195
SYARIAT ISLAM DAN PROBLEM KEMISKINAN
195
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit menjumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Dalam mendefinisikan kemiskinan, sejak tahun 1970-an, Bank Dunia menggunakan standar mata uang dolar Amerika Serikat. Standar pengeluaran untuk makanan adalah 50 dolar AS untuk pedesaan dan 75 dolar AS untuk perkotaan per kapita per tahun. Pada tahun 1971 kurs dasar dolar adalah 126 terhadap rupiah. Standar ini masih dijadikan acuan internasional dengan modifikasi pengertian kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 2,00 per hari. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional melengkapi kriteria kemiskinan dengan adanya kategori keluarga pra sejahtera, yaitu apabila: tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari; seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian; bagian terluas dari rumah berlantai tanah; serta tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Adapun menurut kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakmampuan /powerlessness: tidak mempunyai daya/kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan, atau istilahnya basic need deprivation; tidak mempunyai daya/kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha produktif/unproductiveness; tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menjangkau akses sumber daya sosial dan ekonomi/inaccessibility; tidak mempunyai daya/kemampuan menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalis/vulnerability; tidak mempunyai daya/kemampuan untuk membebaskan diri dari mental dan budaya miskin, serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah/no freedom for poor. Fakir miskin adalah orang/keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi kemanusiaan atau orang/keluarga yang mempunyai sumber mata pencaharian, tapi tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan (PP No. 42/1981). Berdasarkan pengertian tersebut, secara operasional maka fakir miskin adalah: Keluarga yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Pengertian Kemiskinan Menurut Islam Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah SWT. menggunakan istilah itu dalam firman-Nya: “…atau orang miskin yang sangat fakir” (QS al-Balad : 16).
ٍ َ َ َْ َأوْ ًِِْ ذَا
Adapun kata fakir yang berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (alihtiyaaj). Allah SWT. berfirman:
ٌ َِ ٍ ْ! َ ْ"ِ #َ ِإ َ َْ ْب ِإ َِ َأ
…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS al-Qashash :24).
Dalam pengertian yang lebih definitif, An-Nabhani mengategorikan yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul UmmahBeirut). Pembedaan kategori ini tepat untuk menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al-fuqara (orang-orang faqir) dan al-masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana firman-Nya dalam QS at-Taubah : 60. Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Allah SWT. berfirman:
ف ِ ِ ْ َ&ُْو#"ُ'ُ()َ ْ َو ِآ#"ُ'ُ+ُْ ِرز.َ اْ َ)ُْ) ِد0َ12 َ َو
“Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf” (QS al-Baqarah : 233).
ْ3ُآ8ِ ْ9ُْ ِ"ْ و3َُْ 4 َ ُ5ْ6 َ ْ"ِ #"ُْ ُِ)ه4َأ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemmpuanmu” (QS ath-Thalaaq :6). Rasulullah SAW. bersabda: “Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR Ibnu Majah). Dari ayat dan hadis di atas dapat di pahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang, pangan, dan papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer), yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila kebutuhan pokok (primer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran (eksistensi) umat manusia. Karena itu, Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh setan,
196
197
sebagaimana firman Allah SWT.“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (TQS al- Baqarah :268). Dengan demikian, siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer)nya, yaitu sandang, pangan, dan papan, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Oleh karena itu, setiap program pemulihan ekonomi yang ditujukan mengentaskan fakir miskin, harus ditujukan kepada mereka yang tergolong pada kelompok tadi. Baik orang tersebut memiliki pekerjaan, tetapi tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara yang makruf, yakni fakir, maupun yang tidak memiliki pekerjaan karena PHK atau sebab lainnya, yakni miskin. Jika tolok ukur kemiskinan Islam dibandingkan dengan tolok ukur lain, maka akan didapati perbedaan yang sangat mencolok. Tolok ukur kemiskinan dalam Islam memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari tolok ukur lain. Sebab, tolok ukur kemisknan dalam Islam mencakup tiga aspek pemenuhan kebutuhan pokok bagi individu manusia, yaitu pangan, sandang, dan pangan. Adapun tolok ukur lain umumnya hanya menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pangan semata. Tolok ukur kemiskinan dari berbagai versi dan perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut. Penyebab Kemiskinan Banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun, secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat. Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negaranegara maju. Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat, hingga menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh penerapan sistem Kapitalisme yang memberikan kesalahan mendasar dalam beberapa hal, antara lain:
197
1. Kebebasan Hak Milik Kebebasan hak milik merupakan salah satu ide dasar yang digunakan kapitalis dalam mengatur kepemilikan. Menurut ide ini, setiap orang berhak memiliki dan sekaligus memanfaatkan segala sesuatu sesuka hatinya. Dengan demikian, setiap individu berhak memiliki barang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum (public property), seperti ladang-ladang minyak, tambang-tambang besar, pelabuhan, jalan, barang-barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan lain-lain. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Pembangunan yang menyandar pada paradigma ini, jelas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial. Akan terjadi akumulasi kekayaan yang melimpahruah pada segelintir orang, sedangkan mayoritas masyarakat tidak dapat menikmati hasil pembangunan. 2. Tolok Ukur Pembangunan Sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara tersebut setiap tahun. Dalam bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB atau GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP). Karena PNB atau PDB mengukur hasil keseluruhan dari sebuah negara, padahal jumlah penduduk negara berlainan, maka untuk bisa membandingkan, dipakai ukuran PNP/kapita/tahun atau PDB/kapita/tahun. Dengan demikian dapat diketahui berapa produktivitas rata-rata orang dari negara yang bersangkutan. Dengan adanya tolok ukur ini, kita dapat membandingkan negara yang satu terhadap negara lainnya. Sebuah negara yang mempunyai PNB/kapita/tahun sebesar US $750, misalnya, dianggap lebih berhasil pembangunannya daripada negara yang PNB/kapita/tahunnya sebesar US $500. Penggunaan tolok ukur semacam ini, cenderung menjadikan kebijakan pembangunan negara terfokus pada meningkatkan PNB semata-mata. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang tampak dengan meningkatnya PNB ini pun sering diklaim oleh pemerintah suatu negara sebagai wujud keberhasilannya dalam menjalankan kepemimpinan. Padahal, nilai PNB/kapita/tahun (income per kapita) ini, sama sekali tidak dapat mencerminkan pemerataan dan kemakmuran rakyat. Sebab, tolok ukur tersebut hanya menunjukkan nilai rata-rata. Banyak terjadi, sebagian kecil orang di dalam suatu negara, memiliki kekayaan yang melimpah, sedangkan sebagian besar lainnya justru hidup dalam kemiskinan. Di Amerika saja, misalnya, yang income perkapitanya mencapai US $25,400, dapat dijumpai kantongkantong kemiskinan. Menurut laporan John Gaventa, seorang Ilmuwan Politik dari AS, dikatakan bahwa di suatu lembah di Pegunungan Appalachia Tengah, Amerika, terdapat komunitas penduduk yang miskin sekali. Menurut perkiraan, sebanyak 70% keluarga setempat hidup di bawah garis kemiskinan, dan sebanyak 30% keluarga menganggur. Ironisnya daerah tersebut amat kaya sekali dengan tambang batu bara yang dieksploitasi oleh sebuah perusahaan tambang raksasa. Jelas bahwa penggunaan PNB atau PDB sebagai tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan, telah menjadikan kemiskinan di suatu negara tersembunyi di balik angka-angka tersebut. Memang ada tolok ukur tambahan yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan. Yaitu, dengan menyertakan faktor pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Misalnya, dengan melihat berapa persen dari PNB yang diraih oleh 40% penduduk termiskin, 40% penduduk golongan menengah, dan 20% penduduk terkaya. Dalam ilmu ekonomi, bila 40% penduduk termiskin menerima kurang dari 12% PNB ketimpangan yang ada dianggap mencolok. Jika menerima 12% - 17%, ketimpangannya dianggap sedang. Adapun jika menerima lebih dari 17%, ketimpangannya dianggap lumayan kecil. Meskipun demikian, jika 198
199
paradigma kebebasan hak milik tetap menjadi acuan, terjadinya ketimpangan tetap tidak pernah bisa dihindari. 3. Peran Negara Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu, siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah, dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula banyak program swatanisasi badan usaha milik negara. Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup. Kesenjangan kaya miskin di dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem Kapitalisme yang sangat individualis itu. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan. Sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain Kapitalisme, tanpa perlu ada tawar-menawar lagi. Solusi Islam Mengatasi Kemiskinan Allah SWT. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rezeki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka. Allah SWT. berfirman:
ْ3ُ+َ َر َز#3ُ: ْ3َُ 1َ! َ <ِي#ا=ُ ا
“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rezeki” (QS ar-Ruum : 40).
َ'ُ+ْ= ِرز ِ ا0َ12 َ #>ض ِإ ِ ْ ٍ ِ اْ َ@ر#َوَ ِ"ْ دَا
“Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, selain Allah yang memberi rezekinya” (QS Hud : 6). 199
Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah? Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, batil, dan bertentangan dengan fakta. Secara i’tiqadi, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT. untuk manusia pasti mencukupi. Meskipun demikian, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut. Islam adalah sistem hidup yang sahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri atas pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut, selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat, sehingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanismemekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah: 1. Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah kepada Diri dan Keluarganya. Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah SWT. berfirman:
.ِ +ِ ُْ)ا ِ"ْ ِرز1ُ'َ َوآAِ ُ)ا ِ ََ ِآBْ َ
“Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya” (QS al-Mulk : 15). Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya” 200
201
Ayat dan hadis di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah SWT. berfirman:
ف ِ ِ ْ َ&ُْو#"ُ'ُ()َ ْ َو ِآ#"ُ'ُ+ُْ ِرز.َ اْ َ)ُْ) ِد0َ12 َ َو
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS al-Baqarah : 233).
ْ3ُآ8ِ ْ9ُْ ِ"ْ و3َُْ 4 َ ُ5ْ6 َ ْ"ِ #"ُْ ُِ)ه4َأ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu” (QS ath-Thalaq : 6). Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka. 2. Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakitsakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orangorang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya, lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya? Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah SWT. berfirman:
هَ َوَ َ)ُْ) ٌد8ِ َ)َ ِ ٌة8َ ِ وَا#َ رCُ( َ َ'&َ ْ4ُ و# ِإD ٌ ْEَ ُF#1َ ُ( َ ف ِ ِ ْ َ&ُْو#"ُ'ُ()َ ْ َو ِآ#"ُ'ُ+ُْ ِرز.َ اْ َ)ُْ) ِد0َ12 َ َو I َ ُِ َذJْKِ ث ِ اْ َ)ا ِر0َ12 َ َوHِ 8ِ َ)َ ِ ُ.َ
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah : 233).
201
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya. Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya. Rasulullah SAW. bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah). “Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan” (HR Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah). Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta ketika manusia (dengan keadaan yang dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya. 3. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah SAW. pernah bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami” (HR Imam Muslim). Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua. Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah SWT. berfirman:
" ِ ُِ ََا ِء وَاْ ََ آEْ1ِ َُ ت+8َ #Nَ ا#ِإ
“Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (QS at-Taubah : 60).
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal. 4. Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah SWT. berfirman:
ُْو ِمQَ ْ وَاJِ Rِ #1ِ T S6 َ ْ3'ِ َِو ِ َأْ)َا
“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian” (QS adz-Dzariyat : 19).
202
203
Rasulullah SAW. juga bersabda: “Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka” (HR Imam Ahmad). “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya” (HR al-Bazzar). Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan. Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya hingga mencukupi. Pengaturan Kepemilikan Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah. Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenisjenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut. Jenis-jenis Kepemilikan Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari asy-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. 203
Kepemilikan individu adalah izin dari Allah SWT. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu Allah SWT. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain. Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin. Kepemilikan umum adalah izin dari Allah SWT. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap, misalnya padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu, misalnya sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain. Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersamasama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa, sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian, masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini. Kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada khalifah (sesuai dengan ijtihadnya) sebagai kepala negara Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain. Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin. Pengelolaan Kepemilikan Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul mal) dan penginfaqkan harta (infaqul mal). Baik dalam pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi atau melarang seseorang bersifat 204
205
kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi. Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan. Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan. Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara terperinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi, seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil. Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan. Penyediaan Lapangan Kerja Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasululah SAW...: “Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau SAW... bersabda: 205
“Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja” Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif sehingga kemiskinan dapat teratasi. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Penyediaan Layanan Pendidikan Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun keterampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya. Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, kemiskinan kultural akan dapat teratasi. Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah. Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya beliau berkata lagi,“Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”. Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya. Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut,“Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian, gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau,“Sesungguhnya aku telah melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya, “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat menyejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masingmasing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah 206
207
yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut. Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada orang nonmuslim. Dalam hal ini, orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum muslim.” Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. Umar bin Khatab r.a. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orangorang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya. Umar berkata, “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lanjut usia. Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat muslim tapi juga bagi umat nonmuslim yang hidup di bawah naungan Islam.
207
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad