K ata Pengantar
S
ebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta mendukung Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) dan pencapaian program-program prioritas Badan Pengawas Obat dan Makanan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan
Bahan Berbahaya sesuai kewenangan, tugas dan fungsinya menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan, indikator, target, sampai dengan kerangka pendanaan dan kerangka regulasi kedeputian untuk periode 2015-2019. Rencana strategis Deputi III tahun 2015-2019 merupakan panduan dalam perencanaan dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Deputi III untuk 5 (lima) tahun ke depan dan menjadi acuan kerja bagi unit-unit kerja di lingkungan Deputi III sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Renstra ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja di lingkungan Deputi III sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dan diharapkan semua unit kerja dapat melaksanakannya dengan akuntabel serta senantiasa berorientasi pada peningkatan kinerja lembaga, unit kerja dan kinerja pegawai. Saya mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam penyusunan Renstra Deputi III tahun 2015-2019.
Jakarta, 3 Juni 2015 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Drs. Suratmono, MP.
i Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA NOMOR HK.04.05.04.15.1780 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA TAHUN 2015-2019 BAB I PENDAHULUAN
Gambaran kondisi umum dipaparkan mencakup peranan
Deputi Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya (Deputi III), Sumber Daya Manusia (SDM) dan hasil pencapaian program dan kegiatan pada periode tahun 2010 – 2014. Sedangkan potensi dan permasalahan diungkapkan berdasarkan faktor lingkungan internal sebagai kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal sebagai peluang dan tantangan. Kondisi umum, serta potensi dan permasalahan tersebut akan menjadi input dalam menentukan arah kebijakan dan strategi pada periode pembangunan selanjutnya yaitu tahun 2015 – 2019.
1.1
KONDISI UMUM Dalam rangka mendukung implementasi RPJMN 2015-2019 yang merupakan
tahap ketiga dari pelaksanaan RPJPN 2005-2025 yang merupakan amanat Undangundang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan mendukung Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) pada butir 5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, utamnya di sektor kesehatan; butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; serta butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestic, serta mendukung pencapaian program-program prioritas Badan Pengawas Obat dan
1 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Makanan (BPOM), maka Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya (Deputi III) sesuai kewenangan, tugas dan fungsinya menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan kedeputian untuk periode tahun 2015-2019. Proses penyusunan Renstra Deputi III tahun 2015-2019 dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil evaluasi pencapaian kinerja tahun 2010-2014, serta melibatkan pemangku kepentingan yang menjadi mitra Deputi III. Renstra Deputi III ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja Badan POM khususnya di Deputi III sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
1.1.1 Peran Deputi III Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Bab VII Pasal 231, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya merupakan unsur pimpinan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BPOM dan mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya menyelenggarakan fungsi : a.
pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;
b.
penyusunan rencana pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;
c.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang penilaian keamanan pangan;
2 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
d.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang standardisasi produk pangan;
e.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang inspeksi dan sertifikasi pangan;
f.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan;
g.
perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang pengawasan produk dan bahan berbahaya;
h.
pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;
i.
koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;
j.
evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;
k.
pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala, sesuai dengan bidang tugasnya.
1.1.2 Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya merupakan salah satu eselon I di Badan POM yang bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM. Struktur Organisasi Badan POM secara umum ditunjukkan pada Gambar 1.
3 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Sekretariat Utama 1. 2. 3.
Inspektorat
4.
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional
Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza
Biro Perencanaan dan Keuangan Biro Kerjasama Luar Negeri Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Biro Umum
Pusat Penyidikan Obat dan Makanan
Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
Pusat Riset Obat dan Makanan
Pusat Informasi Obat dan Makanan
Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Beahaya
Balai Besar/Balai POM
Gambar 1. Struktur Organisasi BPOM RI Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan Pasal 233, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya terdiri dari: a.
Direktorat Penilaian Keamanan Pangan;
b.
Direktorat Standardisasi Produk Pangan;
c.
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan;
d.
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan;
e.
Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya;
4 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
f.
Kelompok Jabatan Fungsional.
Secara rinci, struktur organisasi Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Organisasi Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Jumlah SDM yang dimiliki Deputi III untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya sampai tahun 2014 adalah 184 orang, yang tersebar di lima direktorat sebagai berikut : a.
Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, sejumlah 52 orang;
b.
Direktorat Standardisasi Produk Pangan, sejumlah 30 orang;
c.
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, sejumlah 47 orang;
d.
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, sejumlah 32 orang;
5 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
e.
Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, sejumlah 23 orang; Adapun profil pegawai Deputi III berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2014
S2
Apoteker
S1 Pangan
S1 Gizi
S1 lainnya
Non sarjana
Jumlah
dapat dijelaskan pada Tabel 1 di bawah ini:
12
18
8
6
4
4
52
Direktorat Standardisasi Produk Pangan
8
10
8
-
-
4
30
3
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
6
21
8
2
2
8
47
4
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
12
3
11
1
3
2
32
5
Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya
7
8
-
-
3
5
23
45
60
35
9
12
23
184
No
Unit Kerja
1
Direktorat Penilaian Keamanan Pangan
2
TOTAL
Tabel 1. Profil pegawai Deputi III berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2014 Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar 33% pegawai di kedeputian III memiliki latar belakang pendidikan apoteker, 24% sarjana strata 2, 19% sarjana bidang pangan/teknologi pangan dan 4,89% sarjana bidang gizi. Selain itu terdapat 6,5% sarjana lainnya dan 13% non sarjana. Komposisi sarjana strata 2 atau apoteker terbanyak terdapat pada Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya sebesar 65%, dan komposisi non sarjana terbanyak terdapat pada Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya sebesar 22%.
6 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Selain pendidikan formal, Deputi III memerlukan kompetensi khusus terkait tugas dan fungsinya, antara lain inspektur pangan, evaluator pangan, tenaga penyuluh
Unit Kerja Dasar
Muda
Madya
Direktorat Penilaian 1 Keamanan Pangan Direktorat Standardisasi 2 1 Produk Pangan Direktorat Inspeksi dan 3 11 6 25 Sertifikasi Pangan Direktorat Surveilan dan 4 3 Penyuluhan Keamanan Pangan Direktorat Pengawasan 5 2 Produk dan Bahan Berbahaya TOTAL 11 9 29 Catatan : seorang pegawai dapat memiliki kompetensi lebih dari satu 1
Penyuluh Keamanan Pangan
No
Evaluator
Inspektur Pangan
District Food Inspector (DFI)
keamanan pangan, district food inspector. Profil kompetensi dapat dilihat pada Tabel 2.
34
-
-
-
-
-
-
1
1
-
27
20
-
-
-
34
28
21
Tabel 2. Profil pegawai Deputi III berdasarkan kompetensi tahun 2014
Kelompok jabatan fungsional di Deputi III berupa jabatan fungsional tertentu yang disebut sebagai Pengawas Farmasi dan Makanan, Pranata Komputer, Arsiparis, Pengadministrasi Umum dan Verifikator Keuangan. Profil kompetensi dapat dilihat pada Tabel 3.
7 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
4
5
TOTAL
1
16
9
2
27
1
6
30
76
2
2
3
2
1
2
2
1
5
1
3
1
1
2
1 2
Verifikator keuangan
12
1
Pengadministrasi keuangan
1
2
Pengadministrasi umum
2
Arsipparis
1
Pranata Komputer Ahli
22
Pranata Komputer pertama Pranata Komputer Terampil
10
PFM Terampil Penyelia
PFM Terampil Pelaksana
3
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya
PFM Terampil Pelaksana lanjutan
2
Direktorat Penilaian Keamanan Pangan Direktorat Standardisasi Produk Pangan
PFM Pertama
1
Unit Kerja
PFM Muda
No
4 2
2
5
1
2
13
1
2
Tabel 3. Profil pegawai Deputi III berdasarkan jabatan fungsional tahun 2014
Berdasarkan Analisis Beban Kerja (ABK) Tahun 2014, Deputi III membutuhkan tambahan sumber daya manusia sebanyak 182 orang agar tiap Direktorat di kedeputian III dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Data kebutuhan pegawai berdasarkan ABK tiap Direktorat di kedeputian III dapat dilihat pada Tabel 4.
8 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pegawai yang dibutuhkan
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Dit. Standardisasi Produk Pangan
Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya
Dit. Penilaian Keamanan Pangan
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Dit. Standardisasi Produk Pangan
Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya
Dit. Penilaian Keamanan Pangan
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Dit. Standardisasi Produk Pangan
Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya
Kekurangan Pegawai
Dit. Penilaian Keamanan Pangan
Pegawai yang Ada
1
PFM Ahli Madya
2
-
-
-
-
1
-
-
-
-
1
-
-
-
-
2
PFM Ahli Muda
23
28
9
35
3
3
15
0
2
1
20
13
9
33
2
3
PFM Ahli Pertama
27
35
17
35
14
27
19
14
15
7
0
16
3
20
7
4
PFM Terampil Penyelia
6
2
-
-
1
0
1
-
-
0
6
1
-
-
1
5
PFM Terampil Pelaksana
7
-
-
-
2
1
-
-
-
1
6
-
-
-
1
6
Bendahara
-
-
-
1
1
-
-
0
1
-
-
-
1
0
4
-
-
-
-
0
-
-
-
-
4
-
-
-
-
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
4
4
-
2
1
2
2
-
1
1
2
2
-
1
0
-
-
1
-
-
-
-
1
-
-
-
-
0
-
-
2
2
-
-
-
1
1
-
-
-
1
1
-
-
-
3
1
-
-
-
1
0
-
-
-
2
1
-
-
-
1
1
0
-
-
0
0
1
-
-
No
Jabatan
12
Analis Barang dan Jasa / Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa Muda Analis Pengelola Barang Milik Negara (BMN)/Pengelola BMN Analis Data dan Informasi / Pranata Komputer Ahli Pertama Pranata Komputer Terampil Pengadministrasi Anggaran Penata Bahan Evaluasi dan Monitoring Kegiatan
13
Verifikator Keuangan
1
1
1
-
14
Pengadministrasi Umum
2
3
4
3
3
0
3
0
2
3
2
0
4
1
0
15
Analis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
1
1
-
-
-
0
0
-
-
-
1
1
-
-
-
7 8 9 10 11
9 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pegawai yang dibutuhkan Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya
Dit. Penilaian Keamanan Pangan
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Dit. Standardisasi Produk Pangan
Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya
Dit. Penilaian Keamanan Pangan
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Dit. Standardisasi Produk Pangan
Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya
TOTAL
Dit. Standardisasi Produk Pangan
17
Pengadministrasi Keuangan Arsiparis Terampil
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
16
Jabatan
Kekurangan Pegawai
Dit. Penilaian Keamanan Pangan
No
Pegawai yang Ada
2
1
3
2
-
0
0
1
0
-
2
1
2
2
-
3
3
1
-
-
0
1
0
-
-
3
2
1
-
-
88
82
37
79
26
37
43
16
20
14
51
39
21
59
12
Tabel 4. Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Analisis Beban Kerja Tahun 2014
1.1.3 Capaian Kinerja Deputi III periode tahun 2010-2014 Arah kebijakan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya periode tahun 2010-2014 dilakukan melalui 5 (lima) strategi, yaitu: Strategi Pertama Peningkatan intensitas pengawasan pre-market pangan, untuk menjamin keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk, diselenggarakan melalui fokus prioritas : a.
Penapisan penilaian pangan olahan sebelum beredar sebagai antisipasi globalisasi, termasuk ACFTA.
b.
Peningkatan pelayanan publik terkait pendaftaran pangan melalui online registration.
10 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
c.
Pengawasan pengembangan teknologi pangan (PPRG, iradiasi), untuk perlindungan konsumen dan ketersediaan pangan.
d.
Peningkatan pemenuhan Good Manufacturing Practices (GMP) industri pangan dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing.
Strategi kedua : Peningkatan pengawasan post-market pangan, diselenggarakan melalui fokus prioritas : a.
Pemantapan sampling dan pengujian pangan, berdasarkan risk based approaches.
b.
Intensifikasi pemberantasan produk ilegal.
c.
Perluasan cakupan pengawasan pangan jajanan anak sekolah (PJAS), melalui operasionalisasi Mobil Laboratorium.
d.
Pengawasan sarana post-market sesuai dengan GMP dan Good Retail Practices (GRP)
e.
Pengawasan pangan yang tercemar bahan berbahaya
f.
Pengawasan pangan fortifikasi
Strategi ketiga: Pemantapan regulasi dan standar di bidang pengawasan pangan, diselenggarakan melalui fokus prioritas : a.
Penyelarasan regulasi terkait dengan perubahan lingkungan strategis di bidang pengawasan pangan.
b.
Peningkatan penerapan standar pangan termasuk kemasan pangan yang terharmonisasi.
11 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Strategi keempat : Perkuatan Institusi, diselenggarakan melalui fokus prioritas : a.
Implementasi Reformasi Birokrasi Badan POM termasuk peningkatan pelayanan publik.
b.
Perkuatan sistem pengelolaan data serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK) termasuk strategi media komunikasi
c.
Perkuatan human capital management Badan POM.
d.
Restrukturisasi Organisasi untuk menjawab tantangan perubahan lingkungan strategis.
e.
Peningkatan dan penguatan peran dan fungsi Balai POM, Integrated Bottom Up Planning dan Quality System Evaluation
f.
Perkuatan legislasi di bidang pengawasan pangan
Strategi kelima : Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor dalam Rangka Pembagian Peran Badan POM dengan Lintas Sektor terkait, yang diselenggarakan melalui fokus prioritas : a.
Pemantapan koordinasi pengawasan pangan
b.
Pemantapan Sistem Kerjasama Operasional Pengawasan pangan
c.
Peningkatan operasi terpadu pengawasan pangan pangan
d.
Perkuatan jejaring komunikasi
e.
Pemberdayaan masyarakat melalui KIE
Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, maka sasaran strategis yang dicapai dalam Renstra BPOM tahun 2010-2014 sebagaimana diuraikan pada Tabel 4.
12 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN Memperku at Sistem Regulatori Pengawasa n Obat dan Makanan
Meningkatn ya perlindung an masyarakat dari makanan yang beresiko terhadap kesehatan
SASARAN STRATEGIS Tersusunnya standar makanan yang mampu menjamin pangan aman, bermanfaat dan bemutu
INDIKATOR TARGET KINERJA KINERJA 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah 10 10 10 10 10 Standar yang standar standar standar standar standar Dihasilkan dalam rangka Antisipasi Perkembanga n Isu Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Jumlah 4 4 4 Standar yang standar standar standar Dihasilkan dalam rangka Mendukung Program Rencana Aksi Peningkatan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Persentase 50% 60% UMKM yang meningkat daya saingnya berdasarkan hasil grading (dihitung dari 1800 UMKM) Meningkatny Persentase 45 55 60 65 70 a mutu sarana sarana produksi produksi dan pangan MD distribusi yang makanan memenuhi standar GMP yang terkini (dihitung dari 1000 sarana yang diperiksa) Persentase 5 15 35 45 55 sarana penjualanan pangan yang memenuhi standar GRP/GDP
PROGRAM Program Pengawas an Obat dan Makanan
Program Pengawas an Obat dan Makanan
13 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN
SASARAN STRATEGIS
Meningkatn ya perlindung an masyarakat dari produk pangan yang berisiko terhadap kesehatan
Meningkatny a jumlah produk pangan yang memiliki Izin Edar.
Meningkatn ya Perlindung an Masyarakat dari Produk Pangan yang Berisiko
Meningkatny a pemberdaya an Pemda Kabupaten/K ota melalui advokasi keamanan pangan, serta
INDIKATOR KINERJA (dihitung dari 6000 sarana yang diperiksa) Persentase penyelesaian tindak lanjut pengawasan produk pangan (dihitung dari 1000 temuan ketidaksesuai an) Jumlah sekolah yang disampling PJAS Persentase sarana UMKM yang memenuhi ketentuan (dihitung dari 1800 sarana yang diperiksa) Persentase keputusan penilaian pangan yang diselesaikan tepat waktu Persentase keputusan penilaian pangan industri UMKM yang diselesaikan tepat waktu Persentase Kabupaten/K ota yang menerbitkan P-IRT sesuai ketentuan yang berlaku Jumlah profil resiko
2010
TARGET KINERJA 2011 2012 2013
2014
-
-
80
85
90
-
-
750
975
1268
-
-
-
50%
55%
90%
90%
90%
90%
90%
-
-
-
90%
90%
-
-
-
5
10
-
-
-
2
2
PROGRAM
14 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN terhadap Kesehatan
Meningkatn ya efektivitas pengawasa n obat dan pangan dalam rangka melindungi masyarakat
SASARAN STRATEGIS menguatnya rapid alert system keamanan pangan
Menurunnya pangan yang mengandung bahan berbahaya
INDIKATOR KINERJA keamanan pangan yang dikategorikan sebagai early warning untuk merespon permasalaha n keamanan pangan Persentase Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang memenuhi persyaratan keamanan pangan Jumlah eLearning tenaga PKP dan DFI di Indonesia Persentase pangan yang mengandung cemaran bahan berbahaya/di larang*) Persentase temuan kemasan pangan yang melepaskan migran berbahaya yang melampaui ketentuan ke dalam pangan **) Persentase sarana distribusi yang menyalurkan bahan dilarang
2010
TARGET KINERJA 2011 2012 2013
2014
-
-
70
80
90
-
-
-
2
2
25
20
17
-
-
25
20
17
-
-
-
-
-
40
48
PROGRAM
15 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN
SASARAN STRATEGIS
INDIKATOR KINERJA untuk pangan (bahan berbahaya) yang sesuai ketentuan Persentase kemasan pangan dari pangan terdaftar, yang tidak memenuhi syarat Jumlah advokasi lintas sektor yang dilakukan terkait bahan berbahaya yang disalahgunak an pada PJAS (provinsi) Jumlah Pasar yang di intervensi menjadi pasar bebas bahan berbahaya (kumulatif)
2010
TARGET KINERJA 2011 2012 2013
2014
-
-
-
15
14
-
-
15
15
10
-
-
-
62
77
PROGRAM
Keterangan: *) = Indikator sesuai dokumen renstra sebelum revisi dan sudah tidak berlaku **) = Indikator sesuai dokumen trilateral meeting/ RKP 2012 dan sudah tidak berlaku Tabel 5. Rencana Strategis Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Tahun 2010-2014
16 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Adapun pencapaian keberhasilan pelaksanaan tugas dan kewenangan Deputi III tersebut dapat dilihat sesuai dengan pencapaian indikator kinerja pada Tabel 6.
17 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Tabel 6. Capaian kinerja Deputi III periode 2010-2014. SASARAN STRATEGIS
INDIKATOR KINERJA
Jumlah Standar yang Dihasilkan dalam rangka Antisipasi Perkembangan Isu Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Tersusunnya Jumlah Standar standar yang Dihasilkan pangan yang dalam rangka mampu Mendukung menjamin Program Rencana pangan aman, Aksi Peningkatan bermanfaat Keamanan Pangan dan bemutu Jajanan Anak Sekolah Persentase UMKM yang meningkat daya saingnya berdasarkan hasil grading (dihitung dari 1800 UMKM)
TAHUN 2010 T R %C
T
10
10
11
110%
TAHUN 2011 R %C
14
140%
T
TARGET KINERJA TAHUN 2012 R %C
T
TAHUN 2014 R %C
10
12
120%
10
10
100%
10
10
100%
4
4
100%
4
4
100%
4
1
25%
50%
33,89%
67,78%
60%
43,67%
72,78%
18 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
T
TAHUN 2013 R %C
Persentase sarana produksi pangan MD yang memenuhi standar 45% GMP yang terkini (dihitung dari 1.000 sarana yang diperiksa) Persentase sarana penjualan pangan yang memenuhi Meningkatnya standar GRP/ GDP 5% mutu sarana (dihitung dari produksi dan 6.000 sarana yang distribusi diperiksa) pangan Persentase penyelesaian tindak lanjut pengawasan produk pangan (dihitung dari 1.000 temuan ketidaksesuaian) Jumlah sekolah yang disampling PJAS
44%
0
97,78% 55% 51,60%
0
93,82%
60% 54,44%
90,74%
60%
15% 67,77% 451,80% 35% 68,27% 195,06%
45%
125%
66,06% 132,12%
65%
61,19%
94,13%
55%
64,88%
117,97%
90%
100,51% 111,68%
80% 67,50%
84,37%
85%
110%
129,29%
750
132,00%
975
1.601
164,21% 1.268
990
19 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
75%
1.448
114,20%
Persentase sarana UMKM yang memenuhi ketentuan (dihitung dari 1800 sarana yang diperiksa) Persentase keputusan penilaian pangan 90% 89,74% 99,71% 90% 84,45% 93,83% 90% Meningkatnya yang diselesaikan jumlah tepat waktu produk Persentase pangan yang keputusan memiliki Izin penilaian pangan Edar. industri UMKM yang diselesaikan tepat waktu Meningkatnya Persentase kualitas penyelesaian tindaklanjut tindak lanjut informasi informasi jejaring jejaring nasional, regional regional dan dan internasional 50% 50% 100% 70% 70,40% 100,57% internasional terkait dan dalam post persentase respon market terhadap alert/rapid permasalahan alert Pangan keamanan pangan
87%
20 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
96,67%
50%
72,03% 144,07%
55%
69,03%
125,52%
90%
92,93% 103,25%
90%
73,77%
81,97%
90%
92,30% 102,56%
90%
58,96
65,51%
Meningkatnya pemberdayaa n Pemda Kabupaten/K ota melalui advokasi keamanan pangan, serta menguatnya rapid alert system keamanan pangan
Menurunnya pangan yang mengandung bahan berbahaya
Persentase Kabupaten/Kota yang menerbitkan P-IRT sesuai ketentuan yang berlaku Jumlah profil resiko keamanan pangan yang dikategorikan sebagai early warning untuk merespon permasalahan keamanan pangan Persentase Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang memenuhi persyaratan keamanan pangan Jumlah e-Learning tenaga PKP dan DFI di Indonesia Persentase pangan yang mengandung cemaran bahan berbahaya/ dilarang*)
70
25
20
76
17
21 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
108,57%
5%
5%
100%
12
10
83%
2 paket
2 paket
100%
2 paket
2 paket
100%
80%
80,79%
100%
90
76,18
84,64%
2 paket
2 paket
100%
2 paket
2 paket
100%
Persentase temuan kemasan pangan yang melepaskan migran berbahaya yang melampaui ketentuan ke dalam pangan **) Persentase sarana distribusi yang menyalurkan bahan dilarang untuk pangan (bahan berbahaya) yang sesuai ketentuan
25
20
17
Persentase kemasan pangan dari pangan terdaftar, yang tidak memenuhi syarat Jumlah advokasi lintas sektor yang dilakukan terkait bahan berbahaya yang disalahgunakan pada PJAS (provinsi)
15
22 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
40%
41%
103,66%
48
15%
14%
101,04%
14
15%
13%
86,67%
10
Jumlah Pasar yang di intervensi menjadi pasar bebas bahan berbahaya (kumulatif)
62%
Keterangan : T = target, R = realisasi, % C = prosentase capaian
23 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
62%
100%
77
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kegiatan yang capaian melebihi target indikator yang ditetapkan, namun masih ada beberapa kegiatan yang capaiannya belum memenuhi target yang ditetapkan. Pencapaian indikator kinerja utama Deputi III yaitu pangan yang memenuhi syarat selama periode tahun 2010-2014 ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini. 100.00% 95.00% 90.00% 83.94%
85.00%
80.00%
76.03%
76.41%
2010
2011
85.32% 82.88%
75.00%
2012
2013
2014
Gambar 3. Profil Pangan yang Memenuhi Syarat Tahun 2010-2014 Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa persentase pangan yang memenuhi syarat dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2010, meskipun pada tahun 2013 mengalami sedikit penurunan.
1.2
POTENSI DAN PERMASALAHAN Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik nasional maupun global,
permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks. Globalisasi membawa keleluasaan informasi, peningkatan arus distribusi barang dan jasa yang berdampak pada munculnya isu-isu yang berdimensi lintas bidang. Percepatan arus informasi dan modal juga berdampak pada meningkatnya pemanfaatan berbagai sumber daya alam yang memunculkan isu perubahan iklim, ketegangan lintas-batas antarnegara,
21 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
serta percepatan penyebaran wabah penyakit, mencerminkan rumitnya tantangan yang harus dihadapi oleh BPOM termasuk Deputi III. Hal ini menuntut peningkatan peran dan kapasitas Deputi III dalam melakukan fungsi pengawasan pangan.
1.
Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional Globalisasi merupakan suatu perubahan interaksi manusia secara luas, yang
mencakup banyak bidang dan saling terkait. Proses ini dipicu dan dipercepat dengan berkembangnya teknologi, informasi dan transportasi yang sangat cepat. Era globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan kesehatan, khususnya dalam rangka mengurangi dampak yang merugikan, sehingga mengharuskan adanya suatu antisipasi dengan kebijakan yang responsif. Dampak dari pengaruh globalisasi tersebut telah mengakibatkan Indonesia masuk dalam perjanjian-perjanjian internasional, antara lain perjanjian ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) Free Trade Area, ASEAN-China FTA, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEANKorea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA) dan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Dalam hal ini, negaranegara tersebut dimungkinkan membentuk suatu kawasan bebas perdagangan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional, berpeluang besar menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia, serta menciptakan pasar regional. Hal ini membuka peluang peningkatan nilai ekonomi sektor barang dan jasa serta memungkinkan sejumlah produk pangan Indonesia akan lebih mudah memasuki pasaran domestik negara-negara yang tergabung dalam perjanjian pasar regional tersebut. Dalam menghadapi FTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun 2015, diharapkan industri pangan dalam negeri mampu untuk menjaga daya saing terhadap produk luar negeri. Untuk itu, penerapan globalisasi dan perjanjian-perjanjian internasional tersebut perlu menekankan prinsip kedaulatan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
22 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Memasuki era globalisasi dengan perdagangan bebas tersebut merupakan persoalan krusial yang perlu segera diantisipasi. Realitas menunjukkan bahwa saat ini Indonesia telah menjadi pasar bagi pangan dari luar negeri. Perdagangan bebas juga membawa dampak tidak hanya terkait isu ekonomi saja, namun juga merambah pada isu kesehatan. Terkait isu kesehatan, masalah yang akan muncul adalah menurunnya derajat kesehatan yang dipicu oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat tanpa diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan. Perdagangan bebas membuka peluang perdagangan pangan yang tinggi dengan memanfaatkan kebutuhan konsumen terhadap produk dengan harga terjangkau sehingga terdapatnya risiko beredarnya pangan ilegal (tanpa izin edar) dan atau mengandung bahan berbahaya yang dapat merugikan masyarakat. Dilihat dari sisi ekonomi, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia memperkirakan bahwa pada tahun 2015 capaian penjualan produk pangan mencapai Rp 1.000 triliun (Gambar 4). Sementara itu, data Bank Indonesia menyatakan bahwa pertumbuhan rata-rata tahunan indeks penjualan riil makanan, minuman dan tembakau pada 2014 lebih tinggi daripada 2013. Data BPS menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk makanan dan minuman sebesar 51% dari total pengeluaran. Sementara studi AC Nielsen menunjukkan 48% dari total belanja middle class income di Indonesia adalah untuk fast moving consumer goods (FMCG), terutama makanan dan minuman. Industri pangan memiliki banyak diferensiasi produk. Meningkatnya populasi masyarakat middle class income akan memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan industri pangan olahan di Indonesia. Healthy, convenience and lifestyle food product diperkirakan akan tumbuh pesat seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan perubahan gaya hidup. Dari sisi produksi, industri pangan menjadi kontributor terbesar pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor industri manufaktur nonmigas Indonesia dengan pangsa sekitar 30%.
23 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Gambar 4. Nilai Penjualan Produk Pangan Tahun 2008 – 2015 (GAPMMI:2014) Industri pangan dilihat dari sisi keamanan dan mutu pangan, berdasarkan data BPOM tahun 2015, jumlah pelanggaran di bidang Obat dan Makanan yang ditemukan pada Operasi Gabungan Nasional 2014 sebanyak 166 kasus, temuan produk tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 5.640 item dengan nilai ekonomi sebesar Rp10,978 M. Dari Operasi Gabungan Daerah ditemukan produk TMS sebanyak 4.632 item dengan nilai ekonomi sebesar Rp9,297 M. Hal ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi BPOM. Hasil intensifikasi pengawasan keamanan pangan tahun 2014, yang dilaksanakan pada hari besar keagamaan dan tahun baru, telah dilakukan pengamanan dan pemusnahan dengan nilai ekonomi mencapai Rp29.933.308.800,-(dua puluh sembilan miliar sembilan ratus tiga puluh tiga juta tiga ratus delapan ribu delapan ratus rupiah) di sarana retail dan gudang importir pangan dengan rincian 1.324.059 produk (76,83%) Tanpa Izin Edar (TIE), 348.754 produk (20,24%) kedaluwarsa, 28.920 produk (1,68%) rusak, 21.302 produk (1,24%) TMK Label, dan 229 produk (0,01%) produk tanpa bahasa Indonesia. Jumlah ini meningkat sebanyak 11,46% dibandingkan hasil temuan produk pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk hasil pengawasan produk rutin di tahun 2014, total temuan sebesar Rp. 3.163.414.804,- dengan rincian produk Tanpa Izin Edar (TIE) 58759 kemasan
24 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
(22.42%), rusak 10.888 kemasan (4.15%), kedaluwarsa 73.074 kemasan (27.88%), TMK label 110.338 kemasan (45.54%). Jumlah temuan intensifikasi pengawasan pangan ini lebih besar daripada temuan rutin dikarenakan tingginya demand di hari besar keagamaan dan tahun baru, yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan mengedarkan pangan yang tidak memenuhi ketentuan. Jika dilihat lebih jauh hasil pengawasan rutin untuk produk MD/ML dan P-IRT, pada kurun waktu 2010-2014 untuk produk MD/ML produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan mikrobiologi berkisar antara 7,96 % - 14 % dengan trend menurun (Gambar 5). Sedangkan hasil pengawasan produk P-IRT menunjukkan bahwa produk yang tidak memenuhi persyaratan berkisar antara 22.09 – 36 % (Gambar 6).
N;5.967
N: 12.323
N:10.684
N:13.379 9
N:13.084
Gambar 5. Hasil Pengawasan Produk Pangan MD/ML Tahun 2010-2014
25 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
N:12.740
N: 9.277
N:11.828
N:3.241
N:3.155
Gambar 6. Hasil Pengawasan Produk Pangan P-IRT Tahun 2010-2014 Sementara itu, kualitas sarana produksi MD dan IRTP menunjukkan bahwa pada kurun waktu 2010 -2014 sarana MD yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) berkisar 45,25 – 48,46 % dengan tren fluktuatif (Gambar 7). Apabila dibandingkan data tahun 2014 dengan tahun sebelumnya terdapat penurunan TMK sebesar 4,47 %. Sedangkan untuk hasil pemeriksaan sarana IRTP pada kurun waktu 2010-2014 berkisar antara 33,60 – 55,86% dengan tren menurun (Gambar 8). Hasil pengawasan tahun 2014 apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar 0,67%.
N:879
N:710
N:643
N:1066
N:1.169
Gambar 7. Hasil Pengawasan Sarana Produksi MD Tahun 2010-2014
26 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
N:2.639
N:2.100
N:1.913
N:2.349
N:3.866
Gambar 8. Hasil Pengawasan Sarana Produksi IRTP Tahun 2010-2014 Hasil pengawasan sarana distribusi pangan pada periode tahun 2010 -2014 yang TMK berkisar 29.61% - 36.29 % dengan tren naik (Gambar 9). Apabila dibandingkan data tahun 2014 dengan tahun sebelumnya terjadi kenaikan sarana TMK sebesar 1,1 %.
N:13.069
N:7.877
N:7.400
N:9.343
N:9.682
Gambar 9. Hasil pengawasan sarana distribusi pangan tahun 2010-2014 Menghadapi komunitas ASEAN, daya saing UMKM pangan perlu dibenahi. Rendahnya pengetahuan dan kemampuan teknis untuk memenuhi persyaratan pendaftaran/standar mutu, rendahnya kesadaran dalam mendaftarkan produk, keterbatasan kemampuan akses terhadap aplikasi elektronik, keterbatasan pembiayaaan
27 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
penyesuaian standar dan sertifikasi internasional (Hazard Analysis Critical Control Point/HACCP, GMP, halal, International Standard Organization/ISO, analisa, sertifikasi), maupun rendahnya penguasaan teknologi pelaku UMKM pangan perlu mendapat perhatian BPOM. Perlu ada intervensi pembinaan (regulatory assistance) dan kebijakan yang berpihak kepada UMKM.
2.
Perubahan Iklim Ancaman perubahan iklim dunia, akan semakin dirasakan oleh sektor pertanian
khususnya produk bahan pangan di Indonesia. Perubahan iklim dapat mengakibatkan berkurangnya ketersediaan pangan yang berkualitas, sehat, bermanfaat, dengan harga yang kompetitif. Dari sisi ekonomi makro, industri makanan dan minuman di masa yang akan datang perannya akan semakin penting sebagai pemasok pangan dunia.
3.
Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat Kemajuan dari ekonomi Indonesia dapat dilihat dari indikator makro-ekonomi,
yakni pendapatan perkapita sebesar USD 3.500 tahun 2013 dan pada tahun 2014 telah ditetapkan World Bank menjadi 10 (sepuluh) besar negara yang mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Indikator ini menunjukan besarnya daya beli masyarakat Indonesia. Secara teori dan fakta, semakin tinggi pendapatan maka semakin besar pula konsumsi masyarakat terhadap pangan yang memiliki standar dan kualitas.
4.
Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurut sensus penduduk tahun
2010, dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir sebesar 32,5 juta jiwa (sebesar 1,49% per tahun). Dengan laju pertumbuhan sebesar itu, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 akan mencapai 450 juta jiwa. Dari Gambar 10 di bawah ini, dapat dilihat
28 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
bahwa jumlah populasi terbesar berada pada kelompok umur remaja 15-19 tahun, namun menunjukan tren penurunan. Sementara usia produktif antara 30-54 tahun justru menunjukan tren meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan usia 55-64 tahun dan usia di atas 65 tahun menunjukan tren yang meningkat tetapi dengan jumlah yang beda. Semakin meningkat usia harapan hidup, artinya tingkat kesehatan masyarakat juga
jumlah penduduk (dalam 000)
semakin meningkat. 25,000 20,000
15,000 2009
10,000
2010
5,000
2011 2012
0
2013
Kelompok Umur
Sumber: BPS Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2000-2013 Gambar 10. Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2009-2013 Indonesia sebagai negara ke-4 dengan populasi lanjut usia tertinggi, yakni 9,079 juta tahun 2010 dan akan naik menjadi 29,047 juta pada tahun 2020, akan mengalami perubahan pola penyakit yaitu meningkatnya beban kronik untuk kaum lansia. Hal ini membutuhkan obat dan konsumsi pangan khusus sesuai kondisi kesehatan dan gizi, untuk penggunaan jangka panjang yang lebih berkualitas. Perkembangan penyakit tidak menular (PTM) yang mungkin disebabkan karena pola makan yang tidak tepat, perlu diantisipasi melalui penanganan pola konsumsi dan penyediaan pangan yang tepat sehingga dapat mengurangi kondisi PTM. Gambaran tentang profil beban penyakit berdasarkan sebab tahun 2010 sd 2014 dapat dilihat pada Gambar 11.
29 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Gambar 11. Profil Beban Penyakit Berdasarkan Sebab Tahun 1990-2010 Secara umum, bahwa transisi demografi juga akan menimbulkan efek pada transisi status kesehatan dan gizi masyarakat. Efek ini akan dapat mempengaruhi besarnya beban kerja Deputi III dalam melakukan pengawasan pangan termasuk menyiapkan standar dan melakukan penilaian terhadap produk pangan yang diperlukan untuk keperluan medis khusus dan diet khusus sesuai dengan kondisi kesehatan dan gizi masyarakat tersebut. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan terhadap pangan juga akan semakin meningkat, sehingga penawaran produk pangan juga akan meningkat. Potensi pasar yang besar membuat para produsen pangan baik lokal maupun internasional semakin meningkatkan volume produksi maupun variasinya. Bertambahnya jumlah volume produksi dan pangan ini tentunya menuntut semakin besarnya peran Deputi III dalam proses penilaian dan pengawasannya. Kurangnya pemenuhan prinsip cara produksi pangan olahan yang baik oleh produsen dalam memproduksi pangan menjadi tantangan Deputi III dalam melakukan pengawasan dan pembinaan. Peningkatan jumlah penduduk jika ditata dengan baik akan menjadi potensi berupa sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi. Kondisi ini menjadi tantangan dan peluang bagi pemerintah untuk dapat memanfaatkan fase Bonus Demografi di Indonesia untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang sangat besar dan mampu memberikan kontribusi yang besar juga dalam APBN.
30 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Berdasarkan peta demografi, penduduk Indonesia dalam usia produktif telah mencapai 80%. Penduduk ini telah memiliki daya beli lebih tinggi ditambah dengan kenaikan jumlah penduduk kelas menengah (middle class) yang terjadi pada tahun 2040. Laporan Mc Kinsey (2012) menunjukkan bahwa kelompok middle class atau consuming class Indonesia naik dari waktu ke waktu, yakni tahun 2010 hanya 45 juta orang, maka proyeksi tahun 2020 naik menjadi 85 juta orang dan pada tahun 2030 sudah mencapai 135 juta orang. Kelompok ini akan banyak mempengaruhi pola konsumsi pangan serta gaya hidup masyarakat Indonesia.
5.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dengan perubahan paradigma sistem penyelenggaraan pemerintah yang semula
sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah, maka urusan kesehatan menjadi salah satu kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren antara pusat dan daerah. Hal ini berdampak pada pengawasan pangan yang tetap bersifat sentralistik dan tidak mengenal batas wilayah (borderless), dengan one line command (satu komando), sehingga apabila terdapat suatu produk pangan yang tidak memenuhi syarat maka dapat segera ditindaklanjuti. Desentralisasi dapat menimbulkan beberapa permasalahan di bidang pengawasan pangan di antaranya kurangnya dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan di daerah sehingga tindak lanjut hasil pengawasan pangan belum optimal. Untuk menunjang tugas dan fungsi Deputi III dalam pengawasan diperlukan komitmen yang tinggi, dukungan dan kerjasama yang baik dari para pemangku kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, termasuk swasta dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing untuk menghasilkan tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik. Pemberlakuan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah merupakan tantangan bagi Deputi III untuk menyiapkan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kegiatan terkait pengawasan pangan.
31 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
6.
Perkembangan Teknologi Kemajuan teknologi produksi di bidang pangan meliputi perkembangan pangan
hasil rekayasa genetika, pangan iradiasi, perkembangan teknologi nano untuk produk dan kemasannya serta produk hasil inovasi lainnya. Hal tersebut merupakan sebagian dari kemajuan teknologi produksi yang diprediksi akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi telah memungkinkan industri di bidang pangan untuk berproduksi dalam skala besar dengan cakupan yang luas. Selain itu, dengan kemajuan teknologi transportasi baik darat, laut dan udara maupun jasa pengiriman barang, berbagai produk itu dimungkinkan dalam waktu relatif singkat mencapai seluruh wilayah negeri ini hingga ke pelosok-pelosoknya. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak satu potential problem bagi pengawasan pangan, antara lain bila terdapat produk yang tidak memenuhi standar, peredarannya dapat menjangkau areal yang luas dalam waktu yang relatif singkat. Untuk itu, antisipasi pengawasan pangan juga harus sama cepatnya. Perkembangan teknologi informasi juga dapat menjadi potensi yang bermakna bagi Deputi III untuk dapat melakukan pelayanan secara online, yang dapat memudahkan akses dan jangkauan masyarakat. Teknologi informasi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan sosialisasi, komunikasi, dan edukasi kepada masyarakat. Namun di sisi lain, teknologi informasi juga dapat menjadi tantangan bagi BPOM terkait tren pemasaran dan transaksi produk pangan secara online, yang juga perlu mendapatkan pengawasan dengan berbasis pada teknologi informasi.
7.
Implementasi Program Fortifikasi Pangan Salah satu upaya di dalam mendukung Arah Kebijakan Nasional Perbaikan
Kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Masyarakat dilakukan melalui peningkatan peran
32 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
industri dan Pemerintah daerah dalam ketersediaan pangan beragam, aman, dan bergizi diantaranya dengan dukungan fortifikasi mikronutrien penting. Fortifikasi pangan merupakan salah satu cara dalam menangani permasalahan tingginya angka kekurangan gizi mikro. Sebagai langkah awal pemerintah menetapkan fortifikasi pada garam dan tepung terigu, mengingat masih tingginya masalah gangguan kesehatan karena kurang yodium (GAKI). Penerapan fortifikasi harus diiringi dengan pengawasan. Hasil pengawasan terhadap garam beryodium dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2010–2013) menunjukkan bahwa jumlah sampel yang TMS mengalami kenaikan, yaitu berkisar 29%-43%. Hasil pengawasan tepung terigu dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2010-2013) menunjukkan bahwa jumlah sampel yang TMS juga mengalami kenaikan, yaitu berkisar 4%-23%. Untuk mengawal program ini, BPOM mendapatkan mandat strategis baik dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) maupun Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG), utamanya pada Pokja III Bidang Mutu dan Keamanan Pangan. Kegiatan Intensifikasi pengawasan produk fortifikasi Nasional (tepung terigu dan garam) merupakan upaya pengawasan pangan baik dalam rangka pemenuhan persyaratan (compliance) maupun surveilan keamanan pangan. Upaya tersebut dilakukan melalui verifikasi terhadap pemenuhan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB), baik penerapan CPPOB pada produsen pangan dan penerapan Cara Ritel Pangan yang Baik di sarana peredaran. Selain itu juga dilakukan pengawasan terhadap pangan baik di sarana produksi maupun di sarana peredaran dan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran di bidang pangan, pengujian laboratorium terhadap parameter keamanan dan mutu pangan dan gizi pangan, pengawasan terhadap kesesuaian label, monitoring iklan serta pengawasan terhadap keamanan kemasan pangan yang beredar melalui sampling dan pengujian.
33 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
8.
Jejaring Kerja Sistem pengawasan pangan di Indonesia merupakan sistem yang terintegrasi
dimana berbagai kementerian dan lembaga terlibat dalam pengawasan tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Untuk itu Badan POM dalam hal ini Deputi III mengembangkan kerjasama dan jejaring dengan lembaga-lembaga, baik di pusat, daerah, maupun internasional. Pembentukan jejaring dengan cakupan yang luas ini sangat strategis posisinya dalam mendukung tugas-tugas Deputi III maupun pemangku kepentingan. Beberapa jejaring kerja yang sudah dimiliki BPOM yang terkait pangan yaitu Jejaring Keamanan Pangan Nasional/Daerah, Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF), Jaringan Laboratorium Pengujian Pangan Indonesia (JLPPI), Satgas Pemberantasan Obat dan Makanan Ilegal (Pusat dan Daerah), Indonesia Criminal Justice System (ICJS). Di tingkat regional maupun internasional terdapat jejaring kerja dengan ASEAN Rapid Alert System for Food and Feed (ARASFF), World Health Organization (WHO), Codex Alimentarius Commission, ASEAN Referrences Laboratories (AFL). Peluang kerjasama ini terbuka tentunya karena citra BPOM yang baik di tingkat internasional. Jejaring kerjasama ini perlu penguatan karena belum semuanya berjalan efektif. Sebagai contoh adanya INRASFF akan mendukung pengawasan secara cepat tanggap terhadap adanya outbreak dan risiko pada pangan. Namun, ada beberapa hal yang masih menjadi tantangan yaitu: (i) Upstream Notification masih belum optimal, (ii) Asesmen risiko keamanan pangan impor masih belum optimal, (iii) Tindak lanjut notifikasi di Competent Contact Point (CCP) belum cepat, dan (iv) Sistem traceability di rantai suplai pangan masih lemah. Untuk itu, ke depan akan dilakukan pembentukan Local Competent Contact Point (LCCP) di 5 Propinsi: Medan, Lampung, Surabaya, Denpasar, dan Manado, serta Pengembangan Pusat Kewaspadaan dan Respon Keamanan Pangan Nasional, yang mana selain pangan, juga akan dikembangkan untuk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Kesehatan.
34 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Contoh lainnya adalah Indonesia Risk Assessment Centre (INA-RAC), yang mana sejak pencanangan oleh Menteri Kesehatan pada 20 November 2014, masih menghadapi beberapa kendala, seperti ketersediaan data nasional kajian risiko keamanan pangan yang minim dan belum terintegrasi. Tantangan kedepan adalah: (i) Meningkatkan jumlah kajian risiko keamanan pangan nasional di sepanjang rantai pangan; (ii) Pembentukan pool of expert database untuk Komite Ilmiah dan Panel Pakar; serta (iii) Melaksanakan National Capacity Building untuk Risk Assessment.
9.
Komitmen dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, BPOM melaksanakan
reformasi birokrasi (RB) sesuai PP Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design RB 20102025. Upaya atau proses RB yang dilakukan BPOM merupakan pengungkit dalam pencapaian sasaran sebagai hasil yang diharapkan dari pelaksanaan RB. Pola pikir pelaksanaan RB sebagaimana Gambar 12 di bawah ini:
PENGAWASAN INTERNAL
ORGANISASI
SDM
TATA LAKSANA
AKUNTABILITAS KINERJA PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENINGKATNYA KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI
HASIL
PELAYANAN PUBLIK
POLA PIKIR DAN BUDAYA KERJA
PENGUNGKIT
TERWUJUDNYA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BEBAS KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
MENINGKATNYA KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
INOVASI & PEMBELAJARAN
Gambar 12 Pola Pikir Pelaksanaan RB
35 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sebagai bagaian dari BPOM, Deputi III mendukung pelaksanaan reformasi Birokrasi oleh Badan POM dalam semua area perubahan dalam rangka Reformasi Birokrasi yang meliputi : (a) Penataan dan Penguatan Struktur Organisasi; (b) Penataan Tatalaksana; (c) Penataan Peraturan perundang-undangan dan Penegakan Hukum; (d) Penguatan Akuntabilitas Kinerja; (e) Penguatan Pengawasan; (f) Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur; (g) Peningkatan Pelayanan Publik; (h) Manajemen Perubahan. Uraian untuk masing-masing area perubahan tersebut sebagai berikut : a. Penataan dan Penguatan Struktur Organisasi Penataan dan penguatan struktur organisasi dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi serta kewenangan BPOM termasuk Deputi III. Untuk itu, Deputi III mendukung hal tersebut melalui kajian dan evaluasi, menyampiakan rekomendasi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi secara proporsional menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi Deputi III. b. Penataan Tatalaksana BPOM berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan dan secara terus-menerus meningkatkan pengawasan serta memberikan pelayanan kepada seluruh pemangku kepentingan. Komitmen BPOM tersebut dilakukan melalui penerapan sistem mutu secara konsisten dan ditingkatkan secara berkelanjutan yang dibuktikan dengan pemenuhan atau perolehan Quality Management System ISO 9001:2008; Akreditasi Laboratorium IEC 17025:2005; PIC/S Quality System Requirement for Pharmateucal Inspectorate (PI 0023), OHSAS 18001:2007; ISO 27001:2013 Information Security Management System; WHO Quality System Requirement for National GMP Inspectorates (TRS 902 Annex 8, 2002); dan Persyaratan Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan untuk sistem riset dan pengembangan (KNAPPP02:2007).
36 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Upaya untuk meningkatkan kualitas kinerja juga dilakukan melalui penerapan egovernment atau penggunaan teknologi informasi di lingkungan BPOM, di antaranya pendaftaran produk (pangan, obat, obat tradisional) dan berbagai penyelenggaraan manajemen pemerintahan lainnya yang dilakukan secara elektronik serta keterbukaan informasi publik bagi masyarakat. Berbagai sistem mutu dan pengembangan egovernment yang dapat meningkatkan kinerja BPOM tersebut seyogyanya dapat diintegrasikan sesuai dengan ruang lingkupnya agar pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. c. Penataan Peraturan perundang-undangan dan Penegakan Hukum Telah banyak Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang menjadi landasan teknis pelaksanaan tugas fungsi BPOM. Namun, Peraturan Perundang-undangan yang ada selama ini kurang mendukung tercapainya efektivitas pengawasan Obat dan Makanan. Demikian pula sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran di bidang Obat dan Makanan belum memberikan efek jera sehingga sering terjadi kasus berulang. Beberapa kerangka regulasi yang diasumsikan dapat mendukung pencapaian tujuan pengawasan Obat dan Makanan dibahas pada Kerangka Regulasi. Adanya kerangka regulasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kaidah pelaksanaan RPJMN/RKP membuka peluang untuk menciptakan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan meminimalkan ego sektoral. BPOM perlu mengambil kesempatan ini dengan mengusulkan peraturan perundang-undangan yang akan masuk dalam prolegnas setiap tahunnya bersamaan dengan penyusunan rencana kerja. Selain itu sesuai kerangka regulasi, untuk memastikan bahwa setiap norma kebijakan yang akan diratifikasi memberikan manfaat bagi masyarakat, BPOM perlu membuat cost-benefit analysis. Sedangkan terhadap regulasi teknis yang dikeluarkan BPOM, perlu dilakukan regulatory impact assessment. Kaitannya dengan pengawasan Obat dan Makanan di daerah, selain ketersediaan NSPK, perlu didorong terbitnya aspek legal berupa Peraturan/SK Gubernur dan ditindaklanjuti dengan Peraturan/SK Bupati/Walikota.
37 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pada level operasional, BPOM telah memiliki Pedoman Pengawasan yang jelas untuk acuan dalam pengawasan Obat dan Makanan, juga menerbitkan standar mutu lainnya, seperti standar produksi dan distribusi Obat dan Makanan. Ketersediaan peraturan perundangan sampai dengan pedoman teknis yang dilegalkan dalam bentuk Peraturan Kepala BPOM tersebut sangat mendukung penegakan hukum. Tantangan ke depan, BPOM harus membuat terobosan dalam penegakan hukum seperti memperkuat kemitraan untuk pengawasan, penindakan, maupun persamaan persepsi dengan kepolisian, kejaksaan, dan instansi terkait, menggeser pengawasan ke area preventif, serta memperkuat kerjasama di Free Trade Zone Area. Upaya ini pun perlu diikuti dengan peningkatan kajian BPOM mengenai kerugian negara secara ekonomi maupun kesehatan akibat pelanggaran Obat dan Makanan. d. Penguatan Akuntabilitas Kinerja Penguatan Akuntabilitas Kinerja bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut, BPOM telah mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan baik, dibuktikan dengan hasil evaluasi KemenPAN-RB tahun 2014 memperoleh nilai B. Komitmen pimpinan yang sangat tinggi terhadap pelaksanaan SAKIP menjadi kekuatan penting dalam upaya penguatan akuntabilitas kinerja BPOM. Namun, BPOM masih
perlu
melakukan
penyempurnaan
dalam
penatausahaan
manajemen
pemerintahan (keuangan dan BMN) dalam mewujudkan pemerintahan yang akuntabel. Ke depan, untuk menjawab ekspektasi masyarakat terhadap akuntabilitas BPOM selaku institusi pengawasan, BPOM telah menargetkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap opini laporan keuangan BPOM dari BPK. e. Penguatan Pengawasan Penguatan pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Melalui upaya pengawasan yang dilakukan BPOM, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dan
38 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
efektivitas pengelolaan keuangan negara di lingkungan BPOM termasuk Deputi III serta menghindari tingkat penyalahgunaan wewenang. Pengawasan yang dilakukan BPOM termasuk Deputi III antara lain melalui kebijakan penanganan gratifikasi, penerapan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), pengelolaan pengaduan masyarakat, implementasi whistle-blowing system, penanganan benturan kepentingan, pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), dan pendayagunaan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dalam perencanaan dan penganggaran. Untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal, upaya pengawasan yang dilakukan tersebut masih perlu dievaluasi agar dapat ditingkatkan pelaksanaannya. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah penguatan peran APIP dan unit pengawas fungsional (Inspektorat) sebagai internal-consultant yang melaksanakan fungsi pembinaan, penataan, pengawasan, dan pentaatan dengan dukungan SDM yang memadai secara kualitas dan kuantitas serta berfokus pada pemeriksaan kinerja berbasis risiko untuk mencegah potensi kesalahan yang mengganggu efektivitas pencapaian sasaran organisasi dan dapat menimbulkan kerugian negara. f. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur Penataan sistem manajemen SDM aparatur bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur BPOM termasuk Deputi III yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Perencanaan kebutuhan pegawai BPOM dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan proses penerimaan pegawai dilakukan secara transparan, objektif, akuntabel, dan bebas KKN serta promosi jabatan dilakukan secara terbuka. Pengajuan usulan kebutuhan pegawai diawali dari Analisis Beban Kerja dari masing-masing unit kerja yang menyampaikan jumlah dan kompetensi pegawai yang dibutuhkan.
39 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pengembangan pegawai yang dilakukan BPOM berbasis kompetensi yang selanjutnya capaian penilaian kinerja individu pegawai akan dijadikan dasar untuk pemberian tunjangan kinerja. Hal ini diimbangi dengan penegakan aturan disiplin dan kode etik serta pemberian sanksi. Seluruh aktivitas manajemen SDM tersebut didukung oleh sistem informasi kepegawaian. Kualitas SDM Deputi III terus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kompetensinya untuk mendukung capaian kinerja yang telah ditetapkan. Dari sisi kuantitas SDM Deputi III belum mencukupi kebutuhan untuk menjalankan tugas dan fungsinya.. g. Peningkatan Pelayanan Publik Sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik, BPOM berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan dan secara terus-menerus meningkatkan pengawasan serta memberikan pelayanan kepada seluruh pemangku kepentingan. Komitmen BPOM tersebut dilakukan melalui penerapan sistem mutu secara konsisten dan ditingkatkan secara berkelanjutan yang dibuktikan dengan pemenuhan atau perolehan Quality Management System ISO 9001:2008; Akreditasi Laboratorium IEC 17025:2005; PIC/S Quality System Requirement for Pharmateucal Inspectorate (PI 0023), OHSAS 18001:2007; ISO 27001:2013 Information Security Management System; WHO Quality System Requirement for National GMP Inspectorates (TRS 902 Annex 8, 2002); dan Persyaratan Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan untuk sistem riset dan pengembangan (KNAPPP02:2007). Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan juga dilakukan melalui penerapan e-government atau penggunaan teknologi informasi di lingkungan BPOM, di antaranya pendaftaran produk (pangan, obat, obat tradisional) dan berbagai penyelenggaraan manajemen pemerintahan lainnya yang dilakukan secara elektronik serta keterbukaan informasi publik bagi masyarakat. Berbagai sistem mutu dan pengembangan e-government yang dapat meningkatkan kinerja BPOM tersebut
40 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
seyogyanya dapat diintegrasikan sesuai dengan ruang lingkupnya agar pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Secara khusus sasaran yang akan dicapai dari proses reformasi birokrasi pada aspek pelayanan publik yang akan dilakukan di Badan POM adalah mengedepankan ke empat belas aspek pelayanan serta mampu memberikan tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi sehingga didapat kepercayaan publik pada Badan POM. Dalam rangka peningkatan pelayanan publik, telah dilakukan berbagai upaya perbaikan dalam pengawasan pre market maupun post market di Deputi III, antara lain terdiri dari kegiatan pendaftaran pangan olahan dan pelaksanaan sertifikasi impor dan ekspor pangan agar dapat dilaksanakan secara prima (perbaikan layanan secara terus menerus). Selain itu, dilakukan revitalisasi sumber daya manusia, intensifikasi sistem layanan, memangkas birokrasi layanan, atasi keluhan pelanggan dengan motto pelayanan publik CEPPATT (Cekatan, Efisien, Profesional, Pasti waktu dan biaya, Akurat, Transparan dan Tanggap).
41 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Deputi III berupaya agar terjadi perbaikan terus menerus pada pelayanan publik yang dilakukan. Upaya yang telah dilakukan bahkan jauh sebelum arus utama reformasi birokrasi mengemuka adalah melaksanakan sistem pelayanan satu atap, upaya perbaikan yang akan dilakukan adalah single sign on serta upaya pelayanan registrasi online dan percepatan pelayanan. Deputi III sebagai salah satu eselon I pemberi pelayanan publik perlu melakukan pembenahan terus menerus sesuai dengan peluang dan tantangan baik internal maupun eksternal. Hasil survey integritas sektor publik tahun 2009 oleh KPK, Evaluasi produk sebelum beredar termasuk lima belas unit layanan dengan skor integritas tertinggi. Standar minimal integritas yang ditetapkan oleh KPK dalam survey ini sebesar 6,00 dari skala 0 - 10,00, semakin besar nilai semakin baik integritasnya. Hasil survey integritas sektor publik tahun 2010 oleh KPK untuk layanan pendaftaran MD/ML Badan POM termasuk 10 (sepuluh) teratas unit layanan dengan nilai integritas 7,48 sedangkan untuk perizinan ekspor/impor yang termasuk dalam kategori makanan dan obat-obatan memiliki nilai integritas 7,13. Pada area perubahan peningkatan kualitas pelayanan publik sasaran yang harus dicapai oleh Deputi III meliputi: 1. Meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat (lebih cepat, lebih aman, lebih mudah dijangkau, lebih murah) dengan indikatornya adalah pelayanan publik murah, terjangkau, cepat dan aman. Capaian yang telah dilaksanakan antara lain menerapkan dan mengembangkan pendaftaran pangan secara online (e-registration), notifikasi dan e-payment serta penerapan SKI paperless sehingga mendukung efisiensi dan efektivitas sistem NSW dan diharapkan pelayanan akan semakin cepat, efisien, efektif dan lebih transparan. 2. Meningkatnya Indeks Kepuasan Masyarakat Untuk mengukur kinerja pelayanan publik, Direktorat Penilaian Keamanan Pangan selain melaksanakan survey kepuasan pelanggan juga merupakan salah satu unit di Badan POM yang pernah mengikuti Kompetisi Layanan Publik dalam rangka Open Government Indonesia (OGI) yang diselenggarakan oleh UKP-PPP pada tahun 2012.
42 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kompetisi ini bertujuan untuk lebih mendorong dan mengapresiasi unit layanan publik yang memiliki keinginan kuat untuk melakukan peningkatan kualitas layanan publik. Peserta dalam kompetisi ini terdiri dari 62 unit layanan publik yang berasal dari 34 Kementerian/Lembaga. Keikutsertaan dalam Kompetisi Layanan Publik OGI ini sejalan dengan Reformasi Birokrasi BPOM RI, dimana “Pelayanan Publik” merupakan salah satu dari 8 area perubahan. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan berhasil mendapat peringkat ke – 7. h. Manajemen Perubahan Manajemen perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya kerja individu atau unit kerja di dalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran RB. Untuk menggerakkan organisasi dalam melakukan perubahan, telah dibentuk agent of change di masing-masing unit kerja sebagai role model serta forum bagi pembelajaran atau inovasi dalam proses perubahan yang dilakukan. Komitmen dan keterlibatan pimpinan dan seluruh pegawai secara aktif dan berkelanjutan merupakan unsur pendukung paling utama dalam perubahan pola pikir dan budaya kerja dalam rangka pelaksanaan RB. Untuk mengurangi risiko kegagalan yang disebabkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap perubahan dibutuhkan media komunikasi secara reguler untuk mensosialisasikan RB atau perubahan yang sedang dan akan dilakukan, termasuk pentingnya peran agent of change dan manfaat dari forum pembelajaran atau inovasi.
ANALISA TERHADAP LINGKUNGAN STRATEGIS (STRENGTHS,
WEAKNESSES,
OPPORTUNITIES, THREATS) Secara garis besar, lingkungan strategis yang dihadapi oleh Deputi bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya diidentifikasi berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal (strenghts dan weaknesses) dan eksternal
43 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
(opportunities dan threats) organisasi, selanjutnya dilakukan analisa terhadap kekuatan (strength), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats).
A. FAKTOR LINGKUNGAN INTERNAL Kekuatan Integritas Pelayanan Publik diakui secara Nasional Komitmen Pimpinan dan seluruh pegawai di Kedeputian III untuk menerapkan Reformasi Birokrasi Sistem pengawasan pangan yang komprehensif mencakup pre-market dan post market Penerapan dan sertifikasi sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008 di seluruh unit kerja Networking yang kuat dengan lembaga-lembaga pusat/daerah/regional/ internasional Pengembangan dan penerapan pengawasan pangan berbasis risiko Peraturan dan standar yang mengacu standar internasional Intensifikasi kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Keamanan Pangan Tugas, fungsi dan kewenangan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan Pengakuan kompetensi SDM keamanan pangan melalui pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi Keamanan Pangan Terbentuknya INRASFF dan INARAC sebagai bagian dari penguatan pengawasan pangan olahan Koordinasi dan komunikasi antar unit kerja di Deputi III/ pusat yang semakin kuat dan lancar. Trend anggaran yang meningkat Menguatnya Jejaring Keamanan Pangan Nasional
44 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kelemahan Payung hukum pengawasan pangan belum memadai, peraturan pelaksanaan UU dan NSPK yang terbaru dengan pemerintah daerah Jumlah dan sebaran pengawas pangan belum memadai dibandingkan dengan cakupan tugas dan wilayah pengawasan. Terbatasnya sarana dan prasarana baik pendukung maupun utama Belum optimalnya dukungan sistem IT dalam pengawasan pangan olahan Kelembagaan Pusat dan Balai belum sinergi Unit pelaksana teknis terbatas hanya di tingkat provinsi Pemberdayaan stakeholder dan konsumen masih belum optimal Kompetensi dan profesionalitas tenaga pengawas/evaluator perlu ditingkatkan. Jumlah ASN belum memadai dibandingkan dengan beban kerja (berdasarkan Analisis Beban Kerja) Pelaksanaan Regulatory Impact Assessment/RIA belum optimal Keterbatasan kemampuan pengujian untuk mengawal fungsi pengawasan.
B. FAKTOR LINGKUNGAN EKSTERNAL Peluang Kebijakan Program Fortifikasi Pangan secara nasional Perkembangan Teknologi Informasi sebagai sarana pengawasan keamanan pangan termasuk KIE Pengakuan stakeholder terhadap peran Badan POM (Deputi III) sebagai leading sektor dalam INRASFF dan INARAC. Jumlah dan variasi industri pangan yang berkembang pesat Terjalinnya kerjasama dengan instansi terkait
45 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Peranan industri pangan dalam perkembangan ekonomi nasional Peningkatan demand pangan Globalisasi perdagangan MEA, harmonisasi ASEAN dll Perkembangan teknologi di bidang pangan Komitmen manajemen untuk bermitra dalam keamanan pangan Peningkatan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pangan yang aman Jumlah industri pangan yang berkembang pesat termasuk industri UMKM Kuatnya dukungan dari stakeholder Perkembangan regulasi global terkait pangan
Tantangan Perubahan iklim dunia yang mempengaruhi pola penyakit akibat pangan Penjualan pangan ilegal secara online Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk Perubahan pola hidup masyarakat (sosial dan ekonomi) termasuk pola makan Munculnya (kembali) berbagai penyakit baru (re-emerging pahogen bacteria) Masih banyaknya jumlah pelanggaran di bidang pangan Bidang kesehatan menjadi kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren antara pusat dan daerah Lemahnya penegakan hukum Kebijakan peredaran pangan di wilayah perbatasan Berkurangnya ketersediaan pangan yang berkualitas dengan harga yang kompetitif Desentralisasi bidang kesehatan belum optimal Belum optimalnya tindaklanjut hasil pengawasan pangan oleh pemangku kepentingan di daerah Luasnya jangkauan area pengawasan pangan
46 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Penyakit tidak menular akibat pangan; terkait isu Gula- Garam-Lemak, 1000 Hari Pertama Kehidupan, Stunting, Kualitas Manula Masih munculnya Kejadian Luar Biasa (outbreak) Daya saing IRTP/UMKM masih rendah Kemampuan telusur produk masih rendah (traceability) Masih banyaknya pelanggaran di bidang pangan
47 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA
Berdasarkan kondisi umum, potensi, permasalahan dan tantangan yang dihadapi ke depan, maka Deputi III sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai unit organisasi yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pengawasan pangan dituntut untuk dapat menjamin keamanan, mutu dan manfaat pangan sesuai persyaratan yang telah ditetapkan.
2.1
VISI Visi dan Misi Pembangunan Nasional untuk tahun 2105-2019 telah ditetapkan
dalam Peraturan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Visi pembangunan nasional untuk tahun 2015-2019 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”. Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 Misi Pembangunan yaitu: 1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan, 2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan negara hukum, 3. Mewujudkan politik luar negeri yang bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim, 4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera, 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing,
48 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju dan kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, dan 7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Sejalan dengan visi dan misi pembangunan dalam RPJMN 2015-2019, maka BPOM telah menetapkan Visi BPOM 2015-2019 yaitu : ”Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Daya Saing Bangsa” Mengingat Deputi III memiliki peran strategis dalam mendukung pencapaian Visi BPOM, maka Visi Deputi III yang akan dicapai sesuai Renstra periode 2015-2019 adalah sama dengan Visi BPOM. Diharapkan Deputi III memberikan kontribusi yang signifikan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya bagi keberhasilan pencapaian Renstra BPOM 2015-2019 terutama dalam bidang pangan. Penjelasan Visi: Proses penjaminan pengawasan Pangan harus melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan serta dilaksanakan secara akuntabel serta diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan itu, maka pengertian kata Aman dan Daya Saing adalah sebagai berikut: Aman
: Kemungkinan risiko yang timbul pada penggunaan Pangan telah melalui analisa dan kajian, sehingga risiko yang mungkin masih timbul adalah seminimal mungkin/ dapat ditoleransi/tidak membahayakan saat digunakan pada manusia. Dapat juga diartikan bahwa manfaat pangan meyakinkan, keamanan memadai, dan mutunya terjamin.
Daya Saing : Kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang telah memenuhi standar, baik standar nasional maupun internasional, sehingga produk lokal unggul dalam menghadapi pesaing di masa depan.
49 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2.2
MISI Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi Deputi III dalam bentuk misi sebagai berikut : 1.
Meningkatkan sistem pengawasan pangan berbasis risiko untuk
melindungi
masyarakat 2.
Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan pangan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan.
3.
Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM
Penjelasan Misi : 1. Meningkatkan sistem pengawasan pangan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat Pengawasan pangan merupakan pengawasan komprehensif (full spectrum) mencakup standardisasi, penilaian produk sebelum beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, sampling dan pengujian produk serta penegakan hukum. Dengan penjaminan mutu produk pangan yang konsisten, yaitu memenuhi standar aman, bermanfaat dan bermutu, diharapkan Deputi III mampu melindungi masyarakat dengan optimal. Menyadari kompleksnya tugas yang diemban Deputi III, maka perlu disusun suatu strategi yang mampu mengawalnya. Di satu sisi tantangan dalam pengawasan pangan semakin tinggi, sementara sumber daya yang dimiliki terbatas, maka perlu adanya prioritas dalam penyelenggaraan tugas. Untuk itu pengawasan pangan seharusnya didesain berdasarkan analisis risiko, untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara proporsional untuk mencapai tujuan sasaran strategis ini. Deputi III perlu melakukan mitigasi risiko di semua proses bisnis Deputi III, antara lain pada pengawasan sarana dan produk, Deputi III secara proaktif
50 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
memperkuat pengawasan lebih ke hulu melalui pengawasan importir bahan baku dan produsen.
2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan pangan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan Dalam 5 (lima) tahun ke depan, paradigma pengawasan pangan harus diubah yang sebelumnya adalah “watchdog” control menjadi “pro-active control” dengan mendorong penerapan Risk Management Program oleh industri. Sebagai salah satu pilar Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM), pelaku usaha mempunyai peran yang sangat strategis dalam dalam pengawasan pangan. Pelaku usaha harus bertanggungjawab memenuhi standar dan persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan distribusi pangan sehingga menjamin pangan yang diproduksi dan diedarkan aman, bermanfaat dan bermutu. Sebagai unit organisasi pengawas, Deputi III harus mampu membina dan mendorong pelaku usaha untuk dapat memberikan produk pangan yang aman, bermanfaat dan bermutu. Dengan pembinaan secara berkelanjutan, ke depan diharapkan pelaku usaha mempunyai kemandirian dalam memberikan jaminan keamanan pangan. Era perdagangan bebas telah dihadapi oleh seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Sementara itu, kontribusi industri pangan terhadap Pendapatan Nasional Bruto (PDB) cukup signifikan. Industri pangan, minuman dan tembakau memiliki kontribusi PDB non migas di tahun 2012 sebesar 36,33 persen, sementara Industri Kimia dan Farmasi sebesar 12,59 persen (sumber: Laporan Kemenperin 2004-2012). Perkembangan industri pangan dan minuman dari tahun 2004 sampai dengan 2012 mempunyai tren yang meningkat. Hal ini tentunya merupakan suatu potensi yang luar biasa untuk industri tersebut berkembang lebih pesat.
51 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Industri dalam negeri harus mampu bersaing baik di pasar dalam maupun luar negeri. Kemajuan industri pangan secara tidak langsung dipengaruhi dari sistem serta dukungan regulatory yang mampu diberikan oleh Deputi III. Sehingga Deputi III berkomitmen untuk mendukung peningkatan daya saing, yaitu melalui jaminan keamanan, manfaat dan mutu pangan. Masyarakat sebagai konsumen juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam pengawasan pangan. Sebagai salah satu pilar pengawasan pangan, masyarakat diharapkan dapat memilih dan menggunakan pangan yang memenuhi standar, dan diberi kemudahan akses informasi dan komunikasi terkait pangan. Untuk itu, Deputi III melakukan berbagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mendukung pengawasan
melalui kegiatan Pemberdayaan,
Komunikasi, Informasi dan Edukasi kepada masyarakat, serta kemitraan dengan pemangku kepentingan lainnya sehingga mampu melindungi diri sendiri dan terhindar dari produk pangan yang mengandung bahan berbahaya dan ilegal. Perkembangan ilmu dan teknologi pengolahan dan pengemasan pangan, metode dan teknik pemasaran dan perdagangan pangan, serta peningkatan kesadaran tentang kesehatan, telah mendorong berbagai inovasi produk pangan. Jenis pangan yang diperkenalkan semakin bervariasi; diantaranya pangan organik, bahan tambahan pangan, pangan iradiasi, pangan produk rekayasa genetik, pangan untuk bayi, usia lanjut dan kebutuhan medis khusus. Menyadari hal tersebut, sejak awal penyusunan regulasi, Badan POM telah mengikutsertakan para pemangku kepentingan. Pertimbangan keamanan pangan, perlindungan konsumen, penerapan oleh industri pangan dan implementasi perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab didiskusikan secara transparan dan kondusif. Meningkatkan kemitraan dengan pemangku kepentingan termasuk industri pangan, merupakan salah satu misi Deputi III, oleh karena itu komunikasi yang sudah terjalin selama ini antara lain dalam perumusan regulasi, sosialisasi implementasi
52 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
regulasi, penanganan emerging issue, diskusi antisipasi Harmonisasi ASEAN, dan pendampingan UMKM perlu terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya. Meningkatnya pangan yang memenuhi syarat adalah salah satu target Deputi III. Direncanakan penerapan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) akan menjadi
persyaratan
mendasar
yang
wajib
dilaksanakan
dan
dipertanggungjawabkan setiap industri pangan agar tidak ditemukan lagi penggunaan bahan dan proses produksi yang membahayakan kesehatan dan higiene sanitasi yang buruk, termasuk dengan pendekatan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) untuk tindakan pencegahan sehingga tingkat kepercayaan terhadap keamanan dan kualitas pangan di Indonesia meningkat. Partisipasi aktif dilakukan oleh Deputi III dalam rangka persiapan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economy Community) pada tahun 2015, dimana pangan dan kemasan pangan menjadi salah satu prioritas yang akan diharmonisasikan. Badan POM sebagai national competent authority di bidang keamanan pangan berpartisipasi aktif dalam forum – forum diskusi di tingkat nasional dan internasional untuk meningkatkan kompetensi pelaku usaha di dalam negeri dalam rangka persiapan pasar bebas ASEAN. Sejumlah standar, pedoman dan peraturan juga telah dipersiapkan dalam mendukung perlindungan konsumen dan industri dalam negeri menyambut era perdagangan bebas ASEAN. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Deputi III tidak dapat berjalan sendiri, sehingga diperlukan kerjasama atau kemitraan dengan pemangku kepentingan lainnya. Dalam era otonomi daerah, khususnya terkait dengan bidang kesehatan, peran daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan serta kebijakan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pencapaian tujuan nasional di bidang kesehatan. Pengawasan Pangan bersifat unik karena tersentralisasi, yaitu dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pusat dan diselenggarakan oleh Balai di seluruh Indonesia. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan tugas pengawasan, karena kebijakan yang diambil harus bersinergi dengan kebijakan
53 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
dari Pemerintah Daerah sehingga pengawasan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. 3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM Untuk mendorong misi pertama dan kedua, diperlukan sumber daya yang memadai dalam mencapai kapasitas kelembagaan yang kuat. Hal ini membutuhkan sumber daya yang merupakan modal penggerak organisasi. Sumber daya dalam hal ini terutama terkait dengan sumber daya manusia dan sarana-prasarana penunjang kinerja. Ketersediaan sumber daya yang terbatas baik jumlah dan kualitasnya, menuntut Deputi III harus mampu mengelola sumber daya tersebut seoptimal mungkin agar dapat mendukung terwujudnya sasaran program dan kegiatan yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh elemen organisasi. Di samping itu, Deputi III untuk melaksanakan tugas tertentu tidak hanya bersifat teknis semata (techno structure), namun juga melaksanakan fungsi pengaturan (regulating), pelaksana (executing), dan pemberdayaan (empowering). Untuk itu, diperlukan penguatan kelembagaan/organisasi. Kelembagaan tersebut meliputi struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, serta budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi. Misi Deputi III diadaptasi dari misi BPOM yang merupakan langkah utama yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi BPOM. Pengawasan pre- dan post-market yang berstandar internasional diterapkan dalam rangka memperkuat Deputi III menghadapi tantangan globalisasi. Dengan penjaminan mutu produk pangan yang konsisten, yaitu memenuhi standar aman, bermanfaat dan bermutu, diharapkan Deputi III mampu melindungi masyarakat dengan optimal. Dari segi organisasi, Deputi III perlu meningkatkan kualitas kinerja dengan tetap mempertahankan sistem manajemen mutu dan prinsip organisasi pembelajar (learning organization). Untuk mendukung itu, maka Deputi III perlu untuk memperkuat
54 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
koordinasi internal dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia serta saling bertukar informasi (knowledge sharing). 2.3
BUDAYA ORGANISASI Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus dihayati
dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan tugasnya. Nilai-nilai luhur yang hidup dan tumbuh-kembang dalam organisasi menjadi semangat bagi seluruh anggota organisasi dalam berkarsa dan berkarya, adalah: 1. Profesional Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi. 2. Integritas konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan 3. Kredibilitas Dapat dipercaya, dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan internasional. 4. Kerjasama Tim Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang baik. 5. Inovatif Mampu melakukan pembaruan dan inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi terkini. 6. Responsif/Cepat Tanggap Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah. 2.4
TUJUAN Untuk mewujudkan Visi dan melaksanakan Misi di atas, Deputi III menetapkan 2
(dua) tujuan yang akan dicapai Deputi III dalam kurun waktu 2015-2019 adalah sebagai berikut:
55 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
1.
Meningkatnya jaminan produk pangan aman, bermanfaat, dan bermutu dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat;
2.
Meningkatnya daya saing pangan di pasar lokal dan global dengan menjamin mutu dan mendukung inovasi. Tujuan pertama adalah sesuai dengan tugas pokok Deputi III sebagaimana
diamanatkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Deputi III diharapkan mampu melakukan tugasnya sehingga dapat memberikan jaminan bagi masyarakat atas tersedianya pangan olahan yanag memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi dalam rangka meningkatkan status kesehatan masyarakat Indonesia. Sedangkan tujuan kedua, terkait dengan perkembangan dan perubahan lingkungan strategis dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, Deputi III diharapkan meberikan kontribusi dalam hal peningkatan daya saing produk baik di pasar lokal maupun regional dan global melalui penjaminan mutu dan dukungan terhadap inovasi yang dilakukan oleh industri pangan. Ukuran keberhasilan atau indikator kinerja untuk kedua tujuan tersebut di atas, dijelaskan dalam bagian Sasaran Strategis.
2.5
SASARAN STRATEGIS Keberhasilan pencapaian visi dan tujuan organisasi sangat ditentukan oleh
keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan dilaksanakan oleh masing-masing Direktorat. Keberhasilan tersebut perlu diukur dalam bentuk sasaran strategis dengan indikator dan target capaian yang ditetapkan per tahun. Sasaran strategis ini disusun berdasarkan visi dan misi yang ingin dicapai Deputi III, dengan mempertimbangkan perubahan lingkungan strategis, tantangan masa depan dan sumber daya serta infrastruktur yang dimiliki. Sasaran strategis Deputi III dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan (20152019) adalah sebagai berikut:
56 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
1. Menguatnya Sistem Pengawasan Makanan Pangan yang menjadi obyek pengawasan Deputi III merupakan komoditi yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat baik yang sehat maupun sakit, dengan berbagai golongan dan strata masyarakat dalam berbagai kesempatan. Oleh karena itu maka pengawasan terhadap pangan menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Deputi III dengan sistem yang menyeluruh dan komprehensif untuk mengurangi kemungkinan dampak negatif atau merugikan bagi masyarakat sebagai konsumen. Dalam konteks ini, pengawasan tidak dapat dilakukan secara parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat. Pada seluruh mata rantai pengawasan tersebut, harus ada sistem yang dapat mendeteksi secara dini jika terjadi degradasi mutu, produk sub standar dan hal-hal lain untuk dilakukan pengamanan sebelum merugikan konsumen/masyarakat. Sistem pengawasan pangan yang diselenggarakan oleh Deputi III merupakan suatu proses yang komprehensif, mencakup pengawasan pre-market dan post-market. Ruang lingkup pengawasan pangan meliputi : 1. Standardisasi Fungsi standardisasi meliputi penyusunan standar, regulasi, dan kebijakan terkait dengan pengawasan pangan. Standardisasi pangan dilakukan secara terpusat dengan maksud untuk menghindari perbedaan standar dan kualitas produk yang dihasilkan oleh masing-masing daerah apabila setiap provinsi membuat standar tersendiri.
57 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2. Penilaian (pre-market evaluation) Penilaian pangan merupakan proses evaluasi terhadap pangan olahan yang dilakukan dalam rangka penerbitan izin edar / persetujuan pendaftaran. Izin edar/persetujuan pendaftaran pangan olahan diterbitkan apabila berdasarkan hasil penilaian terhadap aspek keamanan, mutu, gizi serta informasi pada label telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan. Penilaian dilakukan terpusat dan terstandar dengan sistem elektonik berbasis web sehingga memudahkan pelaku usaha untuk menyampaikan permohonan pendaftaran dan memudahkan petugas untuk melakukan proses penilaian. Izin edar / persetujuan pendaftaran pangan olahan berlaku secara nasional. 3. Pengawasan setelah beredar (post-market control) Pengawasan produk di peredaran dilakukan untuk melihat konsistensi mutu produk, keamanan dan informasi produk yang dilakukan dengan melakukan sampling produk pangan yang beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, pengawasan label dan monitoring iklan. Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan terpadu, konsisten, dan terstandar. Pelaksanaan pengawasan ini melibatkan petugas Balai Besar/Balai POM di 33 provinsi termasuk wilayah yang sulit terjangkau dan daerah perbatasan yang dilakukan oleh Pos Pengawasan Obat dan Makanan (Pos POM). Sampling produk pangan beredar dilakukan secara terencana berbasis risiko. Disamping pengawasan yang terencana dan rutin, pengambilan sampel juga dapat dilakukan sewaktu waktu jika diperlukan misalnya dalam rangka intensifikasi atau terjadinya kasus akibat pangan di peredaran. 4. Pengujian laboratorium Produk pangan yang disampling kemudian diuji di laboratorium untuk melihat konsistensi kesesuaian dan pemenuhan terhadap persyaratan keamanan, manfaat dan mutu produk di peredaran. Hasil uji laboratorium ini merupakan dasar ilmiah yang digunakan sebagai alat bukti untuk menetapkan sanksi, jika
58 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
terjadi pelanggaran atau ketidak sesuaian terhadap persyaratan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 5. Penegakan hukum Penegakan hukum di bidang pangan didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, maupun investigasi awal. Sanksi hukum yang dapat diberikan terhadap pelanggaran di bidang pangan meliputi sanksi administratif (seperti larangan untuk diedarkan, penarikan dari peredaran, pencabutan izin edar, pengamanan dan pemusnahan) serta sanksi pidana.
Prinsip ini sudah sejalan dengan kaidah-kaidah dan fungsi-fungsi pengawasan full spectrum di bidang pangan yang berlaku secara internasional. Diharapkan melalui pelaksanaan pengawasan pre-market dan post-market yang profesional dan independen akan dihasilkan produk pangan yang aman, dan bermanfaat dan bermutu. Untuk mengukur capaian sasaran strategis ini, ditetapkan indikator dan target sebagai berikut: “Persentase makanan yang memenuhi syarat, dengan target 90,1% pada akhir 2019.”
2. Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat Kebijakan pengawasan pangan merupakan kebijakan multisektoral dengan keterlibatan berbagai sektor baik pemerintah maupun non pemerintah. Hal tersebut dikenal dengan 3 (tiga) pilar pengawasan pangan yang meliputi Pemerintah, Pelaku usaha dan Masyarakat. Agar fungsi dan tujuan pengawasan pangan dapat terwujud, diperlukan koordinasi dan komunikasi yang baik dan intensif antar pihak tersebut, termasuk dalam pilar Pemerintah yang melibatkan berbagai kementerian dan
59 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
lembaga. Peranan masing-masing pilar pengawasan sangat penting dalam pelaksanaan fungsi pengawasan pangan. Pengawasan oleh pelaku usaha seyogyanya dilakukan sejak dari hulu sampai hilir, dimulai dari pemeriksaan bahan baku, proses produksi, distribusi hingga produk tersebut dikonsumsi oleh masyarakat. Pelaku usaha mempunyai peran dalam memberikan jaminan produk pangan yang memenuhi syarat (aman, bermanfaat dan bermutu) melalui proses produksi yang sesuai dengan ketentuan. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengawasan pangan, pelaku usaha perlu memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk mengembangkan dan memelihara sistem manajemen risiko secara mandiri. Pemerintah dalam hal ini Deputi III Badan POM bertugas dalam menyusun kebijakan dan regulasi terkait persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dan industri pangan didorong untuk menerapkan Risk Management Program. Dengan demikian, diharapkan kemandirian pelaku usaha tersebut dapat berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan daya saing produk pangan di pasar lokal, regional maupun global. Tanpa meninggalkan tugas utama di bidang pengawasan, Deputi III berupaya memberikan dukungan kepada pelaku usaha dalam upaya pemenuhan persyaratan yang ditetapkan melalui pemberian insentif, clearing house, dan pendampingan regulatory. Terkait dengan subsistem pengawasan pangan oleh masyarakat sebagai konsumen, perlu diciptakan kondisi masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya pangan yang aman, bermutu dan bergizi. Masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih dan mengkonsumsi pangan yang aman, bermanfaat dan bermutu. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tersebut dilakukan oleh Deputi III melalui kegiatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, layanan Informasi, dan Edukasi (KIE). Apabila masyarakat sudah cerdas dalam memilih dan menentukan pangan yang sesuai untuk dikonsumsinya, akan berdampak secara nyata terhadap pelaku usaha untuk memproduksi dan mengedarkan produk pangan
60 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
yang memenuhi ketentuan serta bersaing dengan jujur dan bertanggung jawab dalam mempromosikan produknya. Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategis ini, maka ditetapkan indikator dan target sebagai berikut: “Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan, dengan target kumulatif 11% industri pangan olahan pada tahun 2019” Ringkasan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi III periode 2015-2019 sesuai dengan penjelasan di atas, adalah sebagai berikut : INDIKATOR KINERJA
MISI
Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Daya Saing Bangsa
Meningkat kan sistem pengawasan pangan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat
Meningkatnya jaminan produk pangan aman, bermanfaat, dan bermutu dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat
Menguatnya Sistem Pengawasan Makanan
Persentase makanan yang memenuhi syarat
Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan pangan serta memper kuat kemitraan dengan pemangku kepentingan
Meningkatnya daya saing pangan di pasar lokal dan global dengan menjamin mutu dan mendu kung inovasi
Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat
Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan;
Tabel 7.
TUJUAN
SASARAN STRATEGIS
VISI
Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi III periode 2015-2019
61 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Dari indikator kinerja tersebut di atas, ditetapkan Indikator Kinerja Utama Deputi III adalah : 1. Persentase makanan yang memenuhi syarat; 2. Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan;
62 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN
Untuk mencapai visi, misi,tujuan dan sasaran strategis sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II, ditetapkan arah kebijakan dan strategi Deputi III, yang mengacu kepada arah kebijakan dan strategi Badan POM. 3.1
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BPOM Dalam rangka mencapai sasaran strategis Badan POM untuk periode 2015-2019,
maka ditetapkan arah kebijakan dan strategi sebagai acuan langkah-langkah penyusunan target outcome program. Arah kebijakan dan strategi BPOM disusun untuk mendukung tujuan pembangunan subbidang kesehatan dan gizi masyarakat. Upaya secara terintegratif dalam fokus dan lokus pengawasan Obat dan Makanan dilakukan demi tercapainya tujuan dan sasaran strategis. Arah Kebijakan BPOM : 1) Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko dimulai dari perencanaan yang diarahkan berdasar pada aspek teknis, ekonomi, sosial dan spasial. Aspek-aspek tersebut dilakukan dengan pendekatan analisis risiko yaitu dengan memprioritaskan pengawasan kepada hal-hal yang berdampak risiko lebih besar agar pengawasan yang dilakukan lebih optimal. Keberadaan BB/Balai POM hampir di seluruh wilayah Indonesia memungkinkan BPOM meningkatkan pemerataan pembangunan terutama di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Perencanaan berbasis spasial sudah menjadi hal yang perlu diperhatikan karena secara logis risiko terhadap Obat dan Makanan yang beredar di masyarakat berbeda pada setiap lokus atau wilayah di daerah. Kebijakan ini harus
61 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
dijabarkan juga oleh BB/Balai POM di daerah dalam perencanaan pengawasan Obat dan Makanan di catchment area-nya. Selain itu, penguatan sistem pengawasan Obat dan Makanan juga didorong untuk meningkatkan perlindungan kepada kelompok rentan meliputi balita, anak usia sekolah, dan penduduk miskin. Pada pengawasan Obat, hal ini dilakukan antara lain melalui pengawasan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin serta Obat Program JKN. Pada pengawasan pangan, kelompok rentan ini bahkan telah diidentifikasi mencakup bayi, orang sakit, ibu hamil, orang dengan immunocompromised, dan manula. Pengawasan ini dilakukan antara lain melalui pengawasan pangan berisiko tinggi (seperti susu formula dan produk kaleng), pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah, dan pengawasan pangan fortifikasi. 2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk Obat dan Makanan Sejalan dengan Revolusi Mental, diharapkan BPOM dapat meningkatkan kemandirian ekonomi utamanya daya saing Obat dan Makanan. Pendekatan dalam kebijakan ini meliputi antara lain penerapan Risk Management Program secara mandiri dan terus menerus oleh produsen Obat dan Makanan. Ketersediaan tenaga pengawas merupakan tanggung jawab produsen. Namun BPOM perlu memfasilitasi pemenuhan kualitas sumber daya pengawas tersebut melalui pembinaan dan bimbingan, pelatihan, maupun media informasi, serta verifikasi kemandirian tersebut. 3) Peningkatan Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik melalui kemitraan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Obat dan Makanan Menyadari keterbatasan BPOM, baik dari sisi kelembagaan maupun sumber daya yang tersedia (SDM maupun pembiayaan), maka kerjasama kemitraan dan partisipasi masyarakat adalah elemen kunci yang harus dipastikan oleh BPOM dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan Obat dan Makanan. Di sisi lain,
62 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
tanggung jawab pengawasan Obat dan Makanan (walau mandat konstitusionalnya ada di BPOM) ini mestinya tidak hanya melekat dan menjadi monopoli BPOM, tapi pemerintah daerah dan masyarakat juga dituntut untuk ikut andil dan terlibat aktif dalam pelaksanaan pengawasan tersebut. Dalam hal ini BPOM mestinya jeli dan proaktif dalam mendorong kerjasama dan kemitraan dengan melibatkan berbagai kelompok kepentingan dalam dan luar negeri, baik dari unsur pemerintah, pelaku usaha (khususnya Obat dan Makanan), asosiasi pihak universitas/akademisi, media dan organisasi masyarakat sipil terkait lainnya, dalam upaya memastikan bahwa Obat dan Makanan yang beredar di masyarakat itu aman untuk dikonsumsi. Bentuk draft dan model kerjasama/kemitraan itu juga harus dirancang dengan fleksibel, tapi tetap mengikat dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam kerjasama, serta berkelanjutan dengan terpantau. Kebijakan ini juga dapat difokuskan pada memaksimalkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik sebagai upaya strategis dalam pengawasan Obat dan Makanan. Dalam hal ini, yang harus dipastikan bahwa materi KIE itu harus distandarkan, memiliki muatan informatif dan jelas menguraikan pesan yang dikampanyekan, serta mampu menjangkau khalayak yang ingin disapa oleh BPOM tersebut (misalnya memanfaatkan berbagai media sosial). 4) Penguatan kapasitas kelembagaan pengawasan OM melalui penataan struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien. Kebijakan ini mengarahkan pada pengelolaan sumber daya internal secara efektif dan efisien, dengan fokus pada 8 (delapan) area reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Pengelolaan
persediaan,
penataan
aset,
penguatan
kapasitas
laboratorium, penguatan sistem informasi teknologi untuk mendukung pelayanan publik, pengembangan SIPT sebagai aplikasi knowledge base dalam mendukung risk based
control,
penguatan
sistem
perencanaan
dan
penganggaran,
serta
implementasi keuangan berbasis akrual perlu menjadi penekanan/agenda prioritas.
63 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Dalam upaya meraih WTP, selain memelihara komitmen dan integritas pimpinan, para pengelola keuangan, dan pelaksana kegiatan, perlu juga dilakukan strategi dan upaya penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), penguatan perencanaan dan penganggaran, peningkatan kualitas laporan keuangan (LK), peningkatan
kualitas
proses
pengadaan
Barang
dan
Jasa,
pembenahan
penatausahaan BMN (aset tetap dan persediaan), penguatan monitoring dan evaluasi, peningkatan kualitas pengawasan dan reviu LK, serta percepatan penyelesaian tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Terkait perencanaan dan penganggaran, sesuai tuntutan suprasistem, BPOM perlu mengubah data elektronisasi menjadi data bentuk peta (spasial) dapat diakses secara online dan real time
yaitu berupa data-data kondisi (misalnya peta
penyebaran sarana produksi & sarana distribusi Obat dan Makanan), peta capaian hasil kinerja pengawasan (misalnya peta hasil pengujian laboratorium, penyelesaian kasus, dan sebagainya). Selain itu data-data perlu diolah dan dilakukan analisis kesenjangan
kinerja pengawasan antar wilayah sehingga dapat menjadi input
dalam pelaksanaan program pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko. Selain memberi arah penguatan ke dalam institusi BPOM, kebijakan ini perlu disertai dengan strategi dan upaya peningkatan kerjasama dan komunikasi ke pihak eksternal yang strategis. Sedangkan strategi yang akan dilaksanakan mencakup eksternal dan internal: Eksternal: 1) Penguatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan Obat dan Makanan; 2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui komunikasi, informasi dan Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang Obat dan Makanan;
64 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Internal: 1) Penguatan Regulatory System pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko; 2) Membangun Manajemen Kinerja dari Kinerja Lembaga hingga kinerja individu/pegawai; 3) Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta diarahkan untuk mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai; 4) Meningkatkan kapasitas SDM pengawas di BPOM di tingkat pusat dan daerah secara lebih proporsional dan akuntabel; 5) Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama dalam mendukung tugas Pengawasan Obat dan Makanan. Strategi eksternal lebih ditekankan pada aspek kerjasama dan kemitraan dengan lintas sektor dan lembaga (pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarak sipil). Mengingat begitu kompleksnya tantangan dari lingkungan strategis baik internal maupun eskternal seperti yang diuraikan pada Bab I tersebut di atas, maka dengan sendirinya menuntut penyesuaian-penyesuaian dalam mekanisme internal organisasi dan kelembagaan BPOM sendiri. Sedangkan strategi internal lebih difokuskan pada pembenahan internal organisasi dan kelembagaan serta sumber daya pegawai BPOM sendiri. Poin penting yang harus diperhatikan di sini adalah soal SDM pegawai, karena kunci keberhasilan sebuah lembaga sangat ditentukan dari kualitas SDM-nya. Agar pembangunan pengawasan Obat dan Makanan menjadi tajam dan terarah, arah kebijakan dan strategi tersebut harus dijabarkan pada perencanaan tahunan dengan penekanan sesuai isu nasional terkini (penjabaran tahunan Nawacita) dan atau mengacu alternatif penekanan sebagai berikut : – Tahun 2016
:
Mendorong penguatan kelembagaan dan Pengembangan program strategis dalam pengawasan Obat dan Makanan serta memaksimalkan fungsi pelayanan publik. (Dalam hal ini Penguatan Laboratorium, Sistem IT dan Dukungan Sarana Prasarana menjadi pra syarat yang harus dipenuhi)
65 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
– Tahun 2017
:
Penguatan regulasi di bidang pengawasan Obat dan Makanan termasuk Pelaksanaan Regulatory Impact Analysis, Penguatan sistem data pre dan post terintegrasi antara pusat dan daerah (sistem pemeriksaan penyidikan dan pengujian), dan Penguatan Kapasitas dan Kapabilitas Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan untuk memaksimalkan Fungsi Penegakan Hukum. – Tahun 2018
:
Penguatan dalam penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan didukung dengan analisis dampak efektifitas pengawasan secara ekonomi dan sosial untuk mendukung pencapaian pembangunan nasional. (Dalam hal ini economic burden akibat pengawasan Obat dan Makanan yang tidak efektif akan menjadi beban pemerintah secara nasional). – Tahun 2019
:
Percepatan pengawasan Obat dan Makanan serta evaluasi program (Renstra 20152019) dalam rangka peningkatan kinerja pengawasan Obat dan Makanan periode berikutnya. Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pengawasan Obat dan Makanan tersebut, BPOM menetapkan program-programnya sesuai RPJMN periode 2015-2019, yaitu program utama (teknis) dan program pendukung (generik), sebagai berikut: a. Program Teknis Program Pengawasan Obat dan Makanan Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas utama Badan Pengawasan Obat dan Makanan dalam menghasilkan standardisasi dalam pemenuhan mutu, keamanan dan manfaat Obat dan Makanan melalui serangkaian kegiatan penetapan standar pengawasan, penilaian Obat dan Makanan sesuai standar, pengawasan terhadap sarana produksi, pengawasan terhadap sarana
66 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
distribusi, sampling dan pengujian Obat dan Makanan beredar, penegakan hukum, serta pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan. b. Program Generik 1) Program generik 1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis lainnya. 2) Program generik 2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana BPOM. Selanjutnya, program-program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan prioritas BPOM, sebagai berikut: a.
Kegiatan-kegiatan utama untuk melaksanakan Pengawasan Obat dan Makanan : 1) Penyusunan standar Obat dan Makanan berupa Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pengawasan Obat dan Makanan (pre dan post-market); 2) Peningkatan efektivitas evaluasi pre-market melalui penilaian Obat; 3) Peningkatan cakupan pengawasan mutu Obat dan Makanan beredar melalui penetapan prioritas sampling berdasarkan risiko termasuk iklan dan penandaan. 4) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi Obat dan Makanan, sarana pelayanan kesehatan, serta sarana produksi dan sarana distribusi pangan dan bahan berbahaya; 5) Peningkatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif; 6) Penguatan
kemampuan
pengujian
meliputi
sistem
dan
sumber
daya
laboratorium Obat dan Makanan; 7) Penyidikan terhadap pelanggaran Obat dan Makanan; 8) Peningkatan penelitian terkait pengawasan Obat dan Makanan antara lain regulatory science, life science; 9) Peningkatan Pembinaan dan bimbingan melalui kemitraan dengan pemangku kepentingan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. b. Kegiatan untuk melaksanakan ketiga program generik (pendukung):
1) Koordinasi dan Pengembangan Organisasi, Penyusunan Program dan Anggaran, Keuangan;
67 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2) Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Badan Pengawas Obat dan Makanan;
3) Pengadaan, Pemeliharaan dan Pembinaan Pengelolaan, serta Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Aparatur BPOM;
4) Peningkatan Kompetensi Aparatur BPOM; 5) Peningkatan kualitas produk hukum, serta Layanan Pengaduan Konsumen dan Hubungan Masyarakat.
3.2
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI DEPUTI III Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I, Renstra Deputi Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya (Deputi III) disusun berdasarkan Renstra Kepala BPOM tahun 2015-2019. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan Renstra periode sebelumnya, Renstra Deputi III ditujukan untuk meningkatkan jaminan produk pangan aman, bermanfaat, dan bermutu dalam rangka mendukung terwujudnya visi organisasi BPOM yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dan daya saing bangsa. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya, pada periode tahun 2015-2019, Deputi III mendukung agenda Nawacita ke 5, 6 dan 7 sebagaimana dicantumkan pada Tabel 6 dibawah ini. AGENDA PRIORITAS PEMBANGUNAN (NAWA CITA) TERKAIT DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA 5.
Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia (Pembangunan kesehatan khususnya pelaksanaan program Indonesia sehat)
6.
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional (Peningkatan kapasitas inovasi dan teknologi)
7.
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik (peningkatan kedaulatan pangan)
Tabel 8. Agenda Prioritas Pembangunan (NAWACITA) yang terkait dengan Deputi III
68 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Nawa Cita 5 : Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia Program prioritas: 1.
Revitalisasi Pengawasan Pangan Fortifikasi
2.
Kontribusi Badan POM dalam Perlindungan Kesehatan Anak Sekolah (PJAS)
Nawa Cita 6 : Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional Program prioritas: 1.
Perkuatan Program pasar aman bahan berbahaya (mendukung 5000 pasar tradisional)
2.
Intensifikasi Pengawasan Produk Impor Ilegal
Nawa Cita 7 : Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektorsektor strategis ekonomi domestik Program prioritas: 1.
Perkuatan UMKM Pangan
2.
Perkuatan Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD)
Uraian Program Prioritas dan Kegiatan di Deputi III yang terkait dengan masing-masing Nawacita diuraikan pada Tabel 9.
5
6
Nawa Cita Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia Meningkatkan
Program Prioritas Revitalisasi Pengawasan Pangan Fortifikasi
Kegiatan Prioritas Pengawasan Pangan Fortifikasi
Kontribusi Badan POM dalam Perlindungan Kesehatan Anak Sekolah Perkuatan Program
Pengawalan 18.000 SD Intervensi Keamanan PJAS di SMP/SMU Monitoring dan Evaluasi
69 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
7
Nawa Cita produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
Program Prioritas pasar aman bahan berbahaya (mendukung 5000 pasar tradisional) Intensifikasi Pengawasan Produk Impor Ilegal
Kegiatan Prioritas Implementasi Pasar Aman dari Bahan Berbahaya
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
Penguatan UMKM Pangan
Forum koordinasi dalam pembinaan dan pemberdayaan UMKM diantara K/L Pendampingan UMKM untuk pemenuhan persyaratan mutu dan keamanan pangan (CPPOB pelabelan pangan dan penggunaan BTP) Bulan Keamanan Pangan Perkuatan kapasitas desa Pemberdayaan komunitas desa
Perkuatan Gerakan Keamanan Pangan Desa
Perkuatan pengawasan pangan ilegal
Tabel 9. Program Prioritas dan Kegiatan di Deputi III yang mendukung Nawacita Dalam Sasaran Pokok RPJMN 2015-2019, Badan POM dalam hal ini Deputi III termasuk dalam 2 (dua) bidang yaitu : 1) Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama – Sub bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Fokus pada pembangunan sub bidang kesehatan dan Sumber Daya Manusia, tantangan ke depan adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif, yang mencakup: – peningkatan kesehatan keluarga melalui pangan yang aman, – perbaikan gizi (spesifik dan sensitif), – peningkatan pengawasan pangan – peningkatan akses pangan yang aman, serta – peningkatan dan pemeliharaan kompetensi SDM di bidang keamanan pangan.
70 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pada matriks Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, terdapat 3 (tiga) program lintas di bawah koordinasi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang melibatkan Deputi III, yaitu: a.
Program Lintas Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat, Program ini terdiri atas 12 Program di 11 K/L termasuk Program Pengawasan Obat dan Makanan yang dilaksanakan melalui 3 (tiga) kegiatan dan diukur dengan ukuran 1 (satu) indikator kinerja program (IKP) dan 5 (lima) indikator kinerja kegiatan (IKK), sebagaimana diuraikan dalam Tabel 10. Kode 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3
Program/Kegiatan
Indikator
Program Pengawasan Pangan Persentase pangan yang memenuhi syarat Persentase sarana distribusi yang Pengawasan Produk dan menyalurkan bahan berbahaya sesuai Bahan Berbahaya ketentuan Persentase keputusan penilaian pangan Penilaian Pangan Olahan olahan yang diselesaikan Surveilan dan Penyuluhan Jumlah hasil kajian profil risiko keamanan Keamanan Pangan pangan Jumlah Kabupaten/Kota yang sudah menerapkan Peraturan Kepala BPOM tentang IRTP Jumlah desa pangan aman yang menerima Intervensi Pengawasan Keamanan pangan
Tabel 10. Program / Kegiatan Keamanan Pangan terkait Lintas Perbaikan Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat dan Indikatornya b. Program Lintas Peningkatan Promosi Kesehatan dan Pengendalian Penyakit Program ini terdiri atas program Dukungan Manajemen Kemenkes, P2PL, Kepemudaan dan Olahraga, serta Program Pengawasan Obat dan Makanan yang dilaksanakan melalui 3 (tiga) kegiatan dengan ukuran 1 (satu) IKP dan 7 (tujuh) IKK, sebagaimana diuraikan dalam Tabel 11.
71 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kode 1.2 3.4.2
3.4.7 1.2.1
Program/Kegiatan
Indikator
Program Pengawasan Pangan Persentase pangan yang memenuhi syarat Inspeksi dan Sertifikasi Jumlah inspeksi sarana produksi dan Pangan distribusi pangan yang dilakukan dalam rangka pendalaman mutu dan sertifikasi Persentase penyelesaian tindak lanjut pengawasan mutu dan keamanan produk pangan Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan Penyusunan Standar Pangan Jumlah Standar Pangan yang disusun Pengawasan Produk dan Persentase sarana distribusi yang Bahan Berbahaya menyalurkan bahan berbahaya sesuai ketentuan Persentase kemasan pangan yang memenuhi syarat keamanan Jumlah pasar yang diintervensi menjadi pasar aman dari bahan berbahaya
Tabel 11. Program / Kegiatan Keamanan Pangan terkait Lintas Peningkatan Promosi Kesehatan dan Pengendalian Penyakit dan Indikatornya 2) Bidang Ekonomi – Sub bidang UMKM dan Koperasi Fokus pada pembangunan sub bidang UMKM dan Koperasi, tantangan ke depan adalah membantu industri pangan dalam negeri, khususnya UMKM pangan yang tidak hanya menghadapi permasalahan dari dalam, tetapi juga harus bersiap menghadapai masyarakat ekonomi ASEAN 2015. Produk dalam negeri harus bisa bersaing dengan produk luar dengan mutu dan harga yang lebih baik. UMKM pangan menjadi tulang punggung pada sektor pangan di Indonesia dan memainkan peran penting dalam mendorong pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan demikian sasaran pokok Deputi III di sub bidang ini menacakup bagaimana meningkatkan kemampuan UMKM pangan memenuhi persyaratan keamanan pangan, karena keamanan pangan tidak hanya meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga meningkatkan fasilitasi perdagangan, yang pada akhirnya akan meningkatkan ekonomi Indonesia secara lebih luas.
72 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sasaran pokok ini dilaksanakan melalui 4 kegiatan dengan ukuran 1 (satu) IKP dan 5 IKK, sebagaimana diuraikan dalam Tabel 12. Kode 1.2
Program/Kegiatan Program Pengawasan Obat dan Makanan
3.4.2
Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
1.2.1
Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya
1.2.2 1.2.3
Penilaian Pangan Olahan Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
Indikator Persentase pangan yang memenuhi syarat Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan Jumlah pasar yang diintervensi menjadi pasar aman dari bahan berbahaya Persentase keputusan penilaian pangan olahan yang diselesaikan Jumlah Kabupaten/kota yang sudah menerapkan Peraturan Kepala BPOM tentang IRTP Jumlah desa pangan aman yang menerima Intervensi Pengawasan Keamanan pangan
Tabel 12. Program / Kegiatan Keamanan Pangan terkait Peningkatan Kemampuan UMKM Pangan dan Indikatornya Untuk mewujudkan pencapaian sasaran pembangunan bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat tahun 2015-2019, dimana terdapat satu arah kebijakan pembangunan di bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang terkait dengan Badan POM, yaitu “Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan”. Untuk itu, Deputi III menetapkan 6 (enam) strategi sebagai berikut : 1.
Perkuatan sistem pengawasan pangan berbasis risiko;
2.
Peningkatan sumber daya manusia pengawas pangan;
3.
Perkuatan kemitraan pengawasan pangan dengan pemangku kepentingan;
4.
Peningkatan kemandirian pengawasan pangan berbasis risiko oleh masyarakat dan pelaku usaha;
5.
Peningkatan kapasitas dan inovasi pelaku usaha dalam rangka mendorong peningkatan daya saing produk pangan; dan
73 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
6.
Perkuatan kapasitas dan kapabilitas pengujian pangan. Berdasarkan arah kebijakan Renstra BPOM tahun 2015-2019, maka arah
kebijakan untuk mencapai tujuan dan sasaran strategis Deputi III tahun 2015-2019 adalah: 1)
Perkuatan sistem pengawasan pangan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat Pendekatan analisis risiko dilakukan dengan memprioritaskan pengawasan pangan baik pre market maupun post market terhadap hal-hal yang memiliki dampak risiko lebih besar dengan tujuan pengawasan yang dilakukan lebih optimal seperti meningkatkan perlindungan kepada kelompok rentan meliputi bayi, balita, anak usia sekolah, orang sakit, ibu hamil, orang dengan immunocompromised, dan manula. Pengawasan ini dilakukan antara lain melalui pengawasan pangan berisiko tinggi (seperti susu formula dan produk kaleng), pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), pengawasan pangan fortifikasi dan Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD).
2)
Peningkatan
pembinaan
dan
bimbingan
dalam
rangka
mendorong
kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk pangan Sejalan dengan Revolusi Mental, diharapkan Deputi III dapat meningkatkan kemandirian ekonomi utamanya daya saing pangan. Pendekatan dalam kebijakan ini meliputi antara lain penerapan Risk Management Program secara mandiri dan terus menerus oleh produsen pangan. Ketersediaan tenaga pengawas internal atau auditor internal merupakan tanggung jawab produsen. Namun Deputi III perlu memfasilitasi pemenuhan kualitas sumber daya pengawas tersebut melalui pembinaan dan bimbingan, pelatihan, maupun media informasi, serta verifikasi kemandirian tersebut.
74 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
3)
Peningkatan koordinasi, kerjasama, komunikasi, informasi dan edukasi publik
melalui
kemitraan
pemangku
kepentingan
dan
partisipasi
masyarakat dalam pengawasan pangan Dengan keterbatasannya dari sisi kelembagaan dan sumber daya (SDM dan biaya), Deputi III memerlukan kerjasama kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pengawasan pangan. Dalam hal ini Deputi III harus proaktif dalam meningkatkan kerjasama dan kemitraan dengan melibatkan berbagai kelompok kepentingan dalam dan luar negeri, baik dari unsur pemerintah, pelaku usaha, asosiasi pihak universitas/akademisi, media dan organisasi masyarakat sipil terkait lainnya, dalam upaya memastikan bahwa pangan yang beredar di masyarakat itu aman untuk dikonsumsi. Bentuk kerjasama/kemitraan harus dirancang dengan fleksibel, namun tetap mengikat dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam kerjasama, serta terpantau dan berkelanjutan. Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik merupakan salah satu upaya yang strategis dalam pengawasan pangan. Dalam hal ini, yang harus dipastikan bahwa materi KIE itu harus distandarkan, memiliki muatan informatif dan jelas menguraikan pesan yang dikampanyekan, serta mampu menjangkau khalayak yang ingin dituju. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan berbagai media sosial yang ada. 4)
Perkuatan kapasitas kelembagaan pengawas pangan melalui penataan struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien Kebijakan ini mengarahkan pada pengelolaan sumber daya internal secara efektif dan efisien, dengan fokus pada 8 (delapan) area reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Pengelolaan
persediaan,
penataan
aset,
perkuatan
kapasitas
75 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
laboratorium, penguatan sistem informasi teknologi untuk mendukung pelayanan publik, pengembangan SIPT sebagai aplikasi knowledge base dalam mendukung risk based control, penguatan sistem perencanaan dan penganggaran, serta implementasi keuangan berbasis akrual perlu menjadi penekanan/agenda prioritas. Dalam upaya meraih WTP, selain memelihara komitmen dan integritas pimpinan, para pengelola keuangan, dan pelaksana kegiatan, perlu juga dilakukan strategi dan upaya penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), penguatan perencanaan dan penganggaran, peningkatan kualitas laporan keuangan (LK), peningkatan
kualitas proses
pengadaan
Barang
dan
Jasa,
pembenahan
penatausahaan BMN (aset tetap dan persediaan), penguatan monitoring dan evaluasi, peningkatan kualitas pengawasan dan reviu LK, serta percepatan penyelesaian tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Terkait perencanaan dan penganggaran, sesuai tuntutan suprasistem, Deputi III perlu mengubah data elektronisasi menjadi data bentuk peta (spasial) dapat diakses secara online dan real time yaitu berupa data-data kondisi (misalnya peta penyebaran sarana produksi & sarana distribusi pangan), peta capaian hasil kinerja pengawasan (misalnya peta hasil pengujian laboratorium, penyelesaian kasus, dan sebagainya). Selain itu data-data perlu diolah dan dilakukan analisis kesenjangan kinerja pengawasan antar wilayah sehingga dapat menjadi input dalam pelaksanaan program pengawasan pangan berbasis risiko. Selain memberi arah penguatan ke dalam institusi Deputi III, kebijakan ini perlu disertai dengan strategi dan upaya peningkatan kerjasama dan komunikasi ke pihak eksternal yang strategis.
76 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sedangkan strategi yang akan dilaksanakan mencakup eksternal dan internal: Eksternal: 1.
Perkuatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan pangan;
2.
Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang pangan;
Internal: 1.
Perkuatan regulatory system pengawasan pangan berbasis risiko;
2.
Membangun
manajemen
kinerja
dari
kinerja
lembaga
hingga
kinerja
individu/pegawai; 3.
Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta diarahkan untuk mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai;
4.
Meningkatkan kapasitas SDM di Deputi III secara lebih proporsional dan akuntabel;
5.
Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama dalam mendukung tugas pengawasan pangan, termasuk pemanfaatan teknologi informasi. Strategi eksternal lebih ditekankan pada aspek kerjasama dan kemitraan dengan
lintas sektor dan lembaga (pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarak sipil). Adapun kerjasama dan kemitraan yang telah dibangun Kedeputian Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dalam rangka penguatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan pangan, yaitu : 1) Jejaring Keamanan Pangan Nasional (JKPN) Indonesia telah memiliki Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang diwujudkan melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 23 tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Jejaring Keamanan Pangan Nasional (JKPN). Subsite JKPN dapat diakses pada http://skpt.pom.go.id. JKPN membangun kemitraan dan koordinasi di bidang keamanan pangan baik di pusat maupun di daerah serta mengidentifikasi cara-cara koordinasi yang dapat membuat instansi di sepanjang rantai suplai pangan dapat
melaksanakannya
secara individual, serta bersama-sama, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
77 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
JKPN akan memastikan keterlibatan berkelanjutan mitra kerja dari
semua
stakeholder di sepanjang rantai suplai pangan termasuk asosiasi industri pangan, akademi, dan masyarakat untuk memahami dan bertindak atas kemajuan dan perkembangan sistem pengawasan keamanan pangan nasional dengan pendekatan pencegahan.
Tiga jejaring akan diperkuat pada tingkat pusat yaitu Jaringan
Intelejen Pangan (JIP), Jaringan Pengawasan Pangan (JPP) dan Jaringan Promosi Keamanan Pangan (JPKN). Pada tingkat daerah, jejaring yang akan diperkuat ialah JPP dan JPKN, karena JIP akan difokuskan pada tingkat Pusat. 2) Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF) Saat ini sudah dibentuk Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF) dan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) bertindak selaku National Contact Point (NCP). Untuk mendukung kebijakan joint FAO/WHO, Direktorat SPKP juga bertindak selaku Emergency Contat Point (ECP) untuk International Food Safety Authotities Network (INFOSAN). INRASFF working group terdiri dari otoritas kompeten keamanan pangan di tingkat pusat (CCP) dan juga di tingkat daerah (LCCP). CCP INRASFF terdiri dari perwakilan di Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan BPOM. INRASFF dirancangan sebagai subsiteearly warning keamanan pangan untuk Indonesia. Subsite INRASFF merupakan sumber utama informasi untuk mempersiapkan dan menanggapi notifikasi pangan baik yang bersifat upstream (sumber informasi dari dalam negeri) maupun downstream (sumber informasi dari luar negeri). Situs ini terus menindaklanjuti notifikasi dan
memberikan informasi publik yang
dibutuhkan untuk melindungi kesehatan masyarakat. 3) Indonesia Risk Assessment Center (INARAC) INARAC merupakan forum utuk memfasilitasi pengumpulan data, pool of expert di bidang kajian risiko di tingkat nasional, peningkatan kapasitas serta berkomunikasi dengan kementerian atau lembaga. INARAC merupakan bentuk kemitraan dengan
78 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
berbagai pihak dalam rangka melakukan kajian risiko keamanan pangan secara terintegrasi, dimana hasil kajiannya dikomunikasikan dengan baik kepada para pengambil kebijakan dan pihak yang berkepentingan. INARAC untuk menjawab salah satu persyaratan World Trade Organization (WTO) dalam Sanitary Phyto Sanitary (SPS) Agreement, yaitu sebagai anggota WTO jika komplain atau protes harus berbasis ilmiah. Strategi eksternal lainnya yaitu peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang pangan. Terkait hal ini, Deputi III mempromosikan respon awareness publik melalui komunikasi risiko dan menyebarluaskan hasil kajian risiko keamanan pangan dengan disain promosi keamanan pangan yang komprehensif.
Kebutuhan untuk
komunikasi risiko yang efektif semakin diakui oleh pemerintah, industri pangan dan konsumen. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP) untuk pertukaran informasi dan opini mengenai risiko dan faktor risiko terkait diantara asesor risiko, manajer risiko, komunikator risiko dan konsumen, termasuk pihak lain yang berkepentingan dalam rangka komunikasi risiko yang efektif, sekaligus sebagai sarana KIE. Sedangkan strategi internal lebih difokuskan pada pembenahan internal organisasi dan kelembagaan serta sumber daya pegawai di Deputi III sendiri. Poin penting yang harus diperhatikan di sini adalah peningkatan kapasitas SDM pengawas di Deputi III, secara lebih proporsional dan akuntabel, karena kunci keberhasilan sebuah lembaga sangat ditentukan dari kualitas SDM-nya. SDM yang kompeten dalam bidang keamanan pangan akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Untuk meningkatkan, memastikan dan memelihara kompetensi SDM, telah dikembangkan sistem kompetensi bidang keamanan pangan, yaitu penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keamanan Pangan yang perlu direview setiap 5 tahun seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Badan POM RI telah memiliki lisensi sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Keamanan Pangan.
79 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
LSP Keamanan Pangan Badan POM RI saat ini telah siap melakukan asesmen kompetensi untuk tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan District Food Inspector (DFI), sedangkan untuk National Food Inspector (NFI) sedang dalam proses persiapan. LSP Keamanan Pangan ini didukung dengan sistem pembelajaran keamanan pangan jarak jauh berbasis kompetensi (E-Learning). Ke depan akan dikembangkan kompetensi bidang keamanan pangan lainnya, baik yang ada di lingkungan Badan POM RI maupun di industri pangan. Agar pembangunan pengawasan pangan menjadi tajam dan terarah, arah kebijakan dan strategi BPOM sudah dijabarkan pada perencanaan tahunan dengan penekanan sesuai isu nasional terkini (penjabaran tahunan Nawacita). Mengacu hal tersebut, Deputi III menetapkan penekanan tahunan sebagai berikut : – Tahun 2016
:
Mendorong penguatan kelembagaan dan Pengembangan program strategis dalam pengawasan pangan serta memaksimalkan fungsi pelayanan publik. – Tahun 2017
:
Penguatan regulasi di bidang pengawasan pangan termasuk pelaksanaan regulatory impact analysis, penguatan sistem data pre dan post terintegrasi antara pusat dan daerah (sistem pemeriksaan penyidikan dan pengujian). – Tahun 2018
:
Penguatan dalam penegakan hukum di bidang pengawasan pangan didukung dengan analisis dampak efektifitas pengawasan secara ekonomi dan sosial untuk mendukung pencapaian pembangunan nasional. – Tahun 2019
:
Percepatan pengawasan pangan serta evaluasi program (Renstra 2015-2019) dalam rangka peningkatan kinerja pengawasan pangan periode berikutnya. Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pengawasan pangan, Deputi III menetapkan program-programnya sesuai RPJMN periode 2015-2019, yaitu program utama (teknis) dan program pendukung (generik), sebagai berikut:
80 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Program Teknis Program Pengawasan Pangan Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas utama Deputi III untuk menghasilkan standardisasi dalam pemenuhan mutu dan keamanan pangan melalui serangkaian kegiatan penetapan standar produk pangan, penilaian keamanan pangan olahan sesuai standar, pengawasan terhadap sarana produksi, pengawasan terhadap sarana distribusi, sampling dan pengujian pangan yang beredar, penegakan hukum, serta pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan, termasuk industri pangan. Program Generik 1.
Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis lainnya
2.
Program Peningkatan
Sarana dan Prasarana
di Kedeputian Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Selanjutnya, program-program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan prioritas Deputi III, sebagai berikut: a.
Kegiatan-kegiatan utama untuk melaksanakan pengawasan pangan : 1) Penyusunan standar pangan berupa Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pengawasan pangan (pre dan post-market); 2) Peningkatan efektivitas evaluasi pre-market melalui penilaian pangan olahan berbasis risiko; 3) Peningkatan cakupan pengawasan mutu pangan beredar melalui penetapan prioritas sampling berdasarkan risiko termasuk iklan dan penandaan.
81 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
4) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi pangan, sarana pelayanan kesehatan, serta sarana produksi dan sarana distribusi pangan dan bahan berbahaya; 5) Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui kemitraan dengan pemangku kepentingan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. b. Kegiatan untuk melaksanakan program generik (pendukung): 1) Koordinasi dan Pengembangan Organisasi, Penyusunan Program dan Anggaran, Keuangan; 2) Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kedeputian Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya; 3) Pengadaan, Pemeliharaan dan Pembinaan Pengelolaan, serta Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Aparatur Kedeputian Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya; 4) Peningkatan dan Pemeliharaan Kompetensi Aparatur Kedeputian Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya; 5) Peningkatan kualitas produk hukum, serta Layanan Pengaduan Konsumen dan Hubungan Masyarakat.
Untuk mewujudkan pencapaian sasaran strategis, maka masing-masing sasaran strategis dijabarkan kepada sasaran program dan kegiatan berdasarkan logic model perencanaan. Adapun logic model penjabaran terhadap sasaran program dan kegiatan Deputi III dapat dilihat pada Gambar 13
82 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Gambar 13. Logframe Kedeputian
Uraian tentang Program, Sasaran Program, Kegiatan, Sasaran Kegiatan, dan Indikator di Deputi III digambarkan pada Tabel 13 berikut ini. Sasaran Kegiatan Sasaran Indikator PIC Program Strategis Kegiatan Program Menguatnya Penyusunan Tersusunnya Jumlah standar Dit. Pengawasan sistem Standar standar pangan pangan yang Standardisasi Makanan pengawasan Pangan dalam rangka disusun Produk pangan menjamin Pangan pangan yang beredar aman dan bermutu Penilaian Tersedianya Persentase Dit. Penilaian Pangan Pangan Keputusan Penilaian Keamanan Olahan memenuhi Pangan yang Pangan standar diselesaikan Inspeksi dan Meningkatnya 1. Persentase hasil Dit. Inspeksi Sertifikasi mutu sarana inspeksi sarana dan Pangan produksi dan produksi dan Sertifikasi distribusi pangan distribusi pangan Pangan yang memerlukan pendalaman mutu dan sertifikasi 2. Persentase penyelesaian tindaklanjut Program
83 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Program
Sasaran Program
Kegiatan Strategis
Sasaran Kegiatan
Indikator
PIC
pengawasan mutu dan keamanan produk pangan 3. Persentase berkas permohonan sertifikasi pangan yang mendapatkan keputusan tepat waktu Pengawasan Menurunnya Produk dan bahan berbahaya BB yang disalahgunakan dan migran berbahaya dalam pangan
1. Persentase sarana Dit. distribusi yang Pengawasan menyalurkan BB Produk dan sesuai ketentuan Bahan 2. Persentase Berbahaya kemasan pangan yang memenuhi syarat keamanan 3. Jumlah pasar yang diintervensi menjadi pasar aman dari BB
Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
1. Jumlah hasil kajian Dit. Surveilan profil risiko dan keamanan pangan Penyuluhan 2. Jumlah Kab/Kota Keamanan yang sudah Pangan menerapkan Peraturan Kepala BPOM tentang IRTP 3. Jumlah desa pangan aman yang menerima intervensi pengawasan keamanan pangan
Meningkatnya intervensi hasil pengawasan keamanan pangan dan penguatan rapid alert sysitem keamanan pangan
Meningkat Peningkatan Pelaku usaha nya Kemandirian menjamin mutu kemandirian Pelaku produk pangan pelaku Usaha olahan usaha, pangan kemitraan olahan dengan pemangku kepentingan,
1. Persentase Dit. Inspeksi industri pangan dan olahan yang mandiri Sertifikasi dalam rangka Pangan menjamin keamanan pangan
84 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Program
Sasaran Program dan partisipasi masyarakat
Kegiatan Strategis
Sasaran Kegiatan
Indikator
PIC
Tabel 13. Program, Sasaran Program, Kegiatan, Sasaran Kegiatan, dan Indikator di Deputi III
3.3
KERANGKA REGULASI Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan keamanan pangan dan bahan
berbahaya untuk mencapai sasaran strategis dan target kinerja Deputi III, dibutuhkan adanya regulasi yang kuat guna mendukung sistem pengawasan. Sebagai unit Eselon I yang mempunyai tugas teknis, tidak hanya regulasi yang bersifat teknis saja yang harus dipenuhi, melainkan perlu adanya regulasi yang bersifat administratif dan strategis. Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya merupakan tugas pemerintahan yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Deputi III, dan dalam praktiknya dibutuhkan kerjasama dengan banyak sektor terkait, baik pemerintah maupun swasta. Untuk itu, regulasi perlu dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan tugas pengawasan pangan. Selama ini, dalam pelaksanaan pengawasan pangan masih dijumpai kendala yang berkaitan dengan koordinasi dengan pemangku kepentingan. Seperti di daerah, Balai Besar/Balai POM dalam melaksanakan pengawasan seringkali harus berkoordinasi dengan dinas kabupaten/kota setempat yang membawahi bidang kesehatan terkait dengan kewenangan pangan atau dinas provinsi atau kota yang membawahi bidang perindustrian dan perdagangan terkait dengan bahan berbahaya. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi instansi pemerintah harus memperhatikan peraturan perundangundangan seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pengawasan pangan merupakan suatu aspek penting yang dilihat dari berbagai segi. Dari segi kesehatan, pangan secara langsung mempunyai pengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat, bahkan tidak hanya derajat kesehatan, namun menyangkut
85 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
kehidupan seorang manusia. Pangan tidak dapat dipandang sebelah mata dan dianggap inferior dibanding faktor-faktor lain yang menentukan derajat kesehatan. Selain di bidang kesehatan, dari sisi ekonomi, pangan merupakan potensi yang sangat besar bagi pelaku usaha (produsen dan distributor), sektor industri pangan dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup besar berkontribusi pada pengurangan jumlah pengangguran. Untuk dapat menyelenggarakan tugas pengawasan pangan secara optimal, maka Deputi III perlu ditunjang oleh regulasi atau peraturan perundang-undangan yang kuat dalam lingkup pengawasan pangan. Untuk itu, diperlukan beberapa regulasi yang penting dan dibutuhkan oleh Deputi III dalam rangka memperkuat sistem pengawasan antara lain: 1.
Peraturan Perundang-undangan terkait pengawasan pangan Peraturan ini dapat berupa Peraturan baru atau revisi Peraturan Kepala BPOM atau Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang perlu disusun untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pangan. Beberapa contoh peraturan ini adalah Undangundang tentang Pengawasan Bahan Berbahaya (percepatan RUU tentang Bahan Kimia), Rancangan Peraturan yang terkait dengan Pendaftaran Pangan Olahan, Rancangan Peraturan Kepala BPOM tentang Pengawasan terhadap Standar Keamanan dan Mutu Minuman Beralkohol, Rancangan Peraturan Kepala BPOM tentang Pedoman Teknis Pengawasan Periklanan Pangan Olahan, Pemutakhiran Peraturan Kepala BPOM tentang Pedoman Penerbitan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) dan Rancangan Peraturan Kepala Badan POM tentang Keamanan Kemasan Pangan Daur Ulang dan Active Packaging
2.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan serta RPP Label dan Iklan Pangan sebagai amanat Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, terutama yang berkaitan dengan pengawasan pangan perlu dibuat peraturan pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan baik. Permasalahan pangan seharusnya tidak hanya berfokus pada ketahanan pangan saja, namun juga
86 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
pada keamanan dan mutu pangan serta pemenuhan gizi dan penyesuaian terhadap amanat UU pangan itu sendiri, yaitu pangan tidak boleh bertentangan dengan agama dan keyakinan masyarakat Indonesia. 3.
Norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) terkait pelaksanaan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah konkuren. Diharapkan NSPK ini juga mencakup pola tindak lanjut hasil pengawasan Pangan antara BPOM dengan daerah terkait, termasuk penetapan sanksi terhadap sarana produksi dan distribusi pangan serta penetapan kewenangan instansi pemberi sanksi sebagai acuan daerah dalam menyelenggarakan pengawasan di daerah. Diharapkan terbentuknya NSPK ini akan dapat menciptakan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 pasal 16 dalam hal: (1) Pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dan (2) Sebagai pedoman Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengawasan Obat dan Makanan. Untuk mendukung upaya ini perlu penguatan koordinasi dengan melibatkan kementerian terkait (contoh. Kemendagri) dalam penyusunan regulasi dan pelaksanaan kegiatan di daerah, monitoring efektivitas implementasi NSPK. Hal ini bertujuan agar pengawasan pangan dapat berjalan lebih lancar, dan hasil pengawasan dapat ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan terkait. Contoh NSPK yang sudah diterbitkan dan perlu direvisi adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan POM No. 43 dan No.2 tahun 2013 tentang Pengawasan Bahan Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan.
4.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keamanan Pangan. Diharapkan dengan dikembangkannya SKKNI Bidang Keamanan Pangan tersebut, Kedeputian Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dapat meningkatkan pengawalan keamanan dan mutu Pangan terhadap isu terkini (AEC, Post MDGs, MEA, dll.).
5.
Memorandum of Understanding (MoU) Penguatan sistem pengawasan pangan di wilayah Free Trade Zone (FTZ), daerah perbatasan, terpencil dan gugus pulau. Hal
87 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
ini diperlukan karena belum optimalnya quality surveilance/monitoring mutu untuk daerah perbatasan, daerah terpencil dan gugus pulau. 6.
Regulasi yang mendukung optimalisasi pusat kewaspadaan pangan dan Early Warning System (EWS) yang informatif, antara lain: Peraturan baru terkait KLB dan Mekanisme pelaksanaan Sistem Outbreak response dan EWS. Upaya ini dapat membantu mempeaiki Sistem Outbreak response dan EWS yang belum optimal dan informatif sehingga didapatkan response yang cepat dan efektif pada saat terjadi outbreak bencana yang berkaitan dengan bahan pangan.
7.
Peraturan Kepala BPOM tentang koordinasi dengan pemerintah daerah serta Peraturan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pangan di daerah. Dalam hal ini BPOM perlu meningkatkan advokasi tentang peranan pemerintah daerah dalam pengawasan pangan.
3.4
KERANGKA KELEMBAGAAN Untuk memperkuat peran dan fungsi Deputi III dalam melaksanakan mandat
Renstra 2015-2019, maka dilakukan beberapa inisiatif penataan kelembagaan, baik penataan dalam lingkup intraorganisasi Deputi III maupun penataan yang bersifat interorganisasi dalam bentuk koordinasi lintas unit Eselon I, lintas instansi/lembaga, maupun hubungan dengan para pemangku kepentingan utama. Beberapa aspek kelembagaan yang harus diintegrasikan dan dikoordinasikan agar lebih efisien dan efektif adalah : 1.
Penyempurnaan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Deputi III sesuai dengan perubahan lingkungan strategis periode 2015-2019 Penataan dalam kerangka kelembagaan bagi organisasi induk dilakukan dengan memperhatikan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, antara lain melalui penguatan unit kerja di Deputi III dalam fungsi dan peran sebagai policy center (pengkaji, perumus, dan penetapan kebijakan) dalam bidang pangan.
88 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
National Regulatory Authority (NRA) yang kuat dan mendapat pengakuan dari internasional akan meningkatkan kepercayaan negara lain terhadap produk pangan yang beredar dan diawasi oleh NRA tersebut. Dengan demikian, perkuatan lembaga BPOM khususnya Deputi III sebagai ujung tombak perlindungan masyarakat terhadap produk pangan yang tidak memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizinya, secara tidak langsung akan mendorong daya saing produk pangan dalam pasar nasional dan internasional. Oleh sebab itu penjajakan dan peningkatan kerjasama Deputi III dalam fora internasional baik pada tingkat bilateral, regional dan multilateral diarahkan pada aspek : a.
Perkuatan Sistem Pengawasan produk pangan sesuai standar internasional.
b.
Peningkatan kemampuan SDM dalam mengawasi produk pangan berdasarkan standar internasional.
c.
Harmonisasi standar produk pangan tanpa mengabaikan kemampuan UMKM.
Gambaran tentang penguatan kerangka kelembagaan Deputi III yang dikaitkan dengan peningkatan daya saing dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Ilustrasi penguatan kerangka kelembagaan Deputi III untuk peningkatan daya saing pangan
NRA yang kuat
a. Kualitas SDM yang mampu mengawasi produk pangan sesuai standar internasional b. Sistem pengawasan pangan sesuai standar internasional c. Harmonisasi standar produk pangan tanpa mengabaikan kemampuan UMKM
Produk terjamin aman, bermutu dan berkhasiat sesuai standar internasional Koordinasi yang kuat dengan Lintas Sektor dalam rangka peningkatan standar produk UMKM
Daya Saing Produk pangan meningkat
89 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2.
Diperlukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait yang memiliki tugas sama dalam rangka mewujudkan pencapaian prioritas pembangunan kesehatan.
3.
Pemeliharaan Sistem Manajemen Mutu yang telah diimplementasikan Deputi III untuk memastikan bisnis proses dan tata laksana baik dalam hal tata kelola pembuatan keputusan, implementasi keputusan, tata kelola evaluasi, serta manajemen kinerja dilaksanakan secara efektif, efisien, dan transparan.
90 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
4.1
TARGET KINERJA Mengacu kepada Program Badan Pengawas Obat dan Makanan di Lingkungan
Kedeputian yaitu Pengawasan Obat dan Makanan, Deputi III menetapkan program pengawasan pangan dengan sasaran strategis : a. Menguatnya sistem pengawasan pangan, dan b. Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat. Uraian tentang Indikator dan Target Kinerja untuk masing-masing sasaran strategis tersebut diuraikan pada Tabel 14. Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat
Indikator Persentase Pangan yang memenuhi syarat
Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan
2015 88,1
3
Target Kinerja 2016 2017 2018 88,6 89,1 89,6
5
7
9
2019 90,1
11
Tabel 14. Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja
90 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
a.
Kegiatan dalam Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Pangan Untuk mencapai Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Pangan
dilaksanakan program pengawasan pangan melalui kegiatan-kegiatan: 1.
Penyusunan Standar Pangan Penyusunan standar pangan dibutuhkan sebagai prequisite pelaksanaan tugas
pengawasan pangan. Ketersedian dan pemutakhiran standar perlu dilakukan dalam rangka menjamin pangan aman, bermanfaat, dan bermutu untuk menjawab tantangan terkait SDGs, perkembangan teknologi, maupun lingkungan strategis lainnya. Selain itu, dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, terkait regulasi di bidang pangan, beberapa kegiatan prioritas yang akan dilakukan diantaranya memberikan dukungan regulasi dan regulatory assistance kepada pelaku usaha; penyusunan standar di tingkat ASEAN, Regional, dan Internasional; dan Intensifikasi sosialisasi standar, pedoman, regulasi produk pangan kepada stakeholder (pelaku usaha, konsumen dan lintas sektor). Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator jumlah standar pangan yang disusun, dengan target 70 standar sampai dengan tahun 2019.
2.
Penilaian Pangan Olahan Program penilaian pangan olahan akan difokuskan pada pemantapan penilaian
pangan berbasis tingkat risiko (risk-based evaluation), penyempurnaan sistem elektronisasi pendaftaran pangan olahan (e-registration) untuk meningkatkan kemudahan bagi pengguna (user), peningkatan kemampuan SDM sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan, serta peningkatan kualitas pelayanan publik termasuk sarana dan prasarana. Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator Persentase Keputusan Penilaian pangan olahan yang diselesaikan, dengan target 89% pada tahun 2019.
91 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
3.
Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Untuk mencapai peningkatan sarana produksi dan distribusi pangan, beberapa
program prioritas dalam melaksanakan kegiatan Inspeksi dan Sertifikasi Pangan yaitu Perkuatan Risk Management Program; Review dan Ujicoba Code of Practice’s (Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan berdasarkan pengendalian tahapan kritis proses produksi per kategori produk); dan Pengembangan database sarana produksi, risk cluster dan risk ranking. Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator: a) Jumlah inspeksi sarana produksi dan distribusi pangan yang dilakukan dalam rangka pendalaman mutu dan sertifikasi, dengan target 700 pada tahun 2019. b) Persentase penyelesaian tindak lanjut pengawasan mutu dan keamanan produk pangan, dengan target 94% pada tahun 2019. c) Persentase berkas permohonan sertifikasi pangan yang mendapatkan keputusan tepat waktu, dengan target 80% pada tahun 2019. 4.
Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Dalam melaksanakan pengawasan produk dan bahan berbahaya di era MEA saat
ini, BPOM dihadapkan pada tantangan seperti belum optimalnya pengawasan bahan berbahaya di sektor hulu oleh instansi terkait, dan masih ditemukannya bahan berbahaya dan migran berbahaya dalam pangan. Untuk mencapai sasaran menurunnya bahan berbahaya yang disalahgunakan dan migran berbahaya dalam pangan, BPOM melaksanakan
kegiatan berupa Perkuatan sistem pengawasan produk dan bahan
berbahaya melalui advokasi dalam rangka implementasi peraturan bersama; pengawasan terpadu mengacu kepada peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan POM No. 43 Tahun 2013 dan No. 2 Tahun 2013 tentang Pengawasan Bahan Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan, dan Koordinasi lintas sektor dalam rangka tindak lanjut hasil pengawasan; Perkuatan sistem pengawasan kemasan pangan melalui Penyusunan RSNI Uji Migrasi Zat Kontak Pangan, Mapping database industri kemasan pangan dan Penyusunan dan Implementasi Pedoman Inspeksi Sarana
92 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Produksi Kemasan Pangan; serta Pengembangan pasar aman dari bahan berbahaya melalui TOT Fasilitator Pasar Aman dari Bahan Berbahaya, Bimtek terhadap petugas pengawas pasar, dan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya. Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator: a) Persentase sarana distribusi yang menyalurkan bahan berbahaya sesuai ketentuan, dengan target 58% pada tahun 2019. b) Persentase kemasan pangan yang memenuhi syarat keamanan, dengan target 90% pada tahun 2019. c) Jumlah pasar yang diintervensi menjadi pasar aman dari bahan berbahaya dengan target 201 pasar pada tahun 2019. 5.
Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Sesuai dinamika lingkungan strategis, berbagai intervensi hasil pengawasan
keamanan pangan akan dilakukan. Di antaranya adalah penguatan gerakan keamanan pangan desa dan peningkatan keamanan pangan di setiap rantai pangan secara terpadu. Sebagai input intervensi pengawasan, kaitannya dengan implementasi 3 Peraturan Kepala BPOM terkait IRTP akan dilakukan cost benefit analysis serta regulatory impact assesment. Selain itu, pada Renstra 2015-2019 akan dilakukan penguatan rapid alert system keamanan pangan dengan melakukan kajian risiko. Indikator kegiatan ini adalah sebagai berikut: a) Jumlah hasil kajian profil risiko keamanan pangan, dengan target 25 profil risiko hingga tahun 2019. b) Jumlah Kabupaten/kota yang sudah menerapkan Peraturan Kepala BPOM tentang IRTP, dengan target 100 kabupaten/kota hingga tahun 2019. c) Jumlah desa pangan aman yang menerima intervensi pengawasan keamanan pangan, dengan target 500 hingga tahun 2019.
93 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Selain melalui Program Pengawasan Pangan, Sasaran Strategis ini juga didukung dengan program dukungan manajemen dan pelaksanaan teknis lainnya. Kegiatan teknis lain yang perlu berkoordinasi dengan unit kerja dan atau instansi lain terkait antara lain kegiatan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, bantuan hukum, layanan pengaduan konsumen, dan hubungan masyarakat. b.
Kegiatan Dalam Sasaran Strategis Meningkatnya Kemandirian Pelaku Usaha, Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan, dan Partisipasi Masyarakat Untuk mencapai sasaran strategis meningkatnya kemandirian pelaku usaha,
kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat dilaksanakan Program Pengawasan Obat dan Makanan melalui Kegiatan Inspeksi dan Sertifikasi Pangan/Peningkatan Kemandirian Pelaku Usaha Pangan Olahan. Dalam rangka meningkatkan daya saing dan kesiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), kemandirian pelaku usaha di bidang pangan merupakan hal mutlak yang harus disiapkan dan dimiliki oleh pelaku usaha dalam negeri. Untuk itu, pelaku usaha perlu diberikan pembinaan dan pendampingan dalam menerapkan program manajemen risiko yang dikembangkan oleh Deputi III. Kemandirian pelaku usaha dibidang pangan dapat dilihat dari indikator Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan, dengan target 11% sampai dengan tahun 2019. Dengan meningkatnya kemandirian pelaku usaha dalam menghasilkan produk yang aman dan bermutu, maka masyarakat Indonesia akan semakin terlindingi dari peredaran pangan yang tidak memenuhi ketentuan. Selain itu, peningkatan keamanan dan mutu pangan yang diproduksi di Indonesia dapat meningkatkan daya saing produk tersebut di peredaran dan pada akhirnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dan nasional.
94 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
4.2
KERANGKA PENDANAAN Sesuai target kinerja untuk masing-masing indikator kinerja yang telah
ditetapkan maka telah ditetapkan kerangka pendanaan untuk mendukung pencapaian tujuan dan sasaran strategis Deputi III periode tahun 2015-2019, sebagaimana diuraikan pada Tabel 15 dibawah ini. Sasaran Strategis
Indikator
Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Menguatnya Sistem Pengawasan Makanan
Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat
Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan
2015
Alokasi (Rp Milyar) 2016 2017 2018
57,9
88,0
95,0
102,0
2019 94,0
Penanggung jawab Kedeputian III dan BB/BPOM
Kedeputian III
Tabel 15. Sasaran Strategis, Indikator Kinerja dan Pendanaan Matriks kinerja dan pendanaan BPOM per kegiatan sebagaimana diuraikan pada Lampiran 1.
95 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB V PENUTUP
Renstra Deputi III tahun 2015-2019 merupakan panduan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Deputi III untuk 5 (lima) tahun ke depan. Keberhasilan pelaksanaan Renstra tahun 2015-2019 sangat ditentukan oleh kesiapan kelembagaan, ketatalaksanaan, SDM dan sumber pendanaannya, serta komitmen semua pimpinan dan staf Deputi III. Renstra ini merupakan upaya untuk menggambarkan peta permasalahan, titik-titik lemah, peluang, tantangan, program yang ditetapkan, dan strategi yang akan dijalankan selama kurun waktu lima tahun, serta output yang ingin dihasilkan dan outcome yang diharapkan. Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan Renstra tahun 2015-2019, setiap tahun akan dilakukan evaluasi. Apabila diperlukan, dapat dilakukan perubahan/revisi muatan Renstra Deputi III, termasuk indikator-indikator kinerjanya yang dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dan tanpa mengubah tujuan Deputi III. Renstra Deputi III Tahun 2015-2019 menjadi acuan kerja bagi unit-unit kerja di lingkungan Deputi III sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Diharapkan semua unit kerja dapat melaksanakannya dengan akuntabel serta senantiasa berorientasi pada peningkatan kinerja lembaga, unit kerja dan kinerja pegawai. Evaluasi Renstra Deputi III merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan perencanaan strategis Deputi III, sehingga hasil pencapaiannya dapat diukur dan dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan laporan kinerja tahunan Deputi III. Selain sebagai bahan evaluasi, Renstra juga menjadi pedoman untuk penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sesuai dengan Peraturan Presiden tentang SAKIP yang dikoordinasikan oleh Kementerian PAN dan RB. Dokumen Rencana strategis ini diharapkan dapat dikomunikasikan ke seluruh jajaran organisasi, dan juga stakeholder terkait secara keseluruhan. Diseminasi ini akan memungkinkan seluruh anggota organisasi memiliki kesamaan pandangan tentang ke
96 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
mana organisasi akan dibawa (tujuan bersama), bagaimana peran serta setiap anggota organisasi dalam mencapai tujuan bersama, dan bagaimana kemajuan dan tingkat keberhasilan nantinya akan diukur. Dengan demikian, seluruh kegiatan Deputi III yang direncanakan akan terlaksana, terkoordinasi dengan baik dan dilakukan secara terintegrasi untuk tercapainya tujuan-tujuan strategis.
97 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Anak Lampiran 1. Matriks Kinerja dan Pendanaan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Update 2 April 2015 Target Program/Kegiatan
Sasaran Program (Outcome)/Sasaran Kegiatan (Output)/Indikator
Lokasi
2015
2016
2017
Alokasi (dalam Miliar rupiah) 2018
2019
2015
Program Pengawasan Obat dan Makanan
2016 57.9
Menguatnya sistem pengawasan Obat dan Makanan 1.5. Persentase makanan yang memenuhi 33 Provinsi syarat
2017
88.0
2018
95.0
2019
102.0
Unit Organisasi Pelaksana 94.0 Kedeputian III
1
2
88.10
88.60
89.10
89.60
90.10
Kedeputian III dan 33 BB/BPOM
Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat
2.4. Persentase industri pangan olahan yang Pusat mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan
3
5
7
9
11
Penyusunan Standar Pangan
Kedeputian III
9.1
9.0
9.0
9.0
10.3
8.0
8.0
8.0
Tersusunnya standar pangan yang mampu menjamin makanan aman, bermanfaat dan bermutu 1
Jumlah Standar pangan yang disusun
Penilaian Pangan Olahan Meningkatnya Jumlah Produk pangan olahan yang memiliki izin edar (memenuhi persyaratan kemananan, mutu dan gizi )
Pusat
14
14
14
14
10.0 Dit. Sandardisasi Produk Pangan
14 9.0 Dit. PKP
K/L-NB-NSBS
Target Program/Kegiatan
Sasaran Program (Outcome)/Sasaran Kegiatan (Output)/Indikator
Lokasi
Program Pengawasan Obat Makanan 1 dan Persentase Keputusan Penilaian pangan Pusat olahan yang diselesaikan Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Meningkatnya mutu sarana produksi dan distribusi Pangan 1 Jumlah inspeksi sarana produksi dan Pusat distribusi pangan yang dilakukan dalam rangka pendalaman mutu dan sertifikasi
2015
2016 85
2017
86
87
Alokasi (dalam Miliar rupiah) 2018
2019
88
2015
2016
2017
2018
2019
Unit Organisasi Pelaksana
89 16.9
500
550
600
650
700
2
Persentase penyelesaian tindak lanjut pengawasan mutu dan keamanan produk pangan
Pusat
90
90
90
92
94
3
Persentase berkas permohonan sertifikasi pangan yang mendapatkan keputusan tepat waktu
Pusat
70
72
75
78
80
4
Persentase industri pangan olahan yang Pusat mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan
3
5
7
9
11
18.0
20.0
23.0
25.0 Dit. Insert Pangan
K/L-NB-NSBS
ANAK LAMPIRAN 2. MATRIKS KERANGKA REGULASI DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA 2015-2019 No
Arah Kerangka Regulasi dan/atau Kebutuhan regulasi
Urgensi Pembentukan Berdasarkan Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian dan Penelitian Meningkatkan efektifitas pengawasan pangan
Unit Penanggungjawab
1
Peraturan Perundang-undangan terkait pengawasan Pangan
2
RPP Keamanan Mutu dan Gizi Pangan dan RPP Label dan Iklan Pangan terkait Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
3
Norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) terkait pelaksanaan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah konkuren
Terciptanya sinergi antara Pemerintah Pusat dan 1. Biro Hukum dan Humas Daerah berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 pasal 2. Direktorat Standardisasi Produk 16 dalam hal: 1. Pelaksanaan pengawasan pangan Pangan 2. Sebagai pedoman Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengawasan pangan
4
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keamanan Pangan
Meningkatkan pengawalan keamanan dan mutu Pangan terhadap isu terkini (AEC, Post MDGs, MEA, dll.)
5
Memorandum of Understanding (MoU) Penguatan sistem pengawasan Obat dan Makanan di wilayah Free Trade Zone (FTZ), daerah perbatasan, terpencil, dan gugus pulau
Belum optimalnya quality surveilance /monitoring 1. Biro Hukum dan Humas mutu untuk daerah perbatasan, daerah terpencil, 2. Direktorat Insert dan Pengawasan dan gugus pulau Kedeputian 1,2,3
6
Regulasi yang mendukung optimalisasi Pusat Kewaspadaan Obat dan Makanan dan EWS yang informatif, antara lain: - Peraturan baru terkait KLB - Mekanisme pelaksanaan Sistem Outbreak response dan EWS
Sistem Outbreak response dan EWS belum 1. Direktorat Surveilan Penyuluhan optimal dan informatif. Diperlukan response yang Keamanan Pangan cepat dan efektif pada saat terjadi outbreak 2. Biro Hukum dan Humas bencana yang berkaitan dengan pangan
7
Peraturan Kepala BPOM tentang koordinasi dengan pemerintah daerah serta Peraturan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) untuk meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan di daerah
Pengawasan Obat dan Makanan tidak dapat berhasil tanpa adanya kerjasama dan komitmen dari daerah dalam mendukung BPOM
Unit Terkait/ Institusi
1. Direktorat Standardisasi Produk Pangan 2. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya 3. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan 4. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan 5. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan 6. Biro Hukum dan Humas
1. Direktorat Standardisasi Produk Pangan 2. Biro Hukum dan Humas
1. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
1. DPR 2. Kemenkumham 3. Kementerian Kesehatan