INFORMASI
MERAH PUTIH
INSA
PASTI BISA
Untuk Kejayaan Pelayaran Nasional
DITERBITKAN : DPP INSA PERIODE 2015-2019 PENANGGUNGJAWAB : DPH INSA PERIODE 2015-2019 EDISI : 007/IV/2016, APRIL 2016
Pelabuhan Jakarta Masuk War Risk
INSA Layangkan Protes ke JWC (Joint War Committee) London istimewa istimewa
Jika dibiarkan terus menerus, visi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia sulit dicapai Jakarta—Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) melayangkan surat kepada Joint War Committee (JWC) London menyusul masih masuknya Pelabuhan Jakarta ke dalam daftar pelabuhan berisiko perang (war risk). Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan masuknya pelabuhan di Indonesia ke dalam daftar war risk sangat merugikan kepentingan Indonesia, khususnya dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran dan menimbulkan kesan bahwa kekuatan pertahanan nasional tidak mampu mengamankan perairan domestik. Padahal, tidak pernah ada peristiwa perang atau pembajakan pada perairan di Indonesia yang dimasuk ke dalam list JWC tersebut. “Kami sudah menyampaikan protes agar pelabuhan di Indonesia dikeluarkan dari daftar war risk,” katanya.
Johnson menjelaskaan DPP INSA juga mendesak Pemerintah c.q Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) agar melayangkan surat protes keras agar JWC mengeluarkan pelabuhan di Indonesia dari list tersebut. “Surat ke Menkopolhukam juga sudah kami sampaikan,” ujarnya. Untuk diketahui, hingga kini, Indonesia masih menjadi negara Asia Tenggara terakhir yang masuk ke dalam daftar tersebut, padahal mayoritas pasar asuransi risiko perang dunia, mengambil referensi dari daftar yang dikeluarkan oleh JWC sebagai panduan dalam menentukan premi asuransi kapal.
Berdasarkan Hull War, Piracy, Terrorism and Related Perils Listed Areas No JWLA / 022 tertanggal 10 Desember 2015, pelabuhan Jakarta, masih termasuk dalam pengecualian risiko perang.
Implikasi negatif dari masuknya Indonesia ke dalam daftar JWC tersebut adalah adanya biaya tambahan premi yang dibebankan pihak asuransi kepada kapal yang akan mengunjungi pelabuhan yang ada di daftar tersebut. “Jika dibiarkan terus menerus, visi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia sulit dicapai,” katanya. Wakil Ketua Umum INSA Djoni Sutji mengatakan menjelaskan ditengah tingginya minat investasi ke Indonesia, masuknya pelabuhan RI ke dalam daftar war risk akan merusak kepercayaan investor untuk berinvestasi, khususnya di bidang kemaritiman. JWC bermarkas di London dan terdiri dari wakil-wakil dari Lloyds of London Market dan International Underwriting Association (IUA). Lembaga ini mendapatkan saran dari perusahaan keamanan pihak ke-3, AEGIS secara teratur mengenai berbagai risiko. Untuk mengikuti saran AEGIS, daftar negara yang dikecualikan yang disebut Hull War, Piracy, Terrorism and Related Perils Listed Areas dibentuk dan diterbitkan serta diedarkan ke pasar asuransi. (*)
TERAS INSA
2
istimewa
istimewa
Cegah Pembajakan, INSA Minta Ratifikasi SUA Convention 1988 Jakarta—Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) untuk sementara waktu ini tidak mempersoalkan kebijakan larangan berlayar terhadap kapal-kapal tunda & tongkang yang mengangkut batu bara dari Indonesia ke Filipina guna mencegah terjadinya korban pembajakan laut. Akan tetapi, INSA mengharapkan agar pemerintah memikirkan langkah jangka panjang agar peristiwa yang sama tidak terjadi. “Kita harapkan, solusi jangka panjangnya untuk mencegah kejadian yang sama,” kata Sekretaris Umum INSA Lolok Sujatmiko. Untuk diketahui, dalam waktu satu bulan terakhir (15 Maret—15 April 2016) , telah terjadi sejumlah pembajakan terhadap kapal nasional berbendera Merah Putih di perairan antara Malaysia dan Filipina. Peristiwa pembajakan pertama menimpa kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang berlayar dari Banjarmasin ke Filipina terjadi pada 15 Maret 2016. Kemudian disusul pembajakan terhadap kapal tunda Henry dan kapal tongkang Cristi yang berlayar dari Filipina ke Tarakan pada 15 April 2016.
INSA menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap korban dan keluarga anak buah kapal (ABK) berbendera Merah Putih yang kini menjadi tahanan kelompok perompak laut di Selatan Filipina. INSA juga menyampaikan dukungannya terhadap langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk membebaskan para WNI tersebut. “Pemerintah tidak boleh menyerah atau kalah dengan aksi teror ini. Kita mengharapkan para WNI yang menjadi sandera segera dibebaskan," katanya. Ke depan, dia mengusulkan Indonesia segera meratifikasi Convention for the Suppression of Unflawful Act against the Safety Maritime Navigation (SUA Convention 1988) dan Protocol SUA 2005. Sebab, saat ini Indonesia masih menjadi satu dari 29 negara di dunia yang belum meratifikasi konvensi tersebut. "Sebanyak 166 negara sudah meratifikasi, kita belum." Ratifikasi ini, katanya, sangat dibutuhkan untuk menjadi landasan hukum dalam bertindak (Rule of Engagement) terhadap praktek kejahatan pembajakan di laut mengingat aturan di Indonesia berupa KUHP dan KUHD tidak mengatur lingkup Sea Piracy (Pembajakan di Laut).
Selain itu, INSA mengharapkan Pemerintah dapat melakukan joint patrol surveillance sebagaimana yang dilakukan di Selat Malaka antara Malaysia, Indonesia dan Singapura. Hal ini sangat mungkin dilakukan antara Pemerintah RI, Malaysia dan Filipina. Dan solusi jangka pendek, INSA mengharapkan pemerintah dalam hal ini cq Ditjen Perhubungan Laut dapat segera mengadopsi aturan sirkulasi IMO MSC.1/Circ.1405 & 1406 tetang aturan dan tata cara mengunakan jasa armed guard swasta (Privately Contracted Armed Security Personnel – PCASP) di atas kapal niaga agar larangan berlayar dapat segera dicabut. Dia menjelaskan populasi kapal tongkang di Indonesia sejak asas cabotage tahun 2005 terus meningkat bahkan kini jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan kapal jenis lainnya yakni sekitar 4.000 unit kapal. Sebagaimana diberitakan, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Trisakti Pelabuhan Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan mengeluarkan surat edaran tentang larangan bagi kapal-kapal berbendera Merah Putih yang berlayar dari Banjarmasin menuju perairan istimewa Filipina. (*)
INFORMASI
3
Sumber: http://www.indonesiaferry.co.id/
BI Sambut Positif Usulan INSA tentang Penggunaan Rupiah JAKARTA—Bank Indonesia (BI) merespon positif usulan DPP INSA mengenai implementasi aturan yang mewajibkan penggunaan mata uang rupiah dalam transaksi di dalam negeri, khususnya di sektor offshore minyak dan gas bumi.
Hal itu diungkapkan dalam pertemuan antara BI dengan DPP INSA pada 14 April 2016 yang membahas masalah implementasi Peraturan Bank Indonesia No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya di industri pelayaran nasional. Dalam pertemuan tersebut, BI bersedia menunda penerapan PBI No.17/3/PBI/2015 bagi industri pelayaran nasional. “Ini kabar yang positif buat industri pelayaran di tengah lesunya kondisi bisnis saat ini,” kata Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto. Akan tetapi, INSA diminta agar menindaklanjuti kepada Kementerian Perhubungan untuk menerbitkan surat rekomendasi penundaan penerapan PBI No.17/3/PBI/2015 di bidang Pelayaran selama 10 tahun, sebagaimana diatur di dalam pasal 16 peraturan tersebut dengan melampirkan daftar perusahaan pelayaran niaga nasional.
Menyikapi hasil pertemuan tersebut, DPP INSA telah melayangkan surat kepada Menteri Perhubungan. Surat DPP-SRT-IV/16/0146 dengan merujuk surat sebelumnya No. DPP-SRTIII/16/0139 tertanggal 28 Maret 2016 perihal Permohonan Penggunaan Mata Uang USD untukJasa Sewa Kapal (Marine Vessel Service) untuk Industri Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi. Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Laut menerbitkan surat kepada Bank Indonesia c.q Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia No. UM.002/29/3/DJPL-16, tertanggal 19 April 2016 perihal Penerapan PBI No.17/3/PBI/2015 hal Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI yang meminta kepada Bank Indonesia agar memberikan kelonggaran kepada industri Pelayaran nasional untuk menggunakan matauang USD dalam menjalankan usahanya.
Wakil Ketua Umum INSA Sugiman Layanto mengatakan kondisi saat ini telah terjadi over supply terhadap kapal-kapal penunjang operasi lepas pantai (offshore) Indonesia sehingga jumlah kapal yang menganggur (laid up) meningkat.
istimewa istimewa
Dia menjelaskan kapal-kapal yang menganggur tersebut tidak bekerja atau tanpa kontrak dengan populasi yang terus bertambah setiap bulan. “Kondisi pelayaran khususnya anggota INSA yang telah berinvestasi di bidang ini sangat sulit dan kritis,” katanya.
INSA telah mengajukan keberatan kepada Bank Indonesia, khususnya terhadap kontrak jasa sewa kapal (marine vessel service) pada kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas yang juga diwajibkan transaksi menggunakan rupiah. INSA meminta dukungan Pemerintah dengan memberikan keringanan agar sektor pelayaran penunjang offshore minyak dan gas dapat bertahan di saat yang sulit ini. “Jika kebijakan tersebut tetap dijalankan, sektor angkutan offshore migas akan terpuruk lebih dalam lagi,” ujar Sugiman. Untuk diketahui, guna mendukung Pemerintah dalam menerapkan asas cabotage pada kegiatan angkutan laut dalam negeri sesuai dengan UU No/17 tahun 2008 tentang Pelayaran, para pemilik kapal anggota INSA telah melakukan investasi secara massif di bidang pengadaan kapal offshore dan angkutan cair, gas bahkan tanker. (*)
INFORMASI
4
“Tunda Penerapan Aturan Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran”
Rapat pengurus DPP INSA, salah satunya membahas masalah pelaksanaan asas cabotage di Indonesia.
Asas Cabotage, Pemerintah Diminta Perketat Izin Kapal Asing istimewa
Banyak Negara Terapkan Asas Cabotage Jakarta— Pelaku usaha pelayaran nasional anggota INSA mempertanyakan keberadaan kapal Haiyang Shiyou 301 berbendera Tiongkok di perairan Indonesia mengingat izin penggunaan kapal asing telah diatur secara ketat oleh Pemerintah. Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan informasi yang beredar di media, kapal tersebut bertolak dari Bontang, Kalimantan Timur dengan membawa LNG ke FRU Lumbung Dewata yang sandar di Pelabuhan Benoa, Bali.
Kapal dengan panjang 184,7 meter tersebut diduga melanggar asas cabotage sebagaimana diatur di dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 200 tahun 2015 tata cara pemberian izin penggunaan kapal asing untuk kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri. UU No. 17 tahun 2008 menegaskan bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
INSA juga meminta Pemerintah agar lebih perketat pemberian izin penggunaan kapal asing di Indonesia setelah diketahui adanya penggunaan kapal asing yang diduga mengangkut gas milik anak usaha PT Pelindo III (Persero). Sejauh ini, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No.200 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perhubungan No.10 tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang tidak termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/Atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri.
Asas cabotage di Indonesia mulai diberlakukan sejak 2005 seiring dengan terbitnya Instruksi Presiden No.5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang kemudian diperkuat dengan terbitnya UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, khususnya di atur pada pasal 7 dan 8. Tujuan utama dari implementasi asas cabotage adalah dalam rangka mewujudkan kedauatan negara dan wawasan nusantara. Cabotage diakui oleh hukum internasional sehingga banyak negara-negara di belahan dunia menerapkan aturan cabotage terhadap wilayah udara dan lautnya.
Pasal 9 ayat 2 Permenhub No.200 tahun 2015 menyebutkan bahwa izin penggunaan kapal asing dapat diberikan oleh Menteri setelah dilakukan satu kali. pengadaan kapal berbendera Merah Putih dan dilakukan evaluasi oleh Tim yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara.
Johnson menjelaskan asas cabotage di Indonesia telah meningkatkan penerimaan usaha swasta nasional, penerimaan negara melalui pajak atau bukan pajak, menambah lapangan pekerjaan dan memiliki multiflier effect yang sangat luas terhadap sektor galangan, perbankan, logistik, pelabuhan dan sebagainya.
Adapun ayat 2c Peraturan tersebut menyatakan bahwa Tim terdiri dari unsur Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut, Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan, Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, Direktorat KPLP, Direktorat Kenavigasian, Biro Hukum dan KSLN, Bagian Hukum Setditjen Perhubungan Laut, DPP INSA serta asosiasi terkait lainnya.
Oleh karena itu, INSA meminta Pemerintah agar memberikan perhatian terhadap pelaksanaan asas cabotage, khususnya untuk mewujudkan kedaulatan dan menjadi bagian dari agenda untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. “Cabotage itu bagian dari strategi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.” (*)
BERITA FOTO
5
Persoalan Hukum Makin Marak, INSA Bentuk Wakil Ketua Umum JAKARTA – Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shiponwers’ Association (INSA) periode 2015-2019 menambah daftar pengurus baru yakni Wakil Ketua Umum bidang Hukum yang dikhususkan untuk menangani masalah hukum bidang pelayaran. Hiendra Soenjoto , pimpinan sejumlah perusahaan angkutan laut dan logistik nasional mendapatkan kepercayaan untuk mengisi posisi strategis itu. “Wakil Ketua Umum bidang Hukum ini kita bentuk sebagai upaya untuk mempercepat mengatasi persoalan kasus hukum yang dihadapi anggota INSA,” kata Sekretaris Umum INSA Lolok Sujarmiko. Di INSA, Hiendra sepertinya berada di rumahnya sendiri. Pria Kelahiran Sidoarjo, 06 Desember 1974 itu tercatat sebagai Presiden Direktur PT Multiline Shipping Company, Presiden Direktur PT Multiline Shipping Services, Presiden Direktur PT Multilintas Sentra Bahari dan Direktur PT Sinar Mentari Prima.
Hiendra Soenjoto, Wakil Ketua Umum DPP INSA (ketiga dari kiri) mendengarkan penjelasan Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto dalam Rapat Pengurus DPP INSA, belum lama ini.
Hiendra mengatakan sangat berterima kasih atas kepercayaan rekan-rekan anggota INSA. “Saya senang bisa menjadi bagian dari sucsess story DPP INSA. Banyak hal yang dapat dilakukan bersama, khususnya di bidang hukum guna memajukan industri pelayaran, khususnya anggota INSA,” katanya.
Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan masalah hukum yang banyak dihadapi anggota INSA menjadi salah satu konsen pengurus DPP INSA periode 20152019. “Dendesak bagi kami untuk membentuk pengurus setingkat Wakil Ketua yang khusus menangangi masalah anggota di bidang hukum ini,” katanya. (*)
Ocean Rig’s Latest Drillship Acquisition Sets New Low Price Benchmark Jakarta-Ocean Rig UDW’s recently announced acquisition of a sixth generation drillship at less than 10% of its newbuild cost provides yet another signal of the dim market outlook for offshore drillers, according to Fitch Ratings. The $65m valuation will likely prompt creditors to take a more conservative view of offshore rig values, which could lessen recovery prospects in an offshore driller default scenario. Ocean Rig did not indicate its immediate intentions for the uncontracted drillship built in 2011.
Recent market contracting precedents, including two Ocean Rig contract cancellations for convenience in February 2016, suggest that the company’s ability to secure a new multi-year contract will likely be a challenge.
Fitch estimates that Ocean Rig could generate positive cash flow and earn an attractive return on capital, subject to any additional upgrade costs, with a day rate in the low-$200,000s if awarded a multi-year tender. This would be substantially below the $500,000-plus day rates these types of rigs previously fetched. Fitch does not anticipate the company will stack the drillship, since the costs would be a drag on liquidity at a time when Ocean Rig’s backlog begins to meaningfully roll off.
“The price difference suggests that the market for offshore rigs is highly illiquid and uncompetitive due to weak medium-term contracting prospects, uncontracted carrying costs, and challenged incumbent financial conditions,” Fitch said in a report. Fitch believes that creditors are likely to adopt a more conservative view of offshore rig values that will negatively influence prospective recovery in an offshore driller default scenario.
The sale also establishes a new offshore rig valuation low and provides another data point following an Odfjell Drilling affiliate’s sale of a similar sixth generation drillship for $210m in March this year.
GALERY
6
PAMERAN: Pada tanggal 13-15 April 2016, pengurus DPP INSA periode 2015-2019 mendapatkan kehormatan untuk menghadiri Pameran dan Conference Sea Japan di Tokyo, Jepang. Pada momentum tersebut, Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto memaparkan berbagai perkembangan industri pelayaran di Indonesia dan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam rangka menarik investasi asing di bidang angkut laut,
REDAKSI INFO INSA Wisma BSG, Lantai 3A #M04-05 Jl. Abdul Muis No.40 Jakarta Pusat, 10160-Indonesia P: +62 21 351 4348. F: +62 21 351 4347 Email:
[email protected]. Website: www.dppinsa.com
INFORMASI
7
INSA Apresiasi Paket Kebijakan Ekonomi XI tentang Arus Barang Jakarta-Pelaku usaha pelayaran yang tergabung ke dalam organisasi INSA mengapresiasi Paket Kebijakan XI, terutama tentang pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan (Indonesia Single Risk Management - ISRM). Djoni Sutji, Wakil Ketua Umum DPP INSA mengatakan penanganan manajemen arus barang di Indonesia memang harus diperbaiki guna memperlancar arus barang di dalam negeri dan luar negeri. istimewa
Dengan demikian, katanya, diharapkan biaya pegiriman barang di Indonesia menjadi lebih kompetitif. "Kami mengapresiasi kebijakan yang menyentuh masalah kelancaran arus barang ini," katanya. Arus barang di pelabuhan masih terhambat sehingga perlu dilakukan pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan (Indonesia Single Risk Management, ISRM). Ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam hal customs clearence dan cargo release di pelabuhan, antara lain: (1) pelayanan atas perijinan ekspor impor oleh Kementrian/Lembaga (K/L) pada kondisi tertentu yang bersifat transaksional memerlukan waktu lama; (2) adanya perlakuan pelayanan yang berbeda-beda atas Pengguna Jasa yang sama di setiap K/L, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan in-efisiensi dalam kegiatanekspor impor; dan
www.tribunnews.com
Menko Perekonomian Darmin Nasution (kanan) didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung, mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi XI, di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (29/3/2016). Paket Kebijakan Ekonomi XI tersebut terdiri dari empat poin yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang berorientasi Ekspor, Dana Investasi Real Estate (DIRE/REIT) yang diturunkan setengah dari tarif normal, Pengendalian Risiko untuk mempengaruhi waktu bongkar muat atau dwelling time di pelabuhan dengan membangun pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan atau Indonesia Single Risk Management (ISRM), dan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (Alkes).
Oleh sebab itu, pemerintah mewajibkan semua K/L untuk mengembangkan fasilitas pengajuan permohonan perizinan secara tunggal (single submission) melalui Portal Indonesia National Single Window (INSW) untuk pemrosesan perizinan.
(3) pengelolaan risiko pada K/L belum dilakukan secara sistematis dan belum terintegrasi.
Untuk tahap awal, pemerintah meluncurkan model single risk management dalam platform single submission antar BPOM dengan Bea dan Cukai.
Semua hal tersebut di atas menyebabkan capaian kinerja logistik belum optimal. Ukuran yang paling konkret dan sering menjadi patokan adalah dwelling time, di mana pada akhir 2015 tercatat rata-rata masih membutuhkan waktu 4,7 hari.
Langkah ini untuk menekan dwelling time terhadap produk-produk bahan baku obat, makanan minuman, dan produk lain yang membutuhkan perizinan dari BPOM dari 4,7 hari menjadi sekitar 3,7 hari pada Agustus 2016.
Untuk tahap berikutnya, pemerintah mewajibkan penerapan single risk management pada Agustus 2016, dan diperluas penerapannya untuk beberapa K/L seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, sehingga diharapkan dapat berpengaruh pada penurunan dwelling time menjadi 3,5 hari secara nasional pada akhir 2016. Terakhir, menerapkan single risk management secara penuh pada seluruh Kementerian/Lembaga penerbit perizinan ekspor/impor. Ini akan menaikkan tingkat kepatuhan Indonesia terhadap WTO Trade Facilitation Agreement menjadi 70% serta menurunkan dwelling time menjadi kurang dari 3 hari pada akhir 2017.
INFORMASI
8
detik.com
Indonesia Ratifikasi Perjanjian Transportasi Laut ASEAN-Tiongkok JAKARTA - Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2016 mengesahkan perjanjian transportasi laut antara pemerintah negara-negara anggota ASEAN dan pemerintah Tiongkok, yang dituangkan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2016. Perpres itu diterbitkan setelah mempertimbangkan Agreement of Maritime Transport between the Goverments of the Member Countries of ASEAN and the Goverment of the People's Republic of China, yang ditandatangani pemerintah pada 2 November 2007 di Singapura. Dalam perjanjian, yang menjadi bagian dari lampiran Perpres itu, disebutkan bahwa kerja sama di bidang transportasi laut tersebut akan memberikan manfaat bagi pengembangan hubungan perdagangan dan ekonomi antara ASEAN dan Tiongkok. Oleh karena itu, negara-negara ASEAN dan Tiongkok berkeinginan yang sama untuk saling bekerja sama dan berkomunikasi lebih lanjut, dan membangun sistem kerangka kerja transportasi laut regional.
Beberapa hal yang disetujui yakni fasilitasi dan kerja sama di bidang transportasi laut barang dan penumpang yang dilakukan antara pelabuhan para pihak (ASEAN dan Tiongkok), maupun antara pelabuhan para pihak dan pelabuhan negaranegara ketiga, untuk memberikan manfaat bagi pelaku ekonomi. Para pihak harus menahan diri dari setiap tindakan yang merugikan partisipasi terbatas perusahaan pelayaran di bidang transportasi laut baik antara para pihak maupun antara para pihak dan negara-negara ketiga, bunyi Pasal 1 perjanjian itu. Ruang lingkup kerja sama meliputi, Pertama, persetujuan ini berlaku untuk transportasi laut internasional barang dan penumpang antara pelabuhan negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok.
Ketiga, persetujuan ini wajib tidak mempengaruhi penerapan persetujuan bilateral yang ditandatangani antara negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok untuk hal-hal yang berada di luar lingkup persetujuan ini. Keempat, persetujuan ini wajib tidak mempengaruhi hak dari kapal-kapal pihak ketiga untuk ikut serta dalam transportasi barang dan penumpang antara pelabuhanpelabuhan Para pihak atau antara pelabuhan-pelabuhan dari salah satu pihak dan pihak ketiga. Dalam Perpres itu, semua pihak wajib menjamin kapal, awak kapal, penumpang, dan barang di atas kapal dari pihak lain dengan perlakuan yang sama dengan yang diberikan pada kapal negara ketiga.
Jaminan itu yakni dalam hal: a. akses ke pelabuhan yang terbuka untuk lalu lintas laut internasional; b. di pelabuhan dan berlayar dari pelabuhan tersebut; c. Kedua, persetujuan ini wajib tidak penggunaan fasilitas pelabuhan untuk berlaku untuk transportasi laut domestik angkutan barang dan penumpang serta antara pelabuhan-pelabuhan di dalam akses ke layanan dan fasilitas lain yang wilayah perairan negara Anggota ASEAN tersedia di pelabuhan; dan d. pungutan bea atau antara pelabuhan-pelabuhan di dan biaya jasa kepelabuhanan. Tiongkok. (translogtoday)