ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYA
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF Latar belakang Dalam rangka melindungi hak-hak konsumen serta menghindarkannya dari ekses negatif akibat barang dan jasa yang beredar di pasar, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU-PK). Berdasarkan UU tersebut, hak-hak konsumen dilindungi dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan produsen, importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa. Selain peredaran barang dan jasa di pasar, faktor keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Salah satu produk yang harus mengutamakan faktor K3L tersebut adalah Bahan Berbahaya (B2). Sehingga mendorong Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/M-DAG/PER/2/2006 Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, sehingga dampak penyalahgunaan B2 dapat dikurangi. Namun
demikian,
dalam
perkembangannya,
baik
pengadaan,
pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, lebih lanjut untuk mencegah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan, Pemerintah mengeluarkan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur pengadaan B2, baik yang berasal dari lokal maupun impor melalui pengaturan jenis, pengadaan, pendistribusian, perijinan, pelaporan dan larangannya. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag Nomor:
44/M-DAG/PER/9/2009
dalam
upaya
meningkatkan
efektivitas
pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor, yaitu dengan menetapkan verifikasi atau penelusuran teknis impor dan penetapan pelabuhan dan bandara untuk impor B2. Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat peruntukannya, seperti penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B terutama pada produk pangan. Hasil uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dari mobil laboratoriun keliling di DKI Jakarta pada ahun 2012 menunjukkan bahwa 17 % PJAS mengandung B2, berupa boraks, formalin dan rhodamin B. Kondisi tersebut diatas membuktikan bahwa pengawasan distribusi Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
i
B2 belum efektif. Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan B2 dikemas dalam ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa antara bahan baku untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang sama (BPOM, 2012). Penyalahgunaan B2 terutama untuk pangan tersebut diindikasi karena pendistribusian B2 terutama dari pengecer B2 ke pengguna akhir B2. Sementara sistem distribusi B2 yang ada sekarang belum terstruktur sehingga menyulitkan dalam pengawasannya. Bertitik tolak dari fenomena di atas, maka analisis pengawasan distribusi B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan terkait dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di yaitu bagaimana pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag tersebut. Metodologi Penelitian Analisis pengawasan distribusi bahan berbahaya menggunakan metode Regulation Impact Analysis (RIA) untuk mengevaluasi pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/MDag/Per/9/2009
tentang
Pengadaan, distribusi dan
Pengawasan
Bahan
Berbahaya. Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Bahan Berbahaya Berdasarkan
hasil
evaluasi
terhadap
Permendag
Nomor:
23/M-
DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya perlu direvisi dan disempurnakan sehingga pelaksanaannya bisa lebih efektif dan tidak terjadi penyalahgunaan B2, khususnya yang terkait dengan bahan pangan. Beberapa DAG/PER/9/2009
ketentuan Tentang
terutama Pengadaan,
pada
Permendag
Distribusi
dan
Nomor:
44/M-
Pengawasan
B2
menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu : 1. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) sebagaimana diatur pada Pasal 1 Angka 8 dan PT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 pada Pasal 11 Ayat (2) Hurup d, namun pada pasal 1 Angka 12 diatur bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
ii
2. Pada Pasal 1 angka 9, ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan ITB2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil. 3. Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya dan Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54 , sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan. 4. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada pasal 1 Angka (3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja. 5. Pasal 8 Ayat (3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang (repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya PA-B2 skala kecil. 6. Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2. 7. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2. Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2. Faktor-faktor penyebab implementasi Permendag B2 belum berjalan dengan baik, yaitu : 1. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor. 2. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis
B2. Sehingga
dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran 3. Jenis-jenis
B2
yang
tercantum
dalam
Permendag
Nomor:
23/M-
DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/MAnalisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
iii
DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012,
sehingga ada kesulitan
dalam
penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2. 4. Pengaturan distribusi B2
menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi
B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2. 5. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang
didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan. 6. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik.
Sementara
pengawasan
oleh
BPOM
makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi
lebih
kepada
bukan kepada
industri pelaku
usaha perdagangan B2. 7. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2 Rekomendasi 1. Perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/MDAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 agar penyalahgunaan B2 dapat diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain menyangkut aspek pengadaan, distribusi dan pengawasan serta penerapan sanksi, sebagai berikut : Pengadaan:
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
iv
a. Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pemgetatan pelaporan B2.
Dengan memperhatikan
keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT). Distribusi dan Pengawasan: a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen (P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 . b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di wilayahnya
dan
untuk
itu
berkewajiban
melaporkan
realisasi
distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya. c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin khusus kepada instansi terkait.
Pemberian ijin khusus diberikan untuk
jumlah dan kurun waktu tertentu. 2. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan Tim Pemeriksa . 3. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi segala kewajiban, antara lain
pelaporan.
Penerapan sanksi terhadap pelanggaran perlu
ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen. 4. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan peredaran B2 secara terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan upaya untuk menyediakan bahan alternatif yang bisa menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif murah.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
v
5. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2 untuk pangan
kepada para pelaku usaha terutama industri pangan atau
pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk workshop, seminar,
website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap
melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat dapat dalam bentuk program konsumen cerdas (KONCER).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, laporan Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya dapat diselesaikan. Tujuan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya adalah upaya untuk meningkatkan pencegahan penyalahgunaan peruntukan penggunaan bahan berbahaya (B2). Namun dalam kenya taannya, pada saat ini masih banyak ditemukan penyalahgunaan jenis B2 tertentu, seperti Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow yang digunakan untuk bahan panganpemgolahan pangan jadi. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan dan sekaligus mengevaluasi Permendag dimaksud. Hasil analisis ini merekomendasikan perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 t entang atas perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 t entang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif. Beberapa hal yang perlu penyempurnaan dan kejelasan antara lain 1) ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pelaporan bagi kelembagaan dalam pengadaan, distribusi dan pengawasan B2; 2) pengaturan sistem distribusi B2, , sehingga mudah dalam pengawasan; 3). komitmen
pemerintah pusat dan daerah
melibatkan instansi terkait dalam
melakukan pengawasan distribusi B2. Disadari bahwa hasil analisis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan
sumbangan
pemikiran
dari
para
pembaca
sebagai
bahan
penyempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat.
Jakarta,
April 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ................... ...................................................................
i
KATA PENGANTAR ................... .............................................................................
v
DAFTAR ISI ................... ...........................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ................... ................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ................... ............................................................................... viii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Tujuan Analisis.....................................................................................
3
1.3. Keluaran Analisis .................................................................................
4
1.4. Dampak ................................................................................................
4
1.5. Ruang Lingkup .....................................................................................
4
1.7. Sistematika Penulisan .........................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
6
2.1. Definisi Bahan Berbahaya ..................................................................
6
2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya .................................................... 10 2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia ............................... 12 2.4. Hasil Pengawasan B2 .......................................................................... 16 2.5 Best Practices B2 di Beberapa Negara. .............................................. 16 BAB III METODOLOGI............................................................................................ 22 3.1. Kerangka Pemikiran............................................................................. 22 3.2 Lokasi Kajian dan Responden ............................................................. 23 3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data..................................... 24 3.4. Metode Analisis .................................................................................... 24 BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA ......................... 29 4.1. Aspek Pengadaan................................................................................ 29 4.2. Aspek Distribusi ................................................................................... 31 4.3. Aspek Pengawasan ............................................................................. 32 4.4. Hasil Survey di Daerah Penelitian ....................................................... 33 BAB V EVALUASI PERATURAN BAHAN BERBAHAYA .................................. 43 5.1. Evaluasi Peraturan B2 Menggunakan RIA .......................................... 43
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
viii
5.2. Upaya Peningkatan Efektivitas Pengawasan B2 ................................ 49 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI........................................................ 53 6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 53 6.2. Rekomendasi ....................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kelas dan Divisi B2 Berdasarkan UN Recomendations on the Transport of Dangerous Goods ..............................................................
8
Tabel 2.2. Penjelasan Masing-masing sifat B2 Yang Tertulis Dalam Federal Hazardous Substance Act ......................................................................
10
Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia Tahun 2012 ...................................................
15
Tabel 3.1. Metodologi dan Analisis Data .................................................................
28
Tabel 5.1. Usulan Revisi Permendag Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 ...................
51
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Alur Distribusi B2................................................................................
14
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ...........................................................................
23
Gambar 3.2. Proses RIA .........................................................................................
25
Gambar 4.1. Rantai Distribusi B2 di Makassar .......................................................
34
Gambar 4.2. Rantai Distribusi B2 di Medan ............................................................
37
Gambar 4.3. Rantai Distribusi B2 di Surabaya .......................................................
41
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9//2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Lampiran 2. Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 Tentang Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9//2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, konsumen sebagai pengguna barang dan jasa menjadi objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan tidak jarang aktivitas bisnis tersebut
seringkali
merugikan
konsumen.
Padahal
seharusnya
hak-hak
konsumen dilindungi dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pelaku usaha seperti produsen, importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam rantai perdagangan barang dan jasa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu juga dalam peredaran barang dan jasa di pasar, faktor keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan (K3L) menjadi hal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Salah satu produk yang harus mengutamakan faktor K3L tersebut adalah Bahan Berbahaya (B2). Pada dasarnya, penggunaan produk B2 dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun, apabila tidak digunakan dengan baik dan benar dapat menyebabkan kerugian dan kerusakan bagi manusia dan lingkungan. Hal-hal tersebut di atas mendorong Pemerintah pada tahun 2006 menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/MDAG/PER/2/2006 Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, sehingga dampak penyalahgunaan B2 dapat dikurangi. Namun demikian, dalam perkembangannya, baik pengadaan, pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, mencegah
terjadi
penyimpangan
dan
penyalahgunaan
B2,
untuk
Pemerintah
mengeluarkan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur pengadaan B2, baik yang berasal dari lokal maupun impor melalui pengaturan jenis, pengadaan, pendistribusian, perijinan, pelaporan dan larangannya. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor, yaitu dengan menetapkan verifikasi atau penelusuran teknis impor dan penetapan pelabuhan dan bandara untuk impor B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
1
Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat peruntukannya, seperti penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B terutama pada produk pangan
olahan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor: 239/Men.Kes/Per/V/85, terdapat 30 jenis zat warna termasuk Rhodamin-B (C.I. Food Red 15) yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang digunakan dalam obat, makanan, dan kosmetika kecuali mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penggunaan Formalin dan Boraks sebagai bahan tambahan dalam makanan juga secara tegas dilarang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1168/Men.Kes/Per/X/1999. Larangan penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan dengan mempertimbangan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang disebabkan konsumsi bahan kimia yang membahayakan kesehatan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini penyalahgunaan B2 pada produk pangan semakin banyak terjadi di masyarakat. Dari 251 jenis minuman yang diambil sebagai contoh di beberapa kota, 8 persen jenis minuman di Jakarta, 14,5 persen jenis minuman di Bogor, dan 17 persen jenis minuman di Rangkasbitung terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai pewarna merah minuman (Winarno, 1994). Hasil penelitian yang dilakukan olef SEAFAST Center IPB pada tahun 2008 di 4500 Sekolah Dasar dari 79 kabupaten/kota dan 18 propinsi juga menunjukkan bahwa 12,9 persen makanan mengandung formalin dan 9,7 persen makanan mengandung boraks (Andarwulan, Madanijah & Zulaikhah, 2011). Lebih lanjut, Andarwulan et.al., (2011) juga menemukan 4 persen sampel minuman mengandung Rhodamin B. Selain Rhodamin-B, survey juga menemukan penggunaan bahan pewarna buatan lainnya yang dilarang dalam minuman adalah Methanyl Yellow (3,7 persen) dan Amaranth (5 persen). Sementara di Bandar Lampung, dari total 90 sampel makanan berupa tahu, mie basah, ikan dan ikan asin yang diperdagangkan di pasar tradisional dan modern mengandung formalin (Harian Umum Lampung Post, 13 Januari 2006). Hasil uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dari mobil laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17 persen PJAS mengandung B2, berupa boraks, formalin dan rhodamin B. Kondisi tersebut diatas membuktikan bahwa pengawasan distribusi B2 belum efektif. Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan, B2 dikemas dalam ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa antara bahan baku
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
2
untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang sama (BPOM,2012). Penyalahagunaan B2 sebagai bahan tambahan pada pangan ini tentunya sangat memprihatinkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Salah satu penyebab timbulnya penyalahgunaan B2 diduga karena bahan berbahaya mudah diperoleh di pasar. Kemudahan mendapatkan B2 di pasar diduga disebabkan adanya rembesan pada pengguna akhir. Dugaan lain adalah adanya peredaran produk B2 di dalam negeri padahal tidak ada produsennya dan tidak ada data importasinya yang dilakukan dengan cara pengalihan HS dan penyelundupan. Disamping itu juga, karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian sebagian masyarakat (produsen dan konsumen) bahwa penggunaan B2 untuk pangan membahayakan kesehatan manusia. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka akan berdampak kepada kesehatan masyarakat dan lebih lanjut dapat mengancam kualitas generasi muda. Penyalahgunaan peredaran B2 juga dapat mematikan potensi produsen yang jujur dan di sisi lain tidak mendidik produsen pangan yang tidak bertanggung jawab. Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka analisis pengawasan distribusi B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan terkait dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di lapangan yaitu bagaimana pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag tersebut. 1.2. Tujuan Analisis a. Mengetahui
gambaran
DAG/PER/9/2011
pelaksanaan
tentang
perubahan
Permendag
Nomor:
23/M-
Permendag
Nomor:
44/M-
Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2; b. Mengevaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2; c. Merumuskan usulan pengawasan Bahan Berbahaya.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
3
1.3. Keluaran Analisis a. Informasi pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. b. Evaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. c. Rumusan usulan kebijakan pengawasan Bahan Berbahaya. 1.4. Dampak Berkurangnya penyalahgunaan B2 di masyarakat dan meningkatkannya pengawasan B2 dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha dalam upaya perlindungan bagi konsumen. 1.5. Ruang Lingkup a. Komoditas Komoditas B2 yang dianalisis adalah: Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B dan terdapat indikasi penyalahgunaan. b. Aspek Kebijakan: 1) Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang pada Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya. 2) Kebijakan yang berkaitan dengan B2. c. Daerah Penelitian: Penelitian dilakukan di 3 (tiga) daerah yaitu Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi
Selatan),
dan
Medan
(Sumatera
Utara).
Adapun
dasar
pertimbangan pemilihan daerah tersebut karena merupakan lokasi produsen B2 dan/atau pelabuhan impor untuk B2 yang ditetapkan dalam Permendag. d. Responden Penelitian Responden penelitian adalah: Pelaku usaha yang meliputi produsen, importir terdaftar (PPI), importir produsen, distributor, pengecer dan pengguna akhir; dan key person dari Dinas Perindag, Badan POM, Direktorat Impor, Direktorat
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
4
Bahan Pokok dan Barang Strategis, Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, YLKI, BPKN, Asosiasi, serta Surveyor impor B2. 1.6. Sistematika Penulisan Laporan analisis ini terdiri dari enam bab, sebagai berikut: BAB I
:
Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang dilakukan.
BAB II
:
Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang digunakan sebagai referensi dalam kajian ini meliputi Definisi B2, Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, Permendag, dan best practices.
BAB III
:
Metodologi
Penelitian
menjelaskan
metode
yang
digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran, metode analisis data, lokasi penelitian dan responden, serta sumber data dan teknik pengumpulan data. BAB IV
:
Pelaksanaan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya di daerah penelitian.
BAB V
:
Evaluasi
Permendag.
Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011
tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang pada Permendag
Nomor:44/M-Dag/Per/9/2009
tentang
Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya BAB VI
:
Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Bahan Berbahaya Menurut Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, yang dimaksud B2 adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak
langsung, yang mempunyai sifat racun
(toksisitas), karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Zat berbahaya umum juga disebut dengan zat adiktif, yaitu obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi terhambat. Dalam hal ini, penggunaan zat tambahan dalam produk pangan pun menimbulkan beberapa dampak yang mengganggu sistem kerja organ tubuh dalam proses metabolisme, sehingga zat tambahan tersebut termasuk adiktif. Aturan resmi awal yang dimiliki pemerintah Indonesia terkait B2 tercatat dalam Staatblad Nomor 377 tahun 1949. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa B2 adalah obat-obat disinfeksi, obat-obat pembersihan atau obat-obat pemusnahan, serta bahan-bahan yang bersifat racun dengan berkomposisi yang berbahaya terhadap kesehatan manusia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan, dan pemakaian sendiri bahan-bahan berbahaya tersebut dilarang, kecuali dengan izin dari pihak yang berwenang. Pada tahun 1985, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 yang mengatur tentang zat pewarna tertentu yang dinyatakan sebagai B2 dan dilarang penggunaannya dalam obat, makanan, dan kosmetik, karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Dalam aturan tersebut disebutkan 30 zat pewarna yang dianggap sebagai B2, salah satunya adalah Rhodamin-B. Sebelumnya pada tahun 1979, Menteri Kesehatan RI juga mengeluarkan peraturan terkait bahan tambahan makanan (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 235/Menkes/Per/VI/79), yang kemudian digantikan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai bahan tambahan makanan yang dilarang dan digolongkan sebagai B2. Aturan mengenai bahan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
6
tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2 ini kemudian diperbaharui melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 Tentang
Perubahan
Atas
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan.Dari sepuluh bahan tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2, dua diantaranya adalah
Asam
Borat
(Borat
Acid)
beserta
senyawanya
dan
Formalin
(Formaldehyde). Saat ini, aturan terkait B2 (berkaitan dengan pengadaan, distribusi, dan pengawasannya) mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor
23/M-DAG/PER/9/2011.
Dalam
aturan
tersebut,
B2
didefinisikan sebagai: zat, bahan kima dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. (Pasal 1 ayat 1) Lebih lanjut dalam peraturan tersebut disebutkan jenis-jenis bahan berbahaya yang diatur
impornya serta distribusi dan pengawasannya. Dalam
pasal 2 ayat 2 peraturan menteri tersebut disebutkan bahwa peninjauan terhadap jenis-jenis B2 dapat terus dilakukan sesuai dengan perkembangannya. Bahan berbahaya dikenal juga dengan istilah hazardous materials (HAZMAT) atau hazardous substances atau dangerous goods di kalangan internasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) mengeluarkan suatu rekomendasi terkait praktek pengangkutan bahan-bahan berbahaya yang lebih dikenal dengan nama UN Recommendations on the Transport of Dangerous Goods. Dalam rekomendasi tersebut dijelaskan bahwa B2 adalah zat (termasuk campuran dan larutan) dan barang-barang yang tergolong ke dalam salah satu dari sembilan kelas bahaya yang ditimbulkan atau bahaya yang paling utama yang ditimbulkan (Tabel 2.1).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
7
Tabel
2.1.
Kelas dan divisi bahan berbahaya berdasarkan UN Recommendations on the Transport of Dangerous Goods Kelas
Divisi
1. Bahan peledak
2. Gas
3. Cairan mudah terbakar (flammable liquids) 4. Benda padat yang mudah terbakar; zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar; zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar
5. Zat teroksidasi dan peroksida organic 6. Zat beracun dan menyebabkan infeksi 7. Material radioaktif 8. Zat yang bersifat korosif 9. Zat dan bahan berbahaya lainnya, termasuk zat yang berbahaya bagi lingkungan Sumber: ECOSOC (2002)
Departemen
1.1: Zat dan barang yang memiliki bahaya ledakan besar 1.2: Zat dan barang yang memiliki bahaya proyeksi, namun bukan bahaya ledakan besar 1.3: Zat dan bahan yang bisa menimbulkan api dan juga bahaya ledakan kecil atau bahaya proyeksi kecil atau keduanya, tapi tidak memiliki bahaya ledakan besar 1.4: Zat dan barang yang tidak menimbulkan bahaya signifikan 1.5: Barang yang sangat tidak sensitif, namun memiliki bahaya ledakan besar 1.6: Barang yang sangat tidak sensitif serta tidak memiliki bahaya ledakan besar 2.1: Gas mudah terbakar 2.2: Gas tidak mudah terbakar dan tidak beracun 2.3: Gas beracun 4.1: Benda padat yang mudah terbakar, zat yang bisa berekasi sendiri, dan benda padat yang bersifat desentized explosives 4.2: Zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar (spontaneous combustion) 4.3: Zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar 5.1: Zat teroksidasi 5.2: Peroksida organic 6.1: Zat beracun 6.2: Zat yang menyebabkan infeksi -
Transportasi Amerika
Serikat
yang
berwenang
untuk
mengatur regulasi terkait pengangkutan bahan berbahaya di negara tersebut, mengacu pada rekomendasi PBB dalam mendefinisikan B2. Bahan berbahaya atau hazardous material adalah segala zat yang kemungkinan memiliki resiko berbahaya terhadap kesehatan dan keamanan personel operasional atau personel darurat, masyarakat umum, dan/atau lingkungan jika tidak dikontrol dengan
baik
selama
proses
perlakuan,
penyimpanan,
manufakturing,
pemrosesan, pengemasan, penggunaan, pembuangan, atau pengangkutan. Seperti halnya rekomendasi PBB, Departemen Transportasi AS mengelompokan Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
8
B2 ke dalam sembilan kelas. Selain Amerika Serikat, sejumlah negara lain yang turut mengadaptasi rekomendasi PBB dalam menyusun aturan pengangkutan bahan berbahaya adalah Inggris, Australia, New Zealand, dan Malaysia. Sementara itu, dalam rangka melindungi konsumen (terutama keluarga dan anak) dari banyaknya risiko bahaya dan kecelakaan akibat produk-produk konsumen, pemerintah Amerika mengesahkan undang-undang terkait bahan berbahaya yang dikenal dengan nama Federal Hazardous Act (pertama kali disahkan pada tahun 1960). Dalam aturan tersebut, bahan berbahaya (hazardous substance) didefinisikan menjadi lima kelompok: a. Pertama, bahan berbahaya adalah semua zat yang sifatnya (i) beracun, (ii) korosif, (iii) menimbulkan iritasi, (iv) sensitizer yang kuat, (v) bahan dan cairan yang mudah terbakar, (vi) zat yang menimbulkan tekanan akibat dekomposisi, panas, atau cara lainnya, (vii) serta bahan-bahan lain atau campuran bahanbahan yang bisa menimbulkan kecelakaan atau penyakit serius saat digunakan, termasuk bila tercerna oleh anak-anak. b. Kedua adalah zat yang menurut United States Consumer Product Safety Commission (US CPSC) termasuk ke dalam salah satu kategori yang disebutkan pada definisi pertama sebelumnya. c. Ketiga, setiap zat radioaktif yang termasuk kelas barang tertentu atau sebagai kemasan, yang ditetapkan berbahaya oleh CPSC, maka wajib menyampaikan hal tersebut dalam pelabelannya demi melindungi kesehatan publik. d. Keempat, setiap mainan atau barang-barang lainnya yang diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki bahaya listrik, mekanis, dan panas. e. Kelima, setiap solder dengan kandungan timbal melebihi 0.2 persen. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa istilah hazardous substance tersebut tidak meliputi pestisida
(sudah
diatur
Federal
Insecticide,
Fungicide,
and
Reodenticide Act) serta makanan, obat-obatan, dan kosmetik (sudah diatur dalam Federal Food, Drug, and Cosmetic Act). Definisi yang dijelaskan dalam Federal Hazardous Substaces Act (FHSA) terkait B2 tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan definisi B2 dalam Peraturan Menteri Perdagangan yang telah disebutkan sebelumnya. Namun secara lebih terinci, FHSA memberikan penjelasan terkait masing-masing sifat dari B2 (Tabel 2.2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
9
Tabel 2.2. Penjelasan masing-masing sifat bahan berbahaya yang tertulis dalam Federal Hazardous Substances Act Sifat Bahan Berbahaya Beracun
Sangat beracun
Korosif
Menyebabkan iritasi
Strong sensitizer
Cairan mudah terbakar (combustible) Zat radioaktif Sumber: FHSA (2007)
Definisi Setiap zat (selain bahan readioaktif) yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan cedera dan sakit pada individu bila dicerna, dihirup, atau masuk ke dalam tubuh melalui bagian tubuh manapun a) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut secara oral pada dosis 15 mg atau kurang per kilogram masa tubuh b) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut untuk dihirup secara terus menerus selama satu jam atau kurang pada tekanan udara normal c) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok kelinci laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dalam rentang 14 hari ketika kontak langsung dengan kulit selama 24 jam atau kurang Setiap zat yang bila bersentuhan langsung dengan jaringan hidup akan menyebabkan kerusakan jaringan tersebut melalui reaksi kimia Setiap zat yang tidak bersifat korosif, namun dalam seketika, menengah, jangka panjang, atau kontak berulang kali dengan jaringan hidup yang normal akan menyebabkan reaksi radang atau iritasi (inflammatory) Suatu zat yang akan memberi dampak terhadap jaringan hidup yang normal melalui efek alergi atau proses fotodinamik Setiap cairan yang memiliki flash point diatas 80 derajat Fahrenheit Zat yang memancarkan radiasi ionisasi
2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya Salah satu penyalahgunaan bahan berbahaya yang umum terjadi dan menjadi sorotan berbagai pihak adalah penggunaan B2 sebagai bahan tambahan dalam produk pangan. Sejumlah bahan berbahaya dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mengawetkan produk pangan (Formalin dan Boraks), meningkatkan kualitas fisik (Boraksuntuk kekenyalan), dan juga sebagai pewarna (Rhodamin-B). Formalin,
Boraks,
dan
Rhodamin-B
digolongkan
sebagai
bahan
berbahaya karena berdampak negatif terhadap kesehatan bila dikonsumsi oleh konsumen. Dampak negatif penggunaan Formalin dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker, selain itu Formalin juga dikaitkan dengan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
10
inflamasi dan keracunan pada saluran pencernaan pada jangka pendek (EPA 2007). Sementara itu, penggunaan Boraks dalam jangka pendek dapat menyebabkan gangguan, seperti demam, sakit kepala, dan muntah. Sementara dalam penggunaan jangka panjang, konsumsi Boraks dapat menyebabkan gagal ginjal dan berujung pada kematian (CDC, 2010). Walaupun belum ada penelitian yang cukup mendukung terkait konsumsi Rhodamin-B dengan kanker pada manusia, namun penelitian pada hewan menunjukkan bahwa zat ini bersifat karsinogenik. Dalam laporan kinerja kuartal I tahun 2012, BPOM menyebutkan, dari 9.071 sampel produk makanan yang diuji, sekitar 854 diantaranya masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat (TMS). Sekitar 144 TMS formalin, 223 TMS boraks, dan 290 TMS Rhodamin B (BPOM, 2012). Anak-anak
menjadi
korban
paling
potensial
terkait
praktek
penyalahgunaan B2 dalam makanan. Hasil penelitian Andarwulan et al. (2009) mengenai keamanan jajanan anak sekolah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 12,9 persen jajanan yang diuji, positif mengandung Formalin dan 9,7 persen mengandung Boraks, sementara 2,2 persen makanan ringan yang diuji, positif mengandung pewarna Rhodamin B. Sementara itu, penelitian Punvanti et al. (2009) di 12 sekolah di Surakarta menunjukkan bahwa sekitar 49 persen jajanan anak sekolah yang diuji mengandung formalin. Penyalahgunaan B2 dalam produk makanan bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga umum terjadi di negara-negara berkembang. Shashi Sareen dalam pemaparannya pada acara Food Security Conference tahun 2011 menyoroti permasalahan keamanan pangan di wilayah ASEAN. Salah satu isu yang paling mengemuka adalah masalah residual dan kontaminan pada makanan akibat pestisida, logam berat, dan zat kimia berbahaya. Setiap negara memiliki faktor-faktor risiko utama berkaitan dengan keamanan pangan, diantaranya penggunaan formalin pada produk tahu dan mie serta pewarna berbahaya pada jajanan jalanan di Indonesia, penggunaan Boraks dan pewarna pada produk mie di Malaysia, dan penggunaan Boraks pada produk daging dan olahannya serta ikan di Kamboja. Penggunaan formalin untuk produk perikanan juga menjadi fokus tersendiri di Bangladesh. Penelitian pada tahun 2010 di sejumlah pusat perbelanjaan di negara tersebut menunjukkan bahwa 42 persen dari 100 sampel ikan yang diteliti mengandung formalin; sementara penelitian pada tahun 2012 di
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
11
lima pasar tradisional mengungkap bahwa terdapat sekitar 17 persen sampel ikan yang mengandung formalin (Sabet 2012). Konsumen di negara berkembang cenderung menginginkan produk (terutama makanan) dalam kuantitas yang besar dengan harga yang relatif lebih murah. Adanya sikap tersebut ditambah dengan pengetahuan konsumen yang kurang dan semakin diperparah dengan keberadaan sejumlah pelaku usaha yang menginginkan keuntungan yang lebih melalui cara-cara yang tidak fair. Hasil penelitian Wikanta (2010) di Surabaya menunjukkan bahwa hampir seluruh responden menyetujui jika formalin merupakan bahan yang berbahaya dan harus dilarang untuk pengawetan makanan. Namun, sekitat 72 persen responden mengaku tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi kandungan formalin dalam makanan. Hal tersebut diakui responden karena minimnya pengetahuan penggunaan formalin dan B2 lainnya. Sementara itu dari sisi kebijakan, maraknya kasus penyalahgunaan formalin pada produk makanan di Bangladesh dianggap sebagai kegagalan pasar. Kegagalan tersebut sebagai buntut dari tidak efektifnya pemerintah dalam menjalankan tugas sebagai regulator (Sebet 2012). Senada dengan penjelasan tersebut, Chuangchote (2003) menyatakan bahwa tidak adanya harmonisasi antar pihak yang berwenang dalam menangani masalahan keamanan pangan di Thailand, menjadi salah satu pokok permasalahan. 2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia Secara teknis, Formalin (HS 2912.11.00.00) merupakan larutan yang tidak berwarna dengan bau yang sangat tajam. Di dalam formalin terkandung sekitar 37persen formaldehyde dalam air sebagai pelarut. Biasanya di dalam formalin juga terdapat bahan tambahan berupa methanol hingga 15 persen sebagai pengawet. Formalin dikenal luas sebagai bahan antimikrobial atau pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Sementara Boraks ( HS 2840.19.00.00) merupakan senyawa kimia dengan nama Natrium Tetraborat yang berbentuk kristal lunak. Boraks bila dilarutkan dalam air akan terurai menjadi natrium hidroksida serta asam borat. Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Secara lokal boraks dikenal sebagai 'bleng' dengan bentuk larutan atau padatan. Sedangkan Rhodamin B (HS 3204.13.00.00) atau yang
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
12
biasa dikenal dengan pewarna buatan adalah senyawa kimia yang bersifat toksik dan karsinogenik atau dapat memicu kanker. Pengadaan dan distribusi B2 diatur dalam Permendag Nomor:23/MDAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa segala bentuk zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi diatur pengadaan dan distribusinya secara ketat oleh pemerintah. Secara jelas disebutkan bahwa importir, distributor, pengecer, dan perusahaan pengguna akhir harus memiliki izin dari instansi yang berwenang sehingga peredaran B2 tidak bisa dilakukan secara bebas. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha B2 meliputi Produsen (P-B2), importir Terdaftar (IT-B2), Importir Produsen Terdaftar (IP-B2), Distributor Terdaftar (DT-B2), Pengecer Terdaftar (PT-B2), dan Pengguna Akhir Terdaftar (PA-B2). Dalam mekanismenya, IT-B2 mengimpor formalin untuk kemudian mendistribusikannya kepada pengguna akhir dalam hal ini pengguna yang membutuhkan formalin sebagai bahan baku industrinya, yaitu kepada DTB2, PT-B2, dan PA-B2 . Perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 berdasarkan Permendag
44/M-Dag/Per/9/2009
adalah
PT
Perusahaan
Perdagangan
Indonesia (PPI). Sementara IP-B2 mengimpor formalin untuk digunakan sendiri sebagai bahan baku industrinya dan hanya diperuntukkan bagi kebutuhan produksinya sendiri serta tidak dapat diperjual-belikan maupun dipindahtangankan.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
13
Gambar 2.1. Alur Distribusi B2 Sumber: Kementerian Perdagangan (2012)
Pengaturan tataniaga B2 tidak menjamin keamanan distribusi B2 di pasaran karena diindikasikan sekitar 3-4 persen dari produksi B2 (formalin) masuk ke pasar konsumen, terutama industri makanan skala kecil. Kebocoran formalin ke pasar konsumen dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti pemanfaatan kelebihan produksi, ketidakpastian biaya usaha penyimpanan di sektor usaha kecil (UKM) dan lemahnya pengawasan. Dari sisi hulu, P-B2 merupakan produsen yang tidak hanya memproduksi formalin, melainkan beberapa produk turunan seperti perekat. Namun, P-B2 bisa menyalurkan produknya ke distributor jika terdapat kelebihan produksi formalin yang tidak terpakai. Di sektor UKM, insiden kenaikan BBM dinilai dapat memicu penyalahgunaan formalin karena naiknya biaya produksi es untuk penyimpanan produk (Media, Industri 2006). Pada tahun 2005, hanya terdapat 2 (dua) perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai IP-B2 adalah PT Chang Chun DPN Chemical Industry dan PT Resource Alam Indonesia. Sementara pada tahun 2012 terdapat 20 perusahaan yang diakui sebagai IP-B2 seperti pada Tabel 2.3.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
14
Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia, 2012 IP-B2
Kapasitas Produksi (Ton)
PT Arjuna Utama Kimia
23.000
PT Pamolite Adhesive Industry
36.000
PT Superin
36.000
PT Lakosta Indah
28.000
PT Dyno Mugi Indonesia
29.400
PT Batu Penggal Chemical Industry
28.000
PT Kurnia Kapuas Utama Glue Industry
38.000
PT Intan Wijaya Chemical Industry
61.500
PT Dofer Chemical
60.000
PT Sabak Indah
72.000
PT Duta Pertiwi Nusantara
50.000
PT Kayulapis Indonesia (Jateng)
20.000
PT Gelora Citra Kimia Abadi
48.000
PT Kayulapis Indonesia (Irja),
40.000
PT Duta Rendra Mulia
33.500
PT Binajaya Roda Karya
45.000
PT Perawang Perkasa Industry
48.000
PT Belawandeli Chemical
30.000
PT Putra Sumber Kimindo
45.000
PT Orica Resindo Mahakam
35.000
Sumber: Kementerian Perindustrian (2012)
Sementara untuk produksi dalam negeri, produk B2 yang umum diperdagangkan adalah formalin yang dijual dalam berbagai merek seperti formol, morbicid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene, methylene aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan, methylene glycol, paraforin, polyxymethylene glycols, superlysoform, tetraoxymethylene dan rioxane. Kapasitas produksi formalin dalam negeri mencapai 800 ribu ton per tahun namun utilisasinya baru mencapai 40persen atau sekitar 350 ribu ton per tahun. Beberapa Produsen B2 (P-B2) yang terdaftar pada tahun 2005 antara lain PT Resource Alam Indonesia, PT Arjuna Kimia, PT Armolaid, PT Sprint, PT Dino Jaya, PT Dover, PT Uporin, PT Lakobin dan PT Intan Injaya (Media, Industri 2006).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
15
2.4. Hasil Pengawasan B2 Berdasarkan
pengawasan
yang
dilakukan
oleh
instansi
terkait
menunjukkan banyak terjadi permasalahan dalam perdagangan B2. Salah satunya adalah pelaku usaha mengalami kendala untuk memperoleh SIUP B2 dikarenakan belum terbentuknya tim terpadu di daerah yang bertugas memberikan rekomendasi untuk penerbitas SIUP B2. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya perdagangan B2 secara ilegal. Di dalam Permendag
diatur
sanksi
pencabutan
ijin
bagi
pelaku
usaha
yang
memperdagangkan B2 secara ilegal. Namun pada kenyataan sanksi tidak dapat diterapkan dikarenakan pelaku usaha yang memperdagangan B2 tidak memiliki ijin atau kesulitan memperoleh ijin sehingga sanksi yang diberikan hanya BRO (menjalankan usaha tanpa ijin) atau teguran lisan saja. Permasalah lain adalah pengelompokan B2, B3 (barang berbahaya dan beracun), dan bahan kimia biasa yang kurang jelas sehinggga diperlukan penjelasan secara rinci terkait definisi yang tepat (bentuk, warna, sifat, dan lain-lain). Hasil pengawasan juga menemukan masih banyak tempat penjualan B2 yang melakukan pengemasan ulang (re-package) yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai contoh: minimum kemasan untuk formalin 10 liter, sementara kebutuhan untuk kremasi hanya 2 liter, sisanya 8 liter tidak jelas penggunaannya. Menurut Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009, yang diperbolehkan untuk melakukan kemas ulang hanya distributor dan importir. 2.5. Best Practices Pengaturan B2 di Beberapa Negara 2.5.1
Amerika Serikat Beberapa negara juga menerapkan aturan ketat terkait dengan pengadaan,
produksi, dan pendistribusian
B2. Salah satu negara yang menjadi rujukan
pengawasan B2 adalah Amerika Serikat, mengingat Amerika Serikat merupakan negara yang menerapkan kebijakan yang komprehensif terkait B2. Cahya et al (2012)
menjelaskan
bahwa
dalam
pengaturannya,
Pemerintah
Amerika
mengelompokkan pengawasan di sisi produksi, distribusi, dan petuntukannya. Produksi Dalam
pengaturan
B2
seperti
pewarna,
FDA
(Food
and
Drug
Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat) merupakan pihak yang berwenang dalam mengatur penggunaan bahan pewarna dalam makanan dan suplemen makanan, obat-obatan, kosmetik, dan alat-alat
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
16
medis. Bahan pewarna hanya boleh digunakan sesuai dengan jenis penggunaan yang telah disetujui, termasuk spesifikasinya serta batasan penggunaannya. FDA (Food and Drug Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat) membedakan bahan pewarna ke dalam dua golongan, yaitu golongan bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi dan golongan bahan pewarna
yang
dikecualikan
dari
sertifikasi
(tidak
memerlukan
sertifikasi/dibebaskan dari sertifikasi). Dalam proses sertifikasi, FDA mengevaluasi data keamanan pemakaian untuk memastikan bahwa bahan pewarna yang digunakan telah sesuai dengan persetujuan
yang
dikeluarkan.
Bahan
pewarna
tambahan
yang
dapat
membahayakan hewan, manusia, dan lingkungan tidak dapat digunakan dalam produk yang dijual di pasar umum. Dalam menjamin keamanan bahan pewarna yang digunakan dalam makanan, obat, kosmetik, dan alat medis yang dijual di pasaran, FDA mewajibkan mewajibkan batch sertifikasi untuk semua bahan pewarna yang tercantum dalam 21 CFR bagian 74 dan 21 CFR bagian 82. Sementara pengecualian kewajiban batch sertifikasi diberlakukan bagi bahan pewarna yang tercantum dalam 21 CFR 73. Berkaitan dengan hal tersebut, bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi adalah pewarna sintetik yang diproduksi melalui reaksi kimia. Bahan pewarna golongan ini harus diuji kemurniannya melalui sertifikasi setiap batch-nya, sebelum mendapat izin untuk dijual ke pasar. Dalam implementasinya, produsen bahan pewarna mengirimkan contoh dari batch yang akan disertifikasi oleh FDA untuk dianalisis komposisi dan kemurniannya. Jika memenuhi persyaratan, maka FDA akan megeluarkan sertifikat dengan kode nomornya dan diberikan nama baru sesuai dengan penggunaannya. Berdasarkan Federal Food, Drug & Cosmetic (FD & C) Act of 1938, FDA menetapkan tiga kategori sertifikasi bahan pewarna, yaitu: a. FD & C untuk makanan, obat dan kosmetika b. D & C untuk obat-obatan dan kosmetika c. External D & C untuk obat-obatan dan Kosmetika untuk pemakaian luar. Menurut Nutrition Labeling & Education Act tahun 1990, bahan pewarna bersertifikat tersebut harus dicantumkan dalam penandaan atau label dengan menggunakan nama yang umum digunakan. itu, menurut Cahya et al (2012), bahan tambahan pewarna dapat dikecualikan dari sertifikasi jika diperoleh dari tanaman atau bahan mineral, seperti: Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
17
a. Bahan pewarna alami (natural color). Dalam implementasinya, FDA menyerahkan
sepenuhnya kepada produsen untuk menjelaskan bahwa
bahan pewarna produksinya adalah bahan pewarna alami. b. Bahan pewarna identik alami (natural identical color) yaitu bahan pewarna yang diproduksi melalui sintesis kimia, namun tidak diwajibkan sertifikasi oleh FDA karena dianggap tidak dapat dibedakan dengan bahan pewarna asli yang diperoleh dari alam, baik perbedaan secara kimia maupun perbedaan fungsi pemakaiannya. Beberapa contoh bahan pewarna tersebut antara lain: Beta-carotene yang dibuat secara sintetik dari acetone tidak dapat dibedakan dengan bahan pewarna Beta-carotene yang diperoleh dari alam seperti wortel. Distribusi B2 Pengaturan distribusi B2 tidak terpisah dari pengaturan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang meliputi limbah B3 dan produk B3. Namun terlihat bahwa pengaturan limbah B3 terkesan lebih ketat dibandingkan pengaturan B3, karena pengaturan B3 sudah dilaksanakan sejak lama, dan menjadi standar baku secara universal, khususnya dalam menangani bahan kimia dan bahan bakar. Damanhuri (2009) menjelaskan bahwa transportasi B2 di Amerika Serikat diatur dalam Hazardous Materials Transportation Act
yang menjadi wewenang
Kementerian Transportasi (US Department of Transportation). Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa distribusi B2 harus dilengkapi dengan dokumen resmi yang merupakan legalitas kegiatan pengelolaan, sehingga dokumen ini akan merupakan sarana atau alat pengawasan dalam konsep cradle-to-grave. Dalam istilah umum, dokumen tersebut dikenal sebagai shipping papers yang antara lain terdiri dari: a. Bagian yang harus diisi oleh penghasil atau pengumpul limbah B3, antara lain berisi: Nama dan alamat penghasil atau
pengumpul limbah
B3
yang
menyerahkan limbah B3 Nomor identifikasi (identification number) UN/NA Kelompok kemasan (packing group), Kuantitas (berat, volume dan sebagainya) Kelas „bahaya‟ dari bahan itu (hazard class), Tanggal penyerahan limbah
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
18
Tanda tangan pejabat penghasil atau pengumpul, dilengkapi tanggal, untuk menyatakan bahwa limbahnya telah sesuai dengan keterangan yang ditulis serta telah dikemas sesuai peraturan yang berlaku. Bila pengisi dokumen adalah pengumpul yang berbeda dengan penghasil, maka dokumen tersebut dilengkapi dengan salinan penyerahan limbah tersebut dari penghasil limbah. b. Bagian yang harus diisi oleh pengangkut limbah B3, antara lain berisi: Nama dan alamat pengangkut limbah B3 Tanggal pengangkutan limbah Tanda tangan pejabat pengangkut limbah c. Bagian yang harus diisi oleh pengolah, pengumpul atau pemanfaat limbah B3, antara lain berisi: Nama dan alamat pengolah atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3 Tanda tangan pejabat pengolah, pengumpul atau pemanfaaat, dilengkapi tanggal, untuk menyatakan bahwa limbah yang diterima sesuai dengan keterangan dari penghasil dan akan diproses sesuai peraturan yang berlaku Jenis limbah dan jumlahnya Alasan penolakan Tanda
tangan
pejabat
pengolah
atau
pemanfaat
dan
tanggal
pengembalian d. Apabila limbah yang diterima ternyata tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat, maka limbah tersebut dikembalikan kepada penghasil, disertai keterangan
bahwa
surat-surat
dokumentasi
pengangkutan
tersebut
ditempatkan di kendaraan angkut sedemikian rupa sehingga mudah didapat dan tidak tercampur dengan surat-surat lain. Penghasil limbah B3 akan menerima kembali dokumen limbah B3 tersebut dari pengumpul atau pengolah paling lambat dalam 120 hari sejak limbah tersebut diangkut untuk dibawa ke pengumpul atau pengolah. 1.5.2 Thailand Pengawasan peredaran
B2
di Thailand diatur dalam undang-undang
Kerajaan Thailand tahun 2535 BE (1991 M) yang ditetapkan oleh Raja Bhumibiiol Adulyadej Rex tanggal 29 Maret 2535 BE (1991 M).
Dalam UU tersebut
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bahan berbahaya (B2) mencakup
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
19
berbagai bahan, yaitu: (1) bahan eksplosif, (2) bahan mudah terbakar (flammable), (3) peroksida dan agen oksidising (oxidizing agent), (4) bahan toksik, (5) bahan penyebab penyakit, (6) bahan radioaktif, (7) bahan penyebab mutant, (8) bahan korosif, (9) bahan iritatif, dan (10) bahan lainnya baik kimia ataupun lainnya yang menyebabkan bahaya bagi manusia, hewan, tanaman, property, atau lingkungan. Dalam UU tersebut pasal 6, dibentuk sebuah komite yang disebut Committee on Hazardous Subtance yang terdiri dari: sekretaris tetap dari Kementerian
Industri
sebagai
Ketua
Komite,
Direktorat
Jenderal
pada
Departemen Perdagangan dalam Negeri, Direktorat Jenderal pada Departemen Pelayanan Kesehatan, Direktorat Jenderal pada Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal pada Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal pada Departemen Penyuluhan Pertanian, Sekretaris Jenderal dari Badan Lingkungan Nasional, Sekretaris Jenderal dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Sekretaris Jenderal dari Kantor Tenaga Atom untuk Perdamaian, Sekretaris Jenderal dari Kantor Lembaga Standardisasi Industri dan perwakilan dari Kementerian Pertahanan, serta tidak lebih dari tujuh orang tenaga ahli (pakar) yang ditugaskan oleh Kabinet. Ketujuh tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kabinet harus memiliki ekpertise, bekerja, dan memiliki pengalaman dalam bidang cabang ilmu kimia, sains, rekayasa, ilmu pertanian, atau hukum, dan paling tidak dua di antaranya yanag ditunjuk bekerja pada lembaga yang memiliki kepentingan dalam perlindungan kesehatan atau lingkungan. Sekretariat dari Komisi Bahan Berbahaya ini bekerja di bawah kontrol, dukungan, dan pengawasan dari menteri-menteri terkait, yaitu Menteri Pertanahan, Menteri Pertanian dan Koperasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan Publik, Menteri Sains, Teknologi, dan Lingkungan, serta Menteri Perindustrian. Secara umum, kewenangan dan tugas dari Komisi Bahan Berbahaya ini adalah untuk memberikan pendapat, nasehat dan pertimbangan kepada kementerian perindustrian dan/atau instansi lainnya terkait produksi, impor, ekspor dan kepemilikan jenis-jenis B2, penyediaan informasi, pendaftaran dan penerbitan ijin, pengawasan, dan hal-hal lain terkait dengan B2 yang sesuai dengan tugas dan kewenangan sesuai dengan undang-undang. Keberadaan komisi ini tentunya lebih bersifat pemberian nasehat dan pertimbangan kepada kementerian atau lembaga terkait sebagai pelaksana di lapang. Sebagai contoh, Kementerian Perindustrian dengan pertimbangan dari Komisi B2 harus
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
20
menerbitkan dalam lembaran negara secara jelas daftar B2 yang dalam proses produksinya dan sifatnya dapat menyebabkan kecelakaan yang membahayakan. Bahan berbahaya dikelompokkan dalam 4 (empat) jenis, yaitu (1) B2 yang produksi, impor, ekspor atau kepemilikannya harus memenuhi criteria dan prosedur spesifik; (2) B2 yang produksi, impor, ekspor atau kepemilikkannya harus sebelumnya diberitahukan kepada instansi berwenang dan harus memenuhi criteria dan prosedur spesifik; (3) B2 yang produksi, impor, ekspor, atau kepemilikannya harus mendapatkan ijin; dan (4) B2 yang produksi, impor, ekspor, atau kepemilikannya dilarang.
Kementerian Perindustrian dengan
pertimbangan dari Komisi Bahan Berbahaya memiliki kewenangan untuk mempublikasikan dalam lembaran negara mengenai nama-nama atau kualifikasi dan jenis bahan berbahaya, cara mendapatkan ijin dan lembaga yang bertanggungjawab dalam pengawasannya.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
21
BAB III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 dewasa ini semakin meningkat baik jenis maupun jumlahnya serta mudah diperoleh di pasaran. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi penyalahgunaan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan, keamanan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhantumbuhan serta lingkungan hidup. Sebagai upaya untuk meningkatkan pencegahan penyalahgunaan B2, diperlukan kebijakan yang berkaitan dengan aspek pengadaan, pengedaran, penjualan dan pengawasan bahan berbahaya yang berasal dari dalam negeri dan impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut pemerintah menetapkan Peraturan Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya dan dirubahn dengan Pemendag Nomor 23/MDag/Per/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009. Berdasarkan kedua Permendag ini dan ketentuan peraturan turunannya, dilakukan pengaturan pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya. Namun demikian, ada indikasi bahwa pelaksanaan ketentuan peraturan ini belum bisa menjamin sepenuhnya pengurangan penyalahgunaan bahan berbahaya, khususnya Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B untuk pangan. Penyalahgunaan B2 untuk keperluan pangan berkaitan dengan aspek ketersediaan dan aspek permintaan. Kemudahan untuk mendapatkan B2 yang murah untuk keperluan industri pangan, khususnya industri mikro dan kecil, ada kaitannya dengan sistem pengadaan dan distribusi yang masih memiliki kelemahan. Pengawasan terkait dengan pengadaan dan distribusi B2 masih belum bisa dilaksanakan secara efektif, karena sistem pengadaan dan distribusi yang masih kurang baik, serta tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam melaporkan jumlah pengadaan dan penjualannya yang masih relatif rendah. Sementara itu, industri pangan terdorong untuk menggunakan B2 secara ilegal karena harga yang relatif terjangkau dan ketidakpedulian akan dampak buruk penggunaan dan konsumsi bahan pangan yang mengandung B2. Pengguna akhir lebih mementingkan keuntungan dan kurang mengindahkan dampak kesehatan dan keselamatan konsumennya. Berkembangannya perdagangan B2 dewasa ini mendorong diperlukannya revisi peraturan yang ada dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
22
pengadaan, distribusi dan pengawasan B2, serta memperkecil kemungkinan penggunaan B2 untuk keperluan yang tidak semestinya. Dengan menggunakan Regulatory Impact Anaysis (RIA) yang menganalisis dampak Sosial Ekonomi dan Kelembagaan dan dampak Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan serta melihat manfaat dan Biaya Langsung diharapkan menghasilkann rekomendasi kebijakan B2 yang lebih komprehensif (Gambar 3.1). pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 terus meningka serta mudah diperoleh di pasaran; penyalahgunaan peruntukan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap K3L
Permendag No.44/M-DAG/PER/9/2009 PENGADAAN
DISTRIBUSI
PENGGUNAAN
PENGAWASAN
EVALUASI PERMENDAG
RIA
RIA
REKOMENDASI KEBIJAKAN B2 Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
3.2 Lokasi Kajian dan Responden Untuk
menggali
data
dan
informasi
tentang
pengadaan,
pendistribusian dan pengawasan B2 dilakukan survey kepada pelaku usaha dan instansi yang terkait. Lokasi kajian dilakukan di Medan, Surabaya, Makassar dengan pertimbangan daerah-daerah tersebut merupakan pusat distribusi, perdagangan dan industri B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
23
Selanjutnya, pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti teknik snowball dengan menelusuri simpul pemasaran mulai dari pelaku sampai simpul ke pedagang pengecar dan pengguna akhir B2. 3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam
analisis ini dilakukan dengan cara
survei dan observasi lapangan kepada responden di daerah penelitian dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan serta melakukan wawancara langsung secara mendalam (in depth). Pertanyaan dikembangkan untuk mendalami berbagai hal yang belum tertangkap melalui kuesioner. Selain survey, pengambilan data dan informasi juga akan dilakukan melalui Diskusi Terbatas (konsultasi publik) untuk menggali dan mencari solusi dari permasalahan yang ada dalam penerapan kebijakan pengawasan B2. Dalam Diskusi Terbatas ini akan diundang para pemangku kepentingan yang terkait dengan B2. Metode
yang
digunakan
dalam
penentuan
responden
adalah
purposive sampling (metode pemilihan dengan cara sengaja memilih sampelsampel tertentu karena memilki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki sampel lainnya) pada pelaku usaha yang memperdagangkan Formalin, Boraks dan Rhodamin-B. Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari harga B2 dari setiap simpul pemasaran, biaya pemasaran, jumlah pelaku usaha pada saluran pemasaran dan implementasi Permendag. Data Primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden yaitu produsen, distributor, pengecer, industri pengolahan B2. Data sekunder yang dikumpulkan adalah produksi serta kebijakan terkait komoditas tersebut. Sumber data Sekunder tersebut diperoleh melalui pendekatan Desk Study (review dokumenter) dan data dari instansi yang terkait, seperti BPS, BPOM, Kementerian Perindustrian dan lainnya. 3.4 Metode Analisis Analisis data dan informasi permasalahan terkait kebijakan B2 merupakan bagian penting dari suatu analisis kebijakan. Selanjutnya, analisis kajian ini
menggunakan metode Regulation Impact Analysis (RIA) untuk
mereview Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
24
atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Bappenas (2011) menyatakan bahwa metode RIA merupakan salah satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas suatu kebijakan pemerintah. Metode RIA ini merupakan proses analisis dan pengkomunikasian secara sistematis berbagai aspek dalam penetapan dan pelaksanaan sebuah kebijakan, baik yang berbentuk peraturan maupun non-peraturan, yang sudah ada maupun kebijakan baru. Dalam kajian ini, kebijakan yang akan dianalisis merupakan kebijakan yang sudah ada berupa Peraturan-Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya (Nomor: 44/MDAG/PER/9/2009 dan Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011).
Proses dalam
pelaksanaan metode RIA dijelaskan pada Gambar 3.2.
Identifikasi dan Analisis Masalah
Pengembangan Berbagai Alternatif Kebijakan
Penilaian terhadap Pilihan Alternatif Kebijakan
Pemilihan Kebijakan Terbaik
Konsultasi Stakeholders (Publik)
Penetapan Tujuan
Penyusunan Strategi Implementasi Gambar 3.2. Proses Pelaksanaan Regulatory Impact Assessment (RIA) Sumber: Kementerian PPN/BAPPENAS (2009)
Sebagai suatu proses, pelaksanaan metode RIA dilakukan melalui berbagai tahapan (langkah), yaitu: 1. Identifikasi dan analisis masalah terkait dengan kebijakan Dalam tahapan identifikasi dan analisis masalah ini, pengambil kebijakan diharapkan dapat melihat dengan jelas permasalahan yang sebenarnya
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
25
dihadapi dan hendak dipecahkan dengan melalui penetapan kebijakan. Pada tahap ini, perlu dibedakan antara masalah (problem) dengan gejala (symptom), karena penetapan kebijakan haruslah diarahkan untuk memecahkan masalah, bukan gejalanya. Dengan demikian, kebijakan haruslah menyentuh kepada masalah dan penyebab (akar) masalahnya. 2. Penetapan Tujuan Setelah masalah dan akar masalah teridentifikasi, pengambil kebijakan perlu menetapkan tujuan dari kebijakan yang akan diambil atau telah diambil. Tujuan dari kebijakan ini sangat penting dirumuskan dengan jelas karena akan terkait dengan penilaian terhadap efektivitas suatu kebijakan yang ditetapkan. Efektivitas dari suatu kebijakan menyangkut kepada suatu kondisi apakah kebijakan yang ditetapkan dan diimplementasikan dapat mencapai tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut. 3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan Setelah menetapkan tujuan dengan jelas, langkah selanjutnya adalah mencari berbagai alternatif atau pilihan yang bisa diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk analisis dampak dari suatu kebijakan yang sudah dilakukan, maka alternatif pertama adalah tetap membiarkannya dan tidak melakukan apa-apa (kondisi baseline). Pilihan/alternatif kebijakan harus dapat digali dengan seluas-luasnya dan dengan melibatkan seluruh stakeholders dari berbagai latar belakang dan kepentingan,
sehingga
diperoleh
beragam
alternatif
yang
dipertimbangkan untuk kebijakan. 4. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan Penilaian
terhadap
alternatif
pilihan
kebijakan
dilakukan
dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, seperti legalitas, biaya, dan manfaat. Suatu pilihan kebijakan harus tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karenanya, penilaian pilihan
berdasarkan aspek legalitas ini merupakan awal dalam melakukan penilaian
alternatif
kebijakan.
Terhadap
masing-masing
alternatif
kebijakan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan ini, kemudian dilakukan penilaian biaya dan manfaat. Penilaian biaya dan manfaat ini tidak harus berarti dalam bentuk biaya dan manfaat finansial (yang diukur dengan uang), namun dapat berupa apa dan siapa yang
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
26
terkena atau mendapat dampak (biaya) dan manfaat akibat dari alternatif kebijakan, termasuk pilihan kebijakan tidak melakukan apa-apa.. 5. Pemilihan kebijakan terbaik Pemilihan kebijakan terbaik dilakukan dengan melakukan analisis manfaat dan biaya.
Pada tahap pemilihan kebijakan terbaik dapat
dilakukan berbagai kaidah pemilihan. Namun pada umumnya, pemilihan kebijakan terbaik berdasarkan manfaat bersih, yaitu jumlah semua manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya yang terbesar. 6. Penyusunan strategi implementasi Penerapan suatu kebijakan seperti yang dikemukakan sebelumnya akan memberi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan tidak secara otomatis dapat mencapai tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Oleh karenanya, perlu disusun strategi dalam implementasi sehingga penerapan suatu kebijakan mencapai yang menjadi tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut dan tidak menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. 7. Partisipasi masyarakat di semua proses Pada setiap tahapan dari proses analisis RIA ini harus melibatkan berbagai komponen masyarakat (stakeholders) yang baik secara langsung maupun tidak langsung terdampak oleh suatu kebijakan yang sedang disusun. Dengan melibatkan stakeholders dalam setiap tahapan akan didapat data dan informasi yang akurat dalam mempertimbangkan sebuah kebijakan.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
27
Tabel 3.1. Metodologi dan Analisis Data Tujuan Kajian 1. Gambaran • pelaksanaan Permendag Nomor: 23/MDAG/PER/9/201 1 tentang atas perubahan Permendag Nomor: 44/MDag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2. 2. Mengevaluasi • Permendag Nomor: 23/MDAG/PER/9/201 1 tentang atas perubahan Permendag Nomor: 44/MDag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2. 3. Merumuskan • usulan kebijakan B2
Metode analisis Analisis isi
Data Sekunder: peraturan Menteri Perdagangan
Sumber Kementerian Perdagangan
Output Hasil implementasi Permendag
Metode RIA
Primer: Survey Produsen, importir Informasi dan Diskusi terdaftar (PPI), importir dampak terbatas produsen, distributor, Permendag pengecer dan pengguna akhir, Dinas Perindag, Badan POM, Direktorat Impor, Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, YLKI, BPKN, Asosiasi, dan Surveyor impor B2 Sintesa tujuan Rumusan 1 dan 2 serta usulan hasil diskusi kebijakan B2
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
28
BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA Berdasarkan hasil survey dan pengamatan di lapangan khususnya di Makassar, Medan dan Surabaya dapat dilihat bahwa perdagangan B2 belum dilaksanakan sesuai dengan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Pengamatan terkait pelaksanaan kebijakan perdagangan B2 di lapangan melihat dari tiga aspek yaitu aspek pengadaan, aspek distribusi dan aspek pengawasan yang bertujuan untuk mengevaluasi pelaksaaan Permendag tersebut. 4.1. Aspek Pengadaan Pengadaan B2 dapat dilakukan melalui dua cara yaitu produksi dalam negeri dan importasi. B2 yang diproduksi di dalam negeri dilakukan oleh perusahaan di dalam negeri yang mempunyai Izin Usaha Industri dari Instansi yang berwenang. Sedangkan importasi dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) B2 yang ditetapkan dalam Permendag yaitu PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) (pasal 4 ayat 1) dan Produsen B2 yang mendapatkan pengakuan sebagai Importir Produsen B2 dari Menteri Perdagangan dalam hal ini Dirjen Perdagangan Luar Negeri (pasal 3 ayat 1). Bahan Berbahaya yang diimpor oleh Importir Produsen (IP) B2 hanya untuk kebutuhan proses produksi dan dilarang diperjualbelikan atau diperdagangkan maupun dipindahtangankan ke orang lain (pasal 3 ayat 4). PT. PPI yang ditunjuk pemerintah sebagai IT belum mampu memenuhi kebutuhan distributor dan pengecer. Selama ini PT. PPI melalui Kantor Cabang PPI di daerah lebih banyak menjual B2 langsung kepada pengguna akhir. Sebagai contoh adalah B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari Turki yang dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan bersamaan dengan pupuk. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Selain itu PT.PPI sangat membatasi dan selektif dalam mendistribusikan B2 terutama B2 yang rentan untuk dapat disalahgunakan penggunaannya. Kondisi ini cenderung merugikan pelaku usaha seperti distributor dan pengecer padahal idealnya PT. PPI sebagai satu-satunya importir yang memiliki kewenangan dalam pengadaan B2 seharusnya dapat menyediakan kebutuhan B2 dalam negeri.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
29
Pengadaan B2 oleh perusahaan dalam negeri hanya untuk jenis formalin saja. Selama ini belum ditemukan permasalahan dalam pengadaan karena umumnya produksi formalin
lebih banyak digunakan oleh industri hilir
perusahaan itu sendiri seperti industri kayu lapis dan cat, hanya sebagian kecil saja yang didistribusikan kepada distributor untuk memenuhi kebutuhan Rumah Sakit, Laboratorium Kimia, dan Peternakan. Namun yang perlu dicermati adalah peningkatan kapasitas produksi formalin dalam negeri. Penyalahgunaan formalin yang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan terjadi di tingkat pengecer ke pengguna akhir. Penyalahgunaan itu dilakukan oleh pengecer yang tidak memilki SIUP-B2 dengan cara merubah kemasan menjadi kemasan kecil. Hal ini bertentangan dengan pasal 9 ayat (3) bahwa yang berhak melakukan pengemasan ulang (repacking) adalah IT dan Distributor B2 yang memiliki SIUPB2 baik untuk B2 produksi dalam negeri maupun impor. Kegiatan usaha perdagangan khusus B2 harus dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan B2 (SIUP B2) sebagaimana diatur dalam pasal 10, 11, dan 12. Namun sampai saat ini masih banyak pelaku usaha yang menganggap SIUP umum sudah cukup untuk berdagang B2. Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada pelaku usaha yang enggan mengajukan SIUP B2. Kendala lain yang dihadapi untuk memperoleh SIUP B2 karena belum terbentuknya Tim Terpadu di Tingkat Kab/Kota dan Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Untuk memperoleh SIUP B2 baik pengecer maupun
distributor harus melalui pemeriksaan fisik sarana seperti
tempat penyimpanan, fasilitas pengemasan ulang, dan alat transportasi yang memenuhi K3L yang dilakukan oleh Tim Terpadu Tingkat Kab/Kota dan Tim Terpadu Tingkat Provinsi (pasal 11 ayat (1) dan (2)) Dalam pasal 13 ayat (2), IT B2 dan IP B2 wajib melaporkan realisasi impor kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM paling lambat 15 hari kalender terhitung sejak tanggal B2 tiba di pelabuhan bongkar. IP B2 wajib melaporkan realisasi penggunaan kepada Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, dengan tembusan kepada Dirjen PDN dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Sedangkan IT B2 wajib melaporkan realisasi distribusi ke distributor, pengecer dan penggunan akhir kepada Dirjen PDN dengan tembusan kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
30
Kementerian Perindustrian dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Penyampaian laporan oleh IT B2 dilaksanakan setiap 3 bulan terhitung sejak ditebitkannya penetapan sebagai IT B2 (pasal 13 ayat (6)). Distributor B2, Pengecer B2 dan Pengguna Akhir wajib melaporkan data perolehan dari IT B2 atau Produsen B2 serta pendistribusiannya kepada Dirjen PDN
dengan
tembusan
Dirjen
Industri
Agro
dan
Kimia
Kementerian
Perindustrian, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM dan Kepala Dinas Provinsi setiap triwulan tahun kalender berjalan (pasal 14 ayat (1), (3), (5) dan (7)). Pelaporan dari pelaku usaha belum berjalan dengan baik khususnya dari Pengecer B2 dan Pengguna Akhir. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 juga perlu penyempurnaan seperti laporan tersebut ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas Kesehatan setempat di daerah. Kebutuhan dan peruntukan B2 di daerah tidak diketahui dengan pasti terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini disebabkan
laporan dari pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya
laporan dari pengguna akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi instansi-instansi yang melakukan pengawasan B2 di daerah. 4.2. Aspek Distribusi Pendistribusian B2 adalah penyaluran atau peredaran dan penjualan B2 dari IT B2 dan/atau Produsen B2 kepada Distributor Terdaftar B2, dari Distributor Terdaftar B2 kepada Pengecer Terdaftar B2, dari Pengecer Terdaftar B2 kepada Pengguna Akhir B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2 langsung kepada Pengecer Terdaftar B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2 langsung kepada Pengguna Akhir B2. Distributor Terdaftar B2 kepada Pengecer Terdaftar B2 atau Distributor Terdaftar B2 langsung kepada Pengguna Akhir B2 (pasal 7 ayat (20)). Hal ini menyebabkan sulit untuk melakukan pengawasan B2 terutama di tingkat pengecer ke pengguna akhir karena individu/industri yang tidak memiliki ijin dapat membeli dengan bebas, padahal dalam peraturan diatur bahwa pengguna B2 harus memiliki ijin. Pengaturan
wilayah
distribusi
diperlukan
untuk
mempermudah
pengawasan terhadap distribusi B2. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer menjual B2 langsung kepada perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
31
penggunaan B2 lebih lanjut. Pengecer keberatan jika harus menjual kepada pengguna akhir yang memiliki ijin dengan alasan kesulitan menjual B2. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2 dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar BPOM di Tingkat Provinsi, kebanyakan industri rumah tangga tidak menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti Rhodamin B dan „bleng‟ (garam mengandung pengawet) yang digunakan sebagai pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah. Selain itu juga ada beberapa industri rumah tangga yang mengetahui bahaya penggunaan B2 namun tetap saja menggunakan sebagai bahan tambahan pada makanan. 4.3. Aspek Pengawasan Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan Bahan Berbahaya dan PA-B2 dalam menggunakan/memanfaatkan Bahan Berbahaya dilakukan oleh Kementerian Perdagangan berkoordinasi dengan Kementerian/ Instansi Teknis terkait. IP-B2, IT-B2, P-B2, DT-B2, PT-B2, dan PAB2 wajib memberikan akses dan informasi yang seluas-luasnya mengenai kebenaran pendistribusian B2 kepada Pejabat/Pegawai yang melakukan pengawasan. Pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan B2 meliputi: aspek perizinan/legalitas perusahaan; pendistribusian B2 (jenis, realisasi distribusi, dan stok B2); sarana distribusi
untuk kelancaran pelaksanaan
distribusi B2; peralatan Sistem Tanggap Darurat dan Tenaga Ahli di bidang pengelolaan B2; pelaporan pendistribusian B2; label dan kemasan B2; dan Lembar Data Keamanan (LDK)/Safety Data Sheet (SDS) yang juga meliputi aspek pemanfaatan/penggunaan B2 sesuai dengan peruntukannya. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan pengawasan termasuk B2. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2 yang
tidak mengindahkan peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang
memperdagangkan B2 sulit untuk diterapkan karena pelaku usaha B2 belum memilki SIUP B2. Jika pun ada penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan SIUP umum saja tetapi hal ini sulit untuk dilakukan dengan pertimbanganpertimbangan hukum. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi pemerintah karena Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
32
pelaku usaha yang memiliki SIUP B2 dan yang tidak memiliki SIUP B2 mendapat perlakuan yang sama dalam memperdagangkan B2 sehingga akan mendorong pelaku usaha memperdagangankan B2 tanpa SIUP B2 dengan pertimbangan pembuatan SIUP B2 memerlukan biaya yang tinggi. 4.4. Hasil Survey Di Daerah Penelitian 4.4.1 Makassar Aspek Pengadaan a. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 belum berjalan baik. Di dalam Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 diatur bahwa pelaporan dilakukan per triwulan. Namun sampai saat ini Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Selatan belum pernah menerima laporan dari pelaku usaha B2 termasuk kantor Cabang PPI Makassar. Saat ini hanya ada satu Pengecer B2 yang memiliki SIUP B2 yaitu CV Duta Gemini tetapi pelaporannya tidak rutin per triwulan. CV Duta Gemini memperoleh SIUP B2 sebelum diterbitkannya Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009. Secara umum kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha B2 di Sulawesi Selatan dalam pengajuan SIUP B2 karena belum terbentuknya
Tim
Terpadu
di
Tingkat
Kab/Kota
yang
memberikan
rekomendasi kepada Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Berdasakan informasi dari Dinas Perindag provinsi Sulawesi Selatan ada beberapa pelaku usaha B2 dari Kota Makassar dan Kab Pare-Pare yang mengajukan ijin SIUP B2 namun belum bisa diterbitkan karena kendala tersebut. b. Pelaku usaha “menganggap” SIUP umum sudah cukup untuk menjual B2. Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada pelaku usaha yang enggan mengajukan SIUP B2 karena menganggap SIUP umum saja sudah cukup untuk menjual B2. c. Mekanisme pengadaan B2 oleh Kantor Cabang PPI Makassar. Kantor Cabang PPI Makassar menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks pentahidrat yang dilakukan Kantor Cabang PPI Makassar sebesar 2-3 ton per bulan. Kantor Cabang PPI pernah memberikan rekomendasi ke pengecer B2 yang ada di kota Makassar untuk memperoleh SIUP B2. d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Sulawesi Selatan tidak diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan belum adanya laporan dari pelaku usaha B2. Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
33
Aspek Distribusi a. Pengaturan wilayah distribusi yang tidak diatur. Berdasarkan hasil diskusi diperlukan pengaturan wilayah distribusi untuk mempermudah pengawasan terhadap distribusi B2. b. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Makassar menjual B2 langsung kepada perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut. Pengecer keberatan jika harus menjual kepada pengguna akhir yang memiliki ijin sebagaimana diatur dalam Permendag 44 dengan alasan kesulitan menjual B2. c. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2 dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar BPOM di Provinsi Sulawesi Selatan, kebanyakan industri rumah tangga tidak menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti Rhodamin B yang dikenal dengan nama daerah „kasumba lango-lanngo” dan “bleng (garam mengandung pengawet)” digunakan turun temurun sebagai pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah.
Importir/Produsen (Surabaya) Distributor (Surabaya) Pengecer (Makassar)
Pengguna Akhir: Perkebunan, Apotik, Laboratorium, Toko Kimia, Perorangan Gambar 4.1. Rantai pemasaran B2 di Makassar Sumber: Hasil Survey, 2013
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
34
Aspek Pengawasan a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan pengawasan termasuk B2. b. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2 yang tidak mengindahkan peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang memperdagangkan B2 sulit untuk diterapkan karena pelaku usaha B2 belum memilki SIUP B2. Jika pun ada penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan SIUP umum saja tetapi hal ini sulit untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum. Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di Propinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada beberapa masukan antara lain sebagai berikut: a. Jika Tim Terpadu di tingkat Kab/Kota belum terbentuk perlu diatur di dalam Permendag tentang pelimpahan wewenang kepada Tim Terpadu Provinsi guna menindaklanjuti pengajuan ijin dari pelaku usaha B2. b. Pelaku usaha yang belum memiliki ijin sebaiknya melaporkan perdagangan B2-nya. c. Regulasi yang lebih detail untuk pengguna akhir perorangan (diperlukan identitas lengkap) di dalam Permendag agar
penjualan di hilir dapat
diperketat. d. Pengguna akhir juga harus memberikan laporan penggunaan B2. e. Pengaturan wilayah diperlukan dengan pertimbangan untuk pengawasan pengadaan dan distribusi. f. Pelaporan dilakukan secara on-line untuk mencegah penyalahgunaan B2 di masyarakat. g. Peningkatan kesejahteraan bagi penyidik B2. h. Perlu penerapan sanksi bagi yang tidak melaporkan seperti tidak diberikan SIUP. i. Laporan sebaiknya dilakukan per-bulan tidak per triwulan sebagaimana diatur dalam Permendag 44 dengan pertimbangan B2 merupakan produk yang memiliki dampak berbahaya bagi masyarakat. j. Importir/Distributor jangan langsung mendistribusikan B2 ke pengguna akhir tetapi sebaiknya melalui pengecer B2. Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
35
4.4.2 Medan Aspek Pengadaan a. Dalam survey, aspek pengadaan yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah mekanisme impor B2 oleh Importir Terdaftar (IT-B2) dan produksi B2 oleh Produsen Terdaftar (P-B2). Beberapa catatan antara lain: b. Kantor Cabang PPI Medan menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat dan Boraks Dekahidrat yang diimpor dari Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan bersamaan dengan pupuk. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks yang dilakukan Kantor Cabang PPI Medan hanya sebesar 30.000 liter per bulan. c. Berdasarkan hasil wawancara, PPI Medan merupakan DT-B2 karena kewenangan mengimpor hanya dilakuka oleh PPI Pusat. Oleh karena itu, Pengecer Terdaftar (PT-B2) seperti perusahaan pupuk dapat membeli produk B2 (boraks) secara langsung ke PPI Medan dengan melampirkan jumlah dan peruntukannya. d. Pengadaan formalin dilakukan oleh Distributor Terdaftar (DT-B2) karena tidak terdapat produsen B2 (P-B2) di Sumatera Utara. Pada umumnya, formalin didatangkan dari Jakarta yang merupakan lokasi perusahaan induk (Head Office) DT-B2 di Medan. Sebagai contoh, PT Brataco yang merupakan DT-B2 di Propinsi Sumatera Utara membeli formalin dari PT Dover yang merupakan produsen formalin di Jakarta. Kebutuhan pengadaan formalin didasarkan pada permintaan dari Pengecer Terdaftar (PT-B2) yang umumnya Rumah Sakit, Laboraturium Kimia, dan Industri Peternakan. Aspek Distribusi a. Aspek distribusi yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah penyaluran B2 oleh DT-B2 dan PT-B2 serta cakupan wilayah distribusi B2. Beberapa catatan antara lain: b. Pengaturan wilayah distribusi tidak diatur, sehingga DT-B2 dapat menyalurkan produknya ke luar wilayah Sumatera Utara. Sebagai contoh, PT Brataco (DTB2) dan PT Meroke (PT-B2) dapat menyalurkan produk formalin dan boraks ke wilayah Sumatera Barat. c. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi terbatas, pola distribusi B2 di Sumatera Utara tidak berjenjang. Dalam hal ini, PA-B2 dapat membeli B2 Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
36
langsung dari DT-B2. Bahkan, PA-B2 seperti perusahaan perkebunan dapat membeli produk B2 melalui PPI Medan. Padahal dalam peraturan disebutkan bahwa PT-B2 menjual produk B2 kepada PA-B2 yang ditunjuk, sehingga PAB2 hanya dapat membeli B2 dari PT-B2.
Importir/Produsen (Jakarta) Distributor (Medan) Pengecer (Medan)
Pengguna Akhir: Perkebunan, Rumah Sakit, Apotek, Laboratorium, Toko Kimia, Perorangan Gambar 4.2. Rantai pemasaran B2 di Medan Sumber: Hasil Survey, 2013
Aspek Pengawasan a. Aspek pengawasan yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah mekanisme pelaporan, penerapan sanksi, nama dagang B2 di Sumatera Utara, serta pemahaman pelaku usaha dan konsumen terhadap B2. Beberapa catatan antara lain: b. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal. Dinas Perindag menilai koordinasi antara Dinas Perindag, Balai POM, dan Dinas Kesehatan masih lemah. Saat ini, pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindag hanya terbatas pada produk-produk yang tidak sesuai dengan SNI dan peraturan label berbahasa Indonesia. Sedangkan untuk produk pangan, baik terkait dengan B2 atau bukan B2, masih menjadi wilayah BPOM dan Dinas Kesehatan. Selain itu, keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dana dinilai menjadi masalah utama. Sebagai contoh, Petugas Pengawas dari Dinas Perindag tidak mengetahui bentuk fisik produk B2 yang berpotensi disalahgunakan dan beredar di pasaran. Hal ini berbeda dengan produk ber- SNI yang dijelaskan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
37
dengan baik dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Pengawasan. Alokasi dana khusus untuk B2 juga belum tersedia seperti yang telah dilakukan untuk pengawasan produk ber-SNI dan label bahasa Indonesia. c. Mekanisme pelaporan oleh PT-B2 kepada Dinas Perindag Propinsi belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Permendag. Berdasarkan hasil wawancara, Dinas Perindag sulit menerapkan sanksi administrasi bagi PT-B2 yang tidak melaksanakan mekanisme pelaporan sesuai dengan ketentuan. Hal ini dikarenakan proses pemberian sanksi dilakukan berjenjang, seperti pemberian
Surat
Peringatan
(SP) hingga
pencabutan
SIUP.
Dalam
pelaksanaanya, PT-B2 dapat melaporkan mekanisme tataniaga B2 setelah mendapatkan SP ke-2, sehingga SIUP tidak jadi dicabut. d. Pengawasan relatif sulit dilakukan karena B2 yang beredar di pasaran menggunakan nama dagang. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat produk pengawet sayuran berupa “Air Abu”, “Abu Cina”, dan “Garam Pengembang Serumpun Ayam” yang menurut Balai POM merupakan produk mengandung boraks. e. Pengawasan yang dilakukan oleh DT-B2 kepada PT-B2, atau PT-B2 kepada PA-B2 juga sulit dilakukan. Sebagai contoh, PT Brataco (DT-B2) sulit mengawasi penggunaan B2 oleh Rumah Sakit/Apotek (PA-B2) walaupun jumlah penjualan didasarkan pada kebutuhan. PA-B2 umumnya membeli formalin dari DT-B2 dalam bentuk eceran sebanyak 10 - 30 liter/bulan, padahal penggunaan formalin untuk Rumah Sakit diasumsikan hanya berkisar 4 – 10 liter/bulan untuk keperluan pengawetan jenazah dan perawatan medis lainnya. Hal serupa juga dialami oleh PPI Medan yang menjual B2 kepada PA-B2 yang umumnya perusahaan perkebunan. f. Tingkat pemahaman konsumen dan pelaku usaha terhadap dampak negatif penyalahgunaan B2 dinilai sudah baik. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat di Sumatera Utara yang sudah mengenal formalin sebagai bahan kimia pengawet jenazah sehingga tidak boleh digunakan untuk produk pangan.
Namun,
kesadaran
masyarakat
menjadi
rendah
ketika
penyalahgunaan B2 dilakukan dengan menggunakan nama dagang. Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di Medan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada beberapa masukan antara lain sebagai berikut:
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
38
a. PT PPI mengandalkan Kartu Kendali untuk mengontrol jumlah produk B2 yang
diimpor
sesuai
dengan
kebutuhan
sehingga
kemungkinan
penyalahgunaan B2 dapat dicegah. Sedangakan pengawasan terhadap produk B2 yang diimpor dilakukan dengan ketat oleh petugas dengan berpedoman pada kode HS. b. Pengenaan pajak impor B2 perlu dipertimbangkan karena belum tentu menyelesaikan masalah penyalahgunaan B2, mengingat sebagian besar penyalahgunaan B2 terjadi di sektor distribusi. c. Dinas Perindag mengusulkan agar sistem monopoli impor tidak diterapkan karena PT PPI sebagai IT-B2 dinilai belum memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan impor bagi DT-B2 sekaligus IP-B2. Selain itu, monopoli impor B2 akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan B2 di tingkat produsen (IP-B2) dan distributor (DT-B2). d. Usulan terkait pengaturan wilayah distribusi ditanggapi beragam. Sebagian stakeholder seperti Dinas Perindag, DT-B2, dan PT-B2 menilai pembatasan wilayah distribusi akan sulit dilakukan karena ada beberapa wilayah tertentu yang tidak memiliki DT-B2. Sedangkan menurut PPI, peran PPI Cabang dapat dimaksimalkan sebagai DT-B2 (produk boraks) sehingga pengawasan distribusi bisa lebih optimal. e. Pengaturan distribusi harus diperketat dengan ketentuan bahwa PA-B2 hanya dapat membeli B2 dari PT-B2 dan PT-B2 hanya dapat membeli B2 dari DTB2. f. Perlu dibentuk Tim Pengawas B2 yang berada di tingkat Propinsi dan diatur dalam Peraturan Gubernur. Tim Pengawas terdiri dari PPNS Dinas Perindag, Dinas Kesehatan, dan Balai POM. Tim Pengawas perlu didukung pendanaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. g. Perlu dilakukan sosialisasi terkait mekanisme pelaporan B2 kepada PA-B2, PT-B2, dan DT-B2 kepada aparat pemerintah dan pelaku usaha.Selain itu, Juknis Pengawasan B2 harus memuat informasi yang jelas bagi petugas pengawas B2 di daerah. h. Perlu sosialisasi terkait bahaya B2 yang disalahgunakan dan yang beredar di pasaran. Masyarakat dan pelaku usaha perlu dibina bahwa pengawet makanan mengandung B2 yang selama ini beredar dengan nama “Air Abu”, “Abu Cina”, dan “Garam Pengembang Serumpun Ayam” adalah produk berbahaya yang dilarang beredar di pasar. Pelaksanaan pengawasan harus
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
39
berimbang
sesuai dengan
risiko
yang
ditimbulkan. Sebagai contoh,
pengawasan B2 untuk sektor perkebunan seyogyanya berbeda dari pengawasan B2 untuk sektor non perkebunan. Hal ini bertujuan agar pengawasan bisa berjalan efektif. i. Perlu pembentukan Asosiasi pelaku usaha impor/produsen/distributor B2 untuk membantu mengidentifikasi besaran kebutuhan dan peruntukan B2. j. Perlu penerapan sanksi yang lebih tegas dan harus mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kemendag harus dapat berkoordinasi dengan pihak berwajib seperti kepolisian sehingga pelaksanaan pengawasan di daerah dapat lebih efektif. 4.4.3 Surabaya Aspek Pengadaan a. PT. PPI sebagai IT yang ditunjuk pemerintah mengimpor B2 jenis Boraks Pentahidrat dan Sodium Sianida. Jumlah yang diimpor oleh PT. PPI belum mampu memenuhi kebutuhan distributor dan pengecer karena PT. PPI juga menjual langsung kepada pengguna akhir. b. Produsen B2 (formalin) menjual formalin hanya kepada distributor atau pengecer yang memiliki SIUP-B2. Jumlah penyalurannya dilaporkan per triwulan kepada Kementerian Perindustrian. c. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 (pengecer) sudah berjalan dengan
baik
namun
perlu
penyempurnaan
seperti
laporan
tersebut
ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas Kesehatan setempat di daerah. d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Jawa Timur tidak diketahui dengan pasti terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini dise babkan
laporan dari
pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya laporan dari pengguna akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi instansi-instansi yang melakukan pengawasan B2 di daerah Aspek Distribusi a. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Suarabaya menjual B2 langsung kepada perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
40
b. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2 dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar BPOM di Provinsi Jawa Timur, kebanyakan industri rumah tangga tidak menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti Rhodamin B dan “bleng” (garam mengandung pengawet)” yang digunakan sebagai pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah. Selain itu juga ada beberapa industri rumah tangga yang mengetahui bahaya penggunaan B2 namun tetap saja mengguna kan sebagai bahan tambahan pada makanan.
Importir/Produsen
Distributor
Pengecer
Pengguna Akhir: Perkebunan, Apotik, Laboratorium, Toko Kimia, Perorangan Gambar 4.3. Rantai pemasaran B2 di Surabaya Sumber: Hasil Survey, 2013
Aspek Pengawasan a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran belum berjalan optimal. b. Masih
lemahnya
penerapan
sanksi
bagi
pelaku
usaha
yang
memperdagangkan B2 tanpa SIUP B2. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi pemerintah karena pelaku usaha yang memiliki SIUP B2 dan yang tidak memiliki SIUP B2 mendapat perlakuan yang sama dalam memperdagangkan B2 sehingga akan mendorong pelaku usaha memperdagangankan B2 tanpa
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
41
SIUP B2 dengan pertimbangan pembuatan SIUP B2 memerlukan biaya yang tinggi. Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di Propinsi Jawa Timur terkait dengan pengawasan distribusi distribusi B2, ada beberapa masukan antara lain sebagai berikut: a. Laporan dari pelaku usaha (PT-B2) ke Dinas Perindag Provinsi ditembuskan ke Instansi terkait di daerah seperti Balai/Balai Besar POM setempat (penambahan poin (e) pada pasal 14 ayat (4)). b. Perlu review Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya terkait Pengecer tidak boleh beli langsung ke Produsen (Pasal 7). c. Penyalahgunaan ukuran kemasan B2 tidak sesuai Permendag Nomor: 44/MDAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya d. Pengaturan
ukuran
kemasan
B2
dalam
Permendag
Nomor:
44/M-
DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya perlu diatur secara detail baik untuk IT/DT/PT. e. Sosialisasi intensif harus dilakukan secara rutin terkait untuk meminimalkan penyalahgunaan B2 untuk pangan . f. Laporan PA-B2 masih minim. g. Pengaturan wilayah distribusi tidak tepat diterapkan untuk B2. h. Edukasi
pelaku
usaha
dan
konsumen
diperlukan
untuk
mencegah
penyalahgunaan B2. i. Peraturan sebaiknya tidak mengatur perdagangan B2 secara general, hanya mengatur hal-hal yang cenderung menimbulkan penyalahgunaan B2 untuk makanan saja.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
42
BAB V EVALUASI PERATURAN BAHAN BERBAHAYA Kebijakan yang menjadi fokus dalam analisis ini adalah peraturan mengenai pengadaan,
distribusi dan
pengawasan
B2
yang
ditetapkan
berdasarkan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan Permendag tersebut di lapangan seperti yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2 perlu dievaluasi yang selanjutnya direvisi atau disempurnakan terutama untuk pasal-pasal yang tertuang dalam Permendag No. 44/M-Dag/Per/9/2009 sehingga pelaksanaannya bisa lebih efektif mencegah terjadinya penyalahgunaan B2. Untuk
melakukan
penyempurnaan
peraturan
tersebut
maka
digunakan
pendekatan dengan metode Regulatory Impact Analysis (RIA).
5.1. Evaluasi Peraturan Bahan Berbahaya Menggunakan Regulatory Impact Analysis (RIA) 5.1.1. Identifikasi masalah Permasalahan penyalahgunaan B2 seperti Boraks, Formalin, dan Rhodamin-B untuk pangan masih banyak ditemukan terjadi di masyarakat. Berdasarkan hasil monitoring BPOM, pada tahun 2012, di DKI Jakarta ditemukan 17persen makanan jajanan anak sekolah (JAS) mengandung B2, lebih tinggi dari angka nasional (9persen). Sementara itu, proporsi makanan lainnya (non-JAS) yang mengandung B2 belum ada data yang secara nasional, namun diduga banyak jenis makanan lainnya seperti tahu, mie basah, dan bakso yang diduga menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet dan pengembang. Hasil penelitian (Winarno,1994) dari 251 jenis minuman yang diteliti di beberapa kota antara lain di Jakarta sebesar 8persen, Bogor sebesar 14,5persen, di Rangkas Bitung sebesar 17persen terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai bahan pewarna merah pada minuman. Lebih lanjut, berdasarkan survey yang dilakukan di 4500 sekolah dasar tahun 2008, SEAFAST Center IPB menemukan sekitar 12,9persen Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengandung formalin, 9,7persen mengandung Boraks, 4persen mengandung
Rhodamin B, 3,7persen
mengandung dan 5persen mengandung Amaranth (Andarwulan, Madanijah &
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
43
Zulaikhah, 2011). Hasil uji sample PJAS dari mobil laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17 persen mengandung B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B. Fakta ini menunjukkan bahwa Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya
belum
mengatur
secara
efektif
untuk
mencegah
penyalahgunaan B2 dalam bahan pangan. Berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi dengan steakeholders yang terlibat dengan B2, dapat diidentifikasi permasalahan terkait dengan pengaturan B2 sebagai berikut: 1. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor. 2. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis
B2. Sehingga
dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran 3. Jenis-jenis
B2
yang
tercantum
dalam
Permendag
Nomor:
23/M-
DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/MDAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2. 4. Pengaturan distribusi B2
menyulitkan pengawasan karena saluran
distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2. 5. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang
didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
44
kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PTB2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan. 6. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak dilakukan di daerah.
Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah
sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik.
Sementara
pengawasan
oleh
BPOM
lebih
kepada
industri
makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2. 7. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2 5.1.2. Penetapan Tujuan Secara umum, tujuan revisi peraturan mengenai pengadaan, distribusi, dan pengawasan B2 dilakukan untuk mencegah beredarnya B2 secara ilegal dan untuk mencegah penyalahgunaan B2 yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Secara khusus, revisi peraturan mengenai B2 bertujuan untuk: (1) memperbaiki ketentuan pengadaan B2 sehingga memenuhi kebutuhan secara akurat; (2) menyempurnakan sistem distribusi B2 sehingga mudah dikendalikan dan diawasi; (3) memperbaiki sistem pengawasan B2 dan sanksi atas pelanggaran; dan (4) mengintegrasikan pengaturan penggunaan B2. 5.1.3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa pilihan perbaikan kebijakan sebagai berikut : 1. Perbaikan ketentuan pengadaan B2 Dalam hal pengadaan B2, perlu adanya revisi peraturan yang menyangkut tiga hal, yaitu: (1) jenis B2 sebaiknya tidak dikelompokkan atas dasar yang pengaturan pengadaan impornya atau pengaturan tataniaganya. Harusnya segala jenis B2 diatur pengadaan, impor, ekspor, distribusi, pemilikan atau penggunaannya, hanya saja ada jenis B2 yang diatur menggunakan kriteria dan prosedur yang spesifik, jenis B2 yang diatur dengan perijinan, atau Jenis B2 yang dilarang, (2) pengaturan mekanisme
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
45
perencanaan kebutuhan dan pengadaan secara nasional dan wilayah, dan (3) pengaturan kembali ijin impor. Berkaitan dengan pengaturan kembali ijin impor, ada beberapa alternatif, di antaranya: (1) pemberian ijin pengadaan impor tetap diberikan kepada IP-B2 dan IT-B2, dimana IP-B2 mendistribusikan untuk proses produksinya sendiri (tidak boleh mendistribusikan ke pasar) dan IT-B2 dapat mendistribusikan kepada DT-B2, PT-B2, atau PA-B2 dan ditunjuk sebagai ITB2 adalah PPI (alternatif 1, tidak ada perubahan); (2) pemberian ijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada IT-B2 dan sebagai IT-B2 ditunjuk satu BUMN (alternatif 2); dan (3) pemberian iijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat sebagai IT-B2 (alternatif 3). 2. Penyempurnaan sistem distribusi B2 Penyempurnaan sistem distribusi dilakukan agar penyaluran B2 dapat dilakukan dengan baik, serta pengendalian dan pengawasannya dapat dilakukan secara efektif.
Beberapa alternatif penyempurnaan sistem
distribusi, di antaranya: (1) pengaturan sistem distribusi B2 yang jelas dan dan mudah dikendalikan; dan (2) Pengaturan cabang dari IT-B2/DT-B2/PT-B2 yang jelas menurut wilayah. Dalam pengaturan sistem distribusi, ada dua piilihan sistem distribusi: (1) sistem distribusinya seperti yang sekarang ada, dimana IT-B2 atau P-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2, dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 dapat mendistribusikan kepada PA-B2 (alternatif 1) dan (2) sistem distribusi yang baru dimana IT-B2 atau P-B2 menditribusikan B2 kepada DT-B2 atau kantor cabang IT-B2 di suatu wilayah; DT-B2 atau Kantor Cabang IT-B2 mendistribusikan
B2
kepada
PT-B2
di
wilayahnya;
dan
PT-B2
mendistribusikan B2 kepada PA-B2 di wilayahnya (alternatif 2). 3. Perbaikan sistem pengawasan B2 dan sanksi atas pelanggaran Pengaturan mekanisme pengawasan harus lebih jelas dengan sanksi yang tegas tidak hanya sanksi administratif. Dalam sistem pemerintahan yang sekarang, mekanisme pengawasan harus mempertimbangkan kewenangan pemerintah daerah. Harus ada komitmen bahwa pengawasan B2 menjadi kewajiban dari pemerintah daerah dan bukan semata-mata menjadi
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
46
tanggungjawab pemerintah pusat. Oleh karenanya, perlu dibentuk dan diefektifkan kinerja Tim B2 di tingkat pusat dan Tim Terpadu B2 di tingkat propinsi atau kabupaten/kota. Pelaku usaha yang memiliki usaha B2 di suatu wilayah memiliki kewajiban untuk melaporkan langsung pengadaan dan distribusi B2 kepada Tim Terpadu atau instansi terkait di wilayahnya, selain melalui kantor pusatnya.
Ketidakpatuhan pelaku usaha B2 terhadap kewajiban melapor
secara rutin dapat dikenakan sanksi administratif tidak hanya pencabutan SIUP tetapi juga denda dan/atau penggantian kerugian sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada (misalnya: UU No 18/2012 tentang Pangan). 4. Pengintegrasian pengaturan penggunaan B2. Ketentuan mengenai penggunaan B2 oleh PA-B2 secara umum sebaiknya perlu dicantumkan dalam peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2, termasuk di antaranya perlunya PA-B2 mengajukan
perencanaan
kebutuhan secara
rutin
selain
melaporkan
penggunaan B2 yang diperolehnya. 5.1.4. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan Peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2 secara umum perlu direvisi. Selain untuk menyempurnakan ketentuan yang ada, revisi dilakukan untuk mengantisipasi dan sebagai konsekuensi dari adanya ketentuan lain seperti adanya ketentuan baru (misalnya: KTBI, 2012) atau undang-undang baru (misalnya: UU No 18/2012). Berkaitan dengan penilaian alternatif kebijakan menyangkut pengaturan pengadaan impor, maka berdasarkan diskusi dengan stakeholders penilaian keuntungan dan kerugian secara kualitatif, sebagai berikut: 1. Alternatif 1: pemberian ijin pengadaan impor tetap diberikan kepada IP-B2 dan IT-B2 Keuntungan: a. Tidak perlu ada sosialisasi dan “regulatory arrangement” yang baru b. Memperbaiki mekanisme pelaksanaan dari peraturan tersebut c. Hanya perlu mengoptimalkan mekanisme pelaporan. Kerugian: a. Masalah pengadaan impor mungkin bisa saja tetap muncul
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
47
b. Kemungkinan adanya „kebocoran‟ dari IP-B2 ke pasar c. Belum-mampunya IT-B2 mengadakan semua jenis B2 memunculkan peluang pengadaan melalui impor ilegal 2. Alternatif 2: pemberian ijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada IT-B2 dan sebagai IT-B2 ditunjuk satu BUMN Keuntungan: a. Mudah mengawasi dan mengontrol pengadaan B2 dari impor b. Menghilangkan kemungkinan „kebocoran‟ dari IP-B2 Kerugian: a. Bersifat „monopoli‟ b. Kebutuhan IP-B2 akan tergantung pada IT-B2 (dan tentunya IP-B2 yang membutuhkan B2 untuk proses produksinya akan menerima harga yang lebih tinggi) c. Perlu peningkatan kemampuan IT-B2 dalam memenuhi seluruh kebutuhan B2 3. Alternatif 3: pemberian iijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat sebagai IT-B2 Keuntungan: a. Tidak menimbulkan perbedaan perlakuan antar pengimpor, sehingga memungkinkan untuk membentuk asosiasi pengimpor B2 b. Pengawasan dan pengendalian dapat relatif mudah dilakukan apabila mereka membentuk asosiasi pengimpor B2 c. Menghilangkan kemungkinan „kebocoran‟ dari IP-B2 Kerugian: a. IP-B2 akan menerima harga yang lebih tinggi karena dianggap sebagai PAB2 dan akan tergantung pada IT-B2 Sementara
itu,
berkaitan
dengan
penilaian
alternatif
kebijakan
menyangkut pengaturan distribusi B2, maka berdasarkan diskusi dengan stakeholders penilaian keuntungan dan kerugian secara kualitatif, sebagai berikut: 1. Alternatif 1: Sistem distribusi tetap seperti sekarang dilakukan Keuntungan: a. Tidak memerlukan adanya upaya sosialisasi peraturan yang baru b. PA-B2 dapat memperoleh B2 lebih mudah dari berbagai pelaku usaha Kerugian: Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
48
a. Menyulitkan pengawasan dan pengendalian, karena sistem distribusi tidak terstruktur dengan jelas b. Penyalah-gunaan B2 bisa lebih marak karena mudah didapat dengan harga murah 2. Alternatif 2: Perubahan sistem distribusi Keuntungan: a. Relatif memudahkan dalam pengawasan dan pengendalian B2 b. Keberadaan kantor cabang IT-B2 atau DT-B2 dapat memperpendek rantai tata niaga B2 c. Dapat diketahui dengan baik kebutuhan dan penyaluran B2 Kerugian: a. PA-B2 hanya akan dapat memperoleh B2 dari PT-B2, sehingga akan menerima harga relatif lebih mahal (merugikan PA-B2 yang besar). 5.1.5. Pemilihan kebijakan terbaik Berdasarkan hasil diskusi, dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, maka dapat diambil keputusan bahwa: 1. Pengaturan mengenai pengadaan ijin impor tetap seperti yang sekarang diberlakukan (alternatif 1). untuk
keperluan
proses
Ijin pengadaan impor diberikan kepada IP-B2 produksi
sendiri
dan
kepada
IT-B2
untuk
didistribusikan ke pasar. Perusahaan BUMN (PT PPI) ditunjuk sebagai IT-B2. Namun demikian, perusahaan IP-B2 tidaklah merangkap sebagai P-B2, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran B2 yang diimpornya ke pasar. 2. Pengaturan mengenai distribusi B2 dipilih alternatif 2 dimana adanya pengaturan distribusi yang lebih terstruktur dan membatasi wilayah distribusi. Dalam konsultasi, tidak ada stakeholders yang merasa keberatan dengan pengaturan distribusi yang baru. Hanya saja untuk pengguna akhir B2 (PAB2) yang membutuhkan B2 dalam jumlah besar dapat mengajukan ijin untuk bisa mendapatkannya dari IT-B2 atau P-B2 agar mereka tidak merasa dirugikan dengan menerima harga yang lebih tinggi jika pengaturan ini diberlakukan. 5.2. Upaya Peningkatan Efektifitas Pengawasan Distribusi B2 Penyalahagunaan B2 terutama sebagai bahan tambahan untuk pangan dapat membahayakan kesehatan manusia dan juga lingkungan. Salah satu Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
49
penyebab timbulnya penyalahgunaan B2 diduga karena bahan berbahaya mudah diperoleh di pasar. Padahal Pemerintah telah menerbitkan peraturanperaturan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan B2. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih belum sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari peraturan tersebut. Pengadaan, pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan semakin mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2 perlu dievaluasi. Beberapa DAG/PER/9/2009
ketentuan
terutama
tentang
Pengadaan,
dalam
Permendag
Distribusi
dan
Nomor:
44/M-
Pengawasan
B2
menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan, yaitu : a. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) sebagaimana diatur pada Pasal 1 Angka 8 dan PT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 pada Pasal 11 Ayat (2) Hurup d, namun pada pasal 1 Angka 12 diatur bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2). b. Pada Pasal 1 Angka 9, ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan ITB2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil. c. Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya dan Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54, sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan. d. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada pasal 1 Angka (3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja. e. Pasal 8 Ayat (3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang (repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II). Namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya PA-B2 skala kecil. f. Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
50
persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2. g. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2. Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2. Tabel 5.1. Usulan Revisi Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 No 1
Pasal Pasal 1 Angka 8
2
Pasal 1 Angka 9
3
Pasal 2 Ayat (1)
4
Pasal 3 Ayat (1)
5
Pasal 8 Ayat (3)
6
Pasal 12 Ayat (2)
Bunyi Pasal Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PT-B2 adalah perusahaan yang ditunjuk oleh DT-B2 dan mendapatkan izin usaha perdagangan khusus B2 dari Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi untuk menjual B2 kepada PAB2. Pengguna Akhir Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PA-B2 adalah perusahaan industri yang menggunakan B2 sebagai bahan baku/penolong yang diproses secara kimia fisika, sehingga terjadi perubahan sifat fisika dan kimianya serta memperoleh nilai tambah, dan badan usaha atau lembaga yang menggunakan B2 sebagai bahan penolong sesuai peruntukannya yang memiliki izin dari Instansi yang berwenang. Jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini
P-B2 yang akan melakukan impor B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mendapat pengakuan sebagai IPB2 dari Menteri dalam hal ini Dirjen Daglu Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan label yang memuat nama/jenis B2, nama dan alamat P-B2 atau IT-B2 atau DT-B2 yang mengemas ulang, berat/volume netto, peruntukan, piktogram/simbol bahaya, kata sinyal, dan pernyataan bahaya yang mengacu pada panduan umum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
Kantor Cabang Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
Usulan Revisi Sebaiknya PT –B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidak ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2) seperti pasal 1 (ayat 12). Pada ketentuan PA-B2 perlu dijelaskan tentang besar-kecilnya skala usaha, hal ini karena baik P-B2 dan IT-B2 dapat langsung menjual ke PAB2 termasuk pada skala usaha kecil.
Perlu pengawasan pada semua jenis B2 baik yang diatur tataniaganya (Lampiran 1 : 351 jenis B2) maupun distribusinya (Lampiran II : 54 jenis), sehingga tidak ada perbedaan dalam pengawasan Sebaiknya produsen B2 tidak boleh mengimpor maka pasal 3 (ayat 1) ini dihapus Ketentuan tersebut belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan (Lampiran II), karena PTB2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Pada pasal ini perlu ditambahkan ayat yang peruntukannya kepada PA-B2. Berat/volumenya diatur pada Lampiran IV. Sebaiknya Kantor cabang hanya sampai DT-B2
51
pendistribusikan B2 dari Kantor Pusat Perusahaan dapat berfungsi sebagai pengecer untuk mendistribusikan B2 kepada PA-B2, dengan kewajiban memiliki SIUP-B2 sebagai PT-B2.
7
Pasal 19
Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan B2 dan PAB2 dalam menggunakan/ memanfaatkan B2 dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan Departemen/ Instansi Teknis terkait
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
karena harus memiliki pesryaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2, sementara PT-B2 tidak diharuskan memiliki persyaratan tersebut. Perlu juga dilakukan pembinaan terhadap PB2 dan usulan ini dapat dimasukan pada pasal 9
52
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan a. Permendag
Nomor:
23/M-DAG/PER/9/2011
tentang
perubahan
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan
Pengawasan
Bahan
Berbahaya
belum
komprehensif
dan
implementasinya belum efektif. Tujuan dari Permendag ini adalah upaya untuk meningkatkan pencegahan penyalahgunaan peruntukan B2. Namun dalam kenyaataan pada saat ini masih banyak ditemukan penyalahgunaan jenis
B2 tertentu seperti Boraks, Formalin, dan
Rhodamin-B dan yang digunakan untuk bahan pangan. b. Hasil temuan menunjukkan masih banyak penyalahgunaan B2 untuk pangan. Berdasarkan hasil penelitian, dari total 251 jenis minuman di beberapa kota antara lain di Jakarta sebesar 8persen, Bogor sebesar 14,5persen; di Rangkas Bitung sebesar 17persen terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai bahan pewarna merah pada minuman (Winarno, 1994). Lebih lanjut, berdasarkan survey yang dilakukan di 4500 sekolah dasar tahun 2008, SEAFAST Center IPB menemukan sekitar 12,9persen Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengandung formalin, 9,7persen mengandung Boraks, 4persen mengandung mengandung
Rhodamin B, 3,7persen
dan 5persen mengandung Amaranth (Andarwulan,
Madanijah & Zulaikhah, 2011).
Hasil uji sample PJAS dari mobil
laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17 persen mengandung B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B. Laporan BPOM tahun 2012 menunjukkan bahwa secara nasional sekitar 9persen PJAS mengandung B2. c. Beberapa ketentuan terutama
dalam Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu : 1) Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) pada pasal 1 (ayat 8) dan PT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 pada pasal 11 (ayat 2d), namun pada pasal 1 (ayat 12) bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
53
2) Pada pasal 1 (ayat 9), ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil. 3) Pada Pasal 2 (ayat 1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya dan pasal 20 (ayat 1) menyebutkan pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54, sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan. 4) Pasal
3
(ayat 1) menyebutkan P-B2
boleh mengimpor B2,
sedangkan pada pasal 1 (butir 3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja. 5) Pasal 8 (ayat 3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang (repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya PA-B2 skala kecil. 6) Pasal 12 (ayat 2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi sebagai
PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak
diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2. 7) Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 . Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2. d. Implementasi
Permendag
Nomor:
23/M-DAG/PER/9/2011
sebagai
Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum berjalan dengan baik yang disebabkan: Pengadaan 1) Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor. 2) PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
54
dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran 3) Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/MDAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/MDAG/PER/9/2009
dan
Tentang
Pengadaan,
Distribusi
dan
Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan
dalam penyesuaian Harmonized System (HS) dalam
importasi B2. Distribusi 1) Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2
kepada
DT-B2,
PT-B2
dan/atau
PA-B2;
DT-B2
dapat
mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2. 2) Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan. Pengawasan 1) Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik. Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2. 2) Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi
untuk
melakukan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
verifikasi
persyaratan
fasilitas
55
penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2 6.2 Rekomendasi Kebijakan a. Perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/MDAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang
Pengadaan,
Distribusi
Dan
Pengawasan
B2
agar
penyalahgunaan B2 dapat diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain menyangkut aspek
pengadaan, distribusi dan pengawasan serta
penerapan sanksi, sebagai berikut : Pengadaan: a) Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pemgetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT). Distribusi dan Pengawasan: a) Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga mudah dalam pengawasan. berikut:
Produsen
(P-B2)
dan
Jalur distribu si B2 sebagai Importir
Terbatas
(IT-B2)
menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 . b) Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di setiap wilayah.
Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang
berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya. c) PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk jumlah dan kurun waktu tertentu.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
56
b. Perlu komitmen
pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan
pengawasan distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan Tim Pemeriksa . c. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya meningkatkan kepatuhan pelaku usaha kewajiban, antara lain
pelaporan.
dalam memenuhi segala
Penerapan sanksi terhadap
pelanggaran perlu ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen. d. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan peredaran B2 secara terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan upaya untuk menyediakan bahan alternatif yang bisa menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif murah. e. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2 untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri pangan atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk workshop, seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di
masyarakat
dapat
dalam
bentuk
program
konsumen
(KONCER).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
57
cerdas
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan N, Madanijah S, Zulaikhah. 2009. Safety of school children foods in Indonesia. Di dalam: Dewanti-Hariyadi et al. Editor. Proceeding of International Seminar Current Issue and Challenges in Food Safety. Bogor: Seafast Center. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Kajian Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) di Kementerian PPN/BAPPENAS. Jakarta: Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS [BPOM]. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2012. Report to the Nation: Laporan Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan RI kwartal I Tahun 2012. Jakarta: BPOM [CDC]. Centre for Disease Control. 2010. Borax (Boric Acid) sold or represented as food. Food Safety Notes Chuangchote C. 2003. Food safety strategy. http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/Resources/Topics /Standards/standards_training_challenges_thailand.pdf [11 Februari 2013] Cahya et al (2012). Standar Bahan Pewarna Makanan. Universitas Diponegoro. Damanhuri, Enri. 2009. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Diktat Kuliah. ITB [EPA]. Environmental Protection Agency. 2007. Formaldehyde. TEACH Chemical Summary. Punvanti IT, Wulandari YW, Rahayu K. 2009. Formalin contamination in children‟s street food at school in Surakarta, Central Java, Indonesia. Di dalam: Dewanti-Hariyadi et al. Editor. Proceeding of International Seminar Current Issue and Challenges in Food Safety. Bogor: Seafast Center. Sabet D. 2012. Formalin: How to address a market failure? Monthly Current Event Analysis Series. University of Liberal Arts Bangladesh. Wikanta W. 2010. Persepsi masyarakat tentang penggunaan formalin dalam bahan makanan dan pelaksanaan pendidikan gizi dan keamanan pangan. Jurnal Biologi dan Pembelajarannya. Vol 1 (2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
58
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
59
MEMO KEBIJAKAN UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYA Isu Kebijakan 1. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 mengatur tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya (B2). Tujuan dari Permendag ini adalah upaya untuk meningkatkan pencegahan penyalahgunaan peruntukan B2. Dalam kenyataan, pada saat ini masih banyak ditemukan penyalahgunaan jenis B2 tertentu, seperti Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow yang biasa digunakan untuk pengolahan pangan. 2. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa 8 – 17% dari total 251 jenis minuman di beberapa kota, seperti Jakarta, Bogor Rangkas Bitung, rata-rata terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai bahan pewarna merah pada minuman (Winarno, 1994). Survey yang dilakukan oleh SEAFAST Center IPB di 4500 sekolah dasar tahun 2008, juga menemukan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengandung formalin sebesar 12,9%, Boraks 9,7%, Rhodamin B 4%, Metanil yellow 3,7%, dan Amaranth 5% (Andarwulan, Madanijah & Zulaikhah, 2011). Selain itu, pada tahun 2012 hasil uji sample mobil laboratorium keliling terhadap PJAS di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 17 % mengandung B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B dan laporan BPOM pada tahun yang sama menunjukkan bahwa secara nasional sekitar 9% PJAS mengandung B2. Evaluasi Terhadap Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 3. Beberapa ketentuan terutama dalam Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu : a. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) pada pasal 1 (ayat 8) dan PT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 pada pasal 11 (ayat 2d), namun pada pasal 1 (ayat 12) bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2). b. Pada pasal 1 (ayat 9), ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil. c. Pada Pasal 2 (ayat 1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya dan pasal 20 (ayat 1) menyebutkan pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54 , sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan. d. Pasal 3 (ayat 1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada pasal 1 (butir 3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja. e. Pasal 8 (ayat 3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang (repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual
kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya PA-B2 skala kecil. f.
Pasal 12 (ayat 2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.
g. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 . Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2. 4. Implementasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum berjalan dengan baik, disebabkan : Pengadaan a. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor. b. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran c. Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2. Distribusi a. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2. b. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan. Pengawasan a. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik.
Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2. b.
Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2
Rekomendasi Kebijakan 5. Perlu dilakukan revisi Permendag terutama pada pasal-pasal yang tertuang pada Permendag Nomor : 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 (lampiran 1 ). Selain revisi pada pasal-pasalnya maka yang menyangkut aspek pengadaan, distribusi dan pengawasan serta penerapan sanksi, perlu ada penyempurnaan, sebagai berikut : Pengadaan : a. Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pengetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT). Distribusi dan Pengawasan : a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen (P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 . b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya. c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk jumlah dan kurun waktu tertentu. 6. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan Tim Pemeriksa . 7. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi segala kewajiban, antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran perlu ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen. 8. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan peredaran B2 secara terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan upaya untuk menyediakan bahan alternatif yang bisa menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif murah.
9. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2 untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri pangan atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk workshop, seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat dapat dalam bentuk program konsumen cerdas (KONCER).
Lampiran 1 : Usulan Revisi Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 No 1
Pasal Pasal 1 (ayat 8)
2
Pasal 1 (ayat 9)
3
Pasal 2 (ayat 1)
4
Pasal 3 (ayat1)
5
Pasal 8 (ayat 3)
6
Pasal 12 (ayat 2).
7
Pasal 19
Bunyi Pasal Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PT-B2 adalah perusahaan yang ditunjuk oleh DT-B2 dan mendapatkan izin usaha perdagangan khusus B2 dari Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi untuk menjual B2 kepada PAB2. Pengguna Akhir Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PA-B2 adalah perusahaan industri yang menggunakan B2 sebagai bahan baku/penolong yang diproses secara kimia fisika, sehingga terjadi perubahan sifat fisika dan kimianya serta memperoleh nilai tambah, dan badan usaha atau lembaga yang menggunakan B2 sebagai bahan penolong sesuai peruntukannya yang memiliki izin dari Instansi yang berwenang. Jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini P-B2 yang akan melakukan impor B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mendapat pengakuan sebagai IP-B2 dari Menteri dalam hal ini Dirjen Daglu Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan label yang memuat nama/jenis B2, nama dan alamat P-B2 atau IT-B2 atau DT-B2 yang mengemas ulang, berat/volume netto, peruntukan, piktogram/simbol bahaya, kata sinyal, dan pernyataan bahaya yang mengacu pada panduan umum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
Usulan Revisi Sebaiknya PT –B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidak ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2) seperti pasal 1 (ayat 12).
Kantor Cabang Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak pendistribusikan B2 dari Kantor Pusat Perusahaan dapat berfungsi sebagai pengecer untuk mendistribusikan B2 kepada PA-B2, dengan kewajiban memiliki SIUP-B2 sebagai PTB2. Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan B2 dan PA-B2 dalam menggunakan/ memanfaatkan B2 dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan Departemen/ Instansi Teknis terkait
Sebaiknya Kantor cabang hanya sampai DT-B2 karena harus memiliki pesryaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2, sementara PT-B2 tidak diharuskan memiliki persyaratan tersebut. Perlu juga dilakukan pembinaan terhadap P-B2 dan usulan ini dapat dimasukan pada pasal 9
Pada ketentuan PA-B2 perlu dijelaskan tentang besar-kecilnya skala usaha, hal ini karena baik P-B2 dan IT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2 termasuk pada skala usaha kecil.
Perlu pengawasan pada semua jenis B2 baik yang diatur tataniaganya (Lampiran 1 : 351 jenis B2) maupun distribusinya (Lampiran II : 54 jenis), sehingga tidak ada perbedaan dalam pengawasan Sebaiknya produsen B2 tidak boleh mengimpor maka pasal 3 (ayat 1) ini dihapus Ketentuan tersebut belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan (Lampiran II), karena PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Pada pasal ini perlu ditambahkan ayat yang peruntukannya kepada PA-B2. Berat/volumenya diatur pada Lampiran IV.