BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sebuah sistem yang dibentuk oleh unsur-unsur yang tersusun secara teratur menurut pola tertentu (sistematis) dan membentuk suatu kesatuan (sistemis). Sifatnya yang sistematis dan sistemis inilah yang menjadikan bahasa itu bermakna dan berfungsi (Chaer, 2012: 34-35). Selain itu, bahasa juga bersifat unik. Artinya, setiap bahasa memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lain, baik yang berkaitan dengan sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, dan lain-lain (Chaer, 2012: 51). Kendatipun demikian, bahasa juga bersifat universal. Hal ini bermaksud bahwa suatu bahasa dapat memiliki kesamaan ciri dengan bahasa lain. Ciri-ciri inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan dan persamaan antarbahasa. Perbedaan dan persamaan antarbahasa dapat diamati antara lain pada kelas kata, baik itu kelas kata terbuka (yaitu nomina, verba, dan adjektiva), yang dapat menduduki fungsi-fungsi dalam kalimat, maupun kelas kata tertutup (seperti artikel, pronomina, dan numeralia), yang hanya dapat hadir bersama dengan kelas kata terbuka dalam kalimat. Salah satu perbedaan yang dapat kita saksikan dalam penggunaan bahasa sehari-hari adalah pada kata-kata yang tergolong dalam kategori numeralia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Numeralia, atau yang sering juga disebut dengan kata bilangan, adalah kata-kata yang menyatakan jumlah, nomor, urutan, atau himpunan (Chaer, 2011: 113). Dalam bahasa Inggris, kelas kata ini dikenal dengan istilah numeral atau number words (Wiese, 2007: 3).
1
2
Dari pengamatan awal terhadap numeralia dalam buku-buku tata bahasa dan pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, penulis menemukan sejumlah persamaan dan perbedaan. Yang pertama adalah dalam hal banyaknya jenis numeralia dalam kedua bahasa. Pada umumnya, numeralia dalam kedua bahasa terdiri dari dua jenis, yaitu numeralia kardinal (yang menunjukkan jumlah) dan numeralia ordinal (yang menyatakan urutan). Namun demikian, dalam bahasa Indonesia, numeralia kardinal memiliki subkelompok yang lebih beragam daripada numeralia kardinal dalam bahasa Inggris. Berikutnya, ditinjau dari pembentukannya, numeralia ordinal dalam kedua bahasa tersebut sama-sama dapat dibentuk melalui afiksasi terhadap morfem dasar numeralia. Perbedaannya, numeralia ordinal dalam bahasa Indonesia (contoh 1a) umumnya dibentuk dengan pembubuhan prefiks {ke-} terhadap MDNum, sedangkan dalam bahasa Inggris (contoh 1b) dibentuk dengan pembubuhan afiks {–th}, seperti yang terlihat pada kedua contoh berikut. (1)
a. Demikian pula hubungan antara bait kedua dan ketiga, ketiga dan keempat, dan seterusnya. b. The fifth and sixth pages of each unit include a Reading text and related exercises. „Halaman kelima dan keenam dari masing-masing unit memuat sebuah teks Membaca dan latihan-latihan yang berhubungan dengan bacaan tersebut‟
Selain itu, pola urutan numeralia dalam frase nomina pada kedua kalimat di atas berbeda. Dalam contoh dari bahasa Indonesia, untuk menyatakan urutan pola urutannya adalah N+Num, sedangkan dalam contoh dari bahasa Inggris Num+N. Perbedaan lainnya adalah adanya divergensi dalam tataran sintaksis bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk mengungkapkan urutan atau tingkat.
3
Dalam kedua bahasa, urutan atau tingkat seperti di atas dapat dinyatakan dengan numeralia dasar maupun numeralia berimbuhan. Namun demikian, dalam bahasa Indonesia numeralia hanya dapat mengikuti nomina, sedangkan dalam bahasa Inggris numeralia dapat mendahului atau mengikuti nomina. Dalam bahasa Inggris, apabila dinyatakan dengan MDNum, urutannya adalah N+Num. Jika yang digunakan adalah numeralia berimbuhan, urutannya menjadi Num+N. Contohnya adalah dalam kalimat-kalimat berikut ini. (2) a. Bait pantun pada soal nomor 6 di atas menyatakan kesenangan. N Num b. Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua isinya. N Num N Num (3) a. Write about the first vacation job you ever had. Num N b. „Tulislah tentang pekerjaan pertama yang pernah kamu lakukan saat liburan‟ The Picture Dictionary for My World 5 is at the back of the N Num Student Book, from pages 98 to 105. „Kamus Bergambar untuk My World 5 berada di bagian belakang Student Book, mulai halaman 98 sampai 105‟ Hal yang serupa juga tampak dalam penyebutan waktu. Dalam bahasa Indonesia,
nomina jam/pukul mendahului numeralia. Dalam bahasa Inggris,
numeralia yang mendahului Adv o’clock „jam‟. Bandingkan kedua kalimat berikut. (4) a. Pada pukul 06.00, kami semua segera berkumpul di halaman .... N Num b. I normally have dinner around eight o‟clock. Num Adv „Saya biasanya makan malam sekitar pukul 08.00‟ Numeralia dalam kedua bahasa juga dapat muncul bersama KPg (classifier) untuk membentuk FNum, hanya saja dalam bahasa Indonesia pola
4
urutannya dalam konstruksi sintaksis lebih fleksibel. Dalam bahasa Indonesia, FNum dapat diletakkan sebelum atau sesudah nomina atau FN yang diterangkannya, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya dapat mendahuluinya seperti tampak dalam contoh (5) dan (6) berikut. (5) a. b. (6) a.
b.
Air mata yang keluar dari Dewa Anta menjadi telur tiga butir. N FNum Mereka menjawab bahwa ada sepuluh ekor unta. FNum N It takes an average of 5 kilograms of olives to produce FNum N one liter of oil. FNum N It takes an average of olives 5 kilograms to produce N FNum oil one liter. N FNum
Lebih lanjut lagi, dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, numeralia dalam konstruksi tertentu, dapat berperilaku seperti nomina. Pada contoh (7a) berikut, misalnya, numeralia dapat berdiri sendiri mengisi FN. Sementara itu, pada contoh (7b) numeralia dapat mengalami penjamakan dengan pembubuhan sufiks {–s} seperti halnya nomina. (7)
a. ) .
K K1
koordinator
K2
S1
P1
S2
P2
FN
FV
FN
FV
Num
V
Num
V
Esa
Hilang
dua
Terbilang
,
5
b.
FP Prep
FN Num Plu Koordinator
at
six
-es
and
Num
Plu
seven
-s
Walaupun kehadiran numeralia dalam kalimat hanya bersifat periferal (tambahan), frekuensi terdapatnya kategori ini dalam konstruksi kalimat maupun ujaran dalam kedua bahasa tergolong tinggi. Dalam halaman demi halaman buku, dapat dijumpai numeralia. Bagian-bagian buku biasa ditandai dengan numeralia, misalnya Bab 1, Unit 5, dan Unjuk Pemahaman 4. Dalam daftar belanja, juga dibubuhkan numeralia, seperti kertas A4 1 rim, pensil 2B 3 batang, dan penghapus Joyco 2 buah. Untuk mengidentifikasi siapa yang mengirim pesan atau melakukan panggilan kepada seseorang, juga digunakan numeralia, yang berupa deretan angka-angka dalam nomor telepon. Menyebutkan waktu (misalnya: jam dua siang, 17 Agustus 1945, dan sepuluh tahun yang lalu), mencari alamat (misalnya: Jl. A. Yani No. 50, Ponten, Wonogiri), dan membilang jumlah benda pun (misalnya: ribuan peserta, sejumlah kalimat, dan lima teks eksplanasi) menggunakan numeralia.
Masih
banyak
lagi aktivitas
berbahasa
yang
mengharuskan penutur bahasa menggunakan numeralia. Dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, khususnya, numeralia muncul dalam beragam teks yang dipelajari oleh siswa. Teks-teks tersebut dapat berupa cerita pendek, cerita rakyat, cerita ulang, teks ulasan, dan lain-lain. Berita, serta teks-teks fungsional pendek seperti iklan, manual, dan sebagainya juga sering ditampilkan.
6
Sebuah kajian kontrastif terhadap numeralia kedua bahasa tersebut kiranya penting untuk dilakukan mengingat potensi kesulitan yang ditimbulkan oleh perbedaan yang terdapat dalam pengelompokan, pembentukan, maupun pola urutan penggunaannya. Sebagai contoh, dalam pembelajaran bahasa Inggris, pembelajar seringkali sulit mengidentifikasi fungsi numeralia. Misalnya angka yang bergaris bawah dalam contoh berikut diidentifikasi sebagai numeralia kardinal dan ordinal oleh berturut-turut 69% dan 13% dari 30 sampel pembelajar level menengah. Padahal angka tersebut tidak menunjukkan jumlah maupun urutan. (8)
Cummings remembered that bus number 2857 was the one Jimmy Blake had been driving that pivotal day. „Cummings ingat bahwa bus nomor 2857 itulah yang Jimmy Blake kemudikan pada hari yang bersejarah itu‟
Dalam hal pembentukan numeralia, pembelajar juga masih sering melakukan kesalahan. Sebagai contoh, ketika sampel pembelajar level pemula diminta membaca gambar jam yang menunjukkan pukul 10.30, sebagian besar menuliskan bentuk (9a). (9) ten thirty (9a) *ten threety
Lebih lanjut lagi, sebagian besar sampel pembelajar level pemula masih sering meletakkan numeralia di belakang nomina dalam konstruksi FN dalam kalimat yang mereka tulis, seperti tampak dalam contoh (10) berikut. (10) *I buy book ten. „Saya membeli buku sepuluh‟ Seharusnya I buy ten books.
7
Mengingat frekuensi kemunculan numeralia dalam materi pelajaran bahasa Inggris untuk penutur asli bahasa Indonesia tergolong tinggi, munculnya kesalahan-kesalahan seperti tersebut di atas perlu diantisipasi. Oleh karena itu, penulis bermaksud melakukan analisis kontrastif numeralia dalam kedua bahasa tersebut, dan menjelaskan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Inggris untuk penutur asli bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipilih karena salah satu fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Selain itu, bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama, bahasa resmi, sekaligus lingua franca bagi masyarakat Indonesia yang beragam. Karenanya, penting bagi setiap warga negara Indonesia untuk menguasai bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa Inggris dipilih karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang paling banyak dituturkan dan digunakan sebagai lingua franca dalam pergaulan internasional. Bahasa Inggris juga merupakan bahasa asing yang paling banyak diajarkan di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Selain itu, kedua bahasa tersebut adalah yang paling memungkinkan untuk mengakses pengetahuan karena pada umumnya buku-buku teks dan referensi ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 1.2 Rumusan Masalah Pada bagian sebelumnya, penulis telah memberikan gambaran adanya perbedaan pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
8
Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Indonesia?
2.
Bagaimanakah pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Inggris?
3.
Apakah persamaan, perbedaan, serta penyebabnya dalam pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Indonesia dan bahasa Inggris?
4.
Apakah implikasi persamaan dan perbedaan tersebut terhadap pembelajaran bahasa Inggris untuk penutur asli bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah yang telah penulis rumuskan di atas, yaitu: 1. Mendeskripsikan pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis dalam bahasa Indonesia. 2. Mendeskripsikan pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis dalam bahasa Inggris. 3. Menguraikan persamaan dan perbedaan pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Indonesia dan bahasa Inggris serta menjelaskan penyebabnya. 4. Menjelaskan
implikasi
persamaan
dan
perbedaan
tersebut
pembelajaran bahasa Inggris untuk penutur asli bahasa Indonesia.
terhadap
9
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya mengkaji kategori numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dengan demikian, penanda jumlah yang lain dan kategori yang memiliki kemiripan bentuk yang muncul dalam konstruksi lain tidak termasuk dalam objek kajian. Ragam bahasa yang diteliti adalah ragam bahasa tulis. Penelitian ini hanya membahas pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan numeralia dalam konstruksi sintaksis dalam kedua bahasa secara struktural. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini penulis harapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. 1.5.1 Manfaat Teoretis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangsih
bagi
pengembangan teori linguistik seputar morfologi dan sintaksis numeralia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi para pembaca mengenai numeralia bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, menjadi salah satu sumber belajar bagi pembelajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, menjadi bahan rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, dan memberikan referensi mengenai persamaan dan perbedaan numeralia bahasa Inggris dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Inggris untuk penutur asli bahasa Indonesia.
10
1.6 Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran penulis, beberapa kajian yang berkaitan dengan numeralia pernah dilakukan. Berikut sekilas mengenai kajian-kajian tersebut. Penelitian yang pertama terekam dalam jurnal yang berjudul Penanda Jamak dalam Bahasa Prancis dan Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Hayatul Cholsy (2005). Penelitian Cholsy juga merupakan kajian kontrastif yang bertujuan mendeskripsikan penanda jamak kedua bahasa tersebut serta menjelaskan persamaan dan perbedaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanda jamak bahasa Prancis dalam ragam lisan dan tertulis berbeda bentuk. Dalam bahasa tulis, bentuk jamak ditandai dengan pembubuhan sufiks {–x}, {-s}, atau perubahan-perubahan berdasarkan aturannya pada nomina dan adjektiva, adanya accord di dalam kala lampau, kalimat pasif, dan kalimat majemuk dengan kata bantu que. Di dalam bahasa lisan, bentuk jamak dikenali dari pengucapan artikel pada nomina jamak yang mengikutinya serta adanya liaison. Penanda jamak dalam bahasa Indonesia terdapat di dalam reduplikasi nomina, verba, dan adjektiva serta numeralia dan adjektiva yang bermakna jamak. Perbedaan antara penanda jamak kedua bahasa adalah bahwa bahasa Indonesia tidak mempunyai penanda jamak yang khas seperti dalam bahasa Prancis baik dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan. Dari rangkuman tersebut, dapat disimpulkan bahwa objek kajian penelitian Cholsy lebih luas daripada penelitian penulis, karena tidak hanya mengkaji numeralia saja, melainkan penanda jamak pada umumnya. Di samping itu, bahasa yang diteliti juga berbeda. Cholsy membandingkan bahasa Indonesia
11
dengan bahasa Arab, berbeda dengan penulis yang membandingkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Dengan demikian, penelitian ini tidak mengulang penelitian Cholsy. Penelitian lainnya dilakukan oleh Syahrul Munir (2004). Penelitian tersebut berjudul Analisis Kontrastif Kata Bilangan Tak Tentu dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dalam tesis tersebut, Munir hanya mengkaji salah satu jenis numeralia, yaitu numeralia taktentu, yang terdapat dalam majalah udara dan buku kedokteran untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk dan aturan pemakaiannya. Munir menghimpun data dengan teknik pembacaan dan pencatatan dengan human instrument. Metode analisis data yang ia gunakan adalah metode deskriptif dengan analisis kualitatif kontrastif. Melalui penelitian tersebut, Munir berhasil menemukan bahwa numeralia tak tentu dalam bahasa Inggris lebih banyak daripada yang ada dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, numeralia tak tentu (quantifier) dibedakan penggunaannya, yaitu yang digunakan bersama nomina terbilang, yang digunakan bersama nomina tak-terbilang, dan yang dapat digunakan bersama keduanya. Dalam bahasa Indonesia tidak ada pembedaan semacam itu, melainkan hanya berdasarkan sedikit banyaknya maujud. Numeralia tak tentu bahasa Inggris juga memiliki kesepadanan makna dengan yang ada dalam bahasa Indonesia. Penelitian Munir di atas memiliki sejumlah persamaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan, yakni dalam hal bahasa-bahasa yang diteliti, teknik dan instrumen pengumpulan data dan metode analisisnya. Perbedaannya adalah dalam penelitian penulis, objek kajiannya lebih luas, tidak terbatas pada numeralia
12
taktentu. Selain itu, sumber data yang penulis gunakan juga berbeda. Penulis menggunakan buku-buku pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan materi-materi otentik tertulis berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris dari pustaka, pustaka laman, dan korpus. Dengan demikian, penelitian yang akan penulis lakukan tidak mengulang penelitian Munir. Namun demikian, temuan penelitian Munir dapat menjadi sumbangan berarti untuk penelitian penulis. Penelitian yang ketiga adalah dalam tesis berjudul Penanda Jumlah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia: Studi gramatika kontrastif. Penelitian ini dilakukan oleh Ali Badrudin (2008). Meskipun berhubungan, objek penelitian Badrudin berbeda dengan objek penelitian penulis. Badrudin mengkaji penanda jumlah secara umum, sedangkan penulis hanya akan mengkaji salah satu penanda jumlah, yaitu numeralia. Bahasa yang Badrudin bandingkan pun berbeda dengan bahasa yang penulis bandingkan. Dengan demikian, penelitian yang akan penulis lakukan juga bukan pengulangan dari penelitian Badrudin. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Yohanes Sanjoko (2012) dengan judul Frase Numeralia Berpenyukat pada Bahasa Kerabat Lasalimu dan Kamaru. Melalui penelitian tersebut, Sanjoko hendak menguraikan sistematika numeralia pada bahasa kerabat Lasalimu dan Kamaru, mengklasifikasikan kata penyukatnya yang terdiri atas beberapa jenis, kemudian menjelaskan konstruksi frase numeralia berpenyukat pada kedua bahasa tersebut. Ia menghimpun data dengan bertanya langsung kepada informan dan melalui kuesioner. Ia juga menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menganalisis datanya. Hasil penelitian menunjukkan
13
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konstruksi frase numeralia berpenyukat dalam kedua bahasa tersebut. Penelitian Sanjoko ini memiliki objek yang lebih sempit daripada penelitian yang penulis lakukan. Bahasa yang dibandingan pun berbeda. Di samping itu, metode pengumpulan data yang digunakan juga berbeda. Dengan demikian, penulis tidak mengulang penelitian Sanjoko. Imam Mul Hakim (2012) juga pernah melakukan analisis kontrastif untuk skripsinya dengan judul Kata Bilangan dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Arab (Analisis Kontrastif). Fokus penelitian Hakim adalah masalah fungsi dan pola urutan kata bilangan. Hal ini sedikit berbeda dengan fokus penelitian penulis, karena penulis tidak hanya mengkaji numeralia berdasarkan fungsi dan pola urutan, melainkan kaidah pembentukannya. Seperti halnya Hakim, penulis juga berusaha menjelaskan implikasi analisis kontrastif ini terhadap pembelajaran. Yang membedakan adalah Hakim memprediksi kesulitan belajar dan menyajikan caracara mengatasinya dalam bentuk saran teknik pengajaran, sedangkan penulis hanya sampai kepada penyusunan materi pembelajaran, mengingat teknik pengajaran perlu mempertimbangkan banyak faktor yang tidak dapat disamakan antara satu kelas atau kelompok belajar dengan kelas atau kelompok belajar lainnya. Melalui penelitian tersebut, Hakim berhasil menemukan sejumlah persamaan dan perbedaan antara numeralia dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia serta kesulitan-kesulitan yang muncul dari perbedaan-perbedaan tersebut.
14
1.7 Landasan Teori Perbandingan antarbahasa perlu dilakukan, antara lain dalam rangka mengantisipasi kesulitan-kesulitan belajar bahasa kedua. Kesulitan-kesulitan tersebut dipicu oleh perbedaan sistem antara bahasa ibu pembelajar dengan bahasa kedua yang tengah ia pelajari. Perbedaan antara kedua bahasa tersebut tampak salah satunya dalam subsistem morfologi dan sintaksis kedua bahasa yang digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Salah satu fungsi utama bahasa adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan benda-benda atau hal-hal. Salah satu unsur bahasa yang digunakan untuk menjalankan fungsi identifikasi adalah numeralia. Dalam subsistem morfologi dan sintaksis numeralia bahasa Indonesia dan bahasa Inggris terdapat sejumlah perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu berpotensi menimbulkan kesulitan pembelajar bahasa Inggris yang merupakan penutur asli bahasa Indonesia. Dengan analisis kontrastif terhadap numeralia kedua bahasa tersebut, diharapkan dapat membantu memprediksi kesulitan belajar dan menyiapkan materi numeralia yang tepat untuk pembelajaran bahasa Inggris bagi penutur asli bahasa Indonesia. Berdasarkan kerangka pikir di atas, landasan teoretis yang akan penulis sajikan adalah (1) analisis kontrastif, (2) bahasa, dan (3) numeralia dalam bahasa Indonesia, dan (4) numeralia dalam bahasa Inggris. 1.7.1 Analisis Kontrastif Analisis kontrastif identik dengan perbandingan dua bahasa dan pemerian dua tipologi yang berlawanan (James, 198: 3). Dicetuskan pertama kali
15
oleh Charles C. Fries sebagai suatu komponen integral dari metodologi pengajaran bahasa target (melalui Fisiak [ed.], 1985: 209),
analisis kontrastif kemudian
menjadi salah satu cabang linguistik terapan yang paling populer pada pertengahan abad ke-20 (Brown, 2007: 248). Gast (2013: 1) menambahkan bahwa perbandingan tersebut dilakukan dalam upaya menyelidiki perbedaan berdasarkan latar belakang persamaan antara sepasang atau sejumlah kecil bahasa. Menurut Gast (2013: 1), tujuan dari analisis kontrastif adalah untuk memberikan masukan kepada disiplin-disiplin terapan, seperti pengajaran bahasa asing dan kajian terjemahan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Kridalaksana, bahwa analisis kontrastif bertujuan untuk mencari prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis, seperti pembelajaran bahasa dan penerjemahan (Kridalaksana, 2008: 15) dan James (1980: 27) bahwa analisis kontrastif bertujuan untuk menjelaskan aspek-aspek tertentu dari pembelajaran bahasa kedua. Salah satunya adalah untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar bahasa. Asumsi dasar perlunya analisis kontrastif adalah bahwa dengan membandingkan secara sistematis bahasa dan budaya yang dipelajari dengan bahasa ibu dan budaya pembelajar, dapat dideskripsikan pola-pola yang dapat menyebabkan kesulitan belajar dan pola-pola yang tidak menyebabkan kesulitan belajar (Lado, 1974: vii). Secara lebih rinci, Lee berasumsi bahwa (1) penyebab utama kesulitan belajar bahasa kedua adalah interferensi dari bahasa ibu pembelajar. (2) Kesulitan itu terjadi karena perbedaan dari kedua sistem bahasa itu. (3) Semakin besar perbedaan antara kedua bahasa itu, maka semakin besar
16
juga kesulitan yang dialami oleh pembelajar. (4) Perlunya hasil perbandingan dari dua bahasa itu adalah untuk meramalkan kesulitan dan kesalahan yang akan terjadi dalam belajar bahasa kedua. Oleh karena itu, (5) materi yang diajarkan harus sesuai dengan perbedaan yang ada dari kedua sistem bahasa itu berdasarkan hasil analisis perbedaan (melalui Fisiak [ed.], 1985: 211). Asumsi kelima tersebut juga pernah diutarakan sebelumnya oleh Fries: “The most effective materials (for foreign language teaching) are based upon a scientific description of the language to be learned carefully compared with a parallel description of the native language of the learner „materi (pengajaran bahasa asing) yang paling efektif adalah yang berdasarkan pemerian ilmiah secara seksama bahasa yang harus dipelajari dengan bahasa secara paralel‟ (melalui Fisiak [ed.], 1985: 209)” Secara garis besar, prosedur analisis kontrastif yang dikemukakan oleh Lado (1974: 11-12) dan van Els dkk. (1984: 38) meliputi (1) pemerian bahasabahasa, (2) perbandingan bahasa-bahasa itu, (3) prediksi kesulitan-kesulitan belajar, dan (4) penyusunan materi pembelajaran bahasa. Banyak fenomena linguistik yang dapat diungkapkan melalui analisis kontrastif, di antaranya: 1. Konvergensi Konvergensi adalah apabila ditemukan lebih sedikit unsur struktural dalam bahasa kedua daripada bahasa ibu untuk mengungkapkan makna tertentu (van Els dkk., 1984: 40). Misalnya leksikon numeralia taktentu semua dalam Bahasa Indonesia lebih banyak dari bahasa Inggris. Bahasa Indonesia memiliki semua, seluruh, segala, dan segenap, sedangkan bahasa Inggris hanya memiliki all.
17
2. Divergensi Divergensi adalah kebalikan dari konvergensi, yakni apabila terdapat lebih banyak unsur struktural dalam bahasa kedua daripada bahasa ibu untuk mengungkapkan makna tertentu (van Els dkk., 1984: 40). Pada tataran leksikal, misalnya, terdapat divergensi dalam bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia untuk mengungkapkan makna „beberapa‟. Bahasa Indonesia hanya memiliki leksikon beberapa, sedangkan bahasa Inggris memiliki leksikonleksikon some dan several. 3. Ketidakadaan Fenomena ketidakadaan mengacu pada tidak adanya unsur tertentu dalam salah satu bahasa yang dibandingkan. Jika ketidakadaan ini terjadi dalam tataran leksikal, maka disebut lexical gap (van Els dkk., 1984: 40). Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris tidak ada reduplikasi dalam pembentukan numeralia. 1.7.2 Bahasa Sebagai sebuah sistem dengan segala kekhasan dan keuniversalannya, bahasa memiliki beragam fungsi. Salah satunya adalah fungsi identifikasi, yaitu untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan benda-benda atau hal-hal (Finch, 2003: 21-39). Fungsi bahasa itu dijalankan melalui sistem gramatika yang terdiri atas subsistem morfologi dan subsistem sintaksis. Salah satu unsur yang dapat menjalankan fungsi identifikasi bahasa adalah kata.
18
Kata menjadi objek kajian morfologi dan sintaksis. Morfologi mempelajari kata dari proses pembentukannya secara sinkronis serta arti gramatikalnya dengan tujuan untuk merumuskan sistem pembentukan kata dalam suatu bahasa (Baryadi, 2010: 6-7). Sintaksis berhubungan dengan penggabungan kata-kata menjadi kalimat, (Leech, 2006: 110). Dalam morfologi, kata merupakan satuan yang terbesar yang dibentuk melalui salah satu proses morfologis (Chaer, 2008: 5). Berdasarkan bentuknya, kata dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama adalah kata asal, yakni kata yang menjadi asal pembentukan kata lain. Yang kedua adalah kata jadian, yang merupakan hasil penggabungan dua morfem atau lebih (Baryadi, 2010: 18-19). Proses pengubahan bentuk dasar menjadi kata jadian disebut proses morfologis (Baryadi, 2010: 25). Proses morfologis melibatkan setidaknya tiga komponen, yaitu: (1) dasar (bentuk dasar), (2) alat pembentuk, yang berupa afiks, duplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi, dan (3) makna gramatikal (Chaer, 2008: 7). Pada pembentukan numeralia berlima, misalnya, bentuk dasar lima mendapat afiks {ber-} dan bermakna gramatikal „bersama-sama lima‟. Terdapat bermacam-macam proses morfologis, di antaranya yang disampaikan oleh Chaer (2012: 177-193) adalah sebagai berikut: 1. Afiksasi (Affixation) Afiksasi adalah pembentukan kata jadian dengan cara membubuhkan afiks (imbuhan) pada sebuah dasar atau bentuk dasar.
19
2. Pengulangan atau Reduplikasi (Reduplication) Dalam reduplikasi, kata jadian dibentuk dengan cara mengulang bentuk dasar. Pengulangannya dapat secara keseluruhan ataupun sebagian (Chaer, 2012: 182). Reduplikasi dapat terjadi pada kelas kata terbuka maupun kelas kata tertutup, seperti numeralia. Reduplikasi juga dapat terjadi pada bentuk dasar maupun kata jadian (Chaer, 2008). 3. Pemajemukan atau Komposisi (Compounding) Pemajemukan adalah pembentukan kata jadian dengan memadukan dua bentuk dasar atau lebih. Bentuk dasar tersebut dapat berupa bentuk bebas atau bentuk terikat. Dalam bahasa Inggris, proses ini disebut dengan compounding (Lieber, 2009: 43-49). Komposisi akan melahirkan sebuah konstruksi dengan identitas leksikal yang berbeda. 4. Suplesi (Supletion) Proses pembentukan kata jadian dengan mengubah secara total bentuk dasarnya disebut dengan suplesi. 5. Konversi (Conversion) Konversi adalah proses pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lain tanpa perubahan unsur segmental. 6. Penyerapan (Borrowing) Penyerapan adalah proses pengambilan kosakata dari bahasa asing (Chaer, 2008: 239). Misalnya, bahasa Indonesia menyerap kata prathama dari bahasa Sanskerta.
20
Dalam sintaksis, kata adalah satuan terkecil. Sebagai satuan terkecil, kata dapat mengisi atau sekedar menjadi pelengkap pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Kata-kata yang dapat mengisi fungsi sintaksis juga dapat menjadi konstituen dalam kalimat minor (seperti dalam jawaban atau kalimat perintah singkat) (Chaer, 2009:31-38). Chaer (2009) menyatakan bahwa hal-hal yang dibicarakan dalam sintaksis adalah struktur sintaksis, yang berkaitan dengan fungsi, kategori, dan peran, dan alat-alat sintaksis, yang berkaitan dengan urutan kata, bentuk kata, intonasi, dan konektor. Dalam penelitian ini agaknya pembahasan yang relevan adalah mengenai fungsi, kategori, dan urutan kata. 1. Fungsi Sintaksis Fungsi sintaksis adalah semacam slot dalam struktur sintaksis yang akan diisi oleh kategori-kategori tertentu. Istilah-istilah seperti subjek, predikat, objek, pelengkap (komplemen), dan keterangan merupakan fungsi-fungsi sintaksis. Uruturutan fungsi-fungsi tersebut dalam membentuk klausa atau kalimatlah yang disebut struktur. 2. Kategori Sintaksis Kategori sintaksis adalah jenis atau tipe kata/frase yang menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis (Chaer, 2009: 27). Yang dimaksud kategori sintaksis adalah istilah-istilah seperti nomina, verba, adjektiva, adverbia, numeralia, preposisi, konjungsi, dan pronomina.
21
3. Urutan Kata Urutan kata (word order) adalah peletakan atau posisi kata yang satu dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi sintaksis. Perbedaan urutan kata dapat menimbulkan perbedaan makna (Chaer, 2009: 33). Sebagai contoh jam lima beda dengan lima jam, dan kelas tiga beda dengan tiga kelas. Jam lima dan kelas tiga berturut-turut menyatakan saat dan tingkat, sedangkan lima jam dan tiga kelas berturut-turut menyatakan durasi dan jumlah. 1.7.3 Numeralia dalam Bahasa Indonesia Dalam bahasa Indonesia, istilah numeralia merujuk kepada kata-kata atau frase yang dapat digunakan untuk membilang jumlah maujud atau konsep dan menunjukkan urutannya dalam sebuah rangkaian (Kridalaksana, 2008: 164; Rahardi, 2009: 61; Muslich, 2010: 89; dan Rahab, 2014: 364). Penggolongannya pun kebanyakan mengikuti kedua fungsi utama tersebut, yaitu numeralia kardinal dan numeralia ordinal. Beberapa pakar menyebutkan satu jenis numeralia tambahan, yakni numeralia pecahan. Beberapa pakar lainnya memasukkan numeralia pecahan ke dalam subkelompok numeralia kardinal. Numeralia kardinal sendiri, menurut sejumlah pakar bahasa Indonesia, terdiri atas beberapa jenis. Bentuknya pun beragam, ada yang berwujud numeralia dasar, ada juga yang telah melalui proses afiksasi dan reduplikasi. Menurut sejumlah pendapat, numeralia dalam bahasa Indonesia merupakan salah satu kategori sintaksis yang sifatnya periferal (tambahan). Hal ini bermaksud numeralia tidak
dapat mengisi fungsi-fungsi sintaksis seperti
halnya nomina, verba, dan adjektiva, melainkan hanya menjadi bagian dari frase
22
yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis itu (Chaer, 2009: 38). Numeralia dapat membentuk frase, klausa, dan kalimat yang berkategori sama, yaitu frase numeral, klausa numeral, dan kalimat numeral (Chaer, 2009). Kalimat numeral hanya digunakan dalam ragam nonformal (Chaer, 2009: 45-46). 1.7.4 Numeralia dalam Bahasa Inggris Yang dimaksud dengan numeralia atau numerals dalam bahasa Inggris adalah kata-kata yang mengacu kepada bilangan (Leech, 2006: 74). Pada umumnya, pakar tatabahasa Inggris mengelompokkan numeralia menjadi dua kelompok saja, yaitu cardinal numerals (numeralia kardinal) dan ordinal numerals (numeralia ordinal). Numeralia kardinal menunjukkan jumlah, sedangkan numeralia ordinal menunjukkan urutan (Quirk dkk., 1985: 251-252; Aarts, 2001: 29; Nelson, 2001: 76-77; Downing dan Locke, 2006: 427; dan Leech, 2006: 74). Bentuknya dapat berupa numeralia dasar dan numeralia berimbuhan. Menurut Aarts (2001: 29), numeralia merupakan subbagian dari nomina dan karenanya dapat berperilaku seperti nomina dan pronomina. Pendapat ini juga didukung oleh Leech (2006: 74-75) dan Van Gelderen (2010: 24). Selain berperilaku seperti nomina dan pronomina, dalam bahasa Inggris numeralia juga berfungsi dan dianggap sebagai subbagian dari determiner. Pendapat ini disampaikan oleh Downing dan Locke (2006: 427-434) dan Van Gelderen (2010: 20). Downing dan Locke (2006: 427-434) memperjelas status numeralia sebagai determiner yang sifatnya membilang dan mengurutkan. Quirk dkk. menyatakan
23
bahwa numeralia kardinal dan ordinal termasuk dalam kelompok post-determiner (Quirk dkk., 1985: 261-262). 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian Penelitian ini merupakan sebuah studi pustaka (library research). Data yang penulis kumpulkan adalah penggunaan numeralia yang termuat dalam frase, klausa dan kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Data tersebut penulis kumpulkan dari beragam pustaka, pustaka laman, dan korpus. Sebagai sumber data mengenai pengelompokan, kaidah pembentukan dan penggunaan numeralia, penulis menggunakan buku-buku dan jurnal yang membahas tata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 1.8.2 Pendekatan dan Metode Penelitian Penulis memilih satuan linguistik numeralia (numeral) untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis kontrastif. Dalam penelitian ini, penulis mengikuti prosedur analisis kontrastif yang diusulkan oleh Lado (1974: 2-4) dan Van Els dkk. (1984: 38). Prosedur itu mencakup (1) pemerian numeralia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, (2) perbandingan numeralia kedua bahasa, (3) prediksi kesulitan-kesulitan belajar, dan (4) penyusunan materi pembelajaran bahasa Inggris untuk penutur asli bahasa Indonesia. Melalui pembandingan ini, penulis berharap memperoleh deskripsi persamaan dan perbedaan pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan numeralia dan pola urutannya dalam konstruksi sintaksis. Karenanya, hasil dari
24
kajian ini berupa deskripsi informasi, bukan angka-angka. Dengan kata lain, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif. 1.8.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian data. 1.8.3.1 Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data penelitian, penulis menggunakan metode simak dan teknik catat (Kesuma, 2007: 44-48). Penulis menyimak penggunaan numeralia dalam naskah-naskah yang ditulis dalam kedua bahasa. Kemudian, penulis menandai frase-frase dan klausa-klausa yang memuat numeralia. Setelah itu, penulis mencatat data kebahasaan tersebut ke dalam kartu data. 1.8.3.2 Analisis Data Data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan model analisis nama dan proses, analisis unsur bawahan langsung, dan analisis urutan kata untuk mengidentifikasi kaidah morfologis dan pola urutannya dalam konstruksi sintaksis. Menurut model analisis nama dan proses, pembentukan kata melibatkan tiga komponen, yaitu (1) masukan (input) yang berupa bentuk dasar, (2) proses (process) yang berupa jenis-jenis proses morfologis, dan (iii) keluaran atau hasil (output) yang berupa kata jadian (Baryadi, 2010: 34). Sebagai contoh, dalam pembentukan numeralia ordinal kedua, komponen-komponen yang terlibat adalah (1) masukan yang berupa MDNum {dua}, (2) proses yang berupa afiksasi (dengan afiks {ke-}), dan (3) keluaran berupa numeralia ordinal kedua.
25
Teknik analisis unsur bawahan langsung berpandangan bahwa setiap satuan bahasa (yang bukan akar) terdiri atas dua unsur langsung yang membangun satuan bahasa tersebut (Chaer, 2008: 9). Sebagai contoh, kalimat berikut terdiri atas dua klausa yang masing-masing terdiri atas dua unsur frase. (11)
K K1
koordinator
K2
S1
P1
S2
P2
FN
FV
FN
FV
Num
V
Num
V
Esa
hilang
,
dua
terbilang
Model analisis urutan kata digunakan untuk mengidentifikasi pola urutan numeralia dan nomina dalam konstruksi sintaksis kedua bahasa, apakah numeralia mendahului nomina (Num+N) seperti dalam frase tiga anak atau nomina yang mendahului numeralia (N+Num) seperti dalam frase anak ketiga. 1.8.3.3 Penyajian Hasil Analisis Data Analisis data penelitian ini akan menghasilkan sejumlah kaidah morfologis pembentukan dan pola urutan masing-masing kelompok numeralia dalam konstruksi sintaksis. Oleh karena itu, penulis akan menyajikan hasil analisis tersebut dengan metode informal dan formal. Dengan metode informal, penulis merumuskan kaidah dengan kata-kata. Dengan metode formal, penulis merumuskan kaidah-kaidah tersebut dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 145).
26
1.9 Sistematika Penulisan Laporan Untuk memudahkan pemahaman terhadap penelitian, penulis akan menyusun laporan hasil penelitian ini menjadi delapan bagian pokok, yaitu: bagian pertama, pendahuluan yang terdiri dari: (1) latar belakang masalah sebagai pengantar dengan menjelaskan pentingnya penelitian ini dilakukan berangkat dari permasalahan yang diungkap di dalam latar belakang masalah, (2) rumusan masalah dan ruang lingkup penelitian, diangkat dari penjelasan yang terdapat dalam latar belakang, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) kajian pustaka dan landasan teori, (6) metode penelitian, dan (7) sistematika penulisan laporan. Bagian pertama ini menjadi acuan dalam pembahasan bagian-bagian selanjutnya. Bagian kedua memuat deskripsi pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan penggunaan numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Indonesia. Bagian ketiga memuat deskripsi pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan penggunaan numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Inggris. Bagian keempat menguraikan persamaan, perbedaan dan penyebabnya dalam pengelompokan, kaidah morfologis pembentukan, dan pola urutan penggunaan numeralia dalam konstruksi sintaksis bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bagian kelima menjelaskan implikasi persamaan dan perbedaan numeralia bahasa Indonesia dan bahasa Inggris terhadap pembelajaran bahasa Inggris untuk penutur asli bahasa Indonesia. Bagian keenam, penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Laporan hasil penelitian ini juga akan dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.