminta kepada Presiden untuk membatalkan Perda tersebut. Pasal 92 (1) Gubernur membentuk tim klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas SKPD sesuai kebutuhan. (2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Pasal 93 (1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 melakukan klarifikasi Perda kabupaten/kota dan Peraturan bupati/walikota. (2) Hasil klarifikasi Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a.
hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi; dan
b.
hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
(3) Hasil klarifikasi peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan usulan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan. Pasal 94 (1) Sekretaris Daerah provinsi atas nama gubernur menerbitkan surat kepada bupati/walikota yang berisi pernyataan telah sesuai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a. (2) Gubernur menerbitkan surat kepada bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b yang berisi rekomendasi agar pemerintah daerah melakukan penyempurnaan Perda dan/atau melakukan pencabutan Perda. (3) Tindak lanjut terhadap penyempurnaan dan/atau pencabutan Perda, Perkada dan Peraturan DPRD dalam bentuk perubahan peraturan daerah, perubahan Perkada dan perubahan Peraturan DPRD dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak melaksanakan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur melalui Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk pembatalan. (5) Apabila Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda
133
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Pasal 95 (1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3) terhadap sebagian atau seluruh materi Perda kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Presiden. (2) Sebagian materi Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pasal dan/atau ayat. Pasal 96 (1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 disertai dengan alasan. (2) Alasan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menunjukkan pasal dan/atau ayat yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda kabupaten/kota. Pasal 97 Paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya peraturan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Pengaturan Klarifikasi sebagai bentuk pengawasan represif pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk Kabupaten/Kota untuk Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW hasil klarifikasi dapat berbentuk persetujuan bahwa Perda Kabupaten/Kota dinyatakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau perda Kabupaten/Kota tersebut dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hal ini dijadikan dasar pertimbangan Gubernur sebagai usulan kepada Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan Perda Kabupaten/Kota tersebut dan meminta daerah untuk melakukan penyempurnaan dan/atau mencabut perda yang telah dibatalkan tersebut. Akan tetapi jika pemerintah Kabupaten/Kota tidak mengindahkan hasil klarifikasi dan
134
tetap menetapkannya menjadi Perda maka Gubernur melalui Menteri dalam Negeri akan meminta kepada Presiden untuk membatalkan Perda tersebut. Pasal 98 (1) Dalam hal pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. (2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Upaya untuk memperoleh keadilan tidak berhenti hanya pada kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah lewat pengawasan preventif dan pengawasan represif semata. Pemerintah daerah Provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota masih dapat melalukukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk mengajukan keberatan atas pembatalan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Permohonan keberatan ini bukan lagi berada pada ranah ecsecutive review tetapi sudah berada pada ranah judicial review yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan. Nantinya Mahkamah Agung-lah yang menentukan apakah mengabulkan keberatan dari pemerintah daerah atau menolak keberatan yang disampaikan oleh pemerintah daerah.
135
BAB IV AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
4.1. Bentuk Hukum Pembatalan Peraturan Daerah Provinsi Pelaksanaan
otonomi
dengan
konsep desentralisasi
di
Indonesia
berhubungan dengan konsep pembagian urusan yang menjadi kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, karena dalam pelaksanaan desentralisasi senantiasa terdapat dua komponen yang sangat penting yaitu pembentukan daerah otonomi dan penyerahan kewenangan secara yuridis dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan. Kewenangan dalam arti yuridis yang diberikan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.126 Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi.127 Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan atau wewenang berkaitan dengan kekuasaan formal/legal, yaitu kekuasaan yang bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum kewenangan selalu berkenaan dengan tindak hukum publik. Seperti yang kita ketahui atribusi delegasi dan mandat merupakan sumber kewenangan yang penting dalam negara demokrasi yang salah satu asasnya menekankan tindak pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Asas
126
Indrohato, 1991, Usaha Memahami Undang-UndangTentang Peradilan tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68. 127
Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid) dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI, h. 90. (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon IV).
136
demikian lazimnya disebut asas legalitas atau Rechtmatigheid van bestuur.128 Tindak pemerintahaan harus didasarkan pada wewenang. Karena wewenang menjadi dasar keabsahan atas tindak pemerintahan. Wewenang yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan merupakan legalitas formal, artinya yang memberi legitimasi terhadap tindak pemerintahan. Maka dikatakan bahwa substansi dari peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan prinsip negara hukum meletakan undang-undang sebagai sumber kewenangan.129 Berpijak pada hukum administrasi, dasar-dasar wewenangan pemerintahan ini lazimnya diperoleh dari hukum positif, yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut yakni UU PPPU yang mengatur mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan dapat dijadikan dasar wewenang pemerintahan. Tindak pemerintahan (bestuurschandeling) adalah tindakan atau perbuatan yang
dilakukan
oleh
administrasi
negara
dalam
melaksanakan
tugas
pemerintahan.130 Tindak pemerintahan pada dasarnya dapat dibagi atas dua macam, yaitu tindak pemerintahan berdasarkan atas fakta (vetelijkehendeling) dan tindak berdasar atas hukum (rechtshandeling).131 Tindakan nyata adalah tindakantindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum.132
128
SF. Marburn, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 158. (Selanjutnya disebut SF. Marburn II). 129
Sadjijono, op.cit, h.49.
130
Philipus M. Hadjon II, op.cit, h.1
131
I. G. N. Wairocana, 2006, Tindak Pemerintahan (Suatu Orientasi Singkat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 7. (Selanjutnya disebut Wairocana II). 132
Ridwan HR. II, op.cit, h. 113
137
Tindakan hukum merupakan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.133 Tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum adalah tindakan-tindakan yang mempunyai pengaruh hukum secara langsung, atau tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum secara langsung.134 Tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum dapat digolongkan menjadi dua yaitu tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum privat dan tindak pemerintahan berdasarkan hukum publik. Tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum publik dapat dibedakan menjadi tiga bagian yakni beschiking (mengeluarkan keputusan), regeling (mengeluarkan peraturan), dan materiele daad (melakukan perbuatan materil).135 Tindakan pemerintahan berdasarkan hukum publik berupa beschiking atau mengeluarkan keputusan dapat dibedakan atas tindakan sepihak (eenzijdig) dan berbagai pihak (meerzijdig).136 Tindakan hukum sepihak dibagi lagi menjadi dua yaitu pertama interne beschiking, yaitu keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan dalam lingkungan alat negara yang membuatnya, dan kedua (externe beschiking) yaitu keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan antara dua atau lebih alat-alat negara. Keputusan Tata Usaha Negara merupakan contoh dari tindak hukum sepihak yang merupakan externe beschiking.137 133
Ibid
134
I. G. N. Wairocana, loc.cit.
135
Lutfi Efendi, 2003, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia Publishing, Malang, h. 42-43. 136
Philipus M.Hadjon IV, op.cit, h. 3
138
Perda dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan kepentingan dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan suatu adagium “lex superiori derogate legi inferiori”, yang artinya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat membatalkan peraturan yang lebih rendah (hukum yang tingkatannya lebih tinggi dapat membatalkan hukum yang tingkatannya lebih rendah). Hal ini sejalan dengan konsep dan pemikiran Hans Kelsen dengan stufenbou therorie, yang menyatakan bahwa hukum suatu negara itu berjenjang dan berlapis-lapis sehingga norma hukum yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah tersebut merupakan penjabaran dari norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Sehingga apabila perda bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi maka dapat dibatalkan, tentunya dengan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jika menganalisis berkaitan dengan pengaturan pembatalan perda seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya ada beberapa instrumen hukum yang dijadikan untuk membatalkan perda diantaranya : 4.1.1. Peraturan Presiden Dalam kaitannya dengan pembatalan Perda kewenangan yang akan digunakan teori wewenang atribusi dan delegasi dalam menentukan kewenangan Presiden dan Mendagri dalam membatalkan Perda. Atribusi adalah wewenang untuk membuat keputusan yang langsung bersumber kepada Undang-undang dalam arti materiil. Sehingga kewenangan yang diperoleh oleh suatu institusi
137
Ibid
139
pemerintah merupakan kewenangan asli. Atribusi sendiri merupakan wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan yang memuat unsur : a. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundangundangan b. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUUD NRI Tahun 1945 atau pembentuk Undang-undang kepada suatu lembaga. c. Lembaga yang menerima wewenang tersebut bertanggung jawab atas pelaksaan wewenang tersebut. Atribusi dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan orisinil ialah pembentuk Undang-Undang Dasar, Dewan perwakilan (pembentuk Undang-undang dalam arti formal) bersama-sama dengan Presiden. Pembentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan terdiri dari menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang dilakukan secara bersamasama. Maka yang dapat disebut sebagai pembentuk Peraturan perundangundangan orisinil adalah : 1. Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
(MPR)
karena
berwenang
menetapkan Undang-Undang Dasar. 2. Dewan
Perwakilan
Rakyat
(DPR)
bersama
Presiden,
karena
membentuk Undang-Undang. 3. Presiden, karena berwenang membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) . Sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan adalah :
140
a. Presiden
yang
berwenang
menetapkan
Peraturan
Pemerintah,
Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden. b. Menteri Negera atau yang setingkat yang berwenang membentuk menetapkan Peraturan Menteri dan Keputusan menteri. c. Pemerintah Daerah (Kepala Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD) yang berwenang menetapkan Peraturan Daerah). d. Kepala daerah yang berwenang menetapkan Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Tentunya dengan konsekwensi bahwa para pejabat di atas yang berwenang melakukan atribusi di Indonesia. Dalam atribusi pembentuk wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Pembentuk wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan Presiden sebagai salah satu instrumen yang dapat membatalkan perda, hal ini dapat ditemukan dalam UU No. 32 Thn 2004 yang mengatur dengan jelas kewenangan Presiden untuk membatalkan perda yakni pada Pasal 145 ayat (2) mengatur tentang kewenangan pemerintah untuk membatalkan perda apabila perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjuk pada struktur tapi tidak menyebutkan secara jelas pejabat yang berwenang untuk membatalkan perda. Pada ketentuan berikutnya, Pasal 145 ayat (3) mengatur bahwa pembatalan perda dilakukan melalui peraturan Presiden.
141
Menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 6 UU PPPU ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan
yang
lebih
tinggi
atau
dalam
menyelenggarakan
kekuasaan
Pemerintahan. Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden. Itu berarti Peraturan Presiden dalam ketentuan Pasal 145 ayat (3) UU No. 32 Thn 2004 adalah peraturan perundangundangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah. Hal ini menunjukan bahwa kewenangan membuat Peraturan Presiden merupakan konsekwensi dari jabatan sebagai Presiden, yang tidak menjabat sebagai Presiden tidak berwenang membuat Peraturan Presiden. Sebagaimana dikatakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa dari jabatan lahir wewenang organ administrasi negara untuk melakukan tindakan Pemerintahan, seseorang yang tidak memangku suatu jabatan tidak dapat melakukan suatu tindakan Pemerintahan dan kalau dilakukan tindakan tersebut sama sekali tidak membawa akibat hukum.138 Untuk itu, pembentukan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah merupakan wewenang atributif yang melekat pada jabatan Presiden. Dari aspek sinkronisasi materi muatan peraturan perundangundangan maka dilakukan penafsiran gramatikal terhadap kata Pemerintah dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) dengan mengunakan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku guna memperjelas kewenangan organ administrasi negara yang berwenang melakukan pembatalan Peraturan Daerah. Dalam ketentuan Pasal
138
Philipus M. Hadjon IV, op.cit, h. 10
142
1 angka 1 UU No. 32 Thn 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 PP No. 79 Tahun 2005 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 32 Thn 2004 maupun Pasal 1 angka 1 PP No. 79 Tahun 2005 ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Presiden. Untuk itu, kata Pemerintah dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004 adalah Presiden. Mengacu pendapat dari A. Hamid Atamimi yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah ialah organ yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia sebagai penyelenggara tertinggi, dengan bagian-bagiannya yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah tingkat I, dan Pemerintah daerah tingkat II.139
Dengan demikian sesuai
pengaturan Pasal 145 ayat (2) dan (3) UU No. 32 Thn 2004 dimaksud maka pembatalan Peraturan Daerah merupakan wewenang atribusi dari Presiden. Komponen dasar hukum, dapat diartikan bahwa prinsip negara hukum menentukan setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada aturan hukum
139
Ridwan H.R. I, Loc.cit.
143
yang berlaku termasuk tindakan Pemerintah membatalkan Peraturan Daerah. Oleh sebab itu, sesuai ketentuaun Pasal 145 ayat (2) dan (3) UU No. 32 Thn 2004 menjadi dasar hukum kewenangan Presiden untuk melakukan pembatalan Peraturan Daerah. Komponen Pengaruh dikaitkan dengan wewenang pembatalan Peraturan Daerah dapat dimaksudkan bahwa wewenang yang diberikan kepada Presiden
untuk
membatalkan
Peraturan
Daerah
adalah
sebagai
upaya
mengendalikan perilaku Kepala Daerah dan DPRD selaku subjek hukum agar dalam membentuk Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsekwensi dari Peraturan Daerah yang dibentuk bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan pengendalian melalui pembatalan terhadap Peraturan Daerah dimaksud oleh Presiden. Kewenangan yang diberikan kepada Presiden menjadi alat ukur keabsahan tindakan pembatalan Peraturan Daerah sebagai bentuk penerapan asas legalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum. Dalam negara hukum, setiap tindakan penyelenggaraan negara harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pengaturan dimaksud, itu berarti pengunaan standar wewenang umum pembatalan Peraturan Daerah merupakan kewenangan Presiden, standar wewenang umum pembatalan Peraturan Daerah merupakan kewenangan Presiden apabila tidak ada Rancangan Peraturan Daerah yang dipaksakan penetapannya menjadi Peraturan Daerah baik oleh Gubernur maupun Bupati/Walikota. Aspek Prosedur, menjadi proses penting bagi
144
Pemerintah dalam mengambil tindakan berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan termasuk pembatalan terhadap suatu Peraturan Daerah. Tindakan Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden terhadap suatu Peraturan Daerah harus melalui usulan dari Mendagri sesuai hasil pengawasan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota maupun Mendagri terhadap Peraturan Daerah Provinsi. Dari usulan Mendagri tersebut maka Presiden membentuk Peraturan Presiden untuk menetapkan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud. Aspek Substansi, dapat dimaksudkan bahwa Presiden diberikan wewenang untuk membatalkan seluruh Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun pemberian kewenangan kepada Presiden tersebut apabila berada dalam kondisi normal, artinya tidak adanya pemaksaan penetapan Rancangan Peraturan Daerah yang dikembalikan untuk diperbaiki menjadi Peraturan Daerah, karena apabila ada paksaan dari Pemerintah Daerah maka akan menjadi kewenangan Mendagri. Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden tersebut akan menimbulkan akibat hukum bahwa perda yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota batal dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan Pemerintah Daerah harus mencabut dan tidak memberlakukan kembali perda yang dibatalkan tersebut. Mengingat eksekutif review berakhir pada keputusan yang diberikan oleh Presiden. Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden ini juga dilakukan kepada Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi
145
Daerah dan Tata Ruang Daerah saat pemerintah daerah tidak menindak lanjuti hasil klarifikasi yang dilakukan oleh Mendagri serta tetap memberlakukan perda tersebut maka Mendagri akan memohonkan pembatalan yang ditujukan kepada Presiden untuk membatalkan Perda tersebut, hal ini diatur pada Pasal 95 ayat (1) Permendagri No. 1 Thn 2014. Apabila Pemerintah Daerah bersikukuh untuk menolak keputusan pembatalan tersebut sebagaimana yang diatur pada Pasal 145 ayat (5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 4.1.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Sebagaimana yang diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah bahwa perihal pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terahadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut: 1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk raperda provinsi dan oleh gubernur terhadap raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. 2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah yang tersebut di atas, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/kota untuk
146
memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.140 Ketentuan Pasal 185 ayat (5), dan Pasal 186 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004 Pasal 158 UU PDRD menjadi dasar hukum kewenangan Mendagri untuk melakukan pembatalan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan tata ruang, yang Rancangan Peraturan Daerah tersebut pada waktu dilakukan evaluasi dikembalikan untuk perbaikan tetapi dipaksakan penetapannya menjadi Peraturan Daerah. Standar wewenang khusus pembatalan Peraturan Daerah menjadi kewenangan Mendagri terhadap Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan tata ruang, yang rancangannya dikembalikan untuk diperbaikan namun dipaksakan penetapannya menjadi Peraturan Daerah. Apabila dalam kondisi yang tidak normal atau ada pemaksaan penatapan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan tata ruang, yang harus diperbaiki tetapi ditetapkan menjadi Peraturan Daerah maka lahirnya wewenang Mendagri untuk membatalkan Peraturan Daerah dimaksud. Dengan demikian apabila Gubernur maupun Bupati/Walikota tidak memaksakan penetapan suatu Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan tata ruang, yang harus diperbaiki karena bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka tidak ada kewenangan dari Mendagri untuk membatalkan Peraturan Daerah. Negara Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala
140
HAW. Widjaja II, h. 147-148.
147
pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden Republik Indonesia menurut Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD, inilah yang disebut sebagai prinsip “constitutional government”. Rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut undang-undang dasar”. Selanjutnya dalam ayat (2), yaitu: “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Juga dalam Pasal 17 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, dan dalam ayat (2), menegaskan, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, berdasarkan hal tersebut, maka para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai satu kesatuan institusi. Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
termasuk
pula
menteri,
sebagaimana yang diatur dalam bab V tentang Kementerian Negara, yaitu pada Pasal 17 adalah: (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Walaupun demikian, menteri-menteri dalam melaksanakan tugasnya tetap bergantung adanya pendelegasian kewenangan, jadi tidak serta merta memiliki kekuasaan, namun tetap adanya penyerahan kewenangan dari Presiden kepada
148
menteri-menterinya. Selanjutnya kajian berikut adalah terkait pada sistem pemerintahan di negara Indonesia. Dalam rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan bahkan dalam judul bab V UUD NRI Tahun 1945 jelas dipakai istilah menteri negara dan kementerian negara untuk pengertian yang bersifat umum dan berlaku untuk semua menteri. Hanya saja ada yang memimpin departemen atau biasa diistilahkan dengan menteri dengan portofolio, dan ada menteri yang tanpa portofolio. Pembedaan keduanya sangat penting karena berkaitan dengan jangkauan luas dan wewenangnya sebagai pejabat publik pembantu presiden. Menteri dengan portofolio departemen memiliki aparatur pemerintahan pendukung yang menjangkau sampai ke lapisan pemerintahan di daerah melalui aparatur dekonsentrasi di tingkat provinsi dan/atau bahkan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Sedangkan menteri tanpa portofolio departemen tidak memiliki jaringan aparatur sampai ke daerah-daerah. Semua pejabat pelaksana undang-undang sepanjang tegas diberi kewenangan untuk mengatur atau kewenangan regulatif/legislatif oleh undangundang (delegation of rule-making power by statute) , dapat pula mengeluarkan produk-produk peraturan tersendiri yang bersifat spesifik, khusus, ataupun yang hanya berlaku secara internal. Syaratnya adalah bahwa kewenangan semacam itu harus dengan tegas dinyatakan dalam undang-undang yang bersangkutan kepada pejabat atau lembaga negara yang bersangkutan. Inilah yang biasa dinamakan dengan “delegation of rule making power”.
149
Terkadang, kewenangan yang diperoleh dari pendelegasian tersebut (delegated power for legislation or rule making) memberikan lagi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang didelegasikan itu kepada instansi atau pejabat yang diberi delegasi. Misalnya undang-undang memberi delegasi kewenangan pengaturan presiden. Atas dasar itu, presiden menetapkan suatu Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden tersebut memberikan lagi delegasi kewenangan pengaturan atau kewenangan regulasi kepada Menteri yang diberi delegasi kewenangan. Proses pemberian kewenagan tingkat kedua ini biasa disebut juga dengan “sub delegasi” atau “sub-delegation of rule making power” berdasarkan kewenangan sub delegasi itulah, maka dikenal pula adanya bentuk-bentuk peraturan, seperti peraturan menteri dan sebagainya yang juga bersifat mengatur dan mengikat juga untuk umum.141 Oleh karena itu, sebagaimana uraian di atas maka tentunya yang diteliti apakah dalam hal pembatalan peraturan daerah yang dibatalkan oleh Mendagri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut telah sesuai dengan adanya pendelegasian wewenang dari Presiden selaku pemegang wewenang atribusi, namun kenyataannya secara normatif dari aturan kewenangan yang timbul, menunjukkan tidak adanya dasar kewenangan bagi Mendagri untuk dapat membatalkan suatu peraturan daerah, walaupun di dalam UU No. 32 Thn 2004 yang menyebutkan kewenangan dari Menteri, namun terbatas hanya dalam hal evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah untuk rancangan peraturan daerah
141
Jimly Asshiddiqie IV, op.cit, h. 341
150
provinsi dan evaluasi oleh Gubernur untuk rancangan peraturan daerah kabupaten/kota, yang difokuskan terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR. Selanjutnya hal tersebut dilakukan untuk memperoleh klarifikasi. Jadi jelaslan pembidangan kewenangan dan instrumen hukum dalam pembatalan perda ini. Tetapi dalam praktek ditemukan ketidaksesuaian dan ketidakkonsistenan pemerintah dalam melakukan pembatalan perda dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam praktek pembatalan perda selama ini dilakukan sepenuhnya oleh Mendagri. Padahal sudah jelas Mendagri hanya berwenang membatalkan Ranperda APBD, pajak, retribusi, RTRW dan juga peraturan kepala daerah, selebihnya perda diluar itu pembatalannya adalah kewenagan presiden. Terlebih hal ini ditambah lagi dengan tidak konsistennya pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum pembatalan perda. Selama ini pembatalan perda menggunakan Kepmendagri padahal sudah jelas diatur dalam Pasal 145 ayat (3) bahwa pembatalan perda menggunakan Perpres. Di dalam pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 menetapkan kewenangan pembatalan perda ada di tangan Presiden dengan instrumen perpresnya. Kemudian pada pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 menyatakan Mendagri memiliki kewenangan untuk membatalkan Raperda juga, tetapi kewenangan pembatalan yang dimiliki oleh Mendagri di sini terbatas hanya pada perda APBD, pajak, retribusi dan RTRW. Pasal 185 ini kemudian dijabarkan lebih lanjut pada UU No. 32 Thn 2004 telah mengatur dua hal terkait dengan pembatalan Perda, yaitu wewenang
151
pembatalan perda, jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk membatalkan perda. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Perpres, Permendagri atau Pergub untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku. Namun meskipun secara peraturan perundang-undangan pembatalan perda dalam bentuk Kepmendagri merupakan kekeliruan hukum, pemerintah daerah cenderung mematuhi Kepmendagri tersebut meskipun sebenarnya dapat melakukan upaya hukum pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung. Jadi jelaslah pemerintah tidak konsisten dalam menggunakan instrumen hukum pembatalan perda. Dalam Pasal 145 ayat 7 menyatakan apabila tidak dikeluarkan Perpres untuk membatalkan perda yang bermasalah, maka perda tersebut dapat tetap berlaku. Jadi implikasi hukum dari pembatalan menggunakan Kepmendagri adalah tidak tepat karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga hal tersebut berimplikasi tetap dapat berlakunya perda yang dibatalkan. Namun kewenangan yang diberikan kepada Presiden untuk mengendalian prilaku Kepala Daerah dan DPRD yang membentuk Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak dilakukan oleh Presiden tetapi dilakukan oleh Mendagri. Hal ini terlihat dari Mendagri telah membatalkan Peraturan Daerah. Padahal sesuai ketentuan Pasal 37 ayat (4) PP No. 79 Tahun 2005 dan Pasal 91 ayat (4) Permendagri 1 Tahun 2014 Mendagri hanya diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan Peraturan Daerah dan mengusulkan baik hasil pengawasan kepada Presiden untuk melakukan pembatalan apabila Peraturan
152
Daerah itu dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundng-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri yang sebelumnya pengaturannya pada UU No. 32 Thn 2004 merupakan semata-mata pembatalan Ranperda terhadap APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah yang merupakan tahapan evaluasi dalam kaitannya melaksanakan pengawasan secara preventif sebagaimana yang diatur pada Pasal 185, memiliki kewenangan pembatalan pada tahapan klarifikasi yang merupakan pengasawasan secara represif terhadap Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah seperti yang diatur pada Pasal 90 ayat (3) dan (4) Permendagri No. 1 Thn 2014. Namun pembatalan yang mengacu pada Permendagri No. 1 Thn 2014 ini hanya sebatas jika Pemerintah Daerah mau mencabut dan tidak memberlakukan kembali Perda yang dibatalkan oleh Mendagri, tetapi jika Pemerintah Daerah tetap memberlakukan Perda yang dibatalkan tersebut sebagaimana yang diatur pada Permendagri tersebut Mendagri akan memohonkan pembatalan kepada Presiden untuk membatalkan Perda yang dibatalkan tersebut. Keputusan pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri sejatinya tidak menimbulkan akibat hukum yakni hanya menimbulkan konskwensi pembatalan yang hanya menegaskan bahwa perda yang dibentuk tersebut melanggar Pasal 136 UU 32 Thn 2004 mengingat pemerintah daerah dapat tetap memberlakukan perda yang dibatalkan oleh Mendagri tersebut. Ketika hal ini terjadi keputusan pembatalan yang dilakukan oleh mendagri tidak memiliki kekuatan hukum yang mengharuskan Perda tersebut dicabut dan tidak mengikat,
153
sehingga ketika pemerintah daerah tetap memberlakukan perda yang dibatalkan tersebut perda tersebut dapat tetap berlaku sampai ada keputusan pembatalan yang dikeluarkan oleh Presiden berdasarkan permohonan pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri. Jadi dapat dikatakan akibat hukum terhadap Perda yang bertentangan dengan Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004 adalah Perda tersebut dapat dibatalkan dan pembatalannya dilakukan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 dan bukan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, mengingat Peraturan Menteri Dalam Negeri hanya membatalakan Ranperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah serta Rencana Tata Ruang sebagaimana yang diatur pada Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004. 4.2. Konskwensi Hukum terhadap Pembatalan Perda Provinsi Keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah provinsi melalui Peraturan Presiden dan Permendagri, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah itu sendiri, yaitu pada Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004, yang intinya menegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden dan terhadap Perda APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah dan RTRW dibatalkan dengan Permendagri. Dari kedua instrumen hukum di atas yang paling tepat dalam membatalkan Perda akan dibahas selanjutnya. Menurut Philipus M. Hadjon, keabsahan tindakan pemerintah pada hakekatnya ditentukan oleh 3 (tiga) unsur utama, yaitu wewenang, prosedur dan substansi, dengan menggunakan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
154
Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan tindakan pemerintah sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dijabarkan lebih lanjut: 1. Wewenang, Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan suatu tindakan haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik atributif maupun delegatif. 2. Prosedur, Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur sebagaimana ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya. 3. Substansi, Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh bertentangan dengan segala bentuk peraturan perundangan, konsepsi Hak Asasi Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di masyarakat. Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat diukur dengan tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dengan demikian setiap unsur dari tindakan pemerintah disatu sisi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di sisi lain harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan AAUPB, maka keabsahan tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi. Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), menurut Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR bahwa: “AAUPB haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati o9leh pemerintah, yang meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas
155
hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”.142 Suatu
norma
adalah
valid
merupakan
suatu
pernyataan
yang
mengasumsikan bahwa norma tersebut memiliki kekuatan mengikat (binding forces) terhadap orang yang perilakunya diatur. Suatu aturan adalah hukum dan hukum yang valid adalah norma oleh karenanya hukum adalah norma yang memberikan sanksi.143 Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara mengenai keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.144 Di dalam ketentuan Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 disebutkan bahwa Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Vernietigbaar Menurut E. Utrecht suatu peraturan yang dapat dibatalkan berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten.145
142
Ridwan HR II, h. 237.
143
Jimly Asshidiqqie, dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, h.36. (Selanjutnya disebut Jimly Asshidiqie VII). 144 Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 25
156
Mengenai dapat dibatalkannya suatu perda, pengertian mengenai batal, batal demi hukum, dan dapat dibatalkan penjelasannya sebagai berikut : 1. Batal (nienig) berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan tidak ada. Jadi, bagi hukum, akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada. 2. Batal karena hukum (nietig van rechtswege) berarti akibat sesuatu perbuatan untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya, bagi hukum dianggap keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompetensi untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya akibat itu. 3. Dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten (pembatalan itu dilakukan karena perbuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannya dan oleh sebab itu segala akibat yang ditimbulkan antara waktu mengadakannya sampai waktu pembatalannya menjadi sah (terkecuali dalam hal Undang-undang menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). 146 Kewenangan Mendagri tentang pembatalan Perda, yang seolah-olah bertentangan dengan perintah Undang-Undang, adalah termasuk aturan kebijakan untuk mengatasi kemacetan pelaksanaan pemerintahan dalam rangka pelayanan umum kepada masyarakat. Berdasarkan asas praesumptio iustae causa (asas praduga rechtmatigheid), maka Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda melalui klarifikasi adalah sah sepanjang belum ada pembatalan. Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 mengatur konsekuensi dari pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah, yaitu pemerintah daerah yang menerima pembatalan Peraturan Daerahnya harus mencabut Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut yang sebelumnya didahului dengan penghentian pelaksanaan Peraturan Daerah 145
E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4, (Bandung: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Pajajaran, h.78. (selanjutnya disebut E. Utrecht I). 146
E. Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 110-111. (Selanjutnya disebut E. Utrecht II).
157
paling lama 7 hari setelah pembatalan. Pemerintah Daerah yang tidak dapat menerima pembatalan Peraturan Daerahnya dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika kita cermati pengaturan pembatalan Perda yang ada pada Permendagri 1 Tahun 2014 yang merupakan pengaturan lebih jauh dari peraturan yang memberikan amanat berkaitan dengan pembatalan Perda yakni UU No. 32 Thn 2004 dan PP. No. 79 Tahun 2005 yang merupakan dasar pengawasan dari pemerintah pusat kepada daerah terhadap pelaksanaan otonomi daerah sebagai buah hasil dari desentralisasi pada akhirnya muara pembatalan suatu perda adalah pada tangan Presiden dengan instrumen Peraturan Presidennya. Seperti halnya pengaturan pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 bahwa pembatalan perda baik perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota merupakan kewenangan dari Presiden untuk membatalkannya. Begitu juga sebaliknya pada UU PDRD bahwa yang membatalkan Perda PDRD sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 158 adalah Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden. Pada UU No. 32 Thn 2004 kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda hanya pada Raperda Pemerintah Provinsi dan kabupaten/Kota hanya pada tahap evaluasi sebagai bagian pengawasan preventif dan hasil dari tindakan klarifikasi semata. Apabila daerah tidak mematuhi pembatalan yang didasarkan pada hasil klarifikasi Mendagri harus mengajukan permohonan pembatalan kepada Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda. Begitu juga pada UU PDRD kewenangan Mendagri dalam pembatalan perda
158
hanya sebatas pada hasil evaluasi Raperda dan hasil klarifikasi apabila Perda PDRD dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Akan tetapi apabila daerah tidak menerima pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri, Mendagri harus mengajukan usulan pembatalan Kepada Presiden untuk melakukan pembatalan terhadap Perda PDRD tersebut. Apabila Pemerintah Daerah tetap memberlakukan Perda yang telah dibatalakan oleh Presiden tindakan Pemerintah Daerah yang tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan seluruh tindakan dan akibatnya sejak pembatalan mempunyai kekuatan hukum mengikat dianggap tidak pernah ada. Masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh tindakan Pemerintahan yang tidak didasarkan kepada hukum yang sah dapat menuntutnya ke Pengadilan dengan alasan bahwa Pemerintah Daerah telah bertindak sewenang-wenang. Agar Pemerintah Daerah dan masyarakat tidak dirugikan, seyogyanya pelaksanaan Peraturan Daerah tidak diberhentikan ketika Kepala Daerah masih mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Presiden dapat memberikan mandat kepada Mendagri selaku pembantu Presiden untuk melakukan pembatalan terhadap Peraturan Daerah diluar substansi yang Rancangan Peraturan Daerah yang dipaksakan penetapannya oleh Gubernur. Apabila Menteri Dalam Negari mendapatkan mandat dari Presiden untuk melakukan pembatalan Peraturan Daerah maka secara redaksional Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dicantumkan Atas Nama Presiden, tetapi yang menandatangani keputusan pembatalan Peraturan Daerah itu adalah Mendagri.
159
Tetapi faktanya Keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Mendagri tidak satupun Keputusan Pembatalan Peraturan Daerah mengunakan redaksional Atas Nama Presiden. Itu berarti Presiden tidak memberikan mandat kepada Mendagri untuk melakukan pembatalan terhadap Peraturan Daerah tersebut. Dengan demikian tindakan pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri terhadap Peraturan Daerah merupakan “tindakan melanggar wewenang”
(onbevoegdheid),
yang
oleh
Waline
disebutkan
sebagai
onbevoegdheid ratione materiae (organ administrasi negara melakukan tindakan dalam bidang yang tidak termasuk wewenangnya).147 Dengan demikian pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut adalah tidak sah. Untuk itu konsekwensi hukum dari keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Mendagri dianggap tidak pernah ada tanpa perlu adanya suatu keputusan yang membatalkan tindakan pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dimaksudkan bahwa para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai satu kesatuan institusi. Prinsip yang bersifat umum adalah administrasi pemerintahn pusat pada umumnya ditempatkan di bawah kewenangan menteri atau diorganisasikan sebagai kementerian atau departemen. Menteri dan kementerian negara dibedakan. Menteri adalah jabatan politik, sedangkan kementerian negara diisi oleh pegawai negeri sipil dengan jabatanjabatan yang diisi melalui pengangkatan dan pemberhentian secara administratif.
147
Philipus M. Hadjon IV, h. 120.
160
Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan esensi keteraturan dalam administrasi akan tampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah.148 Dengan melihat akibat huum yang ditimbulkan terhadap perda yang dibatalkan tersebut maka akan menimbulkan konskwensi harus dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya Perda yang dibatalakan oleh Presiden tersebut. Apabila pemerintah daerah bersikukuh untuk tetap memberlakukan perda yang dibatalkan tersebut dan mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung maka perda tersebut belum dapat dicabut dan masih memiliki kekuatan hukum mengikat sampai ada putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung apakah mengabulkan keberatan atau menolak keberatan yang diajukan oleh pemerintah daerah. Jika Mahkamah Agung mengabulkan keberatan yang diajukan oleh pemerintah daerah maka Perda yang dibatalkan oleh Presiden tersebut tetap berlaku. Tetapi jika keberatan Pemerintah daerah tersebut ditolak maka Perda tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 4.3. Pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung Pada negara-negara yang menganut sistem hukum sipil (civil law), obyek judicial review hanyalah produk pengaturan saja, mulai dari Undang-undang sampai ke peraturan-peraturan (regels) yang ada di bawahnya. Sedangkan dalam sistem anglo saxon , sebagaimana hal di Inggris maupun amerika Serikat
148
Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.3.
161
pengertian judicial riview, luas cakupannya, termasuk gugatan yang berkenaan dengan norma hukum yang kongkret dan individual, seperti yang dikenal dalam sistem peradilan tata usaha negara.149 Wewenang Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman diberi kewenangan oleh UUDNRI Tahun 1945 untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kewenangan demikian ini kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagai kewenangan atributif yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945; Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung; Pasal 31A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung; dan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan 149
Jimly Asshiddiqie, 2005, Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, h. 150-151. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VII).
162
perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang kemudian dikenal dengan istilah constitutional review berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU PPPU, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: 1) Peraturan Pemerintah, 2) Peraturan Presiden, dan 3) Peraturan Daerah. Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai dari dasar konstitusional dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, menentukan standar ukuran suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, atas alasan: 1) karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materiil); atau 2) pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil). Dalam Pasal 31A ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, ditegaskan ”uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
163
dan/atau 2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;” Dasar permohonan pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian aspek materiil. Apabila dikaitkan dengan pengujian Peraturan Daerah, maka landasan bagi Mahkamah Agung untuk menguji Peraturan Daerah terhadap undang-undang, adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah. Sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian aspek formil, yang dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, ditegaskan pula bahwa “Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.” Apabila suatu peraturan daerah dipandang bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah bertentangan dengan undangundang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) Undangundang Nomor 5 Tahun 2004, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Peraturan Daerah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dimungkinkan dapat terjadi dalam proses pengujian, Mahkamah Agung hanya menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian materi muatan dalam Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka seluruh materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Peraturan Daerah dianggap tidak sah dan tidak mempunyai
164
kekuatan hukum mengikat. Keadaan ini seperti halnya dalam pengujian aspek formil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundangundangan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999, tentang Hak Uji Materiil yang dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan undang-undang diberi kewenangan menguji materiil dan formil peraturan perundang-undangan, menjadi hanya melakukan pengujian materiil terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kondisi demikian terkesan bertindak di luar kewenangan, yakni membatasi kewenangan sendiri yang juga merupakan bagian dari kewajiban hukum dan kepastian hukum itu sendiri. Erat kaitannya dengan fungsi Mahkamah Agung yang bersifat yudisial (justitiele functie), kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian Peraturan Daerah lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam keadaan demikian, maka Mahkamah Agung adalah lembaga kehakiman yang diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah. Dalam menjalankan
165
fungsi demikian itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menunggu diajukannya permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah. Standar pengujian yang digunakan Mahkamah Agung dalam menguji Peraturan Daerah adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Peraturan Daerah: a) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau b) pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Apabila suatu Peraturan Daerah yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan pemerintah daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Peraturan Daerah tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Dalam tinjauan normatif terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil, ditentukan bahwa Peraturan Daerah atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya, hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan tersebut. Batasan waktu ini berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah di kemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tersebut. Hal yang perlu dicermati sebagai kelemahan dalam pemberian batas waktu 180 hari yang ditentukan tersebut, tidak ada pilihan waktu
166
lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari. Dimungkinkan dapat terjadi Peraturan Daerah yang sudah berlaku selama 180 hari dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat, kemudian satu tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya Peraturan Daerah menimbulkan masalah sosial, sehingga apabila hal tersebut terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan permohonan keberatan karena aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak. Di samping itu perlu dicermati kelemahan tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan, berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan oleh majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan perundangundangan. Di satu sisi tidak ada batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung, di sisi lain Mahkamah Agung membatasi waktu hak warga negara untuk mengajukan permohonan keberatan. Ketiadaan ketentuan batas waktu pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung, berpotensi menjadikan Peraturan Daerah yang sedang diuji terabaikan kepastian hukum penerapannya di daerah. Selain itu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tidak terdapat rumusan pengaturan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung. Terlihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 dalam proses pengujian oleh Mahkamah Agung bersifat tertutup, sedangkan objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait dengan kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di masyarakat.
167
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dengan berpedoman kepada hasil penelitian terhadap permasalahan yang menjadi kajian yang telah diuraikan dari bab sebelumnya memperoleh kesimpulan berupa : 1. Bahwa kewenangan pengaturan pembatalan Perda Provinsi ada pada Presiden dengan bentuk hukum Peraturan Presiden dan bukan dengan Peraturan Mendagri. Mendagri hanya berwenangan membatalkan Rancangan Peraturan Daerah terbatas hanya pada APBD, PDRD dan RTRW dengan bentuk hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagaimana yang diatur pada UU 32 Thn 2004, PP 79 Thn 2005 dan Permendagri 1 Thn 2014. Diundangkannya UU 23 Thn 2014 telah menjawab dualisme pembatalan perda provinsi tersebut karena pada UU ini Presiden tidak lagi memiliki kewenangan pembatalan perda karena semua kewenangan pembatalan perda yang dimilikinya didelegasikan kepada Mendagri untuk membatalkan Ranperda RPJPD, RPJMD, APBD, PDRD, dan RTRW serta pembatalan seluruh Perda tanpa terkecuali dengan bentuk hukum Keputusan Menteri Dalam Negeri. 2. Bahwa akibat hukum jika suatu perda bertentangan dengan Pasal 136 yakni bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum yang kemudian dibatalkan oleh Presiden
168
dengan Peraturan Presiden akan menimbulkan konskwensi untuk mencabut dan menyatakan perda tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat, serta apabila Pemerintah daerah berkeberatan dengan pembatalan perda tersebut, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 5.2. Saran 1. Agar terdapat penegasan kewenangan Mendagri hanya terbatas pada proses preventif melalui tahap evaluasi dan pada proses represif tetap menjadi kewenangan Presiden selaku pemerintahan pusat dan pemegang kekuasaan Pemerintahan, atau Presiden tidak lagi memiliki kewenangan pembatalan
Perda
dan
melimpahkan
kepada
Mendagri
dengan
pendelegasian kewenangan yang jelas sehingga Mendagri tidak dianggap melakukan penyaalhgunaan kewenangan. 2. Agar keputusan pembatalan perda tersebut baik saat dibatalkan oleh pemerintah maupun pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung terlaksana dengan cepat sehingga segera menimbulkan kepastian hukum bagi masyarakat sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan ketika terjadinya pembatalan perda tersebut.
169
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Abdurahman 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press Ali, Faried, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Alwi, Hasan et al., 2003, Tata Bahasa Baku Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly, 2005, Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia _______, dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta. _______, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta. _______, Jimly, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______, Jimly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. _______, Jimly, 2008, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press dengan Syaamil Cipta Media, Jakarta. _______, Jimmly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. _______, Jimly, 2010, Perihal Undang-undang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Barnett, Hilaer, 2002, Constitutional And Administrative Law, Queen Mary, University,of London Cavendish Publishing Limited, London Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta. Boedianto, Akmal, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta.
170
Budiardjo, Meriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budiono, Herlin, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung. Cohen, Morris L. and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, St. Paul, Minn. Dicey, A.V., diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung. Efendi, Lutfi, 2003, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia Publishing, Malang. Ekathahjana, Widodo, 2008, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan Sistem Peradilannya di Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta. Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang. _______, dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Fauzan, Muh, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, UII Press, Yogyakarta Garner, Bryan A,, 1999, Black’s Law Dictionary Seventh Edition, In chief West GruopSt. Paul, Minn. Hadjon, Philipus M., 1985, Pengertian-pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurhendeling), Djumali, Surabaya. _______, Philipus M., 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga”, Surabaya. Hadjon, Philipus M., 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid) dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI. _______, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Halim, Hamzah, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis Menyusun dan MerancangPeraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan
171
Praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press Citra Media, Jakarta-Yogyakarta. _______, dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Handoyo, Hestu B. Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______, 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Huda, Hj. Ni’matul, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta. Husein, Harun M., 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta. Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Plotik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah, In Trans Publishing, Malang. Indrohato, 1991, Usaha Memahami Undang-UndangTentang Peradilan tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung. _______, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung. Kaho, Josef Riwo, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Identifikasi Beberapa yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya), Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kansil dan Christine Kansil, 2001, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta.
172
Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia Jakarta. Kusnadi, Moh dan B. Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung. Lotulung, Paulus Effendi, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung. M., Sri Soemantri, 1992, Bunga rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni, Bandung. _______, 1997, Hak Menguji Di Indonesia¸ Ed. 2, Alumni, Bandung. Magnar, Kuntana, 1984, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom Wilayah Adminstratif, Bandung CV. Armico.
dan
Manan, Bagir, 1991, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. _______, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Hukum UII, Yogyakarta. _______, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Pusat Studi Hukum (PSH) Fak Hukum UII, Yogyakarta. Marburn, SF., 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. _______, 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press Jogjakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana Prenada Media Gruop, Jakarta. _______, 2008, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana, Jakarta. Matutu, H. Mustamin DG., 2004, Mandat, Delegasi, Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta
Atribusi
dan
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
173
Muljadi, H.M. Arief, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka. Muluk, M. R. Khairul, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan daerah, Bayumedia Publishing, Malang. Muslimin, Amrah, 1982, Bandung.
Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni,
Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta. Rosodjatmiko, P., 1982, Pemerintahan di Daerah Dan Pelaksanaanya, Tarsito, Bandung. S., Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik Penyusunan), Kansius, Yogyakarta. _______, 2012, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Cet. 13, Kansius Yogyakarta. Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok Hukum Admiistrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta. Salihendo, John, 1995, Pengawasan Melekat aspek-aspek Terkait dan Implementasinya, Bumi Aksara, Jakarta. Salman, Otje dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung. Sidharta, B. Arief, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan, Refika Aditama, Bandung. _______, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung. Situmorang, Victor, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta. Smith, dalam Kharul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia Publishing, Malang.
174
Soebechi, Imam, 2012, Judicial Review Perda Pajak Dan Retribusi, Sinar Grafika, Jakarta. Soebekti, 2000, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE. Soekanto, Soerjono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke 3, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Soetami, A. Siti, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Bandung. Soetjito, Irawan, 1993, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta. Strong, C. F., 1966, Modern Political Constitutional, Sidgwick 7 Jackson Limited London E. L. B. S. EditionFirst Publised. _______, C. F., 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA Teamwork, penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung. Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Sunarno, Siswanto, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. _______, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, sinar Grafika, Jakarta Sunggono, Bambang, 2007, Metode Penelitian Hukum, Persada, Jakarta.
PT Raja Grafindo
Sutedi, Adrian, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta. Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung. Tjandra, W. Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
175
Tutik, Titik Triwulan, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Pblisher, Jakarta. Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar. Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4, (Bandung: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Pajajaran. _______, 1994, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Wairocana, I Gusti Ngurah, 2005, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Implementasinya di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Bali, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya. _______, I. G. N., 2006, Tindak Pemerintahan (Suatu Orientasi Singkat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasarar. Wahyono, Padmo, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta. Wheare, KC., 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford. Widodo, Joko, 2008, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayu Media Publishing, Malang. Widjaja, H. A. W., 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______, H. A. W., 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada. Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2. Karya Ilmiah Suardita, I Ketut, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Pajak daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undangundang No. 32 Tahun 2004, (Tesis), Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
176
3. Jurnal Hadjon, Philipus M., 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid) dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI. Ni’Matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009. Suyatna, I Nyoman, 2006, Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Konteks Kepentingan Lokal, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 31 No. 2. Juli 2006. 4. Internet Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dualisme, diakses 8 Agustus 2014 5. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 125, Tambahan Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
177
Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4593). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 Tahun 2006 Tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.