BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keamanan yang sudah dinikmati oleh masyarakat Aceh dewasa ini perlu terus dilestarikan dan ditingkatkan melalui upaya penguatan perdamaian. Upaya ini memang sudah dan sedang dilakukan oleh pemerintah melalui badan yang dibentuk dengan Peraturan Gubernur, namun disadari, perangkat aturan yang berupa Peraturan Gubernur tidaklah cukup untuk melaksanakan tugas yang retatif berat dan serius, sehingga keberadaan Badan Penguatan Perdamaian Aceh ini harus dituangkan di dalam perangkat aturan berupa Qanun. Perdamaian
abadi
merupakan
cita-cita
utama
yang
ingin
diwujudkan di Provinsi Aceh pasca konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Republik Indonesia. Sebagaimana dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) yang sudah ditandatangani oleh Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Dalam MoU tersebut ditegaskan bahwa kedua belah pihak berkomitmen untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai.
Namun demikian, bila dikaitkan dengan pertumbuhan
ekonomi dan kemakmuran bagi seluruh Bangsa Aceh, perdamaian abadi belum seluruhnya dapat diwujudkan. Butir-butir dalam MoU tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
1
2
Sebagaimana dituangkan dalam butir 3.2.1 MoU, bahwa Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari lembaga permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional. Pemerintah Republik Indonesia pada umumnya dan pemerintah Aceh
pada
khususnya,
bertanggungjawab
terhadap
terwujudnya
perdamaian abadi yang berkelanjutan yang dalam hal ini Pemerintah Aceh melalui Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 20013 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Penguatan dan Perdamaian Aceh yang merupakan perintah langsung dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal 10 (1) UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut Undang-Undang ini dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga, badan dan/atau komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun. Pasal 111 ayat (1) UUPA bahwa dalam melaksanakan kebijakan yang bersifat spesifik, Pemerintah Aceh dapat membentuk badan atau kantor. Mengingat bahwa sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, Daerah Istimewa Aceh yang kini Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), selalu mengukir sejarah, mulai dari hal yang positif sehingga dijuluki Aceh
3
sebagai Daerah Modal, sampai pada Aceh seolah bagai duri dalam daging karena selalu bergejolak, mulai dari DI TII tahun 1959 sampai dengan GAM. Bermacam sebutan terhadap pemberontak ini, Aceh Merdeka (AM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Seperatis Aceh (GSA) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Yang kalau ditelusuri masih terdapat adanya benang merah antara pemberontakan yang pertama dilakukan dengan yang sekarang (GAM), yaitu tuntukan akan perlakuan yang adil. Terhadap para Pemberontak tersebut di atas telah dilakukan peroses hukum melalui sistem peradilan pidana, sejak dari penyidikan sampai pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Namun, apa yang salah dalam pembinaan ini, sehingga benih itu selalu tumbuh sampai dengan lahirnya kembali dengan nama yang baru yaitu GAM. Penanganan yang telah dilakukan terhadap mereka ini memang bukan hanya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, tetapi juga ditempuh jalur politik, seperti pada masa DI TII dulu, para tokohnya ada yang diberi tawaran sebagai TNI juga ada diberikan semacam perusahaan, dan pada masa AM ada Pegawai Negeri yang terlibat dan setelah dijatuhi hukuman dan hilang haknya sebagai Pegawai Negeri, kemudian setelah masa hukumannya berakhir, ada beberapa orang di antaranya dikembalikan lagi haknya sebagai Pegawai Negeri. Bertolak dari hal tersebut di atas, maka agar tidak lagi terulang, perlu dilakukan upaya penguatan perdamaian, sehingga benih-benih yang tertanam berupa dendam dapat dihilangkan antara lain adalah dengan
4
memberikan kompensasi dan restitusi yang di aceh selama ini dikenal dengan istilah “diyat”. Selama ini dirasakan, bahwa hal itu (konflik) terulang karena terabaikannya rasa keadilan seperti yang diamanakah di dalam Pancaila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, untuk mencapai tujuan bernegara seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah mewujudkan kesejahteraan umum, hal ini berkaitan dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep diyat yang dikembangkan adalah mengingat bahwa Aceh sebagai serambi mekkah, melalui otonomi khusus diberikan kewenangan untuk menegakkan syariat Islam di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga untuk mencapai tujuan bernegara seperti yang disebutkan di dalam Pancasila sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus dipaksakan, malainkan hanya menguatkan, karena fiolosofis tersebut sudah lama terpatri di dalam masyarakat Aceh sebagai mana tertuang di dalam hadih maja adat ngon hukom lage zhat ngon sipeut, yang bermakna bahwa setiap gerak gerik di dalam kehidupan masyarakat kental dengan nuansa Islami, dan ini tertuang di dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa yang melingkupi silsa-sila di bawahnya seperti kemanusiaan dan keadilan. Secara umum sudah diakui bahwa upaya penyelesaian konplik dengan pendekatan terpadu, mutlak dilakukan, penggunaan hokum pidana konpensional dan dengan pola lama dirasa tidak dapat menyelesaikan
5
masalah secara tuntas, karena itu pendekatan restorative justice harus dilakukan. Pendekatan ini melibatkan semua pihak dan memberdayakan semua lembaga social yang ada di dalam masyarakat, tidak terkecuali lembaga adat. Undang-undang KKR sebenarnya sudah membuka ke arah itu, namun undang-undang ini sudah dianulir. Oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya
penanganan
melalui
sebuah
badan
penguatan
perdamaian, supaya kedamaian yang selama ini sudah dirasakan oleh masyarakatan Aceh tidak lagi terusik dengan adanya perasaan pengabaian rasa keadilan, sebagaian akibat dari konflik Aceh yang berkepanjangan.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan Identifikasi masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Aceh, dimana sebagai akibat dari konflik yang berkepanjangan telah melahirkan korban yang tidak sedikit dan banyak para korban tersebut belum mendapat rehabilitasi, konpensasi dan restisusi, kalau hal ini tidak diatasi maka dikhawatirkan akan timbul konflik baru.
2.
Apakah untuk pelaksanaan Penguatan Perdamaian Aceh itu perlu dibuat sebuah Qanun
3.
Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Qanun Susunan Organisasi Lembaga Penguatan Perdamaian Aceh.
6
4.
Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan Qanun badan dan susunan organisasi penguatan perdamaian Aceh.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Aceh pasca konflik, dimana perlu dilakukan penguatan perdamaian dengan memberikan perhatian kepada korban konplik melalui pembentukan sebuah badan dengan Qanun. 2. Merumuskan
permasalahan
hukum
yang
dihadapi
sebagai
alasan
pembentukan Rancangan Qanun Susunan Organisasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam menguatkan perdamaian di Aceh. 3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Qanun Susunan Organisasi Penguatan Perdamaian Aceh. 4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Qanun Susunan Organisasi Penguatan Perdamaian Aceh.
7
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Qanun Penguatan Perdamaian Aceh.
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa MoU Helsinki, Peraturan Perundang-undangan, perjanjian, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif ini akan dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion) dan rapat dengar pendapat. Kemudian, Metode yuridis empiris atau sosiolegal dilakuklan setelah diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti.
8
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Kepala negara dalam memimpin suatu negara tidak diperkenankan bertindak sewenang-wenang, justru sebaliknya, negara bertanggung jawab untuk membuat rakyatnya sejahtera. Menurut Socrates, negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan dirinya pribadi, melainkan negara itu suatu susunan yang objektif berdasarkan kepada sifat hakikat manusia karena itu bertugas untuk melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum yang objektif, termuat “keadilan bagi umum”, dan tidak hanya melayani kebutuhan para penguasa negara yang saling berganti-ganti orangnya.1 Pada dasarnya, terbentuknya suatu negara diawali dengan adanya sekumpulan manusia yang berada dalam satu wilayah, yang memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhannya itu secara otomatis manusia saling membutuhkan manusia lainnya, karena tidak semua apa yang diinginkan manusia dapat diwujudkan tanpa adanya bantuan orang lain. Seperti apa yang dikatakan oleh Aristoteles, manusia membutuhkan bantuan dari manusia lainnya guna memenuhi kepentingan hidup, oleh karena itu manusia disebut dengan “zoon politicon“. 2 Dari perbedaan kepentingan itulah muncul yang dinamakan “Negara” untuk
1
Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.98. Idem, hlm.114.
2
9
mengatur masyarakat agar tidak terjadi pertentangan/pertikaian dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan menurut Plato, yang meneruskan ajaran Socrates, dimulai dengan ajaran tunggal Politea yang digambarkan sebagai ideale staat atau negara sempurna. Ajaran ini disebut juga dengan idealisme, yaitu ajaran yang mengenal adanya 2 dunia, yaitu: 1. Ideenwereld (dunia cita) yang bersifat immateriil yaitu idea atau kenyataan sejati yang bersemayam di alam tersendiri, ialah di alam cita yang berada di luar dunia palsu. 2. Natuurwereld (dunia alam) yang bersifat materiil yaitu dunia fana yang bersifat palsu.3 Menurut Aristoteles, tujuan negara adalah: 1. Menyelenggarakan kepentingan warganegaranya. 2. Berusaha supaya warganegara hidup baik dan bahagia (good life) didasarkan atas keadilan, keadilan itu memerintah dan harus menjelma di dalam negara. Teori tersebut meskipun baik, tapi ternyata tidak dianggap selamanya benar. Hal tersebut karena tujuan negara itu dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan, waktu, serta sifat daripada kekuasaan penguasa4. Belum tentu apa yang menjadi tujuan negara di masa sekarang sesuai dengan tujuan negara di masa yang akan datang. Seiring dengan bertambahnya masyarakat, akan semakin kompleks pemikiran dan masalah 3
Idem, hlm.102. Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm.148.
4
10
yang dihadapi setiap negara. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat yang selalu berkembang, sehingga aturan yang dibuat negara harus dapat diaplikasikan dengan baik ke dalam masyarakat, aturan tersebut harus mengikuti arah perkembangan masyarakat. Tetapi yang paling penting, negara itu harus dapat memelihara dan merupakan satu kesatuan, karena merupakan suatu keluarga yang besar. Tujuan manusia dalam negara untuk mencapai good life (bahagia, sempurna) itu.5 Untuk mewujudkan cita-cita negara, yaitu membuat kesejahteraan bagi rakyatnya, maka muncul berbagai macam konsep negara. Pertama ialah konsep “legal state” atau negara penjaga malam. Dalam konsepsi legal state terdapat prinsip pembatasan peranan negara dan pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil, “The least Government is the best Government.” Akibat pembatasan ini pemerintah menjadi pasif, sehingga sering disebut negara penjaga malam. 6 Konsep ini tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyat, karena dengan adanya pembatasan, pemerintah tidak dapat turut campur dalam mengatur permasalahan dalam negara. Padahal kebijakan yang dibuat pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatur ketimpangan dalam masyarakat. Apabila hanya rakyat yang berperan tanpa adanya kebijakan dari pemerintah, akan muncul ketimpangan sosial yang berakibat menyengsarakan kehidupan rakyat. Konsep legal state dianggap gagal dalam implementasi, setelah perang dunia kedua muncul konsep baru yang dinamakan “negara 5
Sjachran Basah, op.cit., hlm.104. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.14.
6
11
kesejahteraan” atau “welfare state”. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban
pemerintah
untuk
mewujudkan kesejateraan
umum
bagi
warganya7. Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Pemerintah diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, Karenanya diperlukan adanya kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul dengan sekonyong-konyong dan yang peraturan penyelenggaranya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif.8 Awal mula munculnya konsep negara kesejahteraan dimulai pada abad ke-18, tokoh yang pertama kali mengenal konsep ini ialah Jeremy Bentham. Saat itu ia mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab
untuk
menjamin
the
greatest
happiness.
Bentham
menggunakan istilah utility untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme, ia berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya aksi pemerintah harus diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan orang banyak. Melalui teori ini ia kemudian dikenal dengan bapak negara kesejahteraan.
7
Idem, hlm.15. Ibid.
8
12
Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Negara kesejahteraan juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermata sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik. Konsep negara kesejahteraan meskipun demikian justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktikan di Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Sistem ini, mengharuskan negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Konsep negara hukum kesejahteraan (disebut juga negara hukum modern) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Mengutamakan kepentingan seluruh rakyat. 2. Negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakat. 3. Ekonomi liberal telah diganti dengan sistem ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah pusat. 4. Tugas dari suatu welfarestate adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum.
13
5. Tugas negara adalah menjaga keamanan dalam arti luas yaitu keamanan sosial di segala lapangan kehidupan masyarakat. Pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu dikenal dengan istilah freies ermessen. Pemberian freies ermessen kepada pemerintah mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi. Bersandar pada freies ermessen, pemerintah memiliki wewenang yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat, atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum.9 Pemerintah harus tetap berpatokan pada hukum atau pun undang-undang, walaupun diberikan keleluasaan wewenang dalam bertindak. Pada dasarnya, negara harus tunduk pada hukum agar tidak terjadi kesewenang-wenangan para penguasa negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut konsep negara kesejahteraan. Dasar hukum yang menegaskan hal ini ialah bisa dilihat di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4, tujuan pembentukan negara Indonesia adalah
disebutkan bahwa
untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Salah satu tujuan bernegara seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah mewujudkan kesejahteraan umum, hal ini berkaitan dengan
9
Ibid
14
pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam batang tubuh
UUD 1945
bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. 10 berbeda dengan teori utility yang menegaskan “the greatest happiness for
the greatest
number”,
Indonesia lebih menekankan
kesejahteraan umum, kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tidak hanya pada sebagian terbesar Masyarakat. Pada tingkat Daerah, pelaksanaan tugas Negara dilaksanakan oleh Gubernur. Dalam statusnya sebagai kepala daerah otonom, gubernur dan perangkatnya adalah pelaksana kebijakan daerah. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai kepala wilayah administrasi, gubernur dan perangkatnya adalah pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Dalam kedudukannya selaku daerah otonom Pemerintah Provinsi mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah mengatur mengenai perangkat daerah. Dalam Pasal 10 (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut Undang-Undang ini dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga, badan dan/atau komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun.
10
Syahmin AK., loc.cit.
15
Pasal 100 ayat (1) Perangkat daerah Aceh terdiri atas Sekretariat Daerah Aceh, Sekretariat DPRA, Dinas Aceh, dan lembaga teknis Aceh yang diatur dengan Qanun Aceh. Selanjutnya mengenai lembaga teknis diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Lembaga Teknis Aceh merupakan unsur pendukung tugas Gubernur dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Aceh yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan atau kantor.
Ayat (3) Badan atau Kantor Aceh dan
kabupaten/kota dipimpin oleh kepala badan atau kantor yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Kepala Badan atau Kantor Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Aceh. Ayat (6) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Badan atau Kantor Aceh bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Aceh. Karena Urusan Pemerintahan tersebut belum mengatur secara rinci maka dapat dilihat dan dipedomani apa yang
diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan pada tanggal 9 Juli 2007. Urusan yang diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah terdiri dari 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Urusan wajib berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 diatur dalam Pasal 7 ayat (1) adalah urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh
16
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan berdasarkan PP 38/2007 diatur dalam Pasal 7 ayat (4) adalah urusan pemerintah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan wajib tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PP No. 38 Tahun 2007 yang meliputi: a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Lingkungan hidup; d. Pekerjaan umum; e. Penataan ruang; f. Perencanaan pembangunan; g. Perumahan; h. Kepemudaan dan olahraga; i. Penanaman modal; j. Koperasi dan usaha kecil dan menengah; k. Kependudukan dan catatan sipil; l. Ketenagakerjaan; m. Ketahanan pangan; n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera; p. Perhubungan; q. Komunikasi dan informatika; r. Pertanahan; s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
17
v. Sosial; w. Kebudayaan; x. Statistik; y. Kearsipan; dan z. Perpustakaan. Sedangkan urusan pilihan diatur dalam Pasal 7 ayat (4) yang meliputi: a. Kelautan dan perikanan; b. Pertanian; c. Kehutanan; d. Energi dan sumber daya mineral; e. Pariwisata; f. Industri; g. Perdagangan; dan h. Ketransmigrasian. Pasal
12
Peraturan
Pemerintah
No.
38
Tahun
2007
memberikan amanat bahwa urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah ditetapkan dalam peraturan daerah selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, yang menjadi dasar penyusunan susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah. Dalam menjalankan urusan wajib dan pilihan, Pemerintah daerah mempunyai perangkat daerah. Perangkat daerah adalah organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dan membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
18
Pengaturan perangkat daerah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Daerah yang ditetapkan pada tanggal 23 Oktober 2007. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada prinsipnya ditujukan untuk memberikan arahan dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 struktur
organisasi perangkat daerah Provinsi terdiri dari: a. Sekretariat Daerah; b. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. Inspektorat; d. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; e. Dinas Daerah;dan f. Lembaga Teknis Daerah Sekretariat daerah merupakan unsur staff yang pada hakekatnya menyelenggarakan fungsi koordinasi perumusan kebijakan, koordinasi pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan serta pelayanan
admistratif.
Selain
itu
Sekretariat
daerah
juga
dapat
19
melaksanakan fungsi hukum dan perundang-undangan, organisasi dan tatalaksana, hubungan masyarakat, protokol, serta fungsi pemerintahan umum lainnya yang tidak tercakup dalam tugas dinas dan lembaga teknis, misalnya penanganan urusan kerjasama, perbatasan dan lain-lain. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 57 Tahun 2007 memberikan acuan jumlah dan jenis perangkat daerah masing-masing daerah dapat ditetapkan sebagai berikut: 1. Sekretariat Daerah Sekretariat Daerah, terdiri atas : a) Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, membawahkan dan mengkoordinasikan : (1) Biro Administrasi Pemerintahan Umum (dengan ruang lingkup meliputi bidang pengawasan, penyelenggaraan urusan otonomi kabupaten/kota,
dekonsentrasi
dan
tugas
pembantuan,
ketentraman dan ketertiban dan perlindungan masyarakat, penanggulangan bencana, kependudukan, agraria, kerjasama dan perbatasan). (2) Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat (dengan ruang lingkup meliputi bidang pendidikan, kesehatan, sosial, Tenaga kerja dan
transmigrasi,
pemberdayaan
perempuan,
keluarga
berencana dan agama). (3) Biro Administrasi Kemasyarakatan (dengan ruang lingkup meliputi bidang kesatuan bangsa dan politik, pemuda dan olah
20
raga, dan pemberdayaan masyarakat). b) Asiste n
Perekonomian
dan
Pembangunan,
membawahkan dan mengkoordinasikan: (1) Biro Administrasi Pembangunan (dengan ruang lingkup meliputi bidang
perencanaan
pembangunan,
penelitihan
dan
pengembangan, statistik, perhubungan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata); (2) Biro Administrasi Sumber Daya Alam (dengan ruang lingkup meliputi bidang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan energi, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan serta penyuluhan); (3) Biro Administrasi Perekonomian (dengan ruang lingkup meliputi bidang koperasi dan UKM, penanaman modal, perindustrian dan perdagangan, dan badan usaha milik daerah). c) Asisten Administrasi Umum, (dengan ruang lingkup bidang hukum dan perundang-undangan, organisasi dan tatalaksana, aparatur,
keuangan,
pendapatan,
perlengkapan
dan
asset,
kearsipan, perpustakaan serta urusan umum). 2. Sekretariat DPRD Sekretariat DPRD sebagai unsur pelayanan pada hakekatnya memberikan pelayanan administratif kepada dewan yang meliputi kesekretariatan, pengelolaan keuangan, fasilitasi penyelenggaraan rapat-
21
rapat dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan daerah masing-masing. 3. Inspektorat Inspektorat sebagai unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan, baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota. Dalam rangka akuntabilitas dan objektifitas hasil pengawasan, maka Inspektur dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Gubernur,
sedangkan
pertanggung
jawaban
kepada
Sekretaris
administratif
dalam
Daerah hal
merupakan
keuangan
dan
kepegawaian.
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan
Perencanaan
unsurperencana tugas
Pembangunan
penyelenggaraan
perumusan
kebijakan
Daerah,
pemerintahan
perencanaan
sebagai
melaksanakan
daerah,
koordinasi
penyusunan rencana yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan masing-masing satuan kerja perangkat daerah. 5. Dinas Daerah Dinas Daerah, sebagai unsur pelaksana otonomi daerah pada hakekatnya menyelenggarakan urusan otonomi daerah baik yang bersifat wajib maupun pilihan, sesuai dengan pembagian urusan yang
22
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Dinas Daerah dalam menyelenggarakan urusannya tersebut memiliki fungsi: a. Perumusan Kebijakan Teknis sesuai dengan lingkup tugasnya. b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya; c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Jika melihat fungsi Dinas di atas ada fungsi yang hilang yaitu berkenaan dengan pemberian izin, berdasarkan Pasal 47 PP No. 41 Tahun 2007 urusan mengenai perizinan yang bersifat lintas sektoral diarahkan untuk dibentuk suatu unit pelayanan terpadu yang merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan. Berdasarkan Permendagri No. 57 Tahun 2007, Dinas daerah yang harus dibentuk sekurang-kurangnya, terdiri atas : a) Dinas Pendidikan; b) Dinas Kesehatan; c) Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi; d) Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika; e) Dinas Pekerjaan Umum (Bina Marga, Pengairan, Cipta Karya dan Tata Ruang);
23
f)
Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
g) Dinas Pemuda, Olahraga dan Kebudayaan; h) Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset; i)
Dinas lainnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah masingmasing.
6. Lembaga Teknis Daerah Lembaga Teknis Daerah, sebagai unsur pendukung yang sifatnya lebih teknis. Lembaga teknis daerah dapat berbentuk badan, kantor dan rumah sakit, penentuan Badan atau Kantor sesuai dengan analisis beban kerja. Lembaga
teknis
daerah
dalam
melaksanakan
tugasnya
menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya; b. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya; c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Badan, Inspektorat dan Lembaga Teknis Daerah (Badan, Kantor dan Rumah Sakit Daerah), yang harus dibentuk sekurang-kurangnya, terdiri atas: a) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal; b) Badan/Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat; c) Badan/Kantor Lingkungan Hidup;
24
d) Badan/Kantor Ketahanan Pangan; e) Badan/Kantor Penelitihan, Pengembangan dan Statistik; f)
Badan/Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi;
g) Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa; h) Badan/Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana; i)
Badan Kepegawaian dan Diklat;
j)
Inspektorat; dan
k) Rumah Sakit Daerah. l)
Lembaga teknis daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing. Mengingat adanya kuota dari struktur organisasi perangkat daerah, maka
PP No. 41 Tahun 2007 memberikan aturan mengenai perumpunan terhadap urusan-urusan wajib atau pilihan dalam hal ini terhadap Pemerintah Provinsi karena tidak harus setiap penanganan urusan pemerintah tersebut dibentuk ke dalam Organisasi tersendiri. Perumpunan
bidang
pemerintahan
pada
prinsipnya
adalah
penggabungan beberapa urusan pemerintahan yang ditangani atau diwadahi pada satu lembaga dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas serta adanya kesamaan dalam penanganan atau pelaksanaan. Pengembangan dari perumpunan urusan pemerintahan dapat dilakukan dengan pertimbangan prinsip-prinsip organisasi, kebutuhan, ketersediaan potensi dan kemampuan daerah masing-masing. Berdasarkan PP 41/2007 perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari:
25
a. Bidang Pendidikan, Pemuda dan Olahraga; b. Bidang Kesehatan; c. Bidang Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi; d. Bidang Perhubungan, Komunikasi dan Informatika; e. Bidang Kependudukan dan Catatan Sipil; f. Bidang Kebudayaan dan Pariwisata; g. Bidang Pekerjaan Umum yang meliputi Bina Marga, Pengairan, Cipta Karya dan Tata Ruang; h. Bidang Perekonomian yang meliputi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Industri dan Perdagangan; i. Bidang Pelayanan Pertanahan; j. Bidang Pertanian yang meliputi Tanaman Pangan, Peternakan, Perikanan Darat, Kelautan dan Perikanan, Perkebunan dan Kehutanan; k. Bidang Pertambangan dan Energi; dan l. Bidang Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset. Sedangkan perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat dan rumah sakit terdiri dari: a. Bidang Perencanaan Pembangunan dan Statistik; b. Bidang Penelitian dan Pengembangan; c. Bidang Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat; d. Bidang Lingkungan Hidup; e. Bidang Ketahanan Pangan; f. Bidang Penanaman Modal;
26
g. Bidang Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi; h. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa; i. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana; j. Bidang Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan; k. Bidang Pengawasan; dan l. Bidang Pelayanan Kesehatan. Perumpunan bidang pemerintahan yang diwadahi dalam bentuk dinas tidak dapat menjadi lembaga teknis dan sebaliknya, lembaga teknis daerah tidak dapat menjadi dinas daerah. Dalam kaitannya dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat, maka Gubernur sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, biasanya terlah menuangkan ke dalam visi misinya yang selanjutnya akan dituangkan ke dalam program-program. Dengan demikian, dalam kasus Aceh, usaha ini perlu dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan berupa produk aturan yang menjadi landasan untuk melakukan penguatan perdamaian sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, dengan melibatkan semua pihak dan lembaga-lembaga kemasyarakatan (Hukum Adat). Ada adagium ibi ius ubi sociates (dimana ada masyarakat di situ ada hukum), setiap masyarakat mempunyai cara tersendiri di dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. “Pada umumnya setiap wilayah hukum adat mempunyai jenis pidana yang sama, yang berbeda adalah tentang cara pelaksanaannya. Umpamanya dalam pelaksanaan pidana mati, ada
yang
27
dilakukan dengan menusuk dengan keris, ditombak, dibakar, dipenggal kepalanya dan dibenamkan ke dalam air”11. Oleh karena itu, maka perlu adanya pertimbangan-pertimbangan dihidupkannya kembali kearifan lokal di dalam penyelesaian masalah Aceh melalui penguatan perdamaian ini. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang kental dengan adat istiadat dan Agama, sehingga konsep diyat di dalam Agama Islam dapat dijadikan Acuan. Selanjutnya mengenai konsep diyat, Para ulama fiqih 12 berbeda pendapat tentang siapa yang wajib membayar diyat, apabila suatu kaum sedang bertikai, kemudian ada diantara mereka yang terbunuh, tetapi tidak diketahui
pembunuhannya
karena
memang
sulit
untuk
ditelusuri
penjelasannya. 13 Sebelumnya pada masa Nabi Muhammad SAW. Diyat tersebut ditanggung oleh aqilah (kabilah) dari pelaku kejahatan. Sedangkan pada masa Khalifah Umar menjadikan aqilah adalah orang-orang yang duduk di dewan.14
11 Mohd. Din. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional, dari Aceh untuk Idonesia. UNPAD Press. Bandung. 2009. hlm 123. 12 Diantara ulama fiqih, memberikan pendapat bahwa: Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Jil. 3. Pena Pundi Aksara. Jakarta. 2004. hlm. 468 a) Imam Abu Hanifah mengatkan bahwa, “diyat ditanggung atas aqilah kabilah…” b) Imam Syafi’I menyatakan bahwa, “Diyat didasarkan atas qasamah (sumpah menuduh)…” c) Imam Ahmad menyatakan bahwa, “Diyat dibebankan kepada aqilah-aqilah pihak lain…” d) Ibnu Abu Laila dan Abu Yusuf Menyatakan bahwa, “Diyat-nya ditanggung oleh dua pihak yang saling berperang, secara bersama”. 13 Ibid. hlm. 467-468 14 Sayid Sabiq. Fikih Sunnah. Jil 9. PT. Al-Ma’arif. Bandung. 2001. hlm. 101.
28
Selain itu dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibrahim bahwa:15 “Seseorang terbunuh dalam kerumunan manusia yang berdesak-desakan di padang ‘Arafah. Kemudian keluarganya mendatangi Umar, lalu Umar berkata: “buktikan siapa yang membunuhnya?” Maka berkata Saydina Ali: “ya Amirul Mukminin, tidak akan dialirkan darah seorang muslim, andai kata saya tahu siapa pembunuhnya, kalau tidak maka bayarlah diyatnya dari Baitul Mal”. Menyangkut dengan berpindahnya kewajiban membayar diyat kepada negara, tidak serta merta dilakukan setelah terjadinya pembunuhan. Negara baru akan membayar diyat apabila sudah ada putusan pengadilan bahwa pembunuhan tersebut tidak dapat dituntut kepada seseorang.16 Pada masa pemerintahan atau khalifah Utsman bin Affan pernah membayar denda (diyat) kepada orang yang terbunuh dari harta pribadinya, karena kasus ini dikembalikan kepada dirinya sebab orang-orang terbunuh tersebut tidak mempunyai ahli waris selain Baitul Mal.17 Kewajiban diyat berpindah kepada negara karena didasarkan pada asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya. Terjadinya kejahatan dan adanya korban kejahatan merupakan indikasi bahwa negara telah gagal dalam menjamin kesejahteraan bagi warga negaranya. Oleh karena itu negara berkewajiban 15
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2005.
hlm. 238 16 17
hlm. 347
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 472. Ibnu Katsir, Terjemah Al-Bidayah wan Nihayah. Jakarta: Darul Haq, 2004.
29
memberikan kompensasi bagi orang-orang yang telah menjadi korban sebagai akibat dari kegagalannya itu. Namun perlu juga diingat bahwa bila di kemudian hari diketahui pelaku kejahatan yang seharusnya bertanggungjawab terhadap pembayaran diyat, meskipun sanksi diyat telah diselesaikan, yang bersangkutan tetap wajib dikenakan sanksi ta’zir berupa jilid atau kurungan.18 Pelaksanaan diyat di Indonesia dimulai sejak tahun 2002 setelah adanya konflik berkepanjangan di Aceh. Setelah terjadinya konflik dalam beberapa dekade terakhir di Aceh yang menyebabkan banyak korban, baik korban
pembunuhan
yang
menghilangkan
nyawa
maupun
korban
penganiayaan yang melukai anggota badan, untuk menyelesaikan persoalan pembunuhan dan penganiayaan yang telah terjadi selama berlangsungnya konflik tersebut, serta untuk mewujudkan keadilan bagi korban atau keluarga korban yang ditinggalkan, maka berbagai langkah rekonsiliasi telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait dari kalangan Pemerintah Aceh dalam mewujudkan keadilah tersebut, di antaranya yaitu dengan pembayaran diyat bagi korban atau keluarga korban konflik yang ada di Aceh. Pemerintah Aceh dalam hal ini mengeluarkan kebijakan yang berupa rekomendasi untuk memberikan Diyat (ganti rugi) kepada korban atau keluarga korban. Rekomendasi ini dikeluarkan atas dasar asumsi bahwa Negara turut bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warganya, terutama mereka yang menjadi korban kejahatan selama berlangsungnya konflik di
18
Abdul Qadir Audah. Op. Cit. hlm. 155
30
Aceh yang sebelumnya tidak pernah mendapat perhatian. 19 Jadi dalam konteks ini, diyat yang dilaksanakan di Aceh apakah merupakan bentuk ganti rugi atau santunan yang diberikan oleh pemerintah kepada korban atau keluarga korban konflik yang telah terjadi di Aceh. Berkaitan dengan ganti kerugian, dalam sejarah hukum Indonesia dapat dijumpai berbagai kitab undang-undang hukum. Salah satunya yang berasal dari zaman Majapahit yang disebut “perundang undangan agama”.20 Kitab ini memiliki pidana pokok Ganti Kerugian dengan nama Panglicawa, Putukucawa.21
Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undangundang, Cet, V, 2006. hlm. 69. 20 Ada juga yang menyebut dengan nama lainnya. Syafruddin. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1533/1/pidana-syafruddin4.pdf Menyebutkan “kitab Adigama”. Diakses pada tanggal 6 Feb 2013. Di Banda Aceh 21 Soedarto. Hukum dan Hukum Pidana. Pt. Alumni. Bandung. 2007. hlm. 181 19
31
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT
Beberapa aturan yang terkait dengan Rancangan Qanun ini adalah antara lain: 1.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
3.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
4.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
32
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 6.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107);
7.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;
8.
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka;
9.
Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka;
10. Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Sekretariat Koordinasi Pelaksana Reintegrasi Bekas Pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemberdayaan ke dalam Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; 11. Keputusan Menteri Koodinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Nomor
31/MENKO/POLHUKAM/3/2007
tentang
Perubahan
dan
Pengembangan Desk Aceh; 12. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh
33
(Lembaran Daerah Aceh Tahun 2008 Nomor 01, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 1); 13. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Testa Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Aceh Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 38); Menyangkut kebijakan Pemerintah Aceh untuk membayar diyat bagi para korban konflik di Aceh, Landasan yuridis untuk pelaksanaan diyat tersebut yaitu sesuai dengan: 1.
Instruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka;
2.
Direktif Menko Polhukam Nomor DIR-67/ MENKO/ POLHUKAM/ 12/ 2005 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemrintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
3.
Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor 330/ 106/ 2006 Tentang Pembentukan Badan Reintegrasi Aceh.
4.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2011 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Reintegrasi Aceh.
34
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis Perlunya hal tersebut diatur di dalam bentuk Qanun supaya penanganan penguatan
perdamaian
dapat
dilakukan
secara
komprehensif,
karena
memerlukan pelibatan lembaga pemerintahanan, sarana dan porasarana serta dana yang relatif besar. Secara filosofis qanun ini dimaksudkan untuk menciptakan rasa keadilan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai akibat konplik telah menimbulkan korban di Aceh yang harus dipulihkan dan secara yuridis merupakan tanggungang jawab pemerintah daerah untuk mewujudkannya melalui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, yaitu membentuk suatu Badan seperti terdapat di dalam Undang-undang
Nomor 11 tahun 2006
(UUPA), Pasal 10 (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut Undang-Undang ini dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga, badan dan/atau komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun. Pasal 111 (1) Lembaga Teknis Aceh merupakan unsur pendukung tugas Gubernur dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Aceh yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan atau kantor. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa
peraturan
yang
dibentuk
35
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Seperti telah disebutkan di atas bahwa Aceh sepanjang sejarah kemerdekaan mengalami konflik yang silih berganti. Hal ini disebabkan karena penyelesaian yang ditempuh selama ini belum mengenai substansi yang mempertimbangkan kearifan-kearifan masyarakat Aceh.
C. Landasan Yuridis Lembaga adalah proses yang terstruktur, yang dipakai orang
untuk
menyelenggarakan
kegiatannya.
Jadi,
lembaga
pemerintahan daerah adalah sistem aturan atau proses yang terstruktur, yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sistem aturan ini lalu dikonkritkan menjadi organisasi. Jadi, organisasi adalah wujud konkrit dari lembaga yang bersifat abstrak. Melalui wujud
36
organisasi inilah, lembaga pemerintahan daerah menjalankan kegiatannya untuk mencapai tujuan. Sesuai
dengan
prinsip-prinsip
demokrasi
maka
lembaga
pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Masing-masing lembaga menjalankan peranannya sesuai dengan kedudukan, tugas, pokok dan fungsinya dalam sistem administrasi negara Indonesia. Dilihat dari administrasi publik, kedua lembaga tersebut merupakan kesatuan yang integral yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan bidang tugasnya dalam rangka mencapai tujuan pemerintah daerah. Kepala daerah adalah pimpinan lembaga yang melaksanakan peraturan perundangan. Dalam wujud konkritnya, lembaga pelaksana kebijakan
daerah
adalah
organisasi
pemerintahan.
Kepala
daerah
menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya. Penataan kelembagaan sesungguhnya merupakan proses yang tiada mengenal akhir karena penataan seiring dengan perubahan yang terjadi, baik lingkungan makro maupun mikro. Penataan kelembagaan merupakan salah satu langkah dalam menata sistem pemerintahan. Karena itu, penataan kelembagaan harus diiringi oleh penataan sumber daya manusia, cash in and out flow keuangan, kebutuhan sarana dan prasarana, serta mekanisme hubungan kerja antara unit-unit organisasi. Secara yuridis formal, penataan kelembagaan pemerintah daerah dilakukan berdasarkan penerapan organisasi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi logis bagi perubahan sistem
37
pemerintahan di daerah yang sangat mendasar. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, termasuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang tidak lagi bersifat hierarki yang berjenjang, tetapi setiap pemerintah daerah berkedudukan sebagai daerah otonom. Begitu pula dalam distribusi dan alokasi kewenangan antara pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota mengalami pergeseran dan perubahan. Perubahan kewenangan
tersebut
secara
telah
sepenuhnya
menetapkan
bahwa
seluruh
diberikan
kepada
daerah
kabupaten/kota, kecuali politik luar negeri, pertahanan dan kemanan, peradilan (yustisi), moneter dan fiskal nasional dan agama dipegang oleh Pemerintah Pusat. Melalui perubahan dalam kewenangan pemerintahan, baik di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tersebut, pada giliran berikutnya juta akan menyebabkan perubahan terhadap kelembagaan pusat dan daerah. Pengaturan kelembagaan daerah dalam UU No. 11Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk membentuk kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhannya. Peraturan
perundang-undangan
inti
yang
secara
langsung
mengatur mengenai organisasi perangkat daerah terdiri atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) secara umum untuk seluruh Indonesia, dan Untuk Aceh secara Khusus adalah UU No 11 tahun 2006, Kemudian, karena di dalam UU No 11 tahun 2006 tidak distur sewcara khusus maka dapat dipedomani
38
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (PP No. 38 Tahun 2007), Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (PP No. 41 Tahun 2007) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah (Permendagri No. 57 Tahun 2007). Dalam UU No. 11 tahun 2006 disebutkan bahwa Gubernur mempunyai Tugas dan Wewenang (Pasal 42). (1) Gubernur atau bupati/walikota mempunyai tugas dan wewenang: a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama antara Gubernur dan DPRA atau bupati/walikota dan DPRK; b. Mengajukan rancangan qanun; c. Menetapkan qanun yang telah mendapat persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRA, atau bupati/walikota dan DPRK; d. Menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang APBA kepada DPRA dan APBK kepada DPRK untuk dibahas, disetujui, dan ditetapkan bersama; e. Melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh; f. Memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan kepada DPRA atau DPRK;
39
g. Memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh kepada Pemerintah; h. Memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; i. Menyampaikan informasi penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/ kabupaten/kota kepada masyarakat; j. Mengupayakan terlaksananya kewenangan pemerintahan; k. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menguasakan kepada pihak lain sebagai kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan l. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Gubernur melakukan konsultasi dan memberikan pertimbangan terhadap kebijakan administratif yang ditetapkan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Aceh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 43 (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
40,
memiliki
tugas
dan
wewenang
mengoordinasikan: a. Pembinaan
dan
pengawasan
penyelenggaraan
pemerintahan
kabupaten/kota; b. Penyelenggaraan urusan Pemerintahan di Aceh dan kabupaten/kota;
40
c. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Aceh dan kabupaten/kota; d. Pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan dan keistimewaan Aceh; dan e. Pengusahaan
dan
penjagaan
keseimbangan
pembangunan
antarkabupaten/kota di Aceh. (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur sebagai wakil Pemerintah dapat menugaskan perangkat daerah Aceh. (3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur berhak untuk memberikan penghargaan dan/atau sanksi administratif kepada bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Pendanaan
untuk
pelaksanaan
tugas
dan
wewenang
Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. (5) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
41
Lembaga pelaksana kebijakan daerah provinsi adalah pemerintah provinsi yang dipimpin oleh gubernur. Dalam menjalankan tugasnya gubernur dibantu oleh perangkat pemerintah provinsi. Dalam lingkup unit sempit tugas pokok gubernur sebagai representasi lembaga pelaksana kebijakan daerah adalah melaksanakan kebijakan yang dibuat bersama lembaga DPRD Provinsi. Namun dalam praktiknya ruang lingkup tugas gubernur lebih luas lagi, yaitu melaksanakan semua peraturan perundang-undangan baik yang dibuat bersama DPRD Provinsi, lembaga legislatif pusat dan presiden, maupun lembaga eksekutif pusat sebagai operasionalisasi kebijakan undang-undang. Status
provinsi
adalah
daerah
otonom
sekaligus
wilayah
administrasi. Oleh karena itu, gubernur adalah kepala daerah otonom sekaligus kepala wilayah administrasi. Sebagai kepala daerah otonom gubernur adalah kepala pemerintah daerah provinsi, yang bertanggung jawab kepada rakyat daerah setempat. Sedangkan sebagai kepala kepala wilayah administrasi (local state government), gubernur adalah wakil pemerintah pusat di wilayah administrasi provinsi yang bersangkutan. Adanya kedudukan ganda pada gubernur tersebut karena pemerintah pusat menyerahkan kewenangan (desentralisasi) kepada daerah provinsi dan melimpahkan kewenangan (dekonsentrasi) kepada gubernur selaku wakil pemerintah.
42
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
A. Ketentuan umum Ketentuan
umum
memuat
rumusan
akademik
mengenai
pengertian istilah, dan frasa; yang berkaitan dengan Qanun Aceh tentang Badan Penguatan Perdamaian Perdamaian Aceh. B. Materi yang akan diatur; Materi yang akan diatur di dalam Qanun ini antara lain : 1. Asas keislaman; kemanusiaan; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; keseimbangan, keselarasan, keserasian; ketertiban, kepastian hukum dan kebersamaan. 2. Prinsip-prinsip dalam bekerjanya Badan Penguatan Perdamaian Aceh yaitu: cepat dan tepat; prioritas; koordinasi dan keterpaduan; berdaya guna dan
berhasil
guna;
transparansi
dan
akuntabilitas;
kemitraan;
pemberdayaan dan nondiskriminatif. 3. Tujuan Badan Penguatan Perdamaian Aceh adalah untuk menciptakan dan menguatkan perdamaian abadi di Aceh 4. Kedudukan, Tugas dan Fungsi, yang berisi tentang susunan Organisasi dari Badan Penguatan Perdamaian Aceh yang terdiri dari kelengkapankelengkapan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. 5. Tugas Pokok dan Fungsi yang berisi tugas pokok dan fungsi dari masingmasing kedudukan yang diemban dalam organisasi. Umpamanya adanya Dewan Pengarah yang berkedudukan di mana dan apa fungsinya.
43
6. Tata Kerja yang teridir dari pengaturan mengenai cara kerja lembaga (badan) Penguatan Perdamaian Aceh, termasuk bagaimana koordinasi dengan lembaga-lembaga lain. 7. Akses data dan Informasi berisi tentang mekanisme mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan korban konplik dan klarifikasi. 8. Restitusi, kompensasi (diyat) berisi tentang persyaratan, tata-cara, kometmen. 9. Tata
cara
penyelesaian
perselisihan,
berisi
tentang
penyelesaian
pereselisihan antara penerima diyat, umpamanya dengan mengikuti ketentuan wali di dalam Hukum Islam. 10. Prosesi berisi tentang tata cara upacara Adat/peusejuek untuk menguatkan reintegrasi. 11. Evaluasi berisi tentang pengawasan terhadap keberlanjutan program, umpamanya dana yang diberikan untuk pemberdayaan. 12. Pembiayaan, yang berisi tentang pembiayaan di dalam berjalannya Badan ini. 13. Ketentuan sanksi, yang berisi tengang sanksi, baik berupa Administrasi maupun Pidana bahkan Ganti Kerugian secara perdata. 14. Aturan Peralihan. 15. Aturan Penutup.
44
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah Aceh untuk menyelesaikan permasalahan pascakonflik adalah untuk menciptakan dan menjaga Keamanan. Perlu ada Lembaga Penguatan Perdamaian dengan susunan Organisasinya yang diberikan tugas untuk menyusun dan menetapkan rencana strategis penguatan perdamaian Aceh dan melanjutkan pelaksanaan program reintegrasi bagi mantan pasukan Gerakan Aceh Merdeka, tahanan politik yang memperoleh amnesti, dan masyarakat yang terkena dampak konflik ke dalam masyarakat meliputi: a. Pemberdayaan dan Pengembangan Ekonomi; b. Pemberdayaan dan Bantuan Sosial; c. Rehabilitasi Kesehatan Fisik dan Mental Serta Psikososial; d. Penyediaan Lahan Pertanian dan Lapangan Pekerjaan; dan e. Pemulihan Hak Sipil, Hak Politik, dan Hak Budaya. 2. Karena tugas sebagaimana disebutkan di atas sangat berat, maka diperlukan dasar pijakan yang kuat bagi Pemerintah Aceh untuk melaksanakan hal tersebut. Produk Hukum yang kuat pada tingkast daerah adalah Qanun. 3. Secara Secara filosofis qanun ini dimaksudkan untuk menciptakan rasa keadilan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai akibat konplik telah menimbulkan korban di Aceh yang harus dipulihkan dan secara yuridis merupakan tanggung jawab
45
pemerintah daerah untuk mewujudkannya melalui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, yaitu membentuk suatu Badan seperti terdapat di dalam Pasal 10 jo Pasal 111 Undang-Undang No. 11 tahun 2006. Pasal 10 Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut Undang-Undang ini dengan persetujuan DPRA, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Pasal 111 (1) Lembaga Teknis Aceh merupakan unsur pendukung tugas Gubernur dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Aceh yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan atau kantor. 4. Sasaran yang akan diwujudkan di dalam Rancangan Qanun Susunan Organisasi Lembaga Penguatan Perdamaian Aceh ini adalah terdapatnya aturan-aturan (materi muatan) yang dapat dijadikan dasar oleh Pemerintah Aceh guna menguatkan perdamaian di Aceh .
B. Saran Perlu segera dibuat Badan Penguatan Perdamaian Aceh dengan terlebih dahulu menyusun produk hukum berupa Qanun yang memuat materi yang komprehensip untuk menciptakan kedamaian abadi di Aceh.
46
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Mada University Press, 2005. Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang-Undang, 2006. Dahlan, Pembinaan Narapidana Politik Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, UNPAD Press, Bandung, 2009. Ibnu Katsir, Terjemah Al-Bidayah wan Nihayah, Darul Haq, Jakarta, 2004. Jose Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, 2007. Juanda,
Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan kepala Daerah, PT Alumni, Bandung, 2004.
Masri Singarimbun dan Sofian effendi (ed), Metode Penelitian Survey, LP3ES, 1989. Mohd. Din. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional, dari Aceh Untuk Idonesia, UNPAD Press, Bandung. 2009. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, 2005. Paimin Napitupulu, Menakar Urgensi Otonomi Daerah, Solusi Atas Ancaman Disintegrasi, PT Alumni, Bandung, 2006. Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, 2005. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2008. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, PT Alumni Bandung, 1994. Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
47
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998. Syaukani et.al, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, 2002.
Pusat
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jil. 3. Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2004. Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jil 9. PT Al-Ma’arif, Bandung, 2001. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 2007. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1533/1/pidanasyafruddin4.pdf “Kitab Adigama”. Diakses pada tanggal 6 Feb 2013. Di Banda Aceh
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Undang-Undang Nomor 7 Tahun Sosial.
2012 Tentang Penanganan Konflik
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
48
Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Sekretariat Koordinasi Pelaksana Reintegrasi Bekas Pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemberdayaan ke dalam Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Keputusan Menteri Koodinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Nomor 31/MENKO/POLHUKAM/3/2007 tentang Perubahan dan Pengembangan Desk Aceh; Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.