47Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat Islam Muhammad
47
KEPEMILIKAN DALAM SYARIAT ISLAM Muhammad Tahmid Nur1
Abstrak: Harta merupakan salah satu kebutuhan paling mendasar bagi manusia, sehingga Allah mensyariatkan agar manusia memilikinya dalam koridor halal. Harta menjadi fasilitas titipan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah yang bertugas untuk memakmurkan alam, serta menjadikan harta miliknya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kata Kunci: al-milk, Syariat Islam. PENDAHULUAN Permasalahan muamalah muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan hidup manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain di sekitarnya, kemudian terbentuk suatu interaksi yang melahirkan berbagai hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Permasalahan muamalah tidak terlepas dari pembahasan syari‟at, karena permasalahan muamalah sangat rawan memberi dampak negatif pada tatanan kehidupan masyarakat apabila tidak ditertibkan. Karena tanpa suatu aturan yang menertibkan, maka kekacauan akan muncul. Dapat dibayangkan betapa kacaunya apabila ada beberapa orang mengklaim satu benda yang sama sebagai pemilik yang paling berhak atasnya, dan masing-masing pihak berupaya mempertahankannya dengan segala macam cara yang mereka dapat lakukan. Paradigma tersebut melahirkan logika hukum, bahwa meskipun permasalahan muamalah pada umumnya bersifat ta‟aqquli (ma‟qulah al-ma‟na) sebab merupakan permasalahan yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan pola pikir manusia dalam mengatur hidupnya, tetapi ada juga beberapa hal pokok di dalamnya yang mesti tetap diatur oleh syariat untuk menjadi “rambu-rambu” yang harus tetap dipatuhi oleh manusia (ta‟abbudi) agar kehidupan muamalah manusia tetap terjaga dan teratur. Dalam Masalah jual beli misalnya, al-Qur‟an kurang lebih hanya menyebutkan empat ketentuan utamanya, yaitu; tentang bolehnya jual beli (QS. al-Baqarah (2): 275, persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli (QS. al-Nisa (4): 29, larangan riba, serta larangan berjual beli pada hari Jum‟at (QS. al-Jumu‟ah (62): 9), dan beberapa penjelasan dari Nabi Saw tentang ayat-ayat tersebut.2 Selain ketentuan tersebut, manusia diberi kebebasan mengembangkan cara bertransaksi sesuai tuntutan zamannya. Di antara permasalahan dalam bidang muamalah yang juga memerlukan legalitas syariah adalah masalah milik atau kepemilikan yang berhubungan erat dengan harta benda manusia. Yang mana dalam kehidupannya, seseorang berhak mengklaim suatu benda sebagai haknya dan mengadakan “ikatan” (perjanjian) dengan orang lain agar orang lain tidak melanggar hak-haknya. Hal ini sesuai naluri manusia yang suka mengumpulkan harta benda sebagai barang berharga dan mempertahankannya. 3 Adanya pengklaiman hak milik dalam suatu masyarakat dianggap sebagai salah satu Masalah yang dapat menyebabkan timbulnya ketimpangan sosial, yaitu ketika seseorang mengklaim suatu benda atau yang bernilai benda dan tidak dapat diganggu gugat oleh klaim yang sama dari orang lain. Hanya saja dengan klaim kepemilikan tersebut menyebabkan setiap 1
Dosen Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palopo T.M. Hasbi ash-Shiddiqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1975), h. 27. 3 Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini (cet. I; Bandung: t.tp., 1980), h. 631. 2
Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
48
48 Syariat Islam Muhammad Tahmid Nur: Kepemilikan dalam
anggota masyarakat berupaya memperoleh keuntungan, dan dengan demikian, kehidupan masyarakat tersebut menjadi lebih hidup dan dinamis.4 Syariat Islam dalam hal ini memberi rambau-rambu dan legitimasi atas kepemilikan sehingga menjadi jelas dan kuat kedudukannya dari klaim pihak lain, sebagaimana jelasnya perbedaan antara harta yang halal dari harta yang haram. Pengertian Al-Milk Kata milik atau al-milk berasal dari bahasa Arab dan tersusun dari tiga huruf utamanya yaitu huruf mim, lam, dan kaf. Kata yang terbangun atas susunan tiga huruf tersebut biasanya memberi pengertian kepada hal-hal yang menunjukkan kepada kekuatan, pemilikan, atau kekuasaan (kewenangan) seseorang atas sesuatu/ benda.5 Kata al-milk juga telah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia yaitu kata “milik” yang biasanya berarti kepunyaan dan juga hak.6 Secara istilah, al-milk diartikan sebagai:7 “Wewenang khusus atas suatu benda yang menghalangi pihak lain untuk bertindak atasnya, dan memungkinkan pemiliknya untuk berbuat terhadap benda tersebut selama benda tersebut dikhususkan baginya, kecuali ada larangan dari syara‟”. Lebih singkat lagi, Muhammad Mustafa Syalaby mendefenisikan al-milk:8 “Simpanan manusia atas suatu benda dengan kebebasan berbuat terhadap benda tersebut” Abu Zahra juga menjelaskan bahwa al-milk ialah:9 “Hubungan yang ditetapkan oleh pencipta syara‟ antara manusia dengan benda dan dijadikannya khusus baginya, yang mana pemilik dapat mengambil manfaat dari benda tersebut dengan segala macam cara yang dibenarkan oleh syara‟” Dengan demikian, milik atau al-milk dapat dipahami sebagai suatu bentuk kewenangan dari Tuhan atau pihak berwenang atas suatu benda atau yang bernilai benda, karena adanya manfaat yang dapat diambil dari benda tersebut, tanpa melanggar aturan syariah yang harus ditaati bersama. Meskipun kewenangan tersebut bersifat mutlak, tetapi tetap dibatasi kepentintingan pihak lain dan aturan dari Syariah. Jenis-Jenis Milik Konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu 4
Ibid. Abu Husain Ahmad bin Fariz Zakariyah, Maqayis al-Lughah (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 351. 6 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 15. 7 Muhammad Mustafa Syalaby, al-Madkhal fi al-Ta‟rif bi al-Fiqh al-Islamy wa Qawaid al-Milkiyah wa al-Uqud Fiqh (Mesir: Dar al-Ta‟lif, 1960), h. 245. 8 Ibid., h. 246. 9 Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nadhariyah al-„Aqdi (Mesir: Dar al-Fikr, 1976), h. 71. 5
Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
49Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat Islam Muhammad
49
"diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Para fuqaha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (al-milk al-taam) dan kepemilikan kurang (al-milk al-naqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain. 10 Milik penuh (al-milk al-taam) dapat dipahami sebagai hak milik sepenuhnya yang berada dalam kewenangan pemiliknya sendiri untuk “dialihkan” baik manfaat maupun wujudnya sesuai dengan keinginan pemiliknya sendiri. Misalnya sebuah Rumah dengan status milik sendiri yang tidak dikuasai oleh pihak lain; baik melalui sewa menyewa ataupun melalui perjanjian lainnya, dan tidak ada seorangpun yang menggugat kepemilikannya, atau karena tidak ada seorangpun berwenang menggugat-nya, sehingga kewenangan atas Rumah tersebut dikatakan milik sempurna (taam). Milik tidak penuh (al-milk al-naqis) sebaliknya, terjadi apabila suatu milik/ benda juga berada di bawah kewenangan pihak lain, sehingga pihak pertama (pemilik) tidak dapat “berbuat” sepenuhnya terhadap benda yang dimilikinya, misalnya tanah yang telah disewakan kepada penggarap atau Rumah yang telah dikontrakkan kepada orang lain, dan sebagainya. Milik penuh (al-milk al-taam) mempunyai beberapa ciri, antara lain: 1. Pemilik dapat berbuat apa saja secara mutlak terhadap wujud maupun manfaat benda dengan segala tindakan yang dibenarkan oleh syara‟, Seperti menjual, menyewakan, meminjamkan, dan selama tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. 2. Pemanfaatan terhadap benda tersebut tidak dibatasi dengan waktu, tempat, serta bentuk pemanfaatan tertentu yang membatasi pemilik selama tidak dilarang oleh syara‟. 3. Milik tersebut tidak mempunyai batas akhir, kecuali karena adanya tindakan hukum yang sah menurut syara‟, seperti pewarisan apabila pemiliknya meninggal, atau karena dialihkan sendiri lewat jual beli, hibah dan lainnya, atau karena benda tersebut musnah atau rusak dengan sendirinya. 4. Apabila pemilik merusak benda miliknya, maka ia tidak berkewajiban mengganti rugi akibat perbuatannya tersebut. Hanya dianggap sebagai perbuatan sia-sia, sehingga hakim dengan pertimbangan pemeliharaan alam dan pelestarian lingkungan hidup dapat menjatuhkan “hukuman” dengan menaruh pelaku di bawah perwalian jika ternyata ia dalam keadaan gila atau belum dewasa. 5. Pemilik terhadap benda tersebut tidak menerima pengguguran, misalnya menjadikan suatu benda milik sebagai saibah (sesuatu yang diterlantarkan atau dibiarkan), sebab saibah telah dibatalkan oleh syariat setelah kepemilikan.
10
T.M. Hasbi ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Mu‟amalah (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h.
17 Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
50
50Syariat Islam Muhammad Tahmid Nur: Kepemilikan dalam
6. Manfaat yang dihasilkan oleh benda/ milik tersebut (buah, anak) dengan sendirinya menjadi milik orang yang memilikinya. 11 Adapun ciri milik tidak penuh (al-milk al-naqis) sebaliknya; pemilik tidak mempunyai hak penuh terhadap benda miliknya (terbatas pada salah satu wujud atau manfaat benda saja), pemanfaatan dan batas akhir dari pemilikan sangat bergantung pada perjanjian yang dibuat, apabila pemilik merusak benda tersebut, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita pihak lain yang ada pada benda tersebut, dan apabila ada hasilnya, maka tidak serta-merta menjadi milik sendiri, tetapi bergantung pada isi perjanjian yang telah dibuat atau aturan yang berlaku atas benda tersebut. Milik tidak penuh secara umum terbagi kepada dua macam, yaitu: 1. Milik atas wujud bendanya saja sedang manfaatnya dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini, lewat suatu akad atau “peralihan” orang lain mempunyai hak manfaat atas benda tersebut, sehingga pemilik hanya memiliki wujud benda saja.12 Misalnya dalam hal sewa menyewa, wujud benda tetap dimiliki oleh pemilik, tetapi sebagian atau seluruh kewenangan pemanfaatan benda yang disewakan telah beralih kepada pihak penyewa. 2. Sebaliknya, hanya memiliki manfaat suatu benda, sedang wujud benda tersebut milik orang lain. Milik ini kemudian terbagi dua macam, yaitu: 13 a. Milik manfaat yang ditetapkan bagi orang tertentu saja (milk al-manfa‟ah wa haq alintifa‟ al-syakhshy). Hal ini terjadi misalnya pada rumah atau benda yang disewakan atau dipinjamkan, maka yang berhak mengambil manfaat dari benda tersebut hanya orang yang diberi sewa atau pinjaman tersebut. Bahkan milik manfaat ini dapat diwariskan selama hal itu memungkinkan. b. Milik manfaat yang ditetapkan atas suatu benda tetapi pemanfaatannya bisa untuk orang banyak, misalnya pada sarana-sarana umum seperti: rumah sakit, sekolah, jalan, dan sebagainya. Kewenangan Atas Milik Depinisi di atas menggambarkan milik sebagai suatu kewenangan khusus yang diberikan oleh pembuat syara‟ di dalam syariat, baik terhadap wujud suatu benda, maupun terhadap manfaat benda tersebut.14 Di antara fuqaha ada yang memandang semua manfaat dan hak-hak atas sesuatu adalah milik, tetapi tidak mesti berupa benda, sehingga milik pada hakikatnya memiliki pengertian yang lebih luas daripada benda itu sendiri. Apabila berbicara tentang wewenang atau kewenangan atas sesuatu, maka hal itu sangat erat kaitannya dengan ahliyah seseorang yang menjadikan pemilik dapat atau tidak dapat mengambil manfaat dan berbuat secara maksimal terhadap sesuatu yang dimilikinya. Keadaan yang menghalangi kewenangan atau ahliyah tersebut yaitu apabila pemilik gila, dungu, belum dewasa, boros dan lainnya.15 Orang-orang yang terhalangi tersebut harus berada di bawah perwalian atau pengampuan. Hal ini dimaksudkan supaya manfaat dari benda atau milik tersebut tidak terbuang dengan sia-sia, dan untuk menghindarkan si pemilik dari penyesalan ketika ia sadar, sembuh dari sakitnya, atau telah menjadi dewasa dan memahami manfaat dari kepemilikannya tersebut.
11
Masduhah Abdurrahman, op. cit., h. 87. Ibid., h. 93. 13 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 37-38. 14 Masduhah Abdurrahman, Pengantar dan Asas-asas Hukum Perdata Islam (cet. I; Surabaya: Sentral media Surabaya, 1992), h. 86. 15 Ibid. 12
Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
51Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat Islam Muhammad
51
Apabila seseorang karena gila atau yang lainnya merusak miliknya sendiri, maka tidak ada kewajiban mengganti kerugian karena tindakannya tersebut selama menyangkut miliknya sendiri dan tidak merugikan pihak lain. Hal tersebut dianggap perbuatan sia-sia dan olehnya itu, hakim dapat menghukumnya dengan menaruhnya di bawah perwalian atau pengampuan.16 Akan tetapi seorang wali bukanlah pemilik benda, tetapi ia hanya sebagai pelaksana perwalian. Olehnya itu, wali tidak mempunyai kebebasan untuk bertindak dan mengambil manfaat sepenuhnya dari milik orang yang berada di bawah perwaliannya. Apabila halangan ahliyah tersebut hilang; misalnya orang yang di bawah perwalian tersebut telah dewasa, atau karena telah sembuh dari sakit gilanya, maka secara otomatis kewenangan orang yang berada di bawah perwalian tersebut kembali seperti semula terhadap benda miliknya.17 Sudah sewajarnya ketika orang yang berada di bawah perwalian/ pengampuan dewasa atau telah sembuh dari sakitnya kembali berwenang sepenuhnya atas semua haknya. Kewajiban wali/ pengampu adalah menyerahkan semua hak dan kepemilikan yang berada di bawah pengawasannya kepada pemiliknya semula. Cara Memperoleh Milik Islam memerintahkan agar harta kekayaan dikumpulkan, baik lewat perniagaan, pertanian, perkebunan, industri, dan melarang pengumpulan harta lewat riba, pencurian, perampokan, mengemis, judi, pelacuran, korupsi, suap, dan lainnya.18 Aturan dasar tersebut dibuat karena Islam adalah agama hidup dan kebanyakan dari kebutuhan hidup tersebut diperoleh melalui harta kekayaan. Allah Swt. di antaranya telah melegalisir pengumpulan harta melalui perniagaan/ perdagangan, antara lain lewat firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah (2): 275: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.19 Hal tersebut juga dijelaskan dalam firman Allah yang lain dalam QS al-Quraisy, yaitu ketika Allah menunjukkan nikmat-Nya dengan memudahkan perjalanan antara Syam dan Yaman, serta beberapa firman-Nya yang lain. Syariat juga menyuruh mendapatkan harta (rezki) lewat pertanian dengan menghidupkan tanah dan mengolahnya, di antaranya firman Allah dalam Q.S. Abasa (80): 2432: “Maka hendaklah manusia memperhatikan pada makanannya; bagaimana Kami telah mencurahkan air yang banyak, kemudian Kami belah bumi dengan sebaikbaiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, Anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun yang rindang, buah-buahan dan rerumputan, sebagai rezki bagi kamu dan hewan ternakmu”20 Sebaliknya Allah melarang mendapatkan harta (penghidupan) secara bathil, antara lain dalam firman-Nya QS. al-Baqarah (2): 188 dan QS. al-Nisa (4): 29, Seperti lewat praktek riba, pencurian, perzinaan (pelacuran), dan lainnya karena telah dilarang dan dikecam, serta diancam dengan hukuman yang berat. Para fuqaha mengemukakan empat cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam: Cara Pertama, Melalui penguasaan terhadap harta (ihraz al-mubahat). Harta yang dimaksud ialah yang belum dimiliki atau dalam kekuasaan orang lain/ pihak lain, seperti pasir, ikan di sungai 16
Ibid., h. 87. Ibid., h. 86. 18 Mahmud Syalthut, Akidah dan Syari‟ah Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 253-254. 19 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2005), h. 17
47. 20
Ibid., h. 585 Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
52
52Islam Muh. Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat
dan laut, bebatuan, dan lainnya.21 Al-Mubahat sendiri adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (di kuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Misalnya air yang masih berada dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan, pohon kayu di hutan, dan sebagainya. Dalam masyarakat bernegara konsep ihraz al-Mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara bebas. Demi melindungi kepentingan publik (maslahat alAmmah), negara atau penguasa berhak menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam, dan lain sebagainya. Dengan demikian, seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan, tidak boleh menguasai atau memiliki tanah dan kebun milik negara kecuali dengan izin, serta tidak boleh berburu satwa langka, dan lain sebagainya. Syarat untuk terpenuhinya ihraz al-mubahat adalah sebagai berikut : 1. Sesuatu itu bukan milik sah dari orang lain. Oleh karena itu, tidak termasuk ihraz almubahat contohnya, jika mengambil burung dara jantan milik orang lain dengan cara memikatnya dengan burung dara betina miliknya. 2. Ada kesengajaan upaya yang dibenarkan untuk memilikinya seperti contoh di atas. Jika ada layang-layang menyangkut di atas pohon miliknya, maka tidak secara otomatis layanglayang tersebut menjadi miliknya. Cara Kedua, Melalui suatu akad atau transaksi (al-uqud) yang dilakukan dengan orang atau badan hukum, seperti lewat jual beli, hibah, wakaf, dan lainnya. 22 Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan ketentuan yang menimbulkan pengaruh terhadab obyek akad. Akad jual beli, hibah, wasiat, dan sejenisnya merupakan sumber kepemilikan yang paling penting. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat, dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan. Dilihat dari sebab kepemilikan, akad dapat dibedakan menjadi dua, yaitu „uqud jabariyah dan tamlik jabari. Uqud jabariyah (akad secara paksa) adalah akad yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan menj ual harta untuk melunasi hutang. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa seseorang bisa menjadi pemilik atas suatu harta. Pemilikan ini merupakan kekhususan atau keistimewaan (al-Ihtishash) bagi seseorang untuk secara bebas mengambil tindakan hukum terhadap miliknya. Meskipun demikian, ihtishash tersebut tidak bersifat mutlak, terutama jika dihadapkan pada benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Islam menggariskan bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, setiap harta yang dimiliki oleh individu, terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi seperti zakat dan shadaqah. Selain itu, terdapat juga hak publik, sehingga kebebasan seseorang dalam bertindak terhadap milik pribadinya dibatasi atau tidak boleh melanggar hak publik yang berkaitan dengan kepentingan umum. Cara Ketiga, Melalui peninggalan seseorang (al-Khalafiyah) misalnya dalam pewarisan.23 Al-khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. al-khalafiyah dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnya dalam hal hukum waris. Dalam hukum waris, seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya (tarikah). Kedua, penggantian benda atas benda yang lainnya, 21
Nasrun Haroen, op. cit., h. 32. Ibid. 23 Ibid. 22
Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
53Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat Islam Muhammad
53
seperti terjadi pada tadlmin (pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta‟widh (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau menyebabkan kerusakan harta benda orang lain. Cara Keempat, melalui hasil/ buah dari tanaman yang telah dimiliki (al-tawallud min al-Mamluk) seperti buah pohon tanaman di kebun, anak/ telur ternak piaraan, bulu dari domba, dan sebagainya.24 Al-Tawallud Min al-Mamluk adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya. Artinya setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya. Tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain/ baru). Misalnya binatang yang bertelur, berkembangbiak, menghasilkan air susu, begitu juga dengan kebun yang menghasilkan buah-buahan dan lainnya. Prinsip tawallud tidak berlaku pada benda mati yang tidak bersifat produktif seperti rumah, perabotan rumah dan uang. Keuntungan (laba) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud karena rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur, atau beranak. Apabila diperbandingkan dengan sebab-sebab memiliki dalam hukum perdata positif (qanun), maka di situ akan terlihat banyak persamaan. Dalam hukum perdata positif (qanun) dijelaskan sebab-sebab memiliki suatu benda, yaitu dengan:25 1. Merintis; membuka lahan baru yang selama ini belum dimiliki oleh orang lain, 2. Bertambahnya suatu keadaan, misalnya tanah yang timbul, buah atau hasil dari tanaman, anak dari hewan ternak, dan sebagainya. 3. Karena daluwarsa, tidak ada yang menggugat selama tiga puluh tahun, 4. lewat pewarisan, dan 5. Penyerahan hak lewat pemberian, hibah, hadiah, dan sebagainya. Sekilas Konsep Kepemilikan Menurut Kapitalis dan Sosialis (Sebagai Perbandingan) Konsep Kepemilikan Menurut Kapitalisme Liberalisme berkembang dengan sokongan rasionalisme yang menyatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala sesuatu secara komprehensif yang kemudian melahirkan pendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya dan mempertahankan kebebasan manusia dalam hal kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan individu dan kebebasan hak milik. Dari kebebasan hak milik inilah dihasilkan sistem ekonomi kapitalisme, dimana kapitalisasi menjadi corak yang paling menonjol dalam sistem ekonomi ini. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berasakan kepentingan pribadi, dimana nilai produksi dan konsumsi semata-mata untuk menggaet profit. Sistem kapitalisme sama sekali tidak mengindahkan kesejahteraan sosial, kepentingan bersama, kepemilikan bersama ataupun yang semacamnya. Asas kapitalisme adalah kepuasan sepihak, alias setiap keuntungan adalah milik pribadi. Contoh paling mudah dari sistem kapitalisme ini bisa digambarkan dari aktualitas Amerika Serikat yang meyakini bahwa mereka adalah penganut sistem ekonomi campuran (kapitalisme dan sosialisme), pada dasarnya mereka tetap tidak bisa lepas dari unsur kapitalis dalam prakteknya. Hal ini diungkapkan oleh seorang ekonom Joseph A. Schumpeter sebagai „sistem destruksi kreatif‟. Menurutnya, setiap perusahaan dalam pasar kecil maupun pasar kompetitif akan selalu dapat berjalan ke arah yang lebih baik setelah restrukturisasi, yaitu dengan selalu 24Ibid. 25
R.G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap (Jakarta: Bina Aksara, 1970), h. 40. Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
54
54 Islam Muh. Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat
mengadakan pergantian pekerja dan pergantian modal, karena mereka akan selalu digantikan dengan yang lebih baik. Tiap individu juga diyakini mampu menghasilkan modal sendiri, tanpa perlu mencemaskan campur tangan pemerintah. Sekilas cara pandang ini terlihat normal, di mana komponen-komponen pasar tersusun rapi dalam mekanisme yang jelas. Namun hasilnya akan muncul ketimpangan dan menimbulkan suatu masyarakat yang tidak egalitarian, di mana beberapa individu akan menjadi lebih kaya dari individu lain, dan yang miskin akan semakin miskin. Begitu juga dengan semakin meningkatnya angka pengangguran dan kriminalitas serta aksi anarki di manamana. Menurut James Paulsen, kepala strategi investigasi di Wells Capital Management, Amerika Serikat sedang mengalami kebangkrutan kasat mata karena deficit keuangan negara adidaya tersebut. Tercatat defisit Amerika Serikat naik 22 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi USD 120 miliar atau Rp. 1.150 triliun, akibatnya Obama dan pihak legislative akan menaikkan pajak dan menurunkan belanja negara secara besar-besaran yang mulai diluncurkan per 1 Januari tahun 2013. Dalam kapitalisme, meskipun keuntungan yang didapat sangatlah besar, kemudian tercipta kompetisi sehat antar pasar tanpa risau terhadap campur tangan pemerintah, dan setiap pemilik modal bebas menentukan pekerjaan atau usaha apa yang akan mereka jalankan, tetap saja menciptakan beberapa nilai negative dan juga anomali. Kasus yang terjadi seperti perbedaan kelas ekonomi yang semakin nyata lantaran keuntungan sepihak yang hanya diperoleh kaum minoritas atau elitis saja, tanpa mengindahkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Ada beberapa ciri kapitalisme yang bisa diringkas sebagai berikut: 1. Sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu. 2. Barang dan jasa diperdagangkan bebas yang bersifat kompetitif. 3. Pemilik modal bebas untuk menggunakan cara apa saja untuk meningkatkan keuntungan maksimal, dengan mendayagunakan sumber produksi dan pekerjanya. Sehingga modal kapitalis seringkali diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba. 4. Aktivitas ekonomi secara bebas hanya ditentukan oleh penjualan dan pembelian. 5. Pengawasan atau campur tangan pemerintah diupayakan seminimal mungkin. Tetapi jika dianggap riskan, negara sewaktu-waktu dapat mengeluarkan kebijakan yang melindungi lancarnya pelaksanaan sistem kapitalisme. 6. Riset menemukan bahwa menduduki posisi penting menentukan dalam mendorong persaingan. Tujuan kapitalisme yang hanya berasas pada biaya produksi yang murah dan keuntungan yang tinggi realitanya berkebalikan dengan Islam, yang menganjurkan agar seorang muslim tidak sekedar menimbun uang dan menghimbau agar menyedekahkannya untuk kemaslahatan social. Kapitalisme justru akan membentuk tatanan masyarakat yang egois individualistis, materialis dan konsumeris. Konsep Kepemilikan Menurut Sosialisme Berseberangan dengan teori kapitalisme adalah sosialisme. Dua teori ideal ekonomi Sosialisme adalah: 1) Distribusi kekayaan secara merata. 2) Menghapus pemilikan pribadi. Sosialisme, Berasal dari kata Sosial, sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat, Sosialis “Penganut Faham”. Sosialisme adalah Sebuah doktrin politik yang menekankan pemilikan kolektif dari alat-alat produksi, memberikan suatu peran yang besar pada negara dalam menjalankan perekonomian dengan kepemilikan masyarakat luas (Nationalization) atas industri. Berdasarkan pengertian ini, para ahli ekonomi menafsirkan gagasan ini sebagai dasar atau sebagai sumber-sumber yang tersedia untuk masyarakat manapun pada suatu waktu, yang kemudian dikenal dengan teori ekonomi sosialis.
Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
55Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat Islam Muhammad
53
Tujuan utama dalam teori ekonomi sosialis adalah mendistribusikan harta kekayaan secara merata dengan menghapuskan bermacam-macam kelas di dalam tubuh masyarakat. Sosialisme mepunyai visi ideal adalah “Kemakmuran bersama di atas kemakmuran individu”. Tujuan kedua teori ekonomi sosialis, menghapus hak milik pribadi. Ajaran ini mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan individu. Mengakui hak milik pribadi bagi kaum sosialis merupakan kezaliman dan penyimpangan, sehingga mesti dihilangkan. Segala usaha yang mengarah kepada pengakuan hak milik pribadi harus dimusnahkan, walaupun dengan jalan kekerasan dan membangkitkan dengki. Satu prinsi penting yang harus diwujudkan adalah “Sama rata sama rasa”. Sebenarnya tujuan teori ekonomi sosialis adalah ingin menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam ekonomi. Akan tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, kaum sosialis telah memilih satu jalan yang hakekatnya berlawanan dengan fitrah manusia, yakni menghapus hak Individu. Dan hal itu menjadi letak perbedaan dengan konsep kepemilikan dalam syariat Islam. PENUTUP Pengertian milik menunjukkan kepada suatu kekuatan, kekuasaan, wewenang dan pemilikan seseorang atas suatu benda atau yang bernilai benda. Menurut pandangan Islam, kewenangan/ milik seseorang terhadap benda/ harta yang dimilikinya sangat erat kaitannya dengan ahliyahnya terhadap benda atau harta tersebut. Ahliyahnya menjadi terhalangi apabila yang bersangkutan sedang gila, belum dewasa, pemboros, dan lainnya sampai ia dewasa atau sembuh dari sakitnya itu. Milik atau al-milk dalam ajaran Islam terbagi kepada dua macam kepemilikan; pemilikan yang sempurna (al-milk al-taam), dan kepemilikan yang tidak sempurna (al-milk alnaqis). Pemilikan sempurna dengan memiliki kewenangan atas benda dan manfaatnya sekaligus, sedang pemilikan tidak sempurna hanya memiliki salah satu dari kedua unsur harta/ benda tersebut. Dalam memperoleh milik, syari‟ah membolehkan beberapa cara di antaranya lewat ihraz al-mubahat, al-uqud, al-tawallud min al-mamluk dan lewat al-Khalafiyah. Berbeda dengan konsep kepemilikan dalam Kapitalisme dan Sosialisme yang bersifat berlebihan (individualistik dan atau kolektivistik), syariat Islam tetap mengakui hak-hak kepemilikan Individu dengan memberi batasan pada kepemilikan orang lain dan orang banyak, sehingga setiap orang diberi kebebasan berkarya dan memiliki dalam koridor syariat, dan bagi orang yang kaya membantu sesamanya yang tidak mampu, seperti dalam pelaksanaan zakat dan sedekah.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Masduhah. Pengantar dan Asas-asas Hukum Perdata Islam. cet. I; Surabaya: Sentral media Surabaya, 1992. Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Kartasapoetra, R.G.. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Jakarta: Bina Aksara, 1970. ash-Shiddiqy, T.M. Hasbi. Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam. Jakarta: Tinta Mas, 1975 ----------------. Pengantar Fiqh Mu‟amalah. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997 Syalaby, Muhammad Mustafa. al-Madkhal fi al-Ta‟rif bi al-Fiqh al-Islamy wa Qawaid alMilkiyah wa al-Uqud Fiqh. Mesir: Dar al-Ta‟lif, 1960. Syalthut, Mahmud. Akidah dan Syari‟ah Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104
56
56Islam Muh. Tahmid Nur: Kepemilikan dalam Syariat
Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. II, Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Yamani, Ahmad Zaki. Syariat Islam yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini. cet. I; Bandung: t.tp., 1980. Zahra, Muhammad Abu. al-Milkiyah wa Nadhariyah al-„Aqdi. Mesir: Dar al-Fikr, 1976. Zakariyah, Abu Husain Ahmad bin Fariz. Maqayis al-Lughah. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Jurnal Muamalah: Volume IV, No 2 Agustus 2104