KATA PENGANTAR
S
esuai dengan amanat Undang Undang-Undang Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka setiap instansi pemerintah diwajibkan untuk menyusun Rencana Strategis sesuai dengan kaidah kaidah-kaidah
dalam peraturan perundang-undangan undangan tersebut agar pem pembangunan bangunan bisa berjalan efektif, efisien, dan bersasaran. Dengan demikian Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen dalam menyusun Renstra Tahun 201 20152019 mengacu pada peraturan perundang perundang-undangan undangan di atas dan Renstra Badan POM Tahun 2015-2019. Rencana Strategis merupakan rencana 5 (lima) tahun ke depan yang disusun untuk menjadi dasar dalam penyusunan rencana kinerja, penyusunan rencana kerja dan anggaran, penetapan kinerja, pelaksanaan tugas, pelaporan dan pengendalian kegia kegiatan di lingkungan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, serta penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Dengan disusunnya Renstra Deputi Bidang Pengawasan engawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen ini, seluruh unit kerja Eselon II di lingkungan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen untuk segera menindaklanjuti untuk menyusun Rencana Strategis masing masing-masing masing unit. Selain itu, Rencana Strategis yang telah disusun dapat dijadikan pedoman dalam rangka perencanaan kegiatan yang berkelanjutan. Saya mengucapkan penghargaan yang setinggi setinggi-tingginya tingginya kepada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam penyusunan Renstra Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen tahun 2015-2019.
Jakarta, Juni 2015 Plt. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
Drs. T. Bahdar Johan H., Apt., M.Pharm. NIP.19560807 198603 1 001
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I.
PENDAHULUAN
1
Kondisi Umum
1 2
1.2
Peran Kedeputian II berdasarkan Peraturan Perundang‐ undangan Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia Hasil Capaian Kinerja Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Periode 2010‐2014 Potensi Dan Permasalahan
13
1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 1.2.5 1.2.6 1.2.7 1.2.8 1.2.9
Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Perubahan Iklim Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat Desentralisasi dan Otonomi Daerah Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional Perkembangan Teknologi Jejaring Kerja Komitmen dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
13 16 20 20 23 24 28 29 31
BAB II.
43
1.1 1.1.1. 1.1.2. 1.1.3.
5 9
2.1
VISI, MISI DAN TUJUAN BPOM DEPUTI BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN Visi
2.2
Misi
45
2.3
Budaya Organisasi
49
2.4
Tujuan
49
2.5
Sasaran Strategis
50
43
i
Halaman
BAB III.
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI
55
DAN KERANGKA KELEMBAGAAN 3.1.
Arah Kebijakan dan Strategi BPOM
55
3.2.
Arah Kebijakan Dan Strategi Kedeputian II
62
3.3.
Kerangka Regulasi
76
3.4.
Kerangka Kelembagaan
77
BAB IV.
TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
81
4.1.
Target Kinerja
81
4.1.1
Kegiatan dalam Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
81
4.2.1
Kegiatan dalam Sasaran Strategis Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat
84
Kerangka Pendanaan
86
4.2.
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Struktur Organisasi Kedeputian II
6
Gambar 2
SDM Tahun 2015 ‐ 2019 Berdasarkan Analisa Beban Kerja
7
Gambar 3
Profil Pegawai Kedeputian II Berdasarkan Tingkat Pendidikan
8
Tahun 2014 Gambar 4
Profil Obat Tradisional yang Memenuhi Syarat (MS) Tahun 2010‐
11
2014 Gambar 5
Profil Kosmetik yang Memenuhi Syarat (MS) Tahun 2010‐2014
11
Gambar 6
Profil Suplemen Makanan yang Memenuhi Syarat ( MS) Tahun
12
2010‐2014 Gambar 7
Persentase Penduduk yang Mengkonsumsi Obat Modern dan
23
Tradisional (Sumber: Susenas BPS 2009‐2012) Gambar 8
Pola Pikir Pelaksanaan RB
32
Gambar 9
Diagram Permasalahan Dan Isu Strategis, Kondisi Saat Ini Dan
40
Dampaknya Gambar 10
Peta Bisnis Proses Utama BPOM sesuai Peran dan Kewenangan
41
Gambar 11
Penjabaran Bisnis Proses Utama kepada Kegiatan Utama BPOM
41
yang didukung oleh Kedeputian Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Gambar 12
Peta Strategis BPOM Periode 2015‐2019
43
Gambar 13
Logframe Kedeputian
75
Gambar 14
Ilustrasi penguatan kerangka kelembagaan Kedeputian II untuk
79
peningkatan daya saing obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Profil Pegawai Kedeputian II Berdasarkan Tingkat Pendidikan
8
Tahun 2014 Tabel 2
Capaian Kinerja Kedeputian II Periode 2010‐2014
9
Tabel 3
Penduduk Indonesia Periode 2010 – 2035
14
Tabel 4
Rangkuman Analisis SWOT
37
Tabel 5
Penguatan Peran Kedeputian II Tahun 2015‐2019
42
Tabel 6
Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja
54
Kedeputian II periode 2015‐2019 Tabel 7
Program, Sasaran Program, Kegiatan, Sasaran Kegiatan, dan
75
Indikator di Lingkungan Kedeputian Tabel 8
Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Kedeputian II
81
Tabel 9
Sasaran Strategis, Indikator Kinerja dan Pendanaan
86
iv
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN NOMOR HK.04.05.06.15.695 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPUTI BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN TAHUN 2015‐2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
KONDISI UMUM Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005‐2025 yang ditetapkan melalui Undang‐undang Nomor 17 Tahun 2007 memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita‐cita dan tujuan nasional. Selanjutnya RPJPN ini dibagi menjadi empat tahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), salah satunya adalah RPJMN 2015‐2019 yang merupakan tahap ketiga dari pelaksanaan RPJPN 2005‐2025.
Sebagaimana amanat tersebut dan dalam rangka mendukung pencapaian program‐program prioritas pemerintah, BPOM sesuai kewenangan, tugas pokok dan fungsinya menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan BPOM untuk periode 2015‐2019. Strategi penyusunan Renstra Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen (Kedeputian II) ini berpedoman pada Renstra BPOM. Proses penyusunan Renstra Kedeputian II tahun 2015‐2019 dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang‐undangan yang berlaku dan hasil evaluasi pencapaian kinerja tahun 2010‐2014, serta melibatkan pemangku kepentingan yang menjadi mitra Kedeputian II. Selanjutnya Renstra Kedeputian II periode 2015‐2019 diharapkan dapat meningkatkan kinerja Kedeputian II dibandingkan dengan pencapaian dari periode sebelumnya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. 1
Adapun kondisi umum Kedeputian II pada saat ini berdasarkan peran, tupoksi dan pencapaian kinerja adalah sebagai berikut : 1.1.1.
Peran Kedeputian II berdasarkan Peraturan Perundang‐ undangan Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Bab VI Pasal 164, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen merupakan unsur pimpinan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BPOM dan mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen di wilayah Indonesia. Sesuai Perka ............... TUPOKSI KEDEPUTIAN II Dalam melaksanakan tugas, Kedeputian II menyelenggarakan fungsi: a.
pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen;
b.
penyusunan rencana pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen;
c.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang penilaian obat tradisional, suplemen makanan dan kosmetik;
d.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang pengaturan dan standardisasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen;
e.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang inspeksi 2
dan sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen; f.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang obat asli Indonesia;
g.
pengawasan
obat
tradisional,
kosmetik
dan
produk
komplemen; h.
koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen;
i.
evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen;
j.
pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala, sesuai dengan bidang tugasnya.
Dilihat dari fungsinya, terdapat 3 (tiga) inti kegiatan atau pilar lembaga BPOM yang harus dilaksanakan oleh Kedeputian II, yakni: (1) Penapisan produk dalam rangka pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sebelum beredar (pre‐ market) melalui: a) Perkuatan regulasi, standar, pedoman dan classical text dalam rangka pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen, serta dukungan regulatori kepada pelaku usaha untuk pemenuhan standar dan ketentuan yang berlaku; b) Peningkatan registrasi/penilaian obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan serta iklan yang diselesaikan; c) Peningkatan inspeksi dan sertifikasi sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dalam rangka pemenuhan standar Good Manufacturing Practices (GMP) dan Good Distribution Practices (GDP) obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan terkini.
3
(2) Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan pasca beredar di masyarakat (post‐market) melalui: a) Pengambilan sampel dan pengujian; b) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan di seluruh Indonesia oleh 33 Balai Besar (BB)/ Balai POM, serta promosi di media massa dan media elektronik; c) Investigasi awal dan penyidikan kasus pelanggaran di bidang obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen di Pusat dan Balai. (3) Pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi serta penguatan kerjasama kemitraan dengan pemangku kepentingan dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan di pusat dan balai melalui: a) Public warning; b) Pemberian
Informasi,
bimbingan
teknis
dan
Penyuluhan/Komunikasi, Informasi dan Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan
Tupoksi Kedeputian II sangat penting dan strategis dalam rangka mendorong tercapainya Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, khususnya pada butir 5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, khususnya di sektor kesehatan; dan pada butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; serta butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor‐sektor strategis ekonomi domestik. Kedeputian II ke depan akan menjalankan tugasnya secara lebih proaktif dan terdepan dalam melindungi masyarakat Indonesia melalui peningkatan pengawasan obat tradisonal, kosmetik dan suplemen kesehatan.
4
1.1.2.
Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004
Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan Pasal 166, Kedeputian II terdiri dari empat Direktorat yang terdiri dari : (1) Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik; (2) Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen; (3) Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen dan (4) Direktorat Obat Asli Indonesia.
5
Gambar 1. Struktur Organisasi Kedeputian II
DEPUTI II BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN
Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik
SubDit. Penilaian Produk I
Sie Penilaian OT Sie Penilaian SM dan Nutrase‐ tikal Sie TOP
Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
Direktorat Inspeksi & Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
SubDit. Penilaian Produk II
SubDit. Surveilan Keamanan OT, SM dan Kosmetik
SubDit. Standardisasi Produk I
SubDit. Standardisasi Produk II
SubDit. Standardisasi Sarana Produksi
SubDit. Inspeksi Produk I
Sie Penilaian Kosmetik dan Kosme‐ setikal Sie Penilaian Kosmetik Tradisional
Sie Surveilan Keamanan OT dan SM Sie Surveilan Keamanan Kosmetik
Sie Standardi‐ sasi OT dan SM Sie Standardi‐ sasi Sediaan Galenik Sie TOP
Sie Standardi‐ sasi Bahan Kosmetik Sie Standardi‐ sasi Kosmetik
Sie Standardi‐ sasi Sarana Produksi OT dan SM Sie Standardi‐ sasi Sarana Produksi Kosmetik
Sie Inspeksi OT dan SM Sie Pengawa‐ san Penanda‐ an dan Promosi OT dan SM
SubDit. Inspeksi Produk II
SubDit. Sertifikasi
Sie Inspeksi Kosmetik Sie Pengawa‐ san Penanda‐ an dan Promosi Kosmetik
Sie Sertifikasi OT Sie Sertifikasi Kosmetik dan SM Sie TOP
Direktorat Obat Asli Indonesia
SubDit. Etnofarma‐ kognosi dan Budidaya
SubDit. Keamanan dan Kemanfaa‐ tan OAI
SubDit. Bimbingan Teknologi OAI
SubDit. Bimbingan Industri OAI
Sie Sie Inventari‐ Keama‐ sasi OAI nan OAI Sie Sie Pengem‐ Kemanfa‐ bangan atan OAI Agro Medika & Bahan OAI Sie TOP
Sie Teknologi Formulasi OAI Sie Teknologi Ekstrak
Sie Potensi Pasar dan Ekspor OAI Sie Layanan Teknologi & Mana‐ jemen Mutu OAI
Kelompok Jabatan Fungsional 6
Untuk mendukung tugas‐tugas Kedeputian II sesuai dengan peran dan fungsinya, diperlukan sejumlah SDM yang memiliki keahlian dan kompetensi yang baik. Jumlah SDM yang dimiliki Kedeputian II untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sampai tahun 2014 adalah sejumlah 155 orang yang yang tersebar di empat Unit Eselon II. Pada tahun 2014, Kedeputian II belum didukung dengan SDM yang memadai dan masih kekurangan SDM sejumlah 111 orang, dihitung berdasarkan analisis beban kerja, dari target yang ditetapkan. Berikut ini adalah profil kebutuhan pegawai berdasarkan analisa beban kerja
Gambar 2. Kebutuhan SDM Tahun 2015‐2019 Berdasarkan Analisa Beban Kerja
*Tahun 2016 s.d. 2019 asumsi tidak ada penambahan pegawai
Dengan adanya kebijakan Pemerintah untuk melakukan moratorium pegawai selama 5 (lima) tahun mulai tahun 2015‐2019 berarti tidak ada penambahan pegawai selama kurun waktu tersebut. Hal ini mengakibatkan
kekurangan
pegawai
Kedeputian
II,
yang
diperkirakan sejumlah 21 pegawai akan pensiun, pindah dan sebagainya dalam lima tahun tersebut tidak dapat dipenuhi, 7
sementara beban kerja makin meningkat. Adanya kekurangan pegawai tentunya menyebabkan beberapa tugas dan fungsi pengawasan belum dapat dilakukan secara optimal.
Adapun jumlah pegawai Kedeputian II berdasarkan tingkat pendidikan dapat dijelaskan pada tabel 1. di bawah ini:
S1
NON sarjana
Jumlah
/ Profesi
S2
Unit Kerja
S3
No
Apoteker
Tabel 1. Profil Pegawai Kedeputian II Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2014
0
5
36
9
16
66
0
6
12
2
3
23
0
9
16
5
4
34
2
4
13
5
8
32
2
24
77
21
31
155
Direktorat Penilaian Obat 1
Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik Direktorat Standardisasi Obat
2
Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
3
Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
4
Direktorat Obat Asli Indonesia TOTAL
Dari Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa 80 % pegawai di Kedeputian II adalah sarjana (S1, Profesi, S2). Di bawah ini disajikan grafik komposisi persentase SDM Kedeputian II menurut pendidikan. Gambar 3. Profil Pegawai Kedeputian II Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2014
8
Dari komposisi SDM Kedeputian II sampai dengan tahun 2014 sesuai dengan tabel 1. dan gambar 2 di atas, dirasakan bahwa untuk menghadapi perubahan lingkungan strategis yang semakin dinamis, khususnya perubahan lingkungan strategis eksternal, maka perlu dilakukan peningkatan kuantitas maupun kualitas SDM di Kedeputian II, agar dapat mengantisipasi perubahan lingkungan strategis tersebut sehingga bisa mewujudkan tujuan organisasi dalam lima tahun kedepan. 1.1.3.
Hasil Capaian Kinerja Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Periode 2010‐ 2014 Sesuai dengan peran dan kewenangannya, Kedeputian II mempunyai tugas mengawasi peredaran Obat Tradisional, Kosmetik dan suplemen makanan di wilayah Indonesia. Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, maka terdapat beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan dalam Renstra Kedeputian II 2010‐2014, yaitu: 1) Penyusunan standar, peraturan dan regulasi; 2) Rekomendasi dalam rangka perizinan dan sertifikasi industri di bidang obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen berdasarkan cara‐cara produksi yang baik; 3) Penilaian produk sebelum diizinkan beredar; 4) Post‐ marketing survailance termasuk sampling, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, monitoring efek samping produk di masyarakat; 5) Pre‐review dan pasca‐audit iklan dan promosi produk; 6) Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik. Adapun
pencapaian
keberhasilan
pelaksanaan
tugas
dan
kewenangan Kedeputian II tersebut dapat dilihat sesuai dengan pencapaian indikator kinerja utama sesuai sasaran strategis pada tabel 2 di bawah ini.
9
Tabel 2. Capaian Kinerja Kedeputian II Periode 2010‐2014
NO
1.
Indikator
T*) 2014
Tahun 2014 R**)(%)
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
%C***)
2013
2012
2011
2010
thd 2014
R (%)
R (%)
R (%)
R (%)
Persentase kenaikan obat tradisional yang
1,0%
2,93%
293%
0,44
6,39
5,62 baseline
1,0%
0,68%
68%
1,02
0,80
0,87 baseline
2,0%
0,69% 34,50%
1,26
1,87
1,12 baseline
1,0%
1,38% 99,62%
2,07
1,89
1,67
2,61
1,0%
0,78% 100,22%
0,48
0,54
0,65
1,14
2,0%
1,95% 100,05%
1,38
0,02
0,12
2,64
memenuhi standar 2.
Persentase kenaikan kosmetik yang memenuhi standar
3.
Persentase kenaikan suplemen makanan yang memenuhi standar
4.
Proporsi obat tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)
5.
Proporsi kosmetik yang mengandung bahan berbahaya
6.
Proporsi suplemen makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan
Catatan: *) T
**) R
***) %C
Sumber: LAKIP KEDEPUTIAN II 2014 : Target : Realisasi : Persentase capaian (realisasi dibandingkan terhadap target)
Sebagaimana tabel 2 terkait pencapaian kinerja pada Renstra tahun 2010‐2014 tersebut di atas, kinerja Kedeputian II masih terdapat beberapa indikator yang belum tercapai. Adapun penjelasan pencapaian masing‐masing indikator tersebut adalah sebagai berikut: untuk indikator kinerja kenaikan obat tradisional yang memenuhi standar tercapai 293%. Untuk kinerja kenaikan kosmetik yang memenuhi standar sebesar 68%, dan kinerja kenaikan 10
suplemen makanan yang memenuhi standar sebesar 34,5%. Berdasarkan hasil capaian tersebut dapat disimpulkan adanya keterbatasan Kedeputian II dalam perencanaan dan penetapan target. Hal ini akan menjadi fokus perbaikan dalam Renstra 2015‐ 2019 ke depan. Mengacu pada Renstra BPOM, pengawasan Obat dan Makanan khususnya Obat Tradisional, Kosmetik dan suplemen kesehatan tetap menjadi mainstreaming di Renstra Kedeputian II periode 2015‐ 2019. Di bawah ini pada gambar 4 dapat dilihat secara grafik pencapaian kinerja Kedeputian II dari tahun 2010‐2014. Gambar 4. Profil Obat Tradisional yang Memenuhi Syarat (MS) Tahun 2010‐2014
Gambar 5. Profil Kosmetik yang Memenuhi Syarat (MS) Tahun 2010‐2014
11
Gambar 6. Profil Suplemen Makanan yang Memenuhi Syarat ( MS) Tahun 2010‐2014
Dari Gambar 4 sampai 6 dapat dilihat hasil pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan selama tahun 2010‐ 2014. Persentase/proporsi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan yang memenuhi syarat pada tahun 2014 mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2010. Namun, jika dibandingkan terhadap tahun 2011 Persentase/proporsi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan yang memenuhi syarat pada tahun 2014 cenderung mengalami penurunan. Di sisi lain, saat ini masih dijumpai produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan illegal/palsu/substandar. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pengawasan Obat dan Makanan yang dilakukan oleh BPOM khususnya Kedeputian II selama ini harus terus ditingkatkan. Perkuatan pengawasan post market merupakan hal yang tak dapat dielakkan lagi. Pada produk kosmetik misalnya, sejak diberlakukan Harmonisasi ASEAN pada 1 Januari 2011, produk kosmetik yang memenuhi syarat cenderung menurun, sedangkan jumlah produk kosmetik yang masuk ke Indonesia meningkat secara signifikan. Begitu pula pada produk obat tradisional, yang pada akhir periode Renstra 2010‐2014 menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. Produk obat tradisional yang memenuhi syarat masih jauh di bawah produk lainnya yang memenuhi syarat. Untuk itu, perlu dilakukan upaya 12
terobosan untuk melindungi masyarakat dari obat tradisional yang berisiko terhadap kesehatan. Berdasarkan capaian kinerja utama BPOM sesuai dengan tabel 2 dan gambar 4a sampai 4c di atas, terlihat bahwa kinerja Kedeputian II telah menunjukkan hasil yang baik sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Dengan adanya perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis diharapkan peran BPOM pada masa yang akan datang dapat lebih ditingkatkan. Kedeputian II diharapkan terus menjaga kinerja yang telah dicapai saat ini sesuai harapan masyarakat, yaitu agar pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan terus lebih dimaksimalkan untuk melindungi kesehatan masyarakat. 1.2.
POTENSI DAN PERMASALAHAN Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik nasional maupun global, permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks. Arus besar globalisasi membawa keleluasaan informasi, fleksibilitas distribusi barang dan jasa yang berdampak pada munculnya isu‐isu yang berdimensi lintas bidang. Hal ini menuntut peningkatan peran dan kapasitas instansi Kedeputian II dalam mengawasi peredaran produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan.
Secara garis besar, lingkungan strategis yang bersifat eksternal dan internal yang dihadapi oleh Kedeputian II terdiri atas 2 (dua) isu mendasar, yaitu kesehatan dan globalisasi. Isu‐isu tersebut saling terkait satu dengan yang lain. Adapun lingkungan strategis eskternal dan internal yang mempengaruhi peran Kedeputian II adalah sebagai berikut: 1.2.1. Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk Bonus demografi yang dialami oleh Indonesia juga disertai dengan dinamika kependudukan lain yang juga berdampak luas, yaitu: 1) meningkatnya jumlah penduduk dari 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 menjadi 271,1 juta jiwa pada tahun 2020; 2) penuaan
13
penduduk (population ageing) yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia sebesar 87 persen antara tahun 2010 dan 2025; 3) urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk perkotaan dari 49,8 persen pada tahun 2010 menjadi 66,6 persen pada tahun 2035; dan 4) migrasi yang ditandai dengan
meningkatnya
perpindahan
penduduk
ke
pusat
pertumbuhan. Pertumbuhan dan perubahan struktur penduduk yang tidak sama antar provinsi, sehinga pemanfaatan bonus demografi tersebut juga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi kewilayahan. Untuk itu, peluang bonus demografi ini juga harus diketahui dan dipahami dengan baik oleh seluruh pemangku kebijakan di daerah sehingga dapat dimanfaatkan dengan maksimal.
Tabel 3. PENDUDUK INDONESIA PERIODE 2010 – 2035
2010
2015
2020
2025
2030
2035
Penduduk usia 0‐14 th, juta
68,1
69,9
70,7
70,0
67,9
65,7
Perubahan 2010‐ 2035 ‐3,6
Usia Kerja (15‐64 th), juta
158,5
171,9
183,5
193,5
201,8
207,5
30,9
Penduduk Lansia (60+) juta
18,0
21,7
27,1
33,7
41,0
48,2
167,2
Jumlah total, juta
238,5
255,5
271,1
284,8
296,4
305,7
67,1
Penduduk di perkotaan (%)
49,8
53,3
56,7
60,0
63,4
66,6
‐
Sumber Data: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010‐2035
Agar Bonus Demografi dapat dimanfaatkan dengan baik adalah dengan mempersiapkannya dari mulai perencanaan sampai dengan implementasinya di tingkat lapangan. Persiapan ini antara lain melalui: a) Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat termasuk jaminan mutu Obat; b) Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan; c) Pengendalian jumlah penduduk; d) Kebijakan ekonomi yang mendukung fleksibilitas tenaga kerja dan pasar, serta keterbukaan perdagangan dan tabungan nasional.
14
Peningkatan jumlah penduduk jika ditata dengan baik akan menjadi potensi berupa sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi. Kondisi ini menjadi tantangan dan peluang bagi pemerintah untuk dapat memanfaatkan fase Bonus Demografi di Indonesia untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang sangat besar dan mampu memberikan kontribusi yang besar juga dalam APBN. Konsumsi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan cukup besar pada kelompok usia produktif, karena pola hidup dan orientasi konsumsi juga akan mengarah pada kesehatan pada jangka panjang dan juga penampilan. Hal ini menjadi tambahan tugas bagi Kedeputian II untuk melakukan penilaian dan pengawasan terhadap berbagai jenis obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang semakin bervariasi dan meningkat jumlahnya. Dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan terhadap obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan akan semakin meningkat, sehingga penawaran dari obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen juga akan meningkat. Potensi pasar yang besar membuat para produsen obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan baik lokal maupun internasional semakin meningkatkan volume produksi maupun variasinya. Hal ini tentunya menuntut semakin besarnya peran Kedeputian II dalam proses penilaian dan pengawasannya. Kurangnya pemenuhan GMP (Good Manufacturing Practice) oleh produsen dalam memproduksi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan menjadi tantangan Kedeputian II dalam melakukan pengawasan dan pembinaan. BPOM khususnya Kedeputian II dalam hal ini harus membuat kebijakan yang mendukung kualitas SDM Indonesia. Kebijakan yang dibuat harus berorientasi pada keamanan, manfaat, dan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan, juga persyaratan 15
dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha sehingga bisa menjamin obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang sampai di masyarakat aman, bermanfaat, dan bermutu. Pengawasan keamanan, manfaat dan mutu ini harus dibangun untuk menghindari dan mengurangi risiko obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang tidak memenuhi syarat. 1.2.2. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan wujud sekaligus metode
penyelenggaraan
pembangunan
kesehatan
yang
memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan.
Keberhasilan
pembangunan
kesehatan
sangat
ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem kemasyarakatan.
SKN
merupakan
bagian
dari
sistem
kemasyarakatan yang dipergunakan sebagai acuan utama dalam mengembangkan perilaku dan lingkungan sehat serta menuntut peran aktif masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan tersebut. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012, SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi‐tingginya. Salah satu sub sistem SKN adalah sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, yang meliputi berbagai kegiatan
untuk
menjamin:
(i)
aspek
keamanan,
khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang beredar; (ii) ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; (iii) perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat penggunaan obat yang rasional; serta (iv) upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri. Sub sistem ini saling terkait dengan subsistem lainnya 16
sehingga pengelolaan kesehatan dapat diselenggarakan dengan berhasil guna dan berdaya guna. BPOM merupakan penyelenggara sub sistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, utamanya untuk menjamin aspek keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang beredar serta upaya kemandirian di bidang pengawasan. Pengawasan sebagai salah satu unsur dalam subsistem tersebut dilaksanakan melalui berbagai upaya secara komprehensif oleh Kedeputian II , yaitu: No Upaya terkait jaminan aspek keamanan, khasiat/kemanfaat dan mutu Obat dan Makanan yang beredar 1 Pengawasan, melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat secara terpadu dan bertanggung jawab. 2
3
No Upaya terkait kemandirian Obat dan Makanan. 1
Pelaksanaan regulasi yang 2 baik didukung dengan sumber daya yang memadai secara kualitas maupun kuantitas, sistem manajemen mutu, akses terhadap ahli dan referensi ilmiah, kerjasama internasional, laboratorium pengujian mutu yang kompeten, independen, dan transparan. Pengembangan dan penyempurnaan kebijakan mengenai produk dan fasilitas produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen
Pembinaan industri farmasi dalam negeri agar mampu melakukan produksi sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan dapat melakukan usahanya dengan efektif dan efisien sehingga mempunyai daya saing yang tinggi. Pengembangan pemanfaatan obat tradisional yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, bermutu tinggi, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan kesehatan formal.
17
No Upaya terkait jaminan aspek keamanan, khasiat/kemanfaat dan mutu Obat dan Makanan yang beredar kesehatan sesuai dengan IPTEK dan standar internasional. 4 Pembinaan, pengawasan dan pengendalian impor, ekspor, produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Upaya ini merupakan suatu kesatuan utuh, dilakukan melalui penilaian keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu produk, inspeksi fasilitas produksi dan distribusi, pengambilan dan pengujian sampel, surveilans dan uji setelah pemasaran, pemantauan label atau penandaan, iklan dan promosi. 5 Penegakan hukum yang konsisten dengan efek jera yang tinggi untuk setiap pelanggaran, termasuk pemberantasan produk palsu dan ilegal. 6 Perlindungan masyarakat terhadap pencemaran sediaan farmasi dari bahan‐ bahan dilarang atau penggunaan bahan tambahan makanan yang tidak sesuai dengan persyaratan.
No Upaya terkait kemandirian Obat dan Makanan.
Beberapa upaya tersebut di atas, telah dilakukan oleh BPOM dan ke depan harus lebih ditingkatkan melalui pembinaan, pengawasan dan
pengendalian
secara
profesional,
bertanggungjawab,
independen, transparan dan berbasis bukti ilmiah, sesuai dengan amanat dalam SKN. Di sisi lain, menjamurnya sistem dan model 18
serta klinik‐klinik kesehatan dan pengobatan alternatif juga makin menambah beban dan daya jangkau BPOM untuk makin melebarkan sayap dan menajamkan matanya dalam melakukan pengawasan yang lebih komprehensif. Semakin banyak pelayanan kesehatan yang disediakan, maka akan semakin mempengaruhi kebutuhan pelayanan pendukung kepada kesehatan masyarakat tersebut, yang antara lain tentunya adalah kebutuhan akan obat semakin meningkat. Penjaminan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan . Hal ini merupakan tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh Kedeputian II dalam penyediaan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang aman dan bermutu. Untuk itu, BPOM melalui Kedeputian II selama ini melakukan kontrol dalam bentuk penilaian sebelum produk beredar di pasar dan pengawasan secara ketat terhadap produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang sudah beredar luas di masyarakat. Selain itu, Kedeputian II juga dapat memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat mengenai produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang aman, bermutu dan berkhasiat. Beberapa permasalahan lainnya yang juga memerlukan perhatian dalam penjaminan keamanan dan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan adalah koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan dalam penjaminan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang beredar seperti Kemenkes, Dinkes, BKKBN termasuk industri farmasi dan Asosiasi. Terkait meluasnya penggunaan jamu dan obat tradisional, serta pengobatan secara tradisional di masyarakat diperlukan penelitian ilmiah lebih lanjut. 19
1.2.3. Perubahan Iklim
Ancaman perubahan iklim dunia, akan semakin dirasakan oleh sektor pertanian khususnya ketersediaan bahan baku obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan di Indonesia yang aman, berkhasiat/ bermanfaat dan bermutu dengan harga yang kompetitif. Dengan adanya potensi permasalahan tersebut di atas serta proses perubahan iklim, diperlukan peranan dari Kedeputian II dalam melakukan kemitraan dengan pemangku kepentingan untuk mendukung ketersediaan bahan baku obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan secara berkelanjutan. Menurut Kementerian Kesehatan yang bekerja sama dengan Research Center for Climate Change University of Indonesia (RCCC‐ UI) tahun 2013, dalam pelaksanaan kajian dan pemetaan model kerentanan penyakit infeksi akibat perubahan iklim, terdapat tiga penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus terkait perubahan iklim dan perkembangan vektor yaitu Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Diare. Selain dari ketiga jenis penyakit tersebut, masih ada lagi penyakit yang banyak ditemukan akibat adanya perubahan iklim seperti, Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) dan penyakit batu ginjal. Dengan adanya potensi permasalahan serta peluang dari proses perubahan iklim, diperlukan peranan dari Kedeputian II dalam mengawasi peredaran varian obat tradisional dan suplemen kesehatan dari jenis penyakit tersebut. Kondisi ini menuntut kerja keras dari Kedeputian II melakukan pengawasan terhadap perkembangan produksi dan peredarannya. 1.2.4. Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat Kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi ditopang oleh stabilitas yang tetap terpelihara. Inflasi dapat dikendalikan dalam batas yang aman.
Nilai
tukar
meskipun
cenderung
terdepresiasi,
20
pergerakannya masih dalam taraf yang wajar. Defisit anggaran tetap terjaga di bawah 3 persen.
Pertumbuhan
ekonomi
berpengaruh
pada
kesejahteraan
masyarakat. Salah satu indikator perekonomian yang banyak digunakan di berbagai negara adalah PDB per kapita di mana di Indonesia dalam USD tahun 2013 sedikit menurun menjadi USD 3.500 dibanding tahun 2012 yang besarnya USD 3.583 karena terjadi depresiasi rupiah, meskipun PDB per kapita dalam rupiah meningkat dari Rp.33,5 juta pada tahun 2012 menjadi Rp.36,5 juta pada tahun 2013. Indikator ini menunjukan besarnya daya beli yang ada pada masyarakat Indonesia. Secara teori dan fakta, bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin besar pula konsumsi masyarakat terhadap obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang memiliki standar dan kualitas. Tahun 2012, penjualan kosmetik impor mencapai Rp. 2,44 triliun atau meningkat 30% dari tahun 2011 yang mencapai Rp. 1, 87 triliun. Naiknya nilai impor disebabkan oleh tingginya permintaan pasar domestik akan produk premium atau bermerek (high branded).
Industri obat tradisional juga mencatatkan prestasi yang menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari omset yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, omzet obat tradisional mencapai Rp. 5 triliun dan meningkat pada tahun 2011 yang mencapai Rp. 11 triliun. Sampai akhir tahun 2012, omset obat tradisional diperkirakan mencapai Rp. 13 triliun dan pada tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp. 20 triliun dengan nilai ekspor mencapai Rp. 16 triliun. Saat ini, terdapat 10 industri jamu skala menengah besar dan 1000 industri jamu skala kecil tersebar di berbagai wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa, serta mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja. 21
Dari sisi investasi, Indonesia merupakan negara yang sangat menarik untuk investor dalam dan luar negeri. Dengan segala potensi yang dimiliki Indonesia maka investasi di bidang Obat dan Makanan juga cenderung akan meningkat. Sementara dari sisi ekspor dan impor, kualitas produk yang dihasilkan harus memenuhi standar internasional agar dapat menembus pasar luar negeri. Namun selain itu, peluang pasar domestik yang sangat besar juga harus dimanfaatkan oleh produsen dalam negeri karena apabila tidak maka peluang pasar yang besar tersebut akan menjadi incaran produk luar dan yang terjadi bukan surplus ekspor namun impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Apabila hal itu terjadi maka akan menyumbang pada defisit neraca perdagangan sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan turun. Nilai ekonomi total dari komoditi obat tradisional di Indonesia pada tahun 2014 adalah berkisar Rp. 20 trilyun rupiah, untuk komoditi suplemen makanan pada tahun 2014 adalah berkisar Rp. 14 trilyun rupiah sedangkan untuk produk kosmetik besaran nilai total ekonomi di Indonesia adalah berkisar Rp. 50 trilyun. Dari sisi konsumsi, Indonesia mempunyai potensi pasar sangat besar karena jumlah penduduk yang terbesar keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Kebutuhan permintaan akan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dalam negeri sangat besar mendorong konsumsi tinggi dan pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Apabila terjadi kenaikan drastis harga obat, khususnya obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang berakibat menurunnya daya beli masyarakat, hal ini akan membuat masyarakat lebih sulit untuk mendapatkan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Besarnya perputaran komoditi obat tradisional, Kosmetik dan suplemen kesehatan di Indonesia tersebut merupakan salah satu 22
fokus utama dari Kedeputian II dalam melakukan pengawasan sekaligus pembinaan serta peningkatan kualitas, mutu dan daya saing produk obat tradisional, Kosmetik dan produk komplemen lokal. Gambar 7. Persentase Penduduk yang Mengkonsumsi Obat Modern dan Tradisional (Sumber: Susenas BPS 2009‐2012)
1.2.5. Desentralisasi dan Otonomi Daerah Sistem pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistis berdasarkan Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok‐ pokok Pemerintahan di Daerah menjadi bersifat desentralistis seiring dengan diundangkannya Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain, menetapkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan‐keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain sebagai urusan pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diatur lebih lanjut secara rinci dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
23
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, Kewenangan Bidang Lain telah dikelompokkan dalam beberapa bidang, termasuk Bidang Kesehatan. Dalam bidang kesehatan, 3 (tiga) dari 11 (sebelas) kewenangan yang menjadi urusan pemerintah pusat yaitu: (1) Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat; (2) Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat, serta pengawasan industri farmasi; dan (3) Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran. Desentralisasi bidang kesehatan dan komitmen pemerintah belum dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Kerjasama lintas sektor dan dukungan peraturan perundangan merupakan tantangan yang sangat penting dalam mensinergikan kebijakan pembinaan khususnya UMKM Obat tradisional dan Kosmetik serta dalam meningkatkan pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, merupakan tantangan untuk menyiapkan Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kegiatan terkait dengan pemberian izin sarana produksi, registrasi produk dan bimbingan teknis. Dalam konteks hubungan BPOM dan Pemda perlu disusun tata hubungan kerja secara bersama yang mengatur peran, fungsi dan tanggung jawab masing‐masing serta meningkatkan kompetensi petugas di daerah dalam melaksanakannya. 1.2.6. Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional Globalisasi merupakan suatu perubahan interaksi manusia secara luas, yang mencakup banyak bidang dan saling terkait: ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. Proses ini dipicu dan dipercepat dengan berkembangnya teknologi, informasi dan transportasi yang sangat cepat dan massif akhir‐akhir ini dan 24
berkonsekuensi pada fungsi suatu negara dalam sistem pengelolaannya. Era globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan kesehatan, khususnya dalam rangka mengurangi dampak yang merugikan, sehingga mengharuskan adanya suatu antisipasi dengan kebijakan yang responsif. Dampak dari pengaruh lingkungan eksternal khususnya globalisasi tersebut telah mengakibatkan Indonesia masuk dalam perjanjian‐ perjanjian internasional, khususnya di bidang ekonomi yang menghendaki adanya area perdagangan bebas (Free Trade Area). Ini dimulai dari perjanjian ASEAN‐6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) Free Trade Area, ASEAN‐China Free Trade Area, ASEAN‐Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN‐Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN‐India Free Trade Agreement (AIFTA) dan ASEAN‐ Australia‐New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Dalam hal ini, memungkinkan negara‐negara tersebut membentuk suatu kawasan bebas perdagangan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional dan berpeluang besar menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional. Hal ini membuka peluang peningkatan nilai ekonomi sektor barang dan jasa serta memungkinkan sejumlah produk obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen Indonesia akan lebih mudah memasuki pasaran domestik negara‐ negara yang tergabung dalam perjanjian pasar regional tersebut. Dalam menghadapi FTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun 2015, diharapkan industri farmasi, obat tradisional, kosmetika, suplemen kesehatan dan makanan dalam negeri mampu untuk menjaga daya saing terhadap produk luar negeri. Harmonisasi ASEAN di bidang obat tradisional dan suplemen kesehatan merupakan kerjasama antar Negara ASEAN untuk meningkatkan kerjasama antar negara – negara anggota ASEAN untuk
meminimalkan
hambatan
perdagangan
tanpa 25
mengakibatkan aspek keamanan efikasi/ manfaat dan mutu produk yang beredar di ASEAN. Implementasi harmonisasi ASEAN dibidang kosmetik di Indonesia telah berjalan selama kurang lebih 4 (empat) tahun, memperlihatkan masuknya kosmetika impor makin meningkat terutama dari luar ASEAN, Hal ini perlu diantisipasi oleh pemerintah dan pelaku usaha bidang kosmetik di Indonesia agar kosmetik lokal tidak kalah saing. Saat ini Indonesia sedang berusaha untuk mengangkat “awarenes” anggaota ASEAN lainya untuk mengkaji ulang ASEAN Cosmetik Directive, agar menjadi directive yang dapat mengurangi bahkan meniadakan “unfair trade” antara kosmetik ASEAN dan kosmetik non ASEAN, namun dapat meningkatkan produksi kosmetik di ASEAN. Di bidang suplemen kesehatan Harmonisasi standar produk sedang dilakukan penjajagan dan ditargetkan pada tahun ini. Dengan masuknya produk perdagangan bebas tersebut yang antara lain adalah obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan, termasuk jamu dari negara lain, merupakan persoalan krusial yang perlu segera diantisipasi. Realitas menunjukkan bahwa saat ini Indonesia telah menjadi pasar bagi produk obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen dari luar negeri yang belum tentu terjamin keamanan dan mutunya untuk dikonsumsi. Untuk itu, masyarakat membutuhkan proteksi yang kuat dan rasa aman dalam mengkonsumsi obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan tersebut. Perdagangan bebas juga membawa dampak tidak hanya terkait isu‐ isu ekonomi saja, namun juga merambah pada isu‐isu kesehatan. Terkait isu kesehatan, masalah yang akan muncul adalah menurunnya derajat kesehatan yang dipicu oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat tanpa diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan. Permasalahan ini akan semakin kompleks dengan sulitnya 26
pemerintah dalam membuka akses kesehatan yang seluas‐luasnya bagi masyarakat, khususnya untuk masyarakat yang berada di pelosok desa dan perbatasan. Terkait hal tersebut, Kedeputian II berupaya melakukan edukasi kepada pelaku usaha agar meningkatkan produksi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang aman dan bermutu untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Perdagangan bebas membuat kepekaan “berbisnis” menjadi sangat tinggi. Kebutuhan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang tinggi dengan ketersediaan yang rendah ditambah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum membuat masih banyaknya ditemukan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang tidak memenuhi ijin edar dan mengandung bahan baku yang berbahaya. Hal ini jelas akan sangat merugikan masyarakat. Berdasarkan data WHO (World Health Organization), praktik pemalsuan produk obat di dunia rata‐rata mencapai 10%, dan mencapai 20‐40% untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Tentunya hal ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi BPOM khususnya Kedeputian II sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab terkait dengan pengawasan atas produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang beredar di masyarakat. Indonesia memiliki pasar pengobatan tradisional yang cukup besar. Saat ini terdapat sekitar 900 industri skala kecil dan 130 industri skala menengah obat tradisional, namun baru 69 yang memiliki sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Padahal Indonesia memiliki sekitar 9.600 tumbuhan yang memiliki potensi untuk dijadikan bahan obat. Setidaknya terdapat sekitar 300 jenis tumbuhan yang telah digunakan sebagai bahan dasar industri obat. Dengan melihat besarnya potensi dan permasalahan yang dihadapi
27
Indonesia, maka pemerintah harus selalu mendukung dan melindungi industri farmasi/IOT, UKOT/UMOT serta industri kosmetik di Indonesia. Dengan adanya Free Trade Area (FTA), maka pemerintah harus mengembangkan kesiapan seluruh industri di bidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan tersebut untuk dapat mendukung pemerataan, keterjangkauan dan ketersediaan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang bermutu, aman dan berkhasiat sehingga mampu bersaing dengan produk obat dari luar negeri. 1.2.7. Perkembangan Teknologi Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi domestik, namun penyediaan bahan baku obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang diperoleh dari impor mencapai 96% dari kebutuhan. Padahal Indonesia memiliki 9.600 jenis tanaman berpotensi mempunyai efek pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah digunakan sebagai bahan baku. Dengan kemajuan teknologi dan besarnya kebutuhan produk obat, BPOM dapat mendorong industri farmasi untuk mengoptimalkan penggunaan bahan baku obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dalam negeri. Selain teknologi produksi juga didukung dengan teknologi transportasi. Perkembangan industri transportasi baik darat, laut dan udara maupun jasa pengiriman barang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sehingga distribusi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen secara masal dapat dilakukan lebih efisien. Untuk itu, dampak pengawasan atas peredaran obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan semakin tinggi, dikarenakan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan ke tempat tujuan di seluruh wilayah Indonesia semakin cepat, sehingga antipasi pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan juga harus sama
28
cepatnya. Bagi pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan, ini merupakan satu potential problem, karena bila terdapat produk yang substandar, peredarannya dapat menjangkau areal yang luas dalam waktu yang relatif singkat. Kemajuan teknologi telah membawa perubahan‐perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modern, industri‐industri tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang sangat besar mencakup berbagai produk dengan "range" yang sangat luas. Disamping itu, dengan meningkatnya perkembangan teknologi informasi saat ini, maka segala informasi kesehatan produk terkait produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dan akan dengan mudah diperoleh, bahkan cara pembeliannya pun cukup dengan menggunakan komputer dan perangkat seluler saja. Kedeputian II membawahi 2 (dua) Direktorat yang memiliki beberapa pelayanan publik di BPOM Pusat. Pelayanan tersebut berupa pelayanan pendaftaran obat tradisional, suplemen makanan dan notifikasi kosmetik serta sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Seiring dengan perkembangan teknologi tersebut diatas, Kedeputian II telah menerapkan pelayanan secara on line. Untuk memudahkan akses dan jangkauan masyarakat yang ada di Indonesia. Namun di sisi lain, teknologi informasi juga dapat menjadi tantangan bagi BPOM terkait tren pemasaran dan transaksi produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan secara online, yang tentu saja juga perlu mendapatkan pengawasan dengan berbasis pada teknologi. 1.2.8. Jejaring Kerja BPOM menyadari dalam pengawasan Obat dan Makanan tidak dapat menjadi single player. Untuk itu Kedeputian II mengembangkan kerjasama dengan lembaga‐lembaga, baik di pusat, daerah, maupun internasional. Jaringan yang luas ini sangat 29
strategis posisinya dalam mendukung tugas‐tugas BPOM khususnya Kedeputian II maupun pemangku kepentingan. Beberapa jejaring kerja yang sudah dimiliki, Satgas Pemberantasan Obat dan Makanan Ilegal (Pusat dan Daerah). Di tingkat regional maupun internasional BPOM memiliki jejaring kerja dengan World Health Organization (WHO), Forum Kerjasama Asia Pasifik dalam harmonisasi regulasi bidang obat (RHSC), ASEAN Referrences Laboratories (AFL), Pharmaceutical Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Co‐operation Scheme (PIC/S), peluang kerjasama ini terbuka tentunya karena citra BPOM yang baik di internasional.
Jejaring kerjasama di dalam negeri ini perlu diinisiasi pembentukannya karena belum ada wadah yang khusus untuk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan seperti di pangan. Tantangan kedepan adalah menggalang kerjasama lintas sektor dengan Kementerian dan lembaga yang terkait di bidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan untuk bersama meningkatakan pengawasan dan pembinaannya. Selain hal tersebut perlu lebih ditingkatkan jumlah kajian risiko dibidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan nasional di sepanjang rantai produksi dan distribusi; Pembentukan pool of expert database untuk Komite Ilmiah dan Panel Pakar; serta melaksanakan National Capacity Building untuk Risk Assessment.
Post Market Alert System (ASEAN PMAS) merupakan program inisiasi ASEAN Pharmaceutical Product Working Group (PPWG) sebagai sarana pertukaran informasi antara negara ASEAN yang berkaitan dengan masalah keamanan, mutu dan kemanfaatan produk. Dimana anggotanya terdiri dari 10 negara di ASEAN yaitu Brunei, Cambodia, Indonesia, Thailand, Singapore, Malaysia, Myanmar, Vienam, Lao PDR dan Philippines. PMAS digunakan sebagai tool komunikasi yang penting bagi regulator untuk
30
bertukar informasi mengenai tindak lanjut dan keputusan yang dibuat terkait keamanan produk farmasi, kesehatan dan kosmetik. Tujuan PMAS adalah sebagai sarana berbagi informasi antara negara ASEAN yang berkaitan dengan keamanan produk terapetik, obat tradisional, suplemen kesehatan dan kosmetika. PMAS dapat digunakan untuk menotifikasi badan pengawas lainnya secara cepat terutama jika produk yang dilaporkan termasuk dalam kategori keamanan utamanya yang harus ditarik dari peredaran. Saat ini, PMAS meliputi pelaporan untuk produk biologi, obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik dan lain‐lain Ruang lingkup dalam pelaporan termasuk isu aspek keamanan (pemalsuan, pencampuran dengan bahan berbahaya), kemanfaatan, kualitas (produk cacat) atau penandaan yang tidak sesuai. Tindak lanjut dan rincian investigasi oleh negara anggota juga dilaporkan sebagai bagian dari informasi yang dibutuhkan untuk pelaporan. Contoh tindakan yang diambil adalah pembatalan/ penundaan registrasi produk, penarikan dan revisi label. 1.2.9. Komitmen dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, BPOM termasuk di dalamnya Kedeputian II melaksanakan Reformasi Birokrasi (RB) sesuai PP Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design RB 2010‐2025. Upaya atau proses RB yang dilakukan merupakan pengungkit dalam pencapaian sasaran sebagai hasil yang diharapkan dari pelaksanaan RB. Pola pikir pelaksanaan RB sebagaimana Gambar 8 di bawah ini:
31
Gambar 8. Pola Pikir Pelaksanaan RB
PENGAWASAN INTERNAL
ORGANISASI
SDM
TATA LAKSANA
AKUNTABILITAS KINERJA PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENINGKATNYA KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI
HASIL
PELAYANAN PUBLIK
POLA PIKIR DAN BUDAYA KERJA
PENGUNGKIT
TERWUJUDNYA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BEBAS KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
MENINGKATNYA KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
INOVASI & PEMBELAJARAN
a. Penataan dan Penguatan Struktur Organisasi Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, BPOM memiliki instansi vertikal atau UPT BB/Balai POM di tingkat provinsi. Dalam mendukung pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan di wilayah perbatasan dengan negara lain dan daerah‐daerah yang sulit dijangkau dari ibukota provinsi, BPOM memiliki Pos POM. Peran BB/Balai POM dan Pos POM perlu dilakukan penataan dan penguatan baik dari segi kompetensi dan kuantitas SDM, sarana dan prasarana, maupun koordinasi dengan lintas sektor agar pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dapat dilakukan secara lebih optimal. b. Penataan Tatalaksana Sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik, BPOM khususnya Kedeputian II berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang berisiko terhadap kesehatan dan secara terus‐ menerus
meningkatkan
pengawasan
serta
memberikan
pelayanan kepada seluruh pemangku kepentingan. Penerapan sistem mutu secara konsisten dan ditingkatkan secara berkelanjutan yang dibuktikan dengan pemenuhan atau perolehan Quality Management System ISO 9001:2008; Akreditasi Laboratorium IEC 17025:2005; PIC/S Quality System Requirement for Pharmateucal Inspectorate (PI 0023).
32
Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan juga dilakukan melalui penerapan e‐government atau penggunaan teknologi informasi di lingkungan BPOM, di antaranya pendaftaran obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan
dan
berbagai
penyelenggaraan
manajemen
pemerintahan lainnya yang dilakukan secara elektronik serta keterbukaan informasi publik bagi masyarakat. Berbagai sistem mutu
dan
pengembangan
e‐government
yang
dapat
meningkatkan kinerja Kedeputian II tersebut seyogyanya dapat diintegrasikan
sesuai
dengan
ruang
lingkupnya
agar
pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. c. Penataan Peraturan perundang‐undangan dan Penegakan Hukum Telah banyak Undang‐Undang dan Peraturan Pemerintah yang menjadi landasan teknis pelaksanaan tugas fungsi di kedeputian II, kecuali peraturan terkait suplemen kesehatan masih belum mencukupi untuk melaksanakan pengawasan. Peraturan Perundang‐undangan yang ada selama ini kurang mendukung tercapainya efektivitas pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Demikian pula sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran belum memberikan efek jera sehingga sering terjadi kasus berulang. Beberapa
kerangka
regulasi
yang
diasumsikan
dapat
mendukung pencapaian tujuan pengawasan Obat dan Makanan dibahas pada Kerangka Regulasi. Adanya kerangka regulasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kaidah pelaksanaan RPJMN/RKP membuka peluang untuk menciptakan harmonisasi peraturan perundang‐undangan dan meminimalkan ego sektoral. Kedeputian II perlu mengambil kesempatan ini dengan mengusulkan peraturan perundang‐undangan yang akan masuk
33
dalam
prolegnas
setiap
tahunnya
bersamaan
dengan
penyusunan rencana kerja. Selain itu sesuai kerangka regulasi, untuk memastikan bahwa setiap norma kebijakan yang akan diratifikasi memberikan manfaat bagi masyarakat, Kedeputian II perlu membuat cost‐benefit analysis. Sedangkan terhadap regulasi teknis yang dikeluarkan, perlu dilakukan regulatory impact assessment. Kaitannya dengan pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan di daerah, selain ketersediaan NSPK, perlu didorong terbitnya aspek legal berupa Peraturan/SK Gubernur dan ditindaklanjuti dengan Peraturan/SK Bupati/Walikota. Pada level operasional, BPOM telah memiliki Pedoman Pengawasan yang jelas untuk acuan dalam pengawasan, juga menerbitkan standar mutu lainnya, seperti standar produksi (obat tradisional dan kosmetik). Dari tahun ke tahun akan ditingkatkan jumlah dan kualitasnya. Tantangan ke depan, BPOM harus membuat terobosan dalam penegakan hukum seperti memperkuat kemitraan untuk pengawasan, penindakan, maupun persamaan persepsi dengan kepolisian, kejaksaan, dan instansi terkait, menggeser pengawasan ke area preventif, serta memperkuat kerjasama di Free Trade Zone Area d. Penguatan Akuntabilitas Kinerja Penguatan Akuntabilitas Kinerja bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut, BPOM termasuk di kedeputian II telah mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan baik, dibuktikan dengan hasil evaluasi KemenPAN‐RB tahun 2014 memperoleh nilai B.
34
Komitmen pimpinan yang sangat tinggi terhadap pelaksanaan SAKIP menjadi kekuatan penting dalam upaya penguatan akuntabilitas kinerja. Namun, Kedeputian II masih melakukan penyempurnaan
dalam
penatausahaan
manajemen
pemerintahan (keuangan dan BMN) dalam mewujudkan pemerintahan yang akuntabel. e. Penguatan Pengawasan Penguatan
pengawasan
bertujuan
untuk
meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Melalui upaya pengawasan melekat di tiap tiap direktorat yang ada di Kedeputian II, dapat meningkatkan kepatuhan dan efektivitas pengelolaan keuangan negara di lingkungan Kedeputian II serta menghindari tingkat penyalahgunaan wewenang. Pengawasan yang dilakukan Kedeputian II antara lain melalui kebijakan
penanganan
Pengendalian
Internal
gratifikasi, Pemerintah
penerapan (SPIP),
Sistem
pengelolaan
pengaduan masyarakat, implementasi whistle‐blowing system, penanganan
benturan
kepentingan,
pembangunan
zona
integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), dan pendayagunaan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dalam perencanaan dan penganggaran. Untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal, upaya pengawasan yang dilakukan Kedeputian II tersebut masih perlu dievaluasi agar dapat ditingkatkan pelaksanaannya. f. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur Penataan sistem manajemen SDM aparatur bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur BPOM yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh gaji dan bentuk 35
jaminan kesejahteraan yang sepadan, sesuai dengan Undang‐ Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Perencanaan kebutuhan pegawai di Kedeputian II dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan proses penerimaan pegawai dilakukan secara transparan, objektif, akuntabel, dan bebas KKN serta promosi jabatan dilakukan secara terbuka. Pengembangan pegawai kedeputian II berbasis kompetensi yang selanjutnya capaian penilaian kinerja individu pegawai akan dijadikan dasar untuk pemberian tunjangan kinerja. Hal ini diimbangi dengan penegakan aturan disiplin dan kode etik serta pemberian sanksi. Seluruh aktivitas manajemen SDM tersebut didukung oleh sistem informasi kepegawaian. Saat ini, SDM Kedeputian II telah memiliki kualitas yang memadai, namun dari sisi kuantitas belum mencukupi kebutuhan untuk menjalankan tugas dan fungsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Sistem manajemen pemerintah menuntut adanya ukuran keberhasilan, baik di tingkat organisasi sampai ke level individu. Untuk saat ini, sistem manajemen kinerja belum optimal diterapkan, sehingga perlu dilakukan penerapan sistem manajemen kinerja yang lebih efektif, efisien dan tranparan terutama dalam hal pelaksanaan evaluasi terhadap peta dan kelas jabatan yang telah disusun. Sehingga dapat dipastikan peningkatan jenjang karir SDM di kedeputian II. g. Manajemen Perubahan Manajemen perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya kerja individu atau unit kerja di dalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran RB. Untuk menggerakkan organisasi dalam melakukan
36
perubahan, BPOM termasuk kedeputian II telah membentuk agent of change sebagai role model serta forum bagi pembelajaran atau inovasi dalam proses perubahan yang dilakukan. Komitmen dan keterlibatan pimpinan dan seluruh pegawai secara aktif dan berkelanjutan merupakan unsur pendukung paling utama dalam perubahan pola pikir dan budaya kerja dalam rangka pelaksanaan RB. Untuk
mengurangi
risiko
kegagalan
yang
disebabkan
kemungkinan timbulnya resistensi terhadap perubahan dibutuhkan
media
komunikasi
secara
reguler
untuk
mensosialisasikan RB atau perubahan yang sedang dan akan dilakukan, termasuk pentingnya peran agent of change dan manfaat dari forum pembelajaran atau inovasi. Hasil analisa lingkungan strategis baik eksternal maupun internal dilakukan melalui SWOT analisis sebagi instrumen perencanaan strategis yang menggambarkan situasi yang dihadapi atau
yang
mungkin
akan dihadapi dengan
menggunakan kerangka kerja kekuatan, kelemahan dan kesempatan eksternal. Sehingga setelah dianalisis mampu memaksimalkan
kekuatan,
meminimalkan
kelemahan.
Mereduksi ancaman dan membangun peluang. Hal ini dirangkum dalam tabel 4 berikut :
Tabel 4. Rangkuman Analisis SWOT
KEKUATAN
KELEMAHAN
Peraturan perundang – undangan yang jelas dalam tugas, fungsi dan kewenangan kedeputian II dalam pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan Kompetensi ASN Kedeputian II
Perlu NSPK yang jelas ke daerah dalam pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Belum terpenuhi regulasi, pedoman dan standar di bidang Obat Tradisional, 37
yang memadai dalam mendukung pelaksanaan tugas Integritas Pelayanan Publik diakui secara Nasional Komitmen Pimpinan dan seluruh ASN BPOM menerapkan Reformasi Birokrasi Adanya program kedeputian II dalam pre market, postmarket, standarisasi, pemberdayaan masyarakat dan produsen di bidang Obat tradisional kosmetik dan suplemen kesehatan, Sistem pengawasan yang komprehensif mencakup pre‐ market dan post market Peraturan dan standar yang dikembangkan sudah mengacu standar internasional Memiliki unit teknis di seluruh provinsi di Indonesia PELUANG Adanya Program Nasional Indonesia sehat yang salah satu strateginya adalah pengawasan obat dan makanan. Komintemn Pemerintah dalam memajukan UMKM dalam berbabagai bidang melalui nawa cita Jumlah industri obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang berkembang pesat Adanya Networking dengan lembaga‐lembaga pusat dan internasional Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) Pertumbuhan signifikan penjualan dengan pengawasan di tingkat nasional Pasar pengobatan tradisional makin besar Nilai impor Obat Tradisional yang tingggi
Kosmetik dan suplemen kesehatan Jumlah dan sebaran ASN BPOM yang belum memadai dibandingkan dengan cakupan tugas pengawasan dan beban kerja Terbatasnya sarana dan prasarana baik pendukung maupun utama Unit pelaksana teknis terbatas hanya di tingkat provinsi Belum ada pemetaan peningkatan kompetensi ASN yang terstruktur (capacity building) dalam menghadapi perkembangan Dukungan sistem IT dalam pengawasan masih kurang Belum tersedia kajian‐kajian, ilmu dan media dalam obat tradisional TANTANGAN Perubahan iklim dunia yang mempengaruhi pola penyakit Penjualan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan ilegal secara online Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk Perubahan pola hidup masyarakat (sosial dan ekonomi) Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional Munculnya (kembali) berbagai penyakit baru Meningkatnya jumlah permohonan pendaftaran produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan Produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sangat bervariasi Besarnya pendapatan 38
Peningkatanpermohonan sertifikasi dan resertifikasi CPOTB/CPKB Besarnya kontribusi industri pengolahan termasuk industri dengan pengawasan terhadap output nasional Tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan demand obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan Kesehatan menjadi kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren antara pusat dan daerah Perkembangan Teknologi di berbagai bidang komunikasi dan IT dalam menunjang pengawasan.
perkapita berdampak peningkatan konsumsi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan Masih banyaknya jumlah pelanggaran di bidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan Lemahnya penegakan hukum Ketergantungan impor bahan baku obat sangat tinggi Berkembangnya fasilitas industri farmasi serta peningkatan kapasitas produksinya Rendahnya pengetahuan dan kemampuan teknis UMKM obat tradisional Indonesia adalah negara ke‐4 dengan jumlah populasi lanjut usia tertinggi Desentralisasi bidang kesehatan belum optimal Networking dengan lembaga‐ lembaga atau instasi di daerah belum optimal Belum optimalnya tindaklanjut hasil pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan oleh pemangku kepentingan di daerah Kekuatan laboratorium yang belum memadai
Berdasarkan hasil analisa SWOT tersebut di atas, baik dari sisi keseimbangan pengaruh lingkungan internal antara kekuatan dan kelemahan, serta pengaruh lingkungan eskternal antara peluang dan ancaman, kedeputian II perlu melakukan penataan dan penguatan kelembagaan dengan menetapkan strategi untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi BPOM periode 2015‐2019. Terdapat beberapa hal yang harus dibenahi di masa mendatang agar pencapaian kinerja Kedeputian II lebih optimal. Di bawah ini pada gambar 9.
39
terdapat diagram yang menunjukkan analisa permasalahan dan peran Kedeputian II sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan. Gambar 9. Diagram Permasalahan Dan Isu Strategis, Kondisi Saat Ini Dan Dampaknya
BELUM OPTIMALNYA PERAN KEDEPUTIAN II DALAM MELAKSANAKAN PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN SUPLEMEN KESEHATAN
Belum terpenuhinya regulasi, pedoman dan standar di bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan
Belum sepenuhnya tercapai penapisan produk dalam rangka pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan sebelum beredar (pre‐ market) belum optimalnya pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan pasca beredar di masyarakat (post‐market)
Belum efektifnya pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi serta bimbingan teknis pada pelaku usaha dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan
PERAN KEDEPUTIAN BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN (KEDEPUTIAN II)
B
Pemenuhan regulasi, pedoman dan standar di bidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan Penguatan penapisan produk dalam rangka pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sebelum beredar (pre‐market) Penguatan pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan pasca beredar di masyarakat (post‐market) Optimalisasi pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi serta bimbingan teknis kepada pelaku usaha dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan
Berdasarkan hasil Analisa SWOT tersebut di atas, maka Kedeputian II perlu melakukan penguatan organisasi dan kelembagaan, agar faktor‐ 40
faktor lingkungan strategis yang mempengaruhi baik dari internal maupun eskternal tidak akan menghambat pencapaian tujuan dan sasaran
organisasi
BPOM
periode
2015‐2019.
Dilihat
dari
keseimbangan pengaruh lingkungan internal antara kekuatan dan kelemahan serta pengaruh lingkungan eskternal antara peluang dan ancaman, posisi organisasi Kedeputian II harusnya melakukan pengembangan dan perluasan organisasi agar dapat mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi BPOM periode 2015‐2019. Untuk itu, Kedeputian II dalam melaksanakan peran dan kewenangannya harus sesuai dengan peran dan kewenangan BPOM sebagai lembaga yang mengawasi Obat dan Makanan, maka Kedeputian II harus mendukung segala penguatan peran dan kewenangan BPOM sesuai dengan bisnis proses BPOM untuk periode 2015‐2019 sebagaimana pada gambar 10 di bawah ini: Gambar 10. Peta Bisnis Proses Utama BPOM sesuai Peran dan Kewenangan
Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan
Gambar 11. Penjabaran Bisnis Proses Utama kepada Kegiatan Utama BPOM yang didukung oleh Kedeputian Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
41
Tabel 5. Penguatan Peran Kedeputian II Tahun 2015‐2019
Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
• Penyusunan Kebijakan Teknis Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan (NSPK) • Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sebelum beredar sesuai kriteria • Pengawasan sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sesuai standar • Kerjasama dan kemitraan dalam pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan Kerjasama, • Mendorong kemitraan dan kemandirian pelaku Komunikasi, usaha Informasi dan • Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik Edukasi Publik termasuk peringatan public dibidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan • Pengelolaan data dan informasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan • Menentukan peta zona rawan peredaran obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang tidak sesuai dengan standar.
42
BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN BPOM DEPUTI BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN
Berdasarkan kondisi umum, potensi, permasalahan dan tantangan yang dihadapi ke depan, maka BPOM sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai lembaga Pengawasan Obat dan Makanan dituntut untuk dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat/khasiat Obat dan Makanan tersebut sesuai standar persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk itu, BPOM telah menetapkan visi,’misi dan tujuan serta sasarannya. Peta strategi BPOM dapat dilihat pada gambar 10 : Gambar 12. Peta Strategis BPOM Periode 2015‐2019
2.1 VISI Visi dan Misi Pembangunan Nasional untuk tahun 2015‐2019 telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015‐2019. Visi pembangunan nasional untuk tahun 2015‐2019 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan
43
Gotong Royong”. Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 Misi Pembangunan yaitu: 1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan, 2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan negara hukum, 3. Mewujudkan politik luar negeri yang bebas‐aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim, 4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera, 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing, 6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju dan kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, dan 7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Sejalan dengan visi dan misi pembangunan dalam RPJMN 2015‐2019, maka BPOM telah menetapkan Visi BPOM 2015‐2019 adalah ”Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Daya Saing Bangsa” Penjelasan Visi: Proses penjaminan pengawasan Obat dan Makanan khususnya Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan harus melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan serta dilaksanakan secara akuntabel serta diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan itu, maka pengertian kata Aman dan Daya Saing adalah sebagai berikut: Aman
: Kemungkinan risiko yang timbul pada penggunaan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan telah melalui analisa dan kajian, sehingga risiko yang mungkin masih timbul adalah seminimal mungkin/ dapat
44
ditoleransi/tidak membahayakan saat digunakan pada manusia. Dapat juga diartikan bahwa khasiat/manfaat Obat dan Makanan meyakinkan, keamanan memadai, dan mutunya terjamin. Daya Saing
: Kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang telah memenuhi standar, baik standar nasional maupun internasional, sehingga produk lokal unggul dalam menghadapi pesaing di masa depan.
2.2 MISI Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, telah ditetapkan Misi BPOM, yang diacu oleh Kedeputian II adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat Tantangan dalam Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan semakin tinggi. Oleh karena itu Kedeputian II melakukan pengawasan secara komprehensif (full spectrum) melalui regulator yang memadai, melakukan penilaian produk sebelum beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, sampling dan pengujian produk serta penegakan hukum. Penjaminan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang konsisten melalui pengawasan komprehensif, menjadikan produk beredar akan memenuhi standar khasiat/ bermanfaat, aman dan bermutu. Dengan demikian Kedeputian II akan melindungi masyarakat dengan optimal. Berbagai perkembangan lingkungan eksternal menjadi tantangan tersendiri
dalam
melakukan
pengawasan,
dikarenakan
adanya
keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Peningkatan system pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dilaksanakan melalui skala prioritas berdasarkan analisis resiko, untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara proporsional agar mencapai tujuan sasaran strategis. Kedeputian II juga melakukan mitigasi risiko di semua proses bisnis BPOM, antara lain pada pengawasan sarana dan
45
produk secara pro aktif memperkuat pengawasan lebih ke hulu melalui pengawasan importir bahan baku dan produsen. 2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan Makanan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan. Paradigma pengawasan Obat dan Makanan khususnya obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan harus diubah yang sebelumnya adalah “watchdog” control menjadi pro‐active control dengan mendorong penerapan Risk Management Program oleh industri. Dalam Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM), pelaku usaha merupakan salah satu pilar yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam dalam pengawasan Obat dan Makanan. Pelaku usaha harus bertanggungjawab dalam memenuhi standar dan persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sehingga menjamin yang diproduksi dan diedarkan berkhasiat/ bermanfaat aman dan bermutu. Industri dalam negeri harus mampu bersaing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Demikian halnya dengan industri obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan juga harus mampu bersaing. Kemajuan industri secara tidak langsung dipengaruhi dari sistem serta dukungan regulatory yang mampu diberikan oleh BPOM. Sehingga BPOM berkomitmen untuk mendukung peningkatan daya saing, yaitu melalui jaminan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Sebagai lembaga pengawas, BPOM harus mampu membina dan mendorong pelaku usaha untuk dapat memberikan produk yang berkhasiat/bermanfaat, aman dan bermutu. Dengan pengawasan dan pembinaan secara terstruktur berdasarkan analisis resiko dan berkelanjutan, ke depan diharapkan pelaku usaha mempunyai kemandirian dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan Makanan.
46
Masyarakat sebagai konsumen juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam pengawasan Obat dan Makanan. Masyarakat diharapkan dapat memilih obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang memenuhi standar, dan diberi kemudahan akses informasi dan komunikasi terkait Obat dan Makanan. Untuk itu, BPOM melakukan berbagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam
mendukung
pengawasan
melalui
kegiatan
Pemberdayaan, Komunikasi, Informasi dan Edukasi kepada masyarakat, serta kemitraan dengan pemangku kepentingan lainnya sehingga mampu melindungi diri sendiri dan terhindar dari produk tidak memenuhi standar, tidak mengandung bahan berbahaya dan ilegal. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, BPOM tidak dapat berjalan sendiri, sehingga diperlukan kerjasama atau kemitraan dengan pemangku kepentingan lainnya. Dalam era otonomi daerah, khususnya terkait dengan bidang kesehatan, peran daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan serta kebijakan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pencapaian tujuan nasional di bidang kesehatan. Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan bersifat unik karena tersentralisasi, yaitu dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pusat dan diselenggarakan oleh Balai di seluruh Indonesia. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan tugas pengawasan, karena kebijakan yang diambil harus bersinergi dengan kebijakan dari Pemerintah Daerah sehingga pengawasan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. 3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM Untuk mendorong misi pertama dan kedua, diperlukan sumber daya yang memadai dalam mencapai kapasitas kelembagaan yang kuat. Hal ini membutuhkan sumber daya yang merupakan modal penggerak organisasi. Sumber daya dalam hal ini terutama terkait dengan sumber daya manusia dan sarana‐prasarana penunjang kinerja. Ketersediaan sumber daya yang terbatas baik jumlah dan kualitasnya, maka BPOM melalui Kedeputian II harus mampu mengelola sumber daya tersebut seoptimal mungkin agar 47
dapat mendukung terwujudnya sasaran program dan kegiatan yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh elemen organisasi. Di samping itu, BPOM sebagai suatu LPNK yang dibentuk pemerintah untuk melaksanakan tugas tertentu tidak hanya bersifat teknis semata (techno structure), namun juga melaksanakan fungsi pengaturan (regulating), pelaksana (executing), dan pemberdayaan (empowering). Untuk itu, diperlukan penguatan kelembagaan/organisasi. Kelembagaan tersebut meliputi struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, serta budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi. Misi BPOM merupakan langkah utama yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi BPOM. Pengawasan pre‐ dan post‐market yang berstandar internasional diterapkan dalam rangka memperkuat BPOM menghadapi tantangan globalisasi. Dengan penjaminan mutu produk Obat dan Makanan (obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan) yang konsisten, yaitu memenuhi standar aman, berkhasiat/bermanfaat dan bermutu, diharapkan BPOM mampu melindungi masyarakat dengan optimal. BPOM melalui Kedeputian II juga melakukan kemitraan dengan pemangku kepentingan terkait kerja sama lintas sektor, lintas wilayah, lintas institusi dan sebagainya yang merupakan potensi yang perlu diperkuat. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik terhadap obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang beredar di pasaran, sehingga mampu melindungi diri sendiri dan terhindar dari produk obat tradisional, kosmetik dan sup yang mengandung bahan baku berbahaya dan ilegal. Dari segi organisasi, perlu meningkatkan kualitas kinerja dengan tetap mempertahankan sistem manajemen mutu dan prinsip organisasi pembelajar (learning organization). Untuk mendukung itu, maka BPOM bersama Kedeputian II perlu untuk memperkuat koordinasi internal dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia serta saling bertukar informasi (knowledge sharing). 48
2.3 BUDAYA ORGANISASI Budaya organisasi merupakan nilai‐nilai luhur yang diyakini dan harus dihayati dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan tugasnya. Nilai‐nilai luhur yang hidup dan tumbuh‐kembang dalam organisasi menjadi semangat bagi seluruh anggota organisasi dalam berkarsa dan berkarya. 1. Profesional Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi. 2. Integritas konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai‐nilai luhur dan keyakinan 3. Kredibilitas Dapat dipercaya, dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan internasional. 4. Kerjasama Tim Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang baik. 5. Inovatif Mampu melakukan pembaruan dan inovasi‐inovasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi terkini. 6. Responsif/Cepat Tanggap Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah. 2.4 TUJUAN Dalam rangka pencapaian visi dan misi pengawasan Obat dan Makanan, maka tujuan Kedeputian II 2015‐2019 adalah sebagai berikut: 1.
Meningkatnya jaminan produk Obat dan Makanan aman, bermanfaat dan bermutu dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat;
2.
Meningkatnya daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan menjamin mutu dan mendukung inovasi.
Ukuran keberhasilan atau indikator kinerja untuk tujuan tersebut di atas, adalah:
49
1.
Meningkatnya jaminan Obat dan Makanan aman, berkhasiat/bermanfaat, dan bermutu dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat, dengan indikator: a. Tingkat kepuasan masyarakat atas jaminan pengawasan BPOM;
2.
Meningkatnya daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan menjamin mutu dan mendukung inovasi, dengan indikator: a. Tingkat kepatuhan pelaku usaha Obat dan Makanan dalam memenuhi ketentuan; b. Tingkat kepuasan pelaku usaha terhadap pemberian bimbingan dan pembinaan pengawasan Obat dan Makanan.
2.5 SASARAN STRATEGIS Sasaran strategis ini disusun berdasarkan visi dan misi yang ingin dicapai BPOM, dengan mempertimbangkan tantangan masa depan dan sumber daya serta infrastruktur yang dimiliki BPOM. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun (2015‐2019) ke depan diharapkan BPOM akan dapat mencapai sasaran strategis sebagai berikut: 1. Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan Komoditas dan produk yang menjadi obyek pengawasan BPOM tergolong produk berisiko tinggi yang sama sekali tidak ada ruang untuk toleransi terhadap produk yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan khasiat/manfaat. Dalam konteks ini, pengawasan tidak dapat dilakukan secara parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik. Pada seluruh mata rantai pengawasan tersebut, harus ada sistem yang dapat mendeteksi secara dini jika terjadi degradasi mutu, produk sub standar dan hal‐hal lain untuk dilakukan pengamanan sebelum merugikan konsumen /masyarakat. Sistem pengawasan Obat dan Makanan yang diselenggarakan oleh BPOM merupakan suatu proses yang komprehensif dan bersifat full spectrum. Sistem pengawasan di Kedeputian II adalah sistem pengawasan terhadap obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Sistem itu terdiri dari: pertama, standardisasi yang merupakan fungsi penyusunan standar, 50
regulasi, dan kebijakan terkait dengan pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Standardisasi dilakukan terpusat, dimaksudkan untuk menghindari perbedaan standar yang mungkin terjadi akibat setiap provinsi membuat standar tersendiri. Kedua, penilaian sebelum diedarkan (pre‐market evaluation) yang merupakan penilaian produk meliputi seluruh aspek khasiat, keamanan dan mutu sebelum diedarkan termasuk label dan iklan atau promosi yang akan dilakukan. Selanjutnya akan diterbitkan nomor ijin edar dan dapat diproduksi serta diedarkan kepada konsumen. Ketiga, adalah pengawasan produk setelah beredar (post‐market control) yang dilakukan dengan sampling produk, pemeriksanaan saran produksi dan distribusi. Sampling terhadap obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang beredar di seluruh indonesia dilakukan berdasarkan analisis resiko dan ditetapkan melalui pedoman prioritas sampling. Adanya harmionisasi ASEAN juga menjadi landasan dalam penarikan, pembatalan produk dan tindak lanjut yang lain sesuai peraturan yang berlaku. Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan ditetapkan sesuai GMP masing – masing produk dan tindak lanjut yang dilakukan sesuai pedoman pola tindak lanjut, Keempat, pengujian laboratorium. Produk yang disampling berdasarkan risiko, diuji di laboratorium guna mengetahui apakah obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan tersebut telah memenuhi syarat keamanan, khasiat/manfaat dan mutu. Hasil uji laboratorium ini merupakan salah satu dasar ilmiah yang digunakan dalam menentukan produk yang tidak memenuhi syarat. Kelima, adalah penegakan hukum di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Penegakan hukum didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, maupun investigasi awal. Proses penegakan hukum sampai dengan projusticia dapat berakhir dengan pemberian sanksi administratif seperti dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar, disita untuk dimusnahkan. Jika pelanggaran masuk pada ranah pidana, maka terhadap pelanggaran tersebut dapat diproses secara hukum pidana. Prinsip ini sudah sejalan dengan kaidah‐kaidah dan fungsi‐fungsi 51
pengawasan full spectrum yang berlaku secara internasional. Untuk mengukur capaian sasaran strategis ini, maka dibuat indikator sebagai berikut : 1. Persentase obat tradisional yang memenuhi syarat, dengan target 84% pada akhir 2019, 2. Persentase kosmetik yang memenuhi syarat, dengan target 93% pada akhir 2019, 3. Persentase suplemen kesehatan yang memenuhi syarat, dengan target 83% pada akhir 2019, 2. Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan merupakan suatu program yang terkait dengan banyak sektor, baik pemerintah maupun non pemerintah. Untuk itu perlu dijalin suatu kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang baik. Pengawasan oleh pelaku usaha dilakukan dari hulu ke hilir, dimulai dari pemastian keamanan dan mutu bahan baku yang digunakan, proses produksi, distribusi hingga produk tersebut dikonsumsi oleh masyarakat. Pelaku usaha mempunyai peran penting dalam memberikan jaminan produknya memenuhi syarat (aman, khasiat/bermanfaat dan bermutu) melalui pemenuhan produksi yang baik sesuai dengan ketentuan. Pelaku usaha harus memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk memelihara sistem manajemen risiko secara mandiri. Pemerintah dalam hal ini BPOM khusunya Kedeputian II bertugas dalam menyusun kebijakan dan regulasi terkait obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dan mendorong penerapan Risk Management Program oleh industri. Kedeputian II juga berupaya memberikan dukungan kepada pelaku usaha untuk memperoleh kemudahan dalam usahanya yaitu dengan memberikan insentif, Clearing House, Sentra Informasi Obat Bahan Alam
52
(SIOBA), dan pendampingan regulatory. Kemandirian pelaku usaha akan berkontribusi pada peningkatan daya saing. BPOM dalam melaksanakan amanahnya sebagai lembaga pengawas selalu meningkatkan efektifitas dan efisiensinya melalui kerjasama berbagai instansi yang berkepentingan termasuk masyarakat. Untuk mendorong kemitraan dan kerjasama yang lebih sistematis, dilakukan melalui tahapan identifikasi tingkat kepentingan setiap lembaga/institusi, baik pemerintah maupun sektor swasta dan kelompok masyarakat terhadap tugas pokok dan fungsi BPOM, identifikasi sumber daya yang dimiliki oleh masing‐masing dalam mendukung tugas yang menjadi mandat BPOM, dan menentukan indikator bersama atas keberhasilan program kerjasama. Kerjasama dan kemitraan dapat dilakukan dengan saling mendukung serta berbagi sumber daya yang tersedia di masing‐masing instansi/ lembaga terkait dengan terlebih dahulu menentukan tujuan dan kerangka kerjasamanya, atau dengan “mendelegasikan” program‐program yang ada di BPOM kepada lembaga/ kelompok masyarakat yang memiliki program yang sejalan dengan BPOM dengan mendukung pembiayaan program lembaga tersebut. Untuk memastikan bahwa kerjasama ini bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan, maka disusun kesepakatan (MoU) yang mengikat kedua belah pihak dengan mengacu pada tujuan kerjasama yang telah disepakati termasuk mekanisme dan sistem monitoring dan evaluasi. Komunikasi yang efektif dengan mitra kerja di daerah merupakan hal yang wajib dilakukan, baik oleh Pusat maupun BB/Balai POM sebagai tindak lanjut hasil pengawasan. Untuk itu, 5 (lima) tahun ke depan, BB/Balai POM perlu melakukan pertemuan koordinasi dengan dinas terkait, setidaknya dua kali dalam satu tahun. Kesadaran masyarakat akan produk yang berkhasiat aman dan bermutu semakin meningkat, hal ini merupakan potensi positif agar pengawasan dapat dilaksanakan lebih efektif.oleh karena itu upaya peningkatan kesadaran masyarakat terus dilakukan, melalui kegiatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, layanan Informasi, dan Edukasi (KIE) dengan menggunakan berbagai media komunikasi. 53
Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategis ini, maka indikatornya sebagai berikut: 1. Jumlah Industri Obat Tradisional (IOT) yang memiliki sertifikat CPOTB, dengan target kumulatif 81 IOT pada tahun 2019, 2. Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan, dengan target kumulatif 205 industri kosmetika pada tahun 2019, Adapun tabel 6 Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja BPOM periode 2015‐2019 sesuai dengan penjelasan di atas, adalah sebagai berikut : Tabel 6. Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Kedeputian II periode 2015‐2019 VISI
MISI
TUJUAN
Obat dan Makanan Aman Meningkatka n Kesehatan Masyarakat dan Daya Saing Bangsa
Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat
Meningkatnya jaminan produk Obat dan Makanan aman
Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan Makanan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan.
Meningkatnya daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan menjamin mutu dan mendukung inovasi
SASARAN STRATEGIS Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat
INDIKATOR KINERJA 1. Persentase obat Tradisional yang memenuhi syarat 2. Persentase Kosmetik yang memenuhi syarat 3. Persentase Suplemen Kesehatan yang memenuhi syarat 1. Jumlah pelaku usaha industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertifikat CPOTB 2. Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan
Dari indikator kinerja tersebut di atas, ditetapkan Indikator Kinerja Utama Kedeputian II adalah : 1.
Persentase obat Tradisional yang memenuhi syarat
2.
Persentase Kosmetik yang memenuhi syarat
3.
Persentase Suplemen Kesehatan yang memenuhi syarat
4.
Jumlah pelaku usaha industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertifikat CPOTB
5.
Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan 54
BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN 3.1 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BPOM Dalam rangka mencapai sasaran strategis BPOM untuk periode 2015‐2019,
maka ditetapkan arah kebijakan dan strategi sebagai acuan langkah‐langkah penyusunan target outcome program. Arah kebijakan dan strategi BPOM disusun untuk mendukung tujuan pembangunan sub bidang kesehatan dan gizi masyarakat. Upaya secara terintegratif dalam fokus dan lokus pengawasan Obat dan Makanan dilakukan demi tercapainya tujuan dan sasaran strategis. Arah Kebijakan BPOM : 1) Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko dimulai dari perencanaan yang diarahkan berdasar pada aspek teknis, ekonomi, sosial dan spasial. Aspek‐aspek tersebut dilakukan dengan pendekatan analisis risiko yaitu dengan memprioritaskan pengawasan kepada hal‐hal yang berdampak risiko lebih besar agar pengawasan yang dilakukan lebih optimal. Keberadaan Balai Besar/Balai POM hampir di seluruh wilayah Indonesia memungkinkan BPOM meningkatkan pemerataan pembangunan terutama di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Perencanaan berbasis spasial sudah menjadi hal yang perlu diperhatikan karena secara logis risiko terhadap Obat dan Makanan yang beredar di masyarakat berbeda pada setiap lokus atau wilayah di daerah. Kebijakan ini harus dijabarkan juga
55
oleh Balai Besar /Balai POM di daerah dalam perencanaan pengawasan Obat dan Makanan di catchment area‐nya. Selain itu, penguatan sistem pengawasan Obat dan Makanan juga didorong untuk meningkatkan perlindungan kepada kelompok rentan meliputi balita, anak usia sekolah, dan penduduk miskin. Pada pengawasan Obat, hal ini dilakukan antara lain melalui pengawasan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin serta Obat Program JKN. Pada pengawasan pangan, kelompok rentan ini bahkan telah diidentifikasi mencakup bayi, orang sakit, ibu hamil, orang dengan immunocompromised, dan manula. Pengawasan ini dilakukan antara lain melalui pengawasan pangan berisiko tinggi (seperti susu formula dan produk kaleng), pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah, dan pengawasan pangan fortifikasi. 2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk Obat dan Makanan Sejalan dengan Revolusi Mental, diharapkan BPOM dapat meningkatkan kemandirian ekonomi utamanya daya saing Obat dan Makanan. Pendekatan dalam kebijakan ini meliputi antara lain penerapan Risk Management Program secara mandiri dan terus menerus oleh produsen Obat dan Makanan. Ketersediaan tenaga pengawas merupakan tanggung jawab produsen. Namun BPOM perlu memfasilitasi pemenuhan kualitas sumber daya pengawas tersebut melalui pembinaan dan bimbingan, pelatihan, maupun media informasi, serta verifikasi kemandirian tersebut. 3) Peningkatan Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik melalui kemitraan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Obat dan Makanan Menyadari keterbatasan BPOM, baik dari sisi kelembagaan maupun sumber daya yang tersedia (SDM maupun pembiayaan), maka kerjasama kemitraan dan partisipasi masyarakat adalah elemen kunci yang harus dipastikan oleh BPOM dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan Obat dan Makanan. Di sisi lain, tanggung jawab pengawasan Obat dan Makanan (walau mandat konstitusionalnya ada di BPOM) ini mestinya tidak hanya melekat dan menjadi monopoli BPOM, tapi pemerintah daerah 56
dan masyarakat juga dituntut untuk ikut andil dan terlibat aktif dalam pelaksanaan pengawasan tersebut. Dalam hal ini BPOM mestinya jeli dan proaktif dalam mendorong kerjasama dan kemitraan dengan melibatkan berbagai kelompok kepentingan dalam dan luar negeri, baik dari unsur pemerintah, pelaku usaha (khususnya Obat dan Makanan), asosiasi pihak universitas/akademisi, media dan organisasi masyarakat sipil terkait lainnya, dalam upaya memastikan bahwa Obat dan Makanan yang beredar di masyarakat itu aman untuk dikonsumsi. Bentuk draft dan model kerjasama/kemitraan itu juga harus dirancang dengan fleksibel, tapi tetap mengikat dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam kerjasama, serta berkelanjutan dengan terpantau. Kebijakan ini juga dapat difokuskan pada memaksimalkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik sebagai upaya strategis dalam pengawasan Obat dan Makanan. Dalam hal ini, yang harus dipastikan bahwa materi KIE itu harus distandarkan, memiliki muatan informatif dan jelas menguraikan pesan yang dikampanyekan, serta mampu menjangkau khalayak yang ingin disapa oleh BPOM tersebut (misalnya memanfaatkan berbagai media sosial). 4) Penguatan kapasitas kelembagaan pengawasan Obat dan Makanan melalui penataan struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien. Kebijakan ini mengarahkan pada pengelolaan sumber daya internal secara efektif dan efisien, dengan fokus pada 8 (delapan) area reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Pengelolaan persediaan, penataan aset, penguatan kapasitas laboratorium, penguatan sistem informasi teknologi untuk mendukung pelayanan publik, pengembangan SIPT sebagai aplikasi knowledge base dalam mendukung risk based control, penguatan sistem perencanaan dan penganggaran, serta implementasi keuangan berbasis akrual perlu menjadi penekanan/agenda prioritas. Dalam upaya meraih WTP, selain memelihara komitmen dan integritas pimpinan, para pengelola keuangan, dan pelaksana kegiatan, perlu juga dilakukan strategi 57
dan upaya penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), penguatan perencanaan dan penganggaran, peningkatan kualitas laporan keuangan (LK), peningkatan kualitas proses pengadaan Barang dan Jasa, pembenahan penatausahaan BMN (aset tetap dan persediaan), penguatan monitoring dan evaluasi, peningkatan kualitas pengawasan dan reviu LK, serta percepatan penyelesaian tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Terkait perencanaan dan penganggaran, sesuai tuntutan suprasistem, BPOM perlu mengubah data elektronisasi menjadi data bentuk peta (spasial) dapat diakses secara online dan real time yaitu berupa data‐data kondisi (misalnya peta penyebaran sarana produksi & sarana distribusi Obat dan Makanan), peta capaian hasil kinerja pengawasan (misalnya peta hasil pengujian laboratorium, penyelesaian kasus, dan sebagainya). Selain itu data‐data perlu diolah dan dilakukan analisis kesenjangan kinerja pengawasan antar wilayah sehingga dapat menjadi input dalam pelaksanaan program pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko. Selain memberi arah penguatan ke dalam institusi BPOM, kebijakan ini perlu disertai dengan strategi dan upaya peningkatan kerjasama dan komunikasi ke pihak eksternal yang strategis. Sedangkan strategi yang akan dilaksanakan mencakup eksternal dan internal: Eksternal: 1) Penguatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan Obat dan Makanan; 2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui komunikasi, informasi dan Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang Obat dan Makanan.
58
Internal:
1) Penguatan Regulatory System pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko; 2) Membangun Manajemen Kinerja dari Kinerja Lembaga hingga kinerja individu/pegawai; 3) Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta diarahkan untuk mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai; 4) Meningkatkan kapasitas SDM pengawas di BPOM di tingkat pusat dan daerah secara lebih proporsional dan akuntabel; 5) Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama dalam mendukung tugas Pengawasan Obat dan Makanan. Strategi eksternal lebih ditekankan pada aspek kerjasama dan kemitraan dengan lintas sektor dan lembaga (pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarak sipil). Mengingat begitu kompleksnya tantangan dari lingkungan strategis baik internal maupun eskternal seperti yang diuraikan pada Bab I tersebut di atas, maka dengan sendirinya menuntut penyesuaian‐penyesuaian dalam mekanisme internal organisasi dan kelembagaan BPOM sendiri. Sedangkan strategi internal lebih difokuskan pada pembenahan internal organisasi dan kelembagaan serta sumber daya pegawai BPOM sendiri. Poin penting yang harus diperhatikan di sini adalah soal SDM pegawai, karena kunci keberhasilan sebuah lembaga sangat ditentukan dari kualitas SDM‐nya. Agar pembangunan pengawasan Obat dan Makanan menjadi tajam dan terarah, arah kebijakan dan strategi tersebut harus dijabarkan pada perencanaan tahunan dengan penekanan sesuai isu nasional terkini (penjabaran tahunan Nawacita) dan atau mengacu alternatif penekanan sebagai berikut : 59
–
Tahun 2016 : Mendorong penguatan kelembagaan dan pengembangan program strategis dalam pengawasan Obat dan Makanan serta memaksimalkan fungsi pelayanan publik. (Dalam hal ini Penguatan Laboratorium, Sistem IT dan Dukungan Sarana Prasarana menjadi pra syarat yang harus dipenuhi).
–
Tahun 2017 : Penguatan regulasi di bidang pengawasan Obat dan Makanan termasuk Pelaksanaan Regulatory Impact Analysis, Penguatan sistem data pre dan post terintegrasi antara pusat dan daerah (sistem pemeriksaan penyidikan dan pengujian), dan Penguatan Kapasitas dan Kapabilitas Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan untuk memaksimalkan Fungsi Penegakan Hukum.
–
Tahun 2018 : Penguatan dalam penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan didukung dengan analisis dampak efektifitas pengawasan secara ekonomi dan sosial untuk mendukung pencapaian pembangunan nasional. (Dalam hal ini economic burden akibat pengawasan Obat dan Makanan yang tidak efektif akan menjadi beban pemerintah secara nasional).
–
Tahun 2019 : Percepatan pengawasan Obat dan Makanan serta evaluasi program (Renstra 2015‐2019) dalam rangka peningkatan kinerja pengawasan Obat dan Makanan periode berikutnya.
Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pengawasan Obat dan Makanan tersebut, BPOM menetapkan program‐programnya sesuai RPJMN periode 2015‐2019, yaitu program utama (teknis) dan program pendukung (generik), sebagai berikut: a. Program Teknis Program Pengawasan Obat dan Makanan Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas‐tugas utama BPOM dalam menghasilkan standardisasi dalam pemenuhan mutu, keamanan dan manfaat Obat dan Makanan melalui serangkaian kegiatan penetapan standar pengawasan, penilaian Obat dan Makanan sesuai standar, pengawasan terhadap sarana produksi, pengawasan terhadap sarana
60
distribusi, sampling dan pengujian Obat dan Makanan beredar, penegakan hukum, serta pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan. b. Program Generik 1) Program generik 1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis lainnya. 2) Program generik 2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana BPOM. Selanjutnya, program‐program tersebut dijabarkan dalam kegiatan‐kegiatan prioritas BPOM, sebagai berikut: a. Kegiatan‐kegiatan utama untuk melaksanakan Pengawasan Obat dan Makanan : 1) Penyusunan standar Obat dan Makanan berupa Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pengawasan Obat dan Makanan (pre dan post‐market); 2) Peningkatan efektivitas evaluasi pre‐market melalui penilaian Obat; 3) Peningkatan cakupan pengawasan mutu Obat dan Makanan beredar melalui penetapan prioritas sampling berdasarkan risiko termasuk iklan dan penandaan; 4) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi Obat dan Makanan, sarana pelayanan kesehatan, serta sarana produksi dan sarana distribusi pangan dan bahan berbahaya; 5) Peningkatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif; 6) Penguatan kemampuan pengujian meliputi sistem dan sumber daya laboratorium Obat dan Makanan; 7) Penyidikan terhadap pelanggaran Obat dan Makanan; 8) Peningkatan penelitian terkait pengawasan Obat dan Makanan antara lain regulatory science, life science; 9) Peningkatan Pembinaan dan bimbingan melalui kemitraan dengan pemangku kepentingan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. b. Kegiatan untuk melaksanakan ketiga program generik (pendukung): 1) Koordinasi dan Pengembangan Organisasi, Penyusunan Program dan Anggaran, Keuangan; 61
2) Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Badan Pengawas Obat dan Makanan; 3) Pengadaan, Pemeliharaan dan Pembinaan Pengelolaan, serta Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Aparatur BPOM; 4) Peningkatan Kompetensi Aparatur BPOM; 5) Peningkatan kualitas produk hukum, serta Layanan Pengaduan Konsumen dan Hubungan Masyarakat. 3.2 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEDEPUTIAN II Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I, Renstra Kedeputian II disusun berdasarkan Renstra BPOM tahun 2015‐2019. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan Renstra periode sebelumnya, Renstra Kedeputian II ditujukan untuk meningkatkan jaminan produk Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan aman, bermanfaat, dan bermutu dalam rangka mendukung terwujudnya visi organisasi BPOM yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dan daya saing bangsa. Pada matriks Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, terdapat 3 (tiga) program lintas di bawah koordinasi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dimana salah satunya melibatkan Kedeputian II, yaitu: Program Lintas Peningkatan Promosi Kesehatan dan Pengendalian Penyakit Program ini terdiri atas program Dukungan Manajemen Kemenkes, P2PL, Kepemudaan dan Olahraga, serta Program Pengawasan Obat dan Makanan yang dilaksanakan melalui 4 (empat) kegiatan dengan ukuran 3 (tiga) IKP dan 9 (sembilan) IKK. 62
Kode
Program/Kegiatan
3.4
Program Pengawasan Obat dan Makanan
3.4.1
Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan
3.4.2
Pengembangan Obat Asli Indonesia
3.4.3
Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik
Indikator Persentase Obat Tradisional yang memenuhi Syarat Persentase Kosmetik yang memenuhi Syarat Persentase Suplemen Kesehatan yang memenuhi Syarat Persentase hasil Inspeksi sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang memerlukan pendalaman mutu dan/atau diverifikasi Persentase obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dan produk kuasi tidak memenuhi syarat (TMS) yang dianalisis dan ditindaklanjuti Jumlah penandaan dan iklan obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan yang dianalisis dan ditindaklanjuti Persentase berkas permohonan sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan dan Produk Kuasi yang mendapatkan keputusan tepat waktu Jumlah pelaku usaha industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertfikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan Jumlah pedoman/publikasi informasi keamanan, kemanfaatan/khasiat dan mutu hasil pengembangan OAI Persentase Keputusan Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik yang diselesaikan 63
3.4.4
Penyusunan Standar Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan
Jumlah Standar Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan yang disusun
Untuk mewujudkan pencapaian sasaran pembangunan bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat tahun 2015‐2019, dimana terdapat satu arah kebijakan pembangunan di bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang terkait dengan Badan POM, yaitu “Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan”. Untuk itu, Kedeputian II menetapkan 6 (enam) strategi sebagai berikut : 1. Perkuatan sistem pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan berbasis risiko; 2. Peningkatan sumber daya manusia pengawas Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan berbasis risiko; 3. Perkuatan kemitraan pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan dengan pemangku kepentingan; 4. Peningkatan kemandirian pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan berbasis risiko oleh masyarakat dan pelaku usaha; 5. Peningkatan kapasitas dan inovasi pelaku usaha dalam rangka mendorong peningkatan daya saing produk Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan; dan 6. Perkuatan kapasitas dan kapabilitas pengujian Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan Berdasarkan arah kebijakan Renstra BPOM tahun 2015‐2019, maka arah kebijakan untuk mencapai tujuan dan sasaran strategis Kedeputian II tahun 2015‐2019 adalah: 1) Penguatan Sistem Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat Penguatan Sistem Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan berbasis risiko dimulai dari perencanaan yang diarahkan berdasar pada aspek teknis, ekonomi, sosial dan spasial. Aspek‐aspek tersebut dilakukan dengan pendekatan analisis risiko yaitu dengan
64
memprioritaskan pengawasan kepada hal‐hal yang berdampak risiko lebih besar agar pengawasan yang dilakukan lebih optimal. Keberadaan Balai Besar/Balai POM hampir di seluruh wilayah Indonesia memungkinkan BPOM meningkatkan pemerataan pembangunan terutama di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Perencanaan berbasis spasial sudah menjadi hal yang diperhatikan karena secara logis risiko terhadap obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang beredar di masyarakat berbeda pada setiap lokus atau wilayah di daerah. Kebijakan ini dijabarkan dalam pedoman prioritas sampling. REKSI PIMPINAN Penguatan sistem pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan juga didorong untuk menjawab tantangan isu – isu strategis yang terjadi serta meningkatkan perlindungan kepada kelompok rentan. Pengawasan ini dilakukan antara lain melalui intensifikasi pengawasan produk obat tradisional dan suplemen kesehatan mengandung Bahan Kima Obat (BKO), intensifikasi iklan dan penandaan produk kosmetik karena pemberlakuan pre market notifikasi, perkuatan laboratorium dalam investigasi produk, perkuatan kerjasama lintas sektor dalam dan luar negeri. Untuk menjawab tantang isu strategis saat ini perlu dilakukan beberapa langkah strategis melalui Peningkatan sistem pengawasan Pre Market produk obat tradisional, suplemen kesehatan dan kosmetik dengan pemenuhan optimalisasi proses penilaian melalui penyempurnaan sistem e‐reg obat tradisional, suplemen kesehatan dan notifikasi kosmetik yang telah ada serta penyediaan pedoman teknis terkait penilaian obat tradisional, suplemen kesehatan dan notifikasi kosmetik. 2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Sejalan dengan Revolusi Mental, diharapkan BPOM dapat meningkatkan kemandirian ekonomi utamanya daya saing obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Pendekatan dalam kebijakan ini meliputi antara lain
65
penerapan Risk Management Program secara mandiri dan terus menerus dan bertahap oleh produsen. Pembinaan di Kedeputian II dilakukan melalui dua program yaitu program untuk industri dan UMKM. Industri yang menerapkan Risk Management Program dalam pemenuhan CPOTB/CPKB difasilitasi sehingga penerapan dapat dilakukan secara mandiri dan konsisten. Pembinaan terhadap UMKM obat tradisional, kosmetik dilakukan melalui penerapan bertahap CPOTB/CPKB dengan melibatkan berbagai instansi terkait. Fasilitasi kualitas sumber daya dilakukan melalui pembuatan standar yang memadai serta melalui pembinaan dan bimbingan, pelatihan, maupun media informasi, serta verifikasi kemandirian tersebut. 3) Peningkatan Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik melalui kemitraan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan Menyadari keterbatasan BPOM, baik dari sisi kelembagaan maupun sumber daya yang tersedia (SDM maupun pembiayaan), maka kerjasama kemitraan dan partisipasi masyarakat adalah elemen kunci yang dimanfaatkan Kedeputian II dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Hal ini sudah menjadi konsekuansi sistem pengawasan dengan tiga pilarnya yaitu pemerintah, industri dan masyarakat. Pengawasan yang dilakukan dari hulu ke hilir akan melibatkan berbagai pihak pemerintah di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena penguatan kerjasama lintas sektor sangat konsen dilaksanakan. Desentralisasi kewenangan di bidang kesehatan, masih belum berjalan optimal oleh karena itu penguatan regulatory pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan di pemerintah pusat dan daerah perlu dibuat pendelegasian kewenangan yang jelas melalui NSPK pusat dan daerah sehingga pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan akan lebih efisien. Kerjasama di ASEAN dalam post market alert sistem (PMAS) telah berjalan dengan baik. Banyak hal didapatkan melalui kerjasama ini antara lain
66
terkait BKO yang ada dalam produk obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan dan suplemen kesehatan lainnya. Penguatan kerjasama juga banyak dilakukan secara mandiri oleh BPOM dengan pemerintah negara lain seperti China, Australia, dll Kedeputian II akan proaktif dalam mendorong kerjasama dan kemitraan dengan melibatkan berbagai pihak berpentingan dalam dan luar negeri seperti pemanfaatan CSR dan komunitas peduli obat dan makanan, asosiasi pihak universitas/akademisi, media dan organisasi masyarakat sipil terkait lainnya. Bentuk draft dan model kerjasama/kemitraan itu juga harus dirancang dengan fleksibel, tapi tetap mengikat dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam kerjasama, serta berkelanjutan dengan terpantau. Kebijakan ini juga dapat difokuskan pada memaksimalkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik sebagai upaya strategis dalam pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. Materi KIE itu harus distandarkan, memiliki muatan informatif dan jelas menguraikan pesan yang dikampanyekan, serta mampu menjangkau khalayak yang ingin disapa oleh BPOM. 4)Penguatan kapasitas kelembagaan pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik
dan Suplemen Kesehatan melalui penataan struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien. Kebijakan ini mengarahkan pada pengelolaan sumber daya internal secara efektif dan efisien, dengan fokus pada 8 (delapan) area reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Pengelolaan persediaan, penataan aset, penguatan kapasitas laboratorium, penguatan sistem informasi teknologi untuk mendukung pelayanan publik, pengembangan SIPT sebagai aplikasi knowledge base dalam mendukung risk based control, penguatan sistem perencanaan dan penganggaran, serta implementasi keuangan berbasis akrual perlu menjadi penekanan/agenda prioritas.
67
Dalam upaya meraih dan memelihara WTP, komitmen dan integritas pimpinan, para pengelola keuangan, dan pelaksana kegiatan, perlu juga dilakukan strategi dan upaya penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP),
penguatan
perencanaan
dan
penganggaran,
peningkatan kualitas laporan keuangan (LK), peningkatan kualitas proses pengadaan Barang dan Jasa, pembenahan penatausahaan BMN (aset tetap dan persediaan), penguatan monitoring dan evaluasi, peningkatan kualitas pengawasan dan reviu LK, serta percepatan penyelesaian tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Terkait perencanaan dan penganggaran, sesuai tuntutan supra sistem. Kedeputian II dalam pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan perlu mengubah data elektronisasi menjadi data bentuk peta (spasial) dapat diakses secara online dan real time yaitu berupa data‐data kondisi (misalnya peta penyebaran sarana produksi & sarana distribusi Obat dan Makanan), peta capaian hasil kinerja pengawasan (misalnya peta hasil pengujian laboratorium, penyelesaian kasus, dan sebagainya). Selain itu data‐data perlu diolah dan dilakukan analisis kesenjangan kinerja pengawasan antar wilayah sehingga dapat menjadi input dalam pelaksanaan program pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko. Selain memberi arah penguatan ke dalam institusi BPOM, kebijakan ini perlu disertai dengan strategi dan upaya peningkatan kerjasama dan komunikasi ke pihak eksternal yang strategis.
Sedangkan strategi yang akan dilaksanakan mencakup eksternal dan internal: Eksternal: 1. Perkuatan kemitraan dengan lintas sektor dalam pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan 2. Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan. 68
Internal:
1. Perkuatan regulatory system pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan berbasis risiko; 2. Membangun manajemen kinerja dari kinerja lembaga hingga kinerja individu/pegawai; 3. Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta diarahkan untuk mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai; 4. Meningkatkan kompetensi SDM di Kedeputian II secara lebih proporsional dan akuntabel; 5. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama dalam mendukung tugas pengawasan pangan, termasuk pemanfaatan teknologi informasi. Strategi eksternal lebih ditekankan pada aspek kerjasama dan kemitraan dengan lintas sektor dan lembaga (pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarak sipil). Adapun kerjasama dan kemitraan yang telah dibangun Kedeputian II dalam rangka penguatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan, yaitu : 1. Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) Pada tahun 2013 Badan POM berinisiasi membentuk Kelompok Kerja Nasional Penanggulangan Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat yang terdiri dari berbagai stake holder terkait antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Dalam Negeri, Asosiasi Dinas Kesehatan, Asosiasi Pelaku Usaha (GP Jamu dan GAPOTA), Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI. Pokjanas ini dibentuk melalui SK Kepala Badan POM No. HK.04.1.43.03.13.1258 tahun 2013 dengan tugas umum sebagai berikut : 1. melaksanakan upaya penangkalan, Pencegahan dan penegakan hukum terkait Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat melalui pengurangan pasokan (supply reduction) dan pengurangan permintaan (demand reduction);
69
2. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan bahaya Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat; dan 3. penerapan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang‐ undangan. Pokjanas dicanangkan oleh Kepala Badan POM pada tanggal 8 April 2013. Pada pencanangan tersebut, perwakilan dari pemerintah, pelaku usaha dan
pemerintah
menadatangani
komitmen
bersama
dalam
penanggulangan OT mengandung BKO. Secara garis besar, program Pokjanas Penanggulangan OT Mengandung BKO terbagi atas 2 kelompok program yaitu : 1. Program Pemutusan Rantai Suplai Dilakukan melalui program pengawasan sarana produksi dan distribusi serta penelusuran sumber OT mengandung BKO. Dalam kurun waktu 2013 – 2015, telah dilakukan upaya pemutusan rantai suplai OT mengandung BKO dengan hasil sebagai berikut : Tahun
Hasil Penelusuran Sumber
Hasil Pembersihan Pasar
(produsen)
(sarana distribusi)
2013
Rp 4.049.130.000,‐ (Produk)
Rp 5.568.422.000 (Produk)
2014
Rp 25.000.000.000,‐ (Produk)
Rp 5.142.266.000 (Produk)
2015
Rp 59.788.642.000,‐ (Produk )
Rp. 63.551.667.000,‐ (Bahan
(Produk)
Rp 1.008.004.500
Baku)
2. Program Penurunan Deman Dilakukan melalui program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada pelaku usaha dan masyarakat umum dengan tujuan menurunkan permintaan pasar terhadap OT mengandung BKO. Pelaksanaan program KIE tersebut dirinci sebagai berikut : Program KIE Komunikasi Hasil Pengawasan
Frekuensi
Jumlah Peserta
5 kali
877 orang
4 kali
2.197 orang
kepada Pelaku Usaha Sosialisasi kepada Masyarakat
70
Penerbitan Public Warning
4 kali
Peningkatan kinerja Pokjanas perlu terus ditingkatkan dan diperluas, oleh kerena itu perlu dilakukan revitalisasi melalui legalitas yang lebih kuat dalam pembentukannya. 2. Post Market Alert System (ASEAN PMAS) Post Market Alert System (ASEAN PMAS) merupakan program inisiasi ASEAN Pharmaceutical Product Working Group (PPWG) sebagai sarana pertukaran informasi antara negara ASEAN yang berkaitan dengan masalah keamanan, mutu dan kemanfaatan produk. Dimana anggotanya terdiri dari 10 negara di ASEAN yaitu Brunei, Cambodia, Indonesia, Thailand, Singapore, Malaysia, Myanmar, Vienam, Lao PDR dan Philippines. PMAS digunakan sebagai tool komunikasi yang penting bagi regulator untuk bertukar informasi mengenai tindak lanjut dan keputusan yang dibuat terkait keamanan produk farmasi, kesehatan dan kosmetik. Tujuan PMAS adalah sebagai sarana berbagi informasi antara negara ASEAN yang berkaitan dengan keamanan produk terapetik, obat tradisional, suplemen kesehatan dan kosmetika. PMAS dapat digunakan untuk menotifikasi badan pengawas lainnya secara cepat terutama jika produk yang dilaporkan termasuk dalam kategori keamanan utamanya yang harus ditarik dari peredaran. Saat ini, PMAS meliputi pelaporan untuk produk biologi, obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik dan lain‐lain Ruang lingkup dalam pelaporan termasuk isu aspek keamanan (pemalsuan, pencampuran dengan bahan berbahaya), kemanfaatan, kualitas (produk cacat) atau penandaan yang tidak sesuai. Tindak lanjut dan rincian investigasi oleh negara anggota juga dilaporkan sebagai bagian dari informasi yang dibutuhkan untuk pelaporan. Contoh tindakan yang diambil adalah pembatalan/ penundaan registrasi produk, penarikan dan revisi label.
71
Strategi eksternal lainnya yaitu peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan. Sedangkan strategi internal lebih difokuskan pada pembenahan internal organisasi dan kelembagaan serta sumber daya pegawai di Kedeputian II sendiri. Poin penting yang harus diperhatikan di sini adalah peningkatan kapasitas SDM pengawas di Kedeputian II, karena kunci keberhasilan sebuah lembaga sangat ditentukan dari kualitas SDM‐nya. Agar pembangunan pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan menjadi tajam dan terarah, arah kebijakan dan strategi tersebut harus dijabarkan pada perencanaan tahunan dengan penekanan sesuai isu nasional terkini (penjabaran tahunan Nawacita) dan atau mengacu alternatif penekanan sebagai berikut : ‐ Tahun 2016 : Mendorong penguatan kelembagaan dan pengembangan program strategis dalam pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan serta memaksimalkan fungsi pelayanan publik. (Dalam hal ini penguatan Laboratorium, Sistem IT dan dukungan Sarana Prasarana menjadi pra syarat yang harus dipenuhi) ‐ Tahun 2017 : Penguatan regulasi di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan termasuk pelaksanaan regulatory impact analysis, penguatan sistem data pre dan post terintegrasi antara pusat dan daerah (sistem pemeriksaan penyidikan dan pengujian). ‐ Tahun 2018 : Penguatan dalam penegakan hukum di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan didukung dengan analisis dampak efektifitas pengawasan secara ekonomi dan sosial untuk mendukung pencapaian pembangunan nasional. ‐ Tahun 2019 :
72
Percepatan pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan serta evaluasi program (Renstra 2015‐2019) dalam rangka peningkatan kinerja pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan periode berikutnya.
Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan, Kedeputian II menetapkan program‐programnya sesuai RPJMN periode 2015‐2019, yaitu program utama (teknis) dan program pendukung (generik), sebagai berikut: a. Program Teknis Program Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen
Kesehatan Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas‐tugas utama Kedeputian II untuk menghasilkan standardisasi dalam pemenuhan mutu, keamanan dan manfaat obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan melalui serangkaian kegiatan penetapan standar pengawasan, penilaian obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sesuai standar, pengawasan terhadap sarana produksi, pengawasan terhadap sarana distribusi, sampling dan pengujian obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang beredar, penegakan hukum, serta pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan. b. Program Generik 1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis lainnya 2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana di Kedeputian II
Selanjutnya, program‐program tersebut dijabarkan dalam kegiatan‐kegiatan prioritas Kedeputian II, sebagai berikut: a. Kegiatan‐kegiatan utama untuk melaksanakan pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan : 1) Penyusunan standar obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan berupa Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan (pre dan post‐market); 73
2) Peningkatan efektivitas evaluasi pre‐market melalui penilaian obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan berbasis risiko; 3) Peningkatan cakupan pengawasan mutu obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan beredar melalui penetapan prioritas sampling berdasarkan risiko termasuk iklan dan penandaan. 4) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan 5) Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui kemitraan dengan pemangku kepentingan serta meningkatkan partisipasi masyarakat. b. Kegiatan untuk melaksanakan program generik (pendukung): 1) Koordinasi dan Pengembangan Organisasi, Penyusunan Program dan Anggaran, Keuangan; 2) Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kedeputian II; 3) Pengadaan, Pemeliharaan dan Pembinaan Pengelolaan, serta Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Aparatur Kedeputian II; 4) Peningkatan dan Pemeliharaan Kompetensi Aparatur Kedeputian II; 5) Peningkatan kualitas produk hukum, serta Layanan Pengaduan Konsumen dan Hubungan Masyarakat. Untuk mewujudkan pencapaian sasaran strategis, maka masing‐masing sasaran strategis BPOM periode 2015‐2019 dijabarkan kepada sasaran program dan kegiatan berdasarkan logic model perencanaan. Adapun logic model penjabaran terhadap sasaran program dan kegiatan sesuai dengan unit organisasi di lingkungan BPOM adalah sebagai berikut:
74
Gambar 13. Logframe Kedeputian
Tabel 7. Program, Sasaran Program, Kegiatan, Sasaran Kegiatan, dan Indikator di Lingkungan Kedeputian
PROGRAM
SASARAN PROGRAM
KEGIATAN STRATEGIS
PROGRAM PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
Menguatnya sistem Penyusunan Standar pengawasan Obat dan Obat Tradisional, Makanan Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan
PROGRAM PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan dan
SASARAN KEGIATAN
INDIKATOR
PIC
Tersusunnya standar Jumlah standar Obat Tradisional, Dit. Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan OT, Kosmetik, dan Kosmetik, dan Suplemen yang disusun SK Kesehatan dalam rangka Jumlah keputusan dokumen uji klinik menjamin Obat obat tradisional, kosmetik dan Tradisional, Kosmetik, suplemen kesehatan yang tepat dan Suplemen Kesehatan waktu yang beredar aman, berkhasiat dan bermutu Persentase Keputusan Penilaian Obat Dit. Penilaian Obat Penilaian obat Tersedianya Obat tradisional, Suplemen Tradisional, suplemen Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan kosmetik kesehatan dan Kosmetik Kesehatan yang diselesaikan Kesehatan dan memenuhi standar kosmetik 1. Persentase hasil inspeksi sarana Dit. Inspeksi dan Inspeksi dan sertifikasi Meningkatnya mutu sertifikasi Obat sarana produksi dan Obat Tradisional, produksi dan distribusi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen distribusi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Kosmetik, dan Tradisional, Kosmetik, Kesehatan Suplemen Kesehatan yang Produk dan Suplemen Kesehatan memerlukan pendalaman mutu Komplemen sesuai GMP dan GDP dan atau diverifikasi 2. Persentase Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan dan produk kuasi TMS yang dianalisis dan ditindaklanjuti 3. Jumlah penandaan dan iklan obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan yang dianalisis dan ditindaklanjuti 4. Persentase berkas permohonan sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan dan produk kuasi yang mendapatkan keputusan tepat waktu Peningkatan Kemandirian Pelaku Usaha Obat Tradisional Kosmetik dan Suplemen Kesehatan
Pelaku usaha menjamin 1. Jumlah industri obat tradisional mutu produk Obat (IOT) yang memiliki sertfikat Tradisional, Kosmetik, CPOTB dan Suplemen Kesehatan 2. Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan
Dit. Inspeksi dan sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
75
PROGRAM
SASARAN PROGRAM
KEGIATAN STRATEGIS
SASARAN KEGIATAN
INDIKATOR ketentuan
partisipasi masyarakat
Pengembangan Obat Asli Meningkatnya Indonesia ketersediaan informasi, pengembangan OAI untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan kemitraan dengan pihak terkait. Meningkatkan upaya bimbingan pada UMKM obat tradisional
PIC Komplemen
Jumlah pedoman/publikasi informasi Dit. Obat Asli keamanan, kemanfaatan/khasiat dan Indonesia mutu hasil pengembangan OAI
Jumlah UMKM Obat Tradisional yang Dit. Obat Asli Indonesia di Intervensi
3.3 KERANGKA REGULASI Dalam rangka Penguatan Regulatory System pengawasan Obat dan Makanan, dibutuhkan adanya regulasi yang kuat guna mendukung sistem pengawasan. Sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang mempunyai tugas teknis, tidak hanya regulasi yang bersifat teknis saja yang harus dipenuhi, melainkan perlu adanya regulasi yang bersifat adminitratif dan strategis. Untuk menunjang tugas pengawasan, Kedeputian II melakukan penyusunan standar obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan berupa Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan (pre dan post‐market). Penyusunan NSPK disesuaikan dengan tantangan global, regional dan nasional dan pada pelaksanaannya dibutuhkan kerjasama dengan banyak sektor terkait, baik pemerintah maupun swasta. Untuk itu, regulasi perlu dirancang sedemikian mungkin agar sesuai dengan tugas pengawasan Obat dan Makanan. Kerangka regulasi diarahkan untuk penyediaan regulasi yang memadai terkait dengan obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan, Untuk itu, diperlukan beberapa regulasi yang penting dan dibutuhkan oleh Kedeputian II dalam rangka memperkuat sistem pengawasan antara lain: 1. Peraturan Perundang‐undangan yang mengatur :
76
pengawasan Pre dan post market obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sarana produksi dan distribusi Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan Uji Klinik Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan 2. Juknis/pedoman untuk pengintegrasian penyebaran informasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan. Adanya Juknis/pedoman tersebut diharapkan dapat memperbaiki Sistem penyebaran informasi obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan yang belum terintegrasi, termasuk dengan pemanfaatan hasil Monitoring Efek Samping Obat Tradisional (MESOT), dan Monitoring Efek Samping Kosmetik (MESKOS). Rincian kerangka regulasi terlampir pada Lampiran 2 Matriks Kerangka Regulasi Kedeputian II 2015‐2019. 3.4 KERANGKA KELEMBAGAAN Untuk memperkuat peran dan fungsi Kedeputian II dalam melaksanakan mandat Renstra 2015‐2019, maka dilakukan beberapa inisiatif penataan kelembagaan, baik penataan dalam lingkup intraorganisasi Kedeputian II maupun penataan yang bersifat interorganisasi dalam bentuk koordinasi lintas unit Eselon I, lintas instansi/lembaga, maupun hubungan dengan para pemangku kepentingan utama. Beberapa aspek kelembagaan yang harus diintegrasikan dan dikoordinasikan agar lebih efisien dan efektif adalah : 1. Penyempurnaan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kedeputian II sesuai dengan perubahan lingkungan strategis periode 2015‐2019 Penataan dalam kerangka kelembagaan bagi organisasi induk dilakukan dengan memperhatikan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, antara lain melalui 77
penguatan unit kerja di Kedeputian II dalam fungsi dan peran sebagai policy center (pengkaji, perumus, dan penetapan kebijakan) dalam bidang Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan. National Regulatory Authority (NRA) yang kuat dan mendapat pengakuan dari internasional akan meningkatkan kepercayaan negara lain terhadap produk obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan yang beredar dan diawasi oleh NRA tersebut. Dengan demikian, perkuatan lembaga BPOM khususnya kedeputian II sebagai ujung tombak perlindungan masyarakat terhadap produk obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan yang tidak memenuhi syarat keamanan, mutu dan khasiatnya, secara tidak langsung akan mendorong daya saing produk obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan dalam pasar nasional dan internasional. Oleh sebab itu penjajakan dan peningkatan Kerjasama Kedeputian II dalam fora internasional baik pada tingkat bilateral, regional dan multilateral diarahkan pada aspek: a. Perkuatan Sistem Pengawasan produk obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan sesuai standar internasional. b. Peningkatan kemampuan SDM dalam mengawasi produk obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan berdasarkan standar internasional. c. Harmonisasi standar produk obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan tanpa mengabaikan kemampuan UMKM. Gambaran tentang penguatan kerangka kelembagaan Kedeputian II yang dikaitkan dengan peningkatan daya saing dapat dilihat pada Gambar 12.
78
Gambar 14. Ilustrasi penguatan kerangka kelembagaan Kedeputian II untuk peningkatan daya saing obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan Produk Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan terjamin Daya saing NRA yang aman, bermutu dan Produk Obat kuat berkhasiat sesuai Tradisional, standar internasional Kosmetik dan Suplemen Koordinasi yang kuat Kesehatan dengan Lintas Sektor meningkat dalam rangka
peningkatan standar produk UMKM
a. Kualitas SDM yang mengawasi mampu produk Obat Tradisional, Kosmetik Suplemen dan Kesehatan b. Sistem pengawasan Obat Tradisional, dan Kosmetik Suplemen Kesehatan
2. Diperlukan koordinasi dengan lembaga‐lembaga terkait yang memiliki tugas sama dalam rangka mewujudkan pencapaian prioritas pembangunan kesehatan. 3. Pemeliharaan Sistem Manajemen Mutu yang telah diimplementasikan Deputi III untuk memastikan bisnis proses dan tata laksana baik dalam hal tata kelola pembuatan keputusan, implementasi keputusan, tata kelola evaluasi, serta manajemen kinerja dilaksanakan secara efektif, efisien, dan transparan. 4. Pemantapan pengelolaan SDM ASN, mulai dari perencanaan kebutuhan
berdasarkan analisa jabatan dan analisa beban kerja, peningkatan kompetensi (hard maupun soft competency) dan profesionalisme ASN, penilaian kinerja individu ASN, hingga penyusunan kebutuhan anggaran untuk biaya rutin ASN. Untuk mampu menghadapi dinamika lingkungan strategis maka peningkatan kompetensi akan dikembangkan agar ASN memiliki wawasan kebangsaan yang kuat, memiliki endurance/tahan terhadap tekanan dalam pekerjaan, memiliki kemampuan komunikasi 79
internal dan eksternal baik di dalam negeri maupun luar negeri. Penempatan ASN dalam jabatan fungsional seperti PFM maupun fungsional lainnya diharapkan dapat mendorong profesionalisme ASN. 80
BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN 4.1 TARGET KINERJA Mengacu kepada Program Badan Pengawas Obat dan Makanan di Lingkungan Kedeputian yaitu Pengawasan Obat dan Makanan, Kedeputian II menetapkan program pengawasan obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan dengan sasaran strategis : Tabel 8. Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Kedeputian II Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat
Indikator Persentase Obat Tradisional yang memenuhi syarat Persentase Kosmetik yang memenuhi syarat Persentase Suplemen Kesehatan yang memenuhi syarat Jumlah pelaku usaha industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertfikat CPOTB Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan
Target Kinerja 2015 80
2016 81
2017 82
2018 83
2019 84
89
90
91
92
93
79
80
81
82
83
61
66
71
76
81
185
190
195
200
205
4.1.1 Kegiatan dalam Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Untuk mencapai Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan dilaksanakan Program Pengawasan Obat dan Makanan oleh Kedeputian II melalui kegiatan: 1.
Penyusunan Standar Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan
81
Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen mengemban sasaran yaitu tersusunnya Regulasi, Pedoman dan Standar obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang dapat menjamin produk yang aman, berkhasiat dan bermutu, dengan indikator : a.
Jumlah regulasi, pedoman, standar obat tradisional yang disusun (18 regulasi/pedoman/standar).
b.
Jumlah regulasi, pedoman, standar kosmetik yang disusun (30 regulasi/pedoman/standar).
c.
Jumlah regulasi, pedoman, standar produk komplemen yang disusun (2 regulasi/ pedoman/ standar).
2.
Penilaian Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja kegiatan penilaian obat tradisional, suplemen kesehatan dan kosmetik adalah sebagai berikut :
Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Sasaran Kegiatan Tersedianya Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik yang memenuhi standar keamanan, kemanfaatan dan mutu
Tersedianya obat tradisional,
Indikator Kegiatan Jumlah Keputusan Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik yang diselesaikan tepat waktu Jumlah DIP (Dokumen Informasi Produk) Produk Kosmetik yang dinilai Jumlah kajian risk‐benefit keamanan obat tradisional, suplemen kesehatan dan kosmetik dalam rangka penetapan tindak lanjut regulatory yang tepat Persentase keputusan penilaian Obat
Target Kinerja 2015 20.600 Keputusan
2016 ‐
2017 ‐
2018 ‐
2019 ‐
260 Dokumen
‐
‐
‐
‐
10 Kajian
‐
‐
‐
‐
‐
80
82
82
83
82
Sasaran Strategis
Sasaran Kegiatan
Indikator Kegiatan
kosmetik dan suplemen kesehatan) memenuhi kriteria sebelum produk di pasarkan
Tradisional, suplemen kesehatan dan kosmetik yang diselesaikan
Target Kinerja 2015
2016
2017
2018
3.
Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Masih kurangnya mutu hasil inspeksi sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang dilakukan oleh Balai Besar/Balai POM, mengakibatkan tindaklanjut
pengawasan
tidak
seragam
dan
optimal.
Menanggapi hal tersebut, perlu dilakukan sosialisasi dan penerapan pedoman tindak lanjut hasil pengawasan kepada Balai Besar/Balai POM. Selain itu juga akan dilakukan supervisi terhadap hasil pengawasan secara terprogram. Perubahan mindset sangat terasa disini. Pusat akan dituntut sebagai pembuat kebijakan dan pembina Balai, serta pelaksana fungsi steering, sedangkan Balai akan menjadi garda terdepan dalam fungsi rowing. Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator: a) Persentase hasil Inspeksi sarana produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang memerlukan pendalaman mutu dan/atau diverifikasi, dengan target 10% pada tahun 2019 b) Persentase obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan dan produk kuasi tidak memenuhi syarat (TMS) yang dianalisis dan ditindaklanjuti, dengan target 90% pada tahun 2019. c) Jumlah penandaan dan iklan obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan yang dianalisis dan ditindaklanjuti, dengan target 47.000 pada tahun 2019. 83
2019
d) Persentase berkas permohonan sertifikasi OT, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan dan Produk Kuasi yang mendapatkan keputusan tepat waktu, dengan target 78% pada tahun 2019. 4.1.2. Kegiatan dalam Sasaran Strategis Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat
Untuk mencapai Sasaran Strategis Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dilaksanakan Program Pengawasan Obat dan Makanan oleh Kedeputian II melalui kegiatan: 1.
Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Makanan/Peningkatan kemandirian Pelaku Usaha Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan Pelaku usaha obat tradisional dan kosmetik mempunyai andil yang cukup besar dalam melindungi konsumen dari produk yang tidak aman. Untuk itu diperlukan kemandirian pelaku usaha dengan meningkatan kemampuan teknis dan pemahaman regulasi termasuk CPOTB/CPKB, sosialisasi dan edukasi ke pelaku usaha/masyarakat. Untuk mengukur kegiatan tersebut, penting adanya indikator terkait dengan kemandirian, yaitu: a) Jumlah industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertfikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), dengan target 81 sampai dengan tahun 2019. b) Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan, dengan target 205 sampai dengan tahun 2019.
2.
Pengembangan Obat Asli Indonesia Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan Obat Tradisional dan pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi, Direktorat Obat Asli Indonesia berupaya meningkatkan ketersediaan informasi dan pengembangan Obat Asli Indonesia (OAI) melalui pedoman dan media informasi 84
terkait
keamanan,
manfaat/khasiat,
dan
mutu
hasil
pengembangan OAI. Kegiatan ini diukur dengan indikator: Jumlah pedoman/publikasi informasi keamanan, kemanfaatan/ khasiat dan mutu hasil pengembangan OAI, dengan target 35 sampai dengan tahun 2019. Dalam rangka memenuhi peraturan dan persyaratan yang ditetapkan BPOM, masih terdapat pelaku usaha obat tradisional yang mengalami kendala, antara lain proses pendaftaran produk yang belum lancar dan masih ditemukan pelanggaran lainnya di lapangan. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pelaku usaha (UKOT, UMOT serta Industri Ekstrak Bahan ALami/IEBA) dalam memenuhi persyaratan dan peraturan yang ditetapkan BPOM. Untuk itu dibutuhkan pembinaan bagi pelaku usaha obat tradisional dalam memenuhi persyaratan peraturan yang ditetapkan BPOM. Terkait hal tersebut, BPOM melalui Direktorat Obat Asli Indonesia akan memberikan layanan informasi dan konsultasi bagi UKOT/UMOT/IEBA yang memerlukan edukasi, konsultasi dan pendampingan bagi peningkatan usahanya sesuai dengan peraturan. Kegiatan ini diukur dengan indikator : Jumlah UMKM obat tradisional yang diintervensi, dengan target 160 sampai dengan tahun 2019. 85
4.2 KERANGKA PENDANAAN
Sesuai target kinerja masing‐masing indikator kinerja yang telah ditetapkan maka kerangka pendanaan untuk mendukung pencapaian tujuan dan sasaran strategis BPOM khususnya Kedeputian II periode 2015‐2019 adalah sebagai berikut : Tabel 9. Sasaran Strategis, Indikator Kinerja dan Pendanaan Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat
Indikator Persentase Obat Tradisional yang memenuhi syarat meningkat Persentase Kosmetik yang memenuhi syarat meningkat Persentase Suplemen Kesehatan yang memenuhi syarat meningkat Jumlah industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertfikat CPOTB Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan
Alokasi (Rp Milyar) 2015
2016
2017
2018
2019
‐
‐
‐
‐
‐
Dalam kerangka pendanaan di buku II RPJMN terkait dengan kesehatan dan gizi masyarakat, pemerintah dimandatkan untuk meningkatkan pendanaan dan peningkatan efektivitas pendanaan pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat antara lain melalui peningkatan dukungan dana publik (pemerintah), termasuk peningkatan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dan juga peningkatan peran dan dukungan masyarakat dan dunia usaha/swasta melalui public private partnership (PPP) dan corporate social responsibility (CSR).
86
Peningkatan kerjasama, peran serta tanggungjawab pemerintah daerah dalam mendukung pengawasan peredaran obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang aman, bermanfaat, dan bermutu dalam rangka peningkatan kesehatan adalah salah satu hal yang penting untuk digarap secara serius oleh Kedeputian II, utamanya untuk memastikan keterlibatan pemerintah daerah dalam mendukung mandat BPOM khususnya Kedeputian II. Di sisi lain, peningkatan dukungan masyarakat dan dunia usaha melalui mekanisme PPP dan CSR juga perlu dirumuskan secara lebih intensif. Inisiatif PPP merupakan model kerjasama baru antara pemerintah dan private sector yang bertujuan untuk memastikan keterlibatan dunia usaha dalam mewujudkan dan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan serta mendorong keberlanjutannya. Mekanisme PPP bisa dalam bentuk kerjasama teknis dan program, pendidikan dan pelatihan, atau dengan memberikan dukungan tenaga expert pada proyek yang dikerjasamakan. Inisiatif PPP ini cukup progresif jika dibandingkan dengan model CSR yang selama ini lebih banyak dalam bentuk karikatif dan lebih pada bagaimana citra dan branding perusahaan menjadi lebih baik di mata publik. Tetapi potensi konflik kepentingan ini bisa dihindari dengan membuat aturan main dan program yang jelas, serta bisa dievaluasi oleh publik. Bahkan, kalau perlu dibentuk semacam badan independen yang mengawasi pelaksanaan kerjasama PPP dan CSR ini. Di sisi lain, Kedeputian II juga sebisa mungkin menghindari supporting langsung dari perusahaan (khususnya dana), agar potensi konflik kepentingan ini bisa dihindari sedari awal. Dalam hal ini, Kedeputian II bisa mendorong dan mengarahkan agar program mitra‐ mitra perusahaan‐perusahaan tersebut, mendukung tugas dan fungsi BPOM dalam pengawasan Obat dan Makanan. Matriks kinerja dan pendanaan Kedeputian II per kegiatan sebagaimana pada Lampiran 1. 87
Anak Lampiran 1. Matriks Kinerja dan Pendanaan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Update 2 April 2015 Target Program/Kegiatan
Sasaran Program (Outcome)/Sasaran Kegiatan (Output)/Indikator
Lokasi
Alokasi (dalam Miliar rupiah)
2015
2016
2017
2018
2019
2015
80,00
81,00
82,00
83,00
84,00
89,00
90,00
91,00
92,00
93,00
79,00
80,00
81,00
82,00
83,00
2016
2017
2018
2019
K/L‐N‐ Unit Organisasi B‐NS‐ BS Pelaksana
Program Pengawasan Obat dan Makanan 1
Menguatnya sistem pengawasan Obat dan Makanan 1.2. Persentase obat Tradisional yang memenuhi syarat 1.3. Persentase Kosmetik yang memenuhi syarat 1.4. Persentase Suplemen Kesehatan yang memenuhi syarat 2 Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat 2.2. Jumlah pelaku usaha industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertfikat CPOTB 2.3. Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan
Pusat
61
66
71
76
81
Pusat
185
190
195
200
205
Penyusunan Standar Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan Tersusunnya standar Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan yang dapat menjamin produk aman, berkhasiat dan bermutu 1
Jumlah Standar Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan yang disusun
Pusat
40
40
40
40
Tersedianya Obat Tradisional, Suplemen kesehatan dan kosmetik yang memenuhi kriteria sebelum produk di pasarkan Persentase keputusan penilaian Obat Tradisional, suplemen kesehatan, dan kosmetik yang diselesaikan
Pusat
80
80
82
82
Kedeputian II
3,3
4,0
4,0
4,0
5,0 Dit. Standardisasi OT Kos PK
12,9
15,0
16,0
16,0
18,0 Dit. Lai OT KOS PK
40
Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik
1
Kedeputian II
83
Target Program/Kegiatan
Sasaran Program (Outcome)/Sasaran Kegiatan (Output)/Indikator
Lokasi
2015
2016
2017
Alokasi (dalam Miliar rupiah) 2018
2019
2015
Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemem Kesehatan
2016
2017
2018
2019
19,8
31,0
34,0
38,0
4,8
5,0
6,0
6,0
K/L‐N‐ Unit Organisasi B‐NS‐ BS Pelaksana 41,0 Dit. Insert OT Kos PK
Meningkatnya mutu sarana produksi dan sarana distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan sesuai Good Manufacturing Practices (GMP) dan Good Distribution Practices (GDP) 1
Persentase hasil Inspeksi sarana Pusat produksi dan distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang memerlukan pendalaman mutu dan/atau diverifikasi
20
17,5
15
12,5
10
2
Persentase obat tradisional, kosmetik Pusat dan suplemen kesehatan dan produk kuasi tidak memenuhi syarat (TMS) yang dianalisis dan ditindaklanjuti
80
82,5
85
87,5
90
3
Pusat Jumlah penandaan dan iklan obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan yang dianalisis dan ditindaklanjuti Persentase berkas permohonan Pusat sertifikasi OT, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan dan Produk Kuasi yang mendapatkan keputusan tepat waktu
0
45.500 46.000
46.500
47.000
4
70
72
74
76
78
Pusat
61
66
71
76
81
Pusat
185
190
195
200
205
Meningkatnya Pelaku Usaha Industri Obat Tradisional dan Kosmetik yang Mandiri 1
2
Jumlah pelaku usaha industri obat tradisional (IOT) yang memiliki sertfikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan
Pengembangan Obat Asli Indonesia Meningkatnya ketersediaan informasi, pengembangan Obat Asli Indonesia (OAI) untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan kemitraan dengan pihak terkait. 1
Jumlah pedoman/publikasi informasi keamanan, kemanfaatan/khasiat dan mutu hasil pengembangan OAI
Pusat
7
7
7
7
7
2
Jumlah UMKM obat tradisional yang diintervensi
Pusat
0
40
40
40
40
7,0 OAI
ANAK LAMPIRAN 2. MATRIKS KERANGKA REGULASI KEDEPUTIAN II 2015‐2019
No
Arah Kerangka Regulasi dan/atau Kebutuhan regulasi
Urgensi Pembentukan Berdasarkan Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian dan Penelitian
Unit Penanggungjawab
1
RUU Pembinaan, Pengawasan, dan Pengembangan Sediaan Farmasi
Regulasi pengawasan Obat dan Makanan belum lengkap. Payung hukum yang ada belum efektif untuk pengawasan Obat dan Makanan
1. Direktorat Standardisasi Obat 2. Direktorat Standardisasi Obat Tradisional Kosmetik dan Produk Komplemen 3. Biro Hukum dan Humas 4. PPOM
2
Peraturan Perundang‐undangan terkait pengawasan Obat dan Makanan
Meningkatkan efektifitas pengawasan Obat dan Makanan
1. Direktorat Standardisasi Obat 2. Direktorat Standardisasi Obat Tradisional Kosmetik dan Produk Komplemen 3. Biro Hukum dan Humas
4
Norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) terkait pelaksanaan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah konkuren
Terciptanya sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 pasal 16 dalam hal: 1. Pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan 2. Sebagai pedoman Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengawasan Obat dan Makanan
1. Biro Hukum dan Humas 2. Direktorat Standardisasi Obat 3. Direktorat Standardisasi Obat Tradisional Kosmetik dan Suplemen Kesehatan 4. Direktorat Standardisasi Produk Pangan
7
Memorandum of Understanding (MoU) Penguatan Belum optimalnya quality surveilance /monitoring mutu untuk 1. Biro Hukum dan Humas sistem pengawasan Obat dan Makanan di daerah perbatasan, daerah terpencil, dan gugus pulau 2. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi wilayah Free Trade Zone (FTZ), daerah Obat Tradisional, Kosmetik dan perbatasan, terpencil, dan gugus pulau Produk Komplemen
Unit Terkait/ Institusi 1. DPR 2. Kemenkumham 3. Kementerian Kesehatan 4. Kemendag 5. Kemenperin 6. Kemendagri
1. DPR 2. Kemenkumham 3. Kementerian Kesehatan
No
8
Arah Kerangka Regulasi dan/atau Kebutuhan regulasi
Regulasi yang mendukung optimalisasi Pusat Kewaspadaan Obat dan Makanan dan EWS yang informatif, antara lain: ‐ Peraturan baru terkait KLB dan Farmakovigilans ‐ Mekanisme pelaksanaan Sistem Outbreak response dan EWS
Urgensi Pembentukan Berdasarkan Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian dan Penelitian Sistem Outbreak response dan EWS belum optimal dan informatif. Diperlukan response yang cepat dan efektif pada saat terjadi outbreak bencana yang berkaitan dengan bahan obat dan makanan (co. Obat terkontaminasi etilen glikol)
Unit Penanggungjawab
1. Direktorat Surveilan Penyuluhan Keamanan Pangan 2. Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan 3. Direktorat Pengawasan Distribusi Obat 4. Biro Hukum dan Humas
10 Peraturan Kepala Badan POM tentang koordinasi Pengawasan Obat dan Makanan tidak dapat berhasil tanpa adanya kerjasama dan komitmen dari daerah dalam dengan pemerintah daerah serta Peraturan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) mendukung Badan POM untuk meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan di daerah 11 Peraturan dengan instansi/pihak terkait yang mengatur regulatory insentive
1. Direktorat Standardisasi Obat 2. Direktorat Standardisasi Obat Tradisional Kosmetik dan Produk Komplemen 3. Biro Hukum dan Humas 4. PPOM
Unit Terkait/ Institusi