NO. 1/TH. I/NOVEMBER 2005 - FEBRUARI 2006 NO. 1/TH. I/NOVEMBER 2005 - FEBRUARI 2006
Isi Tajuk Fokus Wawancara Khusus Tabel Regulasi SI Kontributor Kolom Rak Buku Aktivitas
hal.1 hal.1 hal.2 hal.4 hal.5 hal.6 hal.7 hal.8
N AWALA
THE WAHID INSTITUTE
Seeding Plural and Peaceful Islam
FOKUS
PERDA SI: ASPIRASI ATAU KOMODITI? TAJUK
ADA APA DENGAN PERDA SYARIAT ISLAM? Seolah berlomba masuk surga, sejumlah kepala daerah memberlakukan Peraturan Daerah syariat Islam di daerahnya. Ternyata ada banyak kelemahan dalam aturan-aturan yang bertabir syariat itu. Selain kurangya partsipasi masyarakat dan tidak menuruti tata urutan perundangperundangan, Perda tersebut sarat muatan politik. The WAHID Insitute mengakui, nawala edisi ini tak akan terwujud tanpa sumbangan informasi dari lembagalembaga dari 8 daerah di Indonesia yang telah berkomitmen membentuk jejaring pemantau pluralisme (pluralism watch) . Mereka adalah Dikti Muhammadiyah Aceh, Rabithah Thaliban Aceh, Majalah Syir’ah Jakarta, Fahmina Institute Cirebon, Al Masturiyah Sukabumi, Labda Yogyakarta, Lakpesdam NU Jawa Timur, Puspek Averroes Malang, LAPAR Makassar dan LKPMP Makassar. Dalam lembar nawala edisi pertama ini, The Wahid Institute mencoba mengungkap apa yang tersembunyi di balik Perda-perda itu. Selain berguna menjalin komunikasi antar lembag dalam jejaring pluralism watch dan lembaga lain yang seide, rubrik-rubrik dalam edisi pertama ini disuguhkan untuk meningkatkan kapasitas dalam mengadvokasi kasu-kasus di daerah. Ide, saran dan sumbangan tulisan untuk nawala ini kami tunggu. Selamat Berjuang!
Kritik dan Saran: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21-3928233, 3145671|Fax: +62 21-3928250 Email:
[email protected] | www.wahidinstitute.org
BERKERUDUNG
TANPA PAKSAAN dok: Wahid Institute/ Gamal Ferdhi
Syamsurijal Ad’han baru saja melepas lelahnya. Siang itu, Ijal, demikian panggilan akrabnya, baru saja memoderatori forum yang menguras pikiran bertema “Melihat Ulang Formalisasi Agama Lewat Perdaisasi Syariat Islam”. Acara itu digelar oleh Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), di Bulukumba, Rabu (22/2). Organisasi tempat Ijal bergiat itu sengaja menggagas forum tersebut agar perbedaan antara kelompok pro dan konrtra formalisasi agama dapat diselesaikan lewat jalan dialog. Perkiraan LAPAR ternyata meleset. Malam harinya, sekretariat LAPAR di Bulukumba justru disatroni puluhan anggota Pemuda Penegak Syariat Islam. Rombongan ini dipimpin Ketua Komite Penegakan Persiapan Syariat Islam (KPPSI) Bulukumba (Sulawesi Selatan), Zainal Abidin, yang juga menjadi narasumber di forum dialog
P ERDA SYARIAT
pernyataan Marzuki Wahid (narasumber dialog publik, red) yang membahayakan. Dia mengatakan bahwa Al-Quran tidak bisa dijadikan sumber hukum secara langsung. Dari awal Anda punya niat jelek untuk mengutak-atik Perda (syariat Islam, red). Anda perlu tahu, apa yang Anda lakukan lebih berbahaya daripada karikatur nabi,” tegas Zainal. Dia pun mengancam. “Jangan mengutak-atik perda. Kami sudah bersusah payah meloloskannya kemudian Anda mau mengutak-atik. Anda perlu tahu, untuk hal-hal seperti itu kami rela masuk penjara,” ancam Zainal seperti dilaporkan LAPAR Makassar. Seper ti halnya KPPSI di Bulukumba Sulsel, lembaga proformalisasi syariat Islam (SI) partikelir banyak dibentuk di sejumlah daerah, seperti Komite Persiapan Penegakan SI Banten (KPPSIB) di Banten, Front Thariqatul
siang harinya, di samping Marzuki Wahid dari Fahmina Institute Cirebon, KH. Dr. Baharuddin, Rais Syuriah NU Makassar dan perwakilan Pemda Bulukumba. Tanpa mengucap salam, Zainal masuk dan menghampiri Ijal yang sedang duduk di kur si. Sambil mencengkram paha Ijal, Zainal berucap: “Kamu datang ke Bulukumba mau memprovokasi dan mengacaukan masyarakat di sini”. Zainal Abidin tidak sadar kalau aktivis LAPAR itu juga masyarakat Bulukumba. “Demi Allah, tujuan saya baik. Kalau tujuan bapak juga baik, saya kira kita sama-sama punya niat baik,” kata Ijal meredakan emosi pemimpin pengusung formalisasi syariat Islam itu. Zainal tak mau tahu. Intinya, dia tidak terima dengan dialog dan agenda yang diusung LAPAR di Bulukumba. “Banyak pernyataan-
R EDAKTUR A HLI : Y ENNY Z ANNUBA W AHID , A HMAD S UAEDY | S IDANG R EDAKSI : R UMADI , G AMAL F ERDHI , N URUL H UDA MAARIF , S UBHI A ZHARI | R EDAKTUR P ELAKSANA : N URUN N ISA | K ONTRIBUTOR S UBAIR U MAM (MAKASSAR ), M UJTABA H AMDI (J AKARTA ) | D ESAIN: W IDHI C AHYA
1
Jihad (FTJ) di Kebumen, Gerakan Penegak SI (GPSI) di Yogyakarta. Selain itu, empat wilayah Jawa Barat memiliki kecenderungan yang tidak berbeda. Lembaga Pengkajian, Penegakan dan Penerapan SI (LP3SI) dibentuk di Garut, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Islam (LPPI) di Cianjur, Forum Bersama Pemuda Islam (FBPI) di Tasikmalaya, dan Badan Pengkajian dan Pengembangan SI (BPSI) di Sukabumi menjadi acuan pemerintah setempat untuk menggolkan aturan berbalut syariat Islam. Pamekasan tak mau kalah. Di sana Lembaga Pengkajian Penerapan Syari’at Islam (LPPSI) disiapkan untuk memperlancar rencana SI ini. Sejak UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004, banyak daerah seolah tertarik merealisasikan peraturan daerah bernuansa syari’at Islam. Usut punya usut, ternyata ada unsur kepentingan politis pemimpin daerah di balik syariatisasi Perda ini. Pilkada adalah agenda penting yang harus disikapi. Anggota KPPSI akan terlibat langsung. Kita hanya akan memberikan dukungan kepada mereka yang siap menjalankan syariat Islam,’’ ujar Ketua Lajnah Tanfidziyah Komite Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan (Sulsel) Aziz Kahar Mudzakar saat Kongres III Umat Islam yang berlangsung di Bulukumba, 26-28 Maret 2005 lalu. Selain putra pencetus Negara Islam Indonesia (NII) Sulsel Kahar Mudzakar itu, hadir anggota DPR Tamsil Linrung. Bahkan politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menganjurkan agar masyarakat dan calon pemimpin yang berlaga pada Pilkada melakukan teken kontrak. “Ini penting dan akan menjadi pegangan. Nanti bisa ditagih,” katanya. Karena Bupati Bulukumba Patabai Pabokori berhasil menelurkan empat Perda syariat, seperti Perda tentang Kewajiban Baca Tulis al-Quran, Perda tentang Pakaian Muslim, Perda tentang Zakat, Infak, dan Sedekah, serta Perda tentang Larangan Miras, peserta kongres berharap, Patabai yang telah dua periode menjabat Bupati Bulukumba, diminta mencalonkan diri menjadi Gubernur Sulsel (Lihat tabel). Selain kepentingan politik, lahirnya Perda SI juga dilatarbelakangi romantisme masa lalu. Pasca lengsernya Soeharto, sebagian kalangan yang diberangus identitasnya pada zaman Orba berhasrat menemukan kembali otentisitas diri; dari mana ia berasal dan dari siapa ia harus menyambungkan
asal-usul. Garut, sebagai contoh, merasa nyaman menyambungkan masa lalunya dengan cerita romantis ala NII-Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. “Mereka masih mengidolakan Kartosuwiryo sebagai panutan Islam sejati, dibanding tokoh Islam sekarang yang oportunis dan tidak memperjuangkan Islam,” demikian hasil penelitian Forum Pangirutan. Beberapa daerah merasakan, degradasi moral sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Maka dibuat aturan tentang berjilbab di Padang, larangan keluar malam di Tasikmalaya dan qanun khalwat di Aceh. Di Lombok Timur, keluar aturan tentang zakat profesi. Setiap guru dan PNS gajinya dipotong 2,5% sebagai zakat. Ini tak lazim; zakat profesi masih menjadi ikhtilaf para ulama’ tetapi sudah buru-buru disahkan. Dan benar, kebijakan ini memancing konflik di tingkat bawah. Memang, ada dalih lain yang patut disimak. Umat Islam Indonesia selama ini menganut sistem hukum positif yang korup dan sekuler. Sistem hukum ini dipandang sebagai biang carut marutnya Indonesia. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, tidak ada pilihan lain kalau masyarakat Indonesia ingin keluar dari situasi tersebut, kecuali dengan menerapkan syari’at Islam. ekilas terlihat, meningkatnya trend Perda SI berselang tak lama dengan disahkannya UU Otonomi Daerah. Karena lahir di wilayah mayoritas berpenduduk Islam, Perda SI sangat mungkin diklaim sebagai aspirasi masyarakat Muslim. Tetapi benarkah? Ternyata dalam proses pembuatan, Perda SI lahir tanpa komunikasi dengan masyarakat luas. Draft Perda sudah jadi dan tinggal disetujui. Ini terjadi di banyak tempat. Paling banter, pengagas mengundang beberapa personal yang menduduki jabatan struktural ormas keagamaan untuk sekedar diminta kesepakatan. Rupanya, inilah yang diklaim sebagai pelibatan atau representasi masyarakat ketika perda SI akan segera disahkan. Menurut Direktur LBH Jakarta Uli Parulian, pelibatan masyarakat dengan cara tersebut adalah representasi semu. (lihat: Perda SI Cacat Legitimasi Hukum dan Sosial). Representasi penuh, dalam proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan perundang-undangan, seperti dikehendaki oleh Undang-Undang Tata Cara Pembuatan Peraturan, tidak dilaksanakan. “Perda SI sudah tidak legitimate secara sosial,” kata Uli. Dia menjelaskan jika dikaitkan dengan hierarki peraturan perundangundangan, Perda SI sudah menyalahi aturan. Sebagaimana tercantum dalam
S
WAWANCARA KHUSUS
PERDA SI, CACAT LEGITIMASI HUKUM
DAN
SOSIAL
Uli Parulian Sihombing, SH (Direktur LBH Jakarta) Perda Syari’at Islam melanggar substansi hak privat yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, kebebasan sipil, termasuk kebebasan beragama. Demikian pendapat Direktur LBH Jakarta Uli Parulian Sihombing. Berikut pernyataan lengkap kepada Nurun Nisa dari The WAHID Institute. Bagaimana jika dinilai menurut tata urutan perundang-undangan di Indonesia? Perda SI memuat substansi atau isi yang melanggar ketentuan aturan yang lebih tinggi, yakni konstitusi UUD 1945 maupun UU HAM No.39 Tahun 1999. Dalam soal prosedur, pembuatan Perda yang harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya, harus ada partisipasi dari masyarakat. Partisipasinya pun dalam bentuk penuh, tidak partisipasi semu. Partisipasi penuh maksudnya, sejak proses perencanaan Perda, semua unsur masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatannya. Begitu juga dalam proses pelaksanaan dan pengawasan. Nah, dari unsur partisipasinya, saya yakin Perda itu melanggar, karena di dalam UU tentang Tata Cara Pembentukan UU, pembuatan Perda harus ada partisipasi dari masyarakat.
2
Saya yakin kalau ada Perda SI yang melarang perempuan keluar malam, pasti ada keberatan dari masyarakat. Begitu juga sanksi hukum yang sifatnya membalas dendam, bukan untuk mengembalikan ke keadaan semula. Contoh ada Perda mencuri dengan hukuman potong tangan. Inikan sifatnya membalas
dendam, bukan mengembalikan kepada keadaan semula dari si pelanggar itu. Tujuan hukumannya juga tidak akan tercapai. Perda ini dilansir atas nama otonomi daerah, bagaimana pendapat Anda? Kalau untuk agama, otonomi itu termasuk urusan pemerintah pusat, belum diturunkan ke pemerintah daerah. Lagipula, keagamaan ini hak pribadi, hak privat—itu tegas dalam konstitusi. Bahkan kita sudah meratifikasi Konvenan Hak Sipil dan Politik. Di situ ada obligasi, tanggung jawab negatif—dalam arti, pemerintah tidak boleh ikut campur hak-hak privat. Pemenuhan hak privat itu termasuk dalam perundangundangan; tidak boleh ada perundang-undangan yang melarang pemenuhan kebebasan sipil itu. Itu sebenarnya prinsip dasar yang harus dihormati. Kovenan Hak Sipil Politik itu aturan khusus yang setingkat dengan UU. Pasal 18 di Kovenan Hak Sipil Politik menjamin bahwa kebebasan beragama adalah hak sejati individu, bukan negara. Individu mempunyai pengertian manusia, bukan warga negara; terlepas apakah dia legal atau tidak legal—mempunyai kartu penduduk, kartu identitas atau tidak.Tapi yang jelas, dia manusia. Jadi perkembangan peraturan harus disesuaikan dengan penafsiran itu, termasuk juga aturan tentang kebebasan beragama seperti tertuang dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Perda SI di Bulukumba dan juga Aceh ternyata berjalan. Bagaimana legalitasnya? Mandat sosialnya harus dipertanyakan. Sebetulnya penerapan Perda SI di Aceh (sebagai contoh) apa tujuannya? Apakah memang datang betul-betul murni dari masyarakat atau hanya kepentingan politik? Apakah ada unsur yang lain? Itu harus dilihat secara jeli. Kemudian juga, tadi, masalah agama adalah urusan pemerintah pusat menurut undangundang otonomi daerah—bukan urusan pemerintah daerah. Nah, artinya juga legitimasi hukum tidak ada.
NO. 1/TH. I/NOVEMBER 2005 - FEBRUARI 2006 Tap MPR No. III Tahun 2000, Perda adalah aturan terakhir setelah UUD 1945, Ketetapan MPR RI, Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Pemerintah. Perda dengan demikian tidak boleh melangkahi peraturan perundangan di atasnya. Kemudian, menurut Pasal 3 UU No.22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Pasal 10 ayat 3 UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama merupakan wewenang pemerintah pusat. Dalam soal zakat sebagai contoh, Perda SI di beberapa tempat sudah mengambil kewenangan (keagamaan) pusat sekaligus melawan arus peraturan yang lebih tinggi, yaitu UU Zakat. Di dua regulasi inilah, Perda SI membawa cacat bawaan. Kurangnya legitimasi sosial dan menyalahi tata urutan peraturan, seharusnya Perda SI sudah dapat di-judicial review oleh pihak-pihak yang berkeberatan, termasuk korban kebijakan Perda SI. Misalnya, Alifah (nama samaran) yang digelandang Forum Bersama Pemuda Islam (FBPI) Tasikmalaya karena bepergian malam tanpa didampingi mahram. Padahal ia melakukannya karena darurat; ada pemogokan angkot sampai malam sehingga ia tidak kunjung pulang. Forum pendukung SI Tasikmalaya ini tidak (mau) tahu dan kepala Alifah pun digunduli. Idham, mantan aktivis mahasiswa yang juga lulusan IAIN Makassar, pernah mengalami nasib serupa. Dirinya ‘dikerjai’ aparat Kabupaten Bulukumba, Sulsel ketika akan bertemu dengan Bupati. Al-Qur’an harus dibaca terlebih dahulu sebagai tiket masuk dalam protokol birokrasi di daerah itu. Idham pun merasa tersinggung dan memilih tidak menemui bupati. Koordinator Kampanye Islam Transformatif dan Toleran dari LAPAR, Subair Umam memaparkan fakta pasca pemberlakuan kepandaian baca tulis al-Qur’an bagi calon pengantin. “Banyak kasus kawin lari di Bulukumba,” kata Subair. Apa daya, korban-korban tersebut dan masyarakat masih saja bungkam. Analisis sementara, sebagian besar menjadi silent majority, menolak tapi tak berbuat apa pun. Pendapat ini cukup mendekati kebenaran. Kecuali kasus terakhir (baca: perda zakat Lombok Timur) yang berbuah Surat Edaran Mendagri No.840/ 58A/SJ yang meminta para gubernur, bupati, dan walikota tidak mengeluarkan kebijakan pemotongan gaji guru secara sepihak. Memang tak mudah mengadakan perlawanan. Ketika unsur LSM memprakarsai hal itu, justru menuai intimidasi. Seperti disampaikan Sudarto,
Ketua PUSAKA (Pusat Studi Antar Komunitas) di Padang, yang markasnya didatangi 8 orang yang mengatasnamakan FTPS (Forum Tokoh Peduli Syari’ah) Sumatera Barat. PUSAKA dianggap melanggar Fatwa MUI butir ke 6 yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, sekularisme. FTPS bahkan menuntut; Pertama, dalam tempo 3 hari PUSAKA harus bubar; Kedua, jika Sudarto adalah orang Minang maka dibuang sepanjang adat, tapi karena Sudarto orang Jawa dan hanya Sumando maka Sudarto harus diusir dari Kota Padang. Serangkaian data di atas menunjukkan bahwa perlawanan atau kritisisme atas Perda SI bak arus kecil di tengah gelombang besar. Hampir tidak berpengaruh sama sekali. Ini antara lain karena didukung oleh mekanisme pemaksaan model baru. “Pemaksaan pemahaman keagamaan, telah menggeser pemaksaan militer ala Orba,” kata Direktur Eksekutif The Wahid Institute Ahmad Suaedy. Bentuknya terlihat dari kerja sama apik antara pemuka agama dan penguasa. Mereka merasa paling berhak mendefinisikan ‘yang syar’i’, ‘yang benar’, ‘yang melanggar’, ‘yang harus diberi sanksi’. Terlepas dari segala nilai negatif perda SI, memang banyak hasil positif pasca pelaksanaannya. Menurut penelitian LAPAR, Perda Minuman keras (miras) mengurangi tingkat penjualan miras. “Terkecuali untuk komplek pariwisata di Bira (Bulukumba) yang masih tetap dipertahankan atas nama pendapatan daerah,” kata Subair. Keamanan juga semakin baik, tambah Subair, meski tidak dapat dibuktikan sejauh mana andil perda SI terhadap keadaan ini. Menurut penelitian Rahima pada tahun 2003, untuk kasus Gerbang Marhamah Cianjur, ekonomi memang membaik tetapi untuk kalangan tertentu. “Ini hanyalah proyek. Contoh adalah dibuatnya batik Depag, KORPRI dengan memakai batik Marhamah, seragam SD harus Marhamah”, ungkap pengurus Harian LBH Cianjur, Deden Muharram dan Oon Suhendra. Namun rasanya peningkatan ini akan tenggelam, jika disandingkan dengan dugaan korupsi yang melibatkan Bupati pengagas Perda SI. Seperti di Bulukumba, Pamekasan, Sukabumi dan Tasikmalaya. Akhirnya, tidak bisa ditampik, bahwa perda SI lebih memihak kepentingan politisi daerah dan elit lokal ketimbang masyarakat bawah. Kalau sudah begini, masihkah kita berharap? Nurun Nisa, Rumadi, Gamal Ferdhi
Tapi Perda ternyata tetap dilaksanakan?
pengadilan. Jadi, sebenarnya yang berwenang secara hukum adalah hakim.
Berarti cacat hukum, cacat dalam legitimasi. Bahkan juga, saya yakin, (cacat) legitimasi sosial.
Tadi Anda mengatakan bahwa Perda SI cacat hukum. Mengapa masih tetap berjalan?
Apa tindak lanjut yang bisa dilakukan?
Saya yakin ini tekanan politik sebetulnya, tekanan politik untuk menjalankan Perda meski bertentangan dengan konstitusi dan proses pembentukannya tidak partisipatif. Ada semacam tekanan politik terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum di kebijakan itu.
Banyak mekanisme yang bisa ditempuh, baik itu mekanisme legislasi ke DPR dalam bentuk mengamandemenkan atau juga mencabut Perda itu. Bisa juga lewat jalur peradilan. Yang berhak mengajukan adalah korban atau pihak yang merasa keberatan. Ada kaidah lex superiore derogat lex infiriore (peraturan perundanganundangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi). Ada juga kaidah lex specialis derogat lex generalis (peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang umum). Bagaimana kaidah-kaidah ini dihubungkan dengan Perda SI? Betul ada prinsip seperti itu. Khusus untuk lex specialis derogat lex generalis, saya menggarisbawahi bahwa aturannya itu harus satu level. Ini misalkan ada UU KUHP kemudian ada UU tentang Pers. Nah, itu disebut lex specialis derogat lex generalis. Cuma dalam konteks hubungan antara Perda dan UU, itu tidak bisa dikatakan ada prinsip lex specialis derogat lex generalis, karena tidak selevel, yang satu Perda yang satu UU. Kalau ada perdebatan semacam itu, definisi siapa yang bisa dipakai? Kalau ingin legal sebenarnya ikuti keputusan pengadilan. Banyak sekali keputusan pengadilan tentang itu. Contohnya, keputusan MA yang bisa menjelaskan lex specialis derogat lex generalis misalnya tentang gugatan Tommy Winata kepada majalah TEMPO. Nah, di dalam pertimbangan hukumnya, di situ disebutkan bahwa lex specialis derogat lex generalis; artinya UU Pers mengalahkan KUHP. Karena dalam UU Pers disebutkan bahwa untuk menyelesaikan sengketa pers, cukup diselesaikan dengan hak jawab atau penjelasan. Tidak lalu masuk jalur
Untuk menolak Perda itu, saya yakin ada dilema dalam masyarakat. Mungkin terdapat semacam silent majority yang menolak Perda itu, tidak semua menerima. Coba saja ditest case dengan semacam ‘pooling’; apakah setuju atau tidak dengan berlakunya Perda itu. Jangankan di daerah, yang di Aceh saja banyak yang tidak setuju. Kenapa? Karena Perda (SI) datangnya bukan dari bawah tetapi dari atas (pemerintah) pengambil kebijakan. Ini (berarti) legitimasi sosialnya lemah, hanya legitimasi politik. Tapi tidak ada gugatan, perlawanannya pun rendah… Sebenarnya ada mekanisme yang bisa dipakai, misalkan di-judicial review-kan, hak uji materi ke MA. Kemudian ke legislatif. Tadi saya bilang ada silent majority. Jadi silent majority ini yang tidak berbicara tetapi dalam hati kecilnya menolak. Nah, itu yang harus didorong untuk bersikap. Kalau dikatakan Perda SI ini cacat hukum dan melangkahi kewenangan pemerintah pusat, mengapa pemerintah pusat tidak menertibkan? Saya nggak ngerti mengapa dibiarkan. Justru ini mencopoti wewenang pemerintah pusat masalah agama. Lama-lama masalah pertahanan ‘kan? Ini berbahaya itu. Indonesia (bisa) pecah. Harusnya tegas; pemerintah harus melakukan review terhadap aturanaturan yang melampaui wewenang daerah. (NN)
3
Perda N0. 02 Tahun 2003
Perda No.05 Tahun 2003
Perda No.6 Tahun 2005
Perda No.9 Tahun 2009
Perda No.18 Tahun 2001
Surat Edaran Nomor 061/2896/Org
Instruksi Walikota Nomor 451.442/BinsosIII/2005 Surat Edaran Bupati No.451/SE/04/Sos/2001
Qanun No. 13/2003
Qanun No.14/2003
Qanun No.7/2004
Surat Gubernur Riau No 003.1/UM/08.1/2006
2
3
4
5
6
7
8
10
11
12
13
9
Perda No.03 Tahun 2002
Nama Perda / SK
1
No
4
Pembuatan Papan Nama Arab Melayu
Zakat
Khalwat (Mesum)
Larangan Perdedaran Minuman Beralkohol Anjuran Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah) pada Hari-hari Kerja Pewajiban Jilbab dan Busana Islami (bagi Orang Islam) & Anjuran Memakainya (untuk Non-Islam) Anjuran untuk Memakai Pakaian Seragam Sesuai dengan Ketentuan yang Menutup Aurat bagi sisiwi SD, SLTP, SMU/SMK, Lembaga Pendidikan Kursus, dan Perguruan Tinggi yang Beragama Islam Maisir (Perjudian)
Pengelolaan Zakat Profesi
Pandai baca Tulis Al-Qur’an Bagi Siswa dan Calon Pengantin
Pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah Berpakaian muslim dan muslimah
Larangan, pengawasan, penertiban, dan penjualan minuman keras
Isi Perda
Riau
Idem
Idem
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Tasikmalaya (Jawa Barat)
Padang (Sumatera Barat)
Cianjur (Jawa Barat)
Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) Pamekasan (Madura)
Idem
Idem
Idem
Bulukumba (Sulawesi Selatan)
Regio
DI
Gubernur Rusli Zaenal (Golkar)
Idem
Idem
DPRD NAD
Bupati Tatang Farhanul Hakim (PPP) & DPRD (Fraksi PPP dan PKB)
Fauzi Bahar (Golkar)
Bupati Dwiatmo Hadiyanto (?) dan DPRD Madura Bupati Wasidi Swastomo (PKB)
DPRD Lombok Tmur
Idem
Idem
Bupati Patoboi Pabokori (Golkar) dan KPPSI Sulsel (Aziz Kahar Muzakkar) Idem
Problem
Kesalahan pada penulisan ejaan sehingga diperlukan tim khusus menandakan bahwa masyarakat belum siap sekaligus perlu diadakan anggaran khusus untuk itu
Pengertian soal khalwat yang belum padu antara perumus dan pelaksana; kekhawatiran perempuan sebagai korban Jika diterapkan secara terpisah atau tidak diselaraskan dengan ketentuan mengenai perpajakan dapat menimbulkan pajak ganda bagi kaum Muslim sehingga akan ada diskriminasi antara warga Muslim dengan non-Muslim
Sanksi yang diberlakukan belum menyentuh penjudi kelas kakap
Anjuran menjelma menjadi kewajiban yang memaksa
Anjuran jilbab untuk minoritas berubah menjadi sebuah ‘kewajiban yang tak tertulis’
Anjuran pemakaian menjadi sebuah kewajiban yang diikuti sanksi
Diskriminasi pelayanan publik; pemotongan gaji guru secara sepihak untuk pembangunan masjid Pemaksaan terhadap minoritas (non Islam); tidak adanya layanan publik bagi yang tak berjilbab Kawin lari semakin meningkat; konflik keluarga karena pembatalan pernikahan bagi yang tidak bisa mengaji; diskriminasi perlakuan antara pejabat dan masyarakat biasa dalam pernikahan; mematikan pengajianpengajian (surau) kampung; komersialisasi ‘ngaji’; menguntungkan BKPRMI (Badan Koordinasi Persatuan Remaja Masjid Indonesia) / pihak yang berwenang mengeluarkan sertifikat kepandaian mengaji Pemotongan sepihak gaji guru yang minim; tidak adanya transparansi dari pemda Definisi miras terlalu umum sehingga dapat dimanfaatkan oknum tertentu
Penertiban miras setengah hati; di komplek pariwisata miras tidak dilarang atas nama pendapatan daerah
BERBAGAI PROPINSI
Penggagas / Penggerak
TABEL REGULASI SYARIAT ISLAM
NO. 1/TH. I/NOVEMBER 2005 - FEBRUARI 2006
KONTRIBUTOR Subair Umam, Koordinator Kampanye Islam Transformatif dan Toleran LAPAR Makassar
FORMALISASI SYARIAT ISLAM PERJUANGAN AHISTORIS BELAJAR
S
DARI
B ULUKUMBA
DAN
LUWU
ejarah Islam di Sulsel senantiasa dilekatkan pada sejarah kerajaan Luwu dan Tiro di Bulukumba. Kedua daerah ini merupakan tempat penyebaran Islam paling awal oleh dua dari tiga muballigh yang dikenal dengan istilah tiga Dato yang berasal dari Minangkabau, yaitu Abdul Makmur khatib tunggal yang digelari Dato Ribandang, Sulaiman khatib sulung yang dikenal dengan Dato Patimang dan Abdul Jawab khatib bungsu, yang dikenal dengan Dato ri Tiro. Ketiga Dato inilah disebut—sebut punya peran penting terhadap proses masuknya Islam di Sulsel. Islamisasi di Luwu dan Bulukumba sedikit berbeda. Dato Patimang dalam proses Islamisasi Luwu lebih mengedepankan ajaran tauhid, semantara Dato ri Tiro dalam proses penyebaran Islam di Bulukumba lebih menekankan aspek tasawuf. Hal ini dilakukannya lebih karena tasawuf lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat yang sudah lama tumbuh dengan kepercayaan lokal, patuntung. Ada kisah menarik dalam dialog antara Dato ri Tiro dengan pemimpin adat Kajang yang dikenal dengan sebutan Amma Toa. Dalam dialognya, Dato ri Tiro diperbolehkan menyebarkan Islam di daerah tersebut setelah terlebih dahulu melakukan adu kesaktian dengan Amma Toa dengan ketentuan bahwa, pihak yang kalah harus mengikuti agama pemenang. Jika Amma Toa kalah, maka dia harus memeluk Islam beserta pengikutnya, begitupun sebaliknya. Hingga akhirnya, dalam adu kesaktian tersebut ternyata hasilnya imbang, tanpa pemenang. Dengan demikian, tidak ada yang wajib ikut atau tunduk terhadap yang lainnya, baik Amma Toa ataupun Dato ri Tiro sama-sama harus saling menghargai keyakinan. Cerita lain yang juga menarik adalah, proses awal penerimaan masyarakat Tiro terhadap Islam. Daerah Tiro merupakan daerah kering, air sangat susah ditemukan. Menurut cerita masyarakat setempat, ketika pertama kali Dato ri Tiro datang menyebarkan Islam di daerah ini, satu-satunya syarat yang diminta penduduk supaya Dato ri Tiro menunjukkan kesaktiannya dengan memunculkan sumber mata air. Akhirnya, Dato ri Tiro menyetujui syarat itu, dan mulailah dia menunjukkan kesaktiannya dengan menancapkan tongkatnya ke tanah dan dari situlah air keluar yang hingga sekarang tetap menjadi sumber mata air bagi masyarakat Tiro. Dengan cara inilah Dato ri Tiro berhasil mengislamkan kerajaan Tiro. Kedua cerita di atas sekalipun sangat jarang diketengahkan sebagai bagian dari sejarah Islam di Bulukumba, namun tentu hal ini menjadi penting diapresiasi. Cerita di atas menunjukkan bagaimana Islam ditampilkan sangat dialogis dengan masyarakat setempat. Islam tidak ditampilkan dalam wajah kekerasan, tetapi justru sangat menghargai pluralitas keyakinan. Selain itu, Islam sangat responsif terhadap problem sosial-ekonomi masyarakat dengan memberi perhatian penuh terhadap kesejahteraan masyarakat. Jadi, akar historis Islamisasi di Bulukumba sarat dengan nilai-nilai dialogis, anti kekerasan, dan peka terhadap problem
sosial-ekonomi masyarakat. Hal-hal inilah yang sama sekali hilang dan tidak mampu mewarnai semangat Bulukumba dalam menegakkan syariat Islam saat ini. Lahirnya empat perda syariat Islam di Bulukumba kelihatan sangat paradoksal dengan sejarah awal Islam yang berciri dialogis, anti kekerasan, responsif terhadap problem sosialekonomi. Justru dengan perda yang kental adalah unsur pemaksaan dalam penerapan syariat Islam. Bagaimana perempuan dipaksa memakai jilbab— bahkan ada dua kasus perempuan non Muslim juga diharuskan memakai jilbab ketika memasuki desa Muslim yang telah dibentuk bupati, gaji guru dipotong atas nama zakat profesi, biaya belajar mengaji semakin tinggi dengan adanya aturan sertifikasi, iuran bulanan dan pembayaran uang wisuda yang kesemuanya diatur dalam perda syariat Islam. Formalisasi agama melalui empat perda syariat Islam, terbentuknya desadesa Muslim dan menguatnya simbolisasi atau arabisasi nama-nama jalan dan penulisan ayat-ayat di beberapa sudut kota telah menjadi ruang subur bagi menguatnya kembali kelompok ekstrim. Misalnya, kelompok Jundullah dengan nama baru Pemuda Penegak Syariat Islam yang memakai kekerasan dalam berdakwah. Penyerangan kelompok Ahmadiyah di Bulukumba adalah salah satu buktinya. Kelompok ini secara tegas akan melakukan apa saja— perbaikan aqidah—demi membela nama Bulukumba sebagai daerah percontohan syariat Islam. Selain itu, formalisasi agama di Bulukumba sama sekali tidak menyelesaikan problem riil masyarakat. Misalnya, kasus korupsi tidak berkurang, banyaknya kasus gizi buruk bahkan telah terjadi dua kasus meninggalnya anak-anak akibat gizi buruk. Ironisnya, salah satunya terjadi di kelurahan Muslim. Problem lainnya adalah terancamnya posisi kelompok kepercayaan lokal, seperti masyarakat adat yang secara ritual keagamanaan sangat berbeda dengan mayoritas masyarakat. Berbeda dengan Bulukumba, Kabupaten Luwu justru sangat lain dalam menyikapi fenomena formalisasi agama dan maraknya beberapa kabupaten di Sulsel melakukan legislasi syariat Islam. Luwu melalui bupati yang baru terpilih pada pilkada lalu secara tegas menolak Ranperda syariat Islam yang telah dirumuskan bupati sebelumnya. Meskipun alasan penolakan tidak diungkap secara gamblang, namun salah salah satu alasan penolakannya bahwa Luwu merupakan salah satu daerah yang sangat plural dari segi agama, sehingga sangat dikhawatirkan adanya ekses negatif jika dilahirkan perda keagamaan. “Ini bisa menyulut konflik, jika satu ajaran atau syariat diperdakan,” kata Bupati Luwu, Basmin Mattayang. Penolakan tersebut penting menjadi basis pelajaran bagi bupati lainnya untuk tidak simpilsitis memaknai syariat Islam dan dengan gampang melakukan legislasi syaria’at Islam. Kasus Luwu menjadi menarik dikaji lebih mendalam apalagi daerah Luwu marupakan daerah yang punya relasi kuat terhadap akar historis DI/TII di Sulsel, tapi justru tidak serta merta menerima isu formalisasi agama. Luwu bisa belajar dari sejarah DI/TII yang sama sekali gagal mensejahterakan rakyat. []
5
KOLOM
PERDA
K
6
YANG
MENYESAKKAN DADA
etika saya masih siswa SLTP, ayah saya sempat nggerundel dengan kebijakan sekolah tempat saya belajar. Bukan soal apa-apa, sekolah mengharuskan walimurid membayarkan zakatnya ke sana, zakat maal maupun zakat fitrah. Bapak rupanya kurang legawa mendengar kebijakan semacam itu. Bapak merasa ada penerima zakat lain alias mustahik lain yang lebih berhak menerima. Di mata Bapak, madrasah diniyah sore, tempat saya mempelajari kitab kuning di luar sekolah formal, dirasa lebih berhak. Madrasah ini, nun di sebuah kampung di Jawa Timur, nyaris tidak membebankan uang SPP ke murid-muridnya. Guru-gurunya juga hanya mendapatkan uang saku ala kadarnya. Bapak merasa lebih pas kalau membayarkan zakat ke madrasah ini, seperti yang biasa dia lakukan tiap panen tiba. Begitu pula, tetangga-tetangga sebelah yang lebih tidak mampu dari kami juga dirasa lebih berhak menerima zakat ketimbang sekolah SLTP yang sudah menarik iuran SPP, uang bangunan, plus biaya ini-itu yang kerap bikin pusing walimurid. Toh, Bapak akhirnya menyerah juga ketika dinyatakan dalam kebijakan sekolah itu bahwa jika zakat belum diserahkan, rapor pun tidak bisa diambil, atau kadang tidak bisa ikut ujian semester. Nah, anehnya kejadian yang berlangsung lebih sepuluh tahun lalu, dan bikin mangkel hati itu, kini sedang gencar-gencarnya dipraktikkan kembali. Aktornya bukan lagi sekolah, tapi lebih besar dari itu: Negara. Sejumlah daerah telah menerbitkan aturan-aturan resmi, terutama dalam bentuk peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan warga menyetor zakatnya ke lembaga-lembaga yang telah ditunjuk. Sebutlah Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dalam Perda no. 9 tahun 2002, ditetapkan bahwa zakat warga harus diserahkan kepada Bazda, Badan Amil Zakat Daerah. Bupati pun langsung mengeluarkan Surat Keputusan tentang penjelasan pelaksanaan Perda. Awal 2003, mulailah beleid ini berjalan. Bupati mengeluarkan surat edaran agar zakat dari seluruh elemen masyarakat dikumpulkan dan diserahkan ke Bazda. Bagi yang tergolong pegawai negeri sipil alias PNS, zakat dikumpulkan ke bendahara instansi masing-masing. Lebih celaka lagi, zakat profesi sebesar 2,5 persen dari gaji langsung dipotong dari upah bulanan itu. Tanpa kompromi. Mereka yang PNS, apalagi para guru, tentu saja tidak legawa, tapi tetap saja Negara dengan cakar-cakar wewenangnya mencabuti jatah 2,5 persen itu (seperti sekolah SLTP saya dulu: meski para walimurid nggerundel, kebijakan tetap diterapkan). Ketidaklegawaan para guru itu mencerminkan sebuah kenyataan yang jelas: kebebasan individu untuk menjalankan agamanya, termasuk untuk memilih cara-cara mempraktikkan ibadahnya, telah diinjak-injak oleh Negara—sebuah kebebasan yang secara terang-terangan sebenarnya dilindungi konstitusi. Jika Bapak saya dulu hanya bisa ngedumel ketika otonominya untuk membayarkan zakat ke pihak yang dia suka diinjak oleh institusi berupa sekolah, maka para guru di Lombok Timur itu tidak tinggal diam. Para guru awalnya cuma bisik-bisik sesama rekan, tapi kemudian percaya diri untuk membuat tindakan lebih kongkrit: protes besar-besaran. Mereka mogok, tidak mau mengajar. Di Bulukumba, Sulawesi Selatan, semangat membara Negara untuk memungut zakat warga juga mewujud dalam Perda. Melalui Perda no. 2 tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Bulukumba pun menyunat gaji para guru sebesar 2,5 persen. Alasannya apalagi kalau bukan ‘zakat profesi’, sebagai wujud ‘penerapan syariat Islam’. Apakah para guru rela? Tentu saja nggerendeng. Mereka pun bikin protes, dengan membuat penolakan dengan mengumpulkan banyak tanda tangan, juga dengan cara-cara lain. Bagaimana tidak, mereka bukan hanya tak mau Negara menginjak-injak kebebasan mereka kasih zakat ke pihak yang mereka kehendaki sendiri, lebih dari itu sebagian mereka justru termasuk kategori mustahik, yang berhak menerima zakat, bukan muzakki, yang wajib membayar zakat—apalagi zakat profesi yang enggak jelas definisinya itu. Sejumlah besar dari para guru itu termasuk gharim, orang yang dilanda banyak utang. Dijelaskan dalam al-Quran, persisnya Surat at-Taubah ayat 60, bahwa selain untuk kaum fakir miskin, amil zakat, kaum muallaf, dan seterusnya, zakat juga untuk gharimin, orang-orang yang berutang. Tentu saja ini tak termasuk mereka yang berutang dari dana BLBI itu, tapi ini jelas mereka yang berutang atas kemendesakan kebutuhan hidup.
Coba lihat para guru di Bulukumba itu (ah, juga guru-guru di daerah lain bukan?), berapa banyak mereka harus berutang untuk kebutuhan tiap bulan. Rumah, mereka kredit. Kendaraan untuk pergi pulang mengajar, juga leasing. Peralatan dapur, mereka buat cicilan. Bahkan, untuk bumbu dapur seharihari bisa jadi mereka juga berutang ke pasar sebelah. Dengan kondisi macam itu, tentu menjadi sangat tak masuk akal jika mereka malah disuruh bayar ‘zakat profesi’—atas dalih ‘penerapan syariat Islam’ sekalipun. Tapi, entah mungkin sedang ngetren atau entah karena apa, model penarikan ‘upeti’ atas nama ‘zakat’ demi ‘penerapan syariat’ Islam macam itu tetap saja diusung di sejumlah daerah lain. Yang paling mutakhir adalah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Di sini, ancangancang untuk membikin beleid ‘penarikan upeti’ itu sudah mulai dilancarkan. Kelak, jika aturan yang dinamai Perda tentang Pengelolaan Zakat itu sukses disahkan, wong Kebumen harus menyerahkan semua zakatnya kepada Negara. Bentuk zakat apa saja? Tak tanggung-tanggung, semua. Mulai dari zakat fitrah; zakat emas, perak, dan uang; zakat perdagangan dan perusahaan; zakat hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan; zakat hasil pertambangan; zakat hasil peternakan; zakat hasil pendapatan dan jasa; dan zakat rikaz. Masih belum cukup, Negara juga akan mengatur infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat. Akan ada petugas yang mengambil zakat dari muzakki. Petugas ini akan mencatat dengan detil jumlah zakat yang harus dibayarkan warga, dan akan sedemikian rupa mengupayakan agar warga memberikan ‘upetinya’. Sebab, jika petugas ini tak melakukan hal demikian, ia yang akan terkena pidana. Ia akan dikenai sanksi tiga bulan kurungan atau denda sebesar 30 juta. Bisa dibayangkan, para petani nanti tidak lagi memberikan zakatnya ke tetangga sebelah. Para nelayan juga tetap akan dimintai zakat, meski dia sudah membayarkan kepada saudaranya yang lebih membutuhkan. Lagi-lagi, para guru nanti juga akan menerima satu lagi daftar potongan gaji (entah, sudah berapa banyak potongan gaji yang sudah diberlakukan). Inikah yang disebut ‘penerapan syariat Islam’? Yang disebut sebagai ‘penerapan syariat Islam’ itu, saya kuatir, justru sangat melecehkan arti ibadah dalam Islam. Kita tahu, ibadah, mahdhah maupun ghairu mahdhah, adalah praktik-praktik tertentu yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah (ma yutaqarrabu bihi ilallah). Lha, kalau ibadah itu diperintahkan oleh Perda, lalu ibadah menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada siapa? Lebih repot lagi jika bicara soal pahala. Pahala didapat jika seorang muslim melaksanakan ibadahnya secara ikhlas, independen, tidak dalam keadaan terpaksa. Nah, jika semua ibadah dipaksakan oleh Negara, bukankah Negara telah melanggar kebebasan warga untuk mendapatkan pahala? Belum lagi kalau ada yang menuntut: maukah Negara bertanggung jawab atas hilangnya pahala-pahala yang semestinya diperolah kaum muslim? Ini sungguh-sungguh. Bukan sekadar pertanyaan skeptis, atau guyonan semata. Di Bulukumba, selain Perda soal zakat di atas, ada Perda yang mengatur kewajiban jilbab, baca al-Quran bagi calon pengantin, dan seterusnya. Juga di sejumlah daerah lain, seperti Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Bukan tak mungkin nanti ada juga Perda yang mengatur shalat Jumat atau pun shalat berjamaah. Bisa-bisa, nanti ada Perda yang mengatur setiap PNS harus shalat berjamaah atau shalat Jumat di masjid Anu. Jika tidak, dia akan dikenai ‘sanksi administratif’. Masjid-masjidnya akan ditentukan. Khatib dan imamnya mendapat sertifikat Negara. Ada petugas pencatat yang akan mengawasi apakah si A absen atau tidak. Nah, kalau sudah begini, di mana lagi kebebasan warga untuk menjalankan ibadah, di mana lagi kebebasan seorang muslim untuk memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah? * Mujtaba Hamdi, Wartawan, bekerja di majalah Syir’ah Jakarta
RAK BUKU
SYARIATISASI MERANGKAK
NO. 1/TH. I/NOVEMBER 2005 - FEBRUARI 2006
A LA INDONESIA
K
otak pandora pertentangan antara penerapan Syari’ah Islam dan Pancasila, terkuak begitu Soeharto meresmikan berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang dipimpin oleh B.J. Habibie.
Ketika itulah strategi syariatisasi dalam politik Indonesia berubah dari tuntutan dasar Negara (kulliyah) ke artifisial (furuiyyah). Berbagai RUU dan aturan lainnya yang berbau penerapan Syari’ah bermunculan mulai dari RUU Perbankan yang ditetapkan 1998 yang rintisan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) sejak 1990 oleh Soeharto dan dilanjutkan dengan pembukaan gerai Syari’ah di bank-bank umum milik pemerintah (hlm.154-158), yaitu UU No. 10/1998; UU Zakat No. 38/1999; UU Haji No. 17/1999. Bukan hanya mereka yang memang berangkat dari idealisme, melainkan mulai dari para pengikut setia Soeharto, para petualang politik, hingga pelaku rente, kapitalis dan banker pun berlomba. Dengan klaim-klaim moralnya, syari’ah dengan segala unsur-unsur artifisialnya tiba-tiba menjadi komoditi politik yang laris manis, dan menguasai wacana politik Indonesia. Komodifikasi politik legislasi Syari’ah artifisial itu berlanjut hingga kini, terutama di daerah-daerah seiring dengan penerapan UU Otonomi Daerah No. 22/1999 dan No. 25/1999 tentang perimbangan keunagan pusat - daerah, serta UU Otonomi Khusus Aceh No. 44/1999. Muncul misalnya berbagai jenis peraturan daerah dan SK Bupati semisal Jum’at Khusu’, Ramadhan Khusu’, Keharusan Pandai Baca Qur’an, dan Zakat. Makin nyaringnya suara dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bukan hanya di
pusat tapi juga di daerah, tentang syariatisasi ini diiringi tersebarnya para petualang politik dan pemilik modal yang sedang mengais celah untuk menancapkan pijakan kekuasaan di daerah. Fenomena ini tampaknya tak terlalu salah disebut syari’atisasi merangkak (creeping syariatization) a la Indonesia. Tetapi buku ini memang tidak berpretensi untuk melihat kelompok mana dan siapa serta dengan kepentingan apa muncul berbagai legislasi syari’ah itu, melainkan lebih fokus pada narasi kronologis dan tematis dengan relatif lengkap proses syariatisasi di Indonesia mulai dari perdebatan “tujuh kata” dalam “Djakarta Charter” hingga pergulatan era otonomi daerah sekarang. Selain Azyumardi Azra dan Arsekal Salim, ikut menyumbangkan tulisan dalam buku ini antara lain Ratno Lukito membahas pergulatan hukum paska kemerdekaan; M.B. Hooker tentang pergulatan Negara dan penerapan Syari’ah di Indonesia; Nur Ahmad Fadhil Lubis tentang kebijakan Negara tentang hukum dan perkembangan hukum Islam; R.W. Hefner tentang Isalmisasi kapitalisme di Indonesia; Howard Federspiel tentang Nilai-nilai Islam, Hukum dan Harapannya di Indonesia. (Ahmad Suaedy)
Judul Editor Penerbit Halaman
Shari’a and Politics in Modern Indonesia Dr. Arsekal Salim dan Prof. Dr. Azyumardi Azra Institute of South East Asia, Singapore 2003 362 halaman
POLITIK SYARI’AT ISLAM DI TENGAH PERCATURAN POLITIK GLOBAL Husnul Atiyah, Aktif di Kultura Society Jakarta.
T
aufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam buku yang bertajuk “Politik Syariat Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria”, mengawali pembahasannya dengan membandingkan penerapan syariat Islam di berbagai negara dari Asia sampai Afrika. Tak terkecuali di Indonesia dengan mengambil contoh wilayah Nangroe Aceh Darussalam. Aceh NAD diberi perhatian khusus seiring dengan pemberian otonomi khusus kepada Aceh NAD dan munculnya produk legislatif lokal tentang syariat Islam yang begitu massif. Menurut mereka implementasi syari’at Islam di berbagai negara tidaklah sama. Hal ini terkait dengan latar ekonomi-sosial-politik yang berbeda-beda. Namun, semuanya menunjukkan bahwa syariat yang diberlakukan mencakup ruang privat dan publik. Ia memiliki aturan tentang kebersihan pribadi, perilaku seksual, dan membesarkan anak. Ia juga memuat aturan-aturan spesifik tentang shalat, puasa, sedekah dan berbagai masalah religius lainnya. Ketentuan masalah keperdataan dan kepidanaan juga tercakup. SI bahkan mengatur bagaimana individu berperilaku di dalam masyarakat, bagaimana suatu kelompok berinteraksi dengan kelompok lain, bagaimana mengatasi masalah perbatasan, perselisihan, konflik, dan peperangan antar negara, serta kelompok minoritas di dalam negara. Atas formalisasi syariat yang begitu marak diberlakukan di bebagai negara, penulis buku ini, menyuguhkan dua alasan penting di luar justifikasi agama dan nafsu politik sebagaimana selama ini didengungkan. Lebih dari itu, alasan tersebut berkutat pada soal yang berbau p(asca)oskolonialistik sebagai arus balik kolonialisme yang melanda di berbagai negara dan alasan yang bernuansa patriotik sebagai respons dan perlawanan atas serangkaian produk rezim kolonialis. Alasan pertama bisa dilacak dengan menganalisis momen kali pertama kaum kolonialis menancapkan kukunya di sebuah wilayah. Lantas, sebagaimana mindset yang ada, merekapun menghegemoni kehidupan tanah jajahannya. Termasuk aspek hukum. Khusus di negara Muslim, mereka membatasi praktek penerapan syariat. Beberapa kasus yang terjadi Indonesia, Malaysia dan Nigeria merupakan ilustrasi yang bagus untuk hal ini. Berbarengan dengan itu, sistem-sistem hukum non-syariat secara gradual diundangkan. SI digantikan dengan kodeks-kodeks hukum versi Barat. Dan, ketika penjajahan berakhir, supremasi hukum mereka ternyata tidak bisa ter[di]akhiri. Tetap saja, hukum produk kolonialis tersebut menjadi rujukan masyarakat. Hal ini membuat resah segenap elemen pro SI yang melihat produk hukum tersebut tak lebih sebagai sebuah benalu yang mengganggu. Lalu, kanonisasi hukum Islam pun dilakukan untuk memberikan dan menjamin kepastian hukum. Pertama kalinya adalah kanonisasi yang dilakukan di Turki pada penghujung abad ke 19—yakni lewat macelle (majallah) dan dikompilasi pada 1869-1876.
Judul
Politik Syariat Islam Dari Indonesia Hingga Nigeria Penulis Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean Penerbit Pustaka Alvabet,Tahun 2004 Tebal 272 halaman Alasan kedua dilatari oleh peristiwa heroik: perang Arab [Islam]-Israel. Perang ini dianggap luar biasa yang mampu menyedot animo masyarakat, khususnya umat Islam. Dalam perang ini, banyak darah ditumpahkan. Namun malang, semua itu tak cukup membendung kebrutalan pasukan Israel yang terlalu bernafsu meluluhlantakkan bumi Palestina. Israel dengan angkuh tetap memperdengarkan gertakan taringnya hingga kini. Ditelisik—dengan memakai optik normatif tentunya—kekalahan umat Islam [Arab] atas Israel disebabkan oleh polah tingkah umat yang melanggar “rambu-rambu” Tuhan. Kembali ke “jalan yang benar” adalah satu-satunya pilihan. “Jalan yang benar” dipertegas sebagai SI yang diberlakukan dalam segala lingkup kehidupan utamanya kenegaraan. Gagasan yang genial dan cerdas sebenarnya. Tapi sayang, yang disodorkan tidak lain merupakan gagasan-gagasan Syariat Islam versi Hasan al Bana dan Abul A’la al Maududi yang cukup paradigmatik dan ideologis— bukan konsep Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang kental dengan nuansa rasional dan modernis. Jadilah SI menuju ranah kejumudan, bukan kemajuan seperti diinginkan untuk menggelorakan api perlawanan terhadap Israel [yang kemudian diidentikkan dengan semangat liberal Barat]. Akibatnya, pada tataran praktis, penerapan syariat Islam seringkali ‘gagal’ dalam mengemban misi kemanusian yang jelas termaktub dalam syariat. Syariat yang diberlakukan kemudian hanya berfungsi memberi ketakutan dari pada kedamaian, menegaskan pengekangan daripada menjamin kebebasan, anti kemajuan daripada mendorong kemajuan. Situasi yang muncul, pada giliran berikutnya, adalah kecenderungan defensif dan sikap frontal yang berlebihan atas apa-apa yang dianggap berbau barat dan bukan dari Islam. Di tengah percaturan politik global, politik syariat Islam tak ubahnya sebuah fasisme kultural. Secara spesifik, buku ini memang menyajikan lanskap perpolitikan SI dengan begitu komprehensif. Di dalamnya akan didapatkan deskripsi lengkap perihal persinggungan negara dengan ideologi [agama]. Meski demikian, buku ini bukan tanpa cela. Tidak adanya fokus bahasan untuk Arab Saudi dan Iran menjadikan buku ini terasa garing. Seperti diklaim sebagian kalangan, dua negara ini (dianggap) terbilang cukup “sukses” memformulasi SI ke taraf negara. Ini juga menyebabkan buku politik ini kurang unik. Artinya, ia tidak berbeda jauh dengan karangan penulis lain yang memamerkan kegagalan negara-negara berlatar belakang pro SI. Kedua penulis masih belum mampu menghembuskan aroma netralitas dengan tidak memihak kubu apapun di tengah pertarungan berbagai ideologi. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
7
AKTIVITAS Dua peneliti Hudson Institute, lembaga think tank di Washington DC, AS Dr. Eric B. Brown dan Dr. S. Enders Wimbush berdiskusi di Kantor The Wahid Institute, Selasa 7 Maret 2006 soal dinamika Islam di Indonesia: Radikal dan Moderat. Hadir dalam diskusi itu Direktur Perguruan Tingi Depag Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, Dosen UIN Jakarta Badrussoleh MA, Dosen Senior UIN Jakarta Dr. Sri Mulyati, Kadidat Doktor ISIM Belanda Yuniati Chuzaifah MA, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Abdul Mukti MA, Koordinator Religious Reform Dr. Lutfi Assyaukanie dan Direktur Eksekutif The Wahid Institute Artis Olga Lydia dan Sastrawan Ayu Utami mengadukan soal RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi kepada Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid di Jakarta, Rabu 15 Maret 2006. Staf Khusus Presiden itu berjanji akan meneruskan pengaduan itu kepada Presiden. Strategic Planing The WAHID Institute unutk program 3 tahun ke depan di Cibogo, Bogor 17-19 Februari 2006.
Tiga belas perwakilan lembaga swadaya masyarakat dari delapan daerah di Indonesia mengikuti pelatihan advokasi paralegal dari 24-27 Februari 2006. Mereka adalah Dikti Muhammadiyah Aceh, Rabithah Taliban Aceh, Fahmina Institute Cirebon, al-Masturiyah Sukabumi, Majalah Syir’ah Jakarta, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Jakarta, PP Fatayat NU, Jakarta, Labda Yogyakarta, LkiS Yogyakarta, Puspek Averroes Malang, Lakpesdam NU Jawa Timur, Lapar Makassar dan LKPMP Makassar. Narasumber forum yaitu Marzuki Wahid Fahmina Institute, Rival Ghulam Ahmad dari PSHK, Direktur LBH Jakarta Uli Parulian Sihombing dan Anas Saidi Peneliti Senior LIPI Jakarta. Sebelumnya pada 24-27 Januari 2006 di Cipayung Bogor, mereka mengikuti Pelatihan Metodologi Survei dan Riset. Dengan narasumber Peneliti Senior LIPI Anas Saidi dan Direktur Interseksi Hikmat Budiman. Dua pelatihan itu merupakan rangkaian Program Pemantauan Pluralisme dan Legislasi The Wahid Institute bekerjasama dengan The Asia Foundation.
Forum dengan tema Membincang Kembali Missi Agama-Agama diselenggarakan The Wahid Institute bersama Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) dan Crisis Centre Gereja Kristen Indonesia (CC-GKI) Jumat 27 Januari 2006. Pembicara forum adalah Pengajar Sekolah Tinggi Theologia Jakarta Dr. Ioanes Rahmat dan Direktur Religious Reform Dr. Lutfi Assyaukanie.
8
Jl. Taman Amir Hamzah No 8, Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21-3928233, 3145671|Fax: +62 21-3928250 Web Site: www.wahidinstitute.org | Email:
[email protected]
The Wahid Institute bersama MADIA dan CC-GKI, menggelar Halaqah Pluralisme di Kantor The Wahid Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakpus, Selasa 6 Desember 2005. Abdurrahman Wahid didapuk menjadi pembicara utama forum ini.