ILUSI TIGA DIGIT: PENGARUH JUMLAH NOL PADA TAMPILAN HARGA DAN BATASAN ANGGARAN TERHADAP WILLINGNESS TO PAY MAHASISWA
Pradizza Septiana Putri dan Erita Narhetali Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Abstrak Keberadaan rancangan undang-undang redenominasi Indonesia meningkatkan kemungkinan terjadinya perubahan pada mata uang rupiah dalam waktu dekat. Ketika Dewan Perwakilan Rakyat kelak mengesahkannya menjadi undang-undang, tiga digit nol akan menghilang dari nominal rupiah saat ini. Penelitian ini berusaha menguji apakah perubahan itu akan mengakibatkan timbulnya ilusi uang pada konsumen di Indonesia. Dalam penelitian ini, ilusi uang diteliti pada 104 mahasiswa dengan metode eksperimental. Perbedaan willingness to pay (WTP) mahasiswa diamati menggunakan 2 (jumlah nol: normal vs redenominasi) x2 (batasan anggaran: tinggi vs rendah) between subject factorial design. Meskipun ada indikasi bahwa WTP mahasiswa pada kondisi anggaran tinggi dan jumlah nol normal cenderung lebih tinggi daripada WTP mahasiswa yang diberi anggaran rendah ataupun jumlah nol redenominasi, perbedaan itu tidak signifikan (F=0,248, p>0,05, partial η2=0,002). Dengan demikian, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ilusi uang tidak akan timbul saat redenominasi diberlakukan. Oleh sebab itu, baik konsumen maupun pelaku bisnis tidak perlu cemas akan diterapkannya kebijakan redenominasi kelak. Kata kunci: ilusi uang; willingness to pay; jumlah nol; batasan anggaran
Abstract The existence of Indonesian redenomination draft raise a possibility that a change will be seen on the currency of rupiah in the near future. When the house of representatives legalize the draft as a new law, three digits of zero will disappear from the nominal of rupiah. This study examines whether such change will create money illusion on Indonesian consumer. In this study, money illusion is observed on 104 college students using the experimental method. The difference between students’ willingness to pay (WTP) is observed under the 2 (amount of zero: normal vs redenomination) x2 (budget constraint: high vs low) between subject factorial design. Although this study indicates that students treated in the high budget and normal amount of zero condition tend to have higher WTP than students treated in low budget or redenomination condition, the difference is insignificant (F=0,248, p>0,05, partial η2=0,002). Therefore, the results of this study indicates that money illusion will not occur in times of redenomination. Hence, this study suggests that consumers and business owner should not be worried about the implementation of redenomination in the future. Keyword: money illusion; willingness to pay; amount of zero; budget constraint
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Pendahuluan Masuknya rancangan undang-undang (RUU) redenominasi ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2013 memperbesar kemungkinan akan berkurangnya tiga digit nol dari nominal rupiah dalam waktu dekat. Redenominasi memang tidak akan mengubah nilai tukar uang terhadap barang dan jasa. Namun, perubahan pada tampilan harga, sekalipun tidak diikuti oleh perubahan nilai tukar, diperkirakan dapat menimbulkan ilusi uang (Shafir, Diamond, & Tversky, 1997). Ilusi uang merupakan suatu kecenderungan untuk lebih menilai uang dari nominalnya dibandingkan dari jumlah barang dan jasa yang dapat ditukar dengan uang itu sendiri (Shafir, dkk., 1997). Kecenderungan ini dapat membuat seseorang memiliki persepsi ataupun tingkah laku yang berbeda ketika nominal uang berubah. Untuk mengetahui apakah masyarakat akan mengalami itu ketika redenominasi diterapkan, penelitian mengenai pengaruh perubahan tampilan harga terhadap terjadinya ilusi uang perlu dilakukan. Redenominasi adalah penyederhanaan uang dengan mengurangi sejumlah digit nol dari nominal uang itu sendiri. Redenominasi sudah dilakukan di sejumlah negara, misalnya di Ghana dan Turki. Namun, setelah redenominasi diterapkan, penelitian menunjukkan bahwa ilusi uang tidak terjadi baik pada partisipan di Ghana (Dzokoto, Young, & Mensah, 2010) ataupun di Turki (Amado, Tekozel, Topsever, Ranyard, Bonini, & Del Missier, 2007). Ilusi uang justru timbul ketika partisipan di Turki diminta mengestimasi harga barang dalam euro (Amado, dkk., 2007). Perubahan mata uang menjadi euro memang berbeda dengan redenominasi karena melibatkan perhitungan nilai tukar yang kompleks. Proses memahami harga pada kondisi ini disebut relearning dan berlangsung lama (Marques & Dehaene, 2004). Sementara itu, saat redenominasi, orang cukup menambahkan kembali sejumlah digit nol untuk memahaminya. Proses memahami harga pada kondisi ini disebut rescaling dan berlangsung relatif cepat (Marques & Dehaene, 2004). Jika benar tampilan harga dapat dipahami dengan cepat melalui proses rescaling, tidak heran bila simulasi redenominasi di Indonesia pun mengindikasikan bahwa partisipan tidak mengalami ilusi uang (Masyithah, 2012; Muda, 2011; Susianto, Sjabadhyni, Mahardika, Narhetali, & Nisa, 2012). Namun, ini belum tentu berarti bahwa ilusi uang tidak akan timbul saat redenominasi diberlakukan. Menurut Wertenbroch, Saman, dan Chattopadhyay (2007), dalam kondisi nyata, nominal uang atau harga bukan satu-satunya rujukan yang digunakan seseorang dalam berbelanja. Rujukan lain yang tampak jelas adalah batasan anggaran. Studi kedua Wertenbroch, dkk. (2007) menunjukkan bahwa ketika diminta berbelanja, partisipan yang diberi batasan anggaran yang tinggi memiliki willingness to pay (WTP) yang lebih
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
tinggi pula dibandingkan partisipan yang diberi batasan anggaran rendah. Ketika dianalisis, interaksi antara batasan anggaran dan nominal uang ternyata berpengaruh signifikan terhadap ilusi uang. Partisipan yang diberi batasan anggaran lebih cenderung merasa bahwa harga yang ditampilkan dalam nominal kecil juga lebih murah (padahal nilai sebenarnya sama) sehingga mereka memiliki WTP yang lebih tinggi pada kondisi tersebut dibandingkan ketika harga ditampilkan dalam nominal besar. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa batasan anggaran dapat memengaruhi timbulnya ilusi uang. Sayangnya, dalam penelitian terdahulu mengenai redenominasi (Amado, dkk., 2010; Dzokoto, dkk., 2010; Masyithah, 2012; Muda, 2011; Susianto, dkk., 2012), pengaruh batasan anggaran ini belum diteliti. Berbeda dengan penelitian redenominasi terdahulu, penelitian ini dilakukan dengan melibatkan batasan anggaran sebagai variabel bebas kedua. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menjadi pelopor dilibatkannya batasan anggaran dalam studi mengenai redenominasi. Dengan melibatkan batasan anggaran, peneliti ingin mengetahui apakah jumlah nol pada tampilan harga dapat memengaruhi ilusi uang. Dengan kata lain, penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat kemungkinan timbulnya ilusi uang ketika seseorang diberi tampilan harga dan batasan anggaran dengan jumlah nol yang berbeda pada nominalnya. Peneliti berasumsi bahwa bila pengaruh batasan anggaran turut diperhitungkan, penelitian mengenai ilusi uang pada kondisi redenominasi bisa saja memberikan hasil berbeda.
Tinjauan Teoritis Ilusi Uang Ilusi uang adalah, “A tendency to think in terms of nominal rather than real monetary value,” (Shafir, dkk., 1997, hal. 341). Seseorang yang mengalami ilusi uang menilai berharga atau tidaknya uang dari angka yang tertera pada lembaran uang, bukan dari banyaknya barang dan jasa yang dapat ditukarkan dengan uang tersebut. Ilusi uang dapat terjadi dalam berbagai konteks, seperti investasi, gaji, transaksi, persetujuan kontrak, bahkan persepsi akan keadilan (Shafir, dkk., 1997). Ilusi uang juga dapat timbul akibat perubahan pada mata uang. Ketika sejumlah mata uang negara Eropa diganti menjadi euro, nominal uang menjadi lebih kecil. Akibatnya, orang cenderung mempersepsikan harga barang menjadi murah sehingga bersedia membayar lebih (van Raaij & van Rijen, 2003) dan mengestimasi harga barang dengan akurasi yang lebih rendah (Marques & Dehaene, 2004; Del Missier, dkk., 2007) ketika harga dinyatakan dalam euro. Ilusi uang juga dapat timbul ketika seseorang bepergian ke negara lain. Ketika berada di negara yang nominal mata uangnya lebih kecil daripada negara asal, orang cenderung belanja
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
lebih banyak (overspending) (Raghubir & Srivastava, 2002; Wertenbroch, dkk., 2007). Menariknya, sekalipun merupakan perubahan mata uang, tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan pada estimasi harga barang (Amado, dkk., 2007), persepsi untung dan rugi (Dzokoto, dkk., 2010), willingness to pay (Masyithah, 2012; Muda, 2011), persepsi harga, maupun intensi membeli (Susianto, dkk., 2012) seseorang ketika uang atau harga ditampilkan dalam nominal normal dan dalam nominal yang telah dikurangi nolnya. Ini mengindikasikan bahwa saat redenominasi, orang cenderung tidak merasa bahwa uang menjadi lebihrendah nilainyal hanya karena jumlah nolnya dikurangi (ilusi uang cenderung tidak terjadi). Pengukuran ilusi uang dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu survey (Shafir, dkk., 1997), mengukur persepsi untung rugi (Dzokoto, dkk., 2010), meminta partisipan mengestimasi harga (Marques & Dehaene, 2004; Amado, dkk., 2007), dan willingness to pay (Masyithah, 2012; Muda, 2011; Raghubir & Srivastava, 2002; van Raaij & van Rijen, 2003; Wertenbroch, dkk., 2007). Dalam penelitian ini, willingness to pay (WTP) digunakan untuk mengukur timbul atau tidaknya ilusi uang. Oleh sebab itu, penjelasan mengenai WTP dituliskan dalam bagian tersendiri.
Willingness to Pay Willingness to pay (WTP) adalah, “The maximum amount that a buyer will pay for a good,” (Mankiw, 2009, hal.138). WTP bukan harga yang ditawarkan penjual, melainkan besaran uang paling tinggi yang rela dikeluarkan seseorang untuk suatu barang. WTP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu real WTP dan hypothetical WTP. Real WTP bukan berarti WTP yang sebenarnya (true WTP). Kata “real” hanya menunjukkan bahwa dalam pengukurannya terdapat konsekuensi finansial yang nyata sebab seseorang harus benar-benar membeli barang sesuai harga maksimum yang dia sebutkan sebab pada pengukuran hypothetical WTP, seseorang tidak perlu melakukan pembelian nyata seperti itu (Voelckner, 2006). Dalam penelitian ini, WTP yang diukur merupakan hypothetical WTP. Untuk mengukur WTP, ada empat metode yang umum digunakan, yaitu auctions, lotteries, conjoint analysis dan contingent valuation (Voelckner, 2006). Penelitian ini menggunakan contingent analysis. Metode ini dapat digunakan dengan meminta partisipan menyebutkan WTP-nya untuk produk tertentu (Wertenbroch & Skiera, 2002) atau dengan meminta partisipan memutuskan apakah dia mau membeli barang pada harga tertentu (van Raaij & van Rijen, 2003; Wertenbroch, dkk., 2007). Pada penelitian ini, contingent analysis dilakukan dengan cara kedua sesuai adaptasi prosedur studi 2 Wertenbroch, dkk. (2007).
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Jumlah Nol pada Uang Uang didefinisikan sebagai, “Anything that is generally accepted in payment for goods or services or in the repayment of debts,” (Mishkin, 2007, ha. 49). Uang selalu memiliki dua nilai, yaitu nilai nominal dan nilai sebenarnya (real value) (Handa, 2009). Nilai uang yang sebenarnya menunjukkan nilai transaksi, yaitu jumlah barang dan jasa yang mampu ditukar dengan uang tersebut (Shafir, dkk., 1997). Sementara itu, nilai nominal tampak pada angka yang tertera pada uang (Handa, 2009). Nilai ini merupakan nilai yang dan lebih menonjol dari uang (Shafir, dkk., 1997). Jumlah nol pada uang tampak pada nilai nominalnya. Ketika terjadi redenominasi, nilai nominal uang berubah, yaitu dengan berkurangnya digit nol yang ada pada lembaran uang maupun harga. Namun, nilai uang yang sebenarnya tidak berubah. Ketika ada perubahan pada mata uang, adaptasi seseorang terhadap perubahan itu bisa berupa rescaling atau relearning (Marques & Dehaene, 2004). Rescaling berlangsung relatif cepat karena semua harga dihitung ulang (rescaled) pada waktu yang sama dari mata uang yang lama ke mata uang yang baru. Setelah redenominasi diberlakukan di Turki, mekanisme inilah yang menurut Amado, dkk. (2010) digunakan orang untuk beradaptasi. Sementara itu, relearning membutuhkan waktu yang relatif lama karena secara kognitif, terjadi pemetaan ulang atau penyusunan database baru dari harga masing-masing produk seiring dijumpai atau dibeli dengan harga yang baru. Menurut Marques & Dehaene (2004), mekanisme inilah yang digunakan ketika mata uang lokal negara Eropa diganti dengan euro. Oleh sebab itu, bila hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa partisipan tidak mengalami ilusi uang, dapat dikatakan bahwa adaptasi terhadap redenominasi rupiah cenderung mengikuti proses rescaling. Namun, bila hasil penelitian ini membuktikan bahwa partisipan mengalami ilusi uang, dapat dikatakan bahwa adaptasi terhadap redenominasi rupiah cenderung akan mengikuti proses relearning.
Batasan Anggaran Batasan anggaran atau budget constraint adalah, “The set of all bundles that exactly exhaust the consumer income at given price,” (Frank, 2003, hal.63). Dengan kata lain, batasan anggaran bukanlah nominal uang atau pendapatan yang dimiliki seseorang, melainkan jumlah kombinasi barang dan jasa maksimal yang dapat diperoleh dengan uang atau pendapatan itu. Namun, pendapatan (income) dan harga (price) memang merupakan dua faktor yang dapat memengaruhi batasan anggaran (Frank, 2003). Bila terjadi perubahan pada salah satu atau keduanya, batasan anggaran pun akan mengalami perubahan. Sebagai contoh, ketika pendapatan seseorang bertambah atau harga barang dan jasa turun, seseorang dapat membeli lebih banyak barang dan jasa (batasan anggaran lebih tinggi).
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Meskipun demikian, perubahan nominal uang seperti redenominasi tidak akan mengubah batasan anggaran. Ketika redenominasi terjadi, nominal pendapatan dan harga memang berubah, namun nilai sebenarnya tetap. Jadi, jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli tetap sama selama besar pendapatan dan harga tersebut juga tidak berubah. Menurut pandangan ekonom manusia adalah makhluk yang rasional. Perilaku ekonomi muncul untuk memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu, bila selera dan kebutuhan konsumen tidak berubah dan dia memiliki batasan anggaran yang sama di dua situasi yang berbeda, keputusan pembelian yang dia lakukan pun seharusnya sama (Frank, 2003). Dengan kata lain, pada saat nominal uang berubah, seseorang seharusnya tetap memiliki perilaku belanja yang sama. Bila perilaku berlanja seseorang berubah sedangkan pendapatan ataupun harga sebenarnya tidak berubah, berarti orang tersebut mengalami ilusi uang. Hal inilah yang ditemukan oleh Wertenbroch, dkk. (2007). Orang memang cenderung membeli lebih banyak produk bermerek terkenal ketika batasan anggannya tinggi. Menariknya, ketika uang dan harga dinyatakan dalam mata uang lain yang nominalnya lebih kecil, orang cenderung merasa bahwa harga menjadi lebih murah. Akibatnya, baik yang memiliki batasan anggaran tinggi maupun yang memiliki batasan anggaran rendah sama-sama membeli lebih banyak barang merek terkenal pada kondisi tersebut dibanding ketika uang dan harga dinyatakan dalam nominal yang lebih besar.
Pengaruh Merk dan Tampilan Harga terhadap Perilaku Belanja Orang cenderung memilih produk dengan merek yang lebih dikenal olehnya (Oeusoonthornwattana & Shanks, 2010). Hal ini bisa jadi dikarenakan orang cenderung mempersepsikan bahwa produk bermerek terkenal memiliki kualitas yang baik (Rao & Monroe, 1989). Dengan kata lain, sekalipun sudah mencoba sendiri kualitas dari masingmasing produk, seseorang cenderung tetap memilih produk dengan merek yang terkenal dan menganggapnya memiliki kualitas yang lebih baik. Seperti merek, tampilan harga juga bisa memengaruhi pilihan konsumen. Barang dengan harga mahal dipersepsikan memiliki kualitas yang lebih baik daripada barang dengan harga murah (Rao & Monroe, 1989). Selain itu, hal kecil seperti digit terakhir pada tampilan harga pun ternyata dapat memengaruhi persepsi konsumen. Barang dengan harga berakhiran “00” dianggap mahal, tetapi berkualitas tinggi. Harga berakhiran “tidak biasa”, misalnya, “63” dianggap ditentukan dengan hati-hati sehingga lebih adil bagi konsumen. Sementara itu, harga berakhiran “99” dianggap murah, tetapi berkualitas rendah (Schindler, 1991). Hal ini bisa jadi dikarenakan orang memproses harga tidak secara keseluruhan, tetapi dengan membaginya menjadi dua, yaitu digit kiri dan digit kanan (Liang & Kanetkar, 2006). Orang
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
cenderung memberi bobot lebih pada digit kiri. Oleh sebab itu, pencantuman harga Rp4.999 di sebuah swalayan bisa dianggap lebih murah daripada Rp5.000. Fenomena ini dikenal dengan istilah underestimation mechanism (Schindler & Kibarian, 1996) sebab harga suatu produk dianggap lebih murah (underestimated) karena orang lebih melihat digit kiri harga dan mengabaikan digit kanannya.
Dinamika Teori dan Hipotesis Studi kedua Wertenbroch, dkk. (2007) menunjukkan bahwa orang yang diberi tampilan harga dengan nominal kecil cenderung membeli lebih banyak produk bermerek terkenal (overspending) daripada orang yang diberi tampilan harga dengan nominal besar. Namun, pada penelitian redenominasi di Indonesia, perbedaan perilaku belanja semacam itu tidak terlihat (Masyithah, 2012; Muda, 2011; Susianto, dkk., 2012). Jika diamati, penelitian redenominasi di Indonesia menggunakan tampilan harga yang cenderung bulat (rounded). Dalam penelitian Masyithah (2012), misalnya, alat tulis yang digunakan sebagai produk yang harus dibeli partisipan diberi harga 1000 (pensil dan penghapus), 2000 (buku), dan 3000 (penggaris). Sementara itu, tampilan harga dalam daftar produk Wertenbroch, dkk. (2007) lebih beragam, misalnya 1361 (detergen) dan 259 (pasta). Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa akhiran harga yang berbeda, dapat dimaknai secara berbeda oleh seseorang (Liang & Kanetkar, 2006; Schindler, 1991) sehingga dapat menghasilkan respon yang berbeda pula (Schindler & Kibarian, 2005). Di sisi lain, peneliti mempertimbangkan bahwa timbulnya ilusi uang dalam konteks redenominasi telah diuji dengan berbagai cara, baik melalui estimasi harga (Amado, dkk., 2007), persepsi untung dan rugi (Dzokoto, dkk., 2010), intensi membeli (Susianto, dkk., 2012), maupun willingness to pay (Masyithah, 2012; Muda, 2011). Semua pengujian tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan tingkah laku antara partisipan dalam kondisi redenominasi dan dalam kondisi tanpa redenominasi. Dengan kata lain, kondisi redenominasi tidak membuat partisipan lebih mempertimbangkan nominal uang saat mengestimasi harga, mempersepsikan untung dan rugi, ataupun saat membuat keputusan berbelanja. Oleh sebab itu, peneliti menduga bahwa hasil yang diperoleh akan serupa dengan penelitian redenominasi sebelumnya. Penggunaan prosedur yang berbeda tidak akan membuat pengaruh jumlah nol terhadap ilusi uang menjadi signifikan, tetapi hanya memperbesar kemungkinan bahwa hasil penelitian memang dipengaruhi oleh jumlah nol, bukan akhiran harga. Dengan demikian, hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Hipotesis 1 (H1): Tidak ada perbedaan willingness to pay (WTP) yang signifikan antara kelompok yang diberi tampilan harga normal dan kelompok yang diberi tampilan harga redenominasi. Persentase barang bermerek terkenal yang dibeli partisipan pada kelompok dengan tampilan harga redenominasi tidak akan berbeda secara signifikan dengan persentase barang bermerek terkenal yang dibeli partisipan pada kelompok dengan tampilan harga normal. Selain itu, studi kedua Wertenbroch, dkk. (2007) menunjukkan bahwa orang yang diberi anggaran belanja tinggi cenderung membeli lebih banyak produk merek terkenal daripada yang diberi anggaran rendah. Menurut Frank (2003), jumlah uang yang dimiliki akan memengaruhi perilaku ekonomi seseorang sebab semakin banyak uang yang dimiliki berarti semakin banyak pula kombinasi barang yang bisa dibeli olehnya. Oleh sebab itu, hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Hipotesis 2 (H2): Terdapat perbedaan WTP antara kelompok yang diberi anggaran tinggi dan kelompok yang diberi anggaran rendah. Kelompok dengan anggaran tinggi akan membeli barang bermerek terkenal dalam persentase yang secara signifikan lebih besar daripada kelompok dengan anggaran rendah. Namun, lebih banyaknya produk merek terkenal yang dibeli partisipan ketika memiliki anggaran tinggi tidak menunjukkan ilusi uang, tetapi hanya menunjukkan perilaku belanja yang rasional (Frank, 2003). Batasan anggaran baru dikatakan memengaruhi ilusi uang perbedaan batasan anggaran membuat partisipan pada kondisi redenominasi merasa bahwa uangnya lebih sedikit atau perbedaan harga barang menjadi lebih kecil sehingga mereka secara signifikan membeli lebih banyak atau lebih sedikit barang merek terkenal dibanding partisipan di kondisi tanpa redenominasi. Dengan kata lain, batasan anggaran baru terbukti memengaruhi ilusi uang jika terdapat efek interaksi yang signifikan antara jumlah nol pada tampilan harga dan batasan anggaran itu sendiri. Studi kedua Wertenbroch, dkk. (2007) membuktikan bahwa ada efek interaksi antara nominal dan batasan anggaran dalam memengaruhi ilusi uang. Perbedaan jumlah pembelian produk merek terkenal yang paling besar terlihat saat partisipan diberi anggaran yang rendah. Dengan kata lain, saat diberi anggaran tinggi kecenderungan orang untuk membeli produk merek terkenal tidak jauh berbeda baik ketika tampilan harga dinyatakan dalam nominal kecil maupun dalam nominal besar. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh adanya kecenderungan orang untuk memilih merek yang lebih dikenalnya (Oeusoonthornwattana & Shanks, 2010). Bisa juga karena orang umumnya mempersepsikan produk merek terkenal maupun produk berharga tinggi sebagai produk yang berkualitas tinggi pula (Rao & Monroe, 1989).
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Peneliti menduga saat diberi anggaran tinggi, partisipan merasa memiliki banyak uang sehingga bisa membeli barang dengan merek yang lebih dikenal walau harganya mahal. Namun, saat diberi anggaran rendah, partisipan merasa uangnya sedikit. Meski cenderung memilih merek terkenal, partisipan ingin memastikan bahwa uang yang ada cukup untuk membeli semua kebutuhannya. Keinginan itu membuat mereka lebih memperhatikan nominal dan perbedaan harga barang. Akibatnya, mereka memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami ilusi uang. Ketika harga dinyatakan dalam nominal besar, perbedaan harga antarmerek dianggap cukup besar sehingga mereka lebih memilih membeli barang merek toko. Sementara itu, saat harga dinyatakan dalam nominal kecil, mereka merasa perbedaan harga antar merek juga lebih kecil. Dengan anggapan bahwa kualitas merek terkenal lebih baik, partisipan akhirnya lebih memilih membeli barang merek terkenal. Oleh sebab itu, hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Hipotesis 3 (H3): Jumlah nol pada tampilan harga berinteraksi secara signifikan dengan batasan anggaran dalam memengaruhi WTP partisipan. Perbedaan WTP antara partisipan yang diberi tampilan harga normal dan redenominasi pada kelompok dengan anggaran rendah secara signifikan akan lebih besar daripada perbedaan WTP antara partisipan yang diberi tampilan harga normal dan redenominasi pada kelompok dengan anggaran yang tinggi. Metode Partisipan Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa program sarjana (S1) yang direkrut dengan teknik snowball sampling dari berbagai fakultas di Universitas Indonesia kampus Depok. Sebanyak 104 mahasiswa direkrut dengan kriteria: bertempat tinggal di rumah kost atau asrama, memiliki pemasukan bulanan, dan berbelanja kebutuhan pribadinya sendiri secara rutin. Usia mayoritas partisipan (79,8%) antara 18 hingga 21 tahun. Partisipan umumnya berasal dari fakultas psikologi (30,8%) dan sisanya dari fakultas ilmu komputer, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, fakultas ekonomi, fakultas ilmu keperawatan, fakultas teknik, fakultas ilmu budaya, dan fakultas kesehatan masyarakat. Umumnya (76%), pengeluaran mereka antara Rp700.000 hingga Rp2.000.000 per bulan. Adapun pemasukan mereka umumnya berasal dari orangtua (61,5%).
Prosedur dan Pengukuran Prosedur yang digunakan dalam eksperimen ini merupakan adaptasi dari studi kedua Wertenbroch, dkk. (2007). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah ilusi uang yang diukur
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
melalui willingness to pay (WTP). Adapun WTP itu diperoleh melalui persentase jumlah barang bermerek terkenal yang dibeli oleh partisipan. Variabel bebas penelitian ini adalah jumlah nol pada tampilan harga dan batasan anggaran. Dengan menggunakan 2 (jumlah nol: normal vs redenominasi) x 2 (batasan anggaran: tinggi dan rendah) between subject factorial design. Setiap variabel divariasikan menjadi dua dan menghasilkan empat kelompok perlakuan, yaitu (1) batasan anggaran tinggi, jumlah nol normal; (2) batasan anggaran rendah, jumlah nol normal; (3) batasan anggaran tinggi, jumlah nol redenominasi; serta (4) batasan anggaran rendah, jumlah nol redenominasi. Pengambilan dilakukan secara individual atau dalam kelompok kecil dengan partisipan maksimum enam (6) orang. Data diambil sebelum redenominasi terjadi di Indonesia, yaitu di bulan Desember 2012. Partisipan diminta membayangkan diri mereka sedang kuliah di negara fiktif bernama Izkaria dan harus berbelanja bulanan. Anggaran belanja dan harga barang dinyatakan dalam mata uang fiktif, yaitu izkar (Iz). Pada kelompok jumlah nol normal (1 dan 2), nilai tukar izkar terhadap rupiah adalah Iz 1 = Rp1 sehingga tampilan harga dan anggaran dalam izkar mencerminkan tampilan sesuai rupiah saat ini. Sementara itu, di kelompok jumlah nol redenominasi (3 dan 4), nilai tukarnya adalah Iz 1 = Rp1.000 sehingga harga dan anggaran dalam izkar mencerminkan tampilan sesuai rupiah saat redenominasi diberlakukan (tiga digit nol dihilangkan dari nominal uang). Partisipan di kelompok batasan anggaran tinggi diberi anggaran setara Rp2.000.000 (Iz 2.000.000 atau Iz 2.000) untuk belanja. Sementara itu, partisipan di kelompok batasan anggaran rendah diberi anggaran setara Rp200.000 (Iz 200.000 atau Iz 200). Contoh skenario yang harus dibaca dan dibayangkan partisipan sebelum belanja adalah sebagai berikut.
Saat ini Anda sedang kuliah di sebuah negara tetangga yang bernama Izkaria. Mata uang negara ini adalah izkar (Iz) yang memiliki nilai tukar Iz 1 = Rp1. Penulisan nominal izkar sama dengan rupiah, yaitu menggunakan titik (.) untuk menyatakan ribuan, dan koma (,) untuk menyatakan sen. Jadi, jika memiliki uang Rp110.500, Anda dapat menukarkannya dengan Iz 110.500 (seratus sepuluh ribu lima ratus izkar). Sebagai anak kost, Anda perlu membeli sejumlah barang kebutuhan sehari-hari. Untuk membeli barang-barang itu, Anda memiliki uang tunai sebesar Iz 2.000.000 (dua juta izkar) yang sengaja dialokasikan dari pemasukan bulanan Anda. Anda harus membeli masing-masing satu buah barang untuk 20 jenis produk yang Anda butuhkan. Merek produk yang tersedia di Giant, swalayan langganan Anda di sana, telah ada dalam daftar yang Anda pegang. Swalayan tersebut menyediakan berbagai barang, baik yang bermerek terkenal maupun yang menggunakan merek swalayan itu sendiri, yaitu Giant.
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Skenario dilengkapi dengan empat pertanyaan pilihan ganda untuk membantu partisipan mengingat poin-poin penting dari skenario tersebut. Skenario dan pertanyaan pelengkap diikuti dengan daftar dua puluh (20) jenis produk kebutuhan sehari-hari yang umum dibeli oleh mahasiswa, antara lain sabun mandi, pasta gigi, air mineral, mie instant, dan minuman ringan. Daftar tersebut juga disertai dengan harga produk merek swalayan (Giant), harga produk merek terkenal (e.g.: Aqua, Indomie, dan Coca Cola), dan skala familiaritas terhadap merek terkenal yang dinyatakan antara 1 (tidak familiar) hingga 4 (sangat familiar). Untuk setiap jenis produk, partisipan diminta memilih merek terkenal atau merek swalayan dengan memberi tanda silang (X) di sebelah merek yang ingin mereka beli. Jumlah barang merek terkenal yang dibeli setiap partisipan diubah ke dalam persentase dan dianalisis sebagai WTP partisipan. Semakin besar persentase barang merek terkenal yang dibeli, berarti semakin besar uang yang rela dibayarkan partisipan untuk produk kebutuhan sehari-hari (semakin tinggi WTP partisipan). Ilusi uang dikatakan terjadi apabila terdapat perbedaan signifikan antara WTP partisipan di setiap kelompok. Sebagai tambahan, setelah mengisi daftar belanja, partisipan menjawab dua pertanyaan manipulation check tentang anggaran yang mereka miliki untuk belanja dan nilai tukar izkar terhadap rupiah, dua pertanyaan tentang pertimbangan utama ketika berbelanja, dan pengalaman tinggal, sekolah, atau kuliah di luar negeri, serta data diri. Untuk mengurangi pengaruh faktor selain variabel bebas terhadap pilihan partisipan saat belanja, hanya data dari partisipan yang mengaku setidaknya agak familiar dengan semua merek terkenal pada daftar, mampu menjawab semua pertanyaan manipulation check dengan benar, serta tidak memiliki pengalaman tinggal, sekolah, atau kuliah di luar negeri yang dilibatkan dalam analisis.
Analisis Rata-rata persentase barang merek terkenal yang dibeli (WTP) partisipan di setiap kelompok dihitung dan dibandingkan menggunakan program SPSS dengan uji F (ANOVA) faktorial melalui teknik General Linear Model. Ilusi uang dikatakan terjadi jika ada perbedaan signifikan antara rata-rata WTP partisipan di setiap kelompok.
Hasil Hasil uji F (ANOVA) faktorial menunjukkan bahwa jumlah nol pada mata uang tidak memiliki main effect yang signifikan terhadap ilusi uang. Partisipan yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol normal memang memiliki WTP yang lebih tinggi (M=71,73%) daripada yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol redenominasi (M=70,29%). Namun,
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
perbedaan tersebut tidak signifikan (F=0,126, p>0,05, partial η2=0,001). Oleh sebab itu, hipotesis 1 dapat diterima. Berbeda dengan prediksi, batasan anggaran ternyata juga tidak memiliki main effect yang signifikan terhadap ilusi uang. Partisipan yang diberi batasan anggaran tinggi memang memiliki WTP yang lebih tinggi pula (M=74,62%) dibandingkan partisipan yang diberi batasan anggaran rendah (M=67,40%). Namun, perbedaan itu pun tidak signifikan (F=3,162, p>0,05, partial η2=0,031) sehingga hipotesis 2 ditolak. Tidak sesuai dengan hipotesis 3, interaksi antara jumlah nol dan batasan anggaran pun tidak terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ilusi uang. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada rata-rata WTP partisipan di setiap kelompok perlakuan (F=0,248, p>0,05, partial η2=0,002). Oleh sebab itu, hipotesis 3 juga ditolak.
Gambar 1 Interaksi Jumlah Nol dan Batasan Anggaran
Namun, peneliti khawatir bahwa hasil tersebut dipengaruhi oleh adanya sejumlah partisipan dengan karakteristik yang jauh berbeda dengan partisipan lainnya. Oleh sebab itu, peneliti mencoba membersihkan data yang diperoleh secara manual dan mengulang perhitungan dan perbandingan rata-rata WTP partisipan setiap kelompok. Sebanyak 17 partisipan tidak dilibatkan dalam analisis ulang karena memiliki pengeluaran di atas Rp2.000.000 dan 3 partisipan juga tidak dilibatkan karena pemasukan bulanannya hanya bersumber dari penghasilan pribadi saja. Total partisipan yang datanya dilibatkan adalah 84 orang, dan hasil perhitungan Levene’s test mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
varians yang signifikan antarkelompok perlakuan yang datanya telah dibersihkan (F=0,596, p>0,05). Oleh sebab itu, data partisipan setiap kelompok tetap dapat diperbandingkan. Meskipun demikian, hasil analisis ulang mengindikasikan bahwa jumlah nol (F=0,136, p>0,05, partial η2=0,002), batasan anggaran (F=2,707, p>0,05, partial η2=0,033), maupun interaksi kedua variabel (F=0,020, p>0,05, partial η2=0,000) tetap tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap iusi uang sebab tidak ada perbedaan yang signifikan pada rata-rata WTP partisipan di setiap kelompok perlakuan. Oleh sebab itu, hipotesis 1 tetap diterima, sementara hipotesis 2 dan 3 tetap ditolak. Namun, berbeda dengan hasil analisis sebelumnya, hasil analisis ulang menunjukkan bahwa rata-rata WTP partisipan justru lebih tinggi di kelompok yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol redenominasi (M=70,34%) daripada di kelompok yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol normal (M=68,25%). Perbedaan tersebut menghasilkan perubahan pada grafik interaksi antara jumlah nol dan batasan anggaran seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2 Interaksi Jumlah Nol dan Batasan Anggaran dalam Analisis Ulang
Hasil analisis pertama (gambar 1) menunjukkan bahwa, meskipun tidak signifikan, perbedaan WTP antara partisipan yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol normal dan yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol redenominasi lebih besar ketika partisipan memiliki batasan anggaran yang tinggi (tidak sesuai dengan prediksi). Sementara itu, hasil analisis ulang (gambar 2) menunjukkan bahwa, meskipun tetap tidak signifikan, perbedaan
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
WTP antara partisipan yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol normal dan yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol redenominasi justru lebih besar ketika partisipan memiliki batasan anggaran yang rendah (sesuai dengan prediksi). Sebagai tambahan, peneliti menganalisis apakah pertimbangan utama partisipan ketika berbelanja dapat memprediksi WTP partisipan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teknk multiple regression. Karena pertanyaan tambahan mengenai pertimbangan ini disajikan dalam bentuk pilihan ganda, peneliti membuat tiga dummy coding agar keempat variasi jawaban dapat dimasukkan dalam perhitungan multiple regression. Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa pertimbangan utama partisipan ketika berbelanja ternyata dapat memprediksi WTP partisipan (R2 change=0,247, F change=10,933, p<0,01).
Tabel 1 Rata-rata WTP Partisipan berdasarkan Pertimbangan Utama saat Belanja Pertimbangan Utama
M (WTP)
SD
N
Jumlah uang yang dimiliki Familiaritas merek Prioritas produk Harga produk
68,21 87,00 67,59 47,86
20,626 16,394 17,850 23,068
14 25 58 7
Total
71,01
20,732
104
WTP partisipan secara signifikan bertambah tinggi ketika partisipan menggunakan jumlah uang (β=0,337, p<0,05), prioritas produk (β=0,475, p<0,01), dan familiaritas merek (β=0,811, p<0,01) dibandingkan harga produk sebagai pertimbangan utama.
Pembahasan Dalam penelitian ini, jumlah nol pada tampilan harga tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya ilusi uang. Hasil ini sejalan dengan tiga penelitian sebelumnya mengenai redenominasi di Indonesia, yaitu Masyithah (2012), Muda (2011), dan Susianto, dkk. (2012) serta penelitian mengenai redenominasi di Ghana (Dzokoto, dkk., 2010) dan Turki (Amado, dkk., 2007). Namun, hasil yang diperoleh berbeda dengan hasil studi Wertenbroch, dkk. (2007), yang prosedurnya diadaptasi dalam penelitian ini, serta hasil penelitian Raghubir dan Srivastava (2002) yang dianggap sebagai pelopor penelitian face value effect. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh bentuk perubahan mata uang yang berbeda. Perubahan mata uang dalam konteks bepergian ke luar negeri pada penelitian Raghubir dan
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Srivastava (2002) maupun Wertenbroch, dkk. (2007) melibatkan perhitungan nilai tukar yang kompleks antara mata uang lama dan mata uang baru sehingga adaptasi terhadap perubahan tersebut pun relatif bertahap, sesuai mekanisme relearning. Sementara itu, dalam konteks redenominasi, orang hanya perlu menambah atau mengurangi jumlah nol di bagian kanan tampilan harga untuk memahaminya. Selain itu, karena orang cenderung memproses harga dengan membaginya menjadi digit kiri dan kanan (Liang & Kanetkar, 2006) serta mengabaikan digit kanan (Schindler & Kibarian, 1996), ada kemungkinan bahwa selama ini, digit nol yang dihilangkan memang sudah biasa diabaikan. Ini membuat adaptasi pada kondisi redenominasi mengikuti mekanisme relearning, sesuai penelitian Amado, dkk. (2007). Hasil penelitian ini juga berbeda dengan studi kedua Wertenbroch, dkk. (2007) sebab peneliti tidak berhasil menemukan bukti bahwa batasan anggaran dapat secara signifikan memengaruhi willingness to pay (WTP) ataupun ilusi uang. Jika merujuk pada Frank (2003), secara rasional, semakin banyak uang yang dimiliki seseorang, semakin banyak pula barang yang mampu dibelinya. Dengan demikian, peneliti berasumsi bahwa partisipan yang memiliki batasan anggaran yang rendah seharusnya merasa kurang mampu membeli barang merek terkenal yang mahal sehingga lebih memilih barang merek toko. Namun, perilaku belanja rasional tersebut ternyata tidak tampak karena sama seperti partisipan beranggaran tinggi, partisipan yang anggarannya rendah juga membeli lebih banyak merek terkenal daripada merek toko (>60%). Orang memang cenderung memilih produk dengan merek yang dikenalnya (Oeusoonthornwattana & Shanks, 2010) dan merek yang terkenal cenderung dipersepsikan memiliki kualitas yang baik (Rao & Monroe, 1989). Namun, hal ini sudah berusaha dikontrol dengan hanya menggunakan data dari partisipan yang mengaku setidaknya agak familiar dengan semua merek terkenal yang ditampilkan pada daftar. Namun, ada kemungkinan pengaruh familiaritas merek ini sangat besar sehingga ketika berbelanja, pertimbangan utama partisipan terfokus pada merek, bukan pada faktor lain yang juga menonjol seperti tampilan harga atau besar anggaran belanja.
Kesimpulan Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa ilusi uang tidak terjadi pada partisipan. Hal ini terlihat dari hasil pengujian ketiga hipotesis. Tidak ada perbedaan signifikan antara rata-rata willingness to pay (WTP) partisipan yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol normal dan yang diberi tampilan harga dengan jumlah nol redenominasi. Perbedaan signifikan juga tidak ditemukan pada rata-rata WTP partisipan yang diberi anggaran belanja tinggi dibandingkan dengan partisipan yang diberi anggaran belanja rendah.
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Interaksi kedua variabe bebas juga tidak berpengaruh signifikan terhadap WTP partisipan. Meskipun pembersihan data dan analisis ulang telah dilakukan, perbedaan signifikan pada rata-rata WTP partisipan tetap tidak ditemukan. Sebagai tambahan, bahan pertimbangan utama partisipan ketika berbelanja justru dapat secara signifikan memprediksi WTP . Partisipan memiliki rata-rata WTP tertinggi ketika familiaritas merek menjadi bahan pertimbangan utama, dan rata-rata WTP terendah dimiliki partisipan ketika harga produk menjadi bahan pertimbangan utama saat berbelanja. Tidak ditemukannya pengaruh yang signifikan dari jumlah nol pada tampilan harga dan batasan anggaran dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa ilusi uang cenderung tidak akan terjadi pada kondisi redenominasi. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan besarnya pengaruh familiaritas merek terhadap pilihan konsumen. Namun, penelitian ini memiliki sejumlah batasan. Pertama, sampel yang digunakan dalam penelitian ini relatif kecil, yaitu 26 partisipan per kelompok perlakuan. Peneliti sebenarnya telah melakukan pengambilan data pada sampel yang lebih besar, yaitu 153 orang. Namun, besarnya error rate (32,03%) yang terutama disebabkan kesalahan pengisian skala familiaritas pada kuesioner (13,73%) membuat sampel yang datanya dapat digunakan menjadi lebih kecil. Selain itu, seperti penelitian ilusi uang pada konteks redenominasi sebelumnya (Masyithah, 2012; Muda, 2011; Susianto, dkk., 2012), partisipan penelitian merupakan mahasiswa. Oleh sebab itu, apabila kuesioner direvisi, sampel dapat diperbesar, dan partisipan yang digunakan bukan mahasiswa, penelitian yang dilakukan dengan prosedur yang sama bisa saja memberikan hasil berbeda.
Saran Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan pengambilan data dilakukan secara individual di dalam ruangan tertutup agar konsentrasi partisipan tidak terganggu oleh hal lain selama eksperimen diakukan. Selain itu, pengalaman bepergian ke luar negeri perlu dikontrol sebab pengalaman tersebut memungkinkan partisipan terbiasa dengan tampilan harga nominal kecil. Adapun untuk karakteristik partisipan, peneliti menyarankan agar menggunakan partisipan selain mahasiswa dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Partisipan dengan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi rendah bisa jadi lebih sulit memahami konsep redenominasi sehingga hasil eksperimen dengan partisipan tersebut bisa saja mengindikasikan timbulnya ilusi uang. Adapun terkait dengan implementasi kebijakan redenominasi, peneliti menyarankan pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan edukasi secara bertahap, serta membuat regulasi yang melarang pedagang untuk menaikkan harga dan mengharuskan mereka untuk memasang
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
label dengan dua harga, yaitu harga dalam rupiah normal dan harga dalam rupiah redenominasi, selama masa transisi. Hal ini dikarenakan masih ada kemungkinan bahwa sebagian orang kurang memahami konsep redenominasi sehingga merasa uangnya berkurang atau harga barang menjadi terlalu murah. Untuk memastikan bahwa persepsi semacam itu tidak timbul, pelaku bisnis sebaiknya mendukung upaya pemerintah dengan tidak menaikkan harga dan benar-benar memasang dua tampilan harga sehingga proses adaptasi masyarakat bisa berlangsung lebih cepat lagi. Sementara itu, masyarakat sebagai konsumen sebaiknya lebih memperhatikan label harga setiap barang yang dibeli dan aktif melaporkan pihak yang sengaja menaikkan harga atau tidak memasang dua label harga selama masa transisi untuk mengontrol kecurangan dan menghindarkan masyarakat dari kerugian.
Daftar Pustaka Amado, S., Tekozel, M., Topsever, Y., Ranyard, R., Del Missier, F., & Bonini, N. (2007). Does “000,000” matter? Psychological effects of Turkish monetary reform. Journal of Economic Psychology, 28, 154-169. doi: 10.1016/j.joep.2006.05.003 Del Missier, F., Bonini, N., & Ranyard, R. (2007). The euro illusion in consumers’ price estimation: An Italian-Irish comparison in the third year of the euro. Journal of Consumer Policy, 30, 337-354. doi: 10.1007/s10603-007-9041-6 Dzokoto, V. A., Young, J., & Mensah, E. C. (2010). A tale of two cedis: Making sense of a new currency in Ghana. Journal of Economic Psychology, 31, 520-526. doi: 10.1016/j.joep.2010.03.014 Frank, R. H. (2003). Microeconomics and behavior (5th Ed.). New York: McGraw-Hill Handa, J. (2009). Monetary economics (2nd Ed.). New York: Routledge. Retrieved from http://library.northsouth.edu/Upload/Monetary%20Economics.pdf Liang, J., & Kanetkar, V. (2006). Price endings: Magic and math. Journal of Product and Brand Management, 15, 377-385. doi: 10.1108/10610420610703702 Mankiw, N. G. (2009). Principles of economics (5th Ed.). Mason: Cengage Learning. Retrieved from http://books.google.co.id/books Marques, J. F., & Dehaene, S. (2004). Developing intutition for prices in euros: Rescaling or relearning prices? Journal of Experimental Psychology: Applied, 10(3), 148-155. doi: 10.1037/1076-898X.16.3.148 Masyithah, M. (2012). Ilusi uang: Pengaruh interaksi tampilan jumlah nol pada uang dan kemampuan kognitif terhadap willingness to pay pada anak (Skripsi, tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Mishkin, F.S. (2007). The economics of money, banking, and financial markets (8th Ed.). Boston: Pearson Education, Inc. Muda, S. M. (2011). Ilusi uang: Pengaruh jumlah nol pada tampilan harga terhadap willingness to pay (Skripsi, tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok. Oeusoonthornwattana, O., & Shanks, D. R. (2010). I like what I know: Is recognition a noncompensatory determiner of consumer choice? Judgment and Decision Making, 5(4), 310-325. Retrieved from http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.177.329&rep=rep1&type=p df Raghubir, P., & Srivastava, J. (2002). Effect of face value on product valuation in foreign currencies. Journal of Consumer Research, 29, 335-347. Retrieved from http://groups.haas.berkeley.edu/marketing/PAPERS/PRIYA/p2.pdf Rao, A. R., & Monroe, K. B. (1989). The effect of price, brand name, and store name on buyers’ perception of product quality: An integrative review. Journal of Marketing Research, 26, 351-357. Retrieved from http://www.csom.umn.edu/Assets/71774.pdf Schindler, R. M. (1991). Symbolic meanings of a price ending. Advances in Consumer Research, 18, 794-801. Retrieved from http://www.acrwebsite.org/search/viewconference-proceedings.aspx?Id=7253 Schindler, R. M. (2005). The 99 price endings as a signal of low price appeal. Journal of Retailing, 82, 71-77. doi: 10.1016/j.jretai.2005.11.001 Schindler, R. M., & Kibarian, T. M. (1996). Increased consumer sales response though use of 99-ending prices. Journal of Retailing, 72(2), 187-199. Retrieved from http://camdensbc.rutgers.edu/facultystaff/research/schindler/Schindler%20%26%20Kibarian%20%2 81996%29.pdf Shafir, E., Diamond, P., & Tversky, A. (1997). Money illusion. Quarterly Journal of Economics, 112(2), 341-374. Retrieved from https://notendur.hi.is/ajonsson/kennsla2003/money_illusion.pdf Susianto, H., Sjabadhyni, B., Mahardika, H., Narhetali, E., & Nisa, Y. F. (2012). Efek redenominasi rupiah terhadap perilaku konsumen Indonesia (Laporan DRPM/R/129/RKo-UI/2012, tidak dipublikasikan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Van Raaij, W. F., & Van Rijen, C. L. (2003, July). Money illusion and euro pricing. Paper presented at The Euro-Workshop (IAREP), Vienna. Retrieved from http://homepage.univie.ac.at/stephan.muehlbacher/euro/papers/vanRaaij%26vanRijen. pdf Voelckner, F. (2006). An empirical comparison of methods for measuring consumers’ willingness to pay. Marketing Letters, 17(2), 137-149. doi: 10.1007/s11002-006-5147x
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013
Wertenbroch, K., & Skiera, B. (2002). Measuring consumers’ willingness to pay at the point of purchase. Journal of Marketing Research, 39, 228-241. Retrieved from http://flora.insead.edu/fichiersti_wp/inseadwp2001/2001-10.pdf Wertenbroch, K., Soman, D., & Chattopadhyay, A. (2007). On the perceived value of money: The reference dependence of currency numerosity effect. Journal of Consumer Research, 34, 1-10. doi: 10.1086/513041
Ilusi Tiga Digit ..., Pradizza Septiana Putri, FPsi UI, 2013