Implementasi Penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Provinsi Dalam Ketatanegaraan Indonesia Pemilu Gubernur Propinsi Jawa Timur *Didik Suhariyanto Demokrasi berjalan dengan melibatkan secara langsung masyarakat dalam proses politik adalah dengan Pemilu. Sebagai sarana bagi masyarakat untuk menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Pemilu memiliki fungsi untuk menghasilkan kepemimpinan berdasarkan kehendak masyarakat serta sebagai sarana legitimasi kekuasaan. Secara yuridis perjalanan demomkrasi terus berjalan secara dinamis dengan menghasilkan perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perubahan dalam perjalanan demokrasi di daerah. Penelitian terhadap perjalanan demokrasi di daerah secara yuridis dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah. Semua konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di negara Republik IndonesiaTidak adanya desain konstitusi pada saat dilakukan perubahan UUD 1945, salah satunya berimplikasi pada carut marutnya pengaturan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah.
Kata Kunci : Demokrasi, Pemilu, Peraturan Perundang-undangan. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara demokrasi merupakan wujud pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat memegang peranan dalam menentukan jalannya pemerintahan yang demokratis. Untuk menyelaraskan peran pemerintah dan suara rakyat, maka peranan Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai cerminan demokrasi. Untuk terwujudnya penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi l7 Agustus l945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilaksnakan dengan jalan pemilihan umum. ( H. Abu Daud Busroh, l994 : 62)
Demokrasi berjalan sesuai proses jalannya pemerintahan serta dinamika masyarakat. Sehingga peranan Pemilihan Umum (Pemilu) sangat menentukan pemilihan kepala daerah secara demokratis yang ditentukan oleh rakyat. Dalam peraturan perundang-undangan pemilihan umum kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Yang diharapkan dengan peraturan secara yuridis akan memperkokoh nilai demokrasi rakyat. Demokrasi berjalan dengan melibatkan secara langsung masyarakat dalam proses politik adalah dengan Pemilu. Sebagai sarana bagi masyarakat untuk menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Pemilu memiliki fungsi untuk menghasilkan kepemimpinan berdasarkan kehendak masyarakat serta sebagai sarana legitimasi kekuasaan. Dasar penyelenggaran Pemilu diatur dalam Undang-Undang Dasar l945 bahwa Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bearsifat nasional, tetap dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping itu wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara Pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan legalitas dan legitimasi pemerintahan dalam pelaksanaan demokrasi. Suatu pemerintahan harus terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi, sehingga dapat dikatakan memiliki legalitas. Dilain pihak pemerintah harus legitimate, artinya disamping legal harus dipercaya rakyat.
Bahwa setiap pemerintahan yang demokratis dalam Pemilihan Kepala Daerah didasarkan pada hasil pemilihan umum yang demokratis. Legitimasi pemilihan langsung Kepala Daerah merupakan isu dalam gagasan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun l999 Tentang Pemerintahan Daerah. Setelah pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun l999 dan UU Nomor 25 Tahun l999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada awal 2001 yang memberikan otonomi luas dan nyata serta perimbangan keuangan yanag lebih besar kepada Pemerintah Daerah. Dan pemikiran agar Kepala Daerah dipilih secara langsung menjadi wacana public. Serta dilatarbelakangi oleh berbagai ketidakpuasan dan penyimpangan dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh para wakil rakyat di daerah setempat. Sehingga semangat untuk meningkatkan kualiatas demokrasi dengan cara penerapan pemilihan langsung kepala daerah semakin menguat dimasyarakat.. Gejala tersebut didorong setelah pemilihan Presiden secara langsung ditetapkan sebagai salah satu mekanisme utama pemilihan kepemimpinan nasional di tahun 2004. Sehingga kondisi tersebut dianggap dapat dipakai dan diterapkan di dalam pemilihan kepala daerah dilaksanakan pemilihan umum secara langsung. Setelah Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, mulai ditemukan banyak permasalahan yang membutuhkan penyempurnaan perundang-undangan. Pemilihan Kepala Daerah dengan sistem pemilihan langsung sebagaimana sekaranag diatur dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dan ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, yang menempatkan Pemilihan Kepala Daerah menjadi bagian Pemilu, ternyata memunculkan permasalahan.
Menampakkan Pemilu Kepala Daerah yang jumlahnya ratusan disibukkan oleh Pemilu dan masyarakat mengalami apa yang dinamakan kejenuhan psikologis politik yang diindikasikan oleh tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Disamping Pemilu Kepala Daerah menghabiskan biaya yang sangat besar. Dengan demikian adanya gagasan menyederhanakan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah kembali dilontarkan oleh pemerintah. Agar Pemilu Kepala Daerah lebih tertata dan sesuai dengan kemampuan sumbaer daya dan anggaran. Disamping itu dianggap ada persepsi yang salah tentang Pemilu dan demokrasi. Selama ini yang muncul dalam demokrasi Pemilu pelaksanaannya sangat mahal, sehingga anggaran yang sangat besarpun harus dikeluarkan. Gagasan oleh pemerintah dengan alasan dalam kerangka efisiensi anggaran Pemilu. Yaitu oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang telah menyusun draf revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah. Dalam draf tersebut tercantum aturan bahwa Gubernur tidak lagi dipilih secara langsung oleh warga di provinsi bersangkutan, tetapi dipilih oleh DPRD Provinsi. Langkah penyederhanaan juga diterapkan untuk pemilihan Kepala Daerah Tingkat II, yaitu dengan menggabungkan Pemilihan Bupati dan wakil Bupati atau walikota dan wakil Walikota serentak per provinsi. Selain masalah anggaran dalam Pemilihan Kepala Daerah, penyelenggaraan di daerah juga masih dibingungkan dengan tidak konsisten aturan yang dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah. Permasalahan itu disebabkan ketidaksinkronan antara UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 22 Tahun 2007. Perbedaan itu antara lain terletak pada cara pemberian suara. UU Pemerintahan daerah menyebutkan pemberian suara
masih dengan cara mencoblos, sedangkan UU Pemilu dengan cara mencontreng. Dan untuk sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat bahwa aturan teknis Pilkada menggunakan undang-undang Pemilu, sedangkan untuk pembiayaan dan anggaran menggunakan undang-undang Pemerintahan Daerah.
Permasalahan Berdasarkan uraian latara belakang pemikiran tentang kebijakan Pemerintah Daerah, penelitian ini dirancang untuk melihat implementasi penyederhanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah
dalam Ketatanegaraan Indonesia. Agar lebih rinci
permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : a.
Implementasi yuridis lembaga Pemilu dalam pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah
Propinsi. b.
Dasar yuridis penyederhanaan Pemilu dalam Pemilihan Kepala Daerah Propinsi.
c.
Desain pelaksanaan penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah.
Atas dasar masalah tersebut, penelitian ini disusun untuk merumuskan secara yuridis implementasi penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Provinsi dalam ketatanegaraan Indonesia, dan meneliti secara yuridis penyederhanaan pemilihan Kepala Daerah Provinsi serta desain pelaksanaan penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah. Langkah pertama ialah merumuskan implementasi lembaga Pemilu terkait dengan teknis pelaksanaanya serta peraturan perundang-undangan sebagai pendukungnya. Langkah Kedua adalah dengan meneliti dasar hukum yang digunakan sebagai penyederhaan Pemilu Kepala Daerah. Sedangkan langkah ketiga adalah dengan merumuskan desain penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah.
Kegunaan Teoritis dan Praktis dari Penelitian Kegunaan teoritis dari penelitian Implementasi penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah
Provinsi
dalam
ketaatanegaraan
Indonesia,
bersangkut
paut
dengan
pengembangan ketatanegaraan Indonesia dan pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara. Kegunaan praktisnya merupakan suatu sumbangan kepada Pemerintah dalam mengawal pelaksanaan dinamika Pemilu di tanah air. a. Kegunaan Teoritis Kegunaan teoritis bagi pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara. Penelitian ini bertujuan secara yuridis untuk menelusuri Implementasi penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Provinsi dalam ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini diarahkan untuk mendalami rencana pemerintah dalam penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Provinsi yang akan dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak lagi dilakukan pemilihan secara langsung. Begitu pula dengan rencana mengatur waktu pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota. b. Kegunaan Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tentang rencana pemerintah melakukan penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Provinsi dalam ketatanegaraan Indonesia. Dan penelitian ini secara praktis dapat dipakai sebagai referensi pelaksanaan Pemilu di tingkat daerah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Implementasi penyederhanaan
Pemilu Kepala Daerah Provinsi dalam
ketatanegaraan Indonesia Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang diperoleh dari berbagai publikasi hukum yang meliputi buku-buku teks, kamus hukum, pendapat ahli hukum, masyarakat dan surat kabar serta bahan hukum yang dapat mendukung bahan hukum primer. Populasi dalam penelitian ini meliputi semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Implementasi penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Propinsi dalam ketatanegaraan Indonesia. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah : 1.Studi Dokumen Mengkaji bahan-bahan kepustakaan,baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun bahan
bacaan yang berkaitan dengan Implementasi penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Propinsi dalam ketatanegaraan Indonesia. 2. Wawancara Penelitian melakukan wawancara dengan pihak instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat yang terkait dengan penelitian ini. Pengolahan bahan hukum yang sudah terkumpul disajikan dalam bentuk uraian,kemudian di analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif,yaitu bahan hukum yang sudah diperoleh disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisis menurut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Implementasi penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Propinsi dalam ketatanegaraan Indonesia.Sehingga pada akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan tentang Implementasi penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Propinsi dalam ketatanegaraan Indonesia.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN l. Implementasi Lembaga Pemilu Dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Gagasan untuk penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Provinsi telah mencadi wacana, mulai dari mengembalikan dipilih oleh DPRD atau mengusulkan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) ditunjuk langsung oleh DPRD dengan menitikberatkan gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah di daerah. Tentunya ide tersebut menjadi permasalahan baru, dengan mengatasnamakan penyederhanakan Pemilu Kepala Daerah kemudian meniadakan Pemilihan
Langsung yang telah menjadi bagian dari
Pemilu dan peningkatkan kualiatas demokrasi.
Alasan tersebut dilatarbelakangi demokrasi di Indonesia berlangsung sangat mahal, sebagai sampel penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah (Gubernur) di Jawa Timur menghabiskan biaya lebih dari Rp.800 miliar. Data KPU Jawa Timur menegaskan bahwa pada putaran pertama Pilkada, KPU mendapat dana Rp. 425 miliar. Selain untuk KPU, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyediakan dana untuk instansi lain. Putaran kedua menghabiskan dana Rp. 265 miliar. Adapun pada penghitungan ulang di Pamekasan diangarkan Rp. 3,3 miliar. Pungutan suara ulang di Bangkalan dan sampang membutuhkan Rp. 15,5 miliar, termasuk biaya pengamanan. Maka dalam kerangka efisiensi biaya penyelenggaraan Pemilu Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyusun draf revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah. Dalam draf tersebut tercantum aturan gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh warga di provinsi bersangkutan, tetapi dipilih oleh DPRD Provinsi. Bila ini dilakukan berarati kita kembali lagi ke belakang untuk melepaskan jauh demokrasi dari hadapan kiata. Padahal rentetan renovasi dan bongkar pasang di dalam Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2004 mengidentifikasikan perjuangan kedaulatan rakyat yang ingin dipertahankan. Pemilihan Kepala Daerah bukan jaminan tegaknya kedaulatan rakyat, apalagi jika tujuan fungsi, struktur dan proses Pemilu sengaja dirancang untuk menegakkan kedaulatan negara atau pemerintah. Dan sebaliknya mematikan kedaulatan rakyat seperti sebelum reformasi. Dengan telah menjadi bagian dari Pemilu yang telah dipaket dalam satu sistem yang dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemerintah di daerah merupakan bagian yang integral dalam sistem politik dan pembangunan nasional sehingga garis politik dan perundang-undangan mengenai
pemerintahan di daerah ini harus konsisten dengan wawasan dan sistem poliatik nasional. (M. Solly Lubis, l992 : 143) Pemilu Kepala Daerah yang telah berproses bongkar pasang dan renovasi pada pasal-pasal tentang Pemilu Kepala Daerah dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah sampai pada persiapan dan tahap pelaksanaan sangat menyita energi dan financial di daerah dengan beban politik, anggaran, psikologis masayarakat semakin berat. Disamping untuk mengikuati semua tahapan Pemilu Kepala Daerah biaya yang dikeluarkan sangat besar. Masyarakat mengalami kejenuhan psikologi politik. Untuk itu diperlukan Pemilu Kepala Daerah yang murah agar demokrasi terus dapat diaktualiasikan dengan cara menyederhanakan Pilkada. `
Lembaga Pemilu adalah sistem norma dalam proses penyampaian hak demokrasi
rakyat. Pengertian ini akan menunjuk ada jalinan kaidah-kaidah dan unsur-unsur yang masing-masing satu dengan yang lainnya berhubungan erat, saling berketergantungan dan bilamana salah satu kaidah atau unsur diantara kaidah-kaidah atau unsur-unsur tadi tidak berfungsi dengan baik, maka akan mempengaruhi keseluruhannya. Tahap demi tahap yang dilewati secara tertib dan teratur menurut kidah-kaidah tertentu sehingga penyampaian hak demokrasi warganegara terwujud sebagaimana mestinya. Kaidah-kaidah dan unsur-unsur dari sistem norma itu meliputi hak pilih peserta segala aspeknya penyelenggaraan Pemilu dan organiasi peserta, pengawasan, aas-asas pemilihan umum, sistem pemilihan dan sebagainya. Masuknya pemilu dalam UUD l945 boleh dikatakan adanya pengakuan bahwa pemilu itu merupakan tradisi penting, dan menjadi keharusan di berbagai sistem politik negara yang
menganut paham demokrasi, sehingga pemilu perlu diberikan tempat dalam tatanan demokrasi. (Agustin Teras Narang, 2003 : 66) Terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum, Pasal 22E aya (l) UUD l945 menenatukan bahwa, Pemilihan Umum dilakanakan saecara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Dalam Pasal 22E ayat 5 ditentukan pula bahwa pemilihan umum dislenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Oleh sebab itu manurut UUD l945 penyelenggaraan Pemilihan Umum itu harus komisi yang bersifat (l) nasional, (2) tetap, dan (3) mandiri dan independen. Sifat Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mandiri atau independent, didasarkan pada pemahaman bahwa penyelenggaraan pemilihan umum itu harus bearsifat netral dan tidak boleh memihak. KPU tidak boleh dikendalikan oleh Partai Politik ataupun pejabat Negara yang mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta atau calon peserta pemilihan umum. Peserta pemilihan umum itu sendiri dapat terdiri atas : partai poltik, calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon atau anggota Dewan Perwakilan Daerah, calon atau anggota DPRD, calon atau Presiden atau Wakil Presiden, calon Gubernur atau Wakil Gubenur, calon atau Bupati atau Wakil Bupati, calon atau Walikota atau Wakil Walikota. Kedelapan pihak yang terdaftar diatas mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan keputusan-keputusan yang akan diambil oleh KPU sebagi penyelenggara Pemilu, sehingga oleh karenanya KPU harus terbebas dari kemungkinan adanya berbagai pengaruh negatif.
Adapun tahap-tahap yang dilewati dalam proses Pemilu meliputi pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, penyusunan dan perhitungan suara, pemantapan hasil pemilihan, peresmian atau pelantikan para calon terpilih.Hak pilih merupakan hak yang harus dilindungi dan dijamin sebagai hak asasi warga negara dalam aturan-aturan hukum negara yang demokratis Sehingga pemilu dapat berlaku secara umum, langsung, bebas dan rahasia ini dijadikan asas daripada pemilihan umum. Untuk ketertiban administrasi, para pemilih dideftar dalam daftar pemilih. Tentang teknis pendaftaran pemilih, dijamin agar hak suara seseorang tidak hilang begitu saja sebagai akibat dari nama pemilih yang bersangkutan tidak tercantum dalam daftar pemilih. Orang-orang yang dipilih terlebih dahulu mencalonkan diri dan /atau dicalonkan. Dalam kaitan dengan calon dan pencalonan ini maka timbul masalah siapa-siapa saja yang dapat mencalonkan diri atau mengajukan calon. Kemudian masalah selanjutnya siapa yang menjadi peserta pemilu/kontestan pemilu berhubung dengan adanya pencalonan. Unsur berikutnya dari sistem norma dalam Pemilu adalah unsur penyelenggara Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan secara demokratis, dan penyelenggara Pemilu harus dapat menjalankan tugsnya dengan baik. Penyelenggara dituntut berlaku jujur dan adil, tidak memihak dan memberikan perlakuan serta pelayanan yang sama terhadap para kontestan. Jujur dalam pendaftaran pemilih, penunjukan dan perhitungan suara, jujur dalam penetapan hasil pemilihan, adil dalam memperlakukan para kontestan. Paling tidak ada tiga tujuan pemilihan umum di Indonesia, yaitu pertama memunginkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib, kedua untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dan ketiga untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara.
Sementara itu, Jimly Ashidiqie merumuskan tujuan penyelenggaraan pemilu menjadi 4 (empat), yaitu : a.
untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan
secara tertib dan damai, b.
untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili
kepentingan rakyat di lembaga perwakilan, c.
untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat, dan
d.
untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Dalam pemilu, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan ada pula yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan di cabang kekuasan pemerintahan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden danWakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan adanya Pemilu yang teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksud juga dapat terselenggara secara teratur dan berkala. Dengan
demikian,
tujuan
pertama
mengandung
pengertian
pemberian
kesempatan yang sama kepada para peserta Pemilu untuk memenangkan Pemilu. Oleh karena itu adalah sangat wajar apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik di lembaga pemerintahan eksekutif maupun di lingkungan lembaga legislatif. Tujuan ketiga dan keempat Pemilu adalah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. Untuk menentukan jalannya negara, rakyat sendirilah yang harus mengambil keputusan melalui perantaran wakil-wakilnya yang
akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara dengan benar menurut UUD adalah hak rakyat yang sangat fundamental. Oleh karena itu,penyelenggaraan pemilihan umum, disamping merupakan perwujutan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sendiri. Untuk itu diperlukan pemilihan umum guna memilih para wakil rakyat itu secara periodik. Demikian pula di bidang eksekutif, rakyat sendirilah yang harus memilih Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota untuk memimpin jalannya pemerintahan, baik di tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota. Terkait dengan tujuan untuk melaksanaan hak-hak asasi, didalam UndangUndang Dasar 1945 antara lain adalah : Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27, ayat 1). Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28).Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat 3). Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat 3). Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya, dan kepercayaanya itu (Pasal 29 ayat 2).
2. Dasar Yuridis Penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Pasal l ayat (2) UUD l945 menegaskan sumber kekuasaan poitik adalah rakyat. Karena rakyat adalah sumber kekuasaan politik, maka perlu diketahui
kehendak umum rakyat (volonte general). Atas dasar kehendak umum rakyat itulah dibentuk
pemerintahan
negara,
dan
pemerintahan
menjalankan
atugasnya
berdasarkan mandat yang diberikan oleh rakyat setiap kebijakan pemerintah yang tidak didasarkan kepada pengetahuan mengenai kehendak umum rakyat. Ketidakseimbangan yang akan diketahui bila terdapat cukup saluran untuk menyatakan pendapat yang bebas lebih dalam lagi kita lupa pada Pancasila, singkatnya demokrasi Pancasila, yaitu demokrsi yang merupakan perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang mengandung semangat ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan baeradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam praktek meskipun
rakyat sebagai sumber kekuasaan politik yang
baeradaulat penuh, cara rakyat untuk mengekspresikan kedalatannya tetap harus diatur. Meskipun banyak cara bagi rakyat untuk mengekspresikan kedaulatan sampai sekarang orang masih yakin cara paling efektif adalah melalui Pemilihan Umum. (Lukman Hakim, 200l:177) Gambaran itu menunjukkan bahwa untuk melaksanakan Pemilu guna menentukan seseorang menjadi pejabat negera dapat ditempuh melalui dua alternative yaitu : Pertama, pemilihan secara langsung, artinya para pemilih melakukan pemilihan orang atau kontestan (peserta) yang disukai. Kedua, pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para pemilih melakukan pemilihan orangorang untuk menjadi anggota suatu lembaga kenegaraan yang mempunyai
wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi perjabat negara tersebut. (B. Hestu Cipto Handoyo, 2003 : 209) Berdasarkan proses demokrasi pemilihan Kepala Daerah telah mengalami perubahan dalam mengartikulasikan demokratisasi di daerah. Ini bisa dilihat pada Undang-Undang yang menerapkan prinsip demokrasi sesuai Pasal l8 ayat (4) UUD l945 dimana Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Secara yuridis perjalanan demomkrasi terus berjalan secara dinamis dengan menghasilkan perubahan undang-undang yang terkait dengan perubahan dalam perjalanan demokrasi di daerah. Penelitian terhadap perjalanan demokrasi di daerah secara yuridis dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah. Semua konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di negara Republik Indonesia secara resmi mencantumkan demokrasi sebagai salah satu asas kenegaraannya. (Moh. Mahfud MD, l998 : 373) Dalam UU Nomor 5 Tahun l974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, adalah mempersempit otonomi menjadi otonomi nyata dan bertanggungjawab dengan titik berat di Tingkat II Kabupaten/Koatamadya. Pemilihan Kepala Daerah mengalami kemajuan sedikit karena DPRD yang memilih Kepala Daerah, meskipun hanya bersifat simbolis, karena keputusan akhirnya tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Kita teliti juga dalam UU Nomor 22 Tahun l999 tentang Pemerintahan Daerah menunjukkan indikator yang lebih progresif bila dibandingkan dengan UU Nomoar 5 Tahun l974. Pemerintah Daerah tidak lagi terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD, melainkan Kepala Daerah beserta perangkat daerah Otonom yang menyelenggarakan
tugas eksekutif daerah, sebailknya DPRD diposisikan seutuhnya sebagai badan legislatif daerah. Konstruksi pemisahan organ dan fungsi tersebut membawa akibat Kepala Daerah harus dipilih secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil oleh DPRD dengan suara terbanyak. Keputusan DPRD itulah yang menjadi dasar ditetapkan dan diresmikan calon Kepala Daerah dan waklil Kepala Daeah terpilih sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah definitif oleh Pejabat yang berkewenangan yang ditunjuk untuk itu. Jadi dipilih kembali oleh DPRD namun hasilnya di tetapkan Pemerintah. Otoritas terakhir masih dalam genggaman Pemerintah Pusat. Kewajiban
menyelenggarakan
otonomi
daerah
dalam
kesatuan
sistem
penyelenggaraaan pemerintahan negara dalam hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara eksplisit secara langsung tetapi masih merupakan bagian dari desentralisasi. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 ada 63 pasal yang mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah yaitu mulai dari pemilihan, penetapan pemilih, kampanye, pemungutan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan, pemamtauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sampai pada ketentuan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal dimaksud tertuan dari pasal 56 dan pasal ll9 sehingga terlihat jelas keseriusan pemerintah pusat untuk mengakomodasi demokrasi pada pemilihan Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilakukan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, arahasia jujur dan adil. Pasangan calon asebagaimana dimaksud pada ayat tersebut harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol (pasal 56) dan calonnya harus mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
Kemudian dalam Peraturan Pemeraintah Pengganti UU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Aatas UU No. 32 Tahun 2004 Tentng Pemerintahan Daerah mengenai hal yang belum diatur dan diantisiapasi adalah seperti keadaan genting yang disebabkan bencana alam, kearusuhan, gangguan, diseluruh atau sebagaian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Serta diperlukan menetapkan prinsip efisiensi dan efektifitas berkaitan dengan pemanfaatan dana, perlengkapan personil dan keadaan wilayah pemilihan. Salah satu contoh efisiensi adalah adanya perubahan pada pasal 90 ayat (l) dimana jumlah pemilihan di setiap TPS paling banyak 600 (enam ratus) orang, yang sebelumnya hanya dibatasi sebanyak-banyaknya 300 orang dan ditambahnya Pasal 236 B yang berbunyi untuk kelancaran pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daearh pemearintah dan pemerintah daerah dapat memberi dukungan . Ini berarti tersirat bahwa dipasal 236 B diperlukan peningkatan kepekaan dan kemampuan serta integritas moral dari subyek hukum yang ada pada pasal 236 B untuk mewujudkan Pemilu Kepala Daerah yang Langsung, umum, bebas dan rahasia. Hal yang sangat esensial dalam UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah dengan diakomodasikannya kepemimpinan daerah yang demokrasi yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan penyelenggaraan pemilihan Kepala Pemerintahan Daerah memberi kesempatan
yang sama kepada setiap warganegara yang memenuhi calon
persyaratan sebagai calon perseorangan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon Perseorangan. Kemudian sebagai pelengkap lanjutan hal yang belum diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 yaitu tentang pengisian kekosongan Jabatan Wakil Kepala
Daerah yang menggantikan Kepala Daerah atau Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah yang meninggal dunia, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajiban selama 6 bulan serta terus menerus dalam masa jabatan serta integritas jadwal Pilkada. Tepatnya pada UU no. 12 Tahun 2008 ada l8 point yang mendasar di reformasi. Dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Pemilu maka Pemilu yang dilangsungkan di daerah secara langsung menjadi bagian dari Pemilu. Ditinjau dari aspek hukum, konsep penyederhanaan Pemilihan Kepala Daerah atau pengisian jabatan Kepala Daerah merupakan konsep penyederhanaan atuan hukum, maka aturan-aturan hukum yang mengatur sistem penyelenggaraan pemilihan umum Kepala Daerah, sebagian atau seluruhnya disederhanakan. Paling tidak, ada 2 cara yang dapat ditempuh untuk melakukan penyederhanaan pengaturan mengenai pemilihan umum Kepala Daerah atau pengisian jabatan Kepala Daerah yaitu : l. Penyederhanaan pengaturan mengenai bagian-bagian tertentu dari sistem pengisian jabatannya. 2. Penyederhanaan pengaturan dalam arti mengubah seluruh aturan hukum yang mengatur tentang pemilihannya. Ini terutama disebabkan sistem yang lama biasanya dianggap kompleks dengan masalah dan rumit (complicated). Pada penyerhanaan pengaturan mengenai bagian-bagian tertentu dari sistem pengisian jabatannya, maka yang menjadi focus penyederhanaan adalah pengaturan tentang sebagian dari metode atau mekanisme yang dipakai untuk mengisi jabatan, bukan pada sistem pemilihannya secara menyeluruh, melainkan bagian-bagian tertentu saja. Sedangkan penyederhanaan dalam arti mengubah seluruh aturan hukum yang mengatur tentang pemilihannya, maka yang menjadi focus adalah seluruh perangkat peraturan yang
menjadi landasan hukum bagi kegiatan pemilihan itu diubah. Ini berarti sistem pemilihannya sebagai materi muatan hukum diubah secara menyeluruh. Konstruksi konstitusional UUD l945 sebenarnya tidak merumuskan, bahwa pemilkihan umum Kepala Daerah dalam rangka memilih gubernur, bupati atau walikota itu harus melalui pemilihan langsung. Pasal l8 Ayat (4) UUD l945 dengan jelas mengatur bahwa : Gubernur, Bupati dan Walikota msing-masing, sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Jadi UUD l945 secara yuridis formal sama sekali tidak mengatur, bahwa untukmemilih Kepala DAerah, apakah gubernur, bupati atau walikota harus melalui pemilihan langsung. Dalam arti rakyat (voters) memilih langsung calon Kepala Daerah dan wakilnya. UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang justru mengatur pemilihan umum pemilihan kepala daerah untuk memilih gubernur, bupati atau walikota itu melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat (voters). UUD l945 hanya menenatukan agar kepala daerahdipilih secara demokratis. Apakah pemilihan itu dilakukan melalui mekanisme, rakyat secara langsung menentukan pilihannya, ataukah tidak langsung. Dalam arti pemilihan kepala daerah itu melalaui wakil-wakil rakyat didaerah, UUD l945 tidak memberikan batasan hukumnya. Akan tetapi yang jelas, dari perspektif nilai demokrasi, pemilu Kepala Daerah secara langsung memiliki tingkat legitimasi yang tinggi dibandingkan dengan Pemilu Kepala Daerah tidak langsung, karena kehendak mayoritas rakyat yang akan menenatukan kepala daerahnya. Pemberian suara dalam pemilu oleh kebanyakan analisis digolongkan sebagai salah satu ukuran partisipasi politik. Makin tinggi tingkat pemberi suara dalam pemilu diasumsikan makin tinggi pula tingkat partisipasinya. Tampaknya sistem pemilu
merupakan variabel yang harus diperhitungkan pula dalam melihat hasil pemilu. (M. Rusli Karim, l991 : 34)
3. Desain Pelaksanaan Penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah. Dalam kerangka efisiensi biaya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyusun draf revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah. Dalam draf tersebut tercantum aturan gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh warga di provinsi bersangkutan, tetapi dipilih oleh DPRD Provinsi. Langkah penyederhanaan juga diterapkan untuk pemilihan kepada daerah Tingkat II, yaitu dengan menggabungkan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota serentak per provinsi. Mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung ataupun tidak langsung, hanyalah bagian kecil dari peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Ia tidak dengan sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi di tingkat lokal sangat membutuhkan berbagai persyaratan, khususnya dari para pemilih sendiri. (Abdul Gaffar Karim, 2003 : 234) Tidak adanya desain konstitusi pada saat dilakukan perubahan UUD 1945, salah satunya berimplikasi pada carut marutnya pengaturan Pilkada pada undang-undang yang menjabarkannya. Salah satunya adalah Pasal l8 UUD l945 pada perubahan ke II Tahun 2000, mengenai Pemerintah Daerah yang didalamnya mengatur tatacara pemilihan Kepala Daerah. Pasal l8 UUD l945 belum memungkinkan mencantumkan secara eksplisit bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung, oleh sebab itu diambil kesepakatan kepala daerah
dipilih secara demokratis. Sementara itu pandangan fraksi-fraksi dalam risalah-risalah siding PAH I BP MPR yang dilanjutkan Sidang Pleno MPR, diantara fraksi yaitu : FPDIP, FPG, FPPP, FPDU, FKKI. FKB, FUG, F Reformasi, secara keseluruhan menghendaki pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang rumusan konkritnya adalah Gubernur, Bupati, dan walikota dipilih secara langsung yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang. Dengan terbitnya UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, semua jenis Pemilu menjadi tugas dan kewenangan KPU. Artinya KPU dan jajarannya saat ini bertugas dan berwenang menyelenggarakan Pemilu untuk anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU diberi kewenangan membentuk Peraturan KPU dan keputusan KPU, dengan harapan terjadi penyelenggaraan semua jenis Pemilu akan netral. Penempatan KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara semua jenis Pemilu, tidak hanya akan membuat semakin rumitnya administrasi, tetapi juga menyebabkan rakyat para pemilih dihadapkan pada situasi dan pilihan yang rumit. Secara rinci dalam satu hari masyarakat harus memilih masing-masing satu dari ribuan nama yang tertera dalam surat untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara serentak. Kerumitan itu akan bertambah, karena selang 3 bulan kemudian menyusul dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden putaran pertama, dan 2 bulan kemudian kembali dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden putaran kedua. Tidak lebih dari 9 bulan kemudian secara serentak sebagian besar daerah melaksanakan pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota (Kepala Daerah) yang juga dilakukan secara langsung.
Penyederhanaan Pemilu dengan pengaturan Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal, bahwa Pemilu Nasional untuk memilih anggota DPR dan DPD, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu local untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta memilih Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Pemisahan Pemilu nasional dan lokal terlebih dahulu dilakukan masa transisi berupa penundaan Pemilihan Kepala Daerah untuk penyesuaian waktu antar daerah. Melalui dua kali penundaan, jarak waktu antar daerah bisa dipersempit, dan akhirnya semua daerah di setiap provinsi bersamaan. Ini diperlukan karena jadwal pemilihan Gubernur , Buipati, dan Walikota yang ada selama ini waktu penyelenggaraan bervaiasi. Untuk dua Pemilu Nasional yang memililih anggota DPR dan DPD, serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan Juli – September, Juli- September 2014, juli- September 2019 dan seterusnya lima tahunan. Masa transisi pemilu local untuk memilih anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara perpanjangan masa jabatan selama 2 tahun dengan cara memeperpanjang l tahun masa jabatana bagi anggota DPRD Provinsi dan Kbupaten/Kota hasil Pemilu 2009 dan kembali memperpanjang selama l tahun bagi anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota hasil pemilu 2015. Dengan demikian nantinya setelah Pemilu anggota DPR dan DPD tahun 20l9, Pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota diselenggarakan tahun 2021. Lima tahun seterusnya penyelenggaraan Pemilu Nasional yangmemilih DPR dan DPD dan pemilu lokal yang memilih anggota DPRD akan diselenggarakan dengan selisih waktu 2 tahunan.
Selain maslah biaya dalam Pilkada, penyelenggara di daerah juga masih dibingungkan dengan ketidakajekan aturan yang dipakai dal;am pilkada. Persoalan iatu disebabkan adanya ketidaksinkronan antara UU No.32 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 2007. Perbedaan itu antara lain terletak pada cara pemberian suara. UndangUndang Pemerinthan Daerah menyebutkan pemberian suara masih dengan pencoblosan, sedangkan UU Pemilu dengan pencontrengan. Dan untuk sementara, KPU sepakat bahwa aturan teknis pilkada menggunakan Undang-undang pemilu, sedangkan untuk pembiayaan dan anggaran menggunakan undnag-undang Pemerintahan Daerah. Sementara itu KPU mengusulkan desain penyederhanaan pemilu di Indonesia dengan hanya melaksanakan dua kali pemiliohan yaitu pemilu legislative dan eksekutif setiap lima tahun sekali. Gagasan tersebut dapat dilaksanakan pada 2013 dan 2014. Pada tahun 2013 direncanakan untuk pelaksanaan pemilu legislatif sementarapemilu eksekutif yang terdiri dari Pemilu Presiden, Gubernur,, bupati dan walikota dapat digelar serentak pada 20124. Teknisnya dalah, pemilu legislative dilaksanakan pada Oktober 2013. Pelaksanaan pemilu legislative Oktober 2013 tidak melangggar undang-undang, karena meskipun dilaksanakan 2013 pelantikannya tetap pada l Oktober 2014. Alasan dilaksanakanya pemilu legislative pada Oktober 2013 itu, agar penyelenggara pemilu memiliki kesempatan untuk mempersiapkan pemilu eksekuatif yang akan digelar pada 2014. Melalui penataan pilpres dapat sekaligus digunakan untuk pemilihan Kepala Daerah. Namun untuk penyelenggaraan pilkada serentak perlu payung hukum karena terkendala berakhirnya jabatan kepala daerah yang tidak sama. Padahal dalam UU No, 32
Tahun 2004 disebutkan saecara tegas bahwa pilkada harus digelar satu bulan setelah habis massa jabatan Kepala Daerah. Dengan demikian untuk memungkinkan pilkada secara saerentak, pemerintah dan DPR perlu segera membentuk paying hukum. Dengan adanya payung hukum itu. Maka Pilkada serentak bisa dilakanakan dalam tahun yang sama bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya juga berakhir pada tahun tersebut. Namun apabila melihat kembali ke desain konstitusional setelah perubahan UUD l945, sesungguhnya berdasarkan penafsiran original intent atas Pasal 22 E ayat (2) juncto Pasal 6 A ayat (2) UUD l945, Pemilu legislatif (untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD) dan Pemilu Presiden dan Wakil Prsiden seharusnya dilaksanakan sekaligus secara saerentak, tiak dipisahkan sebagaimana dipraktekkan pada Tahun 2004 dan Tahun 2009. Sedangkan untuk memilih Kepala Daeah dan Wkil Kepala Daerah dengan mengacu Pasal l8 ayat (4) UUD l945 bahwa, Gubernur, Bupati, Walikota masing-msing sebagai Kepala Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis, seharusnya mekanisme pemilihannya tidak selalu harus dilakukan secara langsung, melainkan dapat juga dipilih secara tidak langsung, yaitu oleh DPRD, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama bertahun-tahun sebelumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemilihan Kepala Daerah bukan jaminan tegaknya kedaulatan rakyat, apalagi jika tujuan fungsi, struktur dan proses Pemilu sengaja dirancang untuk menegakkan kedaulatan negara
atau pemerintah, tidak dilaksanakan secara demokratis.
Dan sebaliknya
mematikan kedaulatan rakyat seperti sebelum reformasi akan mematikan demokrasi.
Pemilu sebagai implementasi demokrasi telah dipaket dalam satu sistem yang dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Secara yuridis perjalanan demokrasi berproses secara dinamis, dan menghasilkan perubahan Peraturan perundang-undangan terkait perubahan dalam perjalanan demokrasi di daerah. Penelitian terhadap perjalanan demokrasi di daerah secara yuridis ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah. Penyederhanaan Pemilu dilakukan pengaturan Pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal, bahwa Pemilu Nasional untuk memilih anggota DPR dan DPD, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu local untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta memilih Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Pemisahan Pemilu nasional dan lokal terlebih dahulu dilakukan masa transisi berupa penundaan Pemilihan Kepala Daerah untuk penyesuaian waktu antar daerah. SARAN Penyederhanaan Pemilu Kepala Daerah Propinsi (Gubernur) maupun desain Pemilu perlu dibuat undang-undang yang mengatur agar Pemilu kepala daerah provinsi dilakukan dengan dipilih oleh anggota DPRD Provinsi atau dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila rakyat menghendaki untuk menolak penyederhaan Pemilu kepala daerah, maka masyarakat dapat menenmpuh jalur hukum, melalui permohonan pengujian undanag-undang ke Mahkamah Konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA Agustin Teras Narang, Reformasi Hukum,Pustaka Sinar Harapan, Cet l, Jakarta, 2003.
Abdul Gaffar Karim, Persoalan Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar,Cet l, Yogyakarta, 2003. B. Hestu Cipto Handoyo, Hutum Tata Negara, Kewarganegaraan Dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya, Cet l, Yogyakarta, 2003 H Abu Daud Busroh, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta, Cet l, Jakarta l994. Lukman Hakim, Opini Para Pakar Dan Politisi, Membangun Demokrasi, Secara Dewasa, Forum Dialog Masyarkat Profesional, Jakarta 200l M Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Cet 5, Bandung, l992. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Cet 2, Jakarta, 2001. M Rusli Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, Tiara Wacana Yogya, cet l, Yogyakarta, l991l