1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan daerah (selanjutnya diringkas perda) adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 angka 7 UU No. 10/2004). Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, perda
mendapatkan
landasan
konstitusionalnya
di
dalam
konstitusi
yang
keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Selanjutnya Pasal 12 UU No.10/2004 menggariskan materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka: 1). Penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; 2). Menampung kondisi khusus daerah; dan 3). Penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 1 Perda dapat mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang tidak diatur oleh pusat (UU No.22 Tahun 2009), Pasal 7). Di bidang tugas pembantuan, perda tidak mengatur substansi pemerintahan atau kepentingan masyarakat. Perda di bidang tugas pembantuan hanya mengatur tata cara melaksanakan substansi urusan pemerintahan atau kepentingan masyarakat 2 Dilihat dari strukur hierarki, Perda bearada pada tingkatan paling bawah, sehingga secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya, dari segi pembuatannya, baik perda tingkat provinsi maupun perda tingkat kabupaten atau kota dapat dilihat setara dengan produk undang-undang karena sama-sama merupakan 1
Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif, dalam http/www.legalitas.org. Diakses tanggal 17 Maret 2010, Pukul. 20:00. 2 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2009 hlm.234. `
2
produk hukum dari lembaga legislative, namun dilihat dari segi isinya sudah seharusnya kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah berlaku yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah di bandingkan peraturan dengan ruang lingkup wilayah yang lebih luas. Dengan demikian undang-undang lebih tinggi kedudukannya dari pada perda, baik itu perda provinsi, perda kabupaten ataupun perda kota, oleh karena itu sesuai dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi. 3 Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa perda (termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh sekedar berdasarkan “peringkatan”, melainkan juga pada “lingkungan wewenangnya”. 4 Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan perda dibuat oleh pemerintah daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai desember 2006 terdapat 9.617 Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di daerah, Sedangkan data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2007 perda yang dibatalkan baru berjumlah 761 perda. Perda-
3
Ni,matul Huda, ibid hlm. 239. Ibid., hlm. 239
4
3
perda yang dianggap bermasalah itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah 5 serta juga membebani masyarakat dan lingkungan 6 , Dari temuan kamar dagang dan industri (Kadin) Indonesia, bahwa ada 1006 Perda di seluruh Industri Indonesia yang dianggap memberatkan dunia usaha. Atas temuan tersebut, Pemerintah (Presiden) akhirnya meminta Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk melihat dan memonitor pelaksanaan otonomi daerah agar tidak membebani para pengusaha di daerah 7 , selain itu Perda “bermasalah” juga mendapat perhatian dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang dalam draf Letter of Intent (LoI) IV memberikan sorotan khusus terhadap berbagai perda yang dinilai bermasalah dan meminta pemerintah untuk mencabut perda-perda tersebut 8 Selanjutnya Depdagri melakukan tindak lanjut dengan melakukan kajian intensif terhadap perda yang di keluarkan oleh daerah, baik derah kabupaten maupun kota di Indonesia. Terkait dengan banyaknya perda yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, sebagai instrumen hukum negara, dalam logika deduktif tertutup perangkat hukum sudah dibuat mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesai konflik peraturan dilakukan lewat pengujian peraturan perundang-undangan tersebut. Sekarang ini, perda yang 5
KPPOD, sejumlah 31% bermasalah merusak investasi di daerah karena memberatkan perekonomian di daerah itu sendiri. Lihat Harian Seputar Indonesia, 31%Perda Rusak Iklim Investasi, 30 November 2007. Lihat; http://www.kppod.org, diakses tanggal 15 Maret 2010. 6 Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, “Otonomi Daerah; Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat”, makalah dipresentasikan pada acara International Association of Study on Common Property, di Victoria all, Zimbabwe, 17-21 Juni 2002. 7 Ibid., hlm.227 8 Ibid., hlm.228
4
dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga lewat dua model kewenangan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Dalam UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk melakukan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenanagn ini dikenal dengan istilah Judicial review. Jika dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundangundangan maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Dasar kewenangan Mahkamah Agung dapat melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas dimuat
dalam
beberapa
peraturan
perundang-undangan.
Mulai
dari
dasar
konstitusional dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 9 , kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 10 , selanjutnya Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan 11 , yaitu : karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil) atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).
9
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang 10 Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 11 Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung berbunyi: Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
5
Model pengujian kedua dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Pengujian perda oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi) pemerintahan daerah. Dalam prakteknya, kabanyakan Peraturan Daerah yang telah diuji oleh Departemen Dalam Negeri, ketetapan pembatalannya dilakukan dengan instrumen Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan mengacu pada instrumen hukum tentang pengujian dan pembatalan suatu Perda yang dilakukan oleh pemerintah (executive review), maka Pasal 145 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Jika mengacu pada instrument hukum tersebut, maka sebenarnya tidak ada kewenangan atributif Mendagri mengeluarkan suatu keputusan untuk menetapkan pembatalan perda, melainkan secara tegas yang berwenang membatalkan suatu perda ialah Presiden dengan Peraturan Presidennya. Jika Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Mendagri untuk membatalkan suatu Perda, maka Presiden sebenarnya telah menyalahi kewenangan atributifnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 145 Ayat (3) UU No.32 tahun 2004. Adapun kewenangan Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan suatu Perda, dikarenakan Pemerintah Daerah tidak menindak lanjuti hasil evaluasi dari Pemerintah dalam rangka pengawasan preventif dan tetap memberlakukan Perda dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (5) UU Pemerintahan Daerah. Disinilah sebenarnya letak kewenangan atributif Mendagri dalam melakukan
6
pembatalan suatu Perda dan pengujian Rancangan Perda (executive preview) atau biasa juga disebut pengawasan preventif. Namun, kewenangan Mendagri tersebut dalam hal pengawasan preventif secara langsung hanya terbatas pada tingkatan provinsi semata, dan selanjutnya pada tingkatan kabupaten/kota, pengawasan preventif Mendagri bersifat tidak langsung, karena yang menjalankan secara langsung adalah Gubernur. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 185 dan Pasal 186 UU No 32 tahun 2004. Dalam Pasal 185 dinyatakan bahwa, rancangan Perda provinsi tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa rancangan perda dan rancangan Pergub tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur Bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindak lanjuti, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda dan rancangan Pergub tersebut, maka Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Pergub dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya Pergub APBD tahun lalu. Dari sini terlihat jelas bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan preventif terhadap rancangan perda (pengawasan secara langsung) 12 . Dalam konteks tersebut, di Kota Yogyakarta terdapat Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, sehingga Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 119
12
Lihat; http://www.facebook.com/topic.htn.Diakses tanggal, 11 Mei 2010, Pukul 20:00.
7
Tahun 2008 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan, beberapa Pasal bermasalah tersebut yaitu: Pasal 10 mengenai masa berlaku pemberian izin, Pasal 8 ayat (3) huruf b mengenai Struktur besaran tarif retribusi untuk izin operasi angkutan barang, dan Pasal 8 ayat (5) huruf a mengenai izin dispensasi jalan. Berangkat dari berbagai alasan pembatalan Perda baik itu melalui pengawasan yang dilakukan oleh Depdagri maupun melalui uji materi oleh Mahkamah Agung, maka penulis tertarik untuk meneliti Perda yang dibatalkan di kota Yogyakarta, baik itu menyangkut alasan pembatalan maupun tindak lanjut dari pemerintah daerah setempat.
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka persoalan mendasar yang berusaha dijawab dalam penilitian ini adalah: 1. Apakah alasan yang dipakai dalam pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut dinilai tepat atau tidak? 2. Apa tindak lanjut dari Pemkot Yogyakarta terhadap pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut?
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini diadakan adalah: 1. Untuk mengetahui apakah alasan yang dipakai dalam pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut tepat atau tidak. 2. Untuk mengetahui bagaimana tindak lanjut dari Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut. Sedangkan kegunaan penilitian ini adalah sebagai karya akademik yang diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pembatalan perda baik itu prosedur pembatalan perda, alasan yang dipakai, maupun lembaga yang berwenang dalam pembatalan perda di Indonesia, serta dapat juga memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu Hukum, khususnya Hukum Tatanegara.
D. Telaah Pustaka 1. Kedudukan Perda dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan Dari segi pembuatanya, Perda dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislatif, baik itu perda tingkat provinsi maupun perda tingkat kabupaten ataupun kota. Dan dari segi isinya dapat kita lihat bahwa kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah berlaku yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan ruang lingkup yang berlaku lebih luas. Dengan demikian, undang-undang lebih tinggi kedudukanya daripada perda provinsi maupun perda
9
kabupaten atau perda kota, oleh karena itu sesuai prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, konsekuensinya adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. 2. Materi Muatan dan Pembentukan Perda Untuk memahami batasan kewenangan yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah. Ni’matul Huda dalam buku dengan judul ”Hukum Pemerintahan Daerah”, menjelaskan setelah Undang-Undang Nomor 22 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahhan yang menjadi kewenanganya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (pusat) 13 . Dalam pasal 10 ayat (3) urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah : Politik luar negri, pertahanan, keamanan, yustisi, fisikal dan moneter nasional, dan agama. Dalam pasal tersebut juga dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkannya kepada perangkat atau wakil pemerintah yang ada di daerah, atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah atau pemerintah desa, dalam pasal 11 ayat (1) UU No.23 tahun 2004 juga di jelaskan bahwa Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan. Dalam Pasal 12 ayat (1) dikatakan, bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana,
13
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan daerah, Nusa Media, Bandung, 2009, hlm.216.
10
serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan, sedangkan dalam pasal 12 ayat (2) berbunyi urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Kemudian, dalam Pasal 13 ayat (1) di tegaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala profinsi yang meliputi: perencanaan dan pengendalian bangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota, pengendalian
pelayanan lingkungan
bidang hidup,
ketenagakerjaan pelayanan
lintas
pertanahan
kabupaten/kota, termasuk
lintas
kabupaten/kota, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota, penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupten/kota, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14 ayat (1) di katakan Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan
11
bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan, dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum dan pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan urusan wajib lainnya yang di amanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dari Pasal 13 dan pasal 14 UU No.32 tahun 2004 di atas kita dapat melihat ada seekitar 16 urusan pemerintahan yang menjadi materi muatan Peraturan Daerah baik tingkat Provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, selebihnya yang menjadi urusan Pemerintah Daerah di sesuaikan dengan kondisi maupun potensi yang di miliki oleh tiap-tiap daerah. Selanjutnya, dalam UU No.32 tahun 2004 mengenai pembentukan perda, dapat di temukan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD 14 . 2. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang leih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah 15 . 3. Perda tidak boleh bertentangan engan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi 16 . 4. Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan 17 .
14
Lihat pasal 136 ayat (1) UU No.32 tahun 2004 Lihat pasal 136 ayat (2) dan (3) 16 Lihat pasal 136 ayat (4) UU No.32 tahun 2004 17 Lihat pasal 137 UU No.32 tahun 2004, yang mnyangkut asas pembentukan Perda 15
12
5. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda. 6. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaaan penegakan hukum, atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah. 7. Peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah ditetapkan untuk melaksanakan perda. 8. Perda berlaku setelah diundangkan dalam bentuk lembaran daerah. 9. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pelanggaran perda (PPNS). 10. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah 18 . 3. Pengujian Peraturan Daerah a. Judicial Review Pengujian Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan yang ada dalam Pasal 24 a ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perunang-undangan, kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review, apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, maka Mahkamah Agung memiliki
18
Lihat pasal 136 ayat (5) UU No.32 tahun 2004
13
kewenangan menguji: 1). Peraturan Pemerintah; 2). Peraturan Presiden; dan 3). Peraturan Daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk melakukan judicial review terhadap tiga peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundangundangan yaitu Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung sendiri mebatalkan suatu peraturan perundang-undangan dengan alasan : 1). Karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Aspek materil); 2). Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil). b. Excecutive Review Model pengujian peraturan daerah yang ke dua dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, Pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review, lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah. Dalam rangka pengawasan terhadap daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2005, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, memberikan ketentuan bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan
14
Perwakilan Rakyat Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Dalam pembatalan suatu peraturan daerah Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menentukan bahwa “Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Saelanjutnya dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyebutkan “Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah”. Kemudian dalam pasal 145 ayat (3) ditentukan bahwa “Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Selanjutnya dalam Pasal 145 ayat (4) ditentukan “Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, 19 seperti menelusuri sumber-sumber atau literatur yang berkaitan dengan pokok bahasan untuk dikaji dan ditelaah secara mendalam sebagai sumber data yang obyektif dan nyata sehingga dapat membantu
19
Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Penerbit Rajawali, 1985, hlm. 15
15
dalam pembahasan. Ini juga dikatakan sebagai penelitian hukum doktrinal, dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagi kaidah-kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang cocok. 20 2. Sumber Data Dalam penelitian ini, digunakan sumber data sekunder berupa bahan hukum yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan dasar UUD 1945 dan perundang-undangan di bawahnya khususnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 maupun undangundang atau peraturan lain yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku, jurnal, artikel dan literatur lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari kamus. 3. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan Bahasan Hukum dalam penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga) cara, yaitu: a. Studi pustaka adalah mengkaji buku - buku, makalah, jurnal, hasil penelitian hukum, dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b. Studi Dokumen adalah mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa Peraturan Perundang - Undangan dan lain - lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
20
Amiruddin dan Zainal Asikin Pengantar Metode Penelitian Hukum PT. Grafindo Persada Jakarta 2003 hlm. 118.
16
c. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung atau lisan kepada subjek penelitian guna memperoleh data yang diperlukan dan diharapkan. 4. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian dengan mengkaji permasalahan dari segi hukum yang terdapat dalam berbagai perundang-undangan, dan dari pustaka yang relevan dengan pokok bahasan. pendekatan yuridis-normatif yang dalam penelitian ini tidak sekedar menilik sisi aturan semata, melainkan lebih kepada makna di balik teks-teks yang tertulis itu. Karenanya, yuridis-normatif yang digunakan dalam penelitian ini sangat dekat dengan pendekatan filosofi aturan itu. 5. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analisys (analisis isi). Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka (bahan hukum) yang ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis tentang kewenangan pembatalan perda ditinjau dari undangundang maupun dari sumber lain yang berkaitan dengan pokok bahasan di atas. F. Sistematika Penulisan Dalam rangka penyusunan skripsi ini, secara sistematis penulis bagi ke dalam lima bab. Bab I. Pendahuluan Bab ini merupakan pendahuluan yang secara umum mendiskripsikan tentang latar
17
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II. Tinjauan Umum tentang Peraturan Daerah di Indonesia a. Pengertian, asas-asas, dan landasan pembentukan Peraturan Daerah Subbab ini menjelaskan tentang pengertian, asas-asas maupun landasan yang di pakai dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah. b. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundangundangan di Indonesia. Subbab ini menjelaskan tentang kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. c. Materi muatan Perda dalam rangka melaksanakan Otonomi Daerah Subbab ini menjelaskan tentang Materi muatan Perda yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah. Bab III. Proses Pembentukan, Pengujian, dan pembatalan Peraturan Daerah. a. Proses Pembentukan Peraturan Daerah menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan Subab ini memuat prosedur maupun tata cara pembentukan suatu Perda menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan, terkait hal-hal apa saja yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembatalan suatu perda. b. Pengujian Perda oleh Mahkamah Agung (Jidicial Review) Subbab ini menjelaskan mengenai uji materi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap Perda bermasalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan
18
oleh Peraturan Perundang-undangan c. Pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat (Executive Review) Subbab ini menjelaskan tentang pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Bab IV. Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Perda Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan di Kota Yogyakarta a. Deskripsi pembatalan Perda Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan di Kota Yogyakarta Subab ini berisi deskripsi mengenai Perda yang akan diteliti b. Analisis Yuridis mengenai alasan yang dipakai dalam pembatalan perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan Subbab ini mencoba menganalisa mengenai hal-hal tertentu yang dipakai sebagai alasan dalam pembatalan Perda tersebut. c. Tindak lanjut Pemerintah Kota Yogyakarta perihal pembatalan Perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan Subab ini membahas bagaimana Tindak lanjut dari Pemerintah Kota Yogyakarta setelah Perda tersebut dibatalkan. Bab V. Penutup Yaitu, berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi.