SYARIAT ISLAM DALAM
PERSOALAN TENAGA KERJA Hampir di semua negara saat ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil sehingga terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju berkutat pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, dan sosial, bahkan politis. Sementara itu, di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan pengusaha yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, beribadah, dan lain-lain. Dampaknya, berbagai problem yang menyangkut hak-hak kaum buruh tidak terselesaikan dengan baik. Berikut ini adalah beberapa problem yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. 1. Problem Gaji / UMR Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini , yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji/ upah ini. Hal ini terjadi setidaknya disebabkan oleh: 1. Pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang diinginkan.Jadi, besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak majikan, dan kaum buruh berada pada posisi ‘sulit menolak’. 2. Pihak majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini mengingat, meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harusmembayar sesuai batas tersebut. 3. Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan. 4. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah karena gaji/upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat. 180
179
eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas. 3. Sektor kepemilikan negara Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan kemashlahatan umat.
179
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya. Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan: “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka”. Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya. Pemasukan Negara Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya, bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni diperolehnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Selain itu, negara diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara. Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan ataupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syariat Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluaran Kas Baitul Mal adalah sebagai berikut. 1. Sektor kepemilikan individu Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq, dan shadaqah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60), yaitu: (1) Faqir, (2) Miskin, (3) Amil zakat, (4) Muallaf, (5) Memerdekakan budak, (6) Gharimin (terlilit utang), (7) Jihad fi sabilillah, dan (8) Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara itu, infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan umat. 2. Sektor kepemilikan umum Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum, yaitu yang berupa hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, dan sebagainya. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan biaya eksplorasi dan 178
177
SAW. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang berarti barang tambang tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali karena sunah Rasulullah SAW. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Untuk itu, beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.
177
Penarikan kembali pemberian Rasul SAW. dari Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadis dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Haris Al-Muzni dari kabilahnya, serta hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan, “Rasulullah SAW.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung maupun tambang” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadis Abyadh ini. Hadis di atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya terbatas sehingga boleh diberikan. Hal ini sebagaimana Rasulullah pertama kali memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Akan tetapi, kebolehan pemberian barang tambang ini jangan diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi, jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas. Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah, seperti garam, batu bara, dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis di atas. Benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk dimiliki oleh pribadi saja, maka benda tersebut termasuk milik umum. Namun, meski termasuk ke dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya. Oleh karena itu, benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu. Oleh karena itu, sebenarnya, pembagian ini –meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum— esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property), seperti jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
di dunia. Ekosistem kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatra, pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat hutan bakau di Indonesia). Adapun, lautan biru di Maluku dan Sulawesi menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang, dan organisme terumbu karang yang lain. Pengelolaan SDA dalam Islam Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Dalam pandangan Islam, sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat . Hal ini berdasarkan pada hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul SAW. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul SAW. meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”. Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasulullah SAW. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul SAW. mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. Hal ini tampak pada ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan: “Adapun pemberian Nabi SAW. kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh. Sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh, lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi 176
175
SYARIAT ISLAM DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
175
Potensi Kekayaan Alam Indonesia Realitas hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing Ecosystem). Sumber daya alam terbagi dua, yaitu SDA yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Keanekaragaman hayati termasuk ke dalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Potensi sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, bergantung pada letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian istilah sumber daya alam hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan, bentang alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati yang berlimpah sehingga dikenal sebagai negara Megabiodiversity. Keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan yang terbanyak kedua di seluruh dunia. Wilayah hutan tropis Indonesia adalah yang terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga, dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Bahkan, Indonesia memiliki tanah dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1,3 persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutan tropis, yang kedua setelah Brazil (World Bank, 1994). Walaupun demikian, persoalan tentang pengelolaan sumber daya alam hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil kebijakan. Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan liarnya. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di AsiaPasifik, yaitu diperkirakan 1.148.400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keanekaragaman hayati di dunia. Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 di antaranya tidak terdapat di belahan dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia Tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya di dunia untuk mamalia (515 spesies, 36% di antaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% di antaranya endemik), ketiga terkaya di dunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% di antaranya endemik) kelima untuk amfibi (270 spesies), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga. Lingkungan Pesisir dan Kelautan di Indonesia sangatlah panjang. Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai 81.000 kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia. Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
6. Adanya pemisahan kehidupan pria dan wanita dan tidak tercampur baur, sebagaimana halnya shaf-shaf wanita dalam shalat, yaitu terpisah dari shaf pria. 7. Larangan untuk bertabarruj, yaitu memperlihatkan ‘perhiasan’ dan kecantikannya pada pria yang bukan mahramnya. 8. Anjuran Islam untuk segera menikah bagi yang mampu, bagi jika tidak maka diperintahkan untuk iffah (menjaga kesucian diri). 9. Hubungan muamalah, ta’awun antara pria dan wanita dilakukan pada kehidupan umum. 10. Islam memerintahkan pria dan wanita untuk bertaqwa kepada Allah SWT. sebagai kendali internal. 11.Islam memerintahkan untuk menjauhi tempat-tempat yang diharamkan dan memungkinkan terjadinya perkara yang haram. Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan mansuia. Cukup dengan berpegang teguh kepada ajaran Islam, seorang muslim dapat mengarungi kehidupannya dan memecahkan setiap problematika kehidupannya. Aturan Islam yang lengkap dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Sejarah telah membuktikan hal ini, lebih dari sepuluh abad aturan Islam telah mampu mengatur kehidupan manusia dengan keadilan luar biasa. Syariat Islam mampu menjamin ketentraman hidup manusia, sehingga orang-orang non-Islam pun tentram hidup dalam naungannya. Sudah seharusnya kaum muslimin kembali mengkaji, menelaah, mengamalkan, dan menjaga ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT. kita bergantung, semoga Allah memberi kita petunjuk untuk senantiasa berada dalam keridlaanNya.
174
173
keduanya selama kebolehan itu bersifat umum. Hal ini tidak tremasuk kategori berikhtilath atau disebut sebagai ikhtilath yang dibolehkan syara’. Berdasarkan hal inilah, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanitadalam kehidupan yang bersifat khusus mutlak diharamkan, baik pertemuan itu didapati ikhtilath (interaksi) ataupun tidak, kecuali hal-hal yang nash syara’ telah membolehkannya, baik berupa perbuatan mubah, wajib, atau sunnah, seperti halnya silaturahmi atau pertemuan antarkeluarga mahram. Adapun dalam kehidupan yang bersifat umum, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanita untuk melakukan suatu hal yang dibolehkan syara’ maka diperbolehkan, seperti dalam kegiatan perdagangan, pertanian, industri, serta sejenisnya. hal tersebut diperbolehkan sekalipun di dalamnya terjadi ikhtilath, yaitu berkumpulnya pria dan wanita dalam keadaan bercampur baur dan berinteraksi, karena dibolehkan dalam hal-hal semacam ini berarti dibolehkannya pertemuan pria dan wanita untuk tujuan tersebut atau disebabkan oleh hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya pertemua pria dan wanita. Oleh karena itu, dalil yang membolehkan aktivitas tersebut di atas merupakan dalil pula untuk membolehkan bercampurnya pria dan wanita. Adapun apabial terdapat suatu kegiatan yang diharamkan syara’, seperti judi atau sesuatu yang tidak mengahruskan adanya pertemuan pria dan wanita, seperti berjalan-jalan dan bermain-main, maka pertemuan itu adalah berdosa, baik terjadi interaksi diantara mereka atau tidak. Sebab pertemuan dalam kedaan tersebut berdosa berdasarkan dalil-dalil umum yang mengharamkan adanya pertemuan antara pria dan wanita. Dengan demikian terjadinya pertemuan merupakan dosa sebab tidak ada dalil yang mengecualikan dari ketentuan tersebut, seperti yang terjadi pada jual-beli. Jadi, semua bentuk pertemuan pria dan wanita adalah berdosa, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya pertemuan tersebut. Maka dalil tersebut tidak berlaku dalam kehidupan umum dan tidak berlaku dalam kehidupan khusus secara mutlak kecuali dalam keadaan tertentu yang menurut syara’ dibolehkan.
173
Ketentuan Pergaulan Laki-Laki dan Wanita Dalam Islam 1. Keharusan bagi pria dan wanita untuk menundukkan pandangan, kecuali dalam adanya tujuan meminang, proses belajar-mengajar, pengobatan, proses peradilan dalam rangka memberikan kesaksian, dll. 2. Keharusan bagi wanita untuk mengenakan busana muslimah, yaitu pakaian yang menutupi seluruh badannya kecuali muak dan telapak tangan, dengan model busana muslimah yang diperintahkan syara’. 3. Tidak dibolehkan bagi wanita bepergian sendirian tanpa mahram sejauh perjalanan sehari semalam. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali disertai mahramnya”. 4. Tidak dibolehkan untuk berkhalwat (bersepi-sepi), kecuali adanya mahram bagi wanita tersebut. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: “janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahram wanita itu” 5. Bagi seorang wanita yang sudah bersuami maka dilarang seorang isteri kelaur rumah tanpa seizin suaminya. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
berkumpul dengan wanita mahramnya. dengan demikian setiap orang yang termasuk di dalam nash, yang dibolehkan melakukan sesuatu selain memasuki rumah, maka mereka dibolehkan sebatas apa yang ditentukan nash. Sebab ini merupakan pengecualian berdasarkan nash. dan sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash maka tidak boleh melakukannya. Bertemunya pria dan wanita yang tidak ada hubungan mahram dalam kehidupan khusus secara mutlak diharamkan, sebab termasuk dalam nash yang melarangnya dan tidak terdapat nash yang mengecualikannya. Oleh sebab itu hukumnya haram. Jadi ikhtilath dalam kehidupan khusus diharamkan dan tidak dibolehkan kecuali terhadap orang-orang yang oleh syara’ dibolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu. dalam kehidupan khusus (rumah tangga) diharamkan berkumpul seorang pria dengan wanita berdasarkan dalil yang khusus, disamping yang umum yang menjelaskan terpisahnya kehidupan pria dan wanita. Adapun kehidupan masyarakat yang bersifat umum berdasarkan dalil-dalil yang umum jelas tidak membolehkan bertemunya pria dan wanita, malahan masingmasing harus terpisah. Namun demikian, syara’ telah menjelaskan hukum yang khusus menyangkut masing-masing urusan pria dan wanita, di samping hukum yang menyangkut keduanya. Syara’ telah membolehkan dalam masalah interaksi, sperti hubungan bisni/ekonomi, muamalah, dll, baik dari wanita maupun pria tanpa adanya perbedaan seperti halnya syara’ telah membolehkan bagi keduanya melakukan aktivitas jual-beli, sewa menyewa, wakalah (pemberian kuasa), hibah, syuf’ah/prioritas membeli, wakaf, syirkah, wasiat, dan hiwalah/pengaliahn piutang; masing-masing dibolehkan untuk memiliki apa yang diinginkannya, serta mengembangkan miliknya, menuntut ilmu, ketreampilan dalam industri, termasuk mengajar. Syara’ juga telah mewajibkan jihad bagi laki-laki dan membolehkannya untuk wanita, mewajibkan shalat Jum’at bagi laki-laki dan membolehkannya bagi wanita, sunah shalat berjamaah bagi laki-laki dan membolehkannya bagi wanita, mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah dan mubah bagi wanita, mewajibkan haji bagi laki-laki sementara wajibnya atas wanita terikat dengan syarat adanya mahram atau sekelompok wanita. Syara’ melarang wanita menjadi penguasa (khalifah, muawin, dll) dan membolehkannya bagi laki-laki. Syara’ mewajibkan wanita berjilbab dan laki-laki tidak. Syara’ menetapkan aurat laki-laki tidak sama dengan aurat wanita. Syara’ tidak membolehkan kesaksian wanita dalam urusan jinayat (pidana) dan mebolehkannya dalam perkara huquq dengan ketentuan kesaksian dua wanita sebanding dengan satu laki-laki. Syara membolehkan baik laki-laki maupun wanita, masing-masing untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan, berbicara, mengucapkan selamat, bermain, berlari, dan segala sesuatu yang termasuk hal-hal umum yang menyangkut pria dan wanita. Hukum-hukum yang disebutkan di atas, pada kenyataannya diperuntukkan bagi kehidupan bersifat umum. Apabila tidak dapat dihindari bertemunya pria dan wanita, seperti dalam bisni dan muamalah lainnya maka dia dibolehkan bertemu dengan laki-laki untuk tujuan tersebut. Sebab dengan dibolehkannya jual-beli dan muamalah lainnya itu berarti dibolehkan juga untuk berkumpul, karena dalil tentang kebolehan (jual beli dan muamalah lainnya itu) mencakup pertemuan
172
171
belum diperoleh nash syara’ yang mengkhususkan maka tidak dibenarkan adanya pengecualian dari dalil yang bersifat umum, yaitu yang melarangnya. Syara’ telah menetapkan kebolehan memasuki rumah di samping menetapkan kebolehan makan (di rumah) orang-orang tertentu, juga menjelaskan kebolehan kunjungan silaturahmi, kebolehan melihat aurat wanita muhrim (dalam bats tertentu), berbicara dengan mereka, dll.nya yang termasuk dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh nash tentang kehidupan yang bersifat khusus. Atas dasar inilah (yang sudah ditetapkan syara’ tentang kebolehannya) dibolehkan beberapa hal dalam kehidupan khusus, yang berarti dikecualikan dari larangan memasuki rumah sehingga termasuk pada bagian nash yang membolehkan. hal-hal yang tidak disebutkan oleh nash syara’ tidak dikecualikan dari larangan. diizinkan masuk berarti dibolehkan untuk masuk. Adapun kebolehan masuk ini bukan disebabkan oleh adanya izin akan tetapi karena syara’ telah menentukan atas kebolehannya, tidak termasuk hal-hal yang menyangkut keperluan untuk memasuki rumah, karena syara’ telah membolehkan masuk rumah dengan izin, dan tidak membolehkan selain dari itu. Maka kebolehan tersebut khusus untuk memasuki rumah sebab larangan tersebut mengharuskan adanya keumuman nash, akan tetapi adanya izin untuk memasuki rumah itu tidak mencakup dibolehkannya makan dan minum, sebab dalil yang melarang bersifat umum. Adapun dalil tentang dibolehkannya memasuki rumah bersifat khusus terbatas hanya boleh memasuki rumah karena terdapat nash tentang hal tersebut yang ada (boleh masuk rumah) tidak mencakup hal yang lain. Sehingga dalaltul iltizam tidak berlaku di sini. Demikian pula syara’ telah menetapkan dibolehkannya makan, minum bagi orang-orang tertentu sesuai dengan firman Allas swt.: “...Dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang lakilaki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu memiliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagimu makan bersama-sama mereka atau sendirian” (QS.An Nuur:61).
171
Nash ini berlaku bagi mereka setelah adanya izin memasuki rumah untuk makan, minum. Berarti nash ini adalah pengecualian bagi mereka untuk memasuki rumah. Sedangkan izin untuk makan, kepada mereka dibolehkan pula untuk berkumpul (ijtima’) dalam jamuan makan. jadi khusus menyangkut jamuan makan dan hanya menyangkut jamuan maka; hanya berlaku bagi mereka saja tidak termasuk orang lain. Hal ini ditinjau dari segi dalalahnya. Demikian pula perintah syara’ untuk bersilaturahmi, perintah tersebut menunjukkan kebolehan berkumpul dengan wanita-wanita yang masih ada hubungan famili (uli arham), apabila mereka datang untuk bersilaturahmi, sekalipun mereka yang datang itu paman atau kemenakan dll, selama mereka termasuk orangorang yang diperintahkan bersilaturahmi. Begitu pula syara’ telah membolehkan para kerabat melihat aurat mahramnya, dibolehkan pula bagi wanita mahram menampakkan sebagian auratnya terhadap sesama mahramnya. hal ini menunjukkan dibolehkan berkumpul dengan mereka dalam kehidupan rumah tangga (khusus). Jadi, mereka setelah mendapat izin untuk masuk dibolehkan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
“(dan) tanyalah (penduduk) kampung/negeri itu....” (QS. Yusus:82). Kalimat “Tanyalah kampung negeri itu” yang dimaksudkan adalah penduduknya. demikian pula lafadz rumah di dalam dalil tersebut, maksudnya adalah penghuni rumah dan keadaan kehidupan dalam rumah itu (kehidupan khusus). Katakata buyut (rumah) dalam berbagai ayat-ayat Al-Qur’an Al-Karimseperti dalam: “...Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu...” (QS.An Nuur:27). “...Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah...” (QS.An Nisaa:15). “...Di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu...” (QS.An Nuur:61). Lafadz rumah (buyut) dalam ayat-ayat tersebut di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya kehidupan khusus. dengan demikian kaum muslimiin memiliki kehidupan khsusus sesuai dengan nash-nash yang ada. Kehidupan khusus ini mempunyai indikasi yang menunjukkan perbedaan kehidupan tersebut dengan kehidupan lainnya yang mempunyai hukum-hukum yang khusus pula. Adapun indikasi itu adalah perintah untuk meminta izin ketika hendak memasuki rumah kepada orang yang berwenang untuk memberi izin (penghuni rumah), sebgaimana firman Allah SWT.: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu...”(QS.An Nuur:27). Ayat tersebut di atas berarti melarang memasuki rumah dan juga melarang secara umum terhadap semua hal yang berkaitan dengan larangan masuk tersebut, berdasarkan dalalatul iltizam. Kasus larangan memasuki rumah mengharuskan larangan terhadap seluruh hal yang berkaitan dengannya, seperti makan, minum, berbicara, memberikan pelajaran, dll yang memerlukan izin masuk ke dalamnya. Maka selama adanya larangan masuk ke dalam rumah selama itu pula terdapat larangan serupa yang berkaitan dengan larangan masuk, sebab: “Larangan terhadap sesuatu mengharuskan adanya larangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengannya” Jadi, berdasarkan dalalatul iltizam/mafhum muwafaqah telah ditetapkan bahwa hukum kehidupan khusus adalah tahrim (terlarang) terhadap segala sesuatu, termasuk larangan memasukinya dan segala perkara yang berkaitan dengannya. Jadi firman Allah SWT: “...Janganlah kamu memasuki rumah...” memiliki makna pula: Janganlah kamu bercakap-cakap dengan penghuninya, janganlah kamu makanminum, dan janganlah kamu melakukan sesuatu apapun yang berkaitan dengan larangan masuk ke dalam rumah. Karena larangan masuk berarti larangan terhadap semua hal yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu, agar dibolehkan memasuki (suatu rumah) dan semua hal yang berkaitan dengannya diperlukan adanya nash syara’ yang membolehkan masuk serta yang berkaitan dengannya. karena dalil pelarangannya bersifat umum, sedangkan keumuman dalil tetap berlaku selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Oleh sebab itu, harus diperoleh nash syara’ yang membolehkannya sehingga terlepas dari keumuman dalil. dan selama 170
169
169
sesuai maka tidak ada ketetapan hukum di sana. Adapun berkumpulnya pria dan wanita, maka dalil-dalai syar’iy yang menyangkut hubungan pria dan wanita berdasarkan dalalatul iltizam (makna yang ditunjukkan lafadz/mafhum muwafaqah) adanya larangan secara umum. Antara lain diharamkan bagi pria untuk melihat aurat wanita yang bukan mahramnya, sekalipun hanya rambutnya. Larangan tersebut bersifat mutlak, baik diiringi dengan syahwat atau tidak. Demikian pula bagi wanita untuk membuka auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, walaupun yang terbuka itu sebatas leher. Larangan ini bersifat umum, baik dilihat pria ataupun tidak. Hukum syara’ rtelah mewajibkan pula kepada pria dan wanita untuk menahan pandangannya dan diharamkan pula bagi wanita untuk melakukan perjalanan seorang diri tanpa mahramnya sekalipun untuk melakukan ibadah haji. Syara’ menetapkan bahwa setiap wanita dalam shalat dimasjid berada di belakang shaf pria dan terpisah. Tetapi dalam pengajian, Rasulullah SAW. telah memenuhi permintaan kaum wanita, karena permohonan wanita: “Kami telah dikalahkan kaum pria, maka berikanlah (pengajian khusus) untuk kami pada suatu hari”. Hadits ini menjelaskan bahwa ketika kaum pria dan wanita sedang bersama-sama mendengar pengajian Rasulullah SAW., kaum wanita tidak dapat mendengar (dengan baik) karena terhalang pria yang berada di shaf depan sehingga kaum wanita meminta kepada Rasulullah SAW. agar memberikan pengajian (khusus bagi mereka) pada suatu hari. Hukum syara’ juga tidak membolehkan kesaksian wanita dalam perkara pidana (jinayat). Dalil tentang hukum-hukum tersebut di atas menunjukkan bahwa berdasarkan dalalatu al iltizam agar kaum wanita dipisahkan dari kehidupan pria. Kaum pria tidak dibolehkan bergaul (dengan cara berkumpul) dengan kaum wanita. Di samping itu bentuk kehidupan kaum muslimin di masa Rasulullah saw. terpisah antara pria dan wanita. Pemisahan ini memiliki adanya larangan berkumpulnya lakilaki dan wanita.. Jadi dalil umum hukum syara’ yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan wanita menunjukkan secara pasti dan tidak samar tentang pemisahan pria dan wanita. karena dalil-dalil tersebut datang dalam bentuk qath’iy tsubut dan dalalahnya, baik dari Al Qur-an maupun hadits mutawatir. sehingga pemisahan antara pria dan wanita bagi kaum muslimin merupakan hal yang telah diketahui sebagai ma’lumun minad diini bidharurah (diketahui dengan sendirinya sebagai suatu urusan agama yang penting dan bermakna wajib) karena kuatnya dalil-dalil tersebut tidak memerlukan komentar lagi. Sesungguhnya syara’ telah menetapkan bagi kaum muslimin adanya kehidupan khusus dan umum (bermasyarakat). Adanya kehidupan khusus, syara’ telah menunjukkan dalil-dalil tertentu yang menunjukkan adanya ketentuan berkehidupan seperti ini serta dalil-dalil yang berkaitan dengannya. Adapun dalildalil yang menunjukkan adanya kehidupan khusus adalah bahwa lingkungan rumah tangga telah dijadikan sebagai kehidupan khusus. Syara’ telah mengharuskan meminta izin ketika seseorang hendak memasuki rumah yang bukan miliknya. hal ini membuktikan adanya kehidupan khusus. Berkaitan dengan hal itu, dalil-dalil yang menyebutkan lafadz buyut (rumah-rumah) merupakan petunjuk dan bukti adanya kehidupan khusus tersebut. Adapun yang dimaksud dengan rumah adalah penghuni dan keadaan rumah tangga, dan bukan bangunan atau gedungnya. Allah SWT. berfirman: . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
ijarah/pengupahan, kafalah/ tanggungan, jaminan, halawah/pelimpahan pembayaran hutang, al rahn/pergadaian, Al shulhu/aqad damai, ‘ariyah/pinjammeminjam)dllnya. Islam juga akan menjatuhkan hukuman dan sanksi kepada keduanya atas tindakan pelanggaran mereka terhadap hukum Allah SWT., tanpa membedakan jenis keduanya. Perhatikan firman Allah SWT. dalam QS. 24:2, 5:33, 38, 2:178, dll. Jadi, manusialah yang dijadikan Allah sebagai sasaran keharusan mengamalkan syariat, tidak hanya laki-laki saja, atau wanita saja, tetapi keduanya. Allah SWT. akan meminta pertanggung jawaban manusia dan Allahlah yang berwenang menentukan manusia apakah berada dalam surga ataukah neraka. Perbedaan Pria dan Wanita Dalam Islam Apabila hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban syara’ menyangkut tabiat wanita selaku wanita, baik kedudukan, fungsi, ataupun posisi wanita dalam masyarakat; atau menyangkut tabiat pria selaku pria tentang kedudukan, fungsi, dan posisinya dalam masyarakat maka dalam hal ini hak dan kewajiban , serta pertanggungjawaban syara’ akan berbeda antara keduanya. Permasalahannya disini tidak menyangkut penanganan atas manusia secara umum, melainkan terhadap jenis manusia yang memiliki tabiat dan sifat kemanusiaan yang berbeda satu sama lain. Sehingga penanganannya pun harus dikhususkan untuk setiap jenis manusia dan tidak dapat digeneralisasikan sebagai sesama manusia. Oleh sebab itu, kesaksian wanita atas kasus yang terjadi di tengah kelompok pria dalam masyarakat, baru akan sama dengan derajat kesaksian seorang pria apabila kesaksian tersebut diberikan atas dua orang wanita. Misalnya kesaksian waniat terhadap hak-hak dan muamalah (lihat QS.2:282). Demikian pula kesaksian dalam piutang (al dain, jual beli, kredit/al qardl, pegadaian, merebut milik orang lain/ghasab, dll. Sedangkan untuk kasus khusus yang terjadi di kalangan wanita (tindak kriminal di lingkungan wanita), yang ditempat itu tidak terdapat laki-laki, maka kesaksian dari wanita yang ada di situ harus diterima. Walaupun sebenarnya kesaksian atas masalah ketentuan hukum (hudud) dan tindakan kriminal (jinayat) tidak dapat diterima. Akan tetapi haram hukumnya untuk menyembunyikan kesaksian dalam masalah apapun (perhatikan Qs.2:183). Ijtima’ dan Ikhtilath Pria dan Wanita Dalam Islam Ikhtilath (percampuran) adalah berkumpulnya pria dan wanita dalam keadaan tercampur-baur dan terjadinya interaksi diantara mereka, seperti makanminum bersama-sama. Dengan demikian, terdapat dua unsur di dalamnya, yaitu ijtima (berkumpul) dan ‘alaqat (interaksi). Berkumpul saja tidak dapat dinamakan ikhtilath, sehingga seorang wanita yang berada di smaping seorang laki-laki di kendaraan umum (bis kota, angkot, pesawat, KA, dll) tidak dinamakan ikhtilath. Berinterasi saja tanpa terjadinya ijtima’ (berkumpul) tidak dinamakan ikhtilath, misalberbicara lewat telepon. Oleh sebab itu untuk dinamakan ikhtilath haruslah terjadinya ijtima’ (berkumpul) pria dan wanita, yang di dalamnya terjadi pula interaksi (bercampur baur). Inilah kenyataan mengenai ikhtilath. Hukum syara’ yang berhubungan dengan ikhtilath wajib diterapkan sesuai dengan kenyataan ini. Apabila kenyataan ini sesuai dengan hukum syara’, maka ia menjadi hukum yang telah ditetatpkan dan bila tidak 168
167
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari keorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya semuali-mulianya kalian di sisi Allah SWT. adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti” (QS.Al Hujurat:13). Allah SWT. telah mempersiapkan keduanya untuk berperan dalam kancah kehidupan sebagai insan dan menjadikan keduanya hidup berdampingan secara pasti dalam satu masyarakat, sebagaimana firmanNya: “...Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan...” (QS. An Nisaa’:32). Allah SWT. telah menjadikan kelestarian komunitas manusia tergantung pada perpaduan dan keberadaan pria dan wanita dalam setiap masa dan generasi suatu masyarakat, sebagaimana firmanNya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (QS.Nisaa’:1). Oleh karena itu, tidak dibenarkan dalam Islam jika hanya memperhatikan salah satu di antara keduanya, karena keduanya adalah manusia yang dilengkapi dengan segala kekhususan sebagai manusia serta sendi-sendi kehidupan yang sama. Allah SWT. telah menciptakan apada setiap pria dan wanita potensi kehidupan (hajatun ‘udlawiyah dan gharizah). Di samping itu, Allah SWT. telah menciptakan pula bagi keduanya kekuatan berfikir dengan kadar yang sama, karena Allah menciptakan akal adalah untuk manusia, yaitu pria dan wanita. Demikian pula Al Islam telah mendudukan akal sebagai tempat bergantung bagi pengamalan syariatNya (manathut taklif), maka apa yang dibebani untuk mengamalkan-nya adalah manusia. Firman Allah SWT.: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al Qiyamah:36). Atas dasar tersebut, maka pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban, serta tanggung jawab bersama. ketika hak dan kewajiban itu bersifat manusiawi (insaniyah) maka akan dijumpai adanya persamaan hak dan kewajiban, persamaan dalam memikul tanggung jawab sehingga keduanya sama-sama sepenanggungan. Bertolak dari hal ini, Islam tidak membedakan pria dan wanita dalam mengajak manusia kepada keimanan dan menjalankan syariatNya. Allah SWT. berfirman: 167
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia...” (QS. Saba:28). Dengan demikian jelaslah bahwa Islam telah mempersamakan keduanya dalam berbagai kewajiban ibadah, dakwah, tata hukum muamalah (Al bai’/jual-beli, . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
mendapat laporan yang sangat mencengangkan, yaitu 95 % masyarakat AS berkelakuan tidak senonoh. Dr. Annie Besant, seorang sosiolog terkemuka Barat berkomentar pesimis tentang nasib wanita, “Di Barat ribuan wanita memenuhi jalan setiap malamnya”. (bandingkan dengan kehormatan wanita yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam, antara lain ketika seorang muslimah di kota Amuria, yaitu wilayah antara Irak Utara dan Syam, dinodai oleh seorang pembesar Romawi, maka Khalifah Mu’tashim, pemimpin Islam saat itu, kontan mengerahkan tentaranya untuk membalas pelecehan tersebut. Bukan saja si Pejabat yang digempur, tetapi juga kerajaan Romawi. Banyaknya bala tentara yang dikirim pada saat itu, dalam sebuah riwayat disebutkan, ”kepala” pasukan beradaAmmuriah sedangkan ekornya berada di Baghdad. Dan untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara musuh tewas dan 30.000 lainnya berhasil ditawan. Subhanallah). Selain itu, akibat rusaknya pemikiran masyarakat Barat ini dalam memenuhi naluri seksualitasnya, yaitu menyebarnya wabah AIDS. Berdasarkan data statistik WHO tahun 1991 saja terdapat 1,2 juta masyarakat dunia dilanda AIDS dan 12 juta dinyatakan sero-positif, dan 1juta diantaranya adalah bayi yang tidak berdosa. Pada tahun 1992 naik lagi menjadi 10 juta, dan lagi-lagi Amerika menempati peringkat teratas, yaitu sekitar 2 juta, 1,3 Afrika, dan 1 juta Asia. Demikianlah kondisi dimana pemikiran manusia sangat jauh tersesat dalam memandang hubungan pria dan wanita. Hal ini tentu saja akan berbeda dengan pandangan Islam baik prinsip maupun rinciannya. Lalu bagaimanakah Islam memandang kedudukan pria dan wanita dalam kehidupan ini? serta bagaimanakah pandangan Islam tentang hubungan antara keduanya? Pria dan Wanita Dalam Islam Islam merupakan sistem hidup yang khas bagi manusia dan pasti sesuai dengan fitrah manusia. Islam sebagai suatu pola dan sistem hidup memiliki perbedaan yang besar, mendasar, dan bertentangan dengan sistem dan pola hidup lainnya (Kapitalisme/sekularisme, sosialisme-komunisme, atau agama lainnya). Berkaitan dengan hal itulah maka Islam telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk hidup berada di bawah naungan aturan yang terdapat di dalam Islam. Dan sebagai konsekuensi logis dari keimanan seorang muslim dituntut untuk menjadikan hanya Islam sebagai satu-satunya miqyas Al A’mal (standar perbuatan), asasul hayah (landasan kehidupan), dan qaidah wa qiyadah fikriyah (acuan berfikirnya) di dalam kehidupan. Sebab Islam tidak hanya menyangkut tentang masalah keyakinan dan peribadahan belaka, melainkan juga memberikan aturan hukum dalam mengatur kehidupan manusia, baik individu, keluarga, dan masyarakat, serta memberikan juga pemecahan/solusi terhadap setiap problematika kehidupan manusia. Dalam pandangan Islam, Allah SWT. menciptakan manusia terdiri dari pria dan wanita dengan fitrah yang khas dan berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia, demikian pula pria. satu dengan lainnya dari sisi kemanusiaannya adalah sama. Begitu pula dari sisi ini, satu sama lainnya tidak memiliki kelebihan sebagaimana firman Allah SWT.:
166
165
ATURAN PERGAULAN PRIA & WANITA DALAM ISLAM
165
Banyak bangsa di dunia, selama berabad-abad telah meragukan kedudukan wanita sebagai manusia. Bahkan bangsa Romawi yang dikenal sebgaai bangsa maju pada zamannya, aktif mengadakan seminar-seminar untuk membahas tabiat dan karakter wanita, apakah ia tergolong suatu benda ataukah sejenis manusia? Apakah wanita itu hanya sebagai materi kesenangan atau ia tergolong makhluk hidup yang memiliki watak dan sifat manusiawi? Seminar-seminar semodel itu terus berlanjut, mendiskusikan tabiat dan karakter wanita sampai berabad-abad setelah munculnya Islam. Di Roma diadakan seminar-seminar gereja pada abad pertengahan untuk membahas hakikat wanita yang sebenarnya. Apakah nyawa wanita itu seperti nyawa pria? Ataukah ia memiliki nyawa seperti binatang? Pada akhirnya seminar-seminar itu berkesimpulan bahwa wanita tidak memiliki nyawa. R.H. Lauer dalam bukunya Social problems and the Quality of Life (IOWA: Wm.C Brown, 1978:360) menyatakan bahwa Aristoteles menyebut wanita sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan perkembangan tingkat bawah. Kemudian dalam Rig Weda:10, 95, 15 dinyatakan “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada kenyataannya hati wanita adalah sarang serigala”. Tidak begitu berbeda jauh dengan para pendahulunya, pada saat ini pun akibat pengaruh pemikiran Kapitalisme-sekularisme dan Sosialisme-komunisme banyak bangsa yang merendahkan posisi dan martabat wanita. Di samping itu, hubungan yang terjadi di antara wanita dan pria selalu mengarah pada hubungan jinsiyah (hubungan yang hanya memandang kepada kelelakian dan kewanitaan semata, hubungan yang mengarah pada aspek seksualitas) sebagaimana ajaran Sigmund Freud yang mengatakan bahwa karakter potensi seksual manusia adalah sebagaimana karakter kebutuhan jasmaniyah, artinya jika tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan pada kegelisahan dan kematian. Sehingga tidak heran jika dalam masyarakat Barat dan masyarakat yang sepemikiran dengan Barat, hal-hal yang mendukung untuk mengarah pada hubungan jinsiyah antara wanita dan pria dibudidayakan serta wajib ada. Dengan hal itu, faktor-faktor yang dapat membangkitkan gharizah na’u (naluri seksualitas manusia), yaitu fakta fisik dan pemikiran-pemikiran yang mengadung makna jinsiyah (ke arah seksualitas) tidak pernah lepas dari aktivitas sehari-hari kehidupan masyarakatnya. Akibatnya, tidak heran dari mulai cara berpakaian, isi novel, iklan, tempat-tempat hiburan sampai film (anak-anak atau dewasa) selalu mengarah pada ekspose hubungan ini. Dampak bagi masyarakat model ini adalah tingkat kasus kejahatan seksual sangat tinggi, contohnya Barat. Amerika memiliki kasus perkosaan sampai memasuki 114 orang per 100.000 penduduk setiap tahun (United Nations Development Programme, Human development Report 1991:176, New York: Oxford University Press), 21 % wanita Amerika pernah diperkosa sejak usia 14 tahun. Melihat laporan-laporan tahun terakdir, disimpulkan bahwa pemerkosaan terjadi 10 kali lipat dari data yang masuk. Sementara itu, Dr. Kinsey, seorang peneliti masalah sosial Amerika Serikat, . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
individual yang tidak ada kaitannya dengan masyarakat dan hanya terbatas pada lingkungan gereja dan para rohaniman. Oleh sebab itu dalam peradaban Barat tidak terdapat nilai-nilai moral, ruhani, dan kemanusiaan, sebab yang ada adalah nilainilai materi dan kemanfaatan semata. Atas dasar inilah, segala aktivitas kemanusiaan diambil alih oleh organisasiorganisasi yang berdiri sendiri di luar pemerintahan, seperti organisasi Palang Merah dan misi zending. Seluruh nilai telah tercabut dari kehidupan kecuali materi semata, yaitu memperoleh keuntungan. Jadi jelaslah bahwa peradaban Barat sebenarnya merupakan himpunan konsepsi (pemahaman) tentang kehidupan. Islam sebagai suatu hadlarah ditegakkan atas dasar aqidah, dimana pandangan terhadap kehidupan berbeda dengan Barat. Begitu pula arti suatu kebahagiaan dan memperoleh kebahagiaan sangat berlawanan dengan peradaban Barat. Peradaban Islam ditegakkan atas landasan keimanan kepada Allah dan bahwasanya Dia telah menciptakan alam semesta, kehidupan dan manusia memiliki suatu aturan yang konstan dan pasti bersesuaian dengan fitrahnya. Kemudian Dia mengutus Rasulullah Muhammad saw. dengan membawa agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Dengan penyataan yang lain, Peradaban Islam ditegakkan atas aqidah ruhiyah dan aqidah siyasiyah. Aqidah ruhiyah merupakan keyakinan bahwa manusia senantiasa memiliki hubungan dengan Allah SWT sebagai Rabb yang disembah oleh manusia, sedangakan aqidah siyasiyah bahwa Islam memiliki konsepsi yang berkaitan dengan penataan kehidupan manusia dalam masyarakat dan memberikan pemecahan atau solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Kehidupan dalam pandangan Islam merupakan gabungan ruh dan materi atau dengan perkataan lain mengarahkan semua perbuatan manusia agar berjalan sesuai dengan perintah Allah dan laranganNya. Landasan inilah yang menjadi dasar pandangan Islam tentang kehidupan. Sebab pada hakekatnya setiap amal perbuatan manusia adalah materi (bersinggungan dengan aspek material), sedangkan kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah pada saat ia melakukan perbuatan tersebut (dilihat dari sisi halal dan haramnya perbuatan) merupakan ruh. dengan demikian terjadilah penggabungan materi dengan ruh. Atas dasar inilah maka jalur perbuatan seorang muslim adalah perintah Allah dan menjahui laranganNya. Sedangkan tujuan amal perbuatan agar berjalan sesuai dengan jalur perintah dan larangan Allah adalah menggapai keridlaan Allah SWT dan sama sekali bukan asas manfaat. Sebagai suatu contoh: perbuatan berdagang (perdagangan) merupakan perbuatan yang bersifat materi (berkaitan dengan materi), sedangkan mengendalikan perbuatan perdagangannya adalah kesadarannya akan hubungan dirinya denagn Allah SWT., sesuai dengan perintah dan laranganNya, karena mengharap ridla Allah SWT. adapun nilai yang ingin diperoleh dari aktivitas dagangnya tersebut adalah keuntungan (material) yang merupakan nilai materi.
164
163
163
Islam, Hadlarah (Peradaban), Madaniyah (Budaya) Terdapat perbedaan pengertian hadlarah (peradaban) dan madaniyah (kebudayaan). Hadlarah merupakan sekumpulan konsepsi (cara pandang tertentu) tentang kehidupan, sedangkan madaniyah merupakan bentuk-bentuk fisik (bendabenda) yang terindera yang digunakan dalam mempermudah dalam menjalani kehidupan. Berkaitan dengan hal tersebut maka hadlarah memiliki sifat yang khas (bagi suatu masyarakat) sesuai dengan cara pandang bangsa atau masyarakat tersebut tentang kehidupannya. Hal ini berlaku bagi seluruh kehidupan manusia. Adapun bentuk-bentuk madaniyah adakalanya sangat dipengaruhi oleh hadlarah (cara pandang tentang kehidupan), seperti patung, lukisan wanita telanjang, salib, dll. dan hal ini merupakan bentuk madaniyah yang bersifat khas. Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan oleh sains dan perkembangan teknologi (industri) maka hal tersebut merupakan madaniyah yang bersifat umum dan dapat dimiliki seluruh umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini tidak dimiliki secara khusus oleh suatu masyarakat atau bangsa tertentu, tetapi bersifat universal, seperti halnya sains dan teknologi. Perbedaan yang terdapat antara hadlarah dan madaniyah ini harus senantiasa diperhatikan dengan seksama, begitu pula terhadap bentuk-bentuk madaniyah yang dipengaruhi oleh cara pandang hidup tertentu yang dihasilkan oleh sains dan teknologi atau industri. Hal ini menjadi penting pada saat kita melakukan transfer madaniyah sehingga kita dapat membedakan antara yang umum dan khusus. Jadi bentuk-bentuk madaniyah Barat yang lahir dari sain dan teknologi atau industri terdapat kebolehan bagi umat Islam untuk mentrsnfernya ke dalam kehidupan umat Islam, akan tetapi bentuk madaniyah Barat yang dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat Barat tentang kehidupan maka hal itu terlarang bagi kita untuk mengambilnya sebab bertentangan dengan aqidah Islam dan aturan-aturannya. Pertentangan ini terjadi dapat ditinjau dari sisi asas dan pandangannya tentang kehidupan maupun tentang arti kebahagiaan hidup bagi manusia. Hadlarah Barat ditegakkan atas dasar pemisahan agama dari kehidupan dan pengingkaran terhadap peranan agama dalam pengaturan kehidupan. Hal inilah yang menjadikan bahwa peradaban Barat merupakan peradaban sekuler, yaitu pemisahan agama dari urusan negara dan masyarakat. Atas dasar landasan inilah seluruh sendi-sendi kehidupan dan aturan yang terdapat di dalam kehidupannya ditegakkan. Konsepsi kehidupan menurut Barat adalah asas manfaat atau maslahat sematamata, sebab manfaat inilah yang menjadi ukuran bagi setiap perbuatan mereka. Oleh sebab itu, asas manfaat merupakan dasar tegaknya sistem dan peradaban Barat. Dari sinilah asas manfaat menjadi paham yang menonjol dalam sisitem dan peradaban tersebut. Kehidupan menurut Barat hanya digambarkan dalam kerangka manfaat semata. Adapun kebahagiaan diartikan sebagai usaha untuk mendapatkan sebanyak mungkin kenikmatan jasmani dan tersedianya seluruh sarana kenikmatan tersebut. Dengan demikian, peradaban Barat ditegakkan atas dasar asas manfaat semata sehingga tidak ada nilai lain kecuali hal itu. Barat tidak mengakui apapun juga selain manfaat yang juga mereka jadikan sebagai ukuran dalam setiap perbuatannya. Adapun aspek keruhanian dipandang sebgaai urusan yang bersifat . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
peradaban umat manusia pada umumnya. Pada saat itu, berbagai cabang sain dan teknologi lahir. Sain dan teknologi yang dasar-dasarnya telah diletakkan peradaban-peradaban sebelum Islam mampu digali, dijaga, dan dikembangkandijabarkan secara luar biasa oleh kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dan landasan kemajuan teknologi Barat setelah mengalami masa renaissance. Dapat kita katakan bahwa kebangkitan Eropa yang memicu proses industrialisasi besar-besaran di Eropa dan Amerika itu tidak akan terjadi jika mereka tidak belajar di dunia Islam. Perang salib yang terjadi hampir dua abad antara kaum muslimin dan Eropa yang Nasrani telah membuka bangsa Eropa terhadap kemajuan sain dan tekonologi yang dimiliki kaum muslimin. Mereka sempat merampas buku-buku dan berbagai manuskrip kuna yang merekam perkembangan sain dan teknologi yang tersimpan di perpustakaanperpustakaan milik kaum muslimin, meskipun sebagian besar mereka bakar. Untuk mengetahui betapa hebatnya kemajuan sain dan teknologi yang pernah dicapai kaum muslimin pada masa pemerintahan kekahlifahan Islam di masa lalu, perjalanan sejarah kali ini akan menguak beberapa cabang sain dan teknologi tersebut. Perhatikan hal berikut: Ilmu Astronomi. Khalifah Al Manshur dari kekhalifahan Abbassiyah pernah memerintahkan Al farabiy (796-806 M) untuk menerjemahkan buku tentang astronomi yang berasal dari India yang berjudul Sidhanta. Ia kemudia dikenal sebagai astronom pertama di dalam sejarah Islam. Sepeninggal Al Farabi, direktur yang membidangi ilmu astronomi adalah Al Khawarizmi. Ia berhasil merumuskan perjalan matahari dan bumi serta menyusun jadwal terbitnya bintang-bintang teretntu. Pada masa pemerintahan Al Makmun, Al Khawarizmi berhasil menemukan kenyataaan tentang miringnya zodiak (rasi/letak) bintang. Ia berhasil pula memecahkan perhitungan yang sulit yang disebut dengan persamaan pangkat tiga (a qubic equation) yang oleh Archimides pernah disinggung tetapi tidak berhasil dipecahkan. Penemuannya yang paling masyhur dan tetap digunakan dalam berbagai cabang ilmu adalah angka nol serta berhasil disusunnya perhitungan desimal. Perlu diketahui bahwa bangsa Romawi maupun peradaban lain sbeelum Islam, penjumlahan dan pengurangan bahkan lambang bilangan/angka belum mnegnal angka nol. Pakar-pakar astronomi yang pernah hidup pada masa itu antara lain Ahmad Nihawand, Habsi ibn Hasib (831 M), Yahya bin Abi Manshur (870-970 M), An Nayruzi (922 M) pengulas buku Euclides dan penulis beberapa buku tentang instrumen untuk mengukur jarak di udara dan laut, Al Majriti (1029-1087 M) yang dikenal lewat bukunya Ta‘dil Al Kawakib, Az Zarqali (1029-1089 M) yang diBarat dikenal dengan nama Arzachel, Nasiruddin At Tusi (1274) yang membangun observatorium di kota Maragha atas perintah Hulaghu. AzZarqali berhasil membeberkan kepada dunia cara menentukan waktu dengan mengukut tinggi matahari. Ia adalah orang pertama yang membuktikan gerak apogee matahari dibandingkan dengan kedudukan bintang. Menurut perhitungannya, gerak itu sebesar 12,04 derajat. Coba bandingkan akurasinya dengan nilai sebenarnya yang diperoleh saat ini, yaitu 11, 8 derajat.
162
161
Berkenaan dengan inipun Rasulullah bersabda: ” Tuntutlah ilmu walaupun sampi ke negeri Cina“ (Al Hadits) 4. Menanamkan keimanan (aqidah) haruslah dibangun berdasarkan akal dan ilmu. Allah berfirman: ”janganlah
engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya“ (QS. Al Isra‘: 36). Di samping itu, Allah mencela orang-orang yang mengikuti prasangka, sebagaimana firmanNya:
”Sesungguhnya
Najm: 28).
persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran“ (QS. An
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Katakanlah, Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian merupakan orang-orang yang benar“ (QS. Al Baqarah: 111). ”
Bahkan Allah mencela orang yang bersikap taqlid buta, sebagaimana firmanNya:
Apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, kami dapati nenek moyang kami mengerjakan demikian“ (QS. Al A‘raaf: 28).
”
5. Sejak awal berdirinya masyarakat Islam di Madinah Al Munawwarah, Rasulullah yang berfungsi sebagai kepala negara pada saat itu sangat memperhatikan aspek ilmu dan pendidikan. Rasulullah SAW. memberikan syarat kepada para tawanan perang yang tidak sanggup membayar tebusan, agar masing-masing dari mereka mengajarkan membaca dan menulis kepada 10 anak-anak kaum muslimin sebagai ganti dari pembebasan mereka setelah Perang Badar. Pada contoh lain, Umar bin Khatthab pada masa pemerintahannya telah menunjuk beberapa petugas negara untuk memeriksa pejalan kaki orang-orang yang belum mengikuti proses pembelajaran, maka orang tersebut dibawa ke kuttab untuk dididik. Perhatian kekhalifahan Islam ternyata begitu tinggi terhadap ilmu dan pendidikan, sehingga banyak didirikan sekolah, universitas, dan perpustakaan. Dalam kondisi ini pula proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia, Hindia ke dalam bahasa Arab dilakukan dengan pesat.
161
6. Dalam aspek ilmu eksperimental, seperti matematika, kimia, astronomi, dan kedokteran ternya umat Islam mengelami kemajuan yangs angat pesat sehingga mengungguli umat lain pada masanya. Mereka menjadi penemu ilmu-ilmu tersebut. Para ilmuan Barat banyak yang belajar ilmu ke dunia Islam karena dunia Islam telah menjadi pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Menelusuri peradaban umat Islam sama artinya dengan membuka kembali lembaranlembaran sejarah yang menggambarkan kemajuan yang diraih generasi umat Islam terdahulu. Zaman keemasan umat Islam terdahulu dikenal dengan sebutan The Golden Age. Pada saat itu kaum muslimin berhasil mencapai puncak kejayaan sains dan teknologi yang memberi kemaslahatan yang sangat besar bagi . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
ISLAM, SAINS, DAN TEKNOLOGI Pandangan Islam tentang sains dan teknologi dapat kita perhatikan prinsipprinsipnya dari analisa wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW. ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang maha menciptakan.Dia telah menciptakan manusia dari ’alaqah (segumpal darah). Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.“ (QS. Al ’Alaq: 1-5). Kata IQRa? berasal dari akar kata QaRa?a (Q R ?) berarti menghimpun. Dari makna ini melahirkan aneka makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak tertulis; membaca dalam konteks segala sesuatu yang dapat dijangkau manusia. Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena AlQur’an Al-Karimmenghendaki umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik. Artinya bahwa selama yang dibaca manusia tersebut mendatang maslahat dan manfaat bagi dirinya dan kemanusiaannya. IQRa? berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam semesta, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Jadi dengan demikian, objek perintah untuk melakukan ?iqra adalah mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa dengan membaca terjadi kecakapan membaca. Akan tetapi hal kecakapan membaca terjadi jika hal itu dilakukan secara berulang-ulang atau membaca hendaknya dilakukan saampai batas yang maksimal kemampuan. Hal itu mengisyaratkan bahwa dengan perulangan membaca yang disertai dengan asma Allah (bismi Rabbik) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan yang baru, walaupun yang dibaca masih tetap hal yang sama. Berikutnya ayat-ayat tersebut menjelaskan 2 cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajarkan manusia dengan pena dan mengajarkan ilmu pada manusia tanpa pena, tetapi walaupun demikian sumber dari ilmu itu adalah Allah SWT. Banyak bukti yang menunjukkan kepada kita betapa Islam sangat memperhatikan ilmu: 1. Awal Allah menurunkan wahyunya kepada Rasulullah SAW., Allah menggunakan dua cara dalam menyampaikan ilmu kepada manusia, yaitu dengan al Qira?ah (membaca) dan al Kitabah (menulis). 2. Kata ilmu dengan berbagai derivasinya di dalam Al-Qur’an Al-Karimterdapat 854 kali. Kata ini digunakan dalam arti proses dalam pemerolehan ilmu dan objeknya. 3. Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu dan memuji orang-orang yang berilmu (ulama/ilmuwan). Allah berfirman: ”Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)? (QS. Az Zumar: 9). Dalam ayat lain Allah berfirman: yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang-orang berilmu (ulama)“ (QS. Al Fathir: 28). ”Sesungguhnya
160
159
Seorang wanita datang menghadap RasulullahsSaw lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku datang kemari disebabkan ada kepentingan kepada Tuan!" Rasulullah berkata, "Duduk sajalah di jalan mana yang kamu sukai di kota Madinah ini, niscaya aku akan duduk (datang) memenuhi permintaanmu untuk mengurus keperluanmu itu!" • Malam itu Hasan bin Ali tidak bisa tidur, sehingga pada malam itu ia hanya memperhatikan dan mendengar ibunya berdo'a. Esoknya Hasan bertanya, "Sepanjang malam aku mendengar ibu berdo'a hanya untuk orang lain, tetapi untuk ibu sendiri tidak." Fatimah Az-Zahra sang ibu dengan penuh kasih sayang menjawab, "Anakku!, pertama adalah mendo'akan orang lain, baru diri sendiri." • Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, kaum muslimin di Madinah dilanda kemarau panjang dan kelaparan. Suatu hari datang kafilah dari Syam dengan seribu unta yang penuh dengan makanan dan barang dagangan milik Utsman bin Affan. Para pedagang berebut menawarkan harga untuk memperoleh barang dagangan itu dengan harga yang sangat menguntungkan Utsman. Namun, Utsman menolak semua tawaran yang 'menguntungkan' itu, beliau lebih memilih kecintaan-Nya. Beliau berkata, "Sesungguhnya ada pembeli yang akan memberiku keuntungan berlipat ganda, tahukah kalian bahwa Allah telah berfirman.": •
ٍ" َو# َ ُ"َـ$ْ%& "ٍ 'َُْ َـ ْ َ* َـَ) ِ( َ ِ آُ & ُـْ ـ+َـ, َ ْ-َـ ٍ" َأ# ِ َآََـ ِ ن َأَْاَـُْ ِ َـ ِ ْـ ِ ا َ ْ ُْـ ُِـ َ ََْـ ُ اِـ ٌ ْ 'ِ/ َ *ٌ ءُ َو اُ وَاِـ1َـ2َ َْ ِ ُ3/ ِ )َ4ُ ُا
"Bandingan pahala orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, adalah seperti satu benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, di tiap tangkai ada seratus biji dan Allah menggandakan pahala pada siapa yang Ia kehendaki dan Allah Maha Luas karunia-Nya dan Maha Mengetahui." (QS Al-Baqarah: 261).
159
Lalu Utsman membagi-bagikan makanan tadi kepada kaum muslimin yang memerlukannya dengan gratis tanpa menuntut pamrih atau imbalan. • Ketika terjadi perang Yarmuk, seorang sahabat mendengar suara rintihan meminta air di antara jenazah yang bergelimpangan akibat peperangan. Sahabat itu lalu membawa air menujunya. Ketika air itu hendak diminum, terdengar suara rintihan dari arah lain, sahabat yang tadi merintih meminta air minum lalu meminta sahabat yang membawa air minum tadi untuk memberikan airnya pada sahabat lain yang membutuhkan air minum. Sahabat tadi pun lalu membawa air minum tadi ke tempat sahabat lain. Ketika akan diminum, tiba-tiba dari arah lain terdengar suara rintihan meminta minum. Sahabat ini pun sama dengan sahabat yang pertama, ia lebih merelakan air minumnya untuk sahabat lain yang lebih membutuhkan. Ia pun meminta sahabat yang membawa air minum tadi untuk membawakan air minumnya pada sahabat yang lain lagi. Sahabat ini pun lalu membawa air minum tadi ke tempat sahabat yang merintih meminta air minum tadi. Namun sayang, sahabat itu telah meninggal dunia, lalu air itu dibawa ke tempat sahabat yang kedua, tetapi sahabat yang kedua pun telah meninggal dengan senyum di bibirnya, begitu pula ketika air minum itu hendak diberikan kepada sahabat yang pertama yang meminta air, sahabat itu telah meninggal dunia dengan ikhlas dan perasaan bahagia. Ketiganya wafat dalam menegakkan agama dan menjalankan syariat Islam, yaitu lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
mengadakan perjalanan bersamanya, Ali bertanya kepada Yahudi itu, "Lukiskan keindahan dunia ini dan akan aku gambarkan kepada anda tentang akhlak Nabi saw!" Lelaki itu berkata, "Tidak mudah bagiku." Ali lalu berkata, "Engkau tidak mampu melukiskan keindahan dunia, padahal Allah telah menyaksikan betapa kecilnya dunia, ketika Allah SWT berfirman, 'Keindahan dunia itu kecil.' (QS. An Nisaa’: 77) Bagaimana mungkin aku melukiskan akhlak Rasulullah SAW padahal Allah SWT bersaksi bahwa akhlaknya itu agung." Ya, melukiskan keteladanan akhlak Rasulullah SAW sangatlah tidak mudah. Kadang-kadang bila para sahabat ditanya tentang Rasulullah mereka hanya sanggup menceritakan episode-episode yang paling mengesankan dalam pengalamannya ketika bersama Nabi saw, di samping episode-episode lain yang mungkin hanya dapat dirasakan pesonanya oleh hati dan tidak dapat diungkap-kan. Oleh sebab itu, tidak heran jika Thomas Carlyle dalam On Heroes and Hero Workship mengungkapkan keteladanan Rasulullah SAW sebagai berikut : "Dia datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa dari Delhi ke Granada." Namun, meskipun sulit untuk diungkapkan begitu agungnya akhlak Rasulullah SAW, untuk mengikuti jejak kemuliaannya tidaklah sukar karena Aisyah ra. telah mendefinisikan akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’ân. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Saad bin Hisyam bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah SAW, Aisyah balik bertanya, "Apakah kamu membaca Al-Qur’ân?", "Tentu saja!" jawab Saad. Lalu Aisyah ra. berkata, "Akhlak beliau adalah Al-Qur’ân!" Berikut ini kita akan lihat beberapa kisah teladan Rasulullah SAW dengan para sahabatnya, yang mudah-mudahan dapat mengembalikan kesadaran kita pada fungsi dasar sebagai muslim yaitu menjadi rahmat bagi alam semesta. • Setiba Rasulullah SAW dan para sahabatnya di suatu tempat dan turun dari kendaraannya, mereka berencana untuk menyembelih seekor kambing dan membuat sate untuk dimakan bersama. Seorang sahabat berteriak, "Aku akan menyembelihnya!" Sahabat yang lainnya berkata, "Aku yang akan mengulitinya!" Sahabat lainnya lagi berkata, "Aku yang akan memasaknya!" Rasulullah berkata, "Aku yang akan mencari kayu bakar untuk memasaknya." Semua sahabat berkata, "Jangan wahai Rasulullah, biarkan kami yang melakukannya. Biarlah anda duduk tidak usah bekerja." Rasulullah SAW berkata, "Aku tahu kalian akan melakukannya, tapi Allah SWT tidak suka kepada seseorang yang melihat dirinya berbeda dari yang lain, sedang ia berada diantara mereka." Nabi saw pun pergi ke padang pasir dan mengambil kayu-kayu untuk bahan bakar masakan tadi. • Ada seorang perempuan hitam yang pekerjaannya menyapu masjid. Pada suatu hari Nabi Muhammad saw tidak menemui perempuan itu. Nabi Muhammad saw pun lalu menanyakannya. Para sahabat mengatakan bahwa ia sudah meninggal. Ketika itu Nabi Muhammad saw menegur mereka karena beliau tidak diberi tahu tentang meninggalnya perempuan tadi. Setelah itu beliau pergi ke kuburan perempuan tersebut (setelah diberi tahu para sahabat letaknya) dan shalat untuknya. (Saat menegur para sahabat Nabi Muhammad saw mengingatkan para sahabat bahwa di dunia ini, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, begitu pula derajat status sosial lainnya). • Ketika baru pulang dari perang Tabuk, Rasulullah SAW melihat tangan Sa'ad bin Muadz menghitam dan melepuh. "Mengapa tanganmu?", tanya Rasulullah SAW. "Karena oleh palu dan sekop besi yang saya pergunakan untuk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku", jawab Sa'ad. Rasulullah SAW lalu mengambil tangan itu dan menciumnya, "Inilah tangan yang tidak akan disentuh api neraka." Lihatlah, Rasulullah SAW yang tangannya senantiasa diperebutkan untuk dicium (dan seringkali ia menolaknya karena takut umatnya syirik karena terlalu menghormatinya) tanpa ragu-ragu mencium tangan yang kasar. 158
157
2. Akhlaqul Madzmumah (Akhlak Tercela) a. Berselisih, menggunakan hak orang lain;
س ِ()ْ@ِ?ـْ ِ َو ِ )ًْـ) ِْ َأْـَا ِل اـ6ِ َ ْآُ'ُـْا%,َ ِ ) ِم8ُ9ْ= ِ َو <ُـ;ُْـْا ِ(َ) ِإَ ا ِ )َُْ (ِ)ْ ـ8ُْ َ( َْـ8ْآُ'ُـْا َأْـَاَـ%<َ >َ َو ن َ ْـُْ َ ْـَُـ,ْ-َأ
"Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui." (QS Al-Baqarah: 188) b. Bunuh diri;
)ًْ ِـ#ُْ َر8(ِ ن َ )َ آ َ ُْ ِإن ا8َـEُْ-ـُ'ُـْا َأ,ْ<َ >َ َو...
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisaa': 29) c. Mengucapkan kata-kata yang buruk dan kotor;
)ًْ 'ِـ/ َ )ًـHْ ِ ن اُ َـ َ )َُـِ' َ َو آI َْ > اَْـْ ِل ِإ َ ِ ـْ ِءFE)ِ( 6َ َْـJْ اُ اFG9 ِ ُ >َ
"Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS An-Nisaa: 148) d. Bergunjing (Ghibah), berprasangka buruk, dan mencari-cari kesalahan;
ُْ8ُ4ْـH( ْGَـ,ْـOَ >َ ُـْا َوEEJ َ <َ >َ ـ& إِ?ـْ ٌ َوK اL َ ْH(َ ـ& ِإنK ا َ & ًا6ْ َـ ِ ُـْا َآِـ,ْـM َُـْا اN َ ِْ َ) اـFأَـ1َ ٌ ِْ ــ#ب َر ٌ <َـَا َ ِإن ا َ ُ َو ا<ـُـْا اQُُْـ,هْـ6ِ 8َ َ )ً, َـ ْـSِ ْ ِـTْ َ َأ9َ َ ُْآ%َ َْـ;ُآُْ َأن# َأFG9 ِ ُ) َأ4 ً ْH(َ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujurat: 12) e. Berlebih-lebihan, mubadzir;
َ ْ ِـ6ِ ْـEُْ اFG9 ِ ُ >َ ُSـ-ُـْا ِإ6ِ ْـEُ< >َ َو...
"...Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.." (QS Al-An'am: 141) 157
Akhlak Rasulullah SAW dan Para Sahabatnya Pada zaman khalifah Umar bin Khatab, seorang Yahudi datang menemui khalifah, "Ceritakan kepadaku akhlak Rasul kalian!" Umar tidak sanggup memenuhi permintaannya. Beliau lalu menyuruh Yahudi itu menemui Bilal. Ternyata Bilal pun tidak sanggup. Akhirnya, Yahudi itu sampai pada Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib yang diketahuinya telah mengenal Rasulullah SAW sejak kecil, dan sering . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
e. Tawakal;
َ َـ َآ&ِ' ْـ,ُْ اFG9 ِ ُ َ ِإن ا ِ 'َ ا/ َ ْ َـ َآ, َـ+ َ ْUَ / َ ذَاWَِ ...
"... kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.." (QS Ali Imran: 159) f. Tawadlu (rendah hati);
ُـْ ٍرXَ َـ) ٍل,ْـXُ ُ آFG9 ِ ُ >َ َ ً) ِإن ا#6َ َ ض ِ ْ ِ اْ َ@رZ ِ س َو َ> َ<ْـ ِ )ك ِ'ـ َ ;َـT ْ6&Hَو َ> <ُ\َـ
"Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS Luqman: 18) g. Berbuat baik kepada orang tua;
َ) ِرJْ َو ا ِ ْ َ)آِـEَ ْـَ)َ َو ا,َ ْْ(َ َو ا6ـً) َو ِ(ِي اُْـ-)َEْ# ِإ ِ ْ;َ ِ_ ْـ^ً) َو (ِ)َْا َ Sِ (ِ آُـْا6ِ ْـ2ُ< >َ َو َ ْـ ُ;ُوْا ا/)َ َْ FG9 ِ ُ >َ َ ُْ ِإن ا8ُـ-)َْْ َأ+8َ ـ ِـ ْ ِ َو َ) َ'َـE َو ا(ِْ اG ِ ْـJ َ ْ)ِ( G ِ # ِ )\ َو اG ِ ُُـJَْ) ِر اJْْ(َ َو ا6ذِي اُْـ ُـْرًاXَ >ً )َـ,ْـXُ ن َ )آَـ
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil (musafir) dan sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS An-Nisaa':36) h. Tolong menolong (Ta'awun);
ب ِ َْـُ اِْ ـ#ِ $ َ َ ِإن ا َ ن َو ا ُـ ْا ا ِ َ اِْـْ ِ َو اُْـْوَا َ ََ َوُـ ْا َ َ اْ!ِـ َو ا ـ ْـ َى َو َ َو ََ َوُـ ْا...
"...Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS Al-Maidah:2) i. Amanah (dapat dipercaya) dan adil;
)ِـH-ِ َ َـ;ْ ِل ِإن اHْ)ِ( ُُْا8ْ9<َ ْس َأن ِ ) اـ َ ْ (َ ُْ,ْـ8َ # َ ت ِإَ َأهِْ'َ) َو ِإذَا ِ )َ-)َ@َ ْوْا اFدbَ آُْ َأنْ <ُـ6ُ ُْ%َ َ ِإن ا ًا6\ ْـ ِ (َ )ًHْ ِـ َ ن َ )َ آ َ ِإن اSِ (ِ ُْ8ُKِـHَ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." ( QS AnNisaa':58)
156
155
kepada orang yang sombong. Dalam Al-Qur’ân Allah SWT menegaskan ciri-ciri orang beriman, yaitu bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir.
. ُْءُ َ( َْـ1َ# َ ُُـ) ِر ر8'َ اْـ/ َ ُءN;ُ أَ_ِـSHَ َ َ ْ َو اِـ ِ ـ ٌ; رـُْلُ ا9 َ ُ
"Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orag-orang kafir, dan berkasih sayang di antara mereka ...." (QS Al-Fath: 29)
Adapun akhlak yang buruk (madzmumah) adalah akhlak yang bertentangan dengan petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Akhlak ini diperbuat semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu atau keinginan manusia semata. Contoh-Contoh Akhlak Akhlak berdasarkan syariat Islam dipandang dalam dua kategori, yaitu baik (akhlaqul karimah) dan buruk (akhlaq madzmumah), berikut ini adalah beberapa contoh dari keduanya: 1. Akhlaqul Karimah (Akhlak terpuji) a. Jujur dan benar dalam bertindak, berucap, serta berjanji;
.. ُـُـْ ِدHْ)ِ( ءَا َُـْا َأوُْـْا َ ِْ َ) اـFَأَـ
"Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu....." (QS Al-Maidah: 1)
ُS َ ْـ9-َ َ4cَ ْ ُْ َ ِْـSِ ْ 'َـ/ َ َ َ) َه ُ;وْا ا/ )َ ُـْاc;َ َـd َ) ٌلM ِر َ ْ ْ ِِـbُْ ا َ ِ
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur..." (QS Al-Ahzab: 23) b. Sabar;
َ ْ ِ ِـEْ9ُْ ا6َ ْMِـ ْ*ُ َأ4ُ >َ َ ن اWَِ ْ6 ِ ْـdَو ا
"Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.." (QS Huud: 115) c. Mengeluarkan infaq, menguasai kemarahan, dan memaafkan manusia;
َ ْ ِـِـEْ9ُْ اFG9 ِ ُ ُس َو ا ِ ) اـ ِ/ َ َ ْ َ)ِـHْ َو اe َ ْ َـOْ ا َ ْ ِـI ِ )َ8 ِء َو اْـN6ـ4 ِء َو اN6ـEن ِ ا َ ْ ُْ ُِـ َ ِْ اـ
"(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.." (QS Ali Imran: 134) d. Dzikrullah (mengingat Allah);
155
ن ِ ُْو6ُْـ8<َ >َ ُوْا ِ َو6ُ8ْ آُْ َو ا_ْـ6ِ َأذْآُـ- ُوْا6فَاذْ ُآ
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku serta jangan kamu mengingkari nikmat-Ku.." (QS Al-Baqarah: 152)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
_ ْـ^ً) َو َ ْاF ِـ9ُ< َْ َأنE/ َ ُْ َو8 َـ6ٌ ْـT َ َ ُ_ ْـ^ً) َو ه َ هُْا6َ ْ8َ َأنْ <َـE/ َ ُْ َو8 َـQٌ ْ6ـَ)لُ َو هُ َ آُـ,ُُِْ ا8ْ'َ ـ/ َ G َ ِـ,ُآ ن َ ْْـَ'ُـH<َ >َ ُْ,ْـ-ْـَ'ُ َو َأHَ ُُْ َو ا8 ـ6f هُ َ _َـ "Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216) Di samping itu, kalau seorang muslim bersikap jujur semata-mata karena moral, dia tidak mendapatkan ganjaran pahala atas perbuatannya. Sebab, ia mengerjakannya bukan berdasarkan perintah hukum syara' melainkan karena menganggap sifat jujur memiliki kebaikan secara moral atau bermanfaat baginya. Secara bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa asalnya yaitu bahasa Arab yang berarti : a. perangai, tabiat, adat (diambil dari kata dasar khuluqun) b. kejadian, buatan, ciptaan (diambil dari kata dasar khalqun) Adapun pengertian akhlak secara terminologis, para ulama telah banyak mendefinisikan, di antaranya sebagai berikut : a. Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzibul Akhlaq :
"Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan." b.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddiin :
"Akhlak adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang me lahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan." Dari pengertian akhlak menurut Ibnu Maskawaih dan Al Ghazali di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perilaku yang didorong oleh kesadarannya yang terdalam, yang karena sudah begitu terbiasanya dilakukan oleh seseorang, perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang seolah-olah sudah tanpa pertimbangan lagi. Akhlak terbagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (mahmudah) atau disebut juga akhlak terpuji (akhlaqul karimah) dan akhlak yang buruk (madzmumah). Akhlak yang baik adalah akhlak yang didasarkan kepada Al- Qur'an dan keteladanan Rasullulah saw. Artinya, seseorang yang berakhlak mulia adalah seseorang yang seluruh perilakunya didasarkan kepada ketentuan Allah dalam AlQur’ân dan keteladanan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, akhlak yang baik bukan karena sebuah pekerjaan itu baik dalam pandangan manusia. Misalnya, adanya pandangan bahwa kejujuran, kesopanan, tolong-menolong, dan bersikap ramah itu baik dalam pandangan manusia. Sementara, berbohong, membunuh, dan bersikap kasar itu adalah pekerjaan yang buruk dalam pandangan manusia. Akhlak yang baik dari seseorang adalah manakala seseorang melakukan perbuatan jujur, sopan, tolong-menolong, bersikap ramah, termasuk juga berbohong, membunuh, bersikap tegas, dan kasar berdasarkan pada perintah syara’. Perilaku dan sikap itu semua didasari oleh ketentuan Allah di dalam Al-Qur’ân dan keteladanan Rasulullah SAW dalam sunnahnya, pada suatu keadaan atau peristiwa tertentu. Contoh, seorang muslim diperkenankan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya untuk berbohong dalam rangka mendamaikan suami isteri yang sedang bersengketa. Rasulullah SAW juga memperkenankan takabbur (sombong) 154
153
“(Dan) bagi siapa saja yang melanggar hukum-hukum Allah, maka mereka itulah orangorang yang zhalim” (QS. Al Baqoroh : 229) Untuk dapat memiliki syakhshiyah Islamiyah, seorang muslim bukan berarti harus mengembangkan sifat-sifat yang berlebihan di luar petunjuk syari’at. Seorang muslim adalah manusia. Dan syakhshiyah Islamiyah itu ada pada manusia, bukan pada malaikat.Jika seorang terjerumus dalam dosa, tidak berarti dia telah mengganti syakhshiyahnya dengan selain Islam. Tapi jika melepas aqidah Islamnya, maka lepaslah syakhshiyahnya. Tiada gunanya ia melakukan amal perbuatan apa pun. Karena itu, yang terpenting adalah soal keselamatan aqidah Islam. lalu dengan aqidahnya itu ditetapkannya pemikiran dan kecenderungan dirinya. Ingatlah, saat ini terlalu banyak hal yang mengancam keselamatan aqidah. Fahamfaham sekularisme, penerimaan terhadap sebagian yang lain, pemelukan faham kebebasan gaya Barat. Jika seorang telah kufur, maka tidak berguna seluruh amal kebaikannya. Amalannya laksana debu yang dihambur-hamburkannya. Dia akan dijebloskannya ke dalam neraka. Rasulullah bersabda : “Siapa saja yang ingkar terhadap ayat-ayat Al Quran, maka sungguh ia telah kufur...(HR. Thabrani) AKHLAK DALAM ISLAM
153
Islam didefinisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqubat/sanksi), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, makanan, minuman dan pakaian). Dengan demikian, sesungguhnya akhlak merupakan bagian dari syariat (aturan Allah). Akhlak merupakan bagian dari perintah dan larangan Allah SWT. Orang-orang yang memiliki akhlak yang baik, haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah, bukan melihatnya hanya sebagai sifat moralitas atau kemanusiaan saja. Ukuran akhlak baik dan buruk harus berdasarkan hukum syara'. Allah SWT memerintahkan berkata jujur dan melarang berdusta, bukan berdasarkan sifat itu baik secara moral, tetapi karena berdasarkan hukum syara'. Apabila kita melihat akhlak dari segi moral dalam pandangan manusia saja, berarti orang yang berbohong, bersikap kasar atau membunuh orang lain itu berakhlak tidak baik. Padahal dalam Islam, seseorang boleh saja berbohong dalam keadaan tertentu, seperti berbohong sebagai strategi di medan perang, atau berbohong dalam rangka mendamaikan suami istri yang saling bersengketa.Syara' juga membolehkan orang untuk membunuh, seperti ketika jihad memerangi orang-orang kafir, atau bersikap tegas kepada orang-orang kafir. Sekali lagi, ukuran akhlak tersebut bukanlah sekedar moral, kemanfaatan atau perasaan belaka. Allah berfirman:
ُْءُ َ( َْـ1َ# َ ُُـ) ِر ر8'َ اْـ/ َ ُءN;ُ أَ_ِـSHَ َ َ ْ َو اِـ ِ ـ ٌ; رـُْلُ ا9 َ ُ
"Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, dan berkasih sayang diantara mereka ..."(QS Al- Fath: 29) . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
mengerjakan perintah-perintah Allah. Sekali, dua kali atau beberapa kali bisa saja itu terjadi pada dirinya, mungkin ia lalai. Bisa juga ia tidak tahu, bahwa perbuatan itu bertentangan dengan Islam dan sifat-sifat mulia seorang pribadi muslim. Atau mungkin setan telah merasuk dalam dirinya dan nafsu telah mencengkramnya, sehingga ia terjerumus dalam perbuatan dosa. Ia melakukan itu semua, sementara aqidah Islam bersemayam di dalam dirinya. Ada yang menganggap melakukan perbuatan dosa berarti telah mengeluarkan seseorang dari Islam. Melakukan perbuatan yang berlawanan dengan sifat seorang muslim, berarti menghapus sykhshiyah Islamiyah pada diri seorang muslim. Itu tidak benar. Tingkah laku seorang muslim yang betentangan dengan Islam, tidak otomatis menghilangkan sykhshiyahnya. Apalagi mengeluarkannya dari Islam. Tapi secara berangsur-angsur perbuatan itu akan menggerogoti syakhshiyahnya. Jika hal itu terus dilakukannya, maka syakhshiyahnya makin melemah. Selama aqidah Islam masih ada dalam dirinya maka ia tetap seorang muslim, walaupun perbuatan-perbuatan maksiat tak henti-hentinya ia lakukan. Dan selama aqidahnya itu digunakan sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan perbuatannya, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki syakhshiyah Islamiyah selemah apapun. Seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, selama ia belum keluar dari Islam. Ia tidak akan keluar dari Islam, Selama aqidah Islam masih dipeluknya. Ia tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, kecuali jika ia hanya membiarkan aqidahnya bersemayam di hati, tidak difungsikannya sebagi tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya. Atau ia menggunakan aqidah dan tata nilai lain -- selain Islam--. Karena itu bisa saja terjadi ada seorang muslim , tetapi tidak memiliki syakhshiyah Islamiyah. Hanya dengan pengakuan aqidah Islam, belum tentu memiliki syakhshiyah Islamiyah, sebab ikatan aqidah dengan pemikiran manusia bukan bersifat mekanis yang secara otomatis bergerak bersama. Tapi antara keduanya merupakan ikatan ijtima’i yang memiliki kecenderungan memisah dan bertemu. Karenanya jangan heran, apabila ada orang-orang yang mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan aqidahnya. Yang penting tatkala ia sadar, yang ia lakukan bertentangan dengan aqidahnya, ia segera bertobat kembali ke jalan yang benar. Jadi, seseorang yang melakukan penyelewengan terhadap perintah dan larangan Allah, tidak berarti ia kehilangan aqidahnya. Hanya saja ia telah merusak ikatan aqidah dengan amal perbuatannya. Ia dipandang sebagai orang yang bermaksiyat kepada Allah. Di hari kiamat nanti, ia akan disiksa karena melakukan perbuatan itu. Penjelasan itu tidak berarti membuka peluang --apalagi mendorong-- seorang muslim untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Seorang muslim tidak boleh melakukan itu. Sebab larangan dalam Al-Qur’an Al-Karimsudah teramat jelas. Dan siksa di akhirat teramat pedih. Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula mengkhianati amanat-amanat (yang dilimpahkan) bagimu padahal kamu mengetahui” (QS. Al Anfal : 27) 152
151
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada oran-orang yang fasiq” (Q.S. Ash Shaaf : 5) Karakteristik Keperibadian Muslim Seseorang yang benar-benar memiliki syakhshiyah Islamiyah yang tangguh, akan tampil di tengah - tengah masyarakat dengan sifat-sifat khas dan unik. Ia akan muncul dengan sifat-sifat yang menonjol. Dimana ia berada, ia akan menjadi titik perhatian, karena ketinggian ilmu dan kekuatan jiwanya. Allah SWT menggambarkan sosok-sosok pribadi muslim itu dalam berbagai ayat Al Quran, antara lain : “Muhammad itu Rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya (shahabat) bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi saling berbelas kasih sesama mereka, engkau melihat mereka ruku dan sujud mengharap karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dari bekas sujud” (Q.S. Al Fath : 29) “Dan orang-orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan anshor dan orang-orang yang megikuti meraka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan mereka pun ridlo kepada Allah” (Q.S. At Taubah : 100) Begitu juga sebagaimana yang tercantum pada (QS. Al Mukminun : 1-11), (QS. Al Furqon : 63-74), (QS. Attaubat : 89), dan lain-lain. Sifat-sifat khas pribadi muslim itu tidak ada kaitannya dengan penampilah fisik seorang mukmin. Tapi bukan berarti juga Islam mengabaikan penampilan fisik. Islam menganjurkan, agar setiap muslim memperhatikan dandanan, penampilan, pakaian, dan menggunakan wewangian seperlunya saat bergaul dengan sesama. Rasulullah bersabda : “Jika kamu mengunjungi saudaera-saudaramu, maka perbaikilah kendaraanmu dan perindahlah pakaianmu, sehingga seolah kalian bagaikan tahi lalat (kesan keindahan) di antara manusia. Sesungguhnya Allah tiada menyukai hal-hal yang buruk” (HR. Abu Daud). “Suatu ketika Rasulullah SAW melihat seorang lelaki yang rambutnya acak-acakan. Maka Rasulullah berseru: ‘Tidakkah ia menemukan sesuatu untuk merapikan rambutnya ?’ “ (HR. Imam Malik dalam “Al Muwaththo”, Ahmad dari Jabir r.a. ) “Hendkalah kamu menggunakan ‘itsmad’ (sejenis celak), sebab ia bisa menjernihkan mata dan menyuburkan bulu mata” (HR. Turmudzi).
151
Jadi, semua penampilan fisik tidak ada kaitannya dengan pembentukan syakhshiyah Islamiyah. Juga bukan merupakan sifat-sifat khas pribadi muslim, tetapi sematamata penampilan (performance) yang memerlukan perawatan. Faktor yang Melemahkan Kepribadian Muslim Seorang muslim adalah manusia biasa, ia bukan malaikat dan bukan iblis. Karena itu wajar jika kadang-kadang melakukan perbuatan haram, atau malas . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
“... dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hamba-Ku dengan seseuatu yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardhu yang Aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga aku mencintainya....” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah) Juga firman Allah SWT : “Maka berlomba-lombalah kamu dalam mengerjakan kebajikan” (Q.S. Al Baqarah : 147) Rasulullah bersabda: “Bagi setiap muslim menjadi keharusan atasnya shadaqah. Abu Musa bertanya: ‘Bagaimana bila ia tidak mendapati sesuatu untuk shadaqoh ?’ Rasul menjawab: Ia harus berbuat dengan kedua tangannya, yang dapat mendatangkan manfaat untuk dirinya, kemudian ia bershadaqoh. ‘Bagaimana bila ia tak bisa berbuat begitu ?’ Jawab Rasul : Ia harus beramar ma’ruf dan mengajak kepada kebajikan. Bagaimana bila ia tak kuasa melakukan hal itu ? Rasul menjawab: Menahan diri dari keburukan (berbuat buruk) adalah shadaqah” (H.R. Bukhari dari Abu Musa). Tapi perlu dicatat, perintah dan anjuran Allah kepada kaum muslimin itu adalah berkenaan dengan ‘upaya peningkatan kualitas’ syakhshiyah Islamiyah. Bukan berkaitan dengan ‘ada atau tidaknya’ syakhshiyah Islamiyah. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah Islam sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungan, berarti ia telah memiliki syakhshiyah Islamiyah, terlepas apakah kuat atau tidak. Perlu diwaspadai adanya kekeliruan yang sering kali muncul di kalangnan kaum muslimin, yaitu gambaran yang salah , bahwa sosok pribadi muslim, adalah laksana malaikat. Tak pernah salah dan suci dari segala dosa. Padahal tak akan pernah ada orang seperti itu, selain Nabi dan Rasul. Semua manusia pernah berbuat dosa. Persepsi seperti tadi bisa berbahaya. Jika ia mempunyai gambaran seperti itu, dan ia tidak menemukan orang yang sesuai dengan bayangannya di tengah masyarakat, ia akan kecewa. Apalagi di saat ia menjumpai, ternyata orang yang dikagumi selama ini toh bisa juga salah. Dengan demikian, telah jelas bahwa pembentukan syakhshiyah Islamiyah dimulai dengan penetapan aqidah Islam dalam diri seseorang. Lalu, difungsikan sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap aktivitas berfikir dan pemenuhan kebutuhannya. Kesalahan pada manusia dapat saja terjadi. Suatu saat pemikirannya dapat terlepas dari aqidah, demikian juga kecenderungannya. Ia mungkin lalai, atau ia tidak tahu tentang soal itu. Apakah benar atau salah, halal atau haram. Allah SWT telah memperingatkan, agar kita tidak mengikuti hawa nafsu. FirmanNya : “(Dan) janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Sebab ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (Q.S. Shaad : 26) “Barangsiapa yang menghukumi tidak berdasarkan ketentuan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasiq” (Q.S. Al Maidah : 47)
150
149
Jadi, seseorang dikatakan memiliki syakhshiyah Islamiyah, jika ia memiliki aqliyah dan nafsiyah Islamiyah, lepas dari kuat atau lemahnya syakhshiyah Islamiyah yang dimilikinya. Setiap orang yang berfikir atas dasar Islam dan menjadikan nafsunya tunduk di bawah aturan Islam, berarti ia memiliki syakhshiyah Islamiyah. Tak jadi soal apakah ia seorang yang taat luar biasa kepada Allah SWT -menjalankan amalan fardhu dan sunnah sebanyak-banyaknya-, atau ia sekedar menjalankan yang fardhu dan menjauhi yang haram (pas-pasan). Tetapi perlu dicatat, Islam tidak menganjurkan ummatnya memiliki kepribadian Islam yang pas-pasan. Yang dibutuhkan Islam adalah kepribadian yang tangguh, kuat aqidahnya, tinggi tingkat pemikirannya, dan taat mengerjakan ajaranajaran Islam, bukan pribadi yang laksana buih, mudah berubah, gampang goncang dan rapuh. Pribadi-pribad semacam ini tidak akan tahan lama. Apalagi menghadapi tantangan zaman seperti sekarang ini. Ia akan mudah lenyap ditelan masa. Cara Memperkuat Kepribadian Muslim Memang terlalu sederhana jika kita hanya bicara soal ‘ada atau tidaknya’ syakhshiyah Islamiyah pada seseorang. Yang lebih penting bagaimana membentuk syakhshiyah Islamiyah yang kuat dan tangguh, atau pribadi muslim yang cerdik, cekatan, tawadhu, istiqomah dan tawakal. Maka syakhshiyah yang terbentuk, jangan dibiarkan apa adanya saja. Jangan disia-siakan apalagi dihancurkan. Pribadi harus diperkuat, ditumbuhkan dan dikembangkan. Caranya, dengan meningkatkan kualitas aqliyah dan nafsiyah Islamiyah. Kualitas aqliyah Islamiyah ditingkatkan dengan menambah perbendaharaan hasanah keilmuan Islam (tsaqofah Islamiyah). Sedangkan kualitas nafsiyah Islamiyah ditingkatkan dengan melatih diri melakukan ketaatan, menjalankan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah SWT. Dengan demikian syakhshiyah Islamiyah akan meningkat terus-menerus, seiring dengan bergulirnya waktu. Semakin tua usia, semakin meningkat kualitas pribadi yang dimiliki. Pemikiran Islamnya bertambah cemerlang, jiwanya semakin mantap, dan ia semakin dekat dengan Allah SWT. Karena itu, Islam memerintahkan setiap muslim agar memiliki semangat mencari ilmu, kapan dan di manapun. Dengan perbendaharaan ilmu-ilmu Islam yang cukup, diharapkan ia akan mampu menangkal semua bentuk pemikiran yang merusak dan bertentangan dengan Islam. Selembut apapun pemikiran yang merusak itu, akan mampu ia tangkal. Juga dengan itu diharapkan ia akan mampu mengembangkan keilmuan Islam. Atau, jika mungkin, ia akan mencapai tingkat mujahid atau mujaddid. Allah mengajarkan doa kepada kita : “Katakanlah: Ya Rabb, tambahkanlah ilmu kepadaku” (Q.S. Thahaa : 14)
149
Untuk memperkuat nafsiyah Islamiyah, Islam memerintahkan setiap muslim mengerjakan amalan-amalan fardhu dan sejauh mungkin menghindari hal yang haram. Juga Islam menganjurkan setiap muslim agar selalu menyuburkan amalanamalan sunnah, menjauhi hal-hal yang makruh dan dengan sikap wara’ meninggalkan yang subhat. Kerjakan semua itu, nafsiyah menjadi kuat dan mampu menolak setiap kecenderungan yang bejat dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi : . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
dengan kondisi dan situasi masyarakat. Demikian juga ide-ide atau pemikiran lain, semacam sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), hedonisme, liberalisme, hak asasi manusia, emansipasi, dan lain sebagainya. Jadi, dua unsur - nafsiyah dan aqliyah - manusia itulah yang membentuk kepribadian seseorang. Nafsiyah adalah suatu cara bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya yang berdasar pada kaidah tertentu. Dan aqliyah adalah bagaimana seseorang berfikir - yaitu memadukan antara informasi dan fakta berdasarakan suatu kaidah tertentu. Kaidah itulah yang disebut dengan aqidah, yang akan mendasari pembentukan syakhshiyah pada seseorang. Kepribadian Islam Syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islam) dibentuk oleh aqliyah Islamiyah (pola pikir Islam) dan nafsiyah Islamiyah (sikap jiwa Islami). Artinya, seseorang dikatakan memiliki berkepribadian Islami, jika dalam dirinya terbentuk aqliyah dan nafsiyah yang Islami. Dikatakan memiliki aqliyah Islamiyah, jika ia berfikir secara Islami. Setiap ide atau informasi yang ia terima, di-qiyas-kan atau distandarisasi dengan aqidah dan pemikiran-pemikiran Islam. Dan ia dikatakan memiliki nafsiyah Islamiyah, disaat muncul kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, ia pertimbangkan dengan landasan aqidah Islam. Tidak begitu saja lepas kontrol, atau memakai alat pertimbangan lain, berupa ide-ide yang tidak Islami. Oleh karena itu, aqidah Islam menjadi dasar pembentukan syakhshiyah Islamiyah. Prosesnya, seseorang yang telah memiliki aqidah Islam -- tentu melalui pemahaman, bukan sekedar taqlid buta-- selanjutnya akan memfungsikan aqidah itu dalam pembentukan aqliyah dan nafsiyahnya. Caranya, setiap ia mendapat ide atau informasi, ia akan mengukurnya dengan aqidah Islam. Demikian juga kala ia terdorong untuk melakukan suatu perbuatan, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohya, di saat ia mendapat pemikiran, bahwa ada kebolehan membungakan uang, asalkan untuk menolong rakyat, bukan untuk menjerat leher, atau bunga pinjaman bersifat produktif, bukan konsumtif. Kemudian ia mengecek dan menstandarisasikannya dengan dalil-dalil atau nash yang ada, maka berarti ia memiliki aqliyah Islamiyah. Tapi, jika kemudian menggunakan dasar pemikiran, bahwa di situ ada keuntungan yang dapat diambil, sehingga boleh dijalankan, berarti dia berfikir tidak Islami. Jika hal-hal seperti itu menjadi kebiasaan sehari-hari, berarti ia tidak memiliki pola pikir Islam (aqliyah Islamiyah). Contoh nafsiyah Islamiyah, seseorang mempunyai potensi internal berupa dorongan seksual (dawafi’ul jinsiyah). Suatu saat gharizahnya bangkit dan menuntut pemuasan. Jika pada saat itu hukum-hukum Islam masih menjadi pertimbangan untuk melakukan suatu tindakan, maka berarti di dalam dirinya masih ada sikap jiwa Islam (nafsiyah Islamiyah). Demikian juga di saat muncul keinginan-keinginan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, di saat ia merasa lapar, haus, ingin memiliki sesuatu, ingin berkuasa, dan lain-lain. Ada atau tidaknya nafsiyah Islamiyah, ditentukan oleh ada tidaknya tindakan untuk mendasari setiap kecenderungan (al muyuul)-nya dengan Islam.
148
147
lahirnya sosok-sosok pemimpin ummat di masa datang. Padahal kita tahu ada peluang untuk itu.
147
Pengertian Syakhshiyyah (Keperibadian) Kepribadian mirip sebuah energi; sesuatu yang abstrak. Orang hanya dapat menilai “dampak” yang ditimbulkannya. Di sinilah titik kemungkinan orang berbeda dalam mendefinisikan makna “pribadi”. Ada yang menganggap, pribadi (kepribadian) adalah suatu sifat yang khas yang dimiliki oleh seseorang, yang dengan itu ia menjadi sosok yang khas, berbeda dari yang lainnya. Itu yang sering dikatakan sebagai watak atau karakter. Misalnya, watak keras, lemah lembut, dan kompromis. Watak, sesungguhnya tidak menunjukkan tinggi rendahnya pribadi seseorang. Orang Batak yang terkenal dengan sifat kerasnya tidak menjadi lebih rendah nilai kepribadiannya dibanding dengan orang Jawa yang lemah lembut. Watak keras Umar bin Khathab tidak menjadikannya lebih rendah dibandingkan Utsman bin Affan, yang dikenal lembut. Watak, memang lain dengan pribadi. watak adalah potendi dasar yang akan turut mewarnai pembentukkan kepribadian. Demikian juga sifat-sifat yang menonjol pada diri seseorang, semacam sifat teratur, rajin, hemat, telaten, jujur, hipokrit, pengacau, sombong dan lain-lain; tidak bisa dikatakan sebagai pribadi. Sebab sifatsifat tersebut hasil bentukkan dari sebuah pribadi. Ini hanyalah sebuah gejala, bukan asas. Pribadi pada dasarnya hasil bentukan antara unsur utama dalam diri manusia. Yaitu, unsur pemikiran atau pola pikir (aqliyyah) dan sikap kejiwaan (nafsiyah). Kualitas serta corak pemikiran serta kejiwaan seseorang, menentukan ketinggian syakhshiyyah (pribadi) seseorang. Karena itu pribadi manusia tidak ada hubungannya dengan penampilan fisik seseorang, Kecantikan atau ketidakcantikan perempuan tidak ada hubungannya tinggi rendah pribadinya. Seorang manusia saat akan melakukan suatu perbuatan, pasti melakukan pertimbangan walau sesingkat apapun. Maka setiap tingkah laku (suluk)-nya, sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup, terikat erat dengan pemahaman tentang hidup dan realita yang dihadapinya. Ambillah contoh, saat seseorang dalam keadaan lapar, lalu ia menjumpai sesuatu. Pemahaman dan realita -yang ditunjukkan melalui indranya (misalnya, ia faham bahwa sesuatu itu makanan)akan mendorongnya melakukan tindakan mendekati makanan itu. Tapi ia sangat bergantung pada “pemahaman tentang hidup”-ditunjukkan melalui tata nilai yang dianutnya- yang ada pada dirinya. Jika ia seorang muslim -yang menganut asas halal haram- maka ia akan mepertimbangkan, apakah makanan itu halal atau haram. Seenak apapun makanan itu, jika termasuk makanan haram, akan ia tolak. Itu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Ada faktor lain, yang sangat fundamental / mendasar dalan kehidupan manusia, yaitu soal pembentukan persepsi atau pola pikir. Masalah ini memang sangat penting. Salah persepsi bisa berakibat fatal. Sebab, itu akan berujung pada keyakinan yang salah. Ambillah contoh, seorang muslim yang menerima ide atau informasi, bahwa kepesatan perkembangan teknologi dalam masyarakat, tak mungkin lagi mampu diikuti oleh hukum-hukum Islam, sehingga Islam akan tercecer dalam kehidupan. Sehingga, ia harus ditinggalkan, sebab dinilai kuno, dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Atau, kalau mau dipakai, harus dilakukan reaktualisasi. hukum disesuaikan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
MEMBENTUK KEPRIBADIAN ISLAM “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia. Kalian menyuruh yang maruf dan mencegah kemungkaran. Dan kalian beriman kepada Allah.” (Q.S. AL Imran:110) Demikian firman Allah, yang seharusnya diusahakan oleh ummat Islam perwujudannya, yakni menjadi ummat terbaik, ummat terunggul. Berkemampuan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi, faktanya sekarang ini masih jauh dari harapan. Tanpa menutup mata terhadap gejala kebangkitan di sana-sini yang mulai nampak, secara umum nasib ummat Islam tidak menggembirakan. Ummat dan negeri-negeri Islam, sama sekali tidak berdaya menyelesaikan problemanya sendiri. Kaum muslimin -- apapun motifnya -- kenyataannya harus minta tolong orang lain untuk menugurus dan menyelesaikan rumah tangganya sendiri. Mengapa itu dapat terjadi ? Padahal Rasulullah jauh-jauh sudah menandaskan, ”Islam adalah tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.” Atau justru gambaran yang diberikan Rasulullah SAW, akan datangnya suatu masa di mana ummat Islam laksana makanan yang dijadikan rebutan orang-orang kelaparan, sudah terbukti ? Wallahu A’lam. Tapi jika beanr, gejala penyebab yang telah melanda ummat yaitu, cinta dunia dan takut mati. Kenyataan lain, ummat selama ini merindukan pemimpin yang besar dan tangguh. Lihatlah, betapa ummat menyambut antusias tatkala ada kabar bahwa ada orang “besar” masuk Islam. Saat hal itu terdengar, kontan ummat Islam melupakan dosadosa orang itu kepada ummat Islam sebelumnya. Berubah menjadi harapan, bahwa ia mau dijadikan panutan dan harapan perbaikan. Haruskah munculnya pribadi-pribadi besar itu ditunggu saja. Tidak mungkinkah ia ditumbuhkan dari kalangan ummat Islam itu sendiri. Mengapa tidak ? Ummat Islam pernah melahirkan orang-orang sekaliber Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab, Ali r.a., Shalahudin Al Ayyubi, Imam Syafi’i, Al Bainuri, Hasan Al Banna. Di Indonesia pun pernah muncul sosok-sosok pribadi yang mengagumkan. Baik kawan maupun lawan segan padanya. Tengoklah kebesaran pribadi Wali Songo, Hasyim As’ari, atau Hamka, dan ribuan pribadi lain yang tak mungkin disebut di sini. Mengapa sejarah telah memunculkan mereka. Sementara kini ummat setengah mati merindukan orang-orang macam itu. Yang jelas, mereka tidak muncul begitu saja. Dengan kata lain, potensi dan proses perjalanan hidup telah menempa mereka. Jadi, keduanya -- potensi dan pengembangan -- diperlukan untuk membentuk ‘sosok pribadi tangguh’. Pepatah mengatakan, seorang pemimpin memang tidak bisa dibuat, apalagi dikarbit. Tapi, ia mesti muncul dari proses yang panjang, melalui latihan-latihan dan penempaan diri, dalam arena kehidupan. Harapan akan tinggal harapan, jika tidak ada upaya melakukan langkah nyata: membentuk sebuah sistem yang kondusif dan usaha yang terus menerus demi
146
145
4. Allah telah membebankan pada manusia tanggung jawab untuk beribadah kepadaNya dan mengemban risalahNya. Allah telah mengutus para rasul dan nabi untuk menyampaikan syariatNya. Allah berfirman: ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gununggunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia...“ (QS. Al Ahzab: 72) 5. Allah telah memberikan kuasa pada manusia dalam urusan dunia dan harta untuk menerapkan aturan dan syariat Allah SWT. dan memanfaatkan harta tersebut untuk beribadah kepadaNya. Allah SWT. berfirman: ”Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal shaleh bahwa Dia sungguh akanmenjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa“ ( QS. An Nur: 55). Dalam ayat lain Allah berfirman: ”Nafkahlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya“ (QS. Al Hadiid:7). Allah berfirman: ”Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripadanya“ (QS. Al Jatsiyah: 13) 6. Islam telah memberikan jaminan bagi manusia untuk hidup dengan mulia dalam lingkup aturan Allah SWT. Allah telah menjelaskan aturannya yang berkenaan dengan tujuan syariat itu adalah untuk memelihara jiwa manusia, harta, akal, kehormatan, keturunan, dan agamanya dengan seperangkat hukum syara‘ yang diterapkan dalam kehidupan manusia. Rasulullah dan generasi shahabat telah membuktikan hal ini, di antaranya: 1. Islam telah mengalihkan manusia dari beribadah kepada berhala (paganisme) menjadi hanya beribadah kepada Allah semata. 2. Islam telah menghancurkan berbagai ikatan primordial atas kesukuan, kebangsaan dan menggantikannya dengan ikatan akidah, sebuah ikatan yang tidak membedakan antara Arab dan nonArab, berkulit puti dan hitam, dll. 3. Islam memberikan jaminan kepada warga negara nonmuslim kehidupan yang mulia, dan tentram. Mereka memperoleh hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat seperti uyang dimiliki kaum muslimin. Mereka pun tidak akan dipaksa untuk meninggalkan agama yang mereka yakini. Allah berfirman: ”Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam)“ (QS. Al Baqarah: 256). Dalam ayat lain Allah berfirman: ”janganlah kalian berdebat dengan ahlul kitab, melainkan dengan cara yang baik“ (QS. Al Ankabut: 46) 4. Setiap orang berada dalam kehidpan Islam dan masyarakatnya akan merasakan kehidupan yang aman dan sejahtera dalam segala bidang.
145
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
“Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang diundi dalam sebuah kapal. Sebagian mendapatkan bagian atas dan sebagaian yang lain di bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air maka mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Maka berkatalah orangorang yang berada di bawah: “Andai saja kami boleh melubangi (dinding kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami”. tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), niscaya binasalah seluruhnya. dan jika mereka mencegah melakukan hal itu, maka ia selamat dan selamatlah semuanya” (HR. Bukhari, Ahmad, Turmudzi). Akan tetapi tatkala muncul berbagai macam masalah dalam kehidupan manusia maka dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW. bersabda: “Akan ada sesudahku orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri dan perkara yang kalian benci. Mereka bertanya: “Yaa, Rasulullah, apa yang kau perintahkan kepada kami?. Rasulullah menjawab: “Kalian hendaklah menunaikan yang wajib atas kailian. Dan kalian meminta kepada Allah hak yang menjadi hak kalian” Pendapat kapitalisme yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang hidup bersama di suatu tempat merupakan pendapat yang keliru. Sebab masyarakat bukan hanya sekumpulan invidu yang hidup bersama di suatu tempat saja melainkan pula terdiri dari kesatuan ide/pemikiran, perasaanperasaan yang ada pada diri individu tersebut, dan adanya suatu sistem aturan yang diterapkan dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, masyarakat merupakan sekumpulan individu yang memiliki interaksi terus-menerus yang disatukan oleh pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama. Oleh karena itu, penumpang kapal atau kereta api tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat, sekalipun jumlahnya mencapai ribuan. Sebaliknya, penduduk desa kecil bisa membentuk sebuah masyarakat, sekalipun jumlahnya hanya beberapa ratus jiwa saja. Jika kita memperhatikan Islam sebagai sebuah sistem nilai, maka kita menjumpai Islam telah menjelaskan tentang segi kemanusiaan dan hak-hak manusia, yaitu: 1. Islam telah memuliakan manusia dan telah menempatkan posisi manusia sebagai makhluk paling mulia. Allah SWT. berfirman: ”Kami telah memuliakan anak-anak keturunan Adam“ (QS. Al Isra‘: 70) 2. Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan sempurna. Allah SWT. berfirman: ”Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan (susunan tubuhmu) itu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu“ (QS. Al Infithar: 7-8) 3. Allah telah menciptakan akal pada diri manusia sebagai objek pembebanan hukum (manath at takliif) dan menganugerahkan kepadanya kemampuan belajar. Allah SWT. berfirman: ”Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar“ (QS. Al Insan:3)
144
143
berperikemanusian, bagai gerombolan binatang yang buas; yang kuat memakan yang lemah. HAM dalam Pandangan Syariat Islam Sesungguhnya seluruh pemikiran kapitalisme mengenai tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat, fakta masyarakat, dan tugas negara merupakan pemikiran yang bertentangan dengan fitrah manusia. Tabiat manusia sesungguhnya bukanlah baik seperti yang dinyatakan dalam kapitalisme. Begitu pula manusia bukanlah bertabiat jahat seperti dalam pandangan gereja yang sangat banyak dipengaruhi dari filsafat-filsafat kuno Yunani yang dibangun atas dasar pandangan bahwa manusia telah mewarisi dosa Adam. Karena pada kenyataanya manusia memiliki naluri dan kebutuhan jasmani yang menuntut adanya pemuasan. Allah SWT. telah mengaruniakan kepada manusia akal, yang dengan akalnya ini ketika manusia memiliki kehendak untuk memuaskan naluri dan kebutuhan jasmaninya ia akan memilih cara yang diridhai Allah SWT. (dengan ketaatan kepadaNya) maka pada saat itu ia dikatakan telah berbuat kebaikkan (baik). Namun, apabila dia memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya dengan cara yang dimurkai Allah SWT. (melakukan maksiat) maka ia telah berbuat kejahatan atau keburukan. Dengan demikian, tabiat manusia itu berpotensi untuk baik atau buruk sekaligus, tergantung pilihannya terhadap peraturan memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya. Sebagaimana firman Allah SWT.: “Dan demi jiwa (manusia) serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah lah yang mengilhamkan kepada jiwa itu memilih (jalan) kefasikan (kemaksiatan) dan ketakwaan (ketaatan kepada Allah).” (QS. Asy Syams:7-8). Pada ayat yang lain Allah SWT. berfirman: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (yaitu manusia) dua jalan (baik dan buruk)” (QS. Al Balad:10).
143
Demikian pula apa yang dilontarkan paham kapitalisme mengenai hubungan individu dan masyarakat/negara yang menurut mereka merupakan hubungan kontradiktif (bertentangan) juga merupakan kekeliruan , karena pada dasarnya hubungan individu dan masyarakat adalah hubungan yang bersifat saling melengkapi, sebab individu adalah bagian dari masyarakat, seperti halnya tangan merupakan bagian dari tubuh manusia. Sebagaimana tubuh tidak lengkap tanpa tangan, maka tangan pun tidak ada artinya jika terpisah dari tubuh. Dalam hal ini Islam telah menetapkan hak-hak bagi individu sebagaimana Islam telah menetapkan hak-hak bagi masyarakat. Hak-hak tersebut bukan saling bertentangan atau berlawanan, tetapi saling melengkapi. Demikian pula, Islam telah mengatur kewajiban masing-masing dan menyerahkan pelaksanaannya kepada negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak, agar masing-masing tidak melanggar atau mendominasi pihak lainnya. Sebab masing-masing harus mendapatkan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Berkaitan dengan hal itu, tidak ada gambaran yang lebih indah untuk menunjukkan hubungan antara individu dan masyarakat selain dari sabda Rasulullah SAW.: . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
duduk di DK PBB menolak memerintahkan pasukan dibawah pimpinan NATO ini, yang berjumlah 30.000 orang , diharapkan bisa menahan pemimpin Bosnia-Serbia, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic . Akar Pemikiran HAM Dr. Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al Hamlah Al Amrikiyyah lil Qadla-i ‘Al Islam (1996: 20) menyatakan bahwa ide dasar pemikiran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) berasal dari cara pandangan kehidupan Barat (KapitalismeLiberalisme) terhadap tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat/negara, tentang fakta masyarakat, dan tugas negara. Demikian pula, Dr. Sulaiman Mamar (Media Indonesia, 6/12/96) menyatakan bahwa akar atau inti persoalan dari berbagai perbincangan mengenai HAM adalah kedudukan manusia sebagai individu dan hubungannya dengan lembaga, organisasi, dan pemerintah. Kapitalisme memandang tabiat manusia pada dasarnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dan dilakukan oleh manusia disebabkan pengekangan terhadap kehendak atau keinginan manusia. Oleh sebab itulah, kehendak atau keinginan manusia itu harus dibiarkan bebas-lepas agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari hal inilah muncul ide kebebasan/liberal (freedom) yang menjadi salah satu ide yang menonjol dalam ideologi Kapitalisme. Dalam pemikiran Kapitalisme mengenai hubungan individu dengan masyarakat, maka ide pemikiran ini memandang bahwa hubungan itu bersifat kontradiktif. Oleh karena itu harus ada pemeliharaan individu dari dominasi masyarakat sebagaimana harus ada jaminan dan pemeliharaan terhadap kebebasankebebasan individu. Jadi, kepentingan individu harus didahulukan daripada kepentingan masyarakat (individualistis). Atas dasar inilah, pandangan kapitalisme menetapkan bahwa tugas pokok negara adalah menjamin kepentingan individu dan memelihara kebebasannya. Adapun tentang fakta masyarakat, Kapitalisme berpandangan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan invidu yang hidup bersama di satu tempat. Apabila kepentingan-kepentingan individu ini terjamin penuh maka secara alami akan terjamin pula kepentingan masyarakat. Pandangan-pandangan tersebut di atas telah menjadi dasar apa yang disebut sebagai kebebasan individu yang harus dipelihara sebagai landasan HAM, yang meliputi Kebebasan beragama/beraqidah ( Freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (Personal freedom). Kebebasan individu inilah yang telah menjadikan manusia dalam masyarakat Barat tidak ubahnya seperti kawanan ternak yang hanya bernafsu meraup sebanyak mungkin kenikmatan artifisial (fisik). Ironisnya, kenikmatan seperti ini mereka anggap sebagai puncak kebahagiaan. Padahal hakekatnya mereka tidak pernah mengecap cita rasa kebahagiaan sedikitpun, sebab kehidupan mereka senantiasa bergelimang dengan penderitaan, keguncangan, dan keresahan yang tidak berakhir. Kebebasan seksual yang menghasilkan AIDS, aborsi yang merajalela, angka perceraian yang semakin tinggi, angka kecelakaan yang tinggi akibat mabuk hanyalah sebagian kecil dari contoh masyarakat kapitalisis. Atas dasar pandangan kapitalis ini pulalah, HAM hanyalah slogan yang berpihak pada yang kuat, pada ketamakan dan nafsu penjajahan yang tidak 142
141
141
Pada tahun 1993 di Wina diadakan konferensi tentang HAM untuk organisasi-organisasi non pemerintah atau NGO (Non Govermental Organization). Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Wina Bagi NGO Tentang HAM, yang menegaskan keuniversalan HAM dan keharusan penerapannya secara sama rata atas seluruh manusia tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang budaya dan undang-undang. Selain itu, deklarasi ini menolak klaim bahwa HAM itu mengandung nuansa perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian, jika HAM diterapkan di negeri-negeri Islam maka artinya deklarasi ini telah menolak dan tidak memberikan tempat untuk penerapan Islam. Untuk mengokohkan posisi HAM sebagai aturan internasional, AS menjadikan HAM sebagai salah satu basis strategi politik luar negerinya. Ini terjadi pada akhir dasawarsa 70-an di masa Presiden Jimmy Carter. Sejak saat itu, Deplu AS selalu mengeluarkan evaluasi tahunan mengenai komitmen negara-negara di dunia untuk menerapkan HAM. Evaluasi tahunan itu juga menilai sejauh mana negaranegara itu memberikan toleransi kepada rakyatnya untuk menjalankan HAM. Sejak saat itu pula, AS menjadikan evaluasi itu sebagai landasan bagi sikap yang diambilnya terhadap negara-negara yang oleh Washington dianggap tidak terikat dengan prinsip-prinsip HAM. Misalnya Washington mengaitkan komoditas gandumnya untuk Uni Soviet dengan toleransi Uni Soviet kepada warga negaranya yang Yahudi untuk berimigrasi ke Israel di Palestina. AS juga menjadikan HAM sebagai justifikasi untuk melakukan intervensi militer di Haiti pada tahun 1994. Namun, seperti halnya kebijakan luar negeri AS pada umumnya, kebijakan Washington yang bertumpu pada HAM terhadap dunia itu juga bersifat diskriminatif. AS hanya menutup mata dan tidak mengganggu-gugat sedikitpun negara-negara tertentu yang melanggar HAM karena kepentingan AS mengharuskan demikian. Terhadap negara seperti ini, AS hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan dengan lisan saja (contoh agresi Israel terhadap bangsa Palestina). Tetapi AS dapat bersikap ganas terhadap negara-negara pelanggar HAM yang lain, misalnya dengan mengambil tindakan militer di Haiti. Atau mengambil tindakan ekonomi dan perdagangan seperti yang dilakukan terhadap RRC. Atau mengambil tindakan politik dan diplomatik sebagaimana yang dilaksanakannya kepada banyak negara. Semua itu dilakukan AS demi tuntutan kepentingan-kepentingannya dan hegemoninya atas negara-negara tertentu. Kongres Amerika 10 Juni 1997 mengesahkan rancangan undang-undang yang isinya antara lain mengkritik hak asasi manusia di Timor-Timur yang disponsori Senator Patrick Kennedy anggota kongres dari daerah pemilihan Rhode Island, yang kebanyakan rakyatnya keturunan portugis, ia juga wakil presiden Komisi Independen Dunia untuk Kelautan, lembaga bentukan PBB tahun 1995 yang dipimpin Presiden Portugal Mario Soares. Menurut Robert L. Barry, Duta Besar Amerika di Jakarta 1992-1995, agresifitas serangan kongres ini akibat gencarnya lobi Kristen di Amerika. Kasus pembantaian etnik di Bosnia dan Kosovo adalah bukti konkrit bahwa slogan HAM pun pilih-pilih, karena meskipun pengadilan internasional memutuskan para penjahat perang di bekas negara Yugoslavia harus diseret ke meja hijau karena membersihkan etnis muslim Bosnia, namun pelaksanaannya tidak pernah diselesaikan . Bahkan AS, Inggris, dan Perancis, 3 dari 5 negara kuat yang . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
jelas, serta ijtihad syar‘iy para mujtahid. Musyawarah dilakukan dalam perkara mubah (teknis pelaksanaan suatu perkara atau strategi), sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW. ketika menetapkan strategi menghadapi lawan dalam perang Uhud: menyongsong musuh di dalam atau di luar Madinah. Ketika itu Rasulullah mengikuti suara terbanyak yang menghendakai pasukan kaum muslimin menjemput lawan di luar Madinah, meskipun beliau saw. meninggalkan pendapatnya sendiri. Akan tetapi Rasulullah SAW. tidak pernah bermusyawarah dalam masalah li‘an (suami isteri bertengkar akibat salah satu menuduh yang lain berzina) dengan para sahabatnya, ketika beliau ditanya perkara itu. Bahkan beliau saw. menunggu wahyu untuk menjawabnya, karena hal tersebut merupakan penetapan tasyri‘ yang menjadi hak Allah SWT., bukan hak mayoritas ataupun minoritas pendapat masyarakat.
4. Perbedaan kedudukan. Pengambilan pendapat mayoritas dalam sistem demokrasi harus selalu dilakukan, sehingga acap kali terjadi satu produk hukum memerlukan pembahasan bertahun-tahun. Di samping itu undang-undang yang telah dihasilkan bersusah payah itupun suatu saat dapat berubah, jika parlemen mendatang dikuasasi partai berhaluan lain menghendaki. Sementara syura dalam Islam hukumnya sunnah. Dilakukan lebih baik, tidak dilakukan tidak menjadi masalah, maka pengambilan keputusan, apalagi itu menyangkut hukum dalam Islam dapat dilakukan dengan cepat, praktis dan benar karena berlandaskan pada nash-nash yang pasti benar.
Islam dan HAM Rincian HAM menurut PBB meliputi: hak hidup, hak kemerdekaan, hak bebas dari rasa takut, hak sama di depan hukum, hak bebas dari penganiyaan dan tindakan sewenang-wenang lainnya, hak tidak ditahan/dibuang secara sewenangwenang, hak kebebasan berekspresi, hak keamanan pribadi, hak untuk bebas bergerak, hak berkeluarga, hak beragama, hak berserikat dan berkumpul, hak untuk turut dalam pemerintahan (hak untuk dipilih dan memilih), hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas upah yang layak, hak atas pendidikan , hak budaya, hak menentukan nasib sendiri (hak bangsa), hak atas peradilan bebas (tak ada campur tangan kekuasaan), hak bebas dari rasa lapar. Lalu sejauh manakah HAM yang telah dirinci oleh PBB itu telah memberikan solusi bagi peri kehidupan manusia? Mari kita urut sejarah dan fakta yang terjadi berkaitan dengan slogan ini. HAM telah dijadikan sebagai slogan Revolusi Perancis pada tahun 1789 dan kemudian dijadikan sebagai piagam dalam konstitusi Perancis yang ditetapkan tahun 1791. Sebelum itu, slogan-slogan HAM diangkat pula dalam revolusi Amerika tahun 1776. Secara umum, HAM kemudian diadopsi oleh seluruh negara Eropa pada abad ke-19. Hanya saja HAM pada saat itu masih merupakan urusan dalam negeri masing-masing. HAM baru menjadi peraturan internasional setelah PD II dan setelah berdirinya PBB, yaitu pada saat diumumkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1961 Deklarasi itu disusul dengan Perjanjian Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada tahun 1966 diumumkan pula Perjanjian Internasional Tentang HAM, Ekonomi, Budaya, dan Sosial.
140
139
1. Perbedaan asas atau landasan yang digunakan. Azas yang digunakan pada faham demokrasi adalah sekularisme, yaitu faham yang mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan. Artinya memisahkan agama dari urusan sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan (Public domain). Agama hanya dipandang sebatas urusan individu, personal, subjektif, vertikal dalam arti hubungan manusia dengan Tuhannya belaka. Dengan landasan ini, prinsip-prinsip ajaran agama (Islam) yang qathiy (pasti) tidak boleh diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan. Artinya pembicaraan sepenuhnya berdasarkan pada rasionalitas akal semata dengan pertimbangan keuntungan material atau maslahat. Wahyu AlQur’an Al-Karimdan sunnah Rasulullah SAW. tidak digunakan dan bahkan ditinggalkan. Adapun syura atau musyawarah dalam Islam berlandaskan pada asas aqidah Islam. Artinya, seorang muslim melakukan musyawarah karena memang ajaran Islam menuntun untuk bermusyawarah dalam hal yang memang boleh atau diizinkan untuk dimusyawarahkan. Di luar itu, maka seorang muslim diajarkan untuk menerima ketentuan Islam tersebut dengan kerelaan, karena yakin bahwa ketentuan Allah SWT., Dzat yang maha Mengetahui adalah yang terbaik dan benar dalam setiap ketetapanNya. Dengan demikian perkara wajibtidaknya shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, hukum had, tidak dapat dimusyawarahkan, begitu pula tentang keharaman perjudian dengan segala bentuknya, keharaman riba dengan setiap jenisnya, keharaman minuman keras dengan segala nama yang digunakannya. Hal itu disebabkan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Adapun dalam demokrasi setiap sesuatu lahir dari aspek musyawarah, perhatikan dalam penetapan undang-undang dan hukum, terlepas apakah hal itu sesuai dengan nilai-nilai agama ataukah tidak.
2. Perbedaan Tujuan yang hendak dicapai. Pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi dilaksanakan untuk mewujudkan apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Prinsip ini mengajarkan bahwa rakyatlah yang memiliki kehendak. Hal ini terutama nampak di bidang hukum. Maka musyawarah dalam sistem demokrasi diadakan terutama untuk menetapkan hukum atau peraturan yang hendak diterapkan di tengah masyarakat, dengan atau tanpa mempertimbangkan ajaran agama. Syariat agama hanya dianggap sebagai salah satu, bukan satu-satunya sumber rujukan. Karena itu wajar saja bila produk hukum dalam sistem demokrasi sering kali bertabrakan dengan syariat Islam. Adapun syura dalam Islam dilaksanakan dalam rangka mengetahui atau melaksanakan hukum Allah SWT.
139
3. Perbedaan objek. Pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi dilakukan dalam semua perkara, baik itu menyangkut masalah teknis, strategis, maupun penerapan hukum. Pengambilan keputusan yang diambil dengan voting menjadikan kelompok yang memiliki anggota terbanyak itulah yang selalu menang. Apalagi jika terjadi money politics, maka hukum atau peraturan yang dihasilkan tentu saja akan cenderung berpihak kepada kelompok terbanyak. Jika mereka mengatakan bahwa minuman keras itu boleh diproduksi dan dijual bebas, seperti yang terjadi AS, atau homoseksual adalah perbuatan legal, maka keputusan itulah yang menjadi hukum buat masyarakat. Sementara syura dalam ajaran Islam dilaksanakan tidak dalam masalah tasyri‘ (penetapan hukum syariat), karena penetapan hukum dilakukan melalui nash-nash syara‘ yang tegas dan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
dilarang ataukah tidak, karena setiap yang haram harus ditinggalkan dan negara berkewajiban untuk melarangnya. Berkaitan hal itu, tidak diperlukan adanya perundang-undangan yang disahkan parlemen. Hal ini disebabkan, semua perkara itu telah jelas tertulis dalam Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah. Penguasa muslim tinggal melaksanakan hukum-hukum yang ada dalam dua sumber itu. Apabila terdapat perkara baru yang belum jelas status hukumnya, maka para mujtahid akan berijtihad. Kemudian kepala negara memilih berdasarkan kekuatan dalil, bukan pendapat manusia semata, baik mayoritas maupun minoritas, salah satu hasil ijtihad itu untuk dijadikan hukum negara. Hukum inilah yang akan diterapkan di tengah kehidupan masyarakat. Maka, jika kita mengkaji perihal syura dan musyawarah dalam Islam, di samping membaca ayat-ayat tentang musyawarah, juga harus memperhatikan ayat-ayat yang berkenaan dengan wajibnya melaksanakan hukum-hukum Allah. Di antaranya: “Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul, maka ambillah. Sedangkan apa yang dilarangnya, amak tinggalkanlah. Bertakwalah engkau kepada Allah, karena Allah Maha keras siksaNya“ (QS. Al Hasyr: 7) ”Dan hendaklah engkau menghukumi di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan. Dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Hati-hatilah engkau terhadap mereka, karena mereka ingin menyesatkanmu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu“ (QS. Al Maidah:49) Tanpa mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan Al Hadits secara komprehensif dengan pemahaman dalam konteks hukum (Fahman tasyri‘iyyan), kita akan mudah tergelincir pada simpulan yang keliru, seperti menyamaratakan pemahaman syura dan demokrasi. Harus diakui bahwa terdapat kecenderungan kuat di kalangan sebagaian umat Islam untuk melakukan kesalahan yang disebut Fallacy of composition. Artinya menganggap sama dua perkara yang sebenarnya berbeda secara mendasar atau asas, hanya karena secara kebetulan terdapat kesamaan beberapa unsurnya. Sebagai salah satu pola logika, asalkan tepat penerapannya maka cara itu dapat diterima. Tetapi menggunakan cara berfikir seperti itu untuk semua hal tentu sangat berbahaya. Bisakah kita menerima ketika orang menyamakan mentimun dengan durian hanya karena keduanya sama-sama dapat dimakan dan pohonnya memiliki daun ?. Demikian pula dapatkah kita menyamakan manusia dengan kera hanya karena secara fisik banyak unsur kesamaan antara keduanya. Tentu saja menyatakan sama merupakan tindakan kecerobohan yang tidak berlandaskan pada keadaan fakta. Tidak sedikit masyarakat Islam menyatakan bahwa syura dalam Islam itu sama dengan demokrasi, hanya karena kebetulan dalam ajaran Islam terdapat ajaran musyawarah yang salah satu jenisnya adalah pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (ra‘yul aktsariyah) sebagaimana hal itu terjadi pada demokrasi. Padahal antara musyawarah dalam Islam dan demokrasi itu terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Paling tidak terdapat 4 faktor yang menunjukkan perbedaan mendasar itu, yaitu:
138
137
”Dan
bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka“ (QS. Asy Syura:38) ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berkeras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tersebut“ ( QS. Al Imran:159)
Dengan demikian, syura atau pengambilan pendapat (akhdzur ra‘yi) itu khusus dilakukan dengan kaum muslimin. Adapun pengeluaran pendapat (ibda‘ur ra‘yi) berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. dapat berasal dari siapapun juga, baik muslim maupun nonmuslim. Dalam bermusyawarah untuk mengambil suatu keputusan, seorang pemimpin tidak harus terikat dengan suara mayoritas. Dalam hal menyangkut pendapat yang memerlukan keahlian dan ketepatan, maka ia harus mengambil pendapat yang benar, kendapun hanya didukung oleh seorang saja. Rasulullah SAW. menerima pendapat Hubab bin Mundzir, seorang yang memang sangat mengenal medan Badar, saat ia menyarankan Rasulullah SAW memindahlan pasukan ke tempat yang lebih baik dalam perang Badar. Sementara dalam masalah teknis dan strategi pelaksanaan suatu perkara yang bersifat mubah (terdapat pilihan didalamnya), seorang pemimpin itu harus mengambil pendapat mayoritas; tanpa melihat apakah pendapat yang didukung mayoritas itu tepat atau tidak. Hal yang seperti itu dilakukan Rasulullah SAW. menjelang perang Uhud, dimana sebagian besar pasukan kaum muslimin menghendaki menyongsong musuh di luar Madinah, sedangkan beliau sendiri bersama para tokoh sahabat berpendapat sebaliknya. Meskipun sebagian sahabat menyesal dan memohon Rasulullah saw. menarik kembali keputusan beliau, Rasulullah SAW. menolak dan tetap melaksanakan apa yang telah ditetapkan berdasarkan suara mayoritas itu. Keteguhan Rasulullah SAW. ini merupakan penjelasan riil dari sabda beliau: ”Bila
)8,)ــT ) ـرة2 ـh) ـ, ا<ـــ
kalian bedua telah bersepakat dalam urusan masyurah, maka tidak selayaknya kalian meninggalkannya“ (HR. Imam Ahmad dari Ibnu Ghanam Al Asy‘ariy)
137
Hanya saja, tuntunan untuk mengambil keputusan dengan suara mayoritas dalam musyawarah hanya berlaku dalam perkara-perkara penerapan hukum (tathbiqul ahkam) yang hukumnya mubah. Misalnya saja, jihad itu hukumnya wajib. Adapun melaksanakan hukum jihad, yaitu hendak menyongsong musuh di dalam kota atau di luar kota bersifat mubah, boleh ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Jadi tidak boleh pukul rata untuk segala perkara. Berkaitan hal itu, umat Islam tidak memerlukan musyawarah untuk menetapkan apakah shalat, shaum Ramadhan, menunaikan zakat, berhaji, melaksanakan hukum hudud, dll, itu hukumnya wajib ataukah tidak. Perkara tersebut merupakan perkara yang diwajibkan syariat Islam; wajib bagi umat Islam melaksanakannya. Umat Islam tidak perlu bermusyawarah apakah zina, segala bentuk perjudian, riba (bunga uang), dan sebagainya yang termasuk perkara haram . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
termasuk dalam perkara mubah yang boleh kita laksanakan atau meninggalkannya. Rasulullah SAW. menerima pendapat mayoritas kaum muslimin ketika memutuskan untuk menghadapi musuh bukan di kota Madinah tetapi di luar kota Madinah (bukit Uhud). Ketika sebagian sahabat menyarankan agar Beliau saw. agar menarik keputusannya maka Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak layak bagi seorang nabi apabila telah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya lagi sehingga ia selesai berperang” (Shirah Ibnu Hisyam, juz 3:8). Pernyataan Rasulullah SAW. menunjukkan persetujuan beliau untuk berperang di luar kota Madinah, meskipun secara pribadi beliau cenderung untuk bertahan di dalam kota Madinah, menunggu musuh. Hal ini menunjukkan bahwa yang wajib adalah menjalankan hukumnya, yaitu berperang menghadapi musuh. Adapun bagaimana cara untuk menghadapi hal itu, apakah bertahan ataukah menyongsong di luar kota (dimana kedua pilihan tersebut boleh dilakukan) dapat diputuskan berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Berdasarkan hal itu, seorang Khalifah harus memahami kapan ia mengambil pendapat dari rakyat atau para wakilnya, kapan mengambil pendapat dari para pakar ilmu, atau bahkan kapan seorang khalifah boleh mengambil atau meninggalkan (tidak terikat). Jadi, pengertian syura berbeda dengan pengertian musyawarah yang sering disalahpahami dan disalahpahamkan oleh masyarakat. Islam dan Demokrasi Islam adalah sebuah sistem ajaran yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Dalam masalah individu, Islam memberikan tuntunan yang sangat jelas tentang aspek keimanan (aqidah), ibadah, makanan, minuman, pakaian, dan akhlak. Adapun dalam kaitannya dengan hubungan interaksi manusia lain, Islam memberikan aturan muamalah, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, perang, dll; termasuk tentang bagaimana cara pengambilan keputusan. Agar tercipta kehidupan serasi dan harmoni, Islam menganjurkan pemimpin (Kepala negara dan aparaturnya) bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. Islam mengajarkan untuk memperhatikan dan menghormati pendapat orang lain. Rasulullah SAW. berdasarkan hadits riwayat Imam Turmudzi dari Abu Hurairah adalah seorang pribadi yang gemar bermusyawarah. Abu Hurairah menyatakan: ”Aku
S)(ـ9ـd> ' و ـS '/ ـ' اd )ورة ـ رـل ا2 ـ6ـ;ا اآـ# ا+) رأـ
tidak melihat seorangpun yang begitu sering bermusyawarah melebihi Rasulullah SAW. terhadap para sahabatnya“ (HR. Turmudzi) Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Hasan ra. dinyatakan:
هـ6 ا> هـ;وا @ر_ـ; اـiـc ـمc )ور2) <ـ
”Tidaklah bermusyawarah suatu kaum, melainkan mereka akan mendapatkan petunjuk yang tepat bagi urusan mereka“
Sedangkan dua firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa syura atau musyawarah merupakan ciri khas kaum muslimin. Allah SWT. berfirman:
136
135
135
Pertanyaan yang muncul: Pendapat mana yang mengikat kepala negara (khalifah) untuk dilaksanakan? Pendapat mana yang bisa diambil berdasarkan suara mayoritas (voting)? Pendapat mana yang tidak perlu melalui suara mayoritas bahkan cukup dari seorang atau beberapa orang rakyat atau wakil rakyat? Kapan khalifah sama sekali tidak perlu merujuk kepada rakyat atau wakil rakyat? Berkaitan dengan hal itu terdapat 4 hal yang harus diperhatikan: Pertama, pendapat yang berbentuk hukum syara’ atau penetapan hukum syara’. Dalam masalah ini tidak dikenal adanya tawar-menawar pendapat baik merupakan suara mayoritas ataupun minoritas. Seluruh manusia harus terikat dengan ketentuan hukum syara’, terutama yang bersifat pasti, seperti masalah hukum perzinahan dan pencurian, keharaman khamar (alkohol), dll. Pelakunya akan dikenakan hukum sesuai ketentuan syara’. Dalam perkara seperti ini para wakil rakyat atau rakyat itu sendiri tidak berhak untuk memberikan pendapat yang mengubah hukum syara’ disebabkan adanya kemaslahatan yang tampak. Demikian pula khalifah, sebab ia hanya pelaksana hukum syara’. Suatu kelancangan terhadap Allah SWT. jika rakyat atau para wakilnya mengubah hukum tersebut. Jika hal itu terjadi maka akan muncul fenomena seperti beberapa negeri Eropa dimana parlemen menyetujui (berdasarkan suara mayoritas) adanya aborsi, premarital atau ekstramarital, prostitusi, lesbianisme, homoseksualisme dimana hubungan tersebut dianggap sebagai hubungan yang manusiawi sepanjang tidak melanggar hak individu. Dalam perkara seperti itu, Khalifah wajib meninggalkan apa yang dinyatakan oleh rakyat atau para wakilnya secara mutlak, walaupun disepakati oleh mayoritas rakyat. Pada masa Rasulullah SAW. pernah terjadi protes yang dilakukan Umar bin Khattab yang tidak sepakat tentang isi perjanjian Hudaibiyah yang kelihatannya sangat menguntungkan kafir Quraisy. Rasulullah SAW. menolak pendapat Umar tersebut dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku ini merupakan hamba Allah dan RasulNya, dan aku tidak akan menentang perintahNya dan tidak akan mundur/atau mening-galkannya” (Shirah Ibnu Hisyam, juz 3: 365-366). Kedua, pendapat yang berupa defenisi (ta’rif) suatu perkara, baik definisi syar’i seperti definisi hukum syara’ itu sendiri maupun definisi di luar syar’i, seperti definisi akal, masyarakat, dll. Bertalian dengan hal itu, jika definisi itu berupa definisi syar’i maka harus merujuk kepada sumber syariat, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah RasulNya. Seperti definisi tentang perzinahan, pencurian dll. Sedangkan definisi yang bukan syar’i harus sesuai dengan kenyataan yang ada, seperti definisi masyarakat bahwa masyarakat bukan semata kumpulan individu yang berinteraksi melainkan juga adanya perasaan, pemikiran, dan sistem atau aturan. Jadi dalam penetapan ini tidak berlaku prinsip mayoritas. Ketiga, pendapat yang menunjuk pada konsep/pemikiran tentang sesuatu (pokok bahasan) atau tentang suatu bidang keahlian yang hanya diketahui oleh seorang ahli atau pakar. Dalam perkara ini, pendapat yang terkait dengan ilmu atau keahlian ilmu tertentu harus diambil berdasarkan pendapat orang yang ahli dalam masalah ini dan bukan berdasarkan suara mayoritas (seperti pengertian virus yang berbeda antara pengertian dokter/virus penyakit, ahli komputer/virus komputer, atau ustadz/virus aqidah). Keempat, perkara yang terkait dengan pilihan dari berbagai aktivitas yang akan dijalankan. Perkara ini diambil berdasarkan pendapat mayoritas, karena . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
hayati Al Islamiyyah (melanjutkan kembali kehidupan Islami). Untuk dapat mencapai tujuan tersebut dalam pengertian menerapkan seluruh aturan dan hukum yang berdasarkan pada aqidah Islam, maka tentu saja diperlukan keberadaan sistem Islam sebagai institusi yang berwenang untuk melaksanakan Islam. Untuk itulah maka, para ulama harus mendidik umat dengan Islam. Sebab salah satu fungsi ulama adalah memahamkan pemikiran Islam yang mendalam serta menjelaskan dengan gamblang dan terperinci metodologi untuk meralisasikan Islam kepada umat. Telah terbukti bahwa selama ini umat tidak mengerti apa diperjuangkan, bahkan telah terjadi disintegrasi dengan hilangnya ukhuwah Islamiyyah di tengah umat. Tujuan dilakukannya tatsqiif (pembinaan) ini adalah membentuk umat yang memiliki syakshiyyah Islamiyyah (kepribadian Islami), yaitu terbentuknya dua aspek pokok (1) aqliyah Islamiyyah (cara berfikir yang Islami) dan (2) nafsiyyah Islamiyyah (jiwa yang Islami). Berikutnya adalah tahapan yang sangat penting, yaitu para ulama melakukan perang pemikiran. Tujuannya adalah untuk menciptakan dan mengubah opini di tengah masyarakat Hal ini ditujukan dalam rangka mengubah pemahaman masyarakat, sehingga masyarakat mendukung dan searah dengan pemahaman yang disampaikan para ulama. Untuk itu masyarakat harus disadarkan terutama tentang kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap Islam, umat harus menerapkan aturan Islam secara menyeluruh sebagai konsekuensi logis dari aqidahnya Dorongan keimanan inilah yang pertama kali harus dibangkitkan di tengah masyarakat agar mereka menuntut penerapan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Harus juga disadarkan bahwa Islam adalah agama yang memecahkan segenap persolan kehidupan mereka, mulai ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, pendidikan, dan segenap aspek kemasyarakatan lainnya. Apabila masyarakat dididik hanya dengan simbol dan jargon-jargon kosong, dilenakan dengan retorika tanpa makna, serta dibius dengan euphoria dan histeria massa yang emosional maka kondisi ini dapat mengarah pada bentuk-bentuk dan tradisi anarkhis akibat ashabiyyah (fanatisme) secara membabi buta. Disamping itu, harus dibentuk suatu opini dan kesadaran untuk menolak setiap konsepsi pemikiran yang bertentang dengan Islam, seperti sekularisme-kapitalisme, sosialisme-komunisme, dan konsepsi lainnya yang bertentangan dengan nilai Islam. Bersamaan dengan hal itu, para ulama harus menjelaskan solusi konkret yang menggantikan konsepsi-konsepsi yang bertentangan dengan Islam tersebut. Perubahan pemikiran masyarakat dan penolakannya terhadap setiap nilai yang bertentangan dengan Islam inilah sebagai kunci utama penerimaan umat terhadap ulama dan dukungan mereka atas para ulama itu. Jadi, proses penyadaran umat ini merupakan aspek penting terhadap perjuangan para ulama. Pengertian Syura dalam Islam Syura atau pengambilan pendapat dalam Islam biasanya dilakukan Kepala Negara (khalifah) atau pihak-pihak yang berwenang untuk mengambil keputusan sebagaimana perintah Allah SWT.: “Dan bermusyawarahlah engkau (Muhammad) dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad (membuat keputusan) maka bertakwalah kepada Allah” (QS.Al Imran:159) 134
133
“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat. Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi...“ (QS. Ar Rum 1-4). Sebab-sebab turunnya ayat ini --berupa konfrontasi pemikiran antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin Quraisy-- menunjukkan bahwa kaum muslimin juga memperhatikan dan membahas perkembangan hubungan dan situasi internasional yang berlangsung saat itu. Oleh karena itu image yang tidak benar terhadap aktivitas politik haruslah segera diubah. Tugas ini tentu saja diemban oleh para ulama karena merekalah yang memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu dengan seluruh potensi ilmu yang dimilikinya. Beberapa langkah strategis yang mungkin untuk dilakukan para ulama dalam kerangka untuk membangkitkan umat ini, di antaranya: Pertama, harus dibangun kesadaran politik umat (wa'ie siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana memelihara urusannya. Untuk itu, para ulama harus menanamkan dalam jiwa kaum muslimin prinsip bahwa umat Islam hanya akan memecahkan seluruh problematika kehidupannya dengan ide/konsepsi dengan ideologi yang dimilikinya, yaitu Islam (QS. An Nahl 89) dan dengan metode yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.(QS. Al Ahzab 21). Kedua, para ulama harus menggalakkan kajian-kajian fiqh yang lebih luas -tidak hanya sekedar masalah, bersuci, shalat, shaum, dan haji-- yaitu kajian fiqh yang menjelaskan syariat Islam tentang masalah-masalah kenegaraan, perundangundangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan internasional, ekonomi, sosial, dan pendidikan dengan merujuk kepada induk kitab-kitab fiqih yang mu'tabarah. Dengan demikian pandangan kaum muslimin terhadap agamanya sendiri semakin jelas dan tidak salah paham terhadap fiqih Islam (lihat An-Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II/7). Ketiga, selain itu hendaknya ulama --muslim intelektual-- tidak hanya "bersembunyi" di dalam pesantren/lembaganya. Selain mengkaji kitab-kitab fiqih Islam klasik, selayaknya mereka selalu berusaha mengkaitkan kajiannya dengan fakta aktual. Mereka --para ulama itu--mestinya senantiasa memanfaatkan segala sarana dan kesempatan yang dimiliki untuk menjelaskan bagaimana pandangan Islam tentang berbagai persoalan yang sedang berkembang. Dengan demikian kaum muslimin tidak akan mudah terkecoh oleh arus globalisasi yang mengatasnamakan modernisasi, demokrasi, kebebasan, dan hak asasi.
133
Ulama Membangun Kesadaran Masyarakat Realitas keberadaan ulama merupakan aspek penting bagi suatu proses transformasi suatu masyarakat. Oleh sebab itu, para ulama haruslah menentukan target apa yang dilakukan untuk memperbaiki masyarakat. Untuk menentukan hal ini terdapat dua hal mendasar yang harus difahami, yaitu apa yang menjadi persoalan utama umat ini dan bagaimana memecahkan persoalan utama tersebut. Berkaitan dengan yang pertama, jelas bahwa persoalan utama umat Islam ini adalah tidak diterapkannya aturan Islam secara menyeluruh di dalam mengatur aktivitas masyarakat. Hal ini telah menjadi sebab pangkal hancurnya umat Islam. Berkaitan dengan hal yang kedua, target aktivitas para ulama haruslah diarahkan pada pemecahan persoalan ini. Dengan demikian tujuan aktivitas amar ma‘ruf dan nahyi munkar yang dilakukan ulama adalah bagaimana upaya untuk isti‘naafu al . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Sehubungan dengan melakukan koreksi (muhasabah) terhadap penguasa oleh umat, Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan itu. Adanya kewajiban untuk menaati penguasa, meskipun ia berbuat zalim atau merampas hakhak rakyat; bukan berarti bahwa kaum muslimin boleh mendiamkan saja kezaliman tersebut. Penguasa harus ditaati, namun ia juga harus dikoreksi. Allah SWT. memerintahkan dengan tegas untuk mengganti para penguasa jika mereka merampas hak-hak rakyat atau tidak melaksanakan tugas-tugasnya, atau mengabaikan kepentingan umat dan melanggar aturan Islam, atau penguasa berhukum kepada hukum selain Islam. Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Akan terdapat para penguasa, maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara‘), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syara‘) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya: ”Apakah kita tidak memerangi mereka?“ Beliau Saw. menjawab: ”Tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam)“ Dalam riwayat Muslim yang lain dikatakan: ”Siapa saja yang membenci perbuatannya (karena bertentangan dengan hukum syara‘) maka dia tidak dimintai tanggung jawabnya dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridla dan mengikutinya (maka ia berdosa)“ Rasulullah SAW. memerintahkan kaum muslimin untuk menentang penguasa yang menyimpang dari hukum Islam dengan berbagai cara sesuai kemampuannya, yaitu dengan tangannya selama bukan perang fisik, dengan lisannya melalui pernyataan-pernyataan yang baik-benar, atau dengan hatinya apabila mereka tidak mampu mengerjakan kedua hal sebelumnya. Rasulullah SAW. menganggap siapa saja yang tidak menentang perbuatan haram penguasa adalah sekutu dalam dosa. ”Siapa saja yang ridla terhadap apa yang mereka kerjakan dan mengikuti perbuatan itu, maka dia tidak akan terbebas dan selamat dari dosa“ Lebih jauh lagi, dalil-dalil yang memerintahkan amar ma‘ruf dan nahyi munkar merupakan dalil adanya kewajiban untuk mengoreksi penguasa, karena dalil tersebut berlaku umum, baik penguasa maupun selainnya. ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam) dan memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orangorang yang beruntung“ (QS.Al Imran:104) ”(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di atas bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma‘ruf dan mencegah perbuatan munkar“ (QS. Al Hajj:41) Dalam sejarah, Kaum muslimin sangat terbiasa dalam menggeluti masalahmasalah politik, baik lokal maupun internasional maupun demi memelihara kepentingan umat dan negaranya, baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah SAW bersabda : ”Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin) (Al-Hadits). Perhatian kaum muslimin terhadap politik internasional diabadikan dalam QS. Ar-Ruum 1-4 yang menceritakan kasus kekalahan Rum (ahli Kitab) atas Persia (Majusi musyrik). 132
131
131
dan nasihat) kepada kepala negara. Politik secara bahasa berasal dari kata Saasa yaSuusu - Siyasaatan yang memiliki pengertian mengurus kepentingan seseorang. Dalam Qamus Al Muhith dinyatakan bahwa Sustu ar ra‘iyyata siyaasatan berarti saya memerintahnya dan melarangnya. Pengertian ini dapat pula diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban untuk melakukan koreksi (muhasabah), serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Berkaitan dengan ini Rasulullah SAW. bersabda: ”Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), maka dia tidak akan mencium bau surga“ (HR. Bukhari dari Ma‘qil bin Yasar ra.) Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW. bersabda: lain Rasulullah SAW ”Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati sedangkan ia menipu mereka (umat) maka Allah akan mengharamkan ia masuk ke dalam surga“ (HR. Bukhari dan Muslim dari Ma‘qil bin Yasar ra., lafadz bagi Bukari) ”Akan terdapat para penguasa, maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara‘), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syara‘) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya: ”Apakah kita tidak memerangi mereka?“ Beliau Saw. menjawab: ”Tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam)“ (HR. Muslim dari Ummu Salamah ra.) ”Barang siapa yang bangun pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barang siapa yang bangun dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)“ (HR Hakim dan Khathib dari Khudzaifah ra.) ”Aku berbai‘at kepada Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menasehati setiap muslim“ (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits-hadits di atas berkenaan dengan penguasa dan kedudukannya, pengoreksian umat terhadap penguasa, atau hubungan antarmuslim dalam mengurus kepentingan mereka dan untuk saling menasehati. Semua hal itu menunjukkan makna politik, yaitu mengurus kepentingan umat. Jadi definisi politik tersebut merupakan definisi syar‘iy yang berasal dari dalil-dalil syara‘. Berkenaan dengan hal itu, politik (siyasah) dalam Islam memiliki makna mengatur urusan-urusan umat, baik berkenaan dengan urusan dalam negeri atau luar negeri. Aktivitas politik tentu saja dilakukan oleh negara sebab negara merupakan institusi yang melaksanakan hal itu secara praktis. Artinya, secara internal negara dalam Islam berfungsi untuk melaksanakan seluruh hukum-hukum Islam dalam seluruh wilayah kekuasaannya. Negara memberlakukan aturan mengenai hubungan antarindividu (muamalah), melaksanakan sistem hukum pidana (hudud), memelihara akhlak dan etika, menjamin pelaksanaan ibadah, dan mengatur urusan rakyat sesuai dengan syara‘. Secara eksternal, negara mengatur politik luar negeri dalam kaitannya dengan negara, umat, dan bangsa lain, serta mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Pada sisi yang lain aktivitas politik pun dilakukan umat dan ulama, yaitu dalam rangka untuk mengoreksi penguasa dan aparaturnya dalam melaksanakan tugas. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
(pribadi)“. Rasulullah SAW. bersabda kepadanya: ”Kenapa anda tidak duduk di rumah bapakibumu saja sehingga datang hadiah anda itu jika anda adalah orang yang benar?“ Rasyulullah pun bangkit dan berpidato di hadapan orang banyak. Stelah mengucapkan pujipujian kepada Allah beliau bersabda: ”Amma ba‘du. Sesungguhnya aku telah menunjuk sejumlah orang di antara kalian untuk menjadi pejabat pada sejumlah urusan yang telah Allah kuasakan kepadaku. Lalu salah seorang dari kalian yang menjabat itu datang kepadaku sambil berkata: ” Ini untuk anda (negara) dan ini untuk saya (pribadi). Kenapa dia tidak duduk-duduk di rumah ibu bapaknya saja sehingga hadiah tersebut datang jika dia orang yang benar? Demi Allah, tidak salah seorang pejabat dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan pada hari kiamat dia akan datang dengan membawanya“ (HR. Bukhari). Memerintah dengan aturan syariat Islam merupakan suatu keharusan sekaligus pembatasan bagi penguasa dalam perspektif Islam. Allah SWT. mewajibkan setiap penguasa untuk mengambil keputusan politik maupun hukum dengan Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah SAW. Perhatikan firman Allah dalam QS. 5: 44, 45, 47, dan 50. Tatkala Nabi saw. sebagai kepala negara mengutus Muaz bin Jabal menjadi gubernur ke Yaman, beliau bertanya: ”Dengan apa anda mengambil kepuutsan?“ Dengan kitabullah, kata Muadz. ”Jika tidak anda jumpai hal itu di dalamnya? ”tanya Rasullullah kembali. Dengan sunnah Rasulullah, jawab Muadz. ”Jika anda tidak menjumpai di dalamnya? Lanjut Rasulullah. Aku berijtihad dengan pendapatku, jawab Muadz. Rasulullah pun bersabda: ”Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada apa (cara pengambilan keputusan) yang dikehendaki Allah dan rasulNya“. Ijtihad yang dikemukakan oleh Muadz itu tentunya adalah ijtihad syar‘iy, yaitu ijtihad atau penggalian hukum untuk mengambil keputusan dengan mendasarkan diri kepada dalil-dalil syra‘ (Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah). Pengambilan keputusan dengan menunjuk kepada hukum-hukum Allah merupakan karakter setiap penguasa muslim dalam Islam. Penguasa muslim tidak akan mengambil keputusan dengan hawa nafsu atau arahan-arahan selain hukum Islam. Allah SWT. berfirman dalam rangka mengingatkan RasulNya agar konsisten dalam memerintah dengan hukum-hukum Allah, sebagai Allah berfirman: ”Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka suapya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu“ (QS.Al Maaidah:49).
Peranan Ulama Dalam Islam Akibat kuatnya proses depolitisasi dan deIslamisasi yang panjang, telah terjadi kesenjangan jarak yang lebar antara kaum muslimin, terutama para ulama dengan aktivitas politik. Bahkan tak sedikit, kaum muslimin yang beranggapan bahwa aktivitas politik itu kotor dan najis sehingga harus ditinggal. Pandangan seperti ini tentu tidak benar dan harus segera diperbaiki. Sebetulnya bagi kaum muslimin, terlebih para ulamanya, bergelut dalam masalah politik adalah hal yang sangat wajar, bahkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini karena, politik di dalam ajaran Islam didefinisikan sebagai langkah-langkah strategi dalam kerangka untuk pemeliharaan urusan umat (ri'ayatu syu-unil ummah). Sebagai pelaksana praktis politik adalah daulah (negara). Sedangkan umat melakukan muhasabah (kritik, saran, 130
129
129
Islam. Kepribadian yang kuat memungkinkan seorang pemimpin berkuasa dan mengendalikan. Oleh karena itu, ia harus membebaskan diri dari tindakan pengendalian yang buruk. Untuk itu ia harus memiliki sifat taqwa, baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam memelihara setiap urusan umat. Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya yang berkata: ”Adalah Rasulullah jika mengangkat seorang amir jaisy (komandan perang), belia saw. menasehati amir itu agar bertakwa dan bersikap baik kepada kaum muslimin yang berjuang bersamanya (menajdi bawahannya)“. Penguasa yang senantiasa bertakwa dan takut serta wasapada kepada Allah, baik dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan akan menjauhkan dirinya dari sikap-sikap kediktatoran kepada rakyatnya. Namun demikian sifat takwa itu tidak berarti menghalanginya dari sikap keras. Sebab ia selalu merasa diawasi Allah SWT. dan terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Lantaran tabiat alamiah seorang penguasa itu keras, maka syariat memerintahkannya untuk bersikap rifq (lemah lembut) dan tidak mempersulit rakyat. Diriwayatkan dari isteri Rasulullahs aw. Aisyah ra yang berkata: ” Aku mendengar Rasulullah berdoa di rumah ini: ” Ya Allah, siapa saja yang berwenang atas urusan pemerintahan umatku lalu mempersulit urusan mereka maka persulitlah urusan dia (di akhirat). Dan siap saja yang memegang urusan pemerintahan umatku lalu ia bersikap lemah lembut maka santunilah dia“ (HR. Muslim). Rasulullah memerintahkan kepada para pejabat muslim untuk selalu menjadi mubasysyir (yang menggembirakan) dan bukan munaffir (penghardik yang menjengkelkan). Diriwayatkan hadits dari Abu Musa yang berkata: Adalah Rasulullah SAW. jika beliau mengutus salah seorang sahabatnya menjadi pejabat daerah , beliau saw. bersabda: ” Gembirakanlah, jangan engkau menghardik dan mudahkanlah jangan kau persulit“ (HR Muslim). Itulah beberapa karakter dasar yang harus dimiliki oleh seorang penguasa atau pejabat muslim. Dalam kaitannya dengan tugas memimpin dan memelihara urusan rakyat, seorang penguasa mesti memiliki karakter/sifat sebagai berikut: Pertama, menasehati rakyat, Kedua, tidak menyentuh harta milik umum (kaum muslimin), Ketiga, memerintahkan kaum muslimin dengan Islam semata. Allah SWT. mengharamkan seorang penguasa muslim yang tidak menasehati rakyatnya dan menipu umat. Diriwayatkan dari Ma‘qil bin Yasar yang berkata, aku mendengar Nabi bersabda: ” Tidaklah seorang hamba yang memberinya tanggung jawab, Allah p[ilih dia untuk memelihara urusan rakyat lalu dia tidak menasehati mereka melainkan dia tidak menemukan (menghirup) angin surga“ (HR. Bukhari). Diriwayatkan dari Abu Said yang berkata: Bersabda Rasulullah SAW. : ”Setiap pengkhianat pada hari kiamat memiliki bendera yang akan menjulang tinggi sesuai dengan tingkat pengkhianatnnya, ketahuilah tak ada pengkhianat yang paling besar pengkhianatannya selain dari pemimpin rakyat“. Bersusah payah dalam mengurus urusan rakyat dan menasehati rakyat sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW. kepada para pejabat sebagai bagian dari tanggung jawab mereka. Tidak menyentuh harta milik umum adalah karakter pejabat. Diriwayatkan dari Abu Humaid As Sa‘idiy bahwa Nabi saw. menunjuk Abu Latabiyah sebagai pejabat yang berwenang untuk mengambil pembayaran zakat Bani Sulaim. Suatu ketika ia mendatangi Rasulullah SAW. untuk melaporkan hasil tugasnya. Ia berkata: ” Ini untuk anda (negara) dan ini hadiah yang mereka berikan sebagai hadiah kepadaku . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Jadi jelaslah, bahwa istilah-istilah yang menunjukkan pada kekuasaan atau negara itu ada dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah. Bahkan beliau saw. berpesan bahwa yang menggantikan beliau sebagai kepala negara adalah para khalifah dari kalangan kaum muslimin yang diangkat dengan baiat untuk menjalankan sistem kenegaraan yang berpedoman pada manhaj nubuwwah dalam pemerintahannya. Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abi Hazmi yang mendengar dari Abu Hurairah, yaitu sabda Rasulullah SAW.: “dahulu bani Israil selalu dipimpin para nabi. Setiap kali seorang nabi m,eninggal segera diganti oleh nabi lain, dan sesungguhnya tidak akan ada lagi nabi sesudahku, tetapi nanti akan muncul para khalifah”. Dalam hadits yang lain rasul saw. bersabda: “telah datang suatu masa kenabian atas kehendak Allah, kemudian berakhir. Setelah itu akan datang masa khilafah rasyidah sesuai dengan garis kenabian atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir. lalu, akan datang masa kekuasaan (Islam) yang terdapat di dalamnya banyak kezaliman (mulkan ‘adludlan) atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir pula. lantas akan datang zamannya para diktator (mulkan jabariyyan) atas kehendak Allah pula dan iapun akan berakhir. kemudian (terakhir) akan datang kembali masa khilafah rasyidah dengan garis kenabian sehingga Islam akan meliputi seluruh permukaan bumi ini” (HR. Imam Ahmad dan Al Bazzar). Pesan-pesan itulah yang dipahami para sahabat sehingga setelah Rasulullah wafat, mereka berembuk di Tasqifah Bani Sa’idah untuk menentukan kepala negara yang menggantikan beliau saw. memimpin kaum muslimin dengan menjalankan sistem pemerintahan. Abu Bakar sebagai khalifah pertama berkata: “Sesungguhnya Muhammad saw. telah tiada, dan agama (Islam) ini membutuhkan seseorang yang mau bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Syariat” (Lihat Imam Al ‘Aaji dalam Al Mawaaqif:345). Peranan Kepala Negara Dalam Islam Terdapat sejumlah sifat yang harus dimiliki oleh para penguasa atau pejabat muslim sebagai tanggung jawabnya kepada Allah SWT. sehubungan dengan kedudukannya sebagai pemerintah dan dalam kaitannya dengan rakyat yang diperintah dan dipimpinnya. Dalam pandangan Islam seorang penguasa harus memiliki karakter dasar pemimpin, diantaranya berkepribadian kuat, bertakwa, rifq (lemah lembut, santun) terhadap rakyatnya, dan tidak menjadi seorang munaffir (arogan, suka menghardik, serta membeuat kebencian rakyatnya). Kuat merupakan sifat dasar yang harus dimiliki seorang penguasa. Orang yang lemah tidak layak menjadi penguasa. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzarr ra. Yang berkata: ”Aku berkata: ”Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengangkatku sebagai pejabat?“. Rasululah saw. menepuk pundakku lalu bersabda: ” Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya anda seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu akan menjadi kehinaan dan sesalan di hari kiamat kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan hak (proses pengangkatan yang benar) dan melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam jabatan itu“. Yang dimaksud dengan sifat yang kuat bagi seorang penguasa adalah kuat keperibadiannya, baik kuat cara berfikirnya (aqliyah) maupun cara pengendalian hawa-hawa nafsunya (nafsiyah). Seorang penguasa muslim harus memahami berbagai urusan pemerintahan dan hubungan sosial politik dalam perspektif Islam. Ia harus dapat mengendalikan diri sebagai seorang pemimpin dalam perspektif 128
127
Dalam praktek masa kekhalifahan Islam, Islam telah menyerahkan hal ini kepada kepala negara (khalifah) yang terpilih dalam pemilihan umum. Kepala negara diangkat oleh ummat. Oleh sebab itu, dalam Islam kekuasaan berada di tangan ummat. Siapapun yang terpilih maka ia berhak menduduki jabatan sebagai kepala negara. Ketentuan ini berdasarkan nash-nash Al Qur-an antara lain surat An Nur:55 dan Al Hajj:41. 3. Kewajiban mengangkat kepala negara (khalifah) 4. Ketentuan Islam mengenai persyaratan kepala negara 5. Badan-Badan dalam struktur pemerintahan yang memiliki fungsi berikut ini fungsi menjalankan aturan (pemerintahan), fungsi mensejahterakan masyarakatnya, fungsi menjaga keamanan dan pertahanan negara, fungsi peradilan, fungsi pendidikan, fungsi politik luar negeri (diplomatik), dll Keseluruhan aspek tersebut terdapat dalam praktika kehidupan Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin serta kekhalifahan setelahnya. Memang benar, bahwa tidak kita jumpai satu teks pun dalam Quran dan Sunnah yang menyebut secara harfiah tentang negara Islam atau Ad Daulah Al Islamiyyah, apalagi istilah Islamic State. Akan tetapi makna kata itu beliau sebut dengan istilah Daarul Muhajirin sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah: “Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka. Kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (daarul kufur) ke daarul muhajirin (madinah)...” Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah menggunakan istilah sulthan dan mulk dalam menyebut tentang kekuasaan negara. Misalnya firman Allah SWT.:
127
“dan katakanlah: “Yaa Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan (sulthan) yang menolong” (QS. Al Israa:80). Ibnu Hisyam meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Ishaq bahwasanya para pembesar Quraisy telah datang kepada Abu Thalib, paman Belaiu saw. lalu Rasulullah pun menjawab permintaan mereka dengan mengatakan: “Yaa, berikanlah satu kalimat kepadaku sehingga kalian berkuasa atas orang-orang Arab (tamlikuuna bihal arab) dan orang-orang ajam (nonArab) pun akan tunduk kepada kalian” Abu Jahalpun menjawab: yaa, akan kami beri sepuluh kalimat” lalu rasul mengatakan: “Ucapkanlah laa Ilaaha Illalah dan buanglah sembahan-sembahan kalian selain Dia”. para pembesar Quraisy tidak setuju dan pergi ( Sirah Nabawiyah, juz 1:417). Dari hadits ini dapat dipahami bahwa kejuangan Rasulullah SAW adalah menegakkan kekuasaan dengan asas kalimat tauhid. Selain itu membatasi penafsiran dalam firman Allah surat Al Maidah 42-50 hanya pada peradilan (qadla) sungguh merupakan penafsiran yang sempit. Sebab ayat-ayat tersebut jelas merupakan ayatayat penerapan seluruh hukum Allah (dalam taurat bagi Yahudi, Injil bagi Nasrani, dan Al-Qur’an Al-Karim bagi seluruh umat manusia sejak diutusnya Nabi saw.), termasuk di dalamnya masalah peradilan. Bakan dalam ayat 42 secara jelas kita mengerti bahwa Rasulullah SAW. sebagai kepala negara di Madinah diberi pilihan oleh Allah ketika datang orang yahudi yang tidak menjadi warga negara (bukan ahlu dzimmah) meminta beliau memutuskan perkara atau berpaling dari mereka, begitu kata Imam Al Qurthubiy dalam kitab Jaami’ li Ahkami Al Quran, juz VI:184. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
wali sekaligus qadhi di Yaman. Di bidang militer, Rasulullah memimpin langsung beberapa peperangan atau mengatur strategi sebagaimana ditunjukkan pada perang Badar dan Uhud. Sebagai kepala negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain (‘alaqat dualiyah). Menurut Muhammad Tahir Azhari dalam bukunya Negara Hukum (1992), Rasulullah SAW. mengirim sekitar 30 surat kepada kepala negara lain, diantaranya Muqauqis penguasa Mesir, Kisra Persia, Kaisar Heraclius penguasa tertinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam. dari sini jelaslah bahwa politik luar negeri Islam adalah dakwah semata, yaitu ajakan masuk Islam, jika tidak bersedia diminta untuk tunduk pada pemerintahan Islam, dan jika tidak maka dilakukan futuhat. Beberapa Prinsip Dasar Pemerintahan Dalam Islam Al-Qur’an Al-Karim sebagai pedoman dan asas bagi negara dan masyarakat telah menentukan sistem kehidupan dan pemerintahan dalam bentuk konsepsi dan prinsip-prinsip asasinya. Penjelasan Al-Qur’an Al-Karim dalam hal ini sama dengan penjelasan hukum-hukum Islam lainnya, seperti shalat, zakat, jual beli (ekonomi), dll. Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan pokok-pokok permasalahan pemerntahan. Penjelasan terperincinya dapat diperhatikan pada praktika Rasulullah SAW (sunnah rasul) dalam aktifitas pemerintahan beliau dan masa sesudahnya (kekhalifahan). Dalam kenyataan dan faktanya, Al-Qur’an Al-Karim dalam memaparkan hukumhukumnya tidak menerangkan secara pan legistik, yaitu tidak menetapkan seluruh perincian aturan kehidupan (sosial, politik, budaya, hukum, ekonomi, pemerintahan, dll). Oleh karena itu, keadaan tersebut memerlukan penjelasan dari Rasulullah SAW. secara menyeluruh dan detail. Beberapa prinsip dasar sistem pemerintahan dalam Islam, yaitu: 1. Masalah Kedaulatan Islam memerintahkan kaum muslimin dan penguasanya hanya taat, patuh, dan tunduk pada hukum syariat Islam. Ketentuan ini berdasarkan pada firman Allah SWT, antara lain: QS Al An‘aam:57, Yusuf: 40 dan 67, Asy Syuraa: 10, Al Maaidah:60,65,105. Di bawah ini dikutipkan ayat-ayat tersebut: ”Tidak ada yang berhak untuk memutuskan hukum kecuali hanya Allah“ (QS.Al An‘am:57) “ …Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) manakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin… ” (QS. Al Maaidah:50) Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang siapa yang berwenang mennetukan kedaulatan. Oleh sebab itu, tidaklah patut ada yang lebih baik dalam menentukan hukum kecuali Allah. Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan hal tersebut yang merupakan ayat-ayat hukum yang bersifat pan legalistik. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid Al Qasimiy dari Ali bin Abi Thalib, Nabi saw. bersabda: ” Kewajiban imam (pemimpin, khalifah) adalah menjalankan urusan (hukum terhadap masyarakat dan negara) menuruti apa yang diturunkan Allah dan menyampaikan manah. Apabila ia menjalankannya ( hukumtersebut), maka kewajiban rakyat untuk mentaatinya“ . Jadi jelas bahwa kewajiban kepala negara adalah menerapkan hukum Allah SWT. dan menjadikannya sebagai landasan dalam roda pemerinahannya. 2. Masalah Kekuasaan 126
125
konteks kehidupan saat ini, tanpa kehadiran Rasul saw., tentunya petunjuk nash Al-Qur’an Al-Karimtersebut berarti: “merujuk kepada Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah Rasulullah SAW. Piagam Madinah merupakan konstitusi negara yang berasaskan Islam. Ketiga, Peran sebagai kepala Negara. Setibanya di Madinah, Rasulullah SAW. segera melakukan langkah-langkah di berbagai bidang untuk mengatur kehidupan masyarakat Islam pertama itu. Jika dicermati dengan kaca mata saat ini, apa yang dilakukan tersebut memang merupakan peran seorang kepala negara. Peran tersebut secara garis besar dapat dibagi dalam dua peran: peran dalam negeri dan luar negeri. Rasulullah SAW. mengembangkan SDM agar dihasilkan manusia yang tangguh dengan mendidik kaum muslimin, baik Anshar maupun muhajirin, agar memiliki kepribadian Islam. Di samping itu beliau saw. mendorong umat untuk menguasai ilmu dan teknologi. Rasulullah bersabda: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, sebab menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR. Thabrani). Di bidang ekonomi, Rasulullah menekankan benar kepada umatnya agar memiliki etos kerja tinggi dan melarang untuk melakukan riba dan judi. hanya bergiat disektor riil saja pertumbuhan ekonomi masyarakat berujung pada peningkatan kesejahteraan hidup. Selain mendorong pertumbuhan, Rasulullah mengambil langkah-langkah agar pemerataan dapat terjadi. Misalnya, Rasulullah SAW. membagi harta fai’iy bani Nadhir hanya kepada orang Muhajirin yang umumnya mereka itu miskin, tidak kepada orang Anshar yang sudah kaya, agar harta tidak terakumulasi pada orang-orang kaya semata, sebagaimana firman Allah SWT.: “...agar harta jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian”. (QS. Al Hasyr: 7).
125
Untuk meningkatkan kesejahteraan, Rasulullah pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta baitul mal. Untuk menjamin terlaksananya sistem dengan baik, Rasulullah mencegah korupsi dan riswah (suap) dengan ancaman di samping menjamin kesejahteraan pegawai negara. Beliau bersabda: “Siapa saja yang mengerjakan sesuatu untuk kami dan ia tidak memiliki tempat tinggal, maka ia berhak mendapat tempat tinggal, atau ia tidak memiliki seorang isteri hendaklah ia menikah, atau ia tidak memiliki kendaraan maka ia berhak mendapatkan kendaraan”. Di samping itu semua, ada satu hal yang patut untuk dicatat bahwa Rasulullah SAW. mampu melahirkan gerakan ekonomi umat yang baru dan berhasil menggusur dominasi ekonomi negara tetangganya, yahudi di madinah. Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan, Rasulullah mengangkat beberapa orang sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khatthab sebagai wazir (pembantu kepala negara). Juga mengangkat beberapa sahabat sebagai wali (setingkat gubernur) untuk memimpin wilayah (setingkat propinsi) Islam, diantaranya Muadz bin Jabal sebagai . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Langkah-langkah Rasulullah yang dapat kita fahami sebagai langkah seorang kepala negara dapat kita lihat dalam beberapa bukti berikut: Pertama, Baiat Aqabah. Pada musim haji tahun kedua belas kenabian, 12 penduduk Yastrib bertemu dengan Rasulullah di Aqabah, Mina. Mereka masuk Islam menyusul 6 orang saudara mereka yang telah masuk Islam pada tahun sebelumnya. Selain masuk Islam, mereka mengucapkan janji setia (bai’at) kepada nabi saw. untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak akan menghianati Nabi. Inilah Bai’ah Aqabah yang pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak 73 penduduk Yastrib yang sudah masuk Islam berkunjung ke Makkah dan bertemu dengan Nabi di Aqabah. Mereka mengucapkan bai’at yang isinya sama dengan bai’ah yang pertama. Hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka menyerahkan kekuasaan atas kota Yastrib kepada beliau dan meminta beliau saw. untuk berhijrah ke kota itu. Mereka berjanji akan membela nabi saw. sebagaimana mereka membela anak dan isteri mereka. Bai’ah ini dikenal dengan Bai’ah Aqabah kedua. Munawir Syadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara (1993), kedua bai’ah ini merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Bai’ah tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yastrib kepada Rasulullah SAW., yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad saw. sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai seorang Rasul; sebab pengakuan sebagai Rasul tidak melalui bai’ah tetapi syahadat. Kedua, Piagam Madinah. Umat Islam mulai hidup bernegara setelah Rasulullah SAW. hijrah ke yastrib, yang kemudian berubah menjadi Madinatur Rasul atau madinah Al Munawwarah. Di Madinahlah untuk pertama kalinya lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi saw., yang terdiri dari kaum muhajirin dan kaum Anshar. Dalam struktur negara yang didirikan Rasulullah, juga terdapat komunitas non-muslim dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang menjadi ahlu dzimmah. Di samping itu, di dalam dan sekitar kota Madinah terdapat 4 kabilah Yahudi yang merupakan komunitas dengan struktur kekuasaan atau negara tersendiri. Untuk mengatur hubungan intern antarkomunitas itu dengan masyarakat Islam yang baru muncul, maupun hubungan bertetangga baik dengan negara Yahudi, Rasulullah memaklumkan satu piagam yang dikenal dengan Piagam (watsiqah) Madinah. Banyak pakar politik Islam, antara lain Muhammad Hamidullah, Zainal Abidin Ahmad, Munawwir Syadzali, juga pakar politik non-Islam seperti Montgomery Watt menyatakan bahwa Piagam tersebut sebagai konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia. Di awal piagam itu ditulis Bismillahirrahmanirrahiim. Apa yang bisa dimengerti dari kalimat ini adalah bahwa piagam itu dibuat dalam konteks ketaatan kepada Allah SWT. Pasal yang paling penting diketahui adalah pasal 23 dan pasal 42 yang menyatakan “Bila kami sekalian berbeda pendapat dalam sesuatu hal, hendaklah perkaranya diserahkan pada ketentuan Allah dan Muhammad”. Kalimat ini jelas sekali senada dengan Al-Qur’an Al-Karimsurat An Nisaa ayat 59 yang memerintahkan kepada masyarakat Islam bila bersengketa tentang suatu perkara dalam kehidupan bernegara agar dikembalikan kepada Allah dan rasulNya. Dalam 124
123
muslimin wajib adanya Imam /khalifah. Ijma ini menjadi suatu dalil yang qath‘iy tentang adanya imamah/khalifah“. (ibidem:480) Jadi, jelaslah bahwa kepaduan antara agama dan politik-kenegaraan merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan di dalam Islam dan hal itu merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama disepanjang zaman (Perhatikan pula Ensiklopedi Ijmak, Sa‘di Abu Habieb, Terj. KH. A. Sahal Machfudz & H.A. Musthafa Bisri dengan Kata Pengantar KH. Abdurahman Wahid, Pustaka Firdaus, hal.312.) REALITA MASA RASULULLAH SAW. (SUNNAH FI’LIYAH) Islam adalah agama bukan dalam pengertian terminologi Barat, yaitu seperangkat tata cara upacara ritual dan budi pekerti. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan dengan dirinya sendiri. Islam merupakan sebuah mabda, yaitu aqidah yang melahirkan seperangkat sistem peraturan kehidupan. Islam lebih dari sekedar agama dalam pengertian Barat dan bahkan lebih dari sekedar pengertian ideologi dalam terminologi Barat. Ajaran Islam yang terkadung dalam Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah serta apa yang pernah direalisasikan oleh Rasulullah SAW. (sunnah fi’liyah) sepanjang perjalanan kenabiannya, terutama pada periode Madinah telah memperlihatkan dan menegaskan hal itu.
Sementara fakta sejarah pun menunjukkan bahwa ketika tentara Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. menaklukkan kota Makkah, jumlahnya sekitar 10.000 orang (Lihat Azyumardi Azra, Suplemen Ensiklopedi Islam, hlm. 106). Demikian pula tatkala Rasulullah SAW. memimpin tentara Madinah ke Tabuk dalam rangka memerangi tentara imperium Rumawi yang ada di sana, jumlah tentara yang beliau saw. bawa adalah sekitar 30.000 orang (Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihayah, Juz 3 hlm. 593). Sejarah pun menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. mengangkat wali atau gubernur di Yaman, wali Madinah, wali Makkah, dan wali Bahrain. Rasulullah SAW. mengangkat sejumlah hakim/qadhi di sejumlah kota atau daerah untuk mengadili perkara-perkara yang terjadi di masyarakat. Rasulullah SAW. pun mengrim surat-surat politik kepada sejumlah kepala negara besar ataupun kecil untuk mengajak masuk Islam dan bergabung di bawah naungan Daulah Islamiyah. Artinya, fakta sejarah menunjukkan bahwa kepemimpinan Rasulullah SAW. itu adalah kepemimpinan level negara.
123
Sekadar sebagai perbandingan, negara Madinah pada saat Rasulullah SAW. wafat telah meliputi seluruh wilayah jazirah Arab yang kini meliputi kurang lebih 7 negara (Arab Saudi, Yaman Utara/Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, dan Bahrain). Ini 4 kali luasan gabungan negara Prancis dan Jerman. Nyatalah, tidak ada alasan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. tidak membangun negara, Islam tidak memiliki konsepsi tentang kenegaraan, Islam hanyalah pesan moral yang tidak pernah memerintahkan pendirian negara, Nabi hanya diutus menyempurnakan kemuliaan akhlak tidak ada sangkut pautnya dengan penegakan negara, agama Islam hanyalah urusan pribadi dengan Tuhan yang bersifat sakral dan jangan dicampur dengan urusan politik kenegaraan yang bersifat profan, dan lain-lain yang merupakan refleksi dari sikap menutup diri dari informasi yang benar tentang Islam. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
syariat Islam, sehingga umat ini wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang melaksanakan semua hukum Allah SWT. tersebut“ (jilid 4:97). Imam Al ’Aji dalam kitab Al mawaqib, jilid VIII:346 menyatakan bahwa ”Dengan diangkatnya seorang imam, maka hal tersebut dapat menjauhkan mudlarat (bahaya) yang fatal. Malah kami beranggapan bahwa menganggkat imam adalah kemaslahatan yang paling pokok bagi kaum muslimin, serta hal ini merupakan tujuan yang paling mulia untuk menegakkan agama“ Seluruh ulama Islam di sepanjang masa telah sepakat bahwa hukum menegakkan khilafah merupakan fardlu (wajib). Mereka menjadikan kewajiban ini sebagai fardlu yang paling penting, bahkan menganggapnya sebagai sebaik-baik amalan bertaqarrub kepada Allah SWT. Mereka juga tidak berselisih pendapat dalam hal status kewajiban menegakan khilafah adalah fardlu kifayah. Oleh sebab itu, Imam Al Mawardi menyatakan: ”Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwasanya hukum mengeakkan khilafah adalah fardlu kifayah, seperti halnya Jihad. Apabila sudah ada di antara individu-individu masyarakat yang berusaha menegakkannya dan memiliki kemampuan, maka fardlu itu gugur atas seluruh kaum muslimin“ (Perhatikan Ahkamush Shulthaniyyah :5). Dalam fardlu kifayah, dapat saja status sebagian orang dianggap lebih wajib melakukannya daripada yang lain. Dengan kata lain dilaksanakan oleh setipa orang ssuai dengan kemampuan masing-masing. Barang siapa kemampuannya lebih besar maka kewajibannya lebih besar daripada orang yang kemampuannya kecil, sekalipun sama-sama diwajibkan. Oleh karena itu Imam Asy Syathibiy ketika membahas fardlu kifayah, seperti hukum mengangkat khalifah, wali, atau hakum dll., beliau menyatakan: ”Tuntutan itu ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fardlu yang diperintahkan itu“ (Lihat Al Muwafaqaat, jilid I, juz I:119). Beliau pun beranggapan bahwa melaksanakan fardlu semacam itu adalah suatu upaya kemaslahatan umum yang diperintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk melaksanakannya. Bahkan Imam Syamsudin Al Mahalli menyatakan: ”Dapat saja terjadi kewajiban kifayah itu berubah menjadi fardlu ’ain, yaitu apabila hanya ada satu orang yang dapat melaksanakannya, seperti halnya apabila di suatu daerah tidak ada dokter kecuali hanya satu orang, amka menolong orang-orang sakit di daerah itu hukumnya wajib ’ain atasnya (Lihat Syarah Matan Jam‘ul Jawaami‘, jilid I:133). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah saat membahas amar ma‘ruf dan nahyi munkar menyatakan ”Hukum aktivitas tersebut adalah wajib atas setiap muslim yang memiliki kemampuan, dan statusnya adalah fardlu kifayah. Namun, fardlu tersebut bisa berubah menjadi fardlu ’ain atas orang-orang yang mampu apabila kewajiban tersebut belum dilaksanakan oleh yang lain ( Majmu‘ul Fatawaa, jilid XXVIII:65). Demikianlah, masalah ini telah menjadi sesuatu yang ma‘luumun minaddiin bidldlarurah, sesuatu yang harus dimaklumi kepentingannya dalam agama Islam dan bagi kaum muslimin. Esensi tentang hal itu dapat kita perhatikan pula pada ucapan Abu Bakar Ra., ”Sesungguhnya Muhammad saw. telah meninggal, dan agama ini membutuhkan seseorang yang mau bertanggung jawab (terhadap pelaksanaan hukum Islam/syariat Islam) (Imam Al ’Aji, ibidem, jilid VIII:345). Bahkan Umar bin Khattab menyatakan ”Tak ada Islam tanpa jamaah, tak ada jamaah tanpa imaarah (imaaratul muslimin/khalifah), dan tak ada imaarah tanpa ada ketaatan“ (Imam Syarastani, Nihayatul Iqdam fi Ilm Al Kalam:479). Imam Syarastani berkomentar tentang sikap para sahabat Rasulullah SAW. ini dengan menyatakan“ Abu Bakar dan para shahabat tidak pernah membayangkan pada suatu waktu (kaum muslimin) tidak mempunyai imam/khalifah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa para sahabat secara bulat telah bersepakat bahwa kaum 122
121
Dalam ayat yang lain: ”Dan
Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu“ (QS. An Nahl:89).
121
Dengan demikian, Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satupun perbuatan manusia, apalagi aspek politik dan kenegaraan yang sangat berpengaruh pada masyarakat luas. Mengatakan Islam tidak punya konsep politik dan negara sama saja dengan menganggap bahwa Islam tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan Islam itu tidak berarti semua hukum-hukumnya sudah tersedia secara instant, seperti ensiklopedia sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Tentu tidak demikian, sebab terkadang Islam menjelaskan suatu perbuatan dengan nash Al Quan dan As Sunnah, dan terkadang dengan menetapkan isyara/tanda dalam AlQur’an Al-Karimdan As Sunnah yang menunjukkan suatu status hukum. Untuk yang kedua ini, umat Islam tidak bisa hanya berpangku tangan saja, tetapi harus mengerahkan daya pikir untuk berijtihad guna mengetahui hukum-hukumnya (lihat: Abdul Qadim Zallum dalam Ad Dimuqratiyyah, Nidzamun Kufrun:32-33). Berdasarkan keyakinan akan kesempurnaan Islam itulah, maka wajar jika para ulama yang tsiqah menyusun formulasi hubungan agama dan politik, serta negara sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Abdul Qadir Audah dalam kitabnya Al Islam Wa Audla‘una As Siyasah hal 19 menyatakan bahwa ”Islam itu bukan sekedar agama (ritual) belaka, akan tetapi ia adalah agama dan (di antaranya terdapat) negara. Dan sudah menjadi tabiat agama Islam bahwa ia memiliki negara untuk melaksanakan Islam“. Demikian pula Muhammad Al Ghazali dalam kitab Ma‘rakat Al Mushhaf hal. 68 menyatakan bahwa ”Islam tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah atau bagaikan tubuh tanpa nyawa“. Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan dalam Al Iqtishad fil I‘tiqad hal. 199 menyatakan bahwa agama dan kekuasaan (baca: negara) bagaikan dua saudara kemabar. Dikatakan pula bahwa aga,ma sebagai fondasi (asas) dan kekuasaaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yan tidak memiliki pondasi akan runtuh, sedangkan segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap“. Muhammad bin Al Mubarak dalam kitab Al Hukmu wa Ad Daulah hal. 11menyatakan bahwa ” Al-Qur’an Al-Karimmengandung hukukm-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian substansi ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keIslaman kaum muslimin pun tidak akan sempurna tanpa negara“ . Syaikh Abdurahmah Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqhu ’ala Al Madzahib Al Arba‘ah juz V hal. 614 menegaskan bahwa ”Para Imam (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi‘iy, dan Ahmad bin Hanbal) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu dan kaum muslimin wajib memiliki seorang khalifah yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orangorang yang didzalimi“. Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Fishal Fil Milal wal Ahwa‘ wan Nihal juz IV hal.87 menyatakan bahwa ”Seluruh golongan Ahlu Sunnah, Murjiah, syiah dan Khawarij telah sepakat mengenai kewajiban Imamah, dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa Rasulullah SAW.” Masih pada kitab yang sama beliau menyatakan ”Seluruh ahlu sunnah bersepakat mengenai keberadaan imamah (khalifah) adalah wajib adanya dalam rangka memelihara urusan kaum muslimin berdasarkan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
memperturutkan dan mengikuti kemauan rakyat, tetapi justru harus menyadarkannya, dan jika perlu memaksa rakyatnya kembali pada Islam. Lebih dari hal itu, sesungguhnya Islam mengharuskan agar di kalangan masyarakat terdapat sekelompok umat (jamaah) yang melakukan aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar, baik terhadap masyarakat ataupun terhadap para pemimpin umat, terutama ketika tampak dengan jelas terjadinya penyimpangan dan berbagai bentuk kemaksiatan yang bertentangan dengan aturan syara’ (QSAl Imran:104). Jadi, keberadaan sekelompok masyarakat yang senantiasa melakukan aktivitas amar ma’ruf nahti munkar adalah haq (benar), dijamin oleh aturan Islam, yaitu menjadi pendukung kebenaran, penasehat dan pelurus terhadap penyimpangan atau kekurangan yang mungkin terjadi di tengah masyarakat. Sehingga kelompok (jamaah, dll) tersebut berkedudukan sebagai mitra pemerintah dalam menjalankan amanah Allah SWT. Adapun pembahasan wanita dalam posisi penguasa maka terdapat nash-nash hadits Rasulullah yang melarang secara tegas terhadap hal ini, yaitu ketika Rasulullah SAW. bersabda yang diriwayatkan melalui Abi Bakrah: “Tidaklah akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya (hukum dan kekuasaan) kepada seorang wanita”. Hadits ini muncul ketika kerajaan Persia kehilangan rajanya, lalu rakya memilih seorang pengganti, yitu anak perempuan Kisra. Lalu berita ini menyebar dan didengar oleh Rasulullah SAW. dan beliau saw. mengatakan hadits tersebut di atas kepada para shahabatnya. Pemberitaan Rasul saw. ini menjadi penjelasan bagi kita bahwa kaum wanita diatur oleh Islam untuk tidak menempati posisi sebagai penguasa dalam suatu sistem pemerintahan (sebagai kepala negara, panglima angkatan bersenjata, gubernur, dll). Adapun penguasa yang dimaksudkan dalam hal ini adalah posisi yang berkaitan erat dengan pengambilan kebijakan dan keputusan hukum atau pemerintahan; tidak termasuk bagian urusan politik yang hanya sebatas pada perwakilan suara, administrasi dan hal lain yang tidak berkaitan dengan pengambilan atau penetapan hukum. Pengaturan bagi wanita menduduki posisi penguasa ini pada hakekatnya tidak berkaitan dengan merendahkan posisi wanita atau memuliakan laki-laki. Aturan ini hanyalah ketetapan dari Allah SWT. untuk dilaksanakan oleh manusia. Tidak sebagaimana yang seringkali ditudingkan bahwa Islam menyudutkan posisi kaum wanita. Pria dan wanita keduanya bisa mulia dan hina tergantung sejauh mana keterikatan dan ketakwaannya kepada aturan Allah SWT. Pandangan Fuqaha Tentang Islam dan Negara Islam adalah agama yang sempurna dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Artinya, Islam telah menjangkau dan menerangkan peraturan semua perbuatan manusia dalam segala aspek kehidupannya secara sempurna dan menyeluruh, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Allah berfirman: ”Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian“ (QS.Al Maaidah:3).
120
119
terhadap penguasa baik berupa kritikan maupun usulan. Adapun haknya adalah sebatas pada penyampaian dan tidak memiliki kewenangan dalam penentuan atau pembuatan hukum maupun perundangan. Karena kedudukan anggota Majelis Ummah sebagai wakil rakyat, maka hak ini (muwakalah) juga dimiliki oleh kaum wanita sebagaimana halnya laki-laki. Tentu saja, apalagi persoalan yang akan diwakilkan itu berkaitan erat dengan problematika wanita sebab tidak mungkin mewakilkannya kepada laki-laki. Perhatikan peristiwa yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khatthab ra. dimana beliau sebagai kepala negara berniat menetapkan batasa mahar (mas kawin) bagi wanita agar tidak terlalu tinggi dan tidak menyulitkan bagi seorang laki-laki untuk menikah (maksimal 400 dinar emas) (landasannya kemaslahatan masyarakat). Ternyata kebijakkan itu ditentang oleh seorang wanita dengan menyampaikan sebuah firman Allah SWT. ”...sedang kamu telah memberikan kepada seorang (wanita) diantara mereka harta yang banyak (tanpa adanya batasan). Maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya meskipun hanyak sedikit...” (QS.An Nisaa’:20)
119
dimana wahyu Allah itu tidak membatasi jumlah mahar. Mendengar teguran (kritikan) tersebut, Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar”. Dalam kisah yang lain adalah ketika Umar hendak mengambil keputusan tentang berapa lama para tentara mujahidin akan dikirim untuk bertugas ke perbatasan (meninggalkan isteri dan keluarga). Beliau meminta pendapat para wanita (kaum ibu) untuk menetapkan berapa lama waktu yang layak bagi mereka ditinggalkan suami dan ayah anak-anak mereka. Setelah mengumpulkan pendapat dari para wanita itulah maka Umar memutuskan waktu 4 bulan bagi para tentara untuk bertugas di perbatasan dan setelah 4 bulan maka mereka harus diganti oelh pasukan yang lain secara bergilir. Kedua contoh di atas menunjukkan betapa suara kaum wanita tetap diakui keberadaannya untuk mengurusi berbagai problematika kemasyarakatan, baik atas nama dirinya maupun diwakilkan pada wakil wanita yang lain. Oleh sebab itulah, dalam pandangan Islam, seorang wanita dibolehkan menjadi anggota majelis ummah selama majelis ummah itu berperan sebagai penyampaian pendapat atau kritik dan tidak sebagai penetap atau pembuat hukum. Oleh sebab itulah dalam pandangan Islam, seorang penguasa dalam menentukan kebijakannya harus bersandar kepada hukum dan aturan Islam tidak boleh kepada yang lainnya. Hal ini disebabkan para pemimpin dan aparatnya merupakan penjaga, pengatur dan penjamin terselenggaranya kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan ketentuan syara’. Sebagaimana rakyat yang dipimpinnya, pemimpin beserta aparatnya senantiasa terikat dengan sistem dan hukum Islam sebagai konsekuensi logis dari keimanannya. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai dari mekanisme ini adalah adanya jaminan Islam dapat terealisasikan secara sempurna dan lurus di tengah masyarakat. Keran itulah, kritik, saran dan nasehat dari kalangan masyarakat merupakan bagian yang harus dan lazim dalam kehidupan masyarakat Islam. Demikian pula halnya, jika suatu ketika masyarakat cenderung kepada keburukan yang bertentangan dengan aturan Islam, maka dalam hal ini, penguasa tidak boleh . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
dengan pendapat akal atau hawa nafsu mereka, berarti mereka telah menjadikan kedaulatan itu bukan lagi di tangan syara’, melainkan di tangan manusia. Hal inilah sebenarnya yang merupakan esensi dari demokrasi, yaitu menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Dalam pandangan demokrasi, manusia (para wakilnya di lembaga legislatif) yang berhak mengarahkan perjalanan masyarakat dan pemerintahan, yaitu dengan adanya undang-undang atau peraturan yang dibuat untuk mengikat kepala negara dan rakyat. Dalam pandangan Aqidah Islam mengajarkan manusia agar mereka senantiasa terikat dengan hukum syara’ dan hanya melaksanakan aturan tersebut, baik hal itu mengikat kepa negara ataupun masyarakat. Allah SWT. berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula patut bagi wanita mukmin apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS.Al Ahzab:36). Berkaitan dengan itu pula kemudian Allah mengecam manusia tatkala ia memutuskan hukum di luar aturanNya, sebagimana Allah SWT. berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-oang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada thagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thagut tersebut” (QS.An Nisaa’:60). Muhammad Ali Ash Shabuniy dalam Shofwat Tafaasir, juz I hal. 262 menafsirkan thagut dalam ayat itu adalah Ka’ab bin Asyraf, seorang tokoh Yahudi, yang sangat memusuhi Rasulullah SAW. Makna thagut tersebut adalah orang atau pihak di luar Islam yang dijadikan rujukan untuk bertahkim. Oleh sebab itu keberadaan majelis ummah (syura) dalam pandangan Islam bukanlah sebagai pembuat hukum (badan legislatif) sebagaimana parlemen dalam sistem demokrasi Barat. Adapun keberadaan dan fungsi majelis ummah adalah majelis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili aspirasi kaum muslimin agar menjadi pertimbangan khalifah, dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan-urusan kaum muslimin. Mereka mewakili ummat dalam melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) terhadap para pejabat pemerintahan (Hukkam). Untuk melakukan kontrol dan koreksi tersebut tolak ukurnya jelas dan tetap, yaitu hukum syara’. Jika terjadi perselisihan dalam proses hubungan penguasa dan rakyatnya maka keduanya merujuk pada rujukan yang sama, yaitu Al-Qur’an AlKarim dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal inilah yang diperintahkan syara’ (Allah SWT) kepada manusia dalam firmanNya: “...Jika kamu (ulil amri dan rakyat) berlain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Al-Qur’an Al-Karimdan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS.An Nisaa’:59). Peranan Majelis Ummah (Wakil Rakyat) Dalam Islam Nabhaniy dalam kitab Nidzamu l-hukmi fil Islam (h.212) menjelaskan bahwa Majelis ummah dalam pandangan Islam merupakan majelis yang para anggotanya adalah wakil rakyat dan berfungsi untuk menyampaikan aspirasi atau suara rakyat 118
117
zaman keemasan Islam. Umat Islam tidak perlu lagi berpikir tentang negara karena sudah final. Benarkah demikian? Tulisan ini berupaya untuk membahas dari beberapa aspek yang berkaitan dengan hal tersebut di atas. Pendapat Tentang Islam dan Pemerintahan Pendapat pertama menyatakan Islam (dalam aqidahnya) merupakan pola kehidupan yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan manusia dan untuk mengatur kehidupan masyarakat manusia tersebut, Allah SWT. memberikan aturan dan hukum bagi manusia untuk dilaksanakan di dalam kehidupannya. Hukum pengaturan kehidupan manusia pasti dan selalu berkait dengan urusan politik. Jadi, politik dalam Islam bukan saja ada tetapi merupakan ma’lumun minaddin bidhdharurrah (sesuatu yang sudah jelas diketahui wajib adanya) sebagaimana telah diketahuinya kewajiban tentang hal yang berkaitan dengan shalat, zakat, shaum, dll. Oleh sebab itu, mempertanyakan ada atau tidaknya politik dalam ajaran Islam sama sekali tidak relevan dengan fakta yang terdapat di dalam ajaran Islam itu sendiri. Bahkan sangat jelas. Pendapat ini didukung oleh Al Mawardi, Al Ghazali, Ibnu Taimiyah (kalangan ulama salaf), Rasyid Ridha, Al Maududi, Taqiyuddin An Nabhani, Sayyid Qutb, Hasan Al Bana, dll. (kalangan ulama mutaakhirin). Pendapat kedua, pendapat di atas mendapat tentangan dari Thaha Husein, dan Ali Abdur Raziq yang menulis kitab Al Islam wa Ushulul Hukm (1925) dimana dinyatakan bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik dan sistem politik, sebab Islam merupakan agama yang semata-mata hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Pendapat ketiga, Islam merupakan agama yang sempurna dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk masalah politik. Islam jelas mempunyai sistem politik, hanya saja ia sebatas memberikan garis-garis besar atau pokok-pokok dan substansi, sedangkan rinciannya diserahkan kepada manusia sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Pendapat ini menyatakan bahwa jika prinsip-prinsip, aturan-aturan yang ada, dan secara substansial sesuai atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dituju ajaran Islam, walaupun tidak seratus persen sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah maka masyarakat itu sudah dikategorikan masyarakat Islam(i).
117
Pandangan Tentang Politik Dalam Islam Islam merupakan sistem kehidupan yang berbeda dengan Kapitalismesekularisme, sosialisme dan komunisme. Di dalam masyarakat Islam, seluruh individu, kelompok masyarakat, maupun pemerintahan merupakan pelaksana aturan-aturan dan hukum syariat Islam. Adapun pembuat hukum syariat itu (al musyarri’) adalah Allah SWT. Islam tidak memberi kewenangan bagi manusia untuk menetapkan hukum. Manusia berkewajiban untuk menggali (istinbath) hukum dari sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian, Kedaulatan (As Siyadah) dalam perspektif hukum Islam hanya milik syara’ (Allah SWT sebagai Al Hakim) dan bukan di tangan rakyat atau wakil rakyat. Bertalian dengan pandangan tersebut di atas, jika wakil rakyat kaum muslimin berkumpul untuk membuat undang-undang (sebagai badan legislatif) . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
lainnya. Tugasnya hanyalah mengajak manusia kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur. Nabi tidak pernah menjadi kepala negara dan Islam yang dibawa oleh Nabi saw. hanyalah agama yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan kenegaraan. Islam adalah agama bukan negara, Islam adalah sikap hidup dan bukan pemerintahan, Islam adalah pandangan spiritual dan bukan institusi politik. Bahkan DR. Faraj Foda menyatakan bahwa sejarah Islam membuktikan bahwa percampuran antara agama dan politik telah bertanggung jawab atas kekerasan dan intoleransi. Dalam gerakan Islam, Negara agama tidak dapat diterima oleh dunia Islam. Demikian pula, Amien Rais (Kompas, 10/11/97) bahwa kata negara Islam atau Islamic state atau Ad Daulah Al Islamiyah tidak ada dalam Al Qur-an dan As sunnah. Tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara. Sebagai contoh, ia menunjukkan kata dulah pada surat Al Hasyr ayat 7 maupun kata nudawil pada surat Ali Imran 140. Menurutnya, walaupun kata-kata itu memiliki akar kata yang sama dengan kata daulah, pengertian negara sama sekali tidak terkandung. Akan tetapi pendapat mereka ditentang oleh para cendekiawan muslim lainnya. Dr. Muhammad Immara misalnya, ia menyatakan bahwa hanya negara saja yang dapat menjadi instrumen untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syariat. Dalam Islam, agama dan negara itu tidak dapat dipisahkan untuk menjalankan prinsip Islam. Tanpa adanya negara, pemenuhan prinsip Islam seperti pengelolaan zakat, penerapan hudud, dan pengaturan sistem hukum Islam tidak dapat berlangsung. Dalam pemikiran politik, perumusan konsep kenegaraan merupakan masalah yang mendasar. Bagi kaum muslimin, keberadaan negara merupakan instrumen yang paling penting dalam rangka merealisasikan tata nilai dan aturan Islam, menjamin kesejahteraan rakyat, dan menjaga komunitas masayarakat Islam (di dalamnya pun terdapat non-muslim yang dilindungi). Di pihak lain, Barat memiliki trauma historis tersendiri setelah kekalahannya pada Perang Salib. Akibatnya ”Islam politik“ dikhawatirkan mengancam kepentingan-kepentingan negara-negara Barat. Kondisi seperti ini sangat besar pengaruhnya terhadap diskursus konsep kenegaraan dalam Islam. Salah satu kritik tajam para ilmuwan politik yang meragukan tentang keabsahan politik Islam adalah ketidakrincian Islam dalam mengatur masalah kenegaraan. Dengan perkataan lain, Islam hanyalah menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa landasan etika dan moral, bukan konsep baku dan terperinci. Dr. Abdelwahab El Efendi dalam bukunya Who Needs an Islamic State? (Grey Seal London:1991) melontarkan kritik-kritik tajam terhadap para para pemikir politik Islam, diantaranya Imam Al Mawardi, Hasan Al Banna, Jamaluddin Al Afghaniy, Abu A‘la Al Maududi, Hasan At Turabi, dll. Efendi menyatakan para politikus tersebut tidak pernah berpikir serius tentang politik Islam dan bersifat utopis. Kesalahan mereka adalah terletak pada Khulafa-ur Rasyidin sebagai model penguasa Islam. Akibatnya, mereka menetapkan kriteria pemerintahan menurut model Khulafa-u Rasyidin itu. Mereka tidak memikirkan tentang institusi yang harus dimiliki oleh suatu negara, mekanisme pengalihan kekuasaan, dan batasanbatasan kekuasaan. Oleh karena itu, kata Al Efendi, umat Islam harus menghilangkan ilusi akan datangnya negara utopia itu yang akan mengembalikan 116
115
ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK
115
ISLAM DAN PEMERINTAHAN Diskursus mengenai konsep politik dan kenegaraan dalam masyarakat Islam memang sudah berlangsung sejak lama. Perdebatan yang paling menonjol terjadi setelah runtuhnya kekhalifahan Islam Turki Utsmaniy pada tahun 1924 dan diawali dengan terbitnya sebuah buku karya Syaikh ’Ali Abdul Al Raziq berjudul Al Islam Wa Ushul Al Hukm, setahun setelah keruntuhan tersebut. Buku ini telah menimbulkan kontroversi disebabkan berisi gugatan terhadap keberadaan Khilafah Islam. Dalam pandangan ’Ali Abdul Raziq, kekhilafahan bukanlah sebuah sistem politik melainkan sistem keduniawian. Pemikiran ini merupakan peletak pertama pandangan sekuler, yaitu memisahkan agama dengan politik dan negara. Munculnya suara sumbang yang mempertanyakan kembali keterlibatan agama dalam pemerintahan dan negara merupakan lagu lama yang diputar ulang para sekularis. Dua poin penting yang selalu dilantunkan adalah Pertama, perlu dihindari terjadinya politisasi agama, yang memanipulasikan sentimen agama dalam rangka kekuasaan dan mengagamakan politik. Sebab politisasi agama memindahkan agama yang seharusnya ada pada wilayah komunitas ke wilayah negara. Politisasi agama harus menjadi menjadi musuh agama dan sekaligus musuh politik. Kedua, negara-pemerintahan harus dibuat sekuler agar dapat netral atas keberagaman agama dan keyakinan, serta tidak menjadi instrumen agama tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Mortimer (1991), yaitu pemisahan negara dan agama sehingga negara tidak menjadi instrumen agama tertentu. Semua pemeluk agama adalah warga negara yang memiliki kedudukan hukum dan hak-hak yang sama. Dengan kata lain, negara tidak memberikan favouritism, priveledge kepada agama tertentu ataupun kepada interpretasi agama tertentu dan membuat sebuah negara sekuler, jika negara itu tidak menjadikan kitab suci agama tertentu sebagai konstitusinya dan tidak menjadikan hukum agama tertentu sebagai hukum nasional. Negara harus steril dan dinetralkan dari agama dan hukum agama sebab negara dibuat untuk melayani warga negara yang memiliki agama dan juga interpretasi yang berbedabeda. Dalam sebuah negara modern, apapun identitas dan agama warganegara, ia layak mempunyai hak dan kedudukan hukum yang sama. Memeluk agama tertentu tidak harus membuat mereka didiskriminasikan, baik dari hak-hak sosialnya, ataupun dari kesempatannya dalam percaturan politik. Prinsip kesamaan ini sulit dipenuhi jika negara itu memainkan favouritisme atas agama tertentu atau malah menjadikan kitab suci agama tertentu sebagai konstitusi dan dasar hukum nasional. Kata kunci negara sekuler bukan di tingkat keterlibatan dengan pemerintah, tetapi pada equal treatment (perlakuan yang sama) atas keberagaman agama. Untuk mengontrol pelaksanaan prinsip itu, kekuasaan pemerintah dibatasi dengan apa yang disebut Hak Asasi Manusia (HAM). Setahun setelah kekhalifahan Islam di Turki runtuh, Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya yang sangat kontroversial, Al Islam wa Ushul Al hukm. Dalam kitab tersebut, Ia menyatakan bahwa Islam tidak memiliki ajaran tentang sistem kenegaraan. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul seperti halnya para rasul . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
menerapkan syariat Islam dipandang sebagai masyarakat tradisonal, konservatif, dan tradisonal. 4. Anggapan masyarakat kita tidak siap. Alasan ini merupakan kilah atas keengganan, sebab ketika di Indonesia diterapkan hukum kolonial Belanda sampai saat ini, pernahkah rakyat Indonesia ditanyai tentang kesiapan mereka menerapkan hukum kolonial itu. Begitu pula ketika dulu rakyat Indonesia diterapkan demokrasi terpimpin dan parlementer, apakah rakyat ditanyai tentang kesiapannya terlebih dahulu. Jawab atas pertanyaan itu adalah tidak pernah. Lalu, mengapa alasan masyarakat tidak siap itu hanya ditujukan pada syariat Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah yang tidak siap itu adalah orang-orang yang khawatir kejahatan dan kezalimannya terbongkar bahkan diadili? 5. Anggapan adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan pemerintahan Islam, sehingga Islam yang mana yang akan diterapkan ? Alasan ini terlalu mengada-ada, sebab realitas menunjukkan bahwa dalam sistem manapun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya tentang sistem republik, apakah presidentil ataukah parlementer. Bentuknyapun terjadi pro-kontra, apakah kesatuan atau otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihanpun berbedabeda, apakah pemilihan langsung (lihat pendapat J.J. Rousseu), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang kehidupan termasuk politik. Lalu mengapa adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik dan sistem pemerintahan dalam Islam dijadikan sebagai dalih sekaligus kilah untuk tidak dilaksanakannya Islam sebagai syariat? Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan yang sama?
114
113
113
SWT. Padahal seorang muslim harus senantiasa terikat dengan hukum Allah SWT. dalam setiap perilakunya, baik dalam ekonomi, sosial, politik, budaya, termasuk pemerintahan. Berkaitan dengan nada miring di atas seharusnya pernyataan yang sama pun ditujukan pada mereka yang rajin memperjuangkan sekularisme, demokrasi, dan kapitalisme. Jika mereka konsisten, semestinya cukup hanya substansi demokrasi, sekularisme, dan kapitalisme saja yang dituntutnya. Akan tetapi kenyataan membuktikan tidak demikian, dimana faham tersebut tadi diterapkan dalam bentuk formal mengatur aktivitas kehidupan sebuah masyarakat. 2. Penduduk yang hidup di Indonesia bukan hanya muslim tetapi juga nonMuslim; tidak homogen tapi heterogen. Berkaitan dengan pernyataan ini sebenarnya menunjukkan kegagalannya dalam memahami realitas masyarakat. Pada faktanya, hukum manapun yang diterapkan bagi sebuah masyarakat tidaklah diperuntukkan hanya bagi satu kelompok manusia atau masyarakat yang homogen saja. Sebagai contoh, Amerika merupakan sebuah negara yang tidak semua penduduknya beragama Nasrani, akan tetapi aturan atau sistem yang berlaku dalam mengatur negara tersebut adalah kapitalisme sekularisme. Begitu pula di Cina, jutaan umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan adalah aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional jika penolakan syariat Islam tersebut dilandaskan pada alasan terjadinya heterogenitas penduduknya. Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan sistem kapitalisme meskipun tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah pula berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Pokok persoalan yang sebenarnya bukanlah terletak homogenitas dan heterogenitas suatu masyarakat, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun agamanya) dapat memberikan jaminan terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan suatu masyarakat apapun agama, bangsa, sukunya. 3. Anggapan hukum Islam itu kejam, diskriminatif, dan primitif. Tudingan ini lebih mencerminkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal jika kita mau berpikir logis, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya apakah masyarakat yang rata-rata kehidupan seksualitas anggota masyarakatnya bersih karena diberlakukan hukum Islam (karena Islam melarang mendekati zina dan ada hukum pidana yang tegas tentang pelanggaraan ini) ataukah masyarakat yang permisif, hedonis, dan kacau; yang di dalamnya industrialisasi seks telah dipandang biasa, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang kuat? Tentu saja, masyarakat kelompok pertama merupakan masyarakat yang luhur, sesuai harkat dan martabat manusia, serta beradab. Sebaliknya kelompok kedua merupakan masyarakat yang pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup tanpa aturan yang jelas dan pasti dapat menjamin hak-hak hidup mereka sebagai manusia. Hanya saja, banyak masyarakat yang masih berpandangan bahwa masyarakat sekuler dan kapitalistik yang hedonis dan permisif itulah yang dianggap masyarakat modern, sedangkan masyarakat yang berupaya
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga. Berbagai tragedi pun telah mewarnai wajah dunia pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa, mahasiswa sampai demontrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, betapa dunia pendidikan kita begitu rapuhnya. MENEPIS KEBERATAN Terdapat respon negatif terhadap syariat Islam. Pada dasarnya hambatan menerapkan syariat Islam dibagi dua kelompok, yaitu: Pertama, Problem internal umat Islam. Problem ini berkaitan dengan ketidakfahaman umat Islam terhadap syariat Islam yang memunculkan keberatan. Jika ditelaah hal ini merupakan cermin ketidakberhasilan umat Islam mengapresiasi ajaran Islam. Kedua adalah Problem Eksternal, yaitu ketidaksukaan kelompok atau negara yang benci dengan Islam. Berkaitan dengan itu, secara umum kendala internal umat Islam dalam menerapkan syariat adalah masalah kekurangpahaman terhadap syariat Islam, sehingga muncul Islamophobia. Ketakutan umat Islam terhadap aturan syariat agama yang diyakininya. Hal ini dapat kita perhatikan pada ungkapan yang miring di antaranya: 1. Islam itu yang penting bukan formalitasnya tapi substansinya. Pendapat ini jika kita perhatikan sepintas seolah-olah benar. Sebab inti dari seluruh ajaran Islam adalah mengajak manusia untuk menjadi baik, jujur, sopan, berakhlaqul karimah, dll. Tetapi pendapat seperti ini jelas mengandung kekeliruan. Sebagai contoh, bahwa Islam memerintahkan seorang muslim untuk melakukan syariat shalat, shaum Ramadhan, zakat, dan hukum lainnya yang berkaitan dengan kehidupan seperti haramnya riba, zina, dll. Secara formalitas aktivitas syariat yang seperti itu harus dijalankan dan tidak bisa ditinggalkan; terlepas apakah ia jujur/tidak, amanah/tidak, dll. Tidak dapat dikatakan bahwa orang jika sudah baik, jujur, berkhlaqul karimah maka tidak perlu lagi menjalankan shalat dan aktivitas syariat lainnya. Jadi, pendapat ini jelas bukan hanya berbahaya tapi bertentangan dengan realitas, yaitu Pertama, di dalam Islam tidak ada aturan yang diterapkan sekadar substansinya saja. Kedua, dengan tidak diformalkannya aturan Islam berarti akan menciptakan peluang (umat Islam) main hakim sendiri keluar dari aturan Allah 112
111
111
hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa dan dosa berakibat turunnya azab Allah SWT. Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Agama telah diamputasi dan dikebiri; dimasukkan dalam satu kotak tersendiri dan kehidupan berada pada kotak yang lain. Dalam urusan pengaturan kehidupan, sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik. Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan demi meraih perolehan materi tanpa memandang sesuai aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilainilai (kebenaran) melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya. Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamadudukan semua agama. Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT. Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai pengetahuan, ilmu, dan teknologi (PITEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (PITEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik-moral (ethic) yang . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
agama mereka mengatur sebuh kehidupan masyarakat dan diharapkan tentu umat Islam tidak menjadi Islamophobia. MASYARAKAT SEKULER Masyarakat sekuler memiliki karakteristik berbeda dengan masyarakat Islam. Masyarakat sekuler adalah masyarakat yang memisahkan agama dari kehidupan. Masyarakat yang menjadikan prinsip-prinsip sekuler (dibuat berdasarkan akal manusia dan kepentingan manusia tanpa melibatkan nilai-nilai agama) sebagai konsepsi kehidupannya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, serta penentu arahnya dalam seluruh aspek kehidupan. Indonesia berada dalam kondisi krisi multidimensional. Kondisi ini merupakan produk dari sebuah sistem hidup yang digunakan dan diterapkan dalam mengatur mekanisme sebuah masyarakat. Jika kita cermat mengamati, maka kita akan sepakat untuk menyatakan bahwa sistem dan pandangan hidup yang digunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat Indonesia adalah kapitalismesekularisme. Pandangan paham ini menyatakan bahwa kehidupan harus steril dari agama termasuk Islam. Artinya hukum-hukum agama (Islam) tidak bisa dijadikan sebagai patokan sebagai penyelesaian persoalan pemerintahan, negara dan masalah publik lainnya. Akibat sebuah sistem yang sekulatistik-kapitalistik itu nampak ketika masyarakat Indonesia mengalami krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan dan berbagai bentuk patologi sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Mengapa semua ini terjadi? Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan karena perilaku manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam alQur’ân surah ar-Rum ayat 41: “Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS. Ar Rum: 41) Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bi maa kasabat aydinnaas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiyat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap 110
109
109
nonmuslim diberikan keleluasaan untuk berusaha dan beraktivitas sebagaimana yang terdapat bagi kaum muslimin. Hanya saja, melakukan perbuatan riba, suap, KKN, dumping, menimbun, curang dan menipu dalam transaksi yang terjadi diharamkan untuk dilakukan bagi mereka sebagaimana hal itu juga berlaku bagi kaum muslimin. Perkara ini dapat kita perhatikan bagaimana Rasulullah SAW. ketika menulis surat kepada orang-orang majusi Hijr: ”... Hendaklah kalian meninggalkan riba atau jika tidak besiap-siaplah untuk menerima pernyataan perang dari Allah dan RasulNya“. Merekapun dapat menjadi pegawai negeri dalam jabatan-jabatan yang terkait dengan sains-teknologi, manajemen dll. 6. Jaminan kebebasan beragama Kebebasan beragama dan beribadah bagi orang-orang nonmuslim adalah wajib, sebagaimana firman Allah SWT. : ”Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya ?“ (QS. Yunus:99). Pada saat Umar bin Khaththab ra. memasuki kota Al Quds (Yerusalem/Illiya), beliau membuat perjanjian dengan orang-orang Nasrani di kota itu. Adapun bunyi sebagian teksnya adalah: ”Inilah janji perlindungan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi mereka harta benda, gereja-gereja, salib-salib, serta egala kepeluan peribadatan. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan, ataupun dikurangi luasnya, diambil salib salib-salibnya, atau apapun dari harta mereka. Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka ata diganggu dengan suatu gangguan dan tidak akan dobolehkan seorangpun dari kaum Yahudi bertempat tinggal di Iliya bersama mereka (Nasrani)“ (perhatikan Tarikh Thabariy, juz III: 609) Satu-satunya yang diminta Islam adalah mereka mampu menenggang perasaan dan ibadah kaum muslimin dan menjaga kesucian Islam. Berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, maka dalam hukum Islam terdapat kaidah hukum yang berlaku atas seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, yaitu: ”Atas mereka (nonmuslim) hak-hak mereka sama seperti hak-hak kita (kaum muslim) miliki, begitu pula kewajiban-kewajiban mereka sama seperti kewajiban yang kita miliki“ Hendaknya kita dapat membandingkan bagaimana kaum lain terhadap kaum muslimin sejak peristiwa pengusiran kaum muslimin di Andalusia oleh orang Eropa, disusul dengan perlakuan mereka dalam perang salib, sampai era modern di negaranegara penyeru demokrasi dan kebebasan, apalagi jika kaum muslimin tersebut minoritas. Belum lagi sikap Rusia, China, Serbia, Ethiopia, India, Burma, Philipina yang teramat menyakitkan. Oleh sebab itu, selama sebuah masyarakat tidak memiliki sistem perundangundangan yang mengatur secara adil dan benar interaksi dan mekanisme antara anggota masyarakat, terutama yang berbeda agama/keyakinan, ras, golongan, suku, maka selama itu pula potensi konflik akan terakumulasi menunggu kondisi matang dan meledak. Dengan memahami gambaran Islam dan perlakuan Islam terhadap orang yang beragama/berkeyakinan berbeda, maka paling tidak citraan negatif dan keliru yang selama ini dipaksakan oleh orang yang tidak suka Islam dan umatnya dapat dihilangkan. Lebih dari itu, umat Islampun mengerti bagaimana hukum . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
nonmuslim diharamkan dalam Islam. Berkaitan dengan ini Rasulullah SAW. bersabda: ”Barang siapa membunuh seorang mu‘ahid (orang yang terikat perjanjian dengan masyarakat kaum muslimin) maka ia tidak akan mencium harumnya surga, sedangkan harum surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun“ (HR. Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah). Diriwayatkan pula bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah memerintahkan seorang muslim untuk dihukum qishash (dihukum bunuh) karena ia membunuh non-muslim (ahlu dzimmah). Namun sebelum hal itu terlaksana, datang keluarga korban memaafkannya. Lalu Ali ra. bertanya: ”Jangan-jangan ada orang yang mengancam atau menakut-nakuti engkau“. Mereka menjawab, ”Tidak, namun aku fikir pembunuhan itu tidak akan menghidupkan kembali saudaraku, maka berilah saja aku tebusan (diyat) dan aku rela sepenuhnya“. Ali pun lalu berkata: ”Engkau lebih tahu, barang siapa terikat dzimmah kami, maka darahnya sama seperti darah kami (kaum muslimin) dan diyatnya seperti diyat kami“. (HR. Thabrani & Baihaqi, Sunan al Kubra, juz VIII: 34) 3. Perlindungan (Jaminan) terhadap harta benda. Imam Abu Yusuf dalam kitabnya Al Kharaj: 72 menukil riwayat mengenai perjanjian Nabi saw. dengan orang-orang Nasrani Najran: ”Bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah dan dzimmah Muhammad, Nabi dan RasulNya atas harta benda mereka, tempat peribadatan serta apa saja yang berada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak“ 4. Perlindungan (Jaminan) atas kehormatan Islam menjamin mereka atas kehormatan dan harga diri. Siapapun tidak boleh mencaci maki seorang dzimmi atau mengajukan tuduhan palsu, menjelekjelekkannya, menggunjingkan dengan ucapan yang tidak disukainya, dan lainlain. Imam Qarafiy dalam kitab Al Furuuq, juz III: 14, menyatakan: ”Aqad dzimmah mewajibkan berbagai hak untuk mereka, sebab mereka ada dalam lindungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah dan RasulNya, serta agama Islam. Maka barang siapa melakukan pelanggaran atas mereka meski satu kata busuk atau gunjingan maka ia berarti menyia-nyiakan dzimmah Allah, RasulNya, serta dzimmah Islam“. 5. Jaminan hari tua dan terbebas kemiskinan (Jaminan Ekonomi) Orang-orang nonmuslim dalam masyarakat Islam berhak atas jaminan hidup, apalagi jika mereka dalam keadaan fakir dan miskin. Sebab, seorang kepala negara merupakan pemimpin atas seluruh rakyatnya dan ia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya terhadap rakyatnya. Rasulullah bersabda: ”Seorang imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya“ (HR. Muslim). Berkenaan dengan hal ini Umar bin Khatthab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang tengah mengemis. Ketika ditanyakan padanya, ternyata usia dan kebutuhan hidup mendesaknya untuk berbuat itu. Maka Umar segera membawanya pada bendahara Baitul maal (kas negara) dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang tua itu dan orangorang seperti dia uang dari baitul mal (kas negara) yang mencukupi hidup mereka. Lalu Umar berkata: ”Kita telah bertindak zalim terhadapnya, menerima pembayaran jizyah ketika ia masih muda, kemudian menelantarkannya dikala telah lanjut usia“ (Perhatikan kitab Al Kharaj: 26). Dalam aspek ekonomi (perdagangan) warga 108
107
107
juz 2/237). Begitu pula tindakan Nabi Muhammad SAW. yang menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (Lihat Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubat). Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh Rasul SAW. beserta para sahabatnya. Karena itu, jelas bahwa sejak awal, Islam hidup dan berhasil memimpin masyarakat di tengah pluralitas agama. Tampak betapa syariat Islam merupakan pilihan syar’i sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka mengubah kezaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia, menyingkirkan kejahiliahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam. Dalam ajaran Islam keberadaan warga masyarakat nonmuslim yang berada dalam lingkungan kehidupan masyarakat Islam disebut dengan istilah ahlu Dzimmah. Dzimmah memiliki pengertian perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka disebut sebagai ahlu dzimmah disebabkan mereka memiliki jaminan perjanjian Allah dan RasulNya, serta jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam dan sistemnya. Jadi mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin berdasarkan pada aqad dzimmah. Orang-orang nonmuslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain yang beragama Islam, tanpa ada perbedaan sedikitpun. Aqad dzimmah ini berlaku selamanya, yang mengandung arti membolehkan orang-orang nonmuslim tetap memeluk agama mereka sekaligus menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara. Kewajiban mereka adalah hanya menunaikan jizyah (semacam pajak pertahun bagi yang mampu), tunduk pada aturan-aturan Islam sepanjang tidak berhubungan langsung dengan perkara-perkara agama dan ibadah mereka. Adapun hak-hak nonmuslim yang dijamin Allah dan RasulNya, antara lain: 1. Hak (Jaminan) Perlindungan. Hak ini meliputi perlindungan dari serangan eksternal maupun kezaliman internal sehingga mereka merasa aman dan tentram. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: ”Barang siapa yang bertindak dzalim terhadap seseorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau membebaninya lebih dari batas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dengan tanpa keridlaannya, maka akulah yang akan menjadi lawan si dzalim itu pada hari Qiamat“ (HR. Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, juz V:205). Imam Qarafiy Al Malikiy dalam kitab Al Furuq, juz III:14-15) menyatakan bahwa: ”...Apabila orang kafir datang ke negeri kita hendak mengganggu orang-orang yang berada dalam perlindungan aqad dzimmah maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah dan dzimmah rasulNya“. Khalifah Umar bin Khatthab sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tarikh Thabariy, juz IV: 218, selalu bertanya kepada orang-orang yang datang dari daerah-daerah tentang keadaan ahlu dzimmah, karena beliau khawatir ada di antara kaum muslimin yang menimbulkan gangguan terhadap mereka. Lalu orang-orang yang datang itu menjawab: ”Tidak ada sesuatu yang kami ketahui melainkan perjanjian itu dijalankan sebaik-baiknya oleh (penguasa daerah) kaum muslimin“ 2. Perlindungan (Jaminan) nyawa dan badan. Nyawa atau darah para ahlu dzimmah dipelihara dan dijamin keselamatannya. Oleh sebab itu, pembunuhan atas . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
sekembalinya dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi (dzira’), baju perlengkapan perang, dan beliau menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku. Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain. Bagaimana bisa ada di tokomu?” Orang Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di tokonya. Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta merta mengambil paksa harta miliknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Namun, Qadhi Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?” Meskipun demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali pun menerima kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat bicara, “Wahai Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang baju besi milikmu. Namun, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat Imam as-Suyuthi, Tarikh alKhulafa’). Sungguh, keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar! Di samping persamaan dalam hukum, Khilafah tidak diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang nonmuslim. Diriwayatkan bahwa ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah provinsi Mesir di masa Khalifah Umar ibn alKhaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan bapaknya (Amr bin ‘Ash r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti rugi (diat) atas kezaliman itu. Anak Qibthi itu memilih qishash. Ia pun mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum qishash itu, Khalifah Umar mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak Gubernur, karena itu cambuk saja Gubernur itu sekalian!” Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam hukum qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” (Lihat Manaqib Umar). Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan keadilan. Perhatikan isi surat Nabi Muhammad SAW. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.” (Lihat Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah Islamiyyah, 106
105
Berdasarkan hal ini, maka seorang muslim tidak selayaknya berpaling dan beralih kepada aturan dan nilai yang lain. Apalagi jika sistem hukum tersebut merupakan produk manusia yang sarat dengan kelemahan dan keterbatasan. Jika Allah SWT. telah memberikan kepada kita aturan kehidupan sempurna dan lengkap maka tidak boleh bagi seorang muslim berpaling dari aturanNya itu. Allah saw. berfirman: ”Dan
tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata“ (QS. Al Ahzab:36) Oleh sebab itulah, siapapun orangnya, apapun juga jabatannya, selama ia seorang mukmin yang meyakini pada kebenaran dan kesempurnaan hukum Allah maka wajib baginya untuk menerapkan dan mengikuti aturan yang telah Allah tentukan. ”Maka
putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu“ (QS. Al Maa-idah: 48)
Imam Al-Qasimiy dalam kitab Mukhtashar Tafsir Al-Qur’an Al-Karim menyatakan bahwa pengertian ”fahkum bainahum bimaa anzalallahu“ tersebut bermakna diterapkan pula di tengah ahlul kitab jika mereka merujuk kepadamu (Muhammad). Imam Nasafiy menyatakan: ”Allah SWT. mengingatkan tentang diturunkannya Taurat kepada Musa as. kemudian diturunkannya Injil kepada Isa as., setelah itu diturunkannya Al-Qur’an Al-Karimkepada Muhammad saw. dan hal itu bukan sekdar untuk didengar saja, melainkan untuk diterapkan“ (Perhatikan kitab Mukhtashar min Mahaasini at Takwil karya Imam Al Qasimiy). Demikianlah, setiap muslim berkewajiban memperlakukan seluruh manusia dengan kebajikan dan keadilan, meski mereka tidak beragama Islam, selama mereka tidak memerangi, membuat makar, dan memusuhi kaum muslimin.
105
Jaminan Islam Terhadap Nonmuslim Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak syariat Islam adalah adanya nonmuslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam diterapkan semua orang harus beralih agama, hak beragama nonmuslim diabaikan. Padahal, siapa pun yang memahami sejarah Nabi SAW. akan menolak pandangan seperti tadi. Negara yang dimulai sejak Rasulullah SAW. di kota Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau al-Madînah al-Munawwarah) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara disebut sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk nonmuslim yang menjadi warga negara yang tunduk kepada sistem hukum Islam. (Lihat QS at-Taubah: 29). Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan bahwa . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
arahnya dalam seluruh aspek kehidupan. Tidaklah mengherankan, di dalam ajaran dan hukum-hukum Islam sarat dengan prinsip-prinsip keadilan yang pernah ditarapkan sejak masa Rasulullah SAW. Hal ini tidak lain karena kesempurnaan Islam yang berasal dari Dzat Yang maha Adil dan Sempurna, sebagaimana firmannya: ”Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu (Islam) dan telah Kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu“ (QS. Al Maidah:3) Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Islam merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi ummat Islam dengan disempurnakannya agama mereka yang tidak lagi membutuhkan agama (ajaran, sistem hidup, sumber hukum) yang lain. Juga tidak lagi membutuhkan Nabi selain Nabi Muhammad saw. Hal ini pula yang menyebabkan Rasulullah Muhammad saw menjadi nabi akhir zaman dan pamungkas yang dibangkitkan untuk manusia dan jin, yang tidak ada hukum halal dan haram kecuali yang dihalalkan dan diharamkan Allah dan tidsak ada agama kecuali yang disyariatkan Allah (Tafsir Ibnu Katsir, juz II: 18). Meskipun demikian, hal ini tidak berarti masyarakat Islam memvonis mati setiap unsur lain di dalam masyarakatnya yang kebetulan memeluk agama selain Islam. Perlu diketahui bahwa makna keadilan dalam ayat di atas berlaku umum bagi siapapun dalam arti lintas warna kulit, bahasa, ras, suku, bangsa, maupun agama. Untuk itulah Islam memberikan landasan kuat berupa sikap yang ditegaskan dalam firman Allah SWT. : ”Allah tidak melarang kamu (kaum muslimin) untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil..“
Allah SWT. menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah SAW. sebagai rahmatan lil ’alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Kehadiran Rasulullah SAW. dengan membawa wahyu Allah (Al Quran) dan perilaku beliau dibimbing wahyu tersebut telah menjadikan perilaku beliau, tutur katanya sebagai hukum syara‘ dan teladan bagi manusia. ”Dan
tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam“ (QS. Al Anbiya: 107). Selain itu, kesempurnaan dan luasnya cakupan yang terdapat dalam Islam menjadikan tidak ada satu perkarapun yang luput dari nilai dan hukumnya, sehingga hal tersebut menunjukkan ketelitian, keagungan, kesempurnaan syariat Islam dalam mengatur manusia dan alam semesta. Allah SWT. berfirman: ”Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri“ (QS. An Nahl: 89). 104
103
perbatasan dengan Xinjiang (Cina). Daerah-daerah tersebut kaya dengan ratusan suku bangsa maupun ras, juga keyakinan/agama (Hindi, Budha, Nasrani, Yahudi, Zoroaster, dll). Namun pluralitas tersebut dibiarkan ada dan hidup sebagai sebuah kenyataan dan fakta yang tidak mungkin dielakkan. Dengan demikian, pluralitas merupakan hal yang diterima, dihadapi, diatur secara adil mekanismenya dan interaksinya agar menjadi dinamika masyakat yang positif dan bukan potensi negatif yang melahirkan anarkhisme massal dan chaos. Masyarakat kapitalisme (negara-negara Eropa Barat dan Amerika), masyarakat sosialisme-komunisme ( negara-negara Blok Timur), maupun masyarakat Indonesia atau negeri-negeri lainnya menghadapi kenyataan yang sama, yaitu pluralitas masyarakat. Jadi, kenyataan tentang madsyarakat itu dimanapun sama saja. Perbedaan yang fundamental dari masing-masing tipe masyarakat tersebut terletak pada jenis sistem mekanisme yang mengatur interaksi anggota-anggota masyarakat. Yang paling penting adalah sistem mekanisme itu haruslah benar dan adil, sehingga dapat dijaga dan dipelihara dengan tegas oleh negara. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sebuah negeri atau peradaban akan ditimpa malapetaka kehancuran masyarakatnya hanya disebabkan tidak memiliki sistem yang sahoih (benar) yang dapat mengatur interaksi anggota-anggota masyarakatnya sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebuah kenyataan yang ironis di Indonesia adalah terjadinya upaya untuk menjauhkan masyarakat dari kenyataan kemajemukkan masyarakat serta keharusan adanya sistem yang mengatur mereka sehingga muncullah istila SARA dengan tujuan terciptanya toleransi, kerjasama, maupun kerukunan hidup beragama maupun masyarakat. Padahal kenyataan tentang hal itu adalah bahwa masyarakat sendiri buta tentang-hak-hak mereka dan kewajibannya, malah justru mereka tidak memahami bagaimana negara bersikap terhadap perselisihan yang berujung pada masalah SARA. Pada akhirnya kerukunan dan toleransi yang terjadi hanyalah kerukunan dan toleransi semu, disebabkan ketakutan diruduh menyulut isu SARA. Ketika sendi-sendi masyarakat hancur, rasa takut masyarakat menjadi hilang, potensi konflik pun berubah menjadi amuk massa dan kerusuhan tidak terelakkan. Oleh sebab itu, sekali lagi perbedaan yang asasi sebuah masyarakat terletak pada Sistem Nilai apa yang diterapkan dalam masyarakat tersebut. Jadi, pluralitas merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Di dalam Islam keberadaan pluralitas itu dapat melahirkan ikatan persaudaraan yang kokoh. Hal ini disebabkan Islam memandang semua manusia sama di hadapan Allah. Tidak ada diskriminasi dalam Islam. Islam tidak membedakan manusia dari sisi bangsa, suku bangsa, warna kulit, dan bahasa. Perbedaan seorang manusia dalam Islam disebabkan perbedaan tingkat ketakwaannya, ketaatannya kepada Allah, dan amal salehnya.
103
MASYARAKAT ISLAM Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bersandar pada aqidah dan aturan-aturan Islam yang bersumber pada Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang menjadikan Islam sebagai konsepsi kehidupannya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, serta penentu . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
SYARIAT ISLAM DAN PLURALITAS MASYARAKAT Lazimnya sebuah masyarakat, di dalamnya pasti hidup secara bersama-sama bermacam kelompok masyarakat berbeda gender, usia, bangsa, suku bangsa, organisasi, aliran politik, dan agama. Di samping adanya kemajemukan itu, tentu saja masyarakat terdapat sistem yang mengatur interaksi antaranggota masyarakat, antarmasyarakat dengan penguasanya/pemerintah, antarmasyarakat suatu negeri dengan negeri lainnya. Pada aspek lain masyarakat memiliki corak/warna khas, seperti masyarakat berdasarkan kapitalisme dengan individualisme, sekularisme, liberalisme berbeda dengan masyarakat sosialis-komunis dan juga Islam. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sehingga pluralitas masyarakat adalah bagian dari eksistensi kehidupan masyarakat itu sendiri, bahkan bagian dari penciptaan manusia.
; ا ا<)آ/ 86)را ان اآHـ, $) c () وH')آ _ـHM و- و ا6ـ')آ ذآT )-)ا)ا)س ا . 6 ـT '/ ان ا ”Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“ (QS.Al Hujurat: 13)
Berdasarkan ayat ini, kita dapat memahami bahwa pluralitas sebuah masyarakat merupakan fakta yang tidak dapat terelakan dalam kehidupan manusia. Keadaan perbedaan dari jenis kelamin, usia, kelompok atau golongan, suku, bangsa, dan bahkan agama merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal itu merupakan gambaran dari keberadaan fitrah manusia yang memang berkecenderungan untuk hidup dalam suatu komunitas. Berkaitan dengan pluralitas ini, ternyata Islam tidak menolak hal itu. Bahkan Islam tidak mengenal 100% anggota masyarakatnya menganut agama Islam, karena hal itu tidak sesuai dengan fakta kefitrahan manusia dan tidak sesuai pula dengan firman Allah SWT., yaitu: ”Dan
Q68< +ـ-%) أـH ـM ا@رض آ'ـh @ـ ـjء ر(ـ1و _ـ b ا-8 ,# ا)س
jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua manusia yang ada di muka bumi itu seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya? (QS. Yunus:99)
Sejak masa Rasulullah SAW. saat menegakkan sebuah masyarakat Islam di madinah maka faktanya merupakan masyarakat yang di dalamnya hidup berbagai kelompok masyarakat yang berbeda agama/keyakinan, golongan, suku bangsa/ras, dan perbedaan lainnya. Di kota Madinah hidup orang-orang yahudi dari suku Qainuqa, Nadhir, dan Quraidhah. Belum lagi terdapat qabilah Aus dan Khazraj, serta kaum muhajirin dari Makkah yang berasal dari berbagai anak suku Quraisy. Begitu pula ketika peradaban Islam masuk ke daerah-daerah Afrika Utara, Andalusia (Portugis, Spanyol, dan sebagian Perancis), Balkan, Asia Kecil, Asia Tengah samapi wilayah India, Pakistan, bangladesh, Burma, dan kawasan 102
101
kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya ataupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat, dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadipribadi yang memiliki jiwa yang tunduk kepada perintah dan larangan Allah SWT., memiliki kecerdasan, kemampuan berpikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berpikir Islami, serta memiliki kemampuan keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan dengan negara menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah, universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah SAW. menerima tebusan tawanan perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslim di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (Lihat Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam). Ketiga, politik keuangan. Islam menetapkan emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti diat misalnya, 1000 dinar. Fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar itu tidak terkena inflasi dan tidak akan terguncang nilainya oleh perubahan sosial politik. Islam juga mengajarkan bahwa uang sebagai alat tukar itu harus produktif. Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dalam firman-Nya:
َ) ِر- hِ )َْ 'َ/ َ َْ9ُ ب َأِ َْ َم ٍ َاHَ (ِ ُْْه6&2 َ َ ِ ِ ِ ا َ hِ )َ-َ ُِ ُْ >َ َ" َو4ِ ْ وَاG َ ن ا َه َ ُوUِْ8َ َ ِوَا
ن َ ُوUِ ْ8<َ ُْ,ُُْا َ) آcُْ َُو8E ِ ُْ-@َ ِ ُْ<ْUَ ُُرُهُْ َهَا َ) َآIُُ(ُُْ َوM َ)هُُْ َوM ِ )َ(ِ َْى8ُ,َ َ َ M َ
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan-Nya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka, Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu” (QS at-Taubah : 34-35).
Juga, Islam menetapkan bahwa uang sebagai alat tukar tidak boleh diputar dalam bisnis nonriil, seperti dipinjamkan untuk mendapatkan ribanya (bunga atau interest). Jelas, Allah SWT. menyifati bisnis riba ini sebagai bisnis yang tidak (akan) stabil. Allah mengumpamakan orang-orang yang makan riba bagaikan orang yang sempoyongan kemasukan setan. Dia berfirman:
ُ*ْ َ َْ) ا-َ)ُا ِإc ُْ-%َ(ِ j َ ِ& َذmَ ْ ا َ ِ َُ)نlْ 2ُ اSُl X َ ,َ َ ن ِإ> َآَ) َُمُ اِي َ َُُ >َ )َ(&6ن ا َ ُ'ُْآ%َ َ ِا )َ(&6 َم ا6# َ اُ اْ َ ْ َ* َو# َ &(َ) َوَأ6ِْ ُ ا
101
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri selain seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan demikian disebabkan mereka mengatakan sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… .” (QS al-Baqarah : 275).
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok kolektif warga yang dijamin. 8. Memelihara negara, yakni dengan adanya penjagaan kesatuan negara dan melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata melawan negara (Lihat QS al-Maa-idah [5]: 33 dan Hadis Nabi SAW.). Juga hadis Nabi Muhammad SAW:, “Siapa yang datang kepada kalian di mana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia berusaha memecah belah jamaah kalian, maka potonglah leher orang itu” (Lihat An-Nabhani, Nidzamul Hukmi fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat manusia, bukan memecah-belahnya. Jadi, setiap hukum Islam bila diterapkan akan menghasilkan kehidupan manusia yang maslahat, muslim dan nonmuslim. Dengan demikian, melalui penerapan syariat Islam secara total, kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia. Islam benar-benar merupakan rahmatan lil ‘âlamîn. Beberapa Contoh Pelaksanaan Syariat Islam Banyak sekali contoh hukum syariat yang menunjukkan keberpihakkannya pada siapa pun (muslim atau nonmuslim) yang mendukung syariat Islam. Di antaranya adalah seperti berikut. Pertama, Kebijakan ekonomi umum. Islam memandang bahwa masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat dan pemenuhan kebutuhan masyarakat bukanlah pemenuhan total kebutuhan, tapi merupakan pemenuhan per individu secara menyeluruh. Dari sini kebijakan ekonomi yang dibuat adalah, pertama: negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah), yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individu. Tidak boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki ataupun disewa). Nabi SAW. bersabda, “Penduduk mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan, Allah akan melepas jaminannya kepada mereka semua”. Dalam hadis lain, beliau SAW. bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur nyenyak di malam hari, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal dia tahu”. Dalam hal ini, negara memberikan peluang kerja seluas-luasnya, serta menyantuni mereka yang lemah dan papa. Kedua, negara memberi peluang seluasluasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini, negara memberi fasilitas seluas-luasnya, termasuk membebaskan biaya administrasi untuk usaha masyarakat dalam mengembangkan modalnya, tanpa membedakan muslim dan non mujslim. Ketiga, negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Apabila terjadi ketidakseimbangan ekonomi di antara warga negara karena kemampuan yang berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah (fakir miskin) agar mampu bangkit sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT. berfirman, “Agar jangan harta itu hanya berputar di kalangan orang kaya di antara kalian” (TQS al-Hasyr [59]: 7). Kedua, jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga masyarakat. Islam memerintahkan negara untuk menjamin 100
99
99
sesamanya, anak tidak menghormati orang tuanya, istri tidak menghormati suaminya, bahkan manusia tidak menghormati Tuhannya. Tuhan dan ibadah jadi bahan ejekan. 4. Memelihara jiwa manusia, yakni dengan ditetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak dan hikmah hukuman itu (qishash) adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat QS al-Baqarah [2]: 179). Kalaupun tidak dikenai hukum qishash, yang berlaku adalah hukum diat. Berdasarkan diat ini, keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib diberikan pihak keluarga pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor unta atau 200 ekor sapi (lihat Abdurrahman al- Maliki, Nizham Uqubat, Dâr al-Ummah, 87 - 121). Dengan syariat Islam, jiwa setiap orang muslim dan nonmuslim terjaga, mulai janin hingga orang dewasa. Dengan syariat Islam, setiap warga negara apa pun suku, ras, serta agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya. Bandingkan dengan harga murah nyawa manusia di berbagai penjara di sejumlah negara yang menganut sistem sekuler dan sistem hukum pidana Barat. 5. Memelihara harta, yakni dengan ditetapkan sanksi hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. Perhatikan QS al-Maa-idah [5]: 38. Demikian pula peraturan pengampunan (hijr), yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat QS an-Nisaa [4] 5; QS al-Baqarah [2]: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni belanja pada perkara haram (Lihat QS al-Israa’ [17]: 29; QS al-An’am [6]: 141; QS al-Israa’ [17]: 26-27). Ketetapan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga masyarakat, tanpa memandang agamanya. Karena itu, siapa pun orang yang hidup dalam naungan syariat Islam akan terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk menjalankan usaha. Bandingkan dengan sistem sekuler yang memberikan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari HAM yang membuat orang menghalalkan segala cara demi uang. Penipuan, penyuapan, sabotase, perampokan, pencurian, penjebolan bank melalui internet, atau apa yang terkenal dengan white colar crime hingga perebutan harta di pengadilan adalah hal biasa. Hukuman penjara bukanlah penyelesaian. 6. Memelihara agama, yakni dengan dilarang muslim untuk murtad serta ditetapkan sanksi hukuman death penalty bagi pelakunya jika tidak mau bertobat dan kembali kepangkuan Islam (Lihat QS al-Baqarah [2]: 217 dan Hadis Nabi SAW.). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam (Lihat QS al-Baqarah [2]: 256). Melalui hukum syariat seperti ini kaum muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agamanya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapa pun. Negara menjaminnya dan masyarakat Islam memberikannya hak. 7. Memelihara keamanan, yakni dengan ditetapkan hukuman sangat berat bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan pemberian sanksi hukum potong tangan dan kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat QS al-Maa-idah [5]: 33). Hukum syariat demikian diberikan kepada semua warga masyarakat, baik muslim atau nonmuslim tanpa diskriminatif. Bahkan, siapa pun yang mendalami syariat Islam
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Penerapan Syariat Islam (Maqâshid asy-Syar’iy) Untuk melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, kita perlu mengkaji tujuan luhur penerapan syariat Islam dalam memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan diandalkan untuk memelihara aspek-aspek penting. Paling tidak ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syariat Islam, yaitu: 1. Memelihara keturunan, yakni dengan disyariatkan nikah dan diharamkan perzinaan, serta ditetapkannya berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum dera (jilid) maupun rajam. Dengan hal itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat QS an-Nisa’[4]: 1; QS arRuum [30]: 21; QS an-Nuur [24]: 2). Bandingkan dengan sistem sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) yang memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari wilayah HAM. Semua itu berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS. Kejadian-kejadian demikian bukan hanya merugikan kaum muslim melainkan seluruh umat manusia. Sebaliknya, dengan Islam, hal tersebut ditiadakan dalam pola kehidupan. Keuntungannya akan dirasakan oleh setiap manusia, baik muslim maupun nonmuslim. 2. Memelihara akal, yakni pencegahan dan larangan dengan tegas segala perkara yang merusak akal, seperti minuman keras (muskir), narkoba (muftir), dan ditetapkannya sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia, serta memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat QS al-Maa-idah [5]: 90-91; QS az-Zumar [39]: 9; QS al-Mujaadilah [58]: 11). Pemeliharaan akal demikian dilakukan bagi setiap orang tanpa memandang agamanya apa. Jika demikian, kemaslahatannya pun akan dirasakan oleh semua manusia, muslim dan nonmuslim. Secara kolektif, hal ini akan meminimumkan social cost yang harus dibayar oleh umat manusia. Bandingkan dengan cara-cara penanganan sekuler yang selalu bersikap kompromistis (pemecahan jalan tengah) yang telah menghabiskan bermilIar dolar tanpa hasil yang nyata. Mereka melarang konsumsi alkohol, tetapi tidak menutup pabriknya. Uang dan kebebasan memiliki harta merupakan dorongan kuat bagi para bandar ekstasi dan mafia obat bius untuk tetap melakukan bisnis barang yang sangat merusak generasi anak manusia. 3. Memelihara kehormatan, yaitu dengan larangan agar orang tidak menuduh zina (khadzaf) a, mengolok-olok, mengghibah, atau melakukan tindakan mata-mata, serta ditetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat QS an-Nuur [24]: 4; QS al-Hujuraat [49]: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu. Aturan demikian bukan hanya untuk sesama kaum muslim, melainkan juga untuk setiap manusia. Bandingkan dengan kebebasan berbicara dan berperilaku yang diberikan HAM dan demokrasi. Kebebasan semacam ini membuat manusia tidak menghormati 98
97
ISLAM AGAMA RAHMAT Allah SWT. berfirman:
َ َِ)َHْ'ِ "ً َ ْ#ك ِإ> َر َ )َْ' َ َْوَ) َأر
“Tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) selain sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS Al-Anbiya: 107).
Syaikh An-Nawawi Al-Jawi dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menyatakan, ”Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan (bisyarâi’) selain sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga sebagai rahmat Kami bagi seluruh alam dalam urusan agama ataupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan”. Oleh sebab itu, Allah SWT. mengutus Muhammad SAW. untuk menjelaskan jalan menuju Allah SWT., menampilkan dan memenangkan hukumhukum syariat Islam, serta membedakan halal dan haram. Inilah umumnya tafsiran para mufasir. Jelaslah, bahwa rahmat Allah SWT. ini bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad SAW. sebagai manusia, tapi beliau sebagai Rasul yang diutus dengan membawa syariat yang unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama lain, sebagaimana firman-Nya:
_ِ ;ًا َ ِ )ِ( َ َو َآSِ &'ُ آ ِ &;'َ ا/ َ ُQ6َ ِ ْKُ ِ &n9 َ ْ ا ِ ُِ (ِ)ُْ;َى َودSَُ َ َر َ ْهُ َ اِي َأر
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq, agar Dia menangkan agama itu atas semua agama-agama lainnya. Cukuplah Allah sebagai saksi” (QS Al-Fath: 28).
97
Dalam tafsir Shofwatut Tafaasir Juz II/253, Muhammad Ali ash-Shabuniy memberikan catatan: Allah SWT. tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi lil ‘alamin, sebab Allah SWT. menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad SAW. Mengapa demikian? Sebab, beliau SAW. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan, keselamatan dari kesengsaraan; serta mereka mendapatkan dari tangan beliau kebaikan yang banyak dunia dan akhirat. Jadi, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah SAW. mengimplementasikan seluruh risalah yang dibawanya sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu, bagaimana jika Rasul SAW. telah wafat? Rahmat bagi seluruh alam itu akan tetap muncul manakala kaum muslim mengimplementasikan segala hal yang telah beliau bawa, yakni risalah syariat Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada al-Quran dan AsSunnah. Tetapi jika, umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut dan hilang pemahamannya terhadap syariat Islam, umat ini menjadi tidak menjadi rahmat bagi seluruh alam.
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’ân yang ada kini - yang merupakan ijma’ para shahabat - dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’ân. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’ân sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang masyhur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah SAW. wafat. D. QIYAS Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya. Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar’iy, karena dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama. Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’ân berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’ân. Sebagai contoh, transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat :
ُْْ ِإن8َ 6ٌ ْ T َ ُْ8ِ َو َذرُوا اْ َ ْ َ* َذSِ ّ'َ ا6ِ ْْا ِإَ ِذآHَ ْ)َ "ِ Hَ ُُJْ ِة ِْ َْ ِم اpّ\ َ 'ِ ي َ ُ ِد- َُا ِإذَاN َ ََِّ) َأَُّ) ا
ن َ ُ'َْH<َ ُْ,ُْآ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli .” (QS. Al Jumuah : 9) Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Jadi, sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.
96
95
“Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr) Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jamaah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para Shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’. 3. Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’ân dan Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW., hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’ân diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat) ? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat ? 4. Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab merekapun tetap manusia yang tidak ma’shum . Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’ân dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’ân dan menuturkan Hadits Rasulullah SAW. pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i. Beberapa Contoh Ijma’ Shahabat Salah satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’ân menjadi mushaf. Al-Qur’ân dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’) para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT. berfirman :
ن َ ُKِ )َ9َ ُSَ )ّ-َ َوِإ6َ َّْْ) ا ِّآUَ -َ ُْ9-َ )ّ-َ ِإ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’ân dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr : 9) 95
;ٍ ِ# َ ٍ ِ8# َ ِْ ٌ ِUْ<َ Sِ ِ ْ'T َ ِْ >َ وSِ ْ;َ َ ِ ْ (َ ِْ ُ = ِ )َ ْ اSِ ِ<ْ%َ >
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’ân) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fushilat : 42)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/syari’ah masih dapat digunakan nash As Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah). C. IJMA’ SHAHABAT Secara etimologis Ijma’ memiliki pengertian kesepakatan dan berarti pula suatu tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh , Ijma’ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’. Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Di antara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW. dengan beberapa alasan: 1. Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya ? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tesebut ? Benarkah semua ‘ulama’ tadi mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut ? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi sampai ia meninggal ? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah baru ? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah, Imam Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan mampu terwujud ijma’ setelah masa shahabat. Dan karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’ ; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’. 2. Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jamaah, baik tercantum dalam Al-Qur’ân maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS Al Fath : 29, QS At Taubah: 100, QS Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah SAW. : “Sesungguhnya aku telah memilih para shahabatku atas segenap makhluk, selain para nabi.” (HR Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain). 94