DAFTAR ISI Halaman I.
PENDAHULUAN
-----------------------------------------------------------------------
I-1
1.1.
Latar Belakang ------------------------------------------------------------------
I-1
1.2.
Maksud dan Tujuan ------------------------------------------------------------
I-2
1.3.
Metodologi ------------------------------------------------------------------------
I-2
1.4.
Ruang Lingkup ------------------------------------------------------------------
I-5
II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PERUBAHAN IKLIM -------------------------------------------------------------------
II-1
2.1.
Tinjauan Historis dan Teoritis ------------------------------------------------
II-1
2.2.
Perubahan Iklim dan Dampaknya dalam Pembangunan --------------
II-5
2.2.1.
Kecenderungan Perubahan Iklim di Indonesia ---------------
II-5
2.2.2.
Dampak Perubahan Iklim dalam Pembangunan -------------
II-12
Telaah Empiris Implementasi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim -----------------------------------------------------------------
II-16
2.3.1.
Sektor Pertanian -----------------------------------------------------
II-16
2.3.2.
Sektor Energi ---------------------------------------------------------
II-17
2.3.3.
Sektor Kesehatan ---------------------------------------------------
II-17
2.3.4.
Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau-Pulau Kecil ----------------------------------------------------
II-18
2.3.5.
Sektor Kehutanan ---------------------------------------------------
II-18
2.3.6.
Sektor Pekerjaan Umum -------------------------------------------
II-19
2.3.7.
Sektor Limbah --------------------------------------------------------
II-20
Kebijakan dan Program Penanganan Perubahan Iklim di Beberapa Negara ------------------------------------------------------------
II-20
2.4.1.
Banglades -------------------------------------------------------------
II-20
2.4.2.
Ethiopia ----------------------------------------------------------------
II-21
2.4.3.
Vietnam ----------------------------------------------------------------
II-21
2.4.4.
Australia ---------------------------------------------------------------
II-22
2.4.5.
Maldives ---------------------------------------------------------------
II-23
2.4.6.
Filipina ------------------------------------------------------------------
II-23
Telaah Kebijakan dan Program Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia ----------------------------------------------------------------------
II-23
2.5.1.
Perencanaan dan Program Sektoral (K/L) ---------------------
II-23
2.5.2.
RPJMN 2010-2014 --------------------------------------------------
II-29
2.5.3.
Program-program Aksi Penanganan Perubahan Iklim -----
II-32
2.5.4.
Tantangan dan Peluang Implementasi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektoral -------------------------------
II-38
2.3.
2.4.
2.5.
i
Halaman III. KEBIJAKAN DAN PROGRAM LINTAS SEKTOR PENANGGULANGAN PERUBAHAN IKLIM -------------------------------------------------------------------
III-1
3.1.
Arah Kebijakan dan Program Penanggulangan Perubahan Iklim ---
III-1
3.2.
Prioritas Penanggulangan Perubahan Iklim Lintas Sektor ------------
III-2
3.2.1.
Mitigasi Bidang Pertanian -----------------------------------------
III-3
3.2.2.
Mitigasi Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut --------------
III-3
3.2.3.
Mitigasi Bidang Energi dan Transportasi -----------------------
III-3
3.2.4.
Mitigasi Bidang Industri --------------------------------------------
III-4
3.2.5.
Mitigasi Bidang Pengelolaan Limbah ---------------------------
III-4
3.2.6.
Adaptasi Bidang Ketahanan Pangan ---------------------------
III-4
3.2.7.
Adaptasi Bidang Kemandirian Energi ---------------------------
III-5
3.2.8.
Adaptasi Bidang Kesehatan ---------------------------------------
III-5
3.2.9.
Adaptasi Bidang Permukiman ------------------------------------
III-6
3.2.10. Adaptasi Bidang Infrastruktur -------------------------------------
III-6
3.2.11. Adaptasi Bidang Ketahanan Ekosistem dan Keragaman Hayati ---------------------------------------------
III-7
3.2.12. Adaptasi Bidang Perkotaan ---------------------------------------
III-8
3.2.13. Adaptasi Bidang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil --------------
III-8
Pengembangan Indikator Outcome Penanggulangan Perubahan Iklim dalam RPJMN 2015-2019 ------------------------------
III-9
3.3.1.
Indikator Mitigasi -----------------------------------------------------
III-9
3.3.2.
Indikator Adaptasi Bidang Ketahanan Pangan --------------- III-10
3.3.3.
Indikator Adaptasi Bidang Kemandirian Energi -------------- III-12
3.3.4.
Indikator Adaptasi Bidang Kesehatan -------------------------- III-13
3.3.5.
Indikator Adaptasi Bidang Permukiman ------------------------ III-14
3.3.6.
Indikator Adaptasi Bidang Infrastruktur ------------------------- III-15
3.3.7.
Indikator Adaptasi Bidang Ekosistem --------------------------- III-16
3.3.8.
Indikator Adaptasi Bidang Perkotaan --------------------------- III-17
3.3.9.
Indikator Adaptasi Bidang Pesisir dan ulau-pulau Kecil ---- III-18
3.3.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ---------------------------------------------
IV-1
4.1.
Kesimpulan -----------------------------------------------------------------------
IV-1
4.2.
Rekomendasi Kebijakan ------------------------------------------------------
IV-2
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.1. Kisi-Kisi FGD Kajian Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim --------------------------------------------
I-3
2.1. Matriks keterkaitan dalam pembangunan berkelanjutan ----------------
II-1
2.2. Kementerian/Lembaga (K/L) vs Kebijakan/Program Penanganan Perubahan Iklim --------------------------------------------------
II-23
2.3. Sektor-sektor Penerima Dampak Perubahan Iklim -----------------------
II-33
2.4. Keberadaan Program Penanggulangan Perubahan Iklim pada Masing-masing sektor ----------------------------------------------------
II-36
iii
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.1. Kerangka Kerja Kajian Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim --------------------------------------------
I-3
2.1. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional
II-2
2.2. Penurunan angka kematian balita, bayi, dan neonatal, 1991- 2007 --
II-3
2.3. Persentase tutupan hutan dari luas daratan --------------------------------
II-3
2.4. Perubahan nilai curah hujan rerata 30-tahun untuk setiap bulan pada beberapa kurun waktu (kiri) dan grafik moving average-nya untuk bulan-bulan basah D(esember)-J(anuari)-F(ebruari) (kanan) --
II-5
2.5. Contoh hasil analisis perubahan temperatur di Jakarta: (a) data time series temperatur bulanan, (b) grafik komposit temperatur 30-tahun untuk tiap-tiap bulan (dengan urutan Juli ke Juni), (c) grafik moving average 30-tahunan untuk bulan Desember, Januari, Februari, dan (d) sama dengan (c) untuk bulan Juni, Juli, Agustus ---------------
II-6
2.6. Grafik Cumulative Distribution Function (CDF) empirik, dari data curah hujan bulananJakarta selama beberapa periode 30-tahunan --
II-7
2.7. Pola angin dan suhu permukaan laut (SPL) pada bulan Januari dan Agustus ------------------------------------------------------------------------
II-8
2.8. Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia bulan Januari dan Agustus ------------------------------------------------------------------------
II-8
2.9. Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus -----------------------------------------------------------------------
II-9
2.10. Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus ------------------------------------------------------------------------
II-10
2.11. Distribusi spasial rata-rata tunggang pasut tertinggi bulanan di Perairan Indonesia -------------------------------------------------------------
II-10
2.12. Rata-rata tinggi gelombang bulanan pada bulan Januari dan Agustus ------------------------------------------------------------------------
II-11
2.13. Perubahan luas tanam kumulatif pada musim hujan (MH) dan kemarau (MK) selama ENSO tahun (El Niño dan La Niña) dibandingkan dengan tahun normal ------------------------------------------
II-12
2.14. Status neraca air pada beberapa skenario perubahan iklim ------------
II-13
2.15. Klasifikasi risiko kebakaran hutan berdasarkan pola kerapatan titik api (hotspot) wilayah Sumatera dan Kalimantan ---------------------
II-14
2.16. Luas dan kedalaman banjir di Jakarta akibat peningkatan muka air laut dan air pasang -----------------------------------------------------------
II-15
2.17. Tingkat kejadian demam berdarah dengue dan jumlah kota yang terkena. -----------------------------------------------------------------------
II-16
2.18. Persentase emisi nasional Indonesia berdasarkan sumber ------------
II-30
2.19. Perkembangan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia ----------------
II-30
iv
Gambar
Halaman
2.20. Peta perairan Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 ----------
II-39
2.21. Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya ------------------------------
II-40
3.1. Hubungan antara perubahan iklim dengan ketahahan pangan --------
III-11
3.2. Hubungan antara perubahan iklim dengan kemandirian energi -------
III-12
3.3. Hubungan antara perubahan iklim dengan bidang kesehatan --------
III-13
3.4. Hubungan antara perubahan iklim dengan permukiman ----------------
III-14
3.5. Hubungan antara perubahan iklim dengan infrastruktur -----------------
III-15
3.6. Hubungan antara perubahan iklim dengan ekosistem -------------------
III-16
3.7. Hubungan antara perubahan iklim dengan perkotaan -------------------
III-17
3.8. Hubungan antara perubahan iklim dengan bidang pesisir dan pulau-pulau kecil, serta kelautan dan perikanan ---------------------------
III-18
v
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dalam Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, dinyatakan bahwa salah satu misi pembangunan adalah “Mewujudkan Indonesia Asri dan Lestari”. Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan misi tersebut adalah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Telah banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perubahan iklim akan menjadi penghambat pertumbuhan berbagai sektor ekonomi. Di Indonesia, perubahan iklim secara langsung dan tidak langsung sampai tahun 2100 akan menimbulkan kerugian ekonomi mencapai 2,5%, yaitu empat kali kerugian PDB rata-rata global akibat perubahan iklim (World Bank, 2010). Angka tersebut akan menjadi jauh lebih besar apabila peluang terjadinya bencana akibat perubahan iklim turut diperhitungkan, maka kerugian ekonomi dapat mencapai 7% dari PDB (World Bank, 2010). Oleh karena itu, upaya penanggulangan perubahan iklim, harus menjadi suatu keniscayaan dalam pembangunan. Sebagai salah satu negara besar, Indonesia telah memberikan komitmennya dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim global. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat BAU (business-as-usual) dengan usaha sendiri, dan mencapai 41% apabila mendapat dukungan internasional. Sebagai tindak lanjut dari komitmen tersebut, telah disusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK), sebagai kerangka kebijakan pemerintah, pemerintah daerah, pihak swasta dan para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan upaya mengurangi emisi GRK dalam jangka waktu 2010-2020 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP 2005-2025) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dalam upaya beradaptasi terhadap dampak-dampak perubahan iklim, saat ini, pemerintah juga tengah menyelesaikan Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Indonesia juga telah menyampaikan informasi mengenai Aksi Mitigasi yang Layak Secara Nasional (Nationally Appropriate Mitigation Actions, NAMAs) ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 2010. Tujuh bidang utama telah disampaikan untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari skenario BAU, adalah meliputi: pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan; pengurangan tingkat deforestasi dan degradasi lahan; pengembangan penyerapan karbon; mempromosikan penghematan energi; pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan; pengurangan limbah padat dan cair; dan pengalihan moda transpotasi yang rendah emisi. Pengarusutamaan (mainstreaming) adaptasi dan mitigasi perubahan iklim haruslah menjadi bagian yang integral dalam penyusunan rencana pembangunan. Agenda adaptasi terhadap dampak perubahan iklim memiliki tujuan akhir agar tercipta sistem pembangunan yang adaptif atau tahan terhadap perubahan iklim yang telah terjadi dan proyeksinya di masa depan. Agenda tersebut harus dapat diakomodasi dalam semua program pembangunan, baik yang bersifat sektoral maupun kewilayahan. Pengarusutamaan haruslah bersifat jangka panjang dan fundamental, yang secara mendasar harus menyentuh aspek-aspek pembangunan berkelanjutan. Kemampuan sektoral dalam memenuhi target pertumbuhan ekonomi, akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi sektor yang bersangkutan terhadap
I-1
perubahan iklim. Lebih jauh lagi, keberhasilan adaptasi suatu sektor akan sangat ditentukan oleh kebijakan dan program pada sektor lain yang terkait. Dengan kata lain adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam pembangunan, haruslah bersifat integral dan lintas sektoral. Oleh karena itu, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim memerlukan kajian. Dengan adanya Kajian Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim, maka penyusunan Kerangka Kebijakan dan Program Pembangunan Lingkungan Hidup dalam RPJMN 2015-2019, akan dapat dilakukan secara lebih efektif dan terintegrasi. 1.2.
Maksud dan Tujuan
Kajian dampak perubahan iklim terhadap berbagai aspek pembangunan yang meliputi ekonomi (economic), tatanan kehidupan (livelihood), lingkungan (environment), serta wilayah khusus (specific region), sudah pernah dilakukan dalam skala nasional. Background study ini dimaksudkan sebagai review terhadap kajian yang telah ada, dengan tujuan untuk memberikan masukan bagi penyusunan Kerangka Kebijakan dan Program Pembangunan Lingkungan Hidup dalam RPJMN 2015-2019. 1.3.
Metodologi
Sesuai dengan tujuan studi, Kajian Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim, dalam penyusunan Kerangka Kebijakan dan Program Pembangunan Lingkungan Hidup dalam RPJMN 2015-2019, akan dilaksanakan dalam kerangka kerja seperti disajikan pada Gambar 1. Pada dasarnya kajian difokuskan pada review dari dokumen perencanaan yang meliputi: 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. 3. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) dari Bappenas. 4. Indonesia Second National Communication (SNC) Under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dari Kementerian Lingkungan Hidup. 5. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). 6. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Dari review berbagai dokumen perencanaan di atas, dilakukan gap analysis, yang dibantu dengan pelaksanaan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD). Pelaksanaan FGD melibatkan berbagai sektor dan pakar, yang dilaksanakan dalam dua tahap. Tujuan FGD adalah untuk menambah dan memperdalam informasi, membangun kesepakatan/komitmen, mengklarifikasi informasi yang kurang pada basis data, dan juga memperoleh opini-opini yang berbeda mengenai satu permasalahan tertentu terkait penanggulangan perubahan iklim. Kedua tahap akan dilaksanakan pada waktu yang berbeda dengan peserta yang sama.
Lingkup FGD Tahap I adalah berupa evaluasi dari Kebijakan Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim yang telah diliput pada RPJMN 20092014, beserta capaiannya.
Lingkup FGD Tahap II adalah berupa Pengembangan Kebijakan Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim yang akan dimasukkan dalam pada RPJMN 2015-2019
I-2
Review RPJP dan Capaian RPJMN 2009-2014
Indikator Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
Review ICCSR (Bappenas 2010), SNC (KLH 2010), RAN-API, dan RAN-GRK
Gap Analysis
Assesment Penanggulangan Perubahan Iklim Lintas Sektor
Kebijakan dan Program Lintas Sektor
Rumusan Kebijakan dan Program Penanggulangan Perubahan Iklim Dalam RPJMN 2014-2019
Gambar 1. Kerangka Kerja Kajian Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim
Tabel 1.1.
Kisi-Kisi FGD Kajian Kebijakan Penanggulangan Perubahan Iklim
Topik
Pertanyaan Kunci
dan
Program
Lintas
Sektor
Materi, Opini, dan Informasi yang dibangkitkan
FGD Tahap I Apakah kebijakan Nasional dan Daerah Isu-isu terkini 2009-2014 telah mengakomodasi perubahan Kebijakan dan Program iklim dan Lintas Sektor evaluasi RPJMN 2009- Penanggulangan Perubahan Iklim. 2014 dan RPJMD Provinsi Apakah Kebijakan dan terkait Program Lintas Sektor perubahan Penanggulangan iklim Perubahan Iklim dalam RPJMN 2009-2014 dapat dilaksanakan
• •
•
•
•
Isu-isu terkini terkait perubahan iklim Isu perubahan iklim yang telah dimuat dalam RPJMN 20092014 dan RPJMD. Isu perubahan iklim yang belum dimuat dalam RPJMN 20092014 dan RPJMD. Implementasi kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim lintas sektor dalam dalam kurun waktu 20102013. Terjemahan kebijakan dan
I-3
Topik
Pertanyaan Kunci
Materi, Opini, dan Informasi yang dibangkitkan
sesuai dengan tujuan dan sasarannya.
program penanggulangan perubahan iklim lintas sektor RPJMN 2009-2014 ke dalam RKP 2010-2013. •
Apa permasalahan dan solusi bagi implementasi Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim dalam RPJMN 2009-2014
•
•
Kendala implementasi Kebijakan dan Program Lintas Sektor. Kelemahan dari rumusan kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim lintas sektor RPJMN 20092014. Evaluasi terhadap kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim lintas sektor.
FGD Tahap II • Apakah tantangan dan peluang Perubahan Iklim lima tahun ke depan (2015-2019) Nasional dan Daerah.
•
• Substansi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam RPJMN 20152019 dan RPJMD Provinsi
Bagaimana sebaiknya Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim dalam RPJMN 2015-2019.
Bagaimana sebaiknya Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim dalam RPJMD.
•
•
•
•
Tantangan dan peluang Kebijakan/Program Lintas Sektor terkait Perubahan Iklim. Penguatan kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim lintas sektor RPJMN 2015-2019. Konsep umum indikator adaptasi dan mitigasi terkait isu-isu terkini perubahan iklim yang perlu dimuat dalam RPJMN 2015-2019. Rekomendasi pengembangan indikator adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam RPJMN 2015-2019 Rekomendasi Kebijakan dan Program Penanggulangan Perubahan Iklim Lintas Sektor dalam RPJMN 2015-2019 Konsep umum indikator adaptasi dan mitigasi pada Provinsi Kepulauan dan Pulau Besar, terkait isu-isu terkini perubahan iklim yang perlu dimuat dalam RPJMD. Rekomendasi pengembangan
I-4
Topik
Pertanyaan Kunci
Materi, Opini, dan Informasi yang dibangkitkan
•
1.4.
indikator untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam RPJMD Provinsi Kepulauan dan Pulau Besar. Rekomendasi Kebijakan dan Program Penanggulangan Perubahan Iklim Lintas Sektor dalam RPJMD Provinsi.
Ruang Lingkup
Kajian Kebijakan dan Program Lintas Sektor Penanggulangan Perubahan Iklim dilakukan dengan mengkompilasi dan melakukan riview terhadap hasil-hasil kajian yang sudah ada, baik yang telah dilakukan oleh individu maupun institusi seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Background study ini melingkupi beberapa aspek terkait dengan: • • • •
Kebijakan pembangunan. Karakteristik adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi bagian dari pembangunan. Telaah dampak perubahan indikator-indikator iklim terhadap kinerja pembangunan berbagai sektor. Review implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilaksanakan.
I-5
II.
2.1.
REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Tinjauan Teoritis dan Historis
Tahun 1972 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan Konferensi mengenai Lingkungan Manusia (Conference on the Human Environment) di Stockholm. Pada konferensi tersebut pertama kalinya secara luas perwakilan dunia menekankan perlunya memperhitungkan aspek lingkungan pada program-program pembangunan yang selama ini dijalankan. Negara berkembang umumnya masih terkonsentrasi pada pembangunan ekonomi. Hasil dari konferensi tersebut adalah terbentuknya konsep dan penerapan Pembangunan Berkelanjutan. Matriks keterkaitan dalam pembangunan berkelanjutan disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Matriks keterkaitan dalam pembangunan berkelanjutan
Dari/ke Ekonomi Sosial
Ekonomi Pengentasan Rakyat Miskin Dampak Terkait
Lingkungan Dampak Terkait
Sosial
Lingkungan
Dampak Terkait
Dampak Terkait
Pembangunan Manusia Dampak Terkait
Dampak Terkait Pelestarian Ekosistem
Sumber: Salim (2010)
Dalam paradigma lama, semua negara mengimplementasikan pola pembangunan konvensional yang mengikuti satu garis linier paham ekonomi yang terfokus pada pertumbuhan output sebagai fungsi faktor produksi yang terdiri atas sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, keterampilan, dan teknologi. Lewat cara ini, tingkat produksi dunia tahun 2000 menjadi hampir tujuh kali lipat produksi dunia tahun 1950. Konsumsi bahan baku dan jasa meningkat berlipat ganda dibandingkan setengah abad yang lalu. Meskipun demikian, aspek sosial sangat tertinggal. Pada 2002, dari 6 miliar orang di dunia, sekitar 2,2 miliar diantaranya menderita kelaparan dan hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari 2 dolar per hari (Salim, 2010). Menyadari pentingnya paradigma pembagunan berkelanjutan, Indonesia semakin memperhatikan aspek sosial dan lingkungan dalam pembangunan. Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, dengan laju pertumbuhan ekonomi stabil dan termasuk yang tercepat di Asia. Beberapa indikator ekonomi menunjukkan perkembangan tersebut berupa rendahnya tingkat suku bunga Bank Indonesia, inflasi rendah dan nilai tukar rupiah stabil. Selama 15 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat cukup cepat dan stabil pada level 5-6,6%. Namun demikian, gambaran makro ekonomi saja tidak cukup untuk menilai keberhasilan pembangunan. Pembangunan dapat dianggap berkelanjutan, hanya bila pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pembangunan bidang yang lain, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1. Pembangunan dapat disebut berkelanjutan, bila paling tidak dapat memenuhi dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, indikator pertumbuhan ekonomi yang baik belum cukup menjadi indikator pembangunan. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2010, perekonomian Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73% setiap tahunnya, namun di sisi lain, pada kurun waktu yang II-1
sama, jumlah lahan kritis juga mengalami peningkatan. Demikian juga dengan dimensi sosial, seyogyanya harus dapat mengikuti perkembangan yang sama dengan dimensi ekonomi. Selain itu, Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai perundingan internasional tentang perubahan iklim, dan menjadi tuan rumah 13th Conference of the Parties (Konferensi Para Pihak) UNFCCC di Bali, yang menghasilkan Bali Action Plan. Dengan karakteristik wilayah Indonesia seperti: pantai yang luas, kerentanan tinggi terhadap bencana alam, dan sistem produksi pertanian sangat rentan, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Dengan demikian, Indonesia perlu di garis depan upaya internasional untuk mengelola risiko perubahan iklim global ini. Mengacu pada laporan Bappenas (2012a), dapat disajikan indikasi yang menunjukkan keberhasilan pembangunan dan aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus di Indonesia. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional telah menurun dari 15,10% (1990) menjadi 12,49% (2011) (Gambar 2.1). Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional terus berkurang, yaitu dari 13,33% pada tahun 2010 menurun menjadi 12,49% pada tahun 2011. Tingkat kesejahteraan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mengalami perbaikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya penurunan indeks kedalaman kemiskinan nasional pada tahun 2010, yaitu dari 2,21% menurun menjadi 2,08% pada tahun 2011. Namun demikian, tingkat kemiskinan di daerah perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan sehingga memerlukan peningkatan pembangunan perdesaan. Tingkat kemiskinan di daerah perdesaan Indonesia adalah 15,72% pada tahun 2011 sedangkan di wilayah perkotaan hanya 9,23%. Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja tumbun dari 3,52% (1990) menjadi 5,04% (2011). Dilihat per sektor, PDB per tenaga kerja sektor pertanian tumbuh dengan laju Gambar 2.1. tertinggi yaitu 8,62%, sektor industri Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 0,99%, dan sektor jasa 1,72%. (Bappenas, 2012a) Produktivitas tenaga kerja yang diukur dari PDB per tenaga kerja yang meningkat ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia yang baik telah mendukung penciptaan dan mempertahankan kesempatan kerja yang baik dengan pendapatan dan kondisi yang layak. Pertumbuhan produktivitas ini perlu disertai dengan perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan untuk menjamin kesiapan tenaga kerja dalam memasuki pasar kerja. Angka Partisipasi Murni (APM) pada tingkat nasional mengalami peningkatan. APM pada jenjang SD/MI meningkat secara signifikan dari 88,70% pada tahun 1992 menjadi 95,55% pada tahun 2011 dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) telah melampaui 100%. Peningkatan yang terjadi pada indikator APM SD/MI mencerminkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan akses ke jenjang pendidikan dasar. II-2
Angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup menurun dari 97 (1991) menjadi 44 (2007). Status kesehatan anak Indonesia semakin membaik. Hal ini ditunjukkan oleh semakin rendahnya angka kematian neonatal, bayi, dan balita (Gambar 2.2). Angka kematian balita menurun, angka kematian bayi turun dari 68 per seribu kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi hanya 34 per seribu kelahiran hidup (2007). Gambar 2.2 Angka kematian neonatal juga Penurunan angka kematian balita, bayi, menurun dari 32 per seribu dan neonatal, 1991- 2007 (Bappenas, 2012a) kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 19 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2007.Namun demikian, jika dibandingkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 dengan SDKI 2007 penurunan kematian neonatal, bayi maupun balita cenderung stagnan. Penyebab utama kematian balita adalah masalah neonatal (asfiksia, berat badan lahir rendah, dan infeksi neonatal), penyakit infeksi (utamanya diare dan pneumonia) serta terkait erat dengan masalah gizi (gizi buruk dan gizi kurang). Masalah lain adalah disparitas angka kematian neonatal, kematian bayi dan angka kematian balita yang cukup tinggi, antarprovinsi. Kondisi ini disebabkan oleh masalah akses dan kualitas pelayanan kesehatan, masalah sosial ekonomi dan budaya, pertumbuhan infrastruktur serta kerterbukaan wilayah tersebut akan pembangunan ekonomi dan pendidikan. Terkait dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan berbagai kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang selaras dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan telah diupayakan menjadi arus utama (mainstream) dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan 20102014. Beberapa indikator yang terkait dengan pelestarian lingkungan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.3. Persentase tutupan hutan dari luas daratan (Bappenas, 2012a)
Rasio luas kawasan tertutup pepohonan terhadap luas daratan mengalami penurunan dari 59,97% (1990) menjadi 52,52% (2010). Rasio luas kawasan yang masih tertutup pepohonan terhadap luas daratan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara telah diupayakan kembali ke acuan dasar tahun 1990 namun masih diperlukan upaya yang keras untuk mencapainya. Penurunan drastis rasio dari II-3
keadaan pada tahun dasar 1990 diupayakan dinaikkan kembali sejak tahun 2002. Upaya pelestarian dan pemulihan hutan telah ditingkatkan sejak tahun 2002, antara lain melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Rasio tutupan hutan telah meningkat secara signifikan dari 48,97% pada tahun 2002 menjadi 52,52% pada tahun 2010 (Gambar 2.3). Jumlah emisi karbon dioksida (CO2) 1.377.983 Gg CO2eq (2000) menjadi 1.791.372 Gg CO2eq (2005). Sementara itu, dengan tanpa memasukkan emisi dari sektor kehutanan (Land use, land use change and forestry – LULUCF), total emisi gas rumah kaca (GRK) dari tiga jenis GRK utama (CO2, CH4, N2O) pada tahun 2000 telah mencapai 556.728,78 Gg CO2eq. Emisi GRK terdistribusi tidak merata antara ketiga jenis GRK utama. Emisi CO2 sebesar 1.112.878,82 Gg, mewakili 80,80% emisi GRK nasional; emisi metana (CH4) sebesar 236.617,97 Gg (CO2eq) atau 17,20%, dan emisi dinitro oksida (N2O) sebesar 28.341,02 Gg (CO2eq) atau 2,00%. Sektor pengemisi GRK utama adalah alih guna lahan dan kehutanan, diikuti oleh energi, emisi dari kebakaran gambut, limbah, pertanian dan industri. Upaya penurunan emisi GRK ini terus diupayakan di tahun-tahun mendatang dengan pelaksanaan pembangunan rendah karbon berdasarkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK) yang telah ditetapkan berdasarkan Perpres No. 61 Tahun 2011. Dari sisi lain, dalam kerangka menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada pembangunan nasional, proporsi tangkapan ikan harus dipertahankan untuk berada dalam batasan biologis yang aman. Walaupun proporsi tersebut mengalami kenaikan, namun masih dapat dikendalikan untuk tidak melebihi 100% dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC). Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap tahun 2011 diperkirakan 6,4 juta ton per tahun, sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (Total Allowable Catch/jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB)) adalah 80% dari MSY atau sebesar 5,12 juta ton. Proporsi tangkapan ikan tersebut meningkat dari 66,08% pada tahun 1992 menjadi 98,86% pada tahun 2011. Rasio luas kawasan hutan lindung terhadap total luas kawasan hutan telah meningkat. Rasio tersebut meningkat dari 26,40% pada tahun 1990 menjadi 27,54% pada tahun 2010. Angka 27,54% tersebut adalah rasio luas kawasan lindung terhadap total luas daratan, bukan terhadap total luas kawasan hutan Sementara itu, rasio kawasan konservasi/lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial juga meningkat dengan cepat. Rasio tersebut yang semula 0,14% pada tahun 1990 meningkat menjadi 4,97% pada tahun 2011 atau menjadi seluas 15,41 juta hektar. Indonesia juga mengakui bahwa mengatasi perubahan iklim merupakan bagian integral dari tantangan pembangunan yang dihadapi bangsa. Perencanaan penanggulangan perubahan iklim secara nasional tidak boleh dilakukan secara terpisah antar daerah, namun harus diatasi secara Nasional. Sudah terdapat beberapa dokumen yang dihasilkan dari kondisi tersebut (penanggulangan perubahan iklim) dan diantaranya sudah menjadi Peraturan Presiden, diantaranya adalah: (1) Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, 2007; (2) Yellow Book National Development Planning: Responseto Climate Change, third edition, Bappenas, 2008, (3) Indonesia Climate Change Sectoral Road Map (ICCSR), Bappenas, 2009; (4) Second National Communication, KLH, 2010, (5) Indonesia Adaptation Strategy, Bappenas, 2011, dan (6) Draft National Action Plan for Adaptation by DNPI, 2011
II-4
2.2.
Perubahan Iklim dan Dampaknya dalam Pembangunan
2.2.1. Kecenderungan Perubahan Iklim di Indonesia A. Unsur Iklim
Iklim dapat diartikan sebagai keadaan (state) dari sistem iklim yang terbentuk dari seluruh unsur Bumi yakni atmosfer (udara), hidrosfer (laut), litosfer (bumi padat termasuk mantel, kerak Bumi, dan gunung api), kriyosfer (lapisan es), dan biosfer (vegetasi). Komponen sistem iklim saling berinteraksi untuk menjaga agar menghasilkan suatu keadaan tertentu pada ruang dan waktu tertentu. Interaksi di dalam sistem iklim melibatkan proses yang kompleks dengan skala waktu detik sampai jutaan tahun, dan skala ruang dari skala molekuler hingga planeter. Dalam istilah populer (awam), iklim sering diartikan sebagai cuaca rata-rata, tetapi secara operasional iklim didefinisikan sebagai deskripsi statistik dari unsur-unsur cuaca/iklim seperti temperatur (suhu), presipitasi (hujan), angin, dsb., yang sedikitnya menyatakan nilai rerata (mean) dan variansinya dalam rentang waktu beberapa dasawarsa (30 tahun menurut WMO). Beberapa trent perubahan iklim di Indonesia diuraikan sebagai berikut. Analisis trend perubahan iklim saat ini dilakukan dengan melihat perubahan nilai rerata 30-tahun (30-year mean). Sebagai contoh, pada Gambar 2.4. ditunjukkan grafik perubahan nilai rerata 30-tahun curah hujan dihitung secara berjalan (moving) untuk setiap 5 tahun dari data stasiun Jakarta. Gambar tersebut antara lain memperlihatkan kenaikan curah hujan bulan Januari yang cukup signifikan pada periode tahun 1970-an dibandingkan dengan tahun 1900-an, dengan selisih nilai rerata 30-tahunan sekitar 100 mm. Secara umum juga diperlihatkan bahwa curah hujan di bulan-bulan Januari sampai dengan April lebih sensitif terhadap perubahan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Selain itu, dapat dilihat juga bahwa curah hujah Januari cenderung menurun kembali menuju tahun 2000-an, sebaliknya curah hujan Februari cenderung naik.
Gambar 2.4. Perubahan nilai curah hujan rerata 30-tahun untuk setiap bulan pada beberapa kurun waktu (kiri) dan grafik moving average-nya untuk bulan-bulan basah D(esember)J(anuari)-F(ebruari) (kanan) (Bappenas, 2010a)
II-5
Gambar 2.5. Contoh hasil analisis perubahan temperatur di Jakarta: (a) data time series temperatur bulanan, (b) grafik komposit temperatur 30-tahun untuk tiap-tiap bulan (dengan urutan Juli ke Juni), (c) grafik moving average 30-tahunan untuk bulan Desember, Januari, Februari, dan (d) sama dengan (c) untuk bulan Juni, Juli, Agustus. (Bappenas, 2010a)
Contoh analisis di atas memperlihatkan bahwa perubahan iklim, pada taraf tertentu telah terjadi di Jakarta dilihat dari adanya perubahan nilai rerata (mean) pada data curah hujan dari satu periode 30-tahun ke periode 30-tahun lainnya. Untuk mengetahui kecenderungan perubahan curah hujan di Indonesia, maka dilakukan analsis serupa terhadap data GPCC yang berbentuk grid dengan lebar 0,5º. Hasil analisis untuk data temperatur stasiun Jakarta diperlihatkan pada Gambar 2.5. Data deret waktu sekilas menunjukkan suatu kecenderungan kenaikan temperatur yang signifikan antara tahun 1870-an dan tahun 1980-an. Namun demikian, apabila dilihat perubahan nilai temperatur rata-rata 30-an untuk tiap-tiap bulannya, maka dpat diketahui bahwa perubahan pada bulan-bulan kering Juni-Juli-Agustus (JJA) lebih besar daripada perubahan pada bulan-bulan basah Desember-JanuariFebruari (DJF). Jika diambil trend linier, perubahan temperatur untuk bulan-bulan basah hanya berkisar 0,5º C pada bulan-bulan basah tetapi pada bulan-bulan kering dapat mencapai 1,5º C selama abad ke-20. Kenaikan temperatur pada bulan-bulan kering di Jakarta kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal dalam bentuk efek pulau panas perkotaan (urban heat island). Efek pulau panas perkotaan terutama ditimbulkan oleh perubahan tutupan lahan, sedangkan kontributor lainnya adalah dapat diperkirakan dari pembuangan panas dari kegiatan industri, transportasi, dan rumah tangga.
II-6
Pada Gambar 2.6 diperlihatkan grafik Cumulative Distribution Function (CDF) empirik dari kurun 30 tahun yang berbeda. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk bulan-bulan DesemberJanuari-Februari (DJF), peluang terjadinya curah hujan bulan dengan nilai sebesar 500 m meningkat sekitar 10% (dari 10% ke 20%) pada periode 1961-1990 dibandingkan dengan periode 1901-1930 dan 19311960. Di lain pihak, perubahan dsitribusi peluang untuk curah hujan di bulan-bulan Maret-April-Mei (MAM) tidak terlalu tampak jelas.
Gambar 2.6. Grafik Cumulative Distribution Function (CDF) empirik, dari data curah hujan bulanan Jakarta selama beberapa periode 30-tahunan. (Bappenas, 2010a)
Perlu dicatat bahwa distribusi peluang curah hujan untuk tahun 1991-1997 agak sulit untuk diinterpretasi karena data yang tersedia tidak cukup banyak untuk membentuk suatu kurva normal. Keterkaitan antara peluang curah hujan bulanan yang tinggi dengan curah hujan ekstrim tentunya tidak terlalu jelas. Akan tetapi hujan rata-rata di Jakarta adalah sekitar 200-300 mm/bulan selama bulan-bulan DJF, dan hujan 500 mm/bulan adalah hampir dua kali rata-rata. Apabila jumlah hari hujan dianggap tetap, maka dapat diperkirakan bahwa haruslah terjadi peningkatan intensitas curah hujan harian juga. Pada waktu musim angin barat (angin bertiup dari barat) dari bulan Oktober sampai Maret, cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh monsun barat, angin bertiup dari timur laut dan berbelok menuju arah tenggara setelah melewati katulistiwa. Sebaliknya pada musim angin timuran, angin bertiup dari tenggara dan berbelok menuju ke timur laut setelah melalui daerah katulistiwa, dari bulan Mei sampai Septemnber. Pengaruh Samudera Pasifik menjadi dominan pada periode angin baratan kecuali sebagian besar Sumatera, yang dipengaruhi oleh karakteristik Samudera Hindia sebelah barat. Sebaliknya pada musim angin timuran, pengaruh Samudera Hindia menjadi dominan dengan ditandai oleh berkurangnya curah hujan di Pulau Jawa, dan kepulauan Nusa Tenggara, sementara di sebagian besar Sumatera, dan Kalimantan masih berpeluang terjadinya curah hujan dengan intensitas sedang. Gambar 2.7 menunjukkan pola angin dan distribusi spasial suhu permukaan laut (SPL) pada bulan Januari saat puncak musim angin barat dan Agustus saat puncak musim angin timur. Pola angin dan SPL, masing-masing berdasarkan data satelit QuickScat (Quick Scatterometer) dan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Agency) OI (Optimal Interpolation). Sementara itu curah hujan bulanan untuk bulan
II-7
Januari dan Agustus berdasarkan data TRMM (Total Rainfall Measurements Mission) terlihat seperti pada Gambar 2.8. Berdasarkan Gambar 2.7 dan 2.8, terlihat adanya hubungan yang erat antara pola curah hujan dan distribusi SPL. Pada bulan Januari terlihat curah hujan tinggi di hampir seluruh wilayah Indonesia, yang berkisar antara 250 mm sampai 400 mm, dengan SPL yang tinggi diatas 28°C. Sementara itu, pada bulan Agustus terlihat rendahnya curah hujan di Indonesia, terutama pada wilayah di sebelah selatan katulistiwa dengan total curah hujan dibawah 50 mm/bulan, dengan SPL dibawah 27°C.
Gambar 2.7. Pola angin dan suhu permukaan laut (SPL) pada bulan Januari dan Agustus (Bappenas, 2010a)
Gambar 2.8. Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia bulan Januari dan Agustus (Bappenas, 2010a)
B. Hidrooseanografis Secara umum pola arus Indonesian Trough Flow (ITF) mempengaruhi karakteristik iklim melalui mekanisme heat-transfer antara Samudera Pasifik dan Indonesia. Gambar 2.9 menunjukkan arus permukaan dan distribusi spasial TML pada bulan Januari dan Agustus. Pola arus dan estimasi tinggi muka air laut merupakan hasil II-8
perhitungan dengan menggunakan HYbrid Coordinate Ocean Model (HYCOM) (Sofian et al., 2008). Pada umumnya TML di Perairan Indonesia tinggi pada bulan Januari (monsun barat) dan rendah pada bulan Agustus (monsun timur). Sementara itu, garis dan tanda panah warna kuning menunjukkan Indian Ocean South Equatorial Current (IOSEC). Garis dan anak panah warna putih dan solid merah, masing-masing menunjukkan jalur lintasan Indonesian Throughflow (ITF, Alur Lintas Indonesia) dari Pasifik Selatan ke Samudera Hindia melalui Selat Makassar dan Lombok, serta melalui Laut Cina Selatan, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Sedangkan garis titik-titik dan anak panah warna merah menunjukkan Pacific South Equatorial Current (PSEC), dengan sketsa SEC dan ITF. (2003). Pada periode monsun barat (Januari, Gambar 2.8a.) terlihat IOSEC bergerak ke barat dengan rentang pada 10°S sampai 20°S, sementara mesoscale eddies (pusaran skala meso) tidak terlihat dengan jelas di Laut Cina Selatan. Arus permukaan yang kuat di Laut Cina Selatan membuat naiknya TML di Kalimantan bagian barat dan utara sampai Vietnam sebelah timur. Selanjutnya, PSEC dengan kisaran antara 5° N dan 15°S sampai 20° S mengalir ke barat akibat hembusan Pacific Tradewind (PTW) dari perairan di sekitar Peru sampai 180° E. Sementara itu Pacific North Equatorial Current (PNEC) yang terletak antara latitude 10° sampai 25° N terdorong ke barat oleh hembusan tradewind tenggara. Pada saat PNEC mencapai Filipina, arus permukaan ini terpecah, dengan bagian yang lebih kecil bergerak ke selatan untuk memulai menjadi Pacific Equatorial Counter Current
Gambar 2.9. Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus. TML berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan kecepatan arus merupakan hasil estimasi dengan menggunakan HYCOM (Hybrid Coordinate Ocean Model) (Bappenas, 2010a)
Gambar 2.9b menunjukkan TML dan vektor arus bulan Agustus pada waktu monsun timur. Arus permukaan di Laut Cina Selatan yang bergerak ke timur mendorong air laut ke timur dan memindahkan TML yang tinggi dari pantai barat laut Kalimantan ke timur laut Filipina. Sementara itu IOSEC ekspansi lebih ke utara dari 16°S pada waktu monsun barat ke 8°S. Kekuatan arus permukaan PSEC menguat dibandingkan PSEC pada monsun barat. PNEC melemah dan arus Kuroshiyo didominasi oleh arus permukaan yang kuat dari Laut Cina Selatan yang bergerak ke utara. PECC menguat seiring dengan kuatnya arus permukaan dari Laut Cina Selatan yang terpropagasi ke timur. Sebagai tambahan arus permukaan di Selat Makassar menguat dan menuju ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok, dan bagian timur Indonesia.
II-9
Gambar 2.10 menunjukkan pola arus dan tinggi muka laut rata-rata bulanan dari tahun 1993 sampai 1999, pada bulan Januari dan Agustus. Pola arus dan estimasi tinggi muka laut merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan HYbrid Coordinate Ocean Model (HYCOM). Rata-rata tunggang pasut (tidal range) tertinggi bulanan di seluruh perairan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.10 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus. Tinggi muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan selama 7 tahun, dari tahun 1993 sampai 1999 (Bappenas, 2010a)
Gambar 2.11. Distribusi spasial rata-rata tunggang pasut tertinggi bulanan di Perairan Indonesia (Bappenas, 2010a)
II-10
Berdasarkan hasil model OTIS untuk wilayah Indonesia, didapatkan bahwa pasang surut tertinggi terjadi di pantai selatan Pulau Papua mencapai 5 m, dengan tinggi pasang tertinggi dan surut terendah, masing-masing berkisar antara 2.6m sampai 2.6 m.Selat Karimata bagian selatan mempunyai tunggang pasut antara 2.2 m sampai 2.4 m, dengan pasang tertinggi mencapai 1.2m, dan surut terendah antara 1.1m sampai 1.1 m. Tinggi tunggang pasut di Laut Jawa berkisar antara 1.2 m sampai 2 m, dengan tunggang pasut tertinggi terjadi di Laut Jawa sebelah timur di sekitar Surabaya, Madura, dan Bali. Terlihat juga adanya perbedaan waktu terjadinya puncak pasang tertinggi di Laut Jawa, dengan pasang tertinggi di sekitar Jakarta, terjadi pada jam 00.00 WIT sampai 01.00 WIT, kemudian bergeser ketimur, dengan pasang tertinggi di sekitar Bali yang terjadi pada jam 12.00 WIT. Sementara itu pasang surut yang terjadi di pantai barat Pulau Kalimantan, mempunya pasang tertinggi sekitar 2 m dan terendah -2 m, yang masing-masing terjadi pada jam 06.00 WIT dan 00.00 WIT. Tinggi air laut pasang di Sulawesi Selatan berkisar antara 1.2m sampai 1.4m, dan di Sulawesi Utara mencapai 1,6 m sampai 1.8 m, dengan surut terendah masing-masing mencapai -1,4 m dan -1,8 m, massing-masing untuk perairan di sekitar Sulawesi Selatan dan Utara. Tinggi gelombang laut pada bulan Januari dan Agustus dari rata-rata selama 3 tahun, yang berasal dari data altimeter Significant Wave Height (SWH) ditunjukkan pada Gambar 2.12. Rata-rata tinggi gelombang pada bulan Januari berkisar antara 60cm sampai 240 cm, dengan gelombang tertinggi terjadi di Pasifik Barat, sebelah utara Papua, yang mencapai 3 m. Gelombang gelombang. Wilayah Perairan Indonesia yang terletak di sebelah utara katulistiwa, pada umumnya mempunyai gelombang tertinggi tahunan pada bulan Januari, kecuali pantai barat Sumatera yang berbatasan dengtan Samudera Hindia. Sebaliknya daerah yang terletak di sebelah selatan Katulistiwa mempunyai gelombang tertinggi tahunan pada bulan Juli sampai Agustus. Sedangkan gelombang tertinggi pada bulan Agustus terjadi di Samudera Hindia, dengan ketinggian lebih dari 3 m. Sementara itu tinggi gelombang di Selat Makassar, Karimata dan perairan di sekitar Pulau Ambon, mempunya tinggi gelombang terendah dengan kisaran antara 60cm sampai 1m. Sebagai tambahan tinggi gelombang di Laut Jawa mencapai titik tertinggi pada bulan Juli sampai Agustus dengan kisaran antara 1,2 m sampai 1,4 m.
Gambar 2.12. Rata-rata tinggi gelombang bulanan pada bulan Januari dan Agustus. Data gelombang diperoleh dari altimeter Significant Wave Height (SWH) dari Januari 2006 sampai Desember 2008 (Bappenas, 2010a)
II-11
2.2.2. Dampak Perubahan Iklim dalam Pembangunan Selama abad 20, Indonesia mengalami peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan tanah 0,5 derajat celcius. Jika dibandingkan periode tahun 1961 hingga 1990, rata-rata suhu di Indonesia diproyeksikan meningkat 0,8 sampai 1,0 derajat Celcius antara tahun 2020 hingga 2050 (Bappenas, 2012b). Kondisi ini merupakan dampak dari perubahan iklim yang terjadi di Bumi. Perubahan iklim akan berdampak pada berbagai sektor pembangunan, yang dapat meliputi pertanian, sumber daya air, kehutanan, pesisir dan lautan, dan kesehatan. A. Pertanian Perubahan iklim melalui tahun ENSO (El Niño dan La Niña) akan berdampak besar terhadap sektor pertanian. Secara historis data yang ada menunjukkan bahwa berubahnya awal dan lamanya musim penghujan akan mempengaruhi produksi beras di Indonesia. Mundurnya awal musim penghujan akibat fenomena El Niño menyebabkan penurunan produksi beras di musim penghujan. Penurunan luas tanam saat musim hujan (MH) dapat dikompenasi dengan peningkatan luas tanam saat musim lkemarau (MK), namun secara agregat tetap akan menurunkan produksi beras (Gambar 2.13), terutama di Jawa dan Bali. Penurunan curah hujan secara signifikan saaat musim penghujan pada tahun-tahun El Niño, juga akan mempengaruhi produksi tanaman pangan selain beras. .
Gambar 2.13. Perubahan luas tanam kumulatif pada musim hujan (MH) dan kemarau (MK) selama ENSO tahun (El Niño dan La Niña) dibandingkan dengan tahun normal (Ministry of Environment, Indonesia Second National Communication UNFCC, 2010)
Musim kemarau yang panjang selama tahun El Niño dapat juga berpengaruh terhadap tanaman tahunan. Pada observasi yang panjang menunjukkan bahwa kemarau panjang dapat merusak tanaman muda, seperti pada tahun 1994 persentase angka kematian tanaman muda (kurang dari 2 tahun) mencapai 30%. Bahkan pada tanaman tahunan yang telah menghasilkan seperti kelapa, kelapa sawit, dapat mengalami kerusakan permanen setelah mengalami kemarau panjang 4-9 bulan. Selain penurunan produksi pertanian, perubahan iklim juga akan
II-12
mempengaruhi dinamika hama penyakit tanaman. Perubahan tersebut pada gilirannya akan mengancam kelebrlangsungan sektor pertanian secara keseluruhan. B. Sumber Daya Air Perubahan pola dan intensitas curah hujan, akan berdampak langsung terhadap sektor sumber daya air. Ketersedian air untuk pemenuhan berbagai kebutuhan, secara langsung dipengaruhi oleh faktor iklim dan kemampuan suatu kawasan dalam menahan air, yang ditunjukkan oleh neraca air di suatu wilayah. Perubahan iklim akan dapat meningkatkan defisit air di berbagai wilayah. Kemampuan suatu kawasan dalam menahan air, akan ditentukan oleh penutupan hutan di kawasan tersebut. Dengan demikian kecenderungan perubahan penutupan lahan bervegetasi (seperti hutan) menjadi bukan-hutan, akan mempercepat terjadinya defisit air yang akan mengancam berbagai sektor. Suatu kajian mengenai neraca air di Indonesia menunjukkan bahwa pada beberapa tahun mendatang akan semakin banyak wilayah yang mengalami kelangkaan surplus air. Seperti disajikan pada Gambar 2.14, wilayah dengan warna semakin hijau muda akan semakin mengalami bulan-bulan defisit air yang meningkat.
Gambar 2.14. Status neraca air pada beberapa skenario perubahan iklim (Ministry of Environment, Indonesia Second National Communication UNFCC, 2010)
C. Kehutanan Pada sektor kehutanan, penurunan curah hujan saat musim kemarau dan memendeknya musim penghujan, akan semakin meningkatkan risiko kebakaran hutan dan juga lahan. Berdasarkan pola kerapatan titik api (hotspot), dapat II-13
diketahui bahwa terdapat dua provinsi yang memiliki titik api tertinggi, yaitu Riau di Sumatera dan Kalimantan Tengah di Kalimantan. Klasifikasi risiko kebakaran hutan untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan berbadasarkan kerapatan titik api, disajikan pada Gambar 2.15. Kerapatan titik api di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, dapat meningkat dengan sangat cepat pada saat menurunnya curah hujan musim kemarau atau memanjangnya musim kemarau, utamanya pada tahun-tahun El Nino. Hasil penelitian Ardiansyah and Boer (2009 dalam KemenLH 2010), menunjukkan bahwa bila curah hujan musim kemarau lebih rendah 50 mm atau lebih di bawah normal, maka kerapatan titik api akan meningkat sangat cepat. Risiko kebakaran hutan akibat perubahan iklim, semakin meningkatkan ancaman terhadap keragaman hayati. Suatu kajian di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa jumlah pohon yang dapat hidup dari suatu area yang terbakar berulang (tahun
Gambar 2.15. Klasifikasi risiko kebakaran hutan berdasarkan pola kerapatan titik api (hotspot) wilayah Sumatera dan Kalimantan (Ministry of Environment, Indonesia Second National Communication UNFCC, 2010)
1982/83 dan 1997/98), akan menjadi turun secara signifikan. Dampak lain dari perubahan iklim pada sektor kehutanan adalah juga meliputi berkurangnya kerapatan spesies fauna tertentu (yang dapat disebabkan oleh perpindahan ke area yang memiliki suhu dan curah hujan yang lebih sesuai), memingkatnya hama dan penyakit tumbuhan hutan, perubahan produkstivitas hutan, dan lain-lain. D. Pesisir dan Lautan Pada sektor pesisir dan lautan, peningkatan muka laut sekitar 25-50 cm akibat perubahan iklim, akan menyebabkan tenggelamnya banyak bagian kota-kota pesisir di Indonesia. Subsidensi lahan akan semakin menjadi permasalahan utama di berbagai kota pesisir seperti Semarang. Pada banyak bagian di kota-kota besar lain seperti Surabaya, Jakarta and Medan, dapat tenggelam sebagian secara permanen. Peningkatan muka laut tersebut akan merusak dan menghilangkan berbagai II-14
infrastruktur wilayah seperti pelabuhan, jalan, bandara, serta permukiman dan areal budidaya di wilayah pesisir. Studi yang dilakukan oleh Hariati et al. (2009 dalam KemenLH 2010) menunjukkan bahwa peningkatan muka air laut akan menimbulkan permasalahan yang sangat serius bagi Jakarta. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.16, peningkatan muka air laut sampai 1 m, akan menenggelamkan sekitar 1.000 ha lahan, dan akan menjadi lebih parah bila dikombinasi dengan pasang tinggi, maka akan membanjiri sekitar 6.000 ha lahan (sekitar 10% dari luas Jakarta). Peningkatan muka laut juga dapat mengancam teritorial negara, akibat tenggelamnya pulau-pulau kecil terluar di Indonesia yang menjadi titik pangkal perbatasan negara, seperti Alor (perbatasan dengan Timor Leste), Pelampong (perbatasan dengan Singapura), Senua (perbatasan dengan Malaysia), Simuk and Sinyaunyau (perbatasan dengan India). Peningkatan temperatur air laut dapat menyebabkan masalah bagi ekosistem terumbu karang serta ekosistem lainnya di wilayah pesisir. Wetland International (Burke et al., 2002 dalam KemenLH 2010) melaporkan bahwa El-Niño tahun 1997 telah merusak 18% ekosistem karang di Asia Tenggara. Di Indonesia, pemutihan
Gambar 2.16. Luas dan kedalaman banjir di Jakarta akibat peningkatan muka air laut dan air pasang (Ministry of Environment, Indonesia Second National Communication UNFCC, 2010)
karang (bleaching) sudah diamati di berbagai tempat yang meliputi pantai timur Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Di Kepulauan Seribu (Jakarta), sekitar 90-95% karang mengalami pemutihan pada kedalaman 25 m di bawah permukaan laut. E. Kesehatan Pengaruh perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pengaruh langsung (terhadap tubuh, fisiologis dan psikologis); dan pengaruh tidak langsung (pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan dan lingkungan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi manusia). Cuaca ekstrim yang berkaitan dengan ENSO juga dapat berkontribusi terhadap peledakan penyakit seperti malaria, dengue, diarrhea, cholera dan penyakit lain yang ditularkan vektor.
II-15
Gambar 2.17. Tingkat kejadian demam berdarah dengue dan jumlah kota yang terkena. Catatan: tahun 1973, 1988, dan 1998 merupakan tahun La Niña (Ministry of Environment, Indonesia Second National Communication UNFCC, 2010)
Kasus-kasus dengue ditemukan meningkat secara signifikan pada tahun-tahun LaNiña, yaitu di saat curah hujan lebih tinggi daripada rata-rata (Gambar 2.17). Peningkatan tersebut dapat ditemukan di Pulau Jawa, utamanya di kota-kota besar. Perubahan iklim secara umum akan meningkatka intensitas dan luas area yang berisiko dan berpeluang mengalami timbulnya penyakit baru yang berhubungan dengan iklim. Perubahan iklim yang berkombinasi dengan perubahan lingkungan dan prilaku sosial, menyebabkan tekanan terhadap kondisi kesehatan masyarakat. Indonesia merupakan wilayah yang memiliki penyakit-penyakit yang disebarkan oleh berbagai vektor, dapat menjadi lebih meningkat dengan adanya perubahan iklim. Peningkatan kasus dan perubahan pola sebaran penyakit selama periode iklim ekstrim, merupakan indikasi dari pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat. 2.3.
Telaah Empiris Implementasi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
2.3.1. Sektor Pertanian Strategi utama pada bidang Ketahanan Pangan adalah meliputi: (a) Penyesuaian dan pengembangan sistem usahatani terhadap perubahan iklim, (b) Pengembangan dan penerapan teknologi adaptif terhadap cekaman iklim, (c) Pengembangan dan optimalisasi sumberdaya lahan, air dan genetik. Strategi-strategi tersebut diwujudkan melalui 7 Program Utama (Klaster), yaitu: 1) Klaster Penyesuaian Sistem Produksi Pangan; 2) Klaster Perluasan Areal Pertanian Pangan dan Budidaya Perikanan; 3) Klaster Perbaikan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pertanian yang climate proof 1; 4) Klaster Percepatan Diversifikasi Pangan; 5) Klaster Pengembangan Teknologi Inovatif dan Adaptif; 6) Klaster 1
Climate Proof ialah pembangunan atau pengembangan sistem yang sudah memperhitungkan perubahan iklim sehingga sistem dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan pada kondisi iklim yang akan berubah
II-16
Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi (Iklim dan teknologi); 7) Klaster Program Pendukung. Pelaksanaan teknis program-program aksi di atas harus didukung oleh analisis dan kajian-kajian ilmiah terkait dengan kerentanan dan dampak perubahan iklim pada ketahanan pangan, analisis dan sintesis kebijakan pemanfafatan sumberdaya lahan dan air, pengembangan kelembagaan pangan dan sistem produksinya (pertanian dan perikanan) serta memperhatikan aspek sosial ekonomi budaya, aspek gender, dan kondisi spesifik lingkungan (Bappenas, 2013a). Sub sektor perkebunan dan sistem pertanian di lahan gambut dapat memberikan kontribusi cukup besar dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan demikian, usaha mitigasi perubahan iklim pada sektor pertanian difokuskan pada sub sektor perkebunan dan pertanian di lahan gambut. 2.3.2. Sektor Energi Strategi utama bidang kemandirian energi adalah: (a) perbaikan dan konservasi wilayah tangkapan hujan pada DAS yang menjadi sumber pembangkit energi tenaga air dan panas bumi, dan (b) Optimalisasi pemanfaatan limbah organik dan biomassa serta pengembangan sumber energi dari bahan bakar nabati (BBN).Strategi-strategi tersebut diwujudkan melalui 4 Program Utama (Klaster), yaitu: 1) Klaster Perbaikan dan Konservasi Wilayah Tangkapan Hujan; 2) Klaster Perluasan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan; 3) Klaster Pengembangan Teknologi Inovatif dan Adaptif untuk Budidaya Tanaman Sumber Bahan Bakar Nabati dan Hutan Tanaman untuk Energi (Energy Plantation); dan 4) Klaster Program Pendukung (Bappenas, 2013a). Untuk dapat memenuhi tantangan dari mitigasi bidang energi, diperlukan peningkatan skala untuk dipromosikan dan selanjutnya difusi teknologi perlu mendapatkan bantuan, termasuk didalamnya mempererat kerjasama antara pihak industri dengan negara-negara berkembang. Untuk merealisasikan hal ini pemerintah harus berkonsentrasi dan memberikan support berupa kemudahan pasar, bersih dan predictable playing field bagi sektor swasta. Pemerintah harus mempromosikan jenis-jenis pilihan energi seperti penggunaan pembangkit air (large-hydro) dan geothermal. Sumber terbarukan lainnya seperti penggunaan solar cell pada pendingin udara, penggunaan energi gelombang dan nanotechnology, meskipun semuanya masih memerlukan pengembangan teknologi dan pemasaran lebih lanjut. Pilihan lainnya adalah penggunaan teknologi penangkap dan penyimpan karbon, teknologi ini ikut terlibat dalam penangkapan CO2 sebelum dilepaskan ke atmosfer, memindahkannya ke tempat yang lebih aman dan mengisolasinya dari atmosfer, contohnya adalah mennyimpannya dalam lampisan formasi batuan. 2.3.3. Sektor Kesehatan Strategi sektor kesehatan adalah: (a) penguatan dan pemutakhiran informasi kerentanan dan risiko kesehatan terhadap perubahan iklim, (b) pengembangan kebijakan, perencanaaan, jejaring, dan kerja sama antar lembaga di tingkat lokal, regional dan nasional terkait risiko kesehatan terhadap perubahan iklim, serta (c) penguatan kapasitas dan kewaspadaan dini terkait ancaman perubahan iklim terhadap kesehatan di tingkat masyarakat dan pemerintah. Strategi-strategi tersebut diwujudkan dalam 4 Program Utama (Klaster): 1) Klaster Identifikasi dan Pengendalian Faktor-Faktor Kerentanan dan Risiko pada Kesehatan Masyarakat yang dapat Ditimbulkan oleh Perubahan Iklim; 2) Klaster Penguatan Sistem Kewaspadaan dan Pemanfaatan Sistem Peringatan Dini Terhadap Mewabahnya II-17
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular yang Diakibatkan Perubahan Iklim; 3) Klaster Penguatan Regulasi, Peraturan Perundangan, dan Kapasitas Kelembagaan di Tingkat Pusat dan Daerah Terhadap Risiko pada Kesehatan Masyarakat yang dapat Ditimbulkan oleh Perubahan Iklim; 4) Klaster Peningkatan Ilmu Pengetahuan, Inovasi Teknologi, dan Partisipasi Masyarakat Terkait Adaptasi Kesehatan terhadap Perubahan Iklim. 2.3.4. Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau-Pulau Kecil Strategi sektor Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah: (a) Stabilitas kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap ancaman perubahan iklim, (b) Peningkatan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) Pelaksanaan pembangunan struktur adaptasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) Penyesuaian rencana tata kawasan perkotaan terhadap ancaman perubahan iklim, dan (e) Pengembangan dan optimalisasi riset dan sistem informasi tentang perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Strategi-strategi tersebut diwujudkan melalui 5 Program Utama (Klaster), yaitu: 1). Klaster Peningkatan Kapasitas Kehidupan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terkait dengan Isu Perubahan Iklim. 2). Klaster Pengelolaan dan Pendayagunaan Lingkungan dan Ekosistem untuk Adaptasi Perubahan Iklim. 3). Klaster Penerapan Tindakan Adaptasi Struktural dan Non Struktural untuk Mengantisipasi Ancaman Perubahan Iklim. 4). Klaster Pengintegrasian Upaya Adaptasi ke dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 5). Klaster Peningkatan Sistem Pendukung Adaptasi Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aspek mitigasi dapat diliput pada penerapan manajemen risiko secara sistematis melalui kebijakan administratif (undang-Undang dan rencana tata ruang), organisasi, peningkatan kemampuan opersional, pemilihan strategi dan implementasi serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkannya. Manajemen risiko ini mengkaji seluruh pilihan strategi dan implementasi, baik dalam penanganan struktural (structural measures) maupun non struktural (non structural measures) untuk menghindarkan (preventive) atau untuk mengurangi efek yang ditimbulkan oleh bahaya perubahan iklim secara adaptasi, preperedness dan peningkatan resilence. 2.3.5. Sektor Kehutanan Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) merupakan permasalahan yang harus ditangani secara global karena peningkatan suhunya juga berdampak global. Menurut IPCC (2007) emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2004 mencapai 49 giga ton (milyar ton) CO2eq. Peningkatan emisi diperkirakan akan terus terjadi dan mencapai 25-90% pada periode tahun 2000-2030. Menurut hasil kajian SternEconomist dari UK- tahun 2006, sektor terbesar penyumbang emisi global adalah dari sektor energi yang mencapai 65% terdiri dari Listrik 24%, transportasi 14% dan industri 14% lain-lain 13%. Sedangkan sisanya 35% berasal dari sektor non energi yakni Pertanian 14%, Kehutanan (Land use-Land use Change and Forestry) 18% dan lain-lain 3%. Stok karbon yang tersimpan dari vegetasi dan tanah sebesar ± 7500 Gt CO2 atau setara dengan 2 kali jumlah CO2eq di atmosfir. Dari stok karbon di vegetasi dan tanah tersebut 4500 G ton diantaranya merupakan stok karbon di hutan. Lebih dari itu hutan dapat menyerap 2 Gt CO2eq per tahunnya (carbon sink).
II-18
Di sisi lain hutan sumber daya hutan juga telah mengemisi atmosfir dari kegiatan deforestasi sebesar 6 Gt CO2eq per tahun. Penanganan masalah perubahan iklim dilakukan melalui mitigasi dan adaptasi yaitu meningkatkan kemampuan pengurangan/ penyerapan konsentrasi GRK di atmospher dan meningkatkan kemampuan survival (resiliensi) terhadap perubahan iklim. Bila mengacu pada hasil kajian Stern diatas maka apabila deforestasi merupakan18% dari masalah emisi GRK, maka pencegahan/pengurangan deforestasi dapat menjadi 18% dari solusi pengurangan emisi. Salah satunya dalam bentuk skema Pengurangan Emisi dari Deforestatsi dan Degradasi Hutan (REDDReducing Emision from Deforestation and Forest Degradation) Indonesia telah menginisiasi upaya mitigasi perubahan iklim melalui mekanisme REDD (reducing emission from deforestation and degradation) yang pada intinya mendorong terwujudnya SFM melalui penerapan best practices dalam pengelolaan hutan. Peluang untuk mewujudkan SFM dan REDD semakin didorong dengan mangemukanya mekanisme perdagangan karbon (carbon trading) baik yang bersifat voluntary maupun berdasarkan ketentuan yang ditetapkan pemerintah (regulated/mandatory) melalui REDD demonstration activities. Penelitian dan pengembangan Kehutanan yang terkait dengan perubahan iklim difokuskan pada upaya tindak lanjut implementasi REDD, opsi penyempurnaan mekanisme A/R CDM, serta upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. 2.3.6. Sektor Pekerjaan Umum Departemen Pekerjaan Umum memiliki peran yang vital dalam kegiatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, melalui 3 (tiga) sektor utama, yakni: sektor sumberdaya air, sektor perumahan dan permukinan dan sektor jalan dan jembatan. Keterpaduan pembangunan ketiga sektor tersebut dicapai melalui dukungan kebijakan penataan ruang. Dalam rangka mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, kebijakan Departemen Pekerjaan Umum dapat diuraikan sebagai berikut (KemenPU, 2010): 1. Meningkatkan penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah yang aman (dari ancaman bencana), nyaman (kualitas lingkungan yang baik), produktif (dalam mendukung kegiatan sosial-ekonomi) dan berkelanjutan (untuk kebutuhan masa kini dan masa mendatang) 2. Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana sumberdaya air dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional dan mengurangi kerentanan terhadap resiko bencana banjir, longsor, dan kekeringan. 3. Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman pada kawasan perkotaan dan perdesaan yang bertujuan untuk mengurangi kerentanan terhadap resiko banjir/genangan serta krisis air bersih dan sanitasi 4. Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana jalan yang mampu memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat dalam hal mobilisasi dan aksesibilitas. Kebijakan dalam mengurangi dampak perubahan iklim adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan rasa aman (dari potensi bencana), nyaman (kondisi lingkungan yang baik), produktif (kehidupan sosial ekonomi yang dinamis) dan berkelanjutan (untuk pemenuhan kebutuhan sekarang dan masa mendatang) dalam tata ruang nasional dan daerah; (2) Meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur sumber daya air dalam rangka ketahanan pangan nasional dan mengurangi resiko banjir, tanah II-19
longsor dan kekeringan; (3) Meningkatkan pelayanan kualitas inftrastruktur perkotaan dan pedesaan dalam mengurangi potensi banjir, krisis air dan sanitasi; dan (4) Meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur jalan untuk memenuhi kebutuhan mobilitas dan aksesibilitas kebutuhan sosial ekonomi. 2.3.7. Sektor Limbah Skenario potensi mitigasi dari sektor sampah dibuat berdasarkan mandat UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sesuai dengan isi UU No. 18/2008 tersebut, usaha-usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor sampah adalah me-recovery LFG (landfll gas) baik dari lahan open dumping yang telah dikonversi menjadi sanitary landfll, maupun dari pembuatan sanitary landfll yang baru. Usaha menutup open dumping dan membangun sanitary landfll dengan LFG teknologi recovery sejalan dengan isi UU No.18/2008, yaitu seluruh lahan open dumping harus ditutup pada tahun 2015. Usaha lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah usaha untuk mereduksi sampah baik di sumber sampah (rumah tangga), TPS (Tempat Penampungan Sementara), maupun TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) dengan teknik 3R (reduce, reuse, recycle). Pemrosesan akhir sampah di perkotaan (urban) dan pedesaan (rural) di Indonesia adalah berbeda, di perkotaan menitikberatkan pada teknologi landfll (open dumping, controlled landfll, sanitary landfll), sedangkan di pedesaan teknologi pengomposan. Sedangkan untuk 3R dapat diterapkan baik di perkotaan maupun pedesaan. 2.4.
Kebijakan dan Program Penanganan Perubahan Iklim di Beberapa Negara
Pada bagian berikut disajikan beberapa pengalaman dan kebijakan dan program penanganan perubahan iklim di berbagai negara. 2.4.1. Banglades Banglades merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap risiko iklim. Dua pertiga dari daratan negara ini berada pada elevasi kuarang dari 5 meter di atas permukaan laut, dan sangat rentan terhadap limpahan sungai dan banjir. Oleh karena itu, sebagian negara ini merupakan bentukan dari delta sungai-sungai Gangga, Brahmaputra, dan Meghna (GBM). Secara historis diketahui bahwa setiap 3 sampai 5 tahun, Banglades tenggelam oleh banjir besar dan merusak berbagai infrastruktur, permukiman, kawasan pertanian, dan menghancurkan penghidupan utama penduduk miskin (World Bank Group, 2010a). Rekomendasi kebijakan adaptasi perubahan iklim bagi Banglades adalah meliputi bidang-bidang: I.
Pada Jangka pendek:
1. Melakukan perbaikan dan meningkatkan investasi untuk menambah polderpolder penampung air, yang secara langsung dapat mengurangi risiko badai dan banjir. 2. Meningkatkan penelitian dan pengembangan pengetahuan untuk mempertajam perencanaan dan aksi adaptasi perubahan iklim di masa depan.
II-20
II. Pada Jangka Menengah dan Panjang: 3. Mengkampanyekan kebijakan pembangunan yang mengedepankan adaptasi perubahan iklim sebagai dasar aksi adaptasi jangka menengah dan panjang. 4. Peningkatan standar rancangan infrastruktur: infrastruktur yang dirancang dengan baik akan meningkatkan ketahanannya terhadap kejadian cuaca ekstrim dan akan memberikan benefit yang besar dalam jangka panjang. 5. Mengurangi insentif yang salah sasaran: kebutuhan untuk meningkatkan infrastruktur harus dirancang secaar hati-hati, jangan sampai menjadi pemicu kerusakan dan kerugian yang lebih parah. 6. Pengembangan varietas dan budidaya tanaman yang tahan perubahan iklim: kebijakan ini merupakan pilihan untuk peningkatan keamanan pangan dalam jangka panjang. 7. Meningkatkan partisipasi pemerintah dan stakeholders lainnya: efektivitas investasi sangat tergantung pada kemampuan kelompok target (masyarakat) yang disasar untuk mengakses dan menikmatinya. 8. Penguatan kerjasama regional: merupakan opsi mendasar bagi pengelolaan perubahan iklim dalam jangka panjang. Misalnya kerjasama dalam memanfaatkan sumberdaya air antara negara yang bertetangga. 2.4.2. Ethiopia Ethiopia sangat tergantung pada pertanian tadah hujan. Karena kondisi geografis dan topografinya, yang dikombinasi dengan kapasitas adaptasi yang rendah, maka negara ini sangat rentan terhadap perubahan iklim. Secara historis, Ethiopia sudah mengalami bencana akibat iklim ekstrim berupa kekeringan parah dan banjir. Rekomendasi kebijakan adaptasi perubahan iklim bagi Ethiopia adalah meliputi tiga bidang utama, yaitu (World Bank Group, 2010b): 1. Pertanian: investasi untuk peningkatan produktivitas pertanian−meliputi peningkatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), teknologi on-farm, akses dan perluasan penyuluhan, angkutan, pupuk dan varietas benih, dan peramalan cuaca−upaya-upaya tersebut akan meningkatkan ketahanan pertanian terhadap kekeringan dan banjir. 2. Infrastruktur: meningkatan jangkauan dan kualitas infrastruktur yang difokuskan pada −jalan, rel kereta api, energi, telekomunikasi, air minum dan sanitasi−untuk semua wilayah perkotaan dan perdesaan. 3. Energi: meningkatkan pemenuhan energi melalui pengembangan energi terbarukan berupa pembangkitan dari energi air (hydropower) dan angin. 2.4.3. Vietnam Vietnam merupakan negara yang memiliki garis pantai yang panjang, memiliki dua delta sungai besar, dan wilayah pegunungan dari bagian utara ke selatan. Negara ini sangat terkspos terhadap risiko keragaman dan perubahan iklim. Kerentanan negara ini terhadap risiko perubahan cuaca telah memberikan pengalaman dalam perancangan dan pelaksanaan kebijakan menghadapi kekeringan dan banjir pada sektor pertanian dan sektor lainnya. II-21
Rekomendasi kebijakan adaptasi perubahan iklim bagi Vietnam meliputi bidangbidang sebagai berikut (World Bank Group, 2010c): 1. Meningkatkan alokasi anggaran untuk penelitian, pengembangan, dan penyuluhan dalam bidang produksi tanaman, budidaya perairan, dan kehutanan, dalam upaya mengembangkan varietas tanaman baru yang tahan kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi. Sektor publik dan swasta dilibatkan dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas. 2. Meningkatkan investasi dalam pengembangan infrastruktur irigasi terutama di bagian tengah yang potensial. 3. Meningkatkan anggaran untuk pemeliharaan dan penyuluhan untuk meminimalisasi dampak kenaikan muka laut di wilayah pesisir, intrusi air laut, dan banjir, terutama di Delta Sungai Mekong dan Delta Sungai Merah. 2.4.4. Australia Sebagai negara benua, Australia juga tidak terlepas dari dampak perubahan iklim global. Curah hujan di bagian barat-daya Australia sudah berkurang sampai 15%, dan terdapat berbagai perubahan iklim di berbagai tempat di Australia tidak dapat lagi dijelaskan hanya sebagai variasi alamiah semata. Kenaikan temperatur udara dan evaporasi, telah memberikan risiko kebakaran hutan dan lahan yang semakin meningkat di berbagai bagian Australia. Demikian juga halnya dengan risiko kerusakan (bleaching) terumbu karang di Great Barrier Reef, menjadi semakin meningkat. Gejala dan bukti yang ada telah menunjukkan bahwa Australia telah mengalami dampak dari perubahan iklim. Kebijakan adaptasi perubahan iklim yang dilaksanakan Australia meliputi bidangbidang sebagai berikut (Dep. of Climate Change, 2010): 1. Pengelolaan Pesisir. Peningkatan muka air laut sudah memberikan ancaman bagi berbagai infrastruktur di pesisir seperti pelabuhan, bandara, fasilitas militer, dan juga permukiman dan infrastruktur privat lainnya. Kesemua infrastruktur tersebut akan memerlukan pemeliharaan yang semakin meningkat dengan adanya perubahan iklim. Oleh karena itu, pengelolaan pesisir oleh Pemerintah Daerah dan Federal, menjadi sangat penting, dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim. 2. Air. Perubahan iklim berdampak tehadap ketersediaan dan keamanan air di Australia. Pengelolaan sumberdaya air harus menjadi prioritas nasional dalam adaptasi terhadap perubahan iklim. 3. Infrastruktur. Infrastruktur yang sangat penting secara nasional, seperti pelabuhan, jalan, penyediaan air, listrik, dan telekomunikasi, harus dapat terjaga dan terus dikembangkan. Oleh karena itu, perbaikan infrastruktur menjadi bagian penting dari kebijakan adaptasi perubahan iklim. 4. Sistem Alam. Perhatian dan perlindungan terhadap ekosistem yang penting secara nasional seperti Great Barrier Reef dan Kakadu, menjadi bagian penting dari kebijakan adaptasi perubahan iklim. 5. Persiapan dan pengelolaan bencana alam. Peningkatan kejadian bencana alam berupa cuaca ekstrim merupakan dampak dari perubahan iklim. Peningkatan kemampuan dalam menghadapi dan mengelola bencana alam, menjadi bagian penting dari kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim.
II-22
6. Pertanian. Pertanian sangat terkait dengan ketersediaan air, dan bidang ini sudah menjadi kepentingan nasional. Oleh karena itu, pertanian merupakan prioritas bagi kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim. 2.4.5. Maldives Maldives adalah sebuah negara pulau kecil di Samudera Hindia yang pernah mengalami kerusakan oleh tsunami. Negara ini telah diidentifikasi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Maldives telah memulai proses pengembangan kebijakan berupa Rencana Aksi Strategis Nasional (Strategic National Action Plan, SNAP) terhadap pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Kebijakan tersebut melibatkan berbagai pihak yaitu pembuat kebijakan, pakar, dan praktisi untuk mendapatkan suatu kebijakan yang komprehensif dalam pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim (ISDR, 2009). 2.4.6. Filipina Filipina merupakan negara kepulauan yang sangat terekspos dengan berbagai badai siklon tropis, seperti badai tropis Ketsana dan Parma yang telah banyak memakan korban dan kerugian yang besar. Sebagai respon terhadap meningkatnya risiko bencana seiring dengan perubahan iklim, Filipina mengeluarkan undangundang baru yaitu Climate Change Act of 2009, yang mengintegrasikan pengurangan risiko bencana, rencana adaptasi perubahan iklim, dan program pengentasan kemiskinan. Undang-undang tersebut juga memungkinkan Pemerintah Daerah mengambil tanggung jawab dalam perencanaan dan implementasi rencana aksi perubahan iklim pada tingkat lokal, asalkan sejalan dengan Pemerintah Pusat (ISDR, 2009). 2.5.
Telaah Kebijakan dan Program Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia
2.5.1. Perencanaan dan Program Sektoral (K/L) Telaah kebijakan dan program penanganan perubahan iklim terhadap perencanaan dan program sektoral (K/L) disajikan pada Tabel 2.2. Sementara itu, uraian beberapa kebijakan atau program penanganan perubahan iklim per sektor disajikan pada uraian berikutnya. Tabel 2.2. Kementerian/Lembaga (K/L) vs Kebijakan/Program Penanggulangan Perubahan Iklim No 1.
Kementerian/Lembaga (K/L) Kementerian Pertanian (Kementan)
Kebijakan/Program Penanganan Perubahan Iklim (Rencana Strategis/Renstra) Mengupayakan adaptasi terhadap perubahan iklim dan pelestarian lingkungan hidup Permasalahan Mendasar Sektor Pertanian: Meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global
2.
Kementerian Kehutanan
Misi Kementerian Kehutanan: Mitigasi dan
II-23
No
Kementerian/Lembaga (K/L) (Kemenhut)
Kebijakan/Program Penanganan Perubahan Iklim (Rencana Strategis/Renstra) adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan Indikator meningkatnya manfaat hutan ditandai dengan: meningkatnya kualitas lingkungan hidup termasuk dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Kebijakan: Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan
3.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Menjaga dampak lingkungan dalam pembangunan energi dan ketenagalistrikan. Hal ini dilakukan dengan: Penetapan regulasi dan fasilitasi kebijakan yang memperkecil dampak terhadap lingkungan serta mengakomodiasikan program terkait mitigasi dalam konteks perubahan iklim
4.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Menjadi prioritas pembangunan nasional riset tentang perubahan iklim dan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan laut. Melaksanakan RAN Perubahan Iklim
5
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
Dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim global sudah dihasilkan: 1). Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim, 2). Kajian kerentanan dan adaptasi Pulau R Lombok, 3). Panduan Kajian Kerentanan dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pemerintah Daerah, 4). Konsep Pembangunan Kampung Iklim, 5). Dokumen Second National Communication (SNC), 6). Konsep Penyusunan Sistem Inventori GRK Nasional (SIGN) dan 7). Konsep target penurunan 26% GRK pada tahun 2020. Selain itu melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 telah dibentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim.
6.
Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen-PU)
Isu strategis bidang penataan ruang: Meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana banjir, tsunami, gempa bumi, longsor, dan kekeringan, yang diperburuk dengan adanya dampak perubahan iklim berupa kenaikan muka air laut dan siklus hidrologi yang ekstrim.
7.
Kementerian Perhubungan
Sasaran pembangunan transportasi nasional Tahun 2010-2014: (salah satunya) terwujudnya
II-24
No
Kementerian/Lembaga (K/L) (Kemenhub)
Kebijakan/Program Penanganan Perubahan Iklim (Rencana Strategis/Renstra) pengembangan teknologi transportasi yang efisien dan ramah lingkungan sebagai antisipasi terhadap perubahan iklim. Misi: Mewujudkan pengembangan teknologi transportasi yang ramah lingkungan untuk mengantisipasi perubahan iklim
8.
Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera)
-
9.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
Indikator untuk pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: Cakupan daerah potensial yang melaksanakan strategi adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim sebesar 100%;
10.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
-
11.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
Program pembangunan pada Bidang Klimatologi: (salah satunya) kegiatan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Penguatan Kemampuan Sistem Pelayanan Informasi Perubahan Iklim dan Kualitas Udara.
12.
Badan Informasi Geospasial (BIG)
-
13.
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
-
14.
Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN)
Tim Nasional Pemantauan Dampak Perubahan Iklim Global (menyajikan Informasi kondisi lingkungan dan cuaca (atmosfer dan iklim). Misi: Meningkatkan pelayanan masyarakat atas informasi cuaca antariksa dan kondisi atmosfer, dan dampaknya pada perubahan iklim global dan kehidupan di bumi.
15.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Faktor lingkungan Eksternal: Adanya perubahan iklim global yang berpotensi meningkatkan intensitas bencana alam di dunia Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana & Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (MAPI) dipusat dan daerah.
II-25
A. Kementerian Pertanian Dampak perubahan iklim menyangkut gangguan siklus hidrologi dalam bentuk perubahan pola dan intensitas curah hujan, kenaikan permukaan laut, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam yang dapat menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan. Bagi sektor pertanian, dampak lanjutannya adalah bergesernya pola dan kalender tanam, perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama dan penyakit tanaman dan hewan, serta pada akhirnya adalah penurunan produksi pertanian. Target pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, akan sangat dipengaruhi oleh fenomena perubahan iklim dan sangat berdampak terhadap kelangsungan pembangunan pertanian di masa datang. Perlu upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim terhadap sumberdaya dan sistem produksi pertanian serta terhadap sosial ekonomi petani. Oleh karena itu, untuk menyiapkan antisipasinya diperlukan analisis tentang kerentanan dampak perubahan iklim, inventarisasi dan delineasi wilayah yang terkena dampak, serta penyusunan road map rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan lingkungan. Selain itu, perlu diciptakan dan disiapkan berbagai teknologi adaptif baik untuk adaptasi maupun mitigasi, seperti varietas unggul, teknologi pengelolaan lahan dan air, pemupukan serta paket-paket teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan sebagainya. Strategi yang dilakukan oleh kementan adalah memastikan dilakukannya langkahlangkah konkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim. Apabila dirinci strategi tersebut antara lain: 1) Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air/irigasi. 2) Penyesuaian Pola Tanam/Pengelolaan. 3) Perakitan dan penyiapan Teknologi Adaptif. 4) Penerapan Teknologi Adaptif. Sementara itu, berdasarkan Renstra Kementan dapat diketahui beberapa rencana aksi yang berkaitan dengan penganganan perubahan iklim, yaitu: 1) Pemetaan daerah rentan Perubahan iklim (rawan bencana banjir, kekeringan, prioritas penanganan). 2) Perakitan peta kalender tanam dinamik. 3) Pengembangan sistem informasi iklim dan bencana. 4) Pengembangan sistem peringatan dini banjir. 5) Perbaikan dan pengembangan jaringan irigasi dan drainase, normalisasi dan peningkatan kapasitas waduk/bangunan penyimpan air. 6) Konservasi DAS kritis hulu utama di Jawa, Sulawesi dan Sumatera, antara lain melalui penggembangan tanaman pohon/buah. 7) Perakitan varietas unggul tanaman pangan adaptif (toleran genangan, kekeringan, salinitas, umur genjah, OPT). 8) Perakitan teknologi pupuk organik/hayati/pembenah tanah. 9) Perakitan teknologi budidaya/pengelolaan lahan/tanah/pemupukan. 10) Sosialisasi teknologi dan model untuk adaptasi perubahan iklim. 11) Sosialisasi dan pengembangan System Rice Intensification (SRI) dan Pengelolaan Tanaman Ternak (PTT) serta teknologi hemat air lainnya (Kementan, 2009). B. Kementerian Kehutanan Sektor kehutanan baik langsung maupun tidak langsung, dituntut untuk dapat memberikan dukungan bagi terselenggaranya pembangunan sektor lain (pertanian II-26
dan pangan, pertambangan dan energi, perindustrian, perdagangan, tenaga kerja, keuangan/perbankan, infrastruktur pekerjaan umum, pariwisata, dan lain-lain) secara berkelanjutan melalui penyediaan produk dan jasa ekologi. Sektor kehutanan sangat terkait dengan stabilitas tata lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah dan pengaturan tata air dan udara. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung, yang merupakan respon terhadap upaya-upaya penanggulangan dampak negatif perubahan iklim, antara lain (Kemenhut, 2010): a. Penyidikan dan perlindungan hutan. b. Pengendalian kebakaran hutan. c. Pengembangan kawasan konservasi dan ekosistem esensial. d. Peningkatan tertib peredaran hasil hutan dan iuran hasil hutan. e. Peningkatan pengelolaan hutan tanaman. f. Peningkatan pengelolaan hutan alam produksi. g. Peningkatan perencanaan pengelolaan hutan produksi. h. Penyusunan rencana makro kawasan hutan. i. Inventarisasi dan pemantauan sumberdaya hutan. j. Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH). k. Pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan. l. Pembinaan penyelenggaraan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). m. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, dan reklamasi hutan di DAS Prioritas. n. Pengembangan perhutanan sosial. o. Penelitian dan pengembangan kebijakan kehutanan dan perubahan iklim. p. Penelitian dan pengembangan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam. q. Pendidikan dan pelatihan kehutanan, dan penyuluhan kehutanan. C. Kementerian ESDM Arah kebijakan pembangunan prasarana ketenagalistrikan nasional dalam rangka meningkatkan kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) adalah meningkatkan diversifikasi dalam pemanfaatan energi non-minyak khususnya dalam pembangkitan tenaga listrik, yang dikaitkan dengan penurunan tarif dan perubahan iklim (climate change). Salah satu strategi penanganan perubahan iklim adalah pengurangan dampak negatif akibat dari kegiatan pertambangan dan bencana geologi. Dalam uraiannya disebutkan bahwa strategi ini untuk mencegah kerusakan lingkungan, baik air, tanah, maupun udara, yang berlebihan akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral dan batubara, dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berpotensi menyebabkan perubahan iklim global (Kemen ESDM, 2010) D. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs,Fisheries and Food Security (CTI-CFF) telah dibentuk Sekretariat Nasional CTI-CFF Indonesia, yang akan mengoordinasikan beberapa kegiatan meliputi bentang laut, pengelolaan perikanan berbasis ekosistem, pengembangan Kawasan Konservasi Perairan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan pengelolaan spesies terancam punah (KKP, 2012).
II-27
E. Kementerian Pekerjaan Umum Dalam mengantisipasi dampak akibat perubahan iklim, dilakukan upaya adaptasi dan mitigasi sektor ke-PU-an terutama terkait dengan dukungan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman untuk menyokong produksi pangan nasional dan respon terhadap pengelolaan infrastruktur dalam mengantisipasi bencana yang terkait dengan perubahan iklim seperti penurunan ketersediaan air, banjir, kekeringan, tanah longsor, dan intrusi air laut. Pada masa mendatang, kekeringan akan semakin mengancam ketahanan pangan nasional. Fenomena kekeringan pada daerah-daerah produksi pangan sudah mulai dialami oleh beberapa wilayah Indonesia. Kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam maupun bencana yang dipicu oleh kegiatan manusia (antropogenik) tidak dapat disangkal lagi. Bagi Indonesia, bencana merupakan bagian dari sejarah dan tetap menjadi isu aktual, termasuk dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur. Mengingat karakteristiknya sebagai negara kepulauan yang berada di Garis Khatulistiwa, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana terkait dengan iklim (climate-related disasters). Untuk itu Indonesia perlu menyusun strategi mitigasi dan adaptasi menghadapi dampak perubahan iklim. Secara umum terdapat beberapa efek perubahan iklim seperti naiknya muka air laut, naiknya temperatur, perubahan pola curah hujan, serta kenaikan frekuensi dan intensitas iklim ekstrem. Potensi dampak yang ditimbulkan adalah penurunan ketersediaan air; kekeringan; gangguan keseimbangan air; banjir; tanah longsor, intrusi air laut; dan badai. Selain itu karena 18% dari penduduk Indonesia bermukim di dataran rendah, serta terdapat lebih kurang 2000 pulau kecil yang terancam tenggelam, termasuk 92 pulau terluar, menyebabkan tingginya kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Mitigasi dan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim perlu menjadi arus utama (mainstream) dalam perencanaan pembangunan nasional (RPJPN dan RPJMN) serta perencanan pembangunan di daerah. Kementerian PU telah menyusun Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang berisi kebijakan, strategi dan program mitigasi dan adaptasi menghadapi dampak negatif perubahan iklim. Kebijakan yang dijalankan adalah menerapkan perencanaan tata ruang nasional dan wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur sumber daya air untuk menjamin ketahanan pangan dan mengurangi risiko banjir, longsor, kekeringan, dan abrasi pantai; meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur perkotaan dan perdesaan untuk mengurangi potensi banjir/genangan, krisis air dan sanitasi; serta meningkatkan kualitas pelayanan jalan untuk memenuhi kebutuhan mobilitas dan aksesibilitas yang lebih efisien, melalui penyusunan NSPK, perencanaan, pelaksanaan pembangunan infrastruktur PU dan permukiman dengan mempertimbangkan perubahan iklim (PU, 2010). F. Kementerian Perhubungan Transportasi merupakan sektor yang mengkonsumsi bahan bakar minyak (BBM) cukupbesar di Indonesia. Ketergantungan sektor transportasi terhadap BBM telahmenimbulkan kekhawatiran karena jumlah cadangan dan produksi minyak bumiIndonesia terbatas dan pembakaran BBM menimbulkan pencemaran berat di kota besar dan juga berdampak pada perubahan iklim. Karena dampak pencemaran udara yang sangat merugikan ini maka pemerintahsebenarnya telah mengeluarkan berbagai aturan, yang diantaranya adalah Peraturan Pemerintah No. 141 tahun 1999, yang mengamanatkan agar pencemaran terhadap udara dapat ditanggulangi melalui penentuan ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara). Selain itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri II-28
Lingkungan Hidup No. 141 tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan yang Sedang Diproduksi, yang merinci besaran-besaran kendali yang perlu diperhatikan pada emisi kendaraan bermotor. Selanjutnya Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang berisi sejumlah pembatasan dan definisi mengenai pencemaran udara yang harus dipenuhi oleh aparat Pemerintah Daerah. Bahkan pada Pasal 20 Perda ini secara tegas mewajibkan penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah sebagai upaya pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor. Sebagian besar kota metropolitan dengan populasi penduduk yang besar (lebih dari 500.000 penduduk) mengalami permasalahan yang rumit terhadap angkutan perkotaan dan angkutan lokal. Permasalahan yang timbul adalah penyediaan sarana dan prasarana transportasi umum yang terbatas dan adanya ketidakseimbangan supply-demand yang akhirnya berdampak pada aktifitas masyarakat. Selain itu kondisi kurang layaknya transportasi umum baik dari sisi pelayanan maupun jumlah armada memberikan potensi perpindahan moda dari angkutan umum ke angkutan pribadi sehingga menimbulkan peningkatan kepemilikan dan pergerakan kendaraan pribadi. Kebijakan adaptasi yang terkait dengan pengurangan emisi gas dengan kebijakan penggunaan energi alternatif, standarisasi emisi gas buang melalui pengujian kendaraan bermotor (Kemenhub, 2010). G. BMKG Perubahan iklim dan dampaknya adalah keniscayaan yang tidak dapat dibantah, dan sering dikaitkan dengan rumitnya persoalan prediksi musim di Indonesia. Pertama, letak Indonesia yang tepat di Khatulistiwa menyebabkan kompleksitas perubahan parameter cuaca di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain di wilayah sub-tropika yang lebih dapat diprakirakan. Kedua, kombinasi daratan dan lautan serta dua samudera yang mengapit Indonesia, memberikan kontribusi kerumitan prediksi, baik dari segi informasi atmosfer maupun karakteristik anginnya. Para ahli klimatologi menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 3 variasi iklim yang berbeda dan dikenal sebagai pola monsunal, pola ekuatorial dan pola lokal. Ketiga, Kompleksitas ini semakin diperburuk karena pengaruh pergeseran iklim akibat pemanasan global. Ancaman kerusakan lingkungan saat ini semakin memperburuk alam akibat Perubahan Iklim yang akan membawa dampak pada situasi yang tidak kondusif di wilayah Indonesia. Meningkatnya konsentrasi CO2 disatu pihak memang meningkatkan proses photosintesis, tetapi efek pemanasan global meningkatkan proses laju Perubahan Iklim yang membawa pada kerentanan lingkungan yakni kenaikan permukaan laut yang memicu banjir atau kekeringan massal, yang pada gilirannya meningkatkan potensi merebaknya penyakit (BMKG, 2010) 2.5.2. RPJMN 2010-2014 Pada akhir tahun 2009, Presiden Bambang Yudhoyono telah menyampaikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia secara sukarela akan mengurangi emisinya sebesar 26% dengan usaha sendiri atau sampai dengan 41% apabila ada dukungan internasional di bawah skenario bisnis seperti biasa (BAU) pada tahun 2020. Kegiatan penurunan emisi di Indonesia ini akan sangat terkait erat dengan sektor-sektor berbasis sumberdaya lahan (kehutanan, lahan gambut dan pertanian) yang merupakan penyumbang emisi terbesar nasional saat ini dan diperkirakan masih akan memegang peran yang sangat penting dalam 20 tahun mendatang. II-29
Selain itu penurunan emisi dari sektor ini dianggap yang paling cepat dan rendah biayanya (Stern, 2007, dalam KLH, 2010), walaupun hal ini perlu dikaji lebih lanjut oleh Pemerintah Indonesia. Gambar 2.20. menunjukkan emisi Indonesia per sektor pada tahun 2000.
Gambar 2.20. Persentase emisi nasional Indonesia berdasarkan sumber (Sumber: KLH, 2010) Pemerintah Indonesia telah ikut serta secara aktif dalam agenda perubahan iklim, terutama ketika Indonesia menjadi tuan rumah untuk COP ke-13 di Bali pada Desember 2007. Sejak saat itu, Indonesia juga telah membentuk beberapa institusi untuk menangani isu perubahan iklim dan juga mengeluarkan beberapa dokumen kebijakan dan peraturan terkait. Di tahun 2009, Pemerintah sudah mulai mengarusutamakan kegiatan perubahan iklim ke dalam RPJM 2009-2014. Hal ini diikuti oleh pernyataan komitmen sukarela Indonesia dan penyusunan rancangan Perpres RAN GRK yang kemudian ditandatangani pada September 2011. Selain itu berjalan juga proses penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Norwegia yang diikuti dengan penyusunan Strategi Nasional REDD+ dan keluarnya Instruksi Presiden No.10/2011 tentang moratorium hutan dan lahan gambut. Gambar 2.21 menunjukkan perkembangan kebijakan perubahan iklim di Indonesia.
Gambar 2.21. Perkembangan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia (Sumber: Haeruman, 2013)
Kebijakan dan peraturan-peraturan yang sudah dikeluarkan oleh Presiden maupun berbagai K/L terkait ini secara keseluruhan masih memerlukan sinkronisasi dalam pelaksanaan, pendanaan maupun MRV dan monitoringnya, terutama untuk melihat kemajuan Indonesia dalam mencapai target 26% (usaha sendiri) dan 41% (dengan bantuan internasional). Tetapi kebijakan dan program adaptasi terhadap perubahan iklim sangat sedikit digarap secara lintas sektor. Kebijakan adaptasi perubahan iklm II-30
telah dituangkan pada tahun 2013 dalam bentuk Rancangan Strategi Pengarusutamaan Adaptasi kedalam Rencana Pembangunan Nasional (RSA-RPN). Dalam RPJMN 2010-2014, perubahan iklim telah menjadi aspek pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Perubahan iklim mempunyai keterkaitan kuat dengan kerusakan lingkungan hidup dan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Ancaman perubahan iklim meningkatkan kemungkinan terjadinya goncangan yang tidak terduga seperti bencana alam, dan juga mengancam produktivitas sumber daya alam. Sedikitnya terdapat empat indikator yang menunjukkan terjadinya perubahan iklim yang berdampak signifikan (Buku II RPJMN 2010-2014): • kenaikan permukaan air laut, • kenaikan temperatur udara, • perubahan curah hujan, dan iklim, • peningkatan frekuensi iklim ekstrim yang berdampak pada peningkatan frekuensi dan intensitas bencana terkait iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan menurunnya keanekaragaman hayati. Dalam RPJM dirumuskan kriteria utama penanggulangan perubahan iklim, yaitu: 1. Terkait mitigasi: dampak kegiatan pembangunan terhadap jumlah emisi karbon (GRK), dengan upaya ini akan dihasilkan arah pembangunan rendah karbon (low carbon development). 2. Terkait adaptasi: mempertimbangkan kenaikan temperatur, kenaikan muka air laut pergeseran musim, dan kejadian iklim ekstrim sehingga kegiatan pembangunan yang direncanakan terutama pada sektor yang menerima dampak perubahan iklim seharusnya sudah mempertimbangkan dampak dari indikator perubahan iklim tersebut. Adapun sektor prioritas terkait penanggulangan perubahan iklim adalah meliputi: 1. Mitigasi: Kehutanan, Lahan Gambut, Energi, Termasuk Transportasi, Industri dan Pengolahan Limbah. 2. Adaptasi: Pertanian, Kelautan Perikanan, Pesisir, Sarana dan Prasarana Kesehatan. 3. Pendukung: Data Informasi dan Komunikasi, Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan IPTEK. Kebijakan lintas bidang RPJMN 2010-2014 diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kapasitas penanganan dampak dan laju perubahan iklim yang tepat dan akurat. Strategi yang dirumuskan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah meliputi: 1. Peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor pembangunan dan penguatan kelembagaan; 2. Penyediaan dana alternatif untuk pelaksanaan kegiatan dalam rangka pengendalian perubahan iklim; 3. Pengurangan emisi di sektor energi, kehutanan dan limbah; 4. Peningkatan kapasitas adaptasi sektor dan daerah terutama dalam bidang pertanian, kelautan dan perikanan, kesehatan dan sumber daya air; 5. Pengembangan kebijakan dan peraturan perundangan mengenai perubahan iklim. Dari hasil evaluasi paruh waktu RPJMN 2010 -2014 (Bappenas, 2013b) dinyatakan bahwa dalam implementasi kebijakan penanggulangan perubahan iklim pada, telah dijumpai berbagai permasalahan dan kendala. Permasalahan dan kendala yang
II-31
dihadapi dalam penanggulangan perubahan iklim, antara lain adalah: (1) aktivitas deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh tingginya konflik kawasan akibat belum selesainya tata batas kawasan hutan; (2) realisasi hasil penanaman Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis (RHL) tidak tampak secara nyata akibat belum adanya pengelola kawasan hutan di tingkat tapak yang dapat menjamin hasil RHL; (3) belum adanya baseline penurunan emisi di masing-masing sektor dan daerah; dan (4) masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap upaya penanganan perubahan iklim. Sebagai tindak lanjut dalam mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dalam penanggulangan perubahan iklim, maka koordinasi dan peningkatan kapasitas penurunan emisi baik di tingkat pusat maupun di daerah akan terus dilakukan, baik dalam penyusunan baseline tingkat emisi dan penurunan emisi maupun monitoring dan evaluasinya. Untuk melengkapi kebijakan penanganan perubahan iklim, telah disusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) (Bappenas, 2013a), untuk membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan iklim. 2.5.3. Program-program Aksi Penanggulangan Perubahan Iklim Program-program aksi penanganan perubahan iklim pada berbagai sektor atau kementerian/lembaga (K/L), pada umumnya merupakan respon dari K/L terkait terhadap dampak yang ditanggung oleh sektor yang bersangkutan. Pada Tabel 2.3, disajikan sektor yang terkena dampak dari berbagai indikator perubahan iklim.
II-32
Tabel 2.3. Sektor-sektor Penerima Dampak Perubahan Iklim
Curah hujan (CH)
Penurunan ketersediaan air (PKA) akibat jumlah presipitasi yang defisit Banjir akibat peningkatan jumlah, durasi, dan intensitas hujan Tanah longsor
Penurunan produksi pertanian akibat perubahan curah hujan Meningkatnya populasi nyamuk akibat banyaknya genangan air Meningkatnya penyebaran penyakit melalui medium udara dan genangan air
ESDM, MKG
Kementan Kementan Kementan Kementan
ESDM, MKG ESDM, BMKG ESDM, BMKG
Kementan Kementan
BMKG
Kemenkes Kemenkes Kemenkes Kemenkes
Kemenpera Kemenpera Kemenpera
Kemenkes
Kemenkes Kemenkes, BNPB Kemenkes Kemenkes Kemenkes
KLH
Kemenhut
KemenPU
KLH KemenPU KemenPU
Kemenpera Kemenpera
KemenPU
Kemenpera
Kemenpera Kemenpera
KemenPU KemenPU
KLH
Kemenhut Kemenhut
KemenPU KemenPU KemenPU
Kemenhut
KemenPU
KemenPU KemenPU
Pesisir
Permukiman
Infrastruktur
Kesehatan
ESDM
Perkotaan
Kementan Kementan
Kehutanan
Peningkatan evapotranspirasi dapat menyebabkan kekeringan Penurunan produksi pertanian akibat kenaikan temperatur Pemanasan setempat akibat meningginya suhu udara pada siang hari Meluasnya sebaran populasi serangga vektor penyakit Meningkatnya penyebaran penyakit melalui medium udara Perubahan pola perkembangan populasi dan migrasi hama dan penyakit tumbuhan Kekeringan akibat jumlah presipitasi yang defisit
Ekosistem
Temperatur permukaan
Bahaya Potensial Perubahan Iklim
Energi
Indikator Perubahan Iklim
Ketahanan Pangan
Sektor Penerima dan Intensitas Dampak
KKP
KKP
KKP KKP
II-33
Suhu permukaan laut (SPL)
Tinggi muka laut (TML)
Kejadian iklim ekstrem · ENSO · IOD/DMI · PIO/IPO Kejadian cuaca ekstrem: · Hujan lebat · Badai · Angin Kencang · Gel. Badai Keterangan:
Perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan sirkulasi arus laut akibat distribusi kenaikan SPL Rusaknya terumbu karang (coral bleaching) karena peningkatan SPL dan keasaman air laut Meluasnya genangan air laut di daerah pesisir dapat menyebabkan mundurnya garis pantai Meluasnya daerah intrusi air laut melalui air tanah dan sungai Terjadinya tahun kering secara berturut-turut Perubahan/pergeseran pola hujan musiman Peningkatan peluang terjadinya hujan lebat, angin kencang, badai dan gelombang badai Meningkatnya erosi dan abrasi sehingga menyebabkan perubahan garis pantai Meningkatnya peluang kejadian banjir rob akibat badai dan gelombang badai Meningkatnya kerusakan pada sarana dan prasarana publik = Intensitas Tinggi
= Intensitas Sedang
Kementan Kementan Kementan Kementan
Kemenkes Kemenkes
KemenPU KemenPU KemenPU
Kemenpera Kemenpera
KLH
KKP
KLH
KKP KemenPU
KLH KLH Kemenhut Kemenhut
ESDM
KKP KKP
KemenPU
ESDM
Kemenkes
ESDM
KemenPU KemenPU
KKP KKP
KKP KLH
Kementan
Pesisir
Perkotaan
Kehutanan
Ekosistem
Permukiman
Infrastruktur
Kesehatan
Bahaya Potensial Perubahan Iklim
Energi
Indikator Perubahan Iklim
Ketahanan Pangan
Sektor Penerima dan Intensitas Dampak
Kemenpera Kemenpera
KLH
KKP KemenPU KemenPU
KKP KKP
= Intensitas Rendah
II-34
Tabel 2.3 menunjukkan bahwa terdapat beberapa sektor yang paling banyak menerima dampak, intensitas dampak yang diterima, indikator perubahan iklim yang menimbulkan dampak, serta intensitas dampak yang ditimbulkan oleh indikator perubahan iklim. Terlihat bahwa sektor yang paling banyak terkena dampak adalah meliputi: Pesisir bersumber, dari 14 bahaya potesial perubahan iklim Ketahanan Pangan dan Kesehatan, masing-masing dari 13 bahaya potesial perubahan iklim. Permukiman dan Perkotaan, masing-masing dari 12 bahaya potesial perubahan iklim. Energi, Infrastruktur, dan Ekosistem, masing-masing dari 9 bahaya potesial perubahan iklim. Kehutanan, dari 6 bahaya potesial perubahan iklim. Adapun indikator perubahan iklim yang menimbulkan dampak terbanyak adalah meliputi: Perubahan curah hujan, menimbulkan 36 dampak. Perubahan temperatur permukaan, menimbulkan 19 dampak. Kejadian cuaca ekstrim, menimbulkan 15 dampak. Kenaikan muka laut, menimbulkan 12 dampak Kejadian iklim ekstrim, menimbulkan 11 dampak. Perubahan suhu permukaan laut, menimbulkan 4 dampak. Dari sisi intensitas dampak, tampak bahwa sektor ketahanan pangan akan menerima intensitas dampak yang tertinggi, diikuti oleh sektor pesisir, kesehatan, infrastruktur, permukiman, dan perkotaan. Adapun indikator perubahan iklim yang memberikan intensitas dampak tertinggi adalah perubahan curah hujan, kejadian cuaca ekstrim, dan perubahan tinggi muka air laut. Dapat juga ditunjukkan bahwa sektor-sektor yang paling banyak menerima dampak dengan intensitas yang tinggi, tentunya harus mendapatkan prioritas dalam penanganan perubahan iklim. Berdasarkan pada Tabel 2.3, dilakukan analisis terhadap program-program aksi penanggulangan perubahan iklim dari sektor-sektor yang terkena dampak. Untuk setiap sektor yang terkena dampak, diinventarisasi program aksi pada masingmasing dampak. Dari hasil diinventarisasi tersebut dapat diketahui dampak yang belum ditanggulangi oleh program tertentu, dan disebut sebagai gap. Hasil analisis disajikan secvara lengkap pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 menunjukkan bahwa sektor yang paling banyak memiliki gap penanggulangan dampak perubahan iklim secara berurutan meliputi: Permukiman, Kesehatan, Pesisir, Energi, Perkotaan, Ekosistem, Ketahanan Pangan, Kehutanan, dan Infrastruktur.
II-35
Tabel 2.4. Keberadaan Program Penanggulangan Perubahan Iklim pada Masing-masing sektor
Curah hujan (CH)
Penurunan ketersediaan air (PKA) akibat jumlah presipitasi yang defisit Banjir akibat peningkatan jumlah, durasi, dan intensitas hujan Tanah longsor
Suhu permukaan laut (SPL)
Penurunan produksi pertanian akibat perubahan curah hujan Meningkatnya populasi nyamuk akibat banyaknya genangan air Meningkatnya penyebaran penyakit melalui medium udara dan genangan air Perubahan pola migrasi ikan yang disebabkan oleh perubahan sirkulasi arus laut akibat distribusi kenaikan SPL
1
-2
1
-1
1
-4
1
-3
1
-1
0
-1
6
0
5
-2
1
5
-1
1
4
-2
1
-2
0
1
0
Pesisir
3
Perkotaan
Permukiman
Infrastruktur
1
Kesehatan
1
Gap
Kehutanan
Peningkatan evapotranspirasi dapat menyebabkan kekeringan Penurunan produksi pertanian akibat kenaikan temperatur Pemanasan setempat akibat meningginya suhu udara pada siang hari Meluasnya sebaran populasi serangga vektor penyakit Meningkatnya penyebaran penyakit melalui medium udara Perubahan pola perkembangan populasi dan migrasi hama dan penyakit tumbuhan Kekeringan akibat jumlah presipitasi yang defisit
Kebijakan & Program
Ekosistem
Temperatur permukaan
Bahaya Potensial Perubahan Iklim
Energi
Indikator Perubahan Iklim
Ketahanan Pangan
Keberadaan Kebijakan dan Program
0 1
0
0
1
0
1
0
0
0 0
0
0 1
1
1
1
1
0
0 1
0
1
1 1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0 1
0
0
0
1
-3
1
0
0
0
1
-3
1
1
-1
0
II-36
Tinggi muka laut (TML)
Kejadian iklim ekstrem · ENSO · IOD/DMI · PIO/IPO Kejadian cuaca ekstrem · Hujan lebat · Badai · Angin Kencang · Gel. Badai
Rusaknya terumbu karang (coral bleaching) karena peningkatan SPL dan keasaman air laut Meluasnya genangan air laut di daerah pesisir dapat menyebabkan mundurnya garis pantai Meluasnya daerah intrusi air laut melalui air tanah dan sungai Terjadinya tahun kering secara berturut-turut
1
2
0
1
5
-1
1
4
-2
0
0
1
-3
0
0
1
-3
0
2
-1
1
1
-1
1
1
5
-3
1
1
4
-1
1
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
Perubahan/pergeseran pola hujan musiman
1
Peningkatan peluang terjadinya hujan lebat, angin kencang, badai dan gelombang badai Meningkatnya frekuensi dan intensitas erosi dan abrasi sehingga menyebabkan perubahan garis pantai Meningkatnya peluang kejadian banjir rob akibat badai dan gelombang badai Meningkatnya kerusakan pada sarana dan prasarana publik
0 0
1
1
1 0
1
0
0
0
1
0
1
1
1
Pesisir
Gap
Perkotaan
Kebijakan & Program
Kehutanan
Ekosistem
Permukiman
Infrastruktur
Kesehatan
Bahaya Potensial Perubahan Iklim
Energi
Indikator Perubahan Iklim
Ketahanan Pangan
Keberadaan Kebijakan dan Program
Kebijakan dan Program
11
4
6
8
4
5
4
7
7
Gap
-2
-5
-7
-1
-8
-4
-2
-5
-7
Keterangan: Nilai Angka menunjukkan keberadaan program: 1 = ada; 0 = tidak ada
II-37
Dari sisi indikator perubahan iklim yang paling banyak mengalami gap penanganan dampak secara berurutan meliputi: Perubahan curah hujan. Perubahan temperatur permukaan. Kejadian iklim ekstrim. Kejadian cuaca ekstrim. Kenaikan muka laut. Perubahan suhu permukaan laut. Urutan indikator perubahan iklim yang paling banyak mengalami gap penanganan, merupakan indikasi program yang paling prioritas dalam penanganan perubahan iklim lintas sektor. 2.5.4. Tantangan dan Peluang Implementasi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektoral A. Sektor Pertanian Program adaptasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan, genangan/ banjir, salinitas, dan umur genjah, serta penganekaragaman pertanian, teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air, diversifikasi pangan dan lain-lain. Sedangkan secara kelembagaan program adaptasi diarahkan untuk pengembangan sistem informasi seperti sekolah lapang iklim, sistem penyuluhan dan kelompok kerja (pokja) variabilitas dan perubahan iklim sektor pertanian. serta pengembangan sistem asuransi pertanian akibat resiko iklim. Peranan pemerintah dalam program adaptasi variabilitas dan perubahan iklim mencakup fasilitas pemerintah untuk aplikasi teknologi budidaya pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim (penyediaan varietas adaptif, fasilitas penerapan teknik pengelolaan lahan dan air), peningkatan indeks panen, penurunan risiko gagal panen, peningkatan produktivitas dan kapasitas irigasi. Program mitigasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi rendah emisi baik pada tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura serta peternakan. Beberapa teknologi yang akan dikembangkan antara lain varietas unggul dan jenis tanaman yang rendah emisi dan atau dengan kapasitas absorbsi karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa bakar, pengembangan dan pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik, bio pestisida dan pakan ternak rendah emisi GRK. Selain itu mitigasi dalam konteks pemanfaatan dan perluasan areal pertanian adalah menfokuskan pembukaan lahan baru hanya pada lahan terlantar dan terdegradasi tanpa melakukan kegiatan yang bersifat deforestasi. Khusus untuk lahan gambut diarahkan pada sistem pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan dengan tingkat emisi serendah mungkin, melalui perbaikan sistem drainase, pengembangan teknologi ameliorasi, pemupukan dan lain-lain. Implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor pertanian di daerah tentunya memiliki tantangan dan peluang. Tantangan yang dihadapi diantaranya adalah: (1). Sektor pertanian berperan penting dalam perekonmian nasional terutama penghasil pangan, bahan baku industri, bioenergi. (2). Masih rendahnya komitmen dan dukungan para pemangku kepentingan terhadap keseimbangan program aksi disektor pertanian. (3). Sektor pertanian juga sebagai penyedia lapangan kerja sekitar 40% angka kerja Indonesia
II-38
Sementara itu, terdapat peluang yang cukup besar dalam mengimplementasikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini. Peluang itu adalah kekayaan sumber daya alam (negara agraris dan maritim) yang perlu dikelola dengan baik didukung oleh keberadaan sumber daya manusia (Bappenas, 2010c). B. Sektor Kelautan dan Perikanan Sektor Kelautan dan Perikanan melingkupi aspek kewilayahan, lingkungan dan potensinya. Permasalahan yang dihadapi sektor mencakup masalah internal sektor dan masalah eksternal dengan lintas sektor yang terkait, serta respon kapasitas dalam bentuk kebijakan-kebijakan dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Gambar 2.18. Peta perairan Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 Secara geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut seluas 5,8 Juta km² (Gambar 2.18) yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km², laut nusantara 2.3 juta km² dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km². Disamping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. (KKP, 2008). Kemudian sekitar 50% dari luas wilayah laut Indonesia (5.8 juta km²) merupakan daerah perairan pantai (DPP) yang memiliki potensi sangat penting karena sekitar 70% sumber daya ikan menghabiskan waktu hidupnya di DPP , dan sekitar 90% dari hasil biomassa laut berasal dari DPP. Daerah perairan pantai adalah wilayah perairan yang berada antara ujung paparan benua dengan kedalaman laut sekitar 200 m sampai garis pantai (Gambar 2.19). Di dalamnya terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, estuari, padang lamun, sumber hayati dan nonhayati, serta fasilitas-fasilitas seperti pelabuhan dan pemukiman dan panorama pesisir. Melihat kondisi wilayah laut Indonesia yang sangat luas, maka implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tentunya juga memiliki tantangan tersendiri. Tantangan tersebut antara lain: (1). Besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan beberapa program aksi adaptasi di sektor kelautan dan perikanan. (2). Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, (3). Masih kurangnya data dan informasi kelautan dan perikanan, dan sebagian besar masih bersifat sporadis. (4). Belum adanya peraturan perundangan atau payung hukum yang jelas mengenai adaptasi perubahan iklim. (5). Belum adanya Rencana dokumen Hirarki perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dn pulau-pulau kecil Kabupaten/Kota. (6).
II-39
Meningkatkan dan perluasan skala program aksi adaptasi sektor kelautan dan perikanan. (7). Memonitor dan memverifikasi program adaptasi sektor kelautan dan perikanan.
Gambar 2.19. Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya Sementara itu, melihat banyaknya tantangan dalam implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tentunya di sisi lain terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan. Peluang tersebut antara lain: (1). Pemanfaatan dan pengintegrasian pengetahuan, kearifan dan nilai-nilai lokal dan tradisional yang bisa saling bersinergi dengan program aksi adaptasi. (2). Potensi praktek-praktek adaptasi yang telah ada dan bisa dijadikan ajang pembelajaran untuk peningkatan dan perluasan upaya adaptasi sektor kelautan dan perikanan (Bappenas, 2010e). C. Sektor Kesehatan Perubahan lingkungan global termasuk perubahan iklim merupakan tantangan yang dapat memperburuk masalah kesehatan di Indonesia. Perubahan lingkungan global yang mempengaruhi kesehatan manusia diantaranya yaitu perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, degradasi lahan, berkurangnya sumber daya air, perubahan fungsi ekosistem, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, telah disusun program/kegiatan implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor kesehatan. Namun demikian, dalam implementasinya terdapat beberapa tantangan yang dihadapi. Secara umum, tantangan tersebut antara lain: 1. Kolaborasi Lintas sektor. a. Jejaring informasi terkait dengan perubahan iklim sektor kesehatan perlu ditingkatkan. b. Integrasi implementasi berdasarkan rencana aksi nasional perubahan iklim bidang kesehatan belum terlaksana dengan baik. 2. Peningkatan Kapasitas Perlu adaya pelatihan 3. Komunikasi a. Kampanye sosial mengenai perubahan iklim. b. Advokasi pada pemangku kebijakan 4. Partisipasi masyarakat a. Program terkait perubahan iklim bidang kesehatan belum merupakan prioritas. b. Membangun kerjasama pemerintah, swasta dan LSM.
II-40
5. Sumber dana. Dukungan politik dalam penetapan anggaran perlu ditingkatkan. 6. Data dan fakta. Adaptasi perubahan iklim sektor kesehatan harus menjadi indikator dalam renstra Kementerian Kesehatan (Bappenas, 2010d). D. Sektor Pekerjaan Umum Sub Sektor Sumberdaya Air Tantangan sektor sumber daya air di masa depan muncul dari potensi bahayabahaya sektor sumber daya air yang mungkin muncul akibat perubahan iklim. Bahaya-bahaya tersebut merupakan akibat lebih lanjut dari efek langsung perubahan iklim berupa kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim (extreme climate event), dan kenaikan muka air laut (sea level rise, SLR). Dalam mengantisipasi dampak akibat perubahan iklim, dilakukan upaya adaptasi dan mitigasi sektor ke-PU-an terutama terkait dukungan infrastruktur sumber daya air untuk menyokong produksi pangan nasional dan respon terhadap pengelolaan infrastruktur dalam mengantisipasi bencana terkait dengan perubahan iklim. Tantangan implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor sumberdaya air adalah sebagai berikut (Bappenas, 2010f; DNPI, 2011): 1. Meningkatnya luasan lahan kritis; 2. Menurunnya daya dukung beberapa daerah tangkapan air; 3. Menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya air; 4. Disparitas potensi sumber daya air antara wilayah barat dan timur Indonesia yang menyebabkan kerentanan wilayah meningkat; 5. Terbatasnya sarana dan prasarana sumber daya air dalam menghadapi dampak negatif perubahan iklim; 6. Penyediaan pembiayaan yang diperlukan untuk melakukan program aksi adaptasi di bidang sumber daya air; 7. Kurangnya pemahaman dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM)/ kelembagaan pengelola sumber daya air (termasuk masyarakat) untuk menetapkan dampak risiko perubahan iklim dan menyusun rencana dan program adaptasi pada skala yang tepat; 8. Minimnya informasi dan belum terbangunnya data base yang baik terkait dampak perubahan iklim bidang sumberdaya air; 9. Belum tersedianya informasi baseline upaya adaptasi bidang sumber daya air; 10. Belum tersedianya metodologi mapan yang mendukung measurement, reporting, and verification (MRV). Adapun peluang implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor sumberdaya air adalah sebagai berikut (Bappenas, 2010f; DNPI, 2011): 1. Sumber daya air merupakan bagian kekayaan alam yang bersifat terbarukan; 2. Potensi sumber daya air Indonesia berlimpah, walaupun sangat variatif sesuai waktu, ruang, kuantitas dan kualitasnya; 3. Pemanfaatan dan pengintegrasian pengetahuan dan kearifan lokal/ tradisional untuk menunjang program adaptasi perubahan iklim.
II-41
Sub Sektor Cipta Karya Cipta Karya mengemban tugas untuk mewujudkan permukiman perkotaan dan perdesaan yang layak, produktif, berdaya saing dan berkelanjutan melalui peningkatan pembangunan infrastruktur permukiman di perkotaan dan perdesaan, dan kemandirian daerah melalui peningkatan kapasitas pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan infrastruktur pemukiman. Tantangan implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sub sektor cipta karya, yaitu (Dep. PU, 2007; DNPI, 2011): 1. Penataan bangunan dan lingkungan terkendala oleh ketersediaan lahan dan keterbatasan peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah Daerah. 2. Pengembangan Permukiman terkendala dalam ketersediaan lahan dan keterbatasan Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB). 3. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP) terkendala dengan luasnya cakupan kegiatan yang perlu ditangani, ketersediaan lahan dan keterbatasan operasi dan pemeliharaan (OM). Pengembangan Air Minum terkendala luasnya cakupan kegiatan yang perlu ditangani, keterbatasan OM, keterbatasan sumber air baku dan pencemaran sumber air baku. Sub Sektor Jalan dan Jembatan Tantangan implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sub sektor jalan dan jembatan, yaitu (Dep. PU, 2007; DNPI, 2011): 1. Meningkatnya Temperatur Udara. Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia mengalami kenaikan 0,3 °C (pengamatan sejak 1990). Dampak terhadap infrastruktur: Mempercepat kerusakan permukaan jalan, baik pada perkerasan lentur maupun beton; Meningkatnya sebaran titik api (hot spot) yang akan berpengaruh terhadap struktur jalan maupun jembatan; Menurunkan kekuatan (daya dukung) lapisan aspal deformasi makin besar. 2. Meningkatnya Curah Hujan. Diperkirakan akibat perubahan iklim, Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3% per tahun. Serta musim hijan yang lebih pendek. Dampak terhadap infrastruktur: Terendamnya jalan akibat banjir dapat menyebabkan air masuk kedalam perkerasan jalan, sehingga mengakibatkan terjadinya pumping saat kendaraan melewatinya; Pengikisan tiang pancang jembatan akibat terbentur material sampah keras yang hanyut bersama air; Curah hujan yang tinggi pada rentang waktu pendek dapat memicu terjadinya gerusan permukaan dan longsor; Melemahnya ikatan aspal terhadap aggregate. 3. Kenaikan Permukaan Air Laut. Sekitar 40 juta masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10 m dari permukaan air laut rata-rata, sangat rentan terhadap perubahan permukaan air laut. Dampak terhadap infrastruktur: Jaringan jalan di pesisir akan terendam dan mengakibatkan peningkatan laju korosi pada jalan beton dan peningkatan proses penuaan dan oksidasi pada jalan beraspal; Lebih lanjut akan mengakibatkan kota yang berada di pesisir rentan “kehilangan” aset jalan, sehingga kehandalan keberlanjutan pemanfaatanjalan berkurang dan menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama apabila jalan tersebut merupakan akses ke pusat distribusi (seperti pelabuhan). 4. Meningkatnya Intensitas Kejadian Ekstrim. Dampak terhadap infrastruktur: bertambah panjangnya periode musim kering mengakibatkan lapisan aspal
II-42
banyak mengelupas; Badai dan angin kencang dapat merusak struktur hingga mengakibatkan terputusnya jalur jalan dan jembatan. Adapun peluang dalam menjawab tantangan sub sektor jalan dan jembatan di atas, dapat ditempuh upaya sebagai berikut (Bappenas, 2010f; DNPI, 2011): 1. Dalam pengendalian temperatur udara dapat dilakukan dengan penanaman pohon di pinggir jalan atau penggunaan low heat reflective pavement. 2. Pengendalian dampak dari peningkatan curah hujan dapat dilakukan dengan: Membuat drainase jalan yang memadai dan memenuhi persyaratan teknis untuk menangani run off karena meningkatnya curah hujan pada kondisi curah hujan tinggi; Meningkatnya intensitas pemeliharaan drainase untuk dapat diyakininya pelayanan drainase jalan; Memperbaiki system drainase dengan memperpanjang waktu run off (pembangunan retusion pond untuk kondisi topografi curam). 3. Pengendalian kenaikan air laut dapat dilakukan dengan cara: Memindahkan jalan ke kawasan yang lebih aman dari pengaruh kenaikan permukaan air laut; Pembangunan tanggul-tanggul di daerah pantai; Perlindungan terhadap pelabuhan, bangunan atau infrastruktur lainnya yang rentan terhadap kenaikan air laut. 4. Pengendalian dampak meningkatnya intensitas kejadian ekstrim dapat dilakukan dengan cara: Teknologi aspal poro (penggunaan material aditif yang dapat menurunkan suhu percampuran dan waktu pemadatan lebih cepat); Sistem peringatan dini untuk badai; pembangunan jalan dan jembatan dengan struktur tahan badai; Perbaikan kapasitas sistem drainase untuk menampung kondisi curah hujan ekstrim. Sub Sektor Penataan Ruang Penataan ruang perlu dilakukan dengan prinsip pengarusutamaan perubahan iklim, yaitu berupa penjaminan bahwa penataan ruang telah mempertimbangkan proyeksi perubahan iklim di masa datang, tidak meningkatkan kerentanan dan sekaligus meningkatkan ketahanan wilayah terhadap dampak perubahan iklim di masa depan. Tantangan implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sub sektor penataan ruang, yaitu (Dep. PU, 2007; DNPI, 2011): 1. Meningkatkan penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah yang aman, nyaman dan berkelanjutan dalam rangka mengurangi risiko wilayah terhadap dampak perubahan iklim terutama melalui upaya pengurangan risiko perubahan iklim. 2. Menyiapkan ruang bagi pemenuhan kebutuhan aktivitas masyarakat di masa datang dengan mempertimbangkan daya dukung wilayah serta upaya pengurangan risiko perubahan iklim terutama melalui upaya mengurangi kerentanan wilayah terhadap bahaya perubahan iklim 3. Meningkatkan kualitas penyediaan prasarana dan sarana wilayah yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan tingkat risiko perubahan iklim dalam rangka menjamin kualitas hidup masyarakat. E. Sektor Lainnya Beberapa sektor telah mengidentifikasi tantangan dan peluang penanggulangan perubahan iklim. Dari penelusuran informasi yang bersumber dari pustaka (terutama dari rencana strategis sektor), tidak dijumpai uraian mengenai tantangan dan peluang penanggulangan perubahan iklim dari beberapa sektor yang lain. Sektorsektor tersebut adalah meliputi sektor energi, sektor kehutanan, dan sektor limbah.
II-43
III.
3.1.
KEBIJAKAN DAN PROGRAM LINTAS SEKTOR PENANGGULANGAN PERUBAHAN IKLIM
Arah Kebijakan Penanggulangan Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan suatu kenyataan dan tidak perlu dipertanyakan lagi, dan bahkan dampaknya sudah dirasakan semakin meningkat. Penanganan perubahan iklim haruslah bersifat lintas sektor mulai dari jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Dalam jangka lima tahun ke depan, dampak perubahan iklim akan semakin meningkat, oleh karena itu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, harus menjawab tantangan tersebut. Kendala implementasi yang potensial bagi kebijakan dan program lintas sektor penanggulangan perubahan iklim yang dapat diidentifikasi adalah meliputi:
Tekanan pembangunan, yang dapat meliputi: pertambahan penduduk, urbanisasi, perubahan gaya hidup, konversi lahan, dan sebagainya.
Konflik kepentingan, dimana program/kegiatan penanggulangan dampak perubahan iklim bisa bertentangan dengan tujuan dan sasaran pembangunan lainnya
Koordinasi kelembagaan: Kondisi saat ini mencerminkan bahwa penanggulangan perubahan iklim cenderung hanya menjadi bidang urusan lingkungan hidup saja, menjadikan koordinasi dengan lembaga lainnya lemah. Hal ini perlu dirubah, sehingga koordinasi menjadi benar-benar dapat dilakukan secara substansial.
Pendanaan: Potensi pendanaan dari berbagai sumber belum dimanfaatkan secara optimal.
Untuk menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang di atas, maka perlu disiapkan kebijakan dan program yang tepat. Kebijakan dan program lintas sektor penanggulangan perubahan iklim dalam lima tahun ke depan perlu dimasukkan dalam RPJMN 2015-2019, agar implementasinya dapat dilaksanakan sesuai dengan koridor kebijakan dan program pembangunan nasional jangka menengah. Dalam perumusan Kebijakan dan Program Penanggulangan Perubahan Iklim, terdapat beberapa aspek yang perlu diperkuat dalam aspek perencanaan, yang meliputi:
Mempersiapkan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan melalui: pemanfaatan data, informasi dan analisis risiko iklim; menerapkan prinsip pembangunan yang sesuai perubahan iklim; mengintegrasikan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; dan melakukan koordinasi antar sektor dan antar aktor pembangunan.
Mempersiapkan pemantauan dan pengukuran ketercapaian program dan kegiatan penanggulangan perubahan iklim.
Mengembangkan standarisasi indikator ketercapaian program dan kegiatan penanggulangan perubahan iklim.
Meningkatkan kapasitas institusi pemerintah dan non-pemerintah dalam implementasi kebijakan dan program lintas sektor penanggulangan perubahan iklim.
III-1
Menetapkan indikator kunci kerentanan wilayah dan pengembangan sistem pemantauan kerentanan, serta meningkatkan kapasitas daerah.
Menyiapkan program pendukung sektor dan daerah dalam meningkatkan kualitas data kunci (key data) untuk mengukur tingkat kerentanan (kualitas kehidupan) dan emisi (beban lingkungan).
Mengembangkan sistem database iklim nasional dengan resolusi tinggi untuk mendukung sektor dan daerah melakukan kajian ilmiah terkait risiko iklim – prioritisasi program.
Mengembangkan mekanisme untuk sinergitas program lintas sektor dan multi pihak, termasuk melibatkan swasta.
Mengembangkan kebijakan fiskal yang mendorong daerah untuk mengembangkan program adaptasi dan mitigasi yang terintegrasi dengan sistem pengukuran kinerja yang lebih baik.
Mengacu pada Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK) dan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), dapat disusun arah kebijakan penanggulangan perubahan iklim. Arah kebijakan penanggulangan perubahan iklim lintas sektor, dirumuskan sebagai berikut: I.
Menurunkan emisi gas rumah kaca, yang meliputi: 1) Bidang pertanian. 2) Bidang kehutanan dan lahan gambut. 3) Bidang energi dan transportasi. 4) Bidang industri. 5) Bidang pengelolaan limbah.
II. Meningkatkan ketahanan dan/atau menurunkan tingkat kerentanan sistem alam, tatatan kehidupan, atau aktivitas pembangunan terhadap dampak perubahan iklim, yang meliputi: 1) Bidang ketahanan pangan. 2) Bidang energi. 3) Bidang kesehatan. 4) Bidang permukiman. 5) Bidang infrastruktur. 6) Bidang Ekosistem dan Keragaman Hayati. 7) Bidang perkotaan. 8) Bidang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 3.2.
Prioritas Penanggulangan Perubahan Iklim Lintas Sektor
Berdasarkan analisis dari bab sebelumnya, tampak bahwa beberapa ancaman perubahan iklim mengalami gap yang lebar dari sisi program penanggulangannya. Hal tersebut berarti bahwa terdapat ancaman perubahan iklim yang belum banyak disentuh oleh berbagai program sektoral. Ancaman perubahan iklim tersebut merupakan indikasi program yang paling prioritas dalam penanggulangan
III-2
perubahan iklim lintas sektor. Secara berurutan, ancaman perubahan iklim yang paling perlu ditanggulangi secara lintas sektor adalah meliputi: Penanggulangan ancaman perubahan curah hujan; Penanggulangan ancaman perubahan temperatur permukaan; Penanggulangan ancaman kejadian iklim ekstrim; Penanggulangan ancaman kejadian cuaca ekstrim; Penanggulangan ancaman kenaikan muka laut; dan Penanggulangan ancaman perubahan suhu permukaan laut. Prioritas kebijakan dan program di atas harus dimasukkan sebagai muatan penanggulangan perubahan iklim lintas sektor dalam RPJMN 2015-2019. Ancaman perubahan iklim di atas memberikan dampak pada berbagai bidang pembangunan, yang meliputi: 1. Bidang ketahanan ekonomi (ketahanan pangan dan kemandirian energi) 2. Bidang Ketahanan Sistem Kehidupan (Kesehatan, permukiman, dan infrastruktur) 3. Bidang Ketahanan Ekosistem dan Keragaman Hayati 4. Bidang Ketahanan Wilayah Khusus (Perkotaan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Pada bagian berikut diuraikan perumusan kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim berdasarkan bidang-bidang pembangunan. Uraian kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim meliputi aspek mitigasi dan adaptasi. Secara detil program penangulangan perubahan iklim dari aspek mitiogasi dan adaptasi, disajikan dalam bentuk matriks pada Lampiran. 3.2.1. Mitigasi Bidang Pertanian Mitigasi bidang pertanian meliputi: (1)
Pemantapan ketahanan pangan nasional dan peningkatan produksi pertanian dengan emisi GRK yang rendah.
(2)
Peningkatan fungsi dan pemeliharaan sistem irigasi.
3.2.2. Mitigasi Kehutanan dan Lahan Gambut Mitigasi bidang kehutanan dan lahan gambut meliputi: (1)
Penurunan emisi GRK sekaligus meningkatkan kenyamanan lingkungan, mencegah bencana, menyerap tenaga kerja, dan menambah pendapatan masyarakat serta negara.
(2)
Pengelolaan sistem jaringan dan tata air pada rawa.
(3)
Pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan bergambut yang sudah ada).
(4)
Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.
3.2.3. Mitigasi Energi dan Transportasi Mitigasi bidang energi dan transportasi meliputi: (1)
Peningkatan penghematan energi;
(2)
Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching);
III-3
(3)
Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT);
(4)
Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik, dan sarana transportasi;
(5)
Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
3.2.4. Mitigasi Industri Mitigasi bidang industri meliputi: (1)
Peningkatan pertumbuhan industri dengan mengoptimalkan pemakaian energi.
3.2.5. Mitigasi Pengelolaan Limbah Mitigasi bidang pengelolaan limbah meliputi: (1)
Meningkatkan pengelolaan sampah dan air limbah domestik.
3.2.6. Adaptasi Bidang Ketahanan Pangan Adaptasi bidang ketahanan pangan meliputi: (1)
Perbaikan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pengairan. Untuk penanggulangan ancaman perubahan curah hujan, maka harus dipersiapkan penanggulangan kekeringan air dan banjir, untuk kebutuhan pertanian pangan dan budidaya perikanan, yang sangat terkait dengan kapasitas irigasi. Program ini meliputi rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi di wilayah sentra produksi pangan dan budidaya perikanan. Selain rehabilitasi, juga dilakukan pengembangan daerah irigasi baru bagi wilayah perluasan pertanian tanaman pangan dan budidaya perikanan. Program ini juga menjangkau perbaikan lingkungan, khususnya tutupan vegetasi pada wilayah tangkapan hujan (daerah aliran sungai, DAS).
(2)
Penyesuaian Sistem Produksi Pangan Program ini meliputi: penyesuaian pola tanam, teknologi, dan model sistem usahatani dan budidaya perikanan. Program ini dilakukan melalui penyesuaian aktivitas dan teknologi pertanian dan budidaya perikanan dengan dukungan sektor lain yang terkait.
(3)
Perluasan Areal Pertanian Pangan dan Budidaya Perikanan. Program perluasan areal pertanian pangan dan budidaya perikanan baru, dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan perubahan tingkat resiko iklim, dan daya dukung lingkungan serta tidak mengurangi fungsi konservasi kawasan dan habitat. Program ini ditekankan pada prioritas untuk memanfaatkan dan sekaligus memperbaiki kondisi lahan terdegradasi dan/atau terlantar.
(4)
Pengembangan Teknologi Inovatif dan Adaptif Program ini diarahkan untuk mengembangkan teknologi yang adaptif terhadap cekaman iklim dan rekayasa sumberdaya genetik tanaman pangan dan ikan, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air yang beremisi rendah. Sasaran utama dari program ini adalah: (a) pemanfaatan dan rekayasa sumberdaya genetik (tanaman dan ikan budidaya), (b) optimalisasi sumberdaya lahan dan air melalui pengembangan teknologi budidaya adaptif, dan (c) pemanfaatan dan efisiensi karbon, biomasa dan/atau limbah organik.
III-4
(5)
Percepatan Diversifikasi Pangan. Program percepatan diversifikasi pangan meliputi tanaman pangan, ternak, dan ikan, dilakukan melalui pengembangan berbagai produk pangan dari komoditas alternatif yang lebih tahan terhadap cekaman iklim dan hemat sumber lahan dan air seperti sagu, ganyong, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan pangan lokal lainnya.
(6)
Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi (Iklim dan teknologi) Program ini diarahkan pada upaya peningkatan akurasi dan kelengkapan informasi iklim dan ketersediaan teknologi serta sistem diseminasi dan percepatan arus penyampaian informasinya.
3.2.7. Adaptasi Bidang Kemandirian Energi Adaptasi bidang kemandirian energi meliputi: (1)
Perluasan Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan. Program ini diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah organik untuk produksi gas dan energi di wilayah pemukiman padat. Upaya tersebut akan mengurangi beban lingkungan dan meningkatkan selang toleransi wilayah terhadap kejadian hujan ekstrim tinggi serta memperluas pemanfaatan sumber energi tenaga air skala pico dan micro pada wilayah-wilayah terpencil sebagai bagian program desa mandiri energi (DME) yang dapat mendorong masyarakat menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan layanan jasa lingkungan
(2)
Pengembangan Teknologi Budidaya Tanaman untuk Energi. Program ini diarahkan pada pengembangan teknologi budidaya tanaman bahan bakar nabati berdaya hasil tinggi dan adaptif terhadap cekaman iklim serta penemuan varietas tanaman pohon tumbuh cepat untuk energy plantation.
(3)
Perbaikan dan konservasi wilayah tangkapan hujan. Program ini diarahkan pada upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan khususnya di wilayah tangkapan hujan di daerah aliran sungai (DAS) yang akan menjadi lokasi pengembangan PLTA dan panas bumi dan percepatan rehabilitasi di DAS lokasi PLTA dan Panas Bumi yang memiliki risiko iklim tinggi melalui partisipasi masyarakat.
3.2.8. Adaptasi Bidang Kesehatan Adaptasi bidang kesehatan meliputi: (1)
Pengembangan Sistem Peringatan Dini. Program ini diarahkan bagi penguatan kewaspadaan dan pemanfaatan sistem peringatan dini terhadap mewabahnya penyakit menular dan penyakit tidak menular yang diakibatkan perubahan iklim.
(2)
Pengendalian Faktor-faktor Risiko Kesehatan. Program ini diarahkan untuk pemuktahiran kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim bidang kesehatan; pengamatan dan pengendalian agen penyakit; pengamatan dan pengendalian perantara penyakit; pengendalian kualitas lingkungan; pengendalian infeksi pada manusia.
III-5
(3)
Pengembangan Sumberdaya Manusia. Program ini diarahkan untuk peningkatan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi, dan partisipasi masyarakat terkait adaptasi kesehatan terhadap perubahan iklim; penelitian, pendidikan, dan pengembangan teknologi terkait perubahan iklim dan kesehatan.
(4)
Pengembangan Regulasi. Program ini diarahkan untuk pengutan regulasi, peraturan perundangan, dan kapasitas kelembagaan di tingkat pusat dan daerah terhadap risiko pada kesehatan masyarakat yang dapat ditimbulkan oleh perubahan iklim
3.2.9. Adaptasi Bidang Permukiman Adaptasi bidang permukiman meliputi: (1)
Pengembangan Permukiman. Program ini diarahkan untuk pengembangan dan penyediaan infrastruktur di kawasan permukiman di perkotaan; penyesuaian infrastruktur kawasan permukiman di daerah rawan bencana perubahan iklim.
(2)
Akses Perumahan Layak dan Terjangkau Program ini diarahkan untuk peningkatan penyediaan permukiman dengan struktur kuat dan adaptif terhadap perubahan iklim yang layak dan terjangkau oleh masyarakat.
(3)
Pengembangan Permukiman Adaptif. Program ini diarahkan untuk mengembangkan kajian dan pemetaan risiko khususnya pada permukiman dan infrastruktur permukiman; kajian pembangunan kawasan perumahan tapak yang berkelanjutan (sustainable landed housing area development); kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir yang rentan terhadap kenaikan muka air laut.
(4)
Pemberdayaan Masyarakat Program ini diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penanggulangan perubahan iklim pada permukiman di kawasan perkotaan dan perdesaan; peningkatan partisipasi dan kapasitas masyarakat dalam penanggulangan dampak perubahan iklim; dan meningkatkan kesiagaan terhadap bencana akibat perubahan iklim.
3.2.10. Adaptasi Bidang Infrastruktur Adaptasi bidang infrastruktur meliputi: (1)
Pengurangan Gangguan Fungsi Transportasi Program ini diarahkan untuk pengurangan risiko terganggunya fungsi dan aksesibilitas jalan, jembatan, perkeretaapian, pelabuhan dan bandara akibat dampak perubahan iklim; penguatan perencanaan, manajemen dan Sistem operasi transportasi darat; pengelolaan perkeretaapian; pengelolaan transportasi laut; dan pengelolaan transportasi udara.
(2)
Peningkatan Infrastruktur Kesehatan Masyarakat. Program ini diarahkan untuk peningkatan, penyediaan dan penyesuaian infrastruktur yang berdampak langsung pada kesehatan masyarakat yang meliputi air bersih, air limbah, dan sanitasi; penyediaan sarana dan prasarana sistem sanitasi dan pengolahan limbah.
III-6
(3)
Pengembangan Prasarana Adaptif. Program ini diarahkan untuk penyediaan sistem drainase perkotaan yang berwawasan lingkungan; pembangunan, operasi, dan pemeliharaan, prasarana dan sarana pengendalian banjir dan kekeringan; pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai.
(4)
Infrastruktur Energi. Program ini diarahkan untuk pengembangan perancangan, penyediaan dan pengelolaan infrastruktur energi sehingga adaptif terhadap perubahan iklim; sosialisasi infrastruktur penyedia energi yang adaptif terhadap perubahan iklim; perlindungan infrastruktur energi dari dampak perubahan iklim; perencanaan infrastruktur energi baru.
3.2.11. Adaptasi Bidang Ketahanan Ekosistem dan Keragaman Hayati Adaptasi bidang ketahanan ekosistem dan keragaman hayati meliputi: (1) Perbaikan/penyempurnaan Tata Ruang dan Tataguna Lahan Program ini diarahkan untuk perbaikan rencana makro kawasan hutan serta ekosistem laut yang disesuaikan dengan tata ruang, pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan mempertimbangkan aspek pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) terpadu, memperhatikan aspek emisi karbon dan menakar dampak terhadap keberlanjutan jasa dan layanan ekosistem lainnya; perbaikan kawasan hutan yang dapat menjamin fungsi tata air dan menunjang ketahanan pangan dan kemandirian energi; pemanfaatan ekosistem laut harus didasarkan pada fungsi dan keberlanjutan ekosistem tersebut; perbaikan kawasan hutan dengan memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan hidup di masyarakat; perbaikan kawasan ekosistem laut berbasis pada perpaduan antara pemantapan fungsi ekologis dan nilai-nilai kearifan masyarakat lokal. (2) Pengurangan Ancaman terhadap ekosistem Program ini diarahkan untuk penurunan frekuensi kebakaran hutan dan lahan dilakukan secara terpadu lintas sektor, pusat-daerah, dan negara; pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar (non api), serta teknologi pemantauan dan pengendalian kebakaran; sosialisai dan pelatihanpelatihan teknik pembakaran terkendali secara sistematis bagi masyarakat sekitar hutan dan penyediaan tenaga-tenaga pengawas dengan jumlah, kualitas, dan sarana kerja yang memadai. (3) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan produktif secara lestari Program ini diarahkan untuk pemanfaatan kawasan produktif hutan dan laut dengan mempertimbangkan aspek pelestarian jasa lingkungan antara lain dengan penerapan multisistem dalam pengelolaannya; penerapan pembentukan dan penguatan kelembagaan pengelolaan hutan di tingkat tapak (KPH); penegasan kewenangan yang lebih jelas terhadap pemerintah daerah dan masyarakat, misalnya melalui Hutan Tanaman Rajyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Desa; menghindari kasus tumpang-tindih perijinan di dalam areal yang sama. (4) Peningkatan tata kelola kawasan konservasi dan ekosistem esensial Program ini diarahkan untuk mengurangi tingkat keterancaman terhadap keanekaragaman hayati melalui upaya perlindungan flora dan fauna,
III-7
menurunkan perdagangan satwa liar, mencegah degradasi hutan dan ekosistem laut, serta melakukan upaya penegakan hukum. (5) Rehabilitasi ekosistem yang terdegradasi Program ini diarahkan untuk rehabilitasi hutan dan lahan dalam jangka panjang; perbaikan fungsi tata air; meningkatkan kepatuhan perusahaan pertambangan untuk melakukan kegiatan reklamasi dengan baik. (6) Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi Program ini diarahkan untuk mendeteksi kerusakan ekosistem serta mendeteksi titik-titik api dan faktor-faktor pemicu kebakaran lainnya secara dini (early warning system); penguatan sistem informasi dan komunikasi kehutanan; meningkatkan standar data dan informasi kehutanan yang berstandar internasional; membangun sistem informasi dan komunikasi kehutanan yang efektif. 3.2.12. Adaptasi Bidang Perkotaan Adaptasi bidang perkotaan meliputi: (1)
Tata Ruang Kota. Program ini diarahkan untuk pengintegrasian upaya penanggulangan perubahan iklim ke dalam rencana tata ruang perkotaan; mengkaji risiko perubahan iklim di kawasan perkotaan; melakukan kajian dan pemetaan risiko perubahan iklim sektoral/sub-bidang tingkat kabupaten/kota; penyusunan dan revisi dokumen rencana tata ruang kawasan perkotaan berdasarkan hasil kajian risiko perubahan iklim; pengawasan dan pengendalian untuk penataan ruang dan zonasi kawasan perkotaan terhadap perubahan iklim.
(2)
Penyesuaian infrastruktur dan fasilitas perkotaan Program ini diarahkan untuk penyesuaian infrastruktur dan fasilitas perkotaan untuk penaggulangan ancaman perubahan iklim; penyusunan strategi pembangunan permukiman dan infrastruktur perkotaan yang terintegrasi dengan upaya adaptasi perubahan iklim; implementasi pembangunan kota hijau (green cities), peningkatan kualitas infrastruktur permukiman di kawasan perkotaan.
(3)
Peningkatan kapasitas masyarakat perkotaan Program ini diarahkan untuk peningkatan kapasitas masyarakat perkotaan terkait isu ancaman perubahan iklim; sosialisasi dan penyadaran masyarakat terhadap fenomena dan dampak perubahan iklim; peningkatan kapasitas penelitian tentang fenomena dan dampak perubahan iklim di kawasan perkotaan; pengembangan sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi; pengembangan kapasitas kelembagaan dan jaringan terkait adaptasi perubahan iklim.
3.2.13. Adaptasi Bidang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Adaptasi bidang pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi: (1)
Peningkatan Kapasitas Kehidupan Masyarakat Program ini diarahkan untuk peningkatan kapasitas kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan isu perubahan iklim; sosialisasi dan penyadaran masyarakat terhadap fenomena dan dampak perubahan iklim; pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil bagi masyarakat; pemeliharaan dan rehabilitasi sumber daya air di pesisir dan
III-8
pulau-pulau kecil; peningkatan infrastruktur (jaringan transportasi listrik, air bersih, dan komunikasi) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terluar dengan menggunakan teknologi tepat guna. (2)
Pendayagunaan Lingkungan dan Ekosistem Program ini diarahkan untuk pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan dan ekosistem bagi penanggulangan perubahan iklim; peningkatan kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; identifikasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung non struktural atau alamiah pantai dan kawasan di belakangnya berdasarkan hasil kajian dan identifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.
(3)
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Program ini diarahkan untuk pengintegrasian upaya penanggulangan perubahan iklim ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau keciI; identifikasi dan pemetaan potensi pulau-pulau kecil; penyusunan Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) rehabilitasi dan adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; kajian dan pemetaan risiko dan penanggulangan perubahan iklim sektoral/sub-bidang; penyusunan dokumen penataan ruang dan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hasil kajian risiko dan penanggulangan perubahan iklim; pengawasan dan pengendalian penataan ruang dan zonasi pesisir dan perairan untuk penanggulangann perubahan iklim.
(4)
Adaptasi Struktural dan Non struktural. Program ini diarahkan untuk pengembangan desa pesisir tangguh (coastal resilience village, CRV); bantuan sarana dan prasarana dalam pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; identifikasi dan penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital, seperti jalan, dermaga pelabuhan, dan permukiman masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, peningkatan ketahanan sumber daya pertanian dan tambak pesisir terhadap ancaman perubahan iklim; identifikasi, pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai.
3.3.
Pengembangan Indikator Outcome Penanggulangan Perubahan Iklim dalam RPJMN 2015-2019
Perubahan iklim telah dan akan terus memberikan dampak pada banyak sektor pembangunan dan bersifat multidimensi, yang meliputi lingkungan fisik wilayah khusus, sosial, ekonomi, dan tatanan kehidupan. Oleh karena itu, penanggulangan perubahan iklim memerlukan kebijakan dan program lintas sektor dalam perspektif adaptasi dan mitigasi yang seimbang. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), diperlukan indikator penanggulangan perubahan iklim yang eksplisit (jelas), sehingga penentuan sasaran dan evaluasinya menjadi lebih terukur. Indikator yang demikian adalah indikator outcome yang dapat memberikan indikasi apakah program mitigasi atau adaptasi yang bersangkutan telah berhasil atau belum. Dengan adanya indikator outcome, evaluasi program dapat dilakukan secara lebih terukur. Oleh karena itu, perumusan indikator outcome menjadi sangat penting bagi RPJMN 2015-2019. Pengembangan indikator outcome penanggulangan perubahan iklim dalam RPJMN 2015-2019, dilakukan dengan mangacu pada Rencana Aksi Nasional Penurunan
III-9
Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Pada dasarnya indikator utama dari penanggulangan perubahan iklim lintas sektor adalah: 1. Menurunnya emisi gas rumah kaca (GRK) 2. Meningkatnya ketahanan dan/atau menurunnya tingkat kerentanan sistem alam, tatatan kehidupan, program atau kegiatan terhadap dampak perubahan iklim, serta berkurangnya dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor pembangunan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh dalam pengembangan indikator outcome, dilakukan perunutan sumber dan jenis dampak yang timbul akibat perubahan iklim. Perunutan tersebut digambarkan dalam bentuk bagan yang memperjelas hubungan antara bidang tertentu dengan perubahan iklim, dengan demikian dapat diketahui indikator yang tepat untuk mengukur keberhasilan suatu program. Penggambaran bagan dilakukan untuk bidang-bidang pada aspek adaptasi, karena pada dasarnya indikator mitigasi lebih mudah dirumuskan, dan sudah dapat diadopsi dari penurunan gas rumah kaca pada RAN-GRK. Di sisi lain indikator adaptasi lebih sukar dirumuskan, sangat bersifat normatif dan sulit diukur. Dengan memanfaatkan dokumen RAN-API dan dokuemn lainnya yang telah tersedia, dilakukan penggambaran bagan runutan dampak untuk perumusan indikator outcome adaptasi. Penggambaran runutan dampak dan pengembangan indikator outcome penanggulangan perubahan iklim, disajikan pada bagian berikut. 3.3.1. Indikator Mitigasi Mitigasi diarahkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang meliputi bidang-bidang: Pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah. Pengembangan indikator outcome untuk mitigasi tidaklah sulit, yaitu berdasarkan pada kuantitas penurunan GRK yang dapat dicapai melalui berbagai program mitigasi pada berbagai bidang tersebut. Berdasarkan indikator outcome penurunan GRK, dapat diindikasikan apakah program mitigasi yang bersangkutan telah berhasil atau belum. Aspek mitigasi perubahan iklim yang meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah, memiliki indikator yang sama yaitu “penurunan emisi GRK”, yang dinyatakan dengan satuan ton CO2 eq. Tingkat keberhasilan aspek mitigasi penanggulangan perubahan iklim, dilihat dari indikator outcome dengan merujuk pada penurunan emisi GRK pada skenario BAU RAN-GRK, adalah sebagai berikut: (1) (2) (3) (4) (5)
Bidang kehutanan dan lahan gambut 0,672 Giga ton CO2 eq. Bidang pertanian 0,008 Giga ton CO2 eq. Bidang energi dan transportasi 0,036 Giga ton CO2 eq. Bidang industri 0,001 Giga ton CO2 eq. Bidang pengelolaan limbah 0,048 Giga ton CO2 eq.
3.3.2. Indikator Adaptasi Bidang Ketahanan Pangan Perubahan iklim menimbulkan dampak nyata terhadap penurunan produksi pangan dan mengganggu ketahanan pangan. Perubahan pola hujan, peningkatan suhu udara, dan peningkatan muka laut merupakan sumber utama dari dampak
III-10
perubahan iklim terhadap bidang ketahanan pangan. Penggambaran runutan dampak perubahan iklim terhadap bidang ketahahan pangan, disajikan pada Gambar 3.1. Perubahan Iklim
Pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan)
Peningkatan Suhu Udara
Peningkatan Muka Laut
Gagal Panen
Peningkatan Transpirasi
Kerusakan SD Lahan
Kerusakan SD Lahan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Peningkatan Konsumsi Air Percepatan Pematangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Penurunan Produksi dan Gangguan Ketahanan Pangan Gambar 3.1. Hubungan antara perubahan iklim dengan ketahahan pangan Sumber: Bappenas (2010c)
Penggambaran dampak tersebut menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan adaptasi bidang ketahanan pangan dapat dilihat dari keberhasilan dalam penanggulangan ancaman penurunan produksi akibat perubahan iklim dan sebaliknya harus terjadi peningkatan produksi pangan. Oleh karena itu, terjadi atau tidaknya penurunan produksi pangan dapat dijadikan ukuran bagi upaya penanggulangan perubahan iklim. Usulan indikator outcome adaptasi bidang ketahanan pangan adalah: Penurunan produksi pangan < 2%.
III-11
3.3.3. Indikator Adaptasi Bidang Energi Penggambaran dampak perubahan iklim terhadap bidang energi, disajikan pada Gambar 3.2. Melalui perubahan pola hujan dan perubahan suhu permukaan, perubahan iklim menimbulkan dampak terhadap kemandirian energi.
Perubahan Iklim
Perubahan Pola Curah Hujan
Perubahan Suhu Permukaan Kekeringan; kebakaran hutan, dan kerusakan kawasan esensial lainnya
Berkurangnya daerah tangkapan air untuk mendukung hydropower dan peningkatan produksi biofuel
Target Pemenuhan Energi Nasional 2025: Energi terbarukan mencapai 17%
Gangguan terhadap upaya penyediaan energi terbarukan yang bersumber dari hydropower dan biofuel
Hydropower dan biofuel 8%
Gambar 3.2. Hubungan antara perubahan iklim dengan kemandirian energi Sumber: Bappenas (2013a)
Tingkat keberhasilan adaptasi bidang kemandirian energi adalah dilihat dari keberhasilan pemenuhan energi nasional dari energi terbarukan yang sebagiannya berasal dari hydropower dan biofuel. Usulan indikator outcome untuk bidang energi adalah: Pangsa pemenuhan energi nasional dari PLTA (hydropwer) dan biofuel dapat mencapai ≥8%.
III-12
3.3.4. Indikator Adaptasi Bidang Kesehatan Penggambaran dampak perubahan iklim terhadap bidang kesehatan, disajikan pada Gambar 3.3.
Perubahan Iklim
Kondisi Lingkungan Kondisi Sosial Kondisi Sistem, Kesehatan
Paparan Langsung
Paparan Tidak Langsung
Dampak Kesehatan
Paparan Sosial Ekonomi
Kejangkitan tiga penyakit utama: malaria, DBD, diare
Gambar 3.3. Hubungan antara perubahan iklim dengan bidang kesehatan Sumber: Bappenas (2010d)
Penggambaran dampak di atas menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan adaptasi bidang kesehatan dapat dilihat dari keberhasilan penanggulangan kejangkitan penyakit utama akibat perubahan iklim. Usulan indikator outcome untuk adaptasi bidang kesehatan adalah: Tidak timbul kejadian luar biasa (KLB) dari kejangkitan penyakit utama yaitu malaria, DBD, dan diare.
III-13
3.3.5. Indikator Adaptasi Bidang Permukiman Perubahan iklim menimbulkan dampak nyata terhadap bidang permukiman melalui prubahan pola hujan, peningkatan muka laut, dan kejadian cuaca ekstrim. Penggambaran runutan dampak perubahan iklim terhadap bidang permukiman, disajikan pada Gambar 3.4. Perubahan Iklim
Peningkatan Muka Laut
Perubahan Pola Curah Hujan
Kejadian Cuaca Ekstrim
Banjir di permukiman. Kerusakan infrastruktur permukiman, terutama
sanitasi lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan permukiman.
Adaptasi pada: Perbaikan dan peningkatan infrastruktur sanitasi permukiman Perbaikan dan peningkatan infrastruktur lainnya di permukiman Penciptaan aksesibilitas terhadap permukiman adaptif perubahan iklim yang layak dan terjangkau
Gambar 3.4. Hubungan antara perubahan iklim dengan permukiman Sumber: Bappenas (2013a)
Gambar 3.4 menunjukkan bahwa keberhasilan adaptasi bidang permukiman dapat dilihat dari keberhasilan memenuhi kebutuhan permukiman yang layak, terjangkau, dan adaptif terhadap perubahan iklim, serta terciptanya kualitas lingkungan permukiman yang layak. Usulan indikator outcome bidang permukiman adalah: Tersedianya infrastruktur sanitasi yang cukup sehingga tercapai kualitas lingkungan yang baik di kawasan permukiman yang rentan terhadap dampak perubahan iklim
III-14
3.3.6. Indikator Adaptasi Bidang Infrastruktur Penggambaran dampak perubahan iklim terhadap bidang infrastruktur, disajikan pada Gambar 3.5. Melalui perubahan pola hujan, peningkatan muka laut, dan kejadian cuaca ekstrim, perubahan iklim menimbulkan dampak terhadap infrastruktur.
Perubahan Iklim
Peningkatan Muka Laut
Perubahan Pola Curah Hujan
Kejadian Cuaca Ekstrim
Gangguan kualitas pelayanan dan kerusakan
infrastruktur jalan dan jembatan di wilayah pesisir; Gangguan kualitas pelayanan dan kerusakan infrastruktur lainnya di wilayah pesisir dan wilayah lainnya.
Adaptasi pada: peningkatan cakupan pelayanan dan penguatan sistem infrastruktur yang handal dan berkualitas
Gambar 3.5. Hubungan antara perubahan iklim dengan infrastruktur Sumber: Bappenas (2013a)
Tingkat keberhasilan adaptasi bidang infrastruktur, dapat dilihat dari keberhasilan menghindari kerusakan infrastruktur akibat perubahan iklim, terutama jalan dan jembatan di wilayah pesisir. Usulan indikator outcome adaptasi bidang infrastruktur adalah: Kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan di wilayah pesisir akibat perubahan iklim dapat diminimalisasi menjadi <1%.
III-15
3.3.7. Indikator Adaptasi Bidang Ekosistem Perubahan iklim menimbulkan dampak nyata terhadap ekosistem melalui perubahan pola curah hujan, perubahan suhu permukaan, perubahan suhu permukaan laut, peningkatan muka laut, dan kejadian iklim ekstrim. Penggambaran runutan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem, disajikan pada Gambar 3.6.
Perubahan Iklim: Perubahan Pola Curah Hujan Perubahan Suhu Permukaan Perubahan Suhu Permukaan Laut Peningkatan Muka Laut Kejadian Iklim Ekstrim
Banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, penggenangan kawasan pesisir, bleaching terumbu karang, dan gangguan terhadap kawasan esensial lainnya
Kerusakan ekosistem hutan, mangrove, terumbu karang, kawasan esensial, keanekaragaman hayati serta gangguan pada ketersediaan air dan layanan jasa ekosistem lainnya.
Adaptasi pada peningkatan tutupan hutan DAS dan peningkatan perlindungan ekosistem dan kawasan esensial
Gambar 3.6. Hubungan antara perubahan iklim dengan ekosistem Sumber: Bappenas (2013a)
Tingkat keberhasilan adaptasi bidang ekosistem dapat dilihat dari keberhasilan menurunkan kerusakan ekosistem alami darat dan laut akibat perubahan iklim. Usulan indikator outcome bidang ekosistem adalah: Tutupan hutan pada daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa >15% dan di Luar Jawa >25%; laju kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim (terutama akibat kejadian iklim ekstrim) adalah <1%.
III-16
3.3.8. Indikator Adaptasi Bidang Perkotaan Penggambaran dampak perubahan iklim terhadap bidang perkotaan, disajikan pada Gambar 3.7. Melalui perubahan pola hujan, peningkatan muka laut, perubahan suhu permukaan, kejadian iklim ekstrim, dan kejadian cuaca ekstrim, perubahan iklim menimbulkan dampak terhadap perkotaan. Perubahan Iklim
Perubahan Pola Curah Hujan
Peningkatan Muka Laut
Kejadian Iklim Ekstrim
Perubahan Suhu Permukaan
Kejadian Cuaca Ekstrim
Peningkatan peluang bencana hidrometeorologis, kejangkitan penyakit, krisis air dan pangan, serta peningkatan kebutuhan energi
Adaptasi pada: program kota hijau, penyesuaian tata ruang, peningkatan infrastruktur dan fasilitas adaptif, dan peningkatan kapasitas masyarakat.
Gambar 3.7. Hubungan antara perubahan iklim dengan perkotaan Sumber: Bappenas (2013a)
Tingkat keberhasilan adaptasi bidang perkotaan adalah dilihat dari keberhasilan mencapai program kota hijau (green cities), memenuhi aspek penataan ruang, serta penyediaan infrastruktur dan fasilitas adaptif perubahan iklim . Usulan indikator outcome bidang perkotaan adalah: Tercapainya penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan dengan luas ≥ 30%.
III-17
3.3.9. Indikator Adaptasi Bidang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Perubahan iklim menimbulkan dampak nyata terhadap bidang pesisir dan pulaupulau kecil. Peningkatan muka laut, perubahan pola angin, perubahan pola hujan, dan perubahan suhu permukaan laut, merupakan sumber utama dari dampak perubahan iklim terhadap bidang pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk kelautan dan perikanan. Penggambaran dampak perubahan iklim terhadap bidang pesisir dan pulau-pulau kecil, disajikan pada Gambar 3.8.
Perubahan Iklim
Peningkatan Muka Laut
Perubahan Pola Angin
Perubahan Pola Curah Hujan
Perubahan Suhu Permukaan Laut
Morfologi Pantai
Permukiman
Sumberdaya Air
Ekosistem Alam
Ekosistem Alam
Wisata Bahari
Pertanian
Perikanan
Pertanian
Permukiman
Infrastruktur
Permukiman
Perikanan
Permukiman
Infrastruktur
Permukiman
Penggenangan permukiman dan gangguan perikanan budidaya pesisir
Gambar 3.8. Hubungan antara perubahan iklim dengan bidang pesisir dan pulau-pulau kecil, serta kelautan dan perikanan. Sumber: Bappenas (2010c)
Tingkat keberhasilan adaptasi bidang pesisir dan pulau-pulau kecil, dapat dilihat dari keberhasilan dalam perlindungan terhadap komponen dan aktivitas utama di wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim yaitu permukiman dan
III-18
perikanan budidaya. Oleh karena itu, perlindungan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil harus menjadi prioritas utama, dapat berupa pemeliharaan sempadan pantai yang cukup. Usulan indikator outcome bidang pesisir dan pulau-pulau kecil adalah: Penambahan luas permukiman pesisir yang tergenang air laut <1%; dan penurunan produksi perikanan budidaya pesisir akibat dampak perubahan iklim <1%.
III-19
IV. 4.1.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dari kajian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan iklim menimbulkan dampak pada berbagai sektor dengan intensitas yang berbeda-beda, secara berturut-turut sektor yang paling banyak terkena dampak perubahan iklim adalah pesisir, ketahanan pangan, kesehatan, permukiman, perkotaan, energi, infrastruktur, ekosistem, dan kehutanan. 2. Indikator perubahan iklim yang paling banyak menimbulkan dampak secara berturut-turut adalah: perubahan curah hujan, perubahan temperatur permukaan, kejadian cuaca ekstrim, kenaikan muka laut, kejadian iklim ekstrim, dan perubahan suhu permukaan laut. 3. Sektor atau bidang pembangunan yang paling banyak belum terliput dalam program penanggulangan perubahan iklim, secara berturut-turut adalah: permukiman, kesehatan, pesisir, energi, perkotaan, ekosistem, ketahanan pangan, kehutanan, dan infrastruktur. 4. Prioritas penangulangan dampak perubahan iklim lintas sektor, secara berturutturut adalah dampak yang ditimbulkan oleh perubahan: curah hujan. temperatur permukaan, kejadian iklim ekstrim, kejadian cuaca ekstrim, kenaikan muka laut, dan suhu permukaan laut. 5. Kebijakan dan program penangulangan perubahan iklim lintas sektor harus memuat aspek mitigasi dan adaptasi secara seimbang. 6. Kendala implementasi yang potensial bagi kebijakan dan program lintas sektor penanggulangan perubahan iklim adalah meliputi: tekanan pembangunan akibat pertambahan penduduk, urbanisasi, perubahan gaya hidup, konversi lahan, dan sebagainya; konflik kepentingan; koordinasi kelembagaan yang masih lemah; dan pendanaan yang belum optimal. 4.2.
Rekomendasi Kebijakan
1. Kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim dalam RPJMN 20152019 harus berbasis pada indikator utama yaitu: penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), berkurangnya dampak, dan meningkatkan ketahanan dan/atau menurunnya tingkat kerentanan sistem alam, tatatan kehidupan, program atau kegiatan terhadap dampak perubahan iklim. 2. Kebijakan dan program penanggulangan perubahan iklim dalam RPJMN 20152019 harus diperkuat dengan aspek pengembangan fiskal yang dapat mendorong masing-masing sektor dan daerah untuk mengembangkan program adaptasi dan mitigasi yang terintegrasi dengan sistem pengukuran kinerja yang lebih baik. 3. Indikator outcome yang dapat memberikan indikasi capaian program mitigasi dan adaptasi dalam penanggulangan perubahan iklim lintas sektor, direkomendasikan sebagai berikut: (1) Mitigasi bidang kehutanan dan lahan gambut: Penurunan GRK 0,672 Giga ton CO2 eq. (2) Mitigasi bidang pertanian: Penurunan GRK 0,008 Giga ton CO2 eq.
IV-1
(3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
(10) (11)
(12) (13)
Mitigasi bidang energi dan transportasi: Penurunan GRK 0,036 Giga ton CO2 eq. Mitigasi bidang industri: Penurunan GRK 0,001 Giga ton CO2 eq. Mitigasi bidang pengelolaan limbah: Penurunan GRK 0,048 Giga ton CO2 eq. Adaptasi bidang ketahanan pangan: Penurunan produksi pangan < 2%. Adaptasi bidang energi: Pangsa pemenuhan energi nasional dari PLTA (hydropwer) dan biofuel dapat mencapai ≥8%. Adaptasi bidang kesehatan: Tidak timbul kejadian luar biasa (KLB) dari kejangkitan penyakit utama yaitu malaria, DBD, dan diare. Adaptasi bidang permukiman: Tersedianya infrastruktur sanitasi yang cukup sehingga tercapai kualitas lingkungan yang baik di kawasan permukiman yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi bidang infrastruktur: Kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan di wilayah pesisir akibat perubahan iklim dapat diminimalisasi menjadi <1%. Adaptasi bidang ekosistem: Tutupan hutan pada daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa >15% dan di Luar Jawa >25%; laju kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim (terutama akibat kejadian iklim ekstrim) adalah <1%. Adaptasi bidang perkotaan: Tercapainya penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan dengan luas ≥ 30%. Adaptasi bidang pesisir dan pulau-pulau kecil: Penambahan luas permukiman pesisir yang tergenang air laut <1%; dan penurunan produksi perikanan budidaya pesisir akibat dampak perubahan iklim <1%.
IV-2
DAFTAR PUSTAKA Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 2010. Rencana Strategis Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika Tahun 2010-2014. Departemen Pekerjaan Umum (PU). 2007. Konsep Rencana Aksi Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Bidang Pekerjaan Umum. Jakarta. Department of Climate Change. 2010. Adapting to Climate Change in Australia: An Australian Government Position Paper. Commonwealth of Australia. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). 2011. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia. Jakarta. Haeruman Js., H. 2013. Implementasi Kebijakan dan Program Penanganan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Tiap Sektor Dalam RPJM. Makalah disampaikan dalam FGD Background Study bidang Lingkungan Hidup untuk RPJMN 2015-2019. Bappenas. Jakarta 29 Juli 2013. ISDR (The International Strategy for Disaster Reduction). 2009. Adaptation to Climate Change by Reducing Disaster Risks: Country Practices and Lessons. The United Nations. Geneva. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010c. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR (Sektor Pertanian). Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010d. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR (Sektor Kesehatan). Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010d. Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta. ISBN: 978979-3764-60-3. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010e. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR (Sektor Kelautan dan Perikanan). Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010f. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR (Sektor Sumber Daya Air). Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010f. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR (Sektor Limbah). Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2011. Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta.
P-1
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2012a. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Jakarta. ISBN 978-979-3764-79-5. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2013a. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API). Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013b. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010 -2014. Jakarta. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (Kemenn ESDM). 2010. Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2010-2014. Jakarta Kementerian Kehutanan (Kemenhut). 2010. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2012. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014. Jakarta. Kementerian Pertanian (Kementan). 2009. Rancangan Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta.
Rencana
Strategis
Kementerian Perhubungan (Kemenhub). 2010. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Perhubungann Tahun 2010-2014. Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen-PU). 2010. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010-2014. Jakarta. Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (BAPPENAS). 2010a. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR (Synthesis Report). Jakarta. ISBN 978-979-3764-49-8, 1st Edition. Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (BAPPENAS). 2010b. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR (Forestry Sector). Jakarta. Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (BAPPENAS). 2012b. National Action Plan for Climate Change Adaptation (RAN-API). Ministry of Environment 2010. Indonesia Second National Communication Under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta. Salim, E. 2010. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan, dalam Azis, I.J., L.M. Napitupulu, A.A. Patunru, B.P. Resosudarmo (editor). 2010. Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Jakarta. Sofian, I, K. Kozai, and T. Ohsawa, (2008), Investigation on the relationship between wind-induced volume transport and mean sea level in the Java Sea using an oceanic general circulation model, J. Met. and Ocean. Soc. of Japan, Umitosora, 84:1-17. World Bank. 2010. World Development Report 2010: Development and Climate Change. Washington, DC. © World Bank. https://openknowledge.worldbank. org/handle/10986/4387 License: CC BY 3.0 IGO.
P-2
World Bank Group. 2010a. Bangladesh: Economics of Adaptation to Climate Change. Washington, DC. World Bank Group. 2010b. Ethiopia: Economics of Adaptation to Climate Change. Washington, DC. World Bank Group. 2010c. Vietnam: Economics of Adaptation to Climate Change. Washington, DC.
P-3
Tabel Lampiran 1. Matriks Kebijakan dan Program Adaptasi Perubahan Iklim 2015
2016
Target 2017
<3%
<2%
<2%
<1%
<1%
Kementan
<2%
<2%
<1%
<1%
<1%
Kementan
<1%
<1%
<0,5%
<0,5%
<0,5%
Kementan
>5%
>5%
>10%
>15%
>20%
Kementan
Lingkup lokasi pemantauan dan evaluasi perlindungan dan pengayaan sumberdaya Ikan
27 Prov.
30 Prov.
34 Prov.
34 Prov.
34 Prov.
KKP, LIPI
Lingkup lokasi inventarisasi dan evaluasi perlindungan dan pengayaan sumberdaya Ikan Rata-rata peningkatan produksi perikanan tangkap di setiap provinsi Lingkup provinsi pengembangan minapadi
27 Prov.
30 Prov.
34 Prov.
34 Prov.
34 Prov.
KKP
2%
2%
>2%
>2%
>2%
KKP
10 Prov.
12 Prov.
15 Prov.
18 Prov.
22 Prov.
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
I.
Bidang Ketahanan Pangan Minimalisasi kehilangan produksi akibat luas daerah terkena/ puso akibat banjir, kekeringan dan lainnya. Meminimalisasi kehilangan hasil melalui pengendalian OPT Pangan dan Perkebunan
Penurunan produksi pangan < 2% Persentase luas tanam yang puso akibat banjir dan kekeringan sebagai dampak perubahan iklim Persentase luas tanam tanaman pangan yang mengalami serangan OPT sebagai dampak perubahan iklim Persentase luas tanam tanaman perkebunan yang mengalami serangan OPT sebagai dampak perubahan iklim Persentase petani yang menjadi peserta asuransi indeksa iklim.
1 2
3
4
5
6 7 8
Pengembangan sistem perlindungan usaha tani akibat kejadian iklim ekstrim melalui Asuransi Indeks Iklim (Weather Index Insurance) Peningkatan jumlah lokasi pemantauan dan evaluasi perlindungan dan pengayaan sumberdaya ikan Inventarisasi sumberdaya ikan di perairan teritorial dan kepulauan Pengembangan Sistem Pengelolaan Perikanan Tangkap Pengembangan minapadi
2018
2019
Penanggung Jawab
KKP, Kementan
L-1
No. 9
10
11 12 13
14
15
Kebijakan dan Program Pemantapan dan pengawalan kestabilan Sistem Perbenihan Ikan untuk Budidaya Perikanan Tawar, Payau dan Laut Pemantapan dan pengawalan Kestabilan Sistem Kesehatan Ikan dan Lingkungan Pembudidayaan Ikan Pengembangan alternatif sumber pakan alami melalui teknologi biodigester Revitalisasi tambak-tambak yang idle Meningkatkan pelayanan dan kinerja prasarana sumber daya air dalam mendukung penyediaan air dan ketahanan pangan Pencetakan sawah baru yang didukung oleh pengembangan sistem tata ruang yang dapat menjamin keberkelanjutan layanan jasa tata air Reorientasi perluasan areal pertanian baru dan optimasi lahan (pemanfaatan lahan terlantar/terdegradasi).
Indikator Lingkup provinsi pemenuhan suplai benih ikan Lingkup provinsi pemenuhan kemantapan dan kestabilan kawasan perikanan budidaya yang sehat serta produk perikanan yang aman dikonsumsi Meningkatnya jumlah alternatif lokasi sumber pakan alami di wilayah Timur Indonesia Luas tambak idle yang dapat beroperasi kembali dengan teknologi ramah lingkungan (ha) Terlaksananya pembangunan, pengelolaan dan rehabilitasi waduk dan daerah irigasi untuk mengendalikan debit musiman Lingkup provinsi pertambahan luas areal sawah baru pada daerah dengan kondisi ekosistem yang mendukung Termanfaatkannya lahan terdegradasi/terlantar untuk perluasan areal pertanian di seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta, sebagai sumber pertumbuhan baru produksi pangan untuk mengimbangi laju
2015 27 Prov.
2016 30 Prov.
Target 2017 34 Prov.
34 Prov.
34 Prov.
34 Prov.
Pangkep, Sulsel; 5.000
Gorontalo T. Tomini Sulteng; 10.000
20.000
2018 34 Prov.
2019 34 Prov.
Penanggung Jawab KKP
34 Prov.
34 Prov.
KKP
Mamuju, Sulbar 30.000
Maluku dan KKP, LIPI Maluku Utara 34.000 KKP
Penyelesaia Pembangun Pembangun Pembangun Pembangun Kemen.PU n 6 waduk an 3 waduk an 4 waduk an 3 waduk an 3 waduk baru baru baru baru Maluku
150.000
NTT
250.000
NTB
350.000
Papua
500.000
Papua Barat Kementan
750.000
Kementan, LIPI, BPN
L-2
No.
16
17
Kebijakan dan Program
Penelitian dan Pengembangan dalam rangka peningkatan kapasitas produksi pangan melalui perluasan dan pengembangan areal pertanian baru berwawasan lingkungan dan berbasis prinsip- prinsip pengembangan wilayah yang berkonfigurasi spasial kepulauan. Identifikasi dan pemetaan lahan terlantar dan/atau lahan gambut potensial dan beresiko kecil untuk perluasan areal pertanian
18
Analisis Pengembangan Daya Dukung (carrying capacity) untuk perikanan budidaya dan tangkap
19
Pengembangan budidaya ikan di lahan basah
Indikator peningkatan kebutuhan dan konpensasi resiko penurunan produksi akibat perubahan iklim, dengan luas total mencapai 750.000 ha. Liputan ketersediaan informasi tentang potensi perluasan areal dan sumber pertumbuhan produksi baru yang berkonfigurasi kepulauan
Liputan ketersediaan peta dan informasi tentang lahan terdegradasi/terlantar dan lahan gambut yang potensi bagi perluasan areal dan sumber pertumbuhan produksi baru Liputan ketersediaan informasi daya dukung (carrying capacity) untuk kegiatan perikanan budidaya dan perikanan tangkap Penambahan lokasi baru perikanan budidaya di lahan basah di Indonesia
2015
2016
Target 2017
Sumatera
Kalimantan
Sumatera
Kalimantan
Teluk Tomini Daerah Timur: Pangkep, Gorontalo, T. Tomini, Mamuju
Maros
33 prov.
Penanggung Jawab
2018
2019
Sulawesi
Maluku dan Nusa Tenggara
Papua
Kementan, LIPI, BPN
Sulawesi
Maluku dan Nusa Tenggara
Papua
Kementan, LIPI, BPN
Gorontalo
Perairan Indonesia Timur
Kementan
33 prov.
33 prov.
Pangkep
33 prov.
KKP
L-3
No.
Kebijakan dan Program
20
Penerapan kebijakan ekonomi biru dengan pendekatan daya dukung perairan di Sumatera Barat sebagai Sentra Tuna
21
Perluasan areal pertanian pada lahan sub optimal (lahan kering dan rawa) dengan resiko iklim dan lingkungan yang minimum Pengembangan Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) – Jaringan Irigasi Desa (JIDES), yang terintegrasi tanaman-ternak Rehabilitasi dan konservasi DAS hulu untuk meningkatan daya serap air untuk mengurangi ancaman kekeringan dan banjir Rehalibitasi dan peningkatan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal (penangkapan dan penanganan hasil tangkap ikan) hingga TPI dan unit pengolahan; serta pengembangan manajemen stok/logistik Pengembangan “Kawasan Rumah Pangan Lestari” (KRPL) untuk mewujudkan kemandirian pangan
22
23
24 25
26
Indikator Tersedianya rekomendasi pengelolaan dan/model pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir berdasarkan karakteristik daya dukung Bertambahnya lahan pertanian baru pada lahan-lahan sub-optimal, terutama di lahan terdegradasi dan terlantar Luas areal yang diari oleh JITUTJIDES (ha) Membaiknya kondisi DAS kritis dan berkurangnya ancaman kekeringan dan banjir Meningkatnya volume/debit penyaluran air irigasi ke jaringan tersier Terciptanya sistem rantai dingin dan manajemen stok/logistik penanganan hasil perikanan tangkap dan budidaya. Tersedianya bahan pangan dan alternatif di tingkat RT pada wilayah rentan akibat dampak perubahan
Target Penanggung Jawab 2015 2016 2017 2018 2019 Sumatera WPP-RI WPP-RI WPP-RI WPP-RI KKP Barat 571; WPP- 711; WPP- 714; WPP- 717; WPPRI 572; RI 712; RI 715; RI 718 WPP-RI 573 WPP-RI WPP-RI 713; 716; Sumatera Sumatera Kalimantan Kalimantan, Sulawesi Kementan Sulawesi 100.000
150.000
250.000
350.000
500.000
Kemen-PU, Kementan
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi 33 prov.
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi 33 prov.
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi 33 prov.
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi 33 prov.
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi 33 prov.
Kemenhut, Kemen-PU
33 prov.
33 prov.
33 prov.
33 prov.
33 prov.
KKP
34 prov.
34 prov.
34 prov.
34 prov.
34 prov.
Kementan
Kemen-PU
L-4
No.
27
28
29
melalui pemanfaatan pekarangan, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal dan peningkatan peran laki-laki dan perempuan secara berimbang dalam KRPL Ekplorasi dan pengembangan komoditas pangan lokal alternatif yang lebih tahan cekaman iklim dan hemat input Penganekaragaman jenis tanaman dan rotasi tanaman untuk menekan kerugian akibat kegagalan suatu jenis tanaman akibat iklim ekstrim. Optimasi lahan rawa lebak termasuk pengembangan tata air mikro (TAM)
30
Pengembangan “System of Rice Intensification” (SRI) dan penguatan kapasitas kelembagaan petani.
31
Sekolah Lapang-Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bagi petani Pembangunan model tanaman perkebunan tahan kekeringan
32
2016
Target 2017
Bebetapa komoditas pangan alternatif Jawa, yang dapat dimanfaatkan untuk Sumatera penganeka ragaman pangan utama dan fungsiional Tersedianya model sistem usaha tani 33 prov. (SUT) yang lebih tahan terhadap kejadian iklim esktrim
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi 33 prov.
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara 33 prov.
Luas lahan rawa lebak optimal yang 550.000 ha termanfaatkannya untuk produksi pangan, terutama pada musim kemarau dan saat kejadian iklim/kemarau panjang, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua Luas tanam aplikasi SRI (ha) dengan 300.000 ha target peningkatan produksi padi, efisiensi air dan perbaikan kesuburan lahan, tanpa terpengaruh oleh iklim ekstrim Jumlah kelompok tani yang dilatih di 2.000 KT di berbagai daerah. 21 Prov. Lokasi provinsi pengembangan 21 prov. mofdel
750.000 ha
1.000.000 ha
500.000 ha
1.000.000 ha
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2018
2019
Penanggung Jawab
iklim
Nusa Tenggara, Maluku, Papua 33 prov.
Maluku, Papua
Kementan
33 prov.
Kementan
1.500.000 ha
2.000.000 ha
Kementan
1.500.000 ha
2.000.000 ha
Kementan
3.000 KT di 4.000 KT di 5.000 KT di 6.000 KT di 27 Prov. 30 Prov. 33 Prov. 33 Prov. 30 prov. 33 prov. 33 prov. 33 prov.
Kementan Kementan
L-5
No.
33
34
Kebijakan dan Program menggunakan istana cacing, irigasi tetes, pembuatan rorak, serta penanaman tanaman pelindung dan rumput gajah, yang terintegrasi dengan ternak Penerapan upaya pengurangan dampak bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan, erosi, gelombang pasang (robs) dan cuaca ekstrim secara struktural dan non-struktural Penguatan basis data terkait perubahan Iklim
Indikator
Lokasi provinsi penerapan upaya pengurangan dampak bencana cuaca ekstrim.
2015
2016
Target 2017
34 prov.
34 prov.
34 prov.
2018
2019
34 prov.
34 prov.
Liputan provinsi ketersediaan basis 33 prov. 33 prov. 33 prov. 33 prov. 33 prov. data spasial dan atribut yang terkait dengan perubahan iklim dan aktivitas pertanian dan perikanan 35 Program Terpadu Gerakan Nasional Liputan peran aktif Pemerintah 34 prov. 34 prov. 34 prov. 34 prov. 34 prov. Sadar Perubahan Iklim Daerah dalam melakukan kegiatan mitigasiu dan adaptasi perubahan iklim Pangsa pemenuhan energi II. Bidang Kemandirian Energi nasional dari PLTA (hydropwer) dan biofuel dapat mencapai ≥8% 1 Peningkatan produksi dan diversifikasi Peningkatan diversifikasi dan nilai KPHP di 26 KPHP di 28 KPHP di 30 KPHP di 34 KPHP di 34 hutan alam tambah jasa lingkungan dari kawasan Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi hutan alam (termasuk panas bumi dan air) melalui pembentukan Kesatuan Pengelola Hutan Provinsi (KPHP) 2
Percepatan pengukuhan kawasan hutan khususnya wilayah tangkapan
Tercapainya kejelasan status dan tata batas (km) kawasan hutan yang
43.514 km
50.000 km
55.000 km
60.000 km
Penanggung Jawab
Kemen-PU, BNPB
BMKG, KKP, Kementan KemenkoKesra
Kemenhut
63.000 km Kemenhut
L-6
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
hujan di daerah aliran sungai (DAS) lokasi dan rencana pengembangan PLTA dan Panas Bumi
merupakan wilayah tangkapan hujan di DAS
3
Percepatan penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Reklamasi Hutan di DAS Prioritas, khususnya di DAS lokasi PLTA dan Panas Bumi
Terjaminnya tanaman rehabilitasi hutan pada DAS prioritas.
4
Terselenggaranya pengelolaan DAS Terjaminnya base line data secara terintegrasi melalui peningkatan pengelolaan koordinasi lintar sektor/kementerian DAS
5
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
6
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
100.000 ha 200.000 ha 300.000 ha 400.000 ha 500.000 ha Kemenhut di 32 prov. di 32 prov. di 33 prov. di 33 prov. di 34 prov.
108 DAS
108 DAS
108 DAS
108 DAS
108 DAS
Kemenhut
Persentase penurunan luas kawasan hutan dan lahan yang terbakar
50%
50%
50%
50%
50%
Kemenhut
Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam
Persentase peningkatan pengusahaan pariwisata alam
10%
10%
10%
10%
10%
Kemenhut
7
Pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dapat diberikan secara selektif namun memiliki persentase pelayanan (%) yang tinggi dan tepat waktu
100%
100%
100%
100%
100%
Kemenhut
8
Penyediaan dan pengelolaan energi baru dan pelaksanaan konservasi energi di desa-desa terpencil
Liputan provinsi yang memiliki Desa Mandiri Energi berbasis bahan bakar nabati (BBN) dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan-lahan tidak produktif
15 prov.
20 prov.
25 prov.
30 prov.
33 prov.
9
Peningkatan pemanfaatan limbah
Jumlah kota yang mulai
Kemen-ESDM, Kementan, Kemenhut
200 kota di 300 kota di 400 kota di 500 kota di 600 kota di Kemen-ESDM L-7
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
organik untuk produksi gas dan energi di wilayah pemukiman padat, khususnya di wilayah yang dekat badan sungai
mengembangkan pemanfaatan limbah organik dari rumah tangga ataupun ternak untuk pemenuhan energi rumah tangga
2015
2016
Target 2017
15 prov.
20 prov.
25 prov.
10 Pengembangan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH)
Jumlah daya yang dibangkitkan melalui 5.000 MW PLTMH di 15 prov.
11 Pengembangan tanaman kayu energi
Liputan provinsi pengembangan tanaman kayu energi.
12 Pengembangan teknologi pengolahan Liputan provinsi pengembangan BBN bahan bakar nabati (BBN) berbasis (bio-etanol, bio-diesel, bio-oil, dan biokarbohidrat (bio-etanol), lemak dan kerosene). minyak (bio-diesel), selulosa dan hemiselulosa (bio-oil) dan bio-kerosene
2018
2019
30 prov.
34 prov.
Penanggung Jawab
7.500 MW 10.000 MW 12.500 MW 12.725 MW Kemen-ESDM, di 20 prov. di 25 prov. di 30 prov. di 33 prov. Kemenhut
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 33 Provinsi 33 Provinsi Kemenhut, Kemen-ESDM 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 33 Provinsi 33 Provinsi Kemenhut, Kemen-ESDM
13 Pelaksanaan Penelitian evaluasi dampak perubahan iklim dan tataguna lahan pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
Tersedianya informasi tentang dampak DAS PLTA DAS PLTA DAS PLTA DAS PLTA DAS PLTA Kemen-PU perubahan iklim dan tataguna lahan di Jawa di Jawa di Jawa , di di Sulawesi pada aliran permukaan di daerah aliran Sumatera Sumatera sungai (DAS) lokasi pembangkit listrik tenaga air
14 Penyusunan peta wilayah sasaran/prioritas untuk pengembangan energi dari limbah organic, bioenergi dan pico and micro hydro
Tersedianya peta wilayah prioritas pengembangan untuk produksi gas dan energi dari limbah organic, bioenergi dan pico and micro hydro, di berbagai provinsi.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 33 Provinsi 33 Provinsi Kemen-ESDM
L-8
III. 1
Tidak timbul kejadian luar biasa (KLB) dari kejangkitan penyakit Bidang Kesehatan utama yaitu malaria, DBD, dan diare Penguatan dan pemutakhiran basis Liputan provinsi lokasi 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes, LIPI, data dan informasi yang terkait dengan penyelenggaraan riset dan kajian yang BPPT, Kemeniklim, penyakit, dan kesehatan memberikan data dan informasi LH. masyarakat dampak perubahan iklim, seperti identifikasi munculnnya penyakit, penyebaran penyakit, perubahan/ variabel iklim, faktor risiko lingkungan, faktor risiko sosial, ekonomi dan geografi.
2
Pemetaan populasi dan daerah rentan Liputan provinsi pemetaan informasi perubahan iklim populasi dan daerah rentan terhadap perubahan iklim
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes, LIPI, BPPT, KemenLH.
3
Pengamatan dan pengendalian agen penyakit, perantara penyakit, kualitas lingkungan, dan infeksi pada manusia, khususnya pada kelompok rentan: wanita, anak, dan lanjut usia
Liputan provinsi kegiatan pengamatan dan pengendalian agen penyakit, perantara penyakit, kualitas lingkungan, dan infeksi pada manusia, khususnya pada kelompok rentan: wanita, anak, lanjut usia, masyarakat berpenghasilan rendah
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes
4
Peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan
Liputan provinsi kegiatan pemantauan dan pengumpulan data gejala mewabahnya penyakit menular dan penyakit tidak menular yang diakibatkan perubahan iklim, khususnya pada kelompok rentan: wanita, anak, lanjut usia, masyarakat
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes
L-9
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
berpenghasilan rendah, dan lainnya 5
Penguatan regulasi, peraturan perundangan, dan kapasitas kelembagaan
Liputan provinsi terselenggaranya 34 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes, koordinasi pembagian tugas, BAPPENAS, kewenangan, dan sumber daya antara Kemen-DAGRI pemerintah pusat dan daerah
6
Penelitian, pendidikan, dan pengembangan teknologi terkait perubahan iklim dan adaptasi terkait kesehatan
Liputan provinsi terselenggaranya penambahan dan pemeliharaan unit infrastruktur dan teknologi kesehatan yang dapat mendukung kegiatan adapatasi perubahan iklim terkait kesehatan
7
Peningkatan luasan wilayah pelayanan Liputan provinsi untuk peningkatan kesehatan yang dapat dijangkau wilayah pelayanan kesehatan. masyarakat, khususnya daerah rentan perubahan iklim dan masyarakat yang rentan, seperti wanita, anak, lanjut usia, masyarakat berpenghasilan rendah, dan lainnya
8
Peningkatan akses masyarakat terhadap air minum berkualitas
Persentase rumah tangga perkotaan dan perdesaan yang memiliki akses terhadap air minum berkualitas (%)
60%
65%
70%
75%
>75%
Kemenkes, Kemen-PU
9
Peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar
Persentase rumah tangga perkotaan dan perdesaan yang memiliki akses terhadap sanitasi dasar secara berkelanjutan (%)
60%
65%
70%
75%
>75%
Kemenkes, Kemen-PU
10 Pemberdayaan masyarakat dalam
Liputan provinsi terselenggaranya
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes L-10
No.
Kebijakan dan Program adaptasi perubahan iklim sesuai kondisi setempat
11 Peningkatan sosialisasi dan advokasi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim
IV.
Bidang Permukiman
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
pemberdayaan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim terkait kesehatan Liputan provinsi terselenggaranya sosialisasi dan advokasi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim Tersedianya infrastruktur sanitasi yang cukup sehingga tercapai kualitas lingkungan yang baik di kawasan permukiman yang rentan terhadap dampak perubahan iklim Liputan provinsi terselenggaranya kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir, sebagai konsep permukiman yang adaptif di wilayah pesisir
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenkes
1
Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir, sebagai konsep permukiman yang adaptif di wilayah pesisir
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenpera, Kemen-PU
2
Kajian pembangunan kawasan perumahan tapak yang berkelanjutan (sustainable landed housing area development)
Liputan provinsi terselenggaranya kajian pembangunan kawasan perumahan tapak yang berkelanjutan (sustainable landed housing area development)
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenpera, Kemen-PU
3
Penyediaan infrastruktur tanggap perubahan iklim di kawasan permukiman di perkotaan
Jumlah kota yang menyediakan infrastruktur tanggap perubahan iklim di kawasan permukiman
100 kota di 150 kota di 200 kota di 250 kota di 300 kota di Kemenpera, 15 prov. 20 prov. 25 prov. 30 prov. 34 prov. Kemen-PU
4
Penyediaan infrastruktur kawasan Liputan provinsi terselenggaranya permukiman di daerah rawan bencana penyediaan infrastruktur kawasan
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenpera, Kemen-PU, L-11
No.
V.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
perubahan iklim
permukiman di daerah rawan bencana perubahan iklim
5
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang adaptasi terhadap perubahan iklim pada kawasan perkotaan dan perdesaan
Liputan provinsi terselenggaranya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang adaptasi terhadap perubahan iklim pada kawasan perkotaan dan perdesaan
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenpera, Kemen-PU
6
Peningkatan partisipasi dan kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di wilayah rentan
Liputan provinsi terselenggaranya peningkatan partisipasi dan kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di wilayah rentan
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenpera, Kemen-PU, Kemendagri, BNPB
7
Peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana akibat perubahan iklim di wilayah rentan
Liputan provinsi terselenggaranya peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana akibat perubahan iklim di wilayah rentan
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenpera, Kemen-PU, Kemendagri, BNPB
8
Penyediaan permukiman dengan struktur kuat dan adaptif terhadap perubahan iklim yang layak dan terjangkau
Liputan provinsi terselenggaranya penyediaan permukiman dengan struktur kuat dan adaptif terhadap perubahan iklim yang layak dan terjangkau
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenpera, Kemen-PU
Bidang Infrastruktur
BNPB
Kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan di wilayah pesisir akibat perubahan iklim dapat diminimalisasi menjadi <1% L-12
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
1
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan mengenai peningkatan ketahanan infrastruktur yang adaptif terhadap perubahan iklim
Liputan provinsi terselenggaranya penelitian dan pengembangan mengenai peningkatan ketahanan infrastruktur yang adaptif terhadap perubahan iklim
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU, KKP
2
Membangun infrastruktur pelindung pantai (tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, pintu air pasut, dsb)
Liputan provinsi terselenggaranya pembangunan infrastruktur pelindung pantai
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU, KKP
3
Pengurangan risiko terganggunya fungsi aksesibilitas pada jalan dan jembatan akibat dampak perubahan iklim
Liputan provinsi terselenggaranya 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU, KKP upaya pengurangan risiko terganggunya fungsi aksesibilitas pada jalan dan jembatan akibat dampak perubahan iklim
4
Penguatan institusi, capacity building, Liputan provinsi terselenggaranya 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU, dan fasilitasi pemerintah daerah dalam penguatan institusi, capacity building, Kemendagri pengelolaan air bersih dan air limbah. dan fasilitasi pemerintah daerah dalam pengelolaan air bersih dan air limbah.
5
Pengembangan sarana dan prasarana sistem drainase, sanitasi, dan pengolahan limbah yang tangguh terhadap perubahan perubahan iklim
Liputan provinsi terselenggaranya upaya pengembangan sarana dan prasarana sistem drainase, sanitasi, dan pengolahan limbah yang tangguh terhadap perubahan perubahan iklim.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU, Kemendagri
L-13
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
6
Penerapan konsep dan struktur kota dan wilayah berdasarkan kajian kerentanan masyarakat dan infrastruktur yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Liputan provinsi yang mengindentifikasi kawasan rentan dan menenerapkan konsep dan struktur kota dan wilayah berdasarkan kajian kerentanan masyarakat dan infrastruktur yang adaptif terhadap perubahan iklim.
7
Penerapan pembangunan kota hijau (green cities).
Liputan provinsi yang memiliki 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU kawasan perkotaan yang menerapkan pembangunan kota hijau (green cities).
VI.
8
9
Tutupan hutan pada daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa >15% Bidang Ekosistem dan Keragaman dan di Luar Jawa >25%; laju Hayati kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim (terutama akibat kejadian iklim ekstrim) adalah <1% Identifikasi dan pemetaan kerentanan Liputan provinsi yang telah kawasan hutan, ekosistem laut, DAS, menyediakan peta kerawanan dan dan kekayaan keanekaragaman hayati informasi keterancaman kawasan terhadap dampak perubahan iklim. hutan, DAS, ekosistem laut dan keanekaragaman hayati terhadap perubahan iklim. Kajian Penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS dan keanekaragaman hayati melalui Review rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) dan Peta Kerawanan serta Keterancaman.
Terselesaikannya review RTRWP berdasarkan kajian peta kerawanan serta Keterancaman ekosistem hutan
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Bappenas, Kemen-LH, Kemenhut, Kemen-PU, KKP, BMKG 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Bappenas, Kemen-PU
L-14
No.
Kebijakan dan Program
10
Kajian Penataan ruang dan penatagunaan ekosistem laut melalui review RTRWP serta peta kerawanan dan keterancaman
Indikator Terselesaikannya review tata ruang ekosistem laut berdasarkan peta kerawanan serta keterancaman ekosistem laut
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Bappenas, KKP, Kemen-PU
11 Pemantapan kawasan hutan sebagai bagian dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati
Tersedianya dokumen dan peraturan 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Bappenas, yang menjamin tercapainya luas Kemenhut kawasan hutan yang optimal sesuai dengan fungsi dan kebutuhan adaptasi serta konflik minimal
12 Pengembangan sistem Penjagaan kawasan konservasi laut.
Liputan provinsi yang telah mengembangkan sistem Penjagaan kawasan konservasi laut.
13 Perbaikan peraturan perundangTercapainya keselarasan peraturan undangan, melalui penyelarasan perundang-undangan yang terkait berbagai undang-undang (UU) yang pemantapan kawasan hutan. terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 14 Penyelesaian kegiatan pengukuhan kawasan hutan dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang tumbuh dan hidup di masyarakat.
Liputan provinsi yang telah menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan.
15 Penetapan dan implementasi organisasi Liputan provinsi yang telah pengelola kawasan hutan yaitu menetapkan KPH. Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) di seluruh Indonesia.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi KKP
1 UU
1 UU
2 UU
2 UU
2 UU
Bappenas
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenhut
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenhut
L-15
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
16 Kajian pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam, melalui: a. Penyusunan peta potensi & investasi jasa lingkungan. b. Penyusunan peta potensi & investasi wisata alam. c. Pengembangan kegiatan promosi dan pemasaran jasa lingkungan & wisata alam
Tersusunnya peta potensi dan peta jalan investasi dan pemasaran jasa lingkungan dan wisata alam sebagai bagian integral dari pengelolaan hutan, diberbagai daerah seluruh Indonesia..
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
17 Pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam.
Terselenggaranya pengelolaan investasi dan pemasaran jasa lingkungan dan wisata alam sebagai bagian integral dari pengelolaan hutan
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
18 Kajian dan persiapan wilayah-wilayah Tersedianya panduan untuk tertentu sebagai pusat produksi hasil implementasi pengelolaan kawasan hutan tertentu, melalui: secara terpadu. a. Penyusunan data base dan peta potensi hutan. b. Penyusunan data base dan peta sarana dan prasarana. c. Penyusunan data base dan peta lingkungan demografi.
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
19 Pengembangan Kawasan konservasi dan Ekosistem Esensial.
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
Menurunnya konfliknya dan tekanan terhadap kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya (CA, SM, TB dan HL )
L-16
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
2015
2016
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
21 Pengembangan konservasi spesies dan Meningkatnya populasi spesies genetik. terancam punah sesuai ketersediaan habitat
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
22 Pengelolaan dan Pengembangan Konservasi Kawasan Ekosistem laut.
Perluasan kawasan konservasi laut
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
KKP
23 Pengembangan program rehabilitasi ekosistem terumbu karang.
Menurunnya kerusakan kawasan terumbu karang
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
KKP
24 Pengembangan program rehabilitasi Tercapainya rehabilitasi hutan pada hutan dan lahan dan reklamasi hutan di lahan kritis dan DAS Prioritas,serta DAS Prioritas. hutan mangrove dan lahan gambut
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
25 Pengembangan program dan sentra perbenihan tanaman hutan tahan kekeringan dan cuaca ekstrim.
Jawa, Sumatera
Kalimantan dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Kemenhut
20 Penyidikan dan perlindungan hutan
Meningkatnya penyelesaian kasus baru tindak pidana kehutanan (illegal logging perambahan, perdagangan tumbuhan dan satwa liar (TSL) illegal, penambangan illegal, dan kebakaran)
Tersedianya sumber benih berkualitas tahan kekeringan dan cuaca ekstrim
26 Kegiatan Fasilitasi Pemberdayaan Adat Liputan provinsi dalam Kegiatan dan Sosial Budaya Masyarakat dalam Fasilitasi Pemberdayaan Adat dan program rehabilitasi lingkungan. Sosial Budaya Masyarakat dalam program rehabilitasi lingkungan.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenhut
27 Pemulihan ekosistem di kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenhut
Liputan provinsi dalam Kegiatan pemulihan ekosistem di kawasan
L-17
No.
Kebijakan dan Program hutan produksi.
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi
28 Meningkatkan pengawasan Berkurangnya kebakaran lahan pengelolaan lahan gambut untuk tidak gambut dibakar
Sumatera, Sumatera, Sumatera, Sumatera, Sumatera, Kemenhut Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimantan
29 Pengembangan Teknologi dan kapasitas Pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Liputan provinsi dalam pengembangan teknologi dan kapasitas Pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenhut
30 Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi untuk Pemantauan kualitas ekosistem.
Liputan provinsi dalam Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi untuk Pemantauan kualitas ekosistem.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-LH, Kemenhut, KKP, BMKG, BNPB
31 Pengembangan kebijakan kehutanan terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Liputan provinsi dalam implementasi kebijakan kehutanan terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenhut
32 Penelitian dan pengembangan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam dan lingkungan.
Liputan provinsi dalam penelitian dan 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemenhut, KKP, pengembangan konservasi dan Kemen-LH rehabilitasi sumber daya alam dan lingkungan.
33 Peningkatan pengelolaan sumber daya Liputan provinsi dalam peningkatan laut, pesisir dan pulaup-pulau kecil. pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulaup-pulau kecil.
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi KKP, Kemen-LH
L-18
VII.
Bidang Perkotaan
Tercapainya penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan dengan luas ≥ 30% Jumlah kawasan perkotaan yang menyusun peta kerentanan akibat perubahan iklim .
1
Penyusunan peta kerentanan akibat perubahan iklim untuk kawasan perkotaan
50 kawasan 100 150 200 250 Bappenas, di 15 prov. kawasan di kawasan di kawasan di kawasan di Kemen-PU, 20 prov. 25 prov. 30 prov. 34 prov. Kemen-LH, BNPB
2
Pengawasan dan pengendalian untuk penataan ruang dan zonasi kawasan perkotaan terhadap perubahan iklim .
Terselenggaranya kegiatan yang mengontrol penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam kawasan perkotaan yang rentan terhadap perubahan iklim
3
Penerapan pembangunan kota hijau (green cities).
Liputan provinsi yang memiliki 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU kawasan perkotaan yang menerapkan pembangunan kota hijau (green cities).
4
Penyusunan strategi pembangunan permukiman dan infrastruktur perkotaan yang terintegrasi dan sesuai dengan arah pembangunan kota secara ”komprehensif” termasuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Liputan provinsi yang memiliki 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU, kawasan perkotaan yang telah Kemenpera menyusun strategi pembangunan permukiman dan infrastruktur perkotaan yang terintegrasi dan sesuai dengan arah pembangunan kota secara ”komprehensif”.
5
Penyediaan sistem drainase perkotaan Jumlah kawasan perkotaan yang telah 50 kawasan 100 150 200 250 Kemen-PU, yang berwawasan lingkungan menyusun standar dan peraturan di 15 prov. kawasan di kawasan di kawasan di kawasan di Kemenpera sistem drainase perkotaan yang 20 prov. 25 prov. 30 prov. 34 prov. berwawasan lingkungan
6
Pengurangan risiko terganggunya Liputan provinsi pelaksanaan fungsi jalan yang bersumber pada kebijakan dan program pengurangan dampak banjir, kenaikan muka air laut, risiko terganggunya fungsi jalan akibat
50 kawasan 100 150 200 250 Bappenas, di 15 prov. kawasan di kawasan di kawasan di kawasan di Kemen-PU, 20 prov. 25 prov. 30 prov. 34 prov. Kemen-LH
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU
L-19
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
dan bencana iklim lainnya, melalui: perubahan iklim. • Penyediaan database ruas-ruas jalan nasional yang rentan terhadap bencana iklim • Penyusunanan konsep dan pilot sistem drainase jalan yang baik sebagai bagian dari perlindungan fungsi jalan dari risiko genangan/banjir • Penyesuaian elevasi dan struktur • Relokasi jalan-jalan strategis nasional yang memiliki kerentanan tinggi terhadap ancaman bencana 7
Sosialisasi dan penyadaran masyarakat terhadap fenomena dan dampak perubahan iklim.
Liputan provinsi pelaksanaan kebijakan dan program sosialisasi dan penyadaran masyarakat terhadap fenomena dan dampak perubahan iklim..
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU
8
Peningkatan penyediaan infrastruktur dan kualitas lingkungan di kawasan perkotaan
Jumlah kawasan perkotaan yang diliput dalam kebijakan dan program peningkatan penyediaan infrastruktur dan kualitas lingkungan di kawasan perkotaan
50 kawasan 100 150 200 250 Kemen-PU, di 15 prov. kawasan di kawasan di kawasan di kawasan di Kemenpera 20 prov. 25 prov. 30 prov. 34 prov.
9
Pengembangan kapasitas kelembagaan dan jaringan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim .
Liputan provinsi pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan dan jaringan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan
26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU
L-20
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
iklim.. 10 Peningkatan kapasitas penelitian Liputan provinsi pelaksanaan 26 Provinsi 28 Provinsi 30 Provinsi 34 Provinsi 34 Provinsi Kemen-PU tentang fenomena dan dampak pengembangan kapasitas perubahan iklim di kawasan perkotaan. kelembagaan dan jaringan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.. Penambahan luas permukiman pesisir yang tergenang air laut Bidang Pesisir dan Pulau-Pulau VIII. <1%; dan penurunan produksi Kecil perikanan budidaya pesisir akibat dampak perubahan iklim <1% 1 Peningkatan ketahanan sumber daya Liputan provinsi pelaksanaan tindakan 26 prov. 28 prov. 30 prov. 34 prov. 34 prov. KKP, Kementan, pertanian dan tambak pesisir terhadap adaptasi terhadap bencana kenaikan Kemen-PU ancaman perubahan iklim muka air laut bagi sawah dan tambak di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 2
Peningkatan kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Liputan provinsi pelaksanaan peningkatan kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP, Kemen-PU
3
Pengembangan coastal resilience village (CRV) atau Desa Pesisir Tangguh
Liputan provinsi Pengembangan coastal resilience village (CRV) atau Desa Pesisir Tangguh
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP, Kemen-PU
4
Pengembangan pemanfaatan sumber Tersedianya aksesibiltas bagi daya pesisir dan pulau-pulau kecil bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau masyarakat. kecil untuk mengakses sumber daya yang ada secara berkelanjutan, khususnya bagi kaum wanita.
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP
L-21
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
5
Peningkatan infrastruktur (jaringan transportasi, telekomunikasi, listrik, air bersih) di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terluar
Persentase liputan pulau kecil terluar yang dijangkau program peningkatan infrastruktur (jaringan transportasi, telekomunikasi, listrik, air bersih) .
30%
50%
70%
90%
100%
Kemendagri, KKP, KemenPU, Kemenhub
6
Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung non struktural atau alamiah pantai dan kawasan di belakangnya
Liputan provinsi terlaksananya kegiatan pembangunan pelindung pantai non struktural seperti vegetasi pantai, gumuk pasir, dan terumbu karang
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP, KemenPU, Kemenhut
7
Pemeliharaan dan rehabilitasi sumber daya air di pesisir dan pulau-pulau kecil
Liputan provinsi terlaksananya kegiatan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan, seperti dengan menggunakan sumur resapan, dam, tanggul, drainase, dan pengelolaan air minum dengan menggunakan teknologi yang sederhana dan tepat guna..
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP, Kemen-PU
8
Pengembangan sistem peringatan dini Liputan provinsi terlaksananya bencana klimatologi dan oseanografi. pengadaan alat sistem peringatan dini di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan terhadap bencana klimatologi dan oseanografi.
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP, KemenPU, Kemenhub, BMKG, BNPB.
9
Pengawasan dan pengendalian untuk Liputan provinsi terlaksananya penataan ruang dan zonasi pesisir dan pengawasan dan pengendalian untuk perairan terhadap perubahan iklim. penataan ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap perubahan iklim.
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP, KemenPU, Bappenas
26 prov.
28 prov.
30 prov.
34 prov.
34 prov.
KKP, Bappenas
10 Penguatan kelembagaan dan
Liputan provinsi terlaksananya
L-22
No.
Kebijakan dan Program
Indikator
2015
2016
Target 2017
2018
2019
Penanggung Jawab
koordinasi lintas sektor bidang mitigasi program penguatan kelembagaan dan dan adaptasi perubahan iklim di koordinasi lintas sektor bidang mitigasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. dan adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sumber: Disarikan dari RAN-API (Bappenas, 2012b)
L-23
Tabel Lampiran 2 Matriks Kebijakan dan Program Mitigasi Perubahan Iklim Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program
I.
Mitigasi Sektor Berbasis Lahan (Kehutanan, Lahan Gambut, dan Pertanian)
1
Jambi
2
3
4
Yogyakarta
Jawa Tengah
DKI-Jakarta
2017
2018
2019
Pembangunan KPHP/KPHL
1
1
1
1
1
2
Restrukturisasi Industri Hutan
-
-
-
-
-
1
Biogas
24.821
27.303
30.033
33.036
36.340
2
Kompos
19.886
21.875
24.062
26.468
29.115
3
Penambahan tutupan lahan
0
0
0
0
0
4
Pupuk organik
1.411
1.552
1.707
1.878
2.066
1
278.800
306.680
337.348
371.083
408.191
2
Pelatihan dan penerapan metode system of rice intensification (SRI) dan pengaturan teknik pengairan Pembangunan biogas limbah ternak sapi
4.651
5.116
5.627
6.190
6.809
3
Penggunaan limbah pertanian dan makanan ternak lokal
10.250
11.275
12.403
13.643
15.007
4
969
1.066
1.173
1.290
1.419
5
Rehabilitasi hutan dan lahan kritis dan reklamasi hutan di DAS prioritas Peningkatan produksi hasil hutan bukan kayu/jasa lingkungan
7.562
8.319
9.150
10.065
11.072
1
Program one man one tree
-
-
-
-
-
2
77
85
93
103
113
365
401
442
486
534
-
-
-
-
-
1
Pembebasan lahan untuk hutan kota, kebun bibit, pertanian darat, pekarangan, cagar budaya/agrowisata, sentra tanaman hias Pembebasan lahan untuk RTH dan penghijauan, program tanam kota/lingkungan, median jalan tol, lapangan olahraga, pemakaman, hijau taman, dan lain-lain Penghijauan vertikal di gedung dan jalan layang, penghijauan atap datar di gedung, dan taman di dalam bangunan Pemeliharaan dan operasionalisasi jaringan irigasi
4.100
4.510
4.961
5.457
6.003
2
Penerapan SL-PHT dan SL-PTT
387.450
426.195
468.815
515.696
567.266
3
Penggunaan pupuk organik dan pengendalian hama
1.484.200
1.632.620
1.795.882
1.975.470
2.173.017
4 Sulawesi Tengah
2016
1
3
5
2015
L-24
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
6
Wilayah
Sulawesi Utara
Kebijakan dan Program 2019
428.222
471.044
518.149
569.964
626.960
1.310.360
1.441.396
1.585.536
1.744.089
1.918.498
Pembentukan KPH dan pengukuhan kawasan
6
Pembangunan HTI ex-HPH, HTR, HKm, HD (total 167.593 Ha)
673.767
741.143
815.258
896.783
986.462
7
Restorasi ekosistem ex-HPH (48.000 Ha)
192.700
211.970
233.167
256.484
282.132
8
Pengelolaan mangrove 900 Ha Rehabilitasi hutan dan lahan
3.075
3.383
3.721
4.093
4.502
1
Pembangunan Reaktor Anaerobik Unggun Tetap (RANUT) di setiap Pabrik Kelapa Sawit Sosialisasi proses pembuatan Kompos dari TKS dan LCPKS dengan sistem BUNKER Pengurangan penggunaan Urea di kebun kelapa sawit dengan aplikasi kompos TKS Penerapan sistem SRI
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5
Kalimantan Timur
2018
5
4
8
2017
Ekstensifikasi tanaman perkebunan (sawit dan kakao)
3
Kalimantan Barat
2016
4
2
7
2015
6
Rehabilitasi mangrove 50.000 ha di Langkat dan Karang Gading Pemantapan kawasan hutan
7
Pembangunan hutan dan usaha hutan tanaman
1
-
-
-
-
-
67.538
74.292
81.721
89.893
98.883
324.184
356.602
392.262
431.489
474.637
1.811.128
1.992.241
2.191.465
2.410.611
2.651.673
Fasilitasi bibit karet pro bangkara
451.708
496.878
546.566
601.223
661.345
2
Fasilitasi bibit karet untuk daerah tertinggal dan perbatasan
91.477
100.624
110.687
121.756
133.931
3
Fasilitasi bibit kakao
10.821
11.903
13.093
14.402
15.842
4
Fasilitasi bibit kelapa dan lada
23.208
25.528
28.081
30.889
33.978
5
Rehabilitasi hutan dan pemberdayaan masyarakat
-
-
-
-
-
6
Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran
-
-
-
-
-
1
"Penerapan good agriculture practices dan HCV" serta "Penerapan metode Pembukaan Lahan tanpa bakar Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis di kawasan hutan lindung, hutan terdegradasi, hutan produksi yang belum dibebani ijin dan kawasan hutan gambut Penerapan Sustainable Forest Management dan High
3.556.750
3.912.425
4.303.668
4.734.034
5.207.438
1.998.750
2.198.625
2.418.488
2.660.336
2.926.370
174.250
191.675
210.843
231.927
255.119
2
3
L-25
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
9
Wilayah
Sumatera Selatan
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
1
Conservation Value Forest serta Peningkatan Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis Program Minimasi Emisi CO2 dari Sawah
945.391
1.039.930
1.143.923
1.258.315
1.384.147
2
Program Pengelolaan Jerami Tanpa Bakar
13.792
15.171
16.689
18.357
20.193
3
Program Mitigasi Emisi GRK Asal Ternak
381.863
420.049
462.054
508.259
559.085
4
Peningkatan, Rehabilitasi, Operasi, dan Pemeliharaan Jaringan Reklamasi Jawa Pengelolaan Lahan Gambut untuk pertanian berkelanjutan
41.089
45.197
49.717
54.689
60.158
2.561
2.817
3.098
3.408
3.749
Pengembangan Pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar dan terdegradasi untuk mendukung sub sektor perkebunan, peternakan, dan hortikultura Perluasan pengelolaan sumber daya alam berbasis nagari (PELANA) Pengembangan Ekonomi Hijan (BANGAU)
501.429
551.571
606.729
667.401
734.142
6.198.434
6.818.277
7.500.105
8.250.115
9.075.126
6.198.434
6.818.277
7.500.105
8.250.115
9.075.126
6.198.434
6.818.277
7.500.105
8.250.115
9.075.126
41.827
46.009
50.610
55.671
61.238
36.040
39.644
43.608
47.969
52.766
23.538
25.892
28.481
31.329
34.462
93.664
103.031
113.334
124.667
137.134
2.018
2.220
2.442
2.686
2.954
5 6
10
Sumatera Barat
1 2 3
11
Kepualauan Riau
1 2
3
4 5
Rehabilitasi hutan dan lahan dalam mitigasi bencana (RELAMINA) Rehabilitasi Hutan dan lahan pada unit perencanaan hutan produksi konversi Penghijauan lingkungan pada unit perencanaan Areal Penggunaan lain seluas 1.902,67 Ha yang dilakukan pada penutupan ahan semak belukar menjadi hutan lahan kering sekunder Penghijauan lingkungan pada unit perencanaan Areal Penggunaan lain seluas 1.902,67 Ha yang dilakukan pada penutupan lahan Pertanian Lahan Kering menjadi hutan lahan kering sekunder dengan cara pendekatan pada masyarakat agar dapat menanam tanaman kayu-kayuan jenis multipurpose tree spesies seperti kemiri, karet, durian, dan lain-lain Mengubah kotoran ternak menjadi biogas Mensubstitusi penggunaan urea dengan pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak sebanyak 50%
L-26
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 12
13
Wilayah Jawa Timur
Gorontalo
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
-
-
-
-
-
2
Peningkatan penggunaan varietas padi sawah rendah emisi (varietas Padi Ciherang) Pengurangan dosis penggunaan pupuk urea, ZA, dan NPK
-
-
-
-
-
3
Pengembalian BO ke lahan sawah
-
-
-
-
-
4
Pemanfaatan kotoran ternak untuk biogas
-
-
-
-
-
5
-
-
-
-
-
1.640
1.804
1.984
2.183
2.401
2
Reboisasi/ Penanaman Hutan Kembali dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pelatihan dan penerapan metode system of rice intensification (SRI) Pengendalian penggunaan pupuk kimia
1.640
1.804
1.984
2.183
2.401
3
Peningkatan penggunaan pupuk organik dan biomassa
1.640
1.804
1.984
2.183
2.401
4
Pengaturan pola dan teknik pertanian
1.640
1.804
1.984
2.183
2.401
5
Pengembangan varietas padi rendah emisi
123
135
149
164
180
6
Penggunaan pupuk anorganik alternatif dan herbisida
66
72
79
87
96
7
Pembangunan biogas limbah ternak sapi
205
226
248
273
300
8
Penggunaan limbah pertanian dan pakan ternak lokal
74
81
89
98
108
9
Penggunaan probiotik dan suplemen lokal
41
45
50
55
60
10
Pemuliaan ternak jangka panjang
12
14
15
16
18
11
95
104
115
126
139
12
Rehabilitasi hutan dan lahan kritis, reklamasi hutan di DAS prioritas Peningkatan produksi hasil hutan bukan kayu/jasa lingkungan
31
34
38
41
45
13
Penataan batas kawasan hutan
-
-
-
-
-
14
Pengendalian kebakaran hutan
-
-
-
-
-
15
Pemberantasan illegal logging
-
-
-
-
-
16
Pengendalian perambahan hutan
-
-
-
-
-
17
Kemitraan usaha dalam hutan rakyat
-
-
-
-
-
1
1
L-27
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 14
Wilayah Jawa Barat
Kebijakan dan Program
Sulawesi Tenggara
2016
2017
2018
2019
1
Rehabilitasi hutan kota dan turus jalan
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
3
Rehabilitasi daerah rawan longsor dan kawasan perlindungan setempat Pembangunan sipil teknis dan konservasi tanah
-
-
-
-
-
4
Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda
-
-
-
-
-
5
Pengukuhan dan penatagunaan hutan
-
-
-
-
-
6
Penandaan batas kawasan lindung
-
-
-
-
-
7
Pengembangan Pertanian Padi Organik Metode SRI
-
-
-
-
-
8
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10
Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi (dengan menggunakan sarana produksi organik) di Jawa Barat di 19 Kabupaten dan 2 kota Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi Perbenihan
-
-
-
-
-
11
Pengendalian OPT Pangan di Jawa Barat
-
-
-
-
-
12
Pengembangan BATAMAS (Biogas Bersama Masyarakat)
-
-
-
-
-
13
-
-
-
-
-
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
2
Penyebaran dan penerapan teknologi pakan (pengawetan dan limbah pertanian) Pengelolaan pertanian terpadu berbasis lahan, tanaman, ternak dan energi Pemanfaatan pestisida organik
2.635
2.898
3.188
3.507
3.858
3
Pengaturan tata air dan pemanfaatan lahan-lahan tidur
2.635
2.898
3.188
3.507
3.858
4
Implementasi Gerakan Hemat Air
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
5
Penerapan sistem olah lahan yang rendah emisi GRK
2.635
2.898
3.188
3.507
3.858
6
Pengembangan pertanian spesifik lokasi
2.635
2.898
3.188
3.507
3.858
7
Sistem pengelolaan ternak secara terpadu
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
8
Optimalisasi Pemanfaatan pupuk organik dan penggunaan pupuk anorganik secara berimbang
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
9
15
2015
1
L-28
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
Pemanfaatan limbah ternak sebagai sumber energi alternatif dan ekonomi Pengendalian dan pengawasan alih fungsi lahan pertanian
2.635
2.898
3.188
3.507
3.858
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
16
Melakukan proses pengomposan dengan sistem bunker (kondisi aerob) Pengembangan areal kakao, mete dan sawit di lahan tidak berhutan, terdegradasi dan APL Pengelolaan Air Perkebunan dan Hortikultura (Embung, Sumur, dan Irigasi) Perluasan, Reklamasi dan Optimasi Pengelolaan Lahan Perkebunan dan Hortikultura Pengembangan Konservasi dan SL Konservasi Lahan Perkebunan Pra Sertifikasi Lahan Perkebunan dan Hortikultura
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
17
Jalan Produksi Perkebunan dan Hortikultura
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
18
Pengembangan UPPO Perkebunan dan Hortikultura
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
19
Penerapan Teknologi Pertanian/ Perkebunan Modern Bercocok Tanam Demplot Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Global Komoditi Kakao seluas 2 Ha Pengendalian Kerusakan dan mempertahankan Hutan lahan kering Primer maupun hutan lahan kering Sekunder yang masih ada Mengendalikan peningkatan areal lahan semak belukar, rerumputan yang menjadi lahan kritis Penanaman tanaman hutan secara bertahap pada lahan-lahan kritis dan terbuka
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
2.258
2.484
2.733
3.006
3.307
16.335.751
17.969.326
19.766.259
21.742.885
23.917.173
16.335.751
17.969.326
19.766.259
21.742.885
23.917.173
16.335.751
17.969.326
19.766.259
21.742.885
23.917.173
9 10 11 12 13 14 15
20 21
22 23
24
Penataan tata batas kawasan hutan
16.335.751
17.969.326
19.766.259
21.742.885
23.917.173
25
Pengembangan Kemitraan Usaha dan Hutan Rakyat
16.335.751
17.969.326
19.766.259
21.742.885
23.917.173
L-29
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 17
Wilayah Sulawesi Barat
Kebijakan dan Program 1
2
2015
2016
2017
2018
2019
-
-
-
-
-
a. Penyediaan benih padi rendah emisi bagi petani
19.362
21.299
23.428
25.771
28.348
b. Pemanfaatan lahan secara optimal
19.362
21.299
23.428
25.771
28.348
c. Perluasan areal pertanian dan perkebunan di lahan tidak produktif/terdegradasi Program Pengelolaan Lahan dan Air
19.362
21.299
23.428
25.771
28.348
Program Peningkatan Produksi Pertanian
-
-
-
-
-
a. Perbaikan dan pemeliharaan jaringan
-
-
-
-
-
b. Pengaturan pola dan teknik pengairan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
132
145
160
176
193
-
-
-
-
-
4
Program Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup a. Penerapan Precission Farming atau Pemupukan sesuai kebutuhan b. Pengembangan teknologi pengelolaan lahan dan limbah tanpa bakar Program Peningkatan Penerapan Teknologi Peternakan
5
a. Pemanfaatan limbah pertanian untuk energy (CH4 Capture dalam POME) dan pupuk organik b. Pengembangan teknologi biogas dan pakan untuk mengurangi emisi GRK dari ternak Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan
3
6 7
-
-
-
-
-
132
145
160
176
193
10
11
13
14
15
-
-
-
-
-
a. Rehabilitasi Hutan baik di dalam maupun di luar kawasan
464.139
510.553
561.608
617.769
679.546
b. Kegiatan Pengembangan Tanaman MPTS
464.139
510.553
561.608
617.769
679.546
Program Pembinaan dan Pengendalian Pemanfaatan Hutan
-
-
-
-
-
a. Operasi Pengamanan Hutan Lintas Daerah
-
-
-
-
-
Program Perencanaan Makro dan Pemantapan Kawasan Hutan a. Pemeliharaan batas Kawasan Hutan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Inventarisasi dan Identifikasi Batas Hutan
-
-
-
-
-
L-30
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program
8
9
18
Bangka Belitung
1
2
3 4
5 6
2015
2016
2017
2018
2019
c. Pengembangan SIG Bidang Kehutanan
-
-
-
-
-
d. Pengembangan TAHURA skala Provinsi dan Fasilitasi Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten e. Buku Statistik Kehutanan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Program Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Hutan
-
-
-
-
-
a. Kegiatan Tertib Pengamanan Hutan, tertanggulanginya kebakaran hutan, dan meningkatnya kawasan konservasi b. Pembatasan Lahan sebagai Perumahan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung DAS berbasis Pemberdayaan Masyarakat a. Fasilitasi rehabilitasi hutan mangrove
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Fasilitasi bantuan bibit rehabilitasi hutan pada DAS Prioritas
-
-
-
-
-
c. Rehabilitasi hutan pada DAS Prioritas
-
-
-
-
-
d. Rehabilitasi lahan kritis pada DAS Prioritas
-
-
-
-
-
2.214.000
2.435.400
2.678.940
2.946.834
3.241.517
28.700.000
31.570.000
34.727.000
38.199.700
42.019.670
2
3
3
3
4
7
8
9
10
11
2
2
3
3
3
5.199
5.719
6.291
6.920
7.612
Pembangunan dan operasionalisasi 11 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan 2 unit KPHL serta penyelesaian batas kawasan hutan (tata batas, rekonstruksi, dan pemeliharaan batas) Pemanfaatan Hutan Lestari melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) serta HTI untuk meningkatkan produktivitas lahan tidak produktif, dan peningkatan industri kehutanan hilir termasuk pengembangan Hutan Rakyat dan Hutan Adat Perlindungan & pengamanan hutan, kawasan lindung, dan konservasi keanekaragaman hayati Rehabilitasi DAS dan lahan kritis melalui berbagai program penanaman dan pemulihan lahan utamanya pada kawasan HP & HL Peningkatan kegiatan dan pengawasan reklamasi hutan dan lahan dari bekas penambangan Pelatihan dan penerapan Metode PTT dan PHT Tanaman
L-31
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
Pangan 7
Pengendalian penggunaan pupuk kimia
10.398
11.437
12.581
13.839
15.223
8
Peningkatan penggunaan pupuk organik dan biomasa
3.899
4.289
4.718
5.190
5.709
9
Pengaturan pola dan teknik pengairan
6.499
7.148
7.863
8.650
9.514
10
Pengembangan varitas padi rendah emisi
9.293
10.223
11.245
12.369
13.606
11
Pembangunan biogas limbah ternak sapi
12
Pengembangan Pengolahan Limbah Ternak menjadi Pupuk Organik Pembukaan dan pengolahan lahan tanpa bakar
13 19
Bali
3
4
4
39.688
43.657
48.022
549.400
604.340
664.774
731.251
804.377
249.854
274.840
302.324
332.556
365.812
249.854
274.840
302.324
332.556
365.812
3
249.854
274.840
302.324
332.556
365.812
4
Pemanfaatan pupuk organik
249.854
274.840
302.324
332.556
365.812
5
743.143
817.458
899.203
989.124
1.088.036
743.143
817.458
899.203
989.124
1.088.036
7
Peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan yaitu diprioritaskan pada hutan lindung, produksi berupa bekas perambahan, lahan kosong dan semak belukar serta hutan rawang Rehabilitasi hutan dalam rangka perbaikan lingkungan dan habitat pada kawasan Taman Nasional, Wisata Alam berupa lahan kosong, semak belukar dan hutan rawang Rehabilitasi hutan mangrove pada daerah pantai atau delta
743.143
817.458
899.203
989.124
1.088.036
1
Tambahan perluasan areal karet pada lahan non hutan (APL)
-
-
-
-
-
2
Pengembangan areal perkebunan (sawit, karet, kakao) di lahan tidak berhutan/ lahan terlantar/ lahan terdegradasi (APL) Pemanfaatan pupuk organik dan biopestisida dalam budidaya
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6
Aceh
3 36.080
Pemantapan pola tanam dan pola pergiliran varietas disertai pemanfaatan varietas rendah emisi, meningkatkan penggunaan teknologi tabel, pemantapan sistem pengendalian hama terpadu Perbaikan tata guna air di tingkat usaha tani, antara lain mendorong penggunaan sistem SRI sehingga akan menurunan produksi metan dari proses penggenangan di lahan sawah Efisiensi penggunaan pupuk N sebesar 10%
1
2
20
3 32.800
3
L-32
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
tanaman untuk mencegah laju peningkatan emisi GRK 4
6
Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS prioritas Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis pada DAS prioritas Capacity building untuk pengelolaan hutan desa
1
Program pengendalian pupuk kimia
2
Program pengelolaan pertanian tanpa bakar
3.055
3.360
3.696
4.066
4.472
3
Program pembuatan biogas limbah ternak
10.209
11.230
12.353
13.588
14.947
4
Program hutan rakyat
187.356
206.092
226.701
249.371
274.309
5
Program rehabilitasi hutan dan lahan
14.285
15.714
17.285
19.014
20.915
6
Pembangunan hutan kota
5.424
5.966
6.563
7.219
7.941
1
Pengembangan Kebun Sawit Rakyat
1.793.745
1.973.120
2.170.432
2.387.475
2.626.222
2
247.319
272.050
299.255
329.181
362.099
3
Pengembangan Sawah Irigasi dan Teknologi Budidaya Ramah Lingkungan Pemanfaatan Kotoran Ternak untuk Biogas dan Kompos
65.486
72.035
79.238
87.162
95.878
4
Peningkatan Kualitas Tutupan Lahan
-
-
-
-
-
1
Perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi
-
-
-
-
-
2
Penerapan teknologi budidaya
-
-
-
-
-
3
Pemanfaatan penggunaan pupuk organik
-
-
-
-
-
4
-
-
-
-
-
5
Pengembangan lahan pertanian abadi menjadi kawasan lindung Pemanfaatan kotoran ternak untuk biogas
-
-
-
-
-
6
Pemanfaatan limbah biogas untuk pupuk kompos
-
-
-
-
-
7
Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan
-
-
-
-
-
8
Penambahan tutupan lahan
-
-
-
-
-
5
21
23
24
Sulawesi Selatan
Bengkulu
Sulawesi Utara
-
-
-
-
-
34.013
37.414
41.156
45.271
49.798
L-33
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 25
26
Wilayah Maluku Utara
Kalimantan Tengah
Kebijakan dan Program 1
2017
2018
2019
41.867
46.053
50.659
55.725
61.297
2
179.579
197.537
217.291
239.020
262.922
3
Biogas dari kotoran ternak
359.849
395.834
435.417
478.959
526.855
4
64.555
71.011
78.112
85.923
94.515
-
-
-
-
-
2
Substitusi penggunaan urea dengan pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS prioritas Fasilitasi pengembangan hutan kota
-
-
-
-
-
3
Pengendalian Kebakaran Hutan
-
-
-
-
-
4
Demonstration Activities REDD+
-
-
-
-
-
5
Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut
-
-
-
-
-
6
Penanganan perambahan kawasan hutan gambut
-
-
-
-
-
7
Peningkatan, rehabilitasi, dan pemeliharaan jaringan
-
-
-
-
-
8
Reklamasi rawa (termasuk lahan bergambut yang sudah ada)
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.111
10.022
11.024
12.127
13.340
2
Pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida dalam budidaya tanaman untuk mencegah laju peningkatan emisi GRK melalui penggunaan alat Penyiapan lahan tanpa bakar dan optimalisasi pemanfaatan laha Pengolah Pupuk Organik, Pemanfaatan kotoran/urine ternak dan limbah pertanian untuk biogas, biofuel, dan pupuk organik Pelatihan dan penerapan Metode System of Rice Intensification (SRI) Peningkatan dan penggunaan pupuk organik dan biomasa
9.111
10.022
11.024
12.127
13.340
3
Pengaturan pola dan teknik pengairan
9.111
10.022
11.024
12.127
13.340
4
Pembangunan biogas limbah ternak sapi
-
-
-
-
-
5
Gerakan Lampung Menghijau (GELAM)
2.446
2.691
2.960
3.256
3.581
6
Pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR)
50.085
55.094
60.603
66.663
73.330
1
11 Lampung
2016
Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung DAS Berbasiskan Pemberdayaan Masyarakat Program Peningkatan Produksi Kehutanan
10
28
2015
1
L-34
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
29
Wilayah
Banten
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
7
Penyelenggaraan Rehabilitasi hutan dan lahan
241.354
265.490
292.039
321.243
353.367
8
Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
201.069
221.176
243.294
267.623
294.386
9
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
44.322
48.755
53.630
58.993
64.892
10
Pengamanan hutan/ penurunan perambah
132.838
146.122
160.734
176.808
194.488
1
1.141
1.255
1.380
1.518
1.670
2
Pembangunan Jaringan Irigasi desa maupun Jaringan Usaha Tani Pelatihan dan Penetapan sistem SRI
1.413
1.555
1.710
1.881
2.069
3
Pembangunan Biogas Limbah Sapi
31.884
35.072
38.579
42.437
46.681
4
Penggunaan Limbah Pertanian dan Peternakan Lokal
2.426
2.669
2.936
3.230
3.553
5
Optimalisasi Pemanfaatan lahan yang tidak produktif, kosong, dan kritis Pemantapan dan Penatagunaan Kawasan Hutan
374.503
411.953
453.149
498.464
548.310
4.231
4.654
5.119
5.631
6.194
29.258
32.184
35.402
38.942
42.837
8.167
8.984
9.882
10.871
11.958
9
Penyelesaian Proses Izin Pinjam Pakai Tukar Menukar Kawasan Hutan yang bermasalah Penanganan perambahan hutan dan penanganan konflik kawasan lindung dan konservasi Penanaman yang lebih terkendali pada hutan tanaman
8.777
9.655
10.621
11.683
12.851
10
Peningkatan Monitoring Hot Spot
7.093
7.802
8.583
9.441
10.385
11
Pengamanan Hutan dari ilegal logging dan kebakaran hutan
35.047
38.552
42.407
46.648
51.312
12
Rehabilitasi tanaman perkebunan
10.533
11.586
12.745
14.019
15.421
13
Ketersediaan sumber benih Tanaman Perkebunan
6 7 8
Jumlah Sektor Berbasis Lahan II.
Mitigasi Sektor Energi (Eenrgi, Transportasi, dan Industri)
1
Jambi
2
Yogyakarta
1
Penataan ulang alat produksi
2
Optimasi simpang
3
Pengaturan traffic ruas jalan Malioboro (Quick Win)
5.266
5.793
6.372
7.010
7.711
155.726.920
171.299.612
188.429.573
207.272.531
227.999.784
67
73
80
89
97
4.240
4.664
5.130
5.643
6.208
-
-
-
-
-
L-35
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
3
4
5
Wilayah
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Sulawesi Tengah
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
4
Smart living
1.188
1.307
1.438
1.582
1.740
5
Lampu LED
16.132
17.745
19.520
21.472
23.619
6
-
-
-
-
-
1
Pembangunan pembangkit listrik dari angin, biogas, gelombang, biofuel, dsb Audit energi
127
140
154
169
186
2
Penggantian lampu penerangan jalan ke lampu hemat energi
3
Perbaikan transportasi publik
4 5
12.198
13.418
14.760
16.236
17.860
1.495.680
1.645.248
1.809.773
1.990.750
2.189.825
Manajemen dan tarif parkir
249.280
274.208
301.629
331.792
364.971
45.243
49.767
54.744
60.218
66.240
1
Penurunan rasio klinker pada semen melalui voluntary agreement Busway
66.688
73.357
80.693
88.762
97.638
2
Uji emisi kendaraan
140.001
154.001
169.402
186.342
204.976
3
Jalur sepeda
1.251
1.376
1.513
1.664
1.831
4
Manajemen parkir
40.891
44.980
49.478
54.425
59.868
5
ITS
48.111
52.922
58.214
64.035
70.439
6
Program Green Building untuk gedung-gedung pemerintahan
2.375
2.613
2.874
3.161
3.478
7
Penggunaan lampu LED untuk penerangan jalan
35.055
38.561
42.417
46.658
51.324
1
Penyediaan armada bus
97
107
118
130
143
2
Peremajaan angkutan umum
74
81
89
98
108
3
Peningkatan keterampilan pengemudi angkutan umum
2.878
3.166
3.482
3.831
4.214
4
Pemasangan PLTS terpusat (8 unit) dan tersebar (480 unit)
59
65
71
78
86
5
Pembangunan PLTA Poso
101.718
111.889
123.078
135.386
148.925
6
Pembangunan PLTMH
3.286
3.615
3.976
4.374
4.811
7
Pembangunan PLTP Bora dan Marana
13.020
14.322
15.755
17.330
19.063
8
Konversi minyak tanah ke LPG
6.266
6.893
7.582
8.340
9.174
L-36
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
6
Wilayah
Sumatera Utara
Kebijakan dan Program
8
Kalimantan Timur
2017
2018
2019
630
693
762
838
922
Penerapan Gugus Kendali Mutu (GKM)
10
-
-
-
-
-
1
Efisiensi peralatan produksi dan diversifikasi produk pada industri coklat dan rumput laut Peningkatan efisiensi peralatan rumah tangga
739.874
813.862
895.248
984.773
1.083.250
2
Penyediaan dan pengelolaan energi terbarukan
335.731
369.305
406.235
446.859
491.544
3
Pemanfaatan biogas untuk rumah tangga
4
Pembangunan ITS (Inteligent Transport System)
5
Pengembangan Pengendalian Analisis Dampak Lalu-Lintas
6 7
66
72
79
87
96
724.782
797.260
876.986
964.684
1.061.153
8.200
9.020
9.922
10.914
12.006
Penerapan manajemen parkir
146.780
161.458
177.604
195.364
214.901
Pengadaan sistem BRT/semi-BRT
70.159
77.175
84.893
93.382
102.720
8
Peremajaan angkot
3.075
3.383
3.721
4.093
4.502
9
Penghapusan bahan perusan lapisan ozon (BPO) secara berkala dan implementasinya di industri refrigerasi, foam, dan pemadam api Mengganti bahan bakar ke biomassa dan biogas
15.375
16.913
18.604
20.464
22.511
333.125
366.438
403.081
443.389
487.728
64.288
70.717
77.788
85.567
94.124
354.045
389.449
428.394
471.234
518.357
11 Kalimantan Barat
2016
9
10
7
2015
1
Meningkatkan efisiensi semua peralatan listrik di Industri dan sektor Komersial Reformasi sistem transit (BRT/semi-BRT)
2
Peremajaan armada angkutan umum
1.199
1.319
1.451
1.596
1.756
3
Pelatihan smart driving (eco-driving)
103
113
124
137
151
4
Konversi Lampu Hemat Energi
1
2
2
2
2
5
Kampanye 122
18
19
21
23
26
6
Instalasi energi baru terbarukan
313
344
378
416
458
1
Pembangunan PLTA Tabang dan Kelay
473.960
521.356
573.492
630.841
693.925
2
Pembangunan PLTS off grid dan on grid
52.972
58.269
64.096
70.506
77.556
3
Pembangunan 20 unit PLTMH dan 1 MW
1.845
2.030
2.232
2.456
2.701
L-37
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 4
9
Sumatera Selatan
2017
2018
2019
410
451
496
546
600
5
615
677
744
819
900
6
Peremajaan angkutan umum
110.700
121.770
133.947
147.342
162.076
7
Pembangunan ITS
83.025
91.328
100.460
110.506
121.557
8
Bus Rapid Transit (BRT)
55.350
60.885
66.974
73.671
81.038
9
Penghematan energi di Industri
145.960
160.556
176.612
194.273
213.700
1
Peningkatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
7
7
8
9
10
14.760.000
16.236.000
17.859.600
19.645.560
21.610.116
27
30
33
37
40
3.326
3.659
4.025
4.427
4.870
-
-
-
-
-
2.942
3.236
3.560
3.916
4.308
931
1.024
1.127
1.239
1.363
3
Sumatera Barat
2016
108 Unit Digester Biogas skala besar dan 1.115 unit biogas skala kecil Smart driving
2
10
2015
4
Peningkatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Park and Ride, 4 lokasi
5
Mengembangkan Jaringan BRT/monorail
6
Program Peningkatan Kapasitas IPTEK dan sistem produksi
7
Program Pengembangan IKM
1
Konservasi energi disektor Rumah Tangga
65.682
72.250
79.475
87.423
96.165
2
15.498
17.048
18.753
20.628
22.691
1.425.468
1.568.014
1.724.816
1.897.297
2.087.027
4
Konservasi energi disektor Industri dengan kegiatan Audit energi dan Program Hemat Energi Pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk pembangkit listrik Smart driving
70.459
77.504
85.255
93.780
103.158
5
Operasi Langit Biru
36.767
40.443
44.488
48.937
53.830
6
BRT
8.702
9.572
10.530
11.583
12.741
7
Peremajaan Angkutan Umum
6.888
7.577
8.334
9.168
10.085
8
Lajur Pejalan Kaki dan Sepeda
19.772
21.749
23.924
26.317
28.949
3
L-38
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 11
12
Wilayah Kepulauan Riau
Jawa Timur
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
1.498
1.647
1.812
1.993
2.193
349
384
422
464
511
1
Pengadaan Bus Pelajar dan Karyawan
2
Peremajaan Angkutan Umum
3
Uji Emisi Kendaraan
10.166
11.183
12.301
13.531
14.884
4
Pelatihan Smart Eco Living
212
233
256
282
310
5
Pengadaan Sistem Bus Rapid Transit
333
366
403
443
488
6
Penerapan Pengendalian Dampak Lalu Lintas
12.300
13.530
14.883
16.371
18.008
7
Pembangunan KA Perkotaan Kota Batam
186.960
205.656
226.222
248.844
273.728
8
Car Free Day
147
161
178
195
215
9
Pemasangan Converter Kit
1.058
1.164
1.280
1.408
1.549
10
Pembangunan ITS
4.518
4.970
5.467
6.014
6.615
11
Manajemen Rekayasa Lalu Lintas
5.871
6.458
7.104
7.815
8.596
12
Membangun Non Motorized Transport
2.259
2.485
2.734
3.007
3.308
1
Penghematan penggunaan energi listrik
-
-
-
-
-
2
Pemanfaatan energi terbarukan
-
-
-
-
-
3
Penerapan industri bersih
-
-
-
-
-
4
Penerapan Congestion road/ Road pricing
-
-
-
-
-
5
Pengembangan Car Free Day
-
-
-
-
-
6
Pembangunan Dryport
-
-
-
-
-
7
Parkir Management Plan
-
-
-
-
-
8
Pembangunan ITS (Inteligent Transport System)
-
-
-
-
-
9
Non Motorized Transportation
-
-
-
-
-
10
Sistem Transit - Bus Rapid Transit (BRT)/ Semi BRT
-
-
-
-
-
11
Peremajaan Armada Angkutan Umum
-
-
-
-
-
12
Program Mudik dan Balik Gratis
-
-
-
-
-
13
Bus Pemadu Moda Bandara Juanda
-
-
-
-
-
L-39
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
13
14
Wilayah
Gorontalo
Jawa Barat
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
14
Kereta Listrik Bandara Juanda-Gubeng
-
-
-
-
-
15
Kereta Api Diesel Elektrik Komuter Malang Raya
-
-
-
-
-
16
Pemasangan Converter Kit (Gasifikasi Angkutan Umum)
-
-
-
-
-
17
Smart/ Eco Driving
-
-
-
-
-
1
Sistem Angkutan Umum Massal
13.340
14.674
16.142
17.756
19.531
2
Smart Driving
1.449.541
1.594.495
1.753.945
1.929.339
2.122.273
3
Pengujian Kendaraan Bermotor
483.180
531.498
584.648
643.113
707.424
4
Gasifikasi Angkutan Umum
6.310.296
6.941.325
7.635.458
8.399.004
9.238.904
5
Audit Energi
182
200
220
242
266
6
Penggantian lampu penerangan jalan ke lampu hemat energi
191.690
210.859
231.945
255.140
280.654
7
381.710
419.881
461.869
508.056
558.862
-
-
-
-
-
2
Pengelolaan dan penyediaan energi baru terbarukan dan konversi energi Kewajiban penggunaan energi alternatif dengan target substitusi sebesar 25% pada tahun 2025 Sosialisasi Produksi Bersih
-
-
-
-
-
3
Pelatihan Produksi Bersih
-
-
-
-
-
4
Audit Lingkungan
-
-
-
-
-
5
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7
Revitalisasi mesin/peralatan industri TPT dan alas kaki, di masa depan akan dikembangkan ke industri lainnya yang berpotensi menimbulkan inefisiensi energi dan lingkungan Implementasi kebijakan pemberian insentif bagi perusahaan yang sudah melakukan pengendalian pencemaran (penyusunan kebijakan sedang dalam proses penyelesaian) Sosialisasi Industri Hijau
-
-
-
-
-
8
Penganugerahan Penghargaan Industri Hijau (Setiap Tahun)
-
-
-
-
-
9
Fasilitas Audit Energi, Konservasi Energi, dan Manajemen Energi Mandatori BBN sebesar 15% ditahun 2025 untuk jenis bahan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
6
10
L-40
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
Efisiensi energi ditahun 2030 tercapai sehingga intensitas energi hanya sebesar 75% dari intensitas saat ini Pendidikan dan pelatihan pengujian kendaraan bermotor
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14
Manajemen dan rekayasa lalu lintas di 3 wilayah PKN (Bodebek, Metropolitan Bandung dan Metropolitan Cirebon) Manajemen dan rekayasa lalu lintas pada perlintasan sebidang
-
-
-
-
-
15
Pembangunan jalur KA di Jawa Barat
-
-
-
-
-
16
Manajemen dan rekayasa lalu lintas di ruas jalan provinsi PKNPKW, antar PKW dan PKL-PKW Program konversi minyak tanah ke LPG
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
Program efisiensi yang dijalankan sesuai dengan program RIKEN Konversi lampu hemat energi (Shifting)
2.976
3.274
3.601
3.961
4.357
2
Sosialisasi Hemat Energi (Avoid)
2.976
3.274
3.601
3.961
4.357
3
2.976
3.274
3.601
3.961
4.357
4
Inprov (diversifikasi Teknologi) dari PLTD menjadi pembangkit listrik non konvensional Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan
2.976
3.274
3.601
3.961
4.357
5
Penggunaan Kendaraan BBM non konvensional
3.472
3.819
4.201
4.621
5.083
6
Pemanfaatan Biogas
3.472
3.819
4.201
4.621
5.083
7
Reklamasi Pasca Tambang
3.472
3.819
4.201
4.621
5.083
8
Penyusunan regulasi efisiensi pemanfaatan BBM
260.206
286.227
314.849
346.334
380.968
bakar premium dan minyak solar 11 12 13
17 18 15
Sulawesi Tenggara
9
Manajemen system transportasi umum
223.034
245.337
269.871
296.858
326.544
10
Pemanfaatan BBM ramah lingkungan (gas dan biofuel)
260.206
286.227
314.849
346.334
380.968
11
Pengendalian dan pemeriksaan kendaraan umum secara berkala
223.034
245.337
269.871
296.858
326.544
L-41
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 17
Wilayah Sulawesi Barat
Kebijakan dan Program 1
2015
2016
2017
2018
2019
Program Pembinaan dan Pengembangan Bidang Kelistrikan
8
9
10
11
12
a. Pembangunan Desa Mandiri Energi berbasis PLMTH 309Kw
1
1
1
1
2
b. Pembangunan PLTS 114,65 KW
107
118
130
143
157
c. Pembangunan PLTA Karama 450 Mw
-
-
-
-
-
d. Study Kelayakan Pembangunan PLTMH dan DED
-
-
-
-
-
Program Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan a. Mengganti bahan bakar industri/ komersial ke biogas
-
-
-
-
-
172
189
208
228
251
b. Mengganti bahan bakar industry/ komersial ke biomassa limbah kelapa sawit 30,769 GWh/th c. Mengganti bahan bakar industri/ komersial ke biomassa kemiri 0,6 GWh/thn d. Pengadaan dan pemasangan instalasi Biogas untuk Rumah Tangga e. Studi pengembangan biomass dan biogas menjadi bahan bakar industri skala kecil dan menengah f. Penetapan Desa Mandiri Energi Sulawesi Barat
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Program Pembangunan Prasarana dan Fasilitas Perhubungan
-
-
-
-
-
24.600
27.060
29.766
32.743
36.017
4
a. Program Rehabilitasi dan Pemeliharaan Prasarana dan fasilitas LLAJ Program Pembangunan Sarana dan Prasarana Perhubungan
-
-
-
-
-
a. Program Peningkatan Pelayanan Angkutan
1.640
1.804
1.984
2.183
2.401
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.443
7.087
7.796
8.575
9.433
6.443
7.087
7.796
8.575
9.433
2
5
18
Bangka Belitung
1 2
Program Peningkatan Kelayakan Pengoperasian Kendaraan Bermotor a. Program peningkatan infrastruktur dan peralatan pengujian kendaraan bermotor Energi rating pada gedung industri komersial/ program gedung hijau Audit energi untuk gedung industri komersial seperti hotel, restoran, dan lain-lain
L-42
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
19
20
Wilayah
Bali
Aceh
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
3
Sosialisasi Gedung Hemat Energi
6.443
7.087
7.796
8.575
9.433
4
SLO untuk PLTD di bangunan industri Komersial
6.443
7.087
7.796
8.575
9.433
5
Standarisasi peralatan industri/ Utilisasi Industri
71.164
78.281
86.109
94.720
104.192
6
Audit Energi pada industri gabungan
71.164
78.281
86.109
94.720
104.192
7
71.164
78.281
86.109
94.720
104.192
8
Meningkatkan ketersediaan listrik sehingga mengurangi penggunaan solar di pembangkit sendiri SLO untuk PLTD di Industri Gabungan
71.164
78.281
86.109
94.720
104.192
9
Smart Driving
17.185
18.903
20.794
22.873
25.160
10
Campaign Education at Schools
9.934
10.927
12.020
13.222
14.544
1
Penghematan Pemakaian Energi Listrik
128.690
141.560
155.715
171.287
188.416
2
Pemanfaatan Energi Terbarukan
33.857
37.243
40.967
45.064
49.570
3
Pemeliharaan Jalan
205.730
226.303
248.934
273.827
301.210
4
Pengaturan angkutan barang dan jasa
205.730
226.303
248.934
273.827
301.210
5
Efisiensi penggunaan BBM
205.730
226.303
248.934
273.827
301.210
1
Penyediaan dan pengelolaan energi baru terbarukan dan konservasi energi Penghematan energi melalui penggunaan briket batubara dari batubara sisa Penerbitan izin untuk menyiapkan pembangkit listrik sendiri
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pengembangan pedoman bagi pembangunan perkotaan/ perencanaan transportasi, termasuk aturan tentang penggunaan lahan, infrastruktur, kawasan bersepeda dan pejalan kaki. Penerapan pengendalian dampak lalu lintas (TIC) Mengembangkan, konsultasi, dan persetujuan kebijakan transportasi dan strategi perkotaan, termasuk skema keuangan untuk investasi transportasi perkotaan yang berkelanjutan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pembangunan peningkatan dan preservasi jalan
-
-
-
-
-
2 3 4
5
6
L-43
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 21
23
Wilayah Sulawesi Selatan
Bengkulu
Kebijakan dan Program 1 2
Pengendalian pengelolaan sumber energi dari kegiatan dan usaha industri Konservasi energi listrik
3
Pengembangan sumber energi terbarukan
4
Sulawesi Utara
2016
2017
2018
2019
1.128
1.240
1.364
1.501
1.651
1.897
2.086
2.295
2.525
2.777
224.133
246.547
271.201
298.321
328.154
Rencana penataan trayek transportasi utama
-
-
-
-
-
5
Pembangunan monorail Mamminasata 23 km
-
-
-
-
-
6
Pembangunan prasarana BRT
-
-
-
-
-
7
Sosialisasi smart driving
-
-
-
-
-
1
Sosialisai Penghematan Energi dan Air sesuai dengan Inpres no. 2 Tahun 2008 Terlaksananya pembangunan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
● Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
-
-
-
-
-
● Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
-
-
-
-
-
3
Pelatihan pembuatan biogas dari kotoran ternak
-
-
-
-
-
4
Pembagian reaktor dan instalasi biogas kepada peternak
-
-
-
-
-
5
Perbaikan sistem transportasi angkutan umum
-
-
-
-
-
6
Smart Driving
-
-
-
-
-
7
Penertiban emisi gas buang kendaraan bermotor
-
-
-
-
-
1
Pembangunan Intelligent Transport System (ITS)
-
-
-
-
-
2
Manajemen parkir
-
-
-
-
-
3
Pelatihan dan sosialisasi eco-smart driving
-
-
-
-
-
4
Penyediaan, pengelolaan, dan peningkatan energi terbarukan
-
-
-
-
-
5
Penggunaan lampu hemat energi (LED)
-
-
-
-
-
6
Pengembangan panel surya
-
-
-
-
-
7
Penerapan produksi bersih
-
-
-
-
-
2
24
2015
L-44
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 26
28
Wilayah Kalimantan Tengah
Lampung
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
-
-
-
-
-
2
Penerapan Pengendalian Dampak Lalu Lintas (Traffic Impact Control/ TIC) Peremajaan armada angkutan umum
-
-
-
-
-
3
Pemasangan Converter Kit (Gasifikasi angkutan umum)
-
-
-
-
-
4
Program pelatihan dan sosialisasi smart driving (eco-driving)
-
-
-
-
-
5
Konservasi dan Audit Energi Industri
-
-
-
-
-
1
Bantuan PLTS
1.624.747
1.787.221
1.965.943
2.162.538
2.378.792
2
Bantuan PLTMH
1.624.747
1.787.221
1.965.943
2.162.538
2.378.792
3
Bantuan PLTBayu
1.624.747
1.787.221
1.965.943
2.162.538
2.378.792
4
Bantuan biogas
1.624.747
1.787.221
1.965.943
2.162.538
2.378.792
5
Sosialisasi koordinasi hemat energi dan konservasi energi
3
3
4
4
4
6
BRT
683.585
751.944
827.138
909.852
1.000.837
7
Manajemen Parkir
22.265
24.492
26.941
29.635
32.599
8
Peremajaan Bus
34.077
37.485
41.233
45.356
49.892
9
Smart Driving
40.217
44.239
48.663
53.529
58.882
10
Kegiatan sistem monitoring & manajemen energi di sektor industri Penggunaan teknologi hemat energi dan ramah lingkungan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Penggunaan bahan bakar alternatif (biomassa) pada proses produksi di sektor industri Proses daur ulang hasil produk dan limbah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
126
138
152
167
184
2
Kegiatan Workshop pengembangan industri logam, genteng, dan bata IKM Kimia yang terbina dan terawasi
130
143
157
173
190
3
Penyelenggaraan Keselamatan Lalu Lintas (eco-driving)
164
180
198
218
240
4
Car Free Day (2 hari per bulan)
5
6
6
7
8
5
Pembangunan dan Pelebaran Jalan (Perda No. 4 Tahun 2012
-
-
-
-
-
1
11 12 13 29
Banten
1
L-45
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 2015
6 7 8 9 10
tentang Pembangunan Infrastruktur Jalan dengan Penganggaran Tahun Jamak) Pelatihan Instalasi Biogas Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Pikohidro Bantuan PLTS Solar House System (SHS) Sosialisasi Pemanfaatan dan Keselamatan Listrik Rumah Tangga Jumlah Sektor Bidang Energi
2016
2017
2018
2019
20
22
24
26
29
11.003
12.104
13.314
14.646
16.110
72
79
87
95
105
127
140
154
169
186
77
84
93
102
112
41.131.235
45.244.359
49.768.794
54.745.674
60.220.241
1.652
1.818
1.999
2.199
2.419
-
-
-
-
-
2.802
3.082
3.390
3.729
4.102
III.
Mitigasi Bidang Pengelolaan Limbah
1
Jambi
1
Sanitary Landfill
2
Yogyakarta
1
Review kebijakan sektor limbah
2
Pengelolaan Sampah Terpadu (3R/5R)
-
-
-
-
-
3
-
-
-
-
-
4
Reduksi Sistem Open Dumping dan Pengembangan Sanitary Landfill di TPA Piyungan, Kulon Progo, dan Gunung Kidul Pengembangan Sistem Composting
-
-
-
-
-
5
Pengembangan Waste to Energy
-
-
-
-
-
1
Pengembangan TPA sistem Sanitary Landfill dengan LGF
147.600
162.360
178.596
196.456
216.101
2
Pembangunan TPA Sistem Controlled Landfill
98.947
108.841
119.725
131.698
144.868
3
Penutupan TPA Open Dumping
147.600
162.360
178.596
196.456
216.101
4
Pemanfaatan Landfill Gas sebagai energi alternatif
-
-
-
-
-
5
Pembangunan fasilitas kompos di TPA
138.307
152.137
167.351
184.086
202.495
6
Pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu
11.753
12.929
14.222
15.644
17.208
7
Pengelolaah sampah 3R di rumah tangga perkotaan
3.417
3.758
4.134
4.548
5.002
8
Fasilitasi Daur Ulang Sampah Plastik
8.337
9.170
10.087
11.096
12.206
3
Jawa Tengah
L-46
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
4
5
6
Wilayah
DKI Jakarta
Sulawesi Tengah
Sumatera Utara
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
34.167
37.583
41.342
45.476
50.023
109
120
132
146
160
9
Pembangunan IPAL Domestik Kota
10
Pembangunan Sanitasi komunal dengan biogas
11
Pembangunan IPLT
34.167
37.583
41.342
45.476
50.023
12
Pembangunan biogas industri kecil
1.093
1.203
1.323
1.455
1.601
13
Pemanfaatan Limbah Industri sebagai By Product
68
75
83
91
100
14
Pengembangan Eco-Sanitation (20% populasi)
21.730
23.903
26.293
28.923
31.815
1
ITF
-
-
-
-
-
2
Sentra 3R
-
-
-
-
-
3
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang
-
-
-
-
-
4
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) off site
23.560
25.916
28.508
31.358
34.494
5
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) on site
169.488
186.437
205.081
225.589
248.148
1
Program minimasi sampah dengan prinsip 3R
9.876
10.864
11.950
13.145
14.460
2
Program peningkatan sarana persampahan (Control Landfill)
1.570
1.727
1.900
2.090
2.299
3
Recovery gas metan di TPA Kawatuna Palu
3.938
4.332
4.765
5.242
5.766
4
Pembangunan prasarana waste water treatment pemukiman
849
934
1.027
1.130
1.243
1
Rehabilitasi/Pembangunan dan Operasional TPA unmanaged deep menjadi semi aerob (di 7 TPA regional sesuai UU No. 18, 2008) Peningkatan prasarana dan sarana komposting sampah organik yang tidak terangkut di perkotaan, komposting sampah organik di pedesaan dengan sistem gali timbun dan komposting di TPST (3R) Recovery gas metana di TPA Aek Nabobar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Intensifikasi Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP) di 33 kabupaten kota, termasuk pembangunan off-site sistem, on site sistem dan Migrasi sistem pit latrin eksisting menjadi septic sistem/tangki septik/SANIMAS
-
-
-
-
-
2
3 4
L-47
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
2017
2018
2019
Pengelolaan Prokasih/Superkasih (10% BOD removed)
-
-
-
-
-
6
Bimbingan Non Teknis Dokumen Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP) di 33 kabupaten jawa Program Non Teknis Mitigasi GRK termasuk di dalamnya Pembangunan sistem informasi daerah untuk GAD-GRK dan Penyusunan PERDA Program minimasi sampah dengan prinsip 3R
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11.149
12.264
13.491
14.840
16.324
12.119
13.331
14.664
16.131
17.744
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
a. Survey timbulan sampah per kapita di kota Samarinda dan Balikpapan b. Kampanye minimasi sampah domestik
10.072
11.079
12.187
13.405
14.746
8.057
8.863
9.749
10.724
11.797
c. Kampanye daur ulang
8.057
8.863
9.749
10.724
11.797
d. Kampanye pengolahan sampah di rumah
8.057
8.863
9.749
10.724
11.797
Peningkatan cakupan pengangkutan sampah dari TPA Manggar di Balikpapan: a. Penambahan dan pemeliharaan armada angkut sampah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
b. Perluasan TPA Manggar dan peningkatan fasilitas pengolahan di TPA Peningkatan kegiatan daur ulang limbah domestik:
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
a. Pembangunan proyek percontohan dan kampanye daur ulang sampah non organik (plastik, elektronik, kayu, dan logam) di 4 kota dan 2 kabupaten b. Penelitian dan pengembangan metode daur ulang yang efektif Program pemanfaatan gas metan dari TPA:
-
-
-
-
-
1 2
8
2016
5
7
7
2015
3
Program peningkatan sarana persampahan (Semi-aerobic landfill) Pembangunan prasarana waste water treatment pemukiman
1
Reduksi sampah dari sumber domestik
2
L-48
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 2015
2016
2017
2018
2019
a. Pembangunan 3 (tiga) unit Flaring di Balikpapan, Samarinda, dan Berau b. Pembangunan 3 (tiga) unit pembangkit listrik tenaga gas di TPA percontohan c. Pendidikan dan pelatihan operator dan pengelolaan PLTG di TPA Pemanfaatan limbah padat industri untuk sumber energi:
17.220
18.942
20.836
22.920
25.212
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
a. Penyusunan kebijakan yang mengatur industri mengurangi mengolah limbah padatnya ke TPA Industri b. Pengembangan teknologi pemanfaatan limbah padat industri CPO untuk energi c. Kampanye pemanfaatan limbah padat CPO untuk energi
246.424
271.066
298.173
327.990
360.789
184.818
203.300
223.629
245.992
270.592
184.818
203.300
223.629
245.992
270.592
184.818
203.300
223.629
245.992
270.592
-
-
-
-
-
47.765
52.542
57.796
63.575
69.933
54.589
60.047
66.052
72.657
79.923
76.424
84.066
92.473
101.720
111.892
63.687
70.055
77.061
84.767
93.244
1
d. Pengembangan proyek percontohan pemanfaatan limbah padat sawit untuk energi Pengembangan dan penerapan teknologi pengolahan air limbah: a. Sosialisasi teknologi pengolahan air limbah pabrik CPO yang sesuai untuk mitigasi GRK b. Proyek percontohan sistem pengolahan aerobic dan anaerobic shallow lagoon c. Pengembangan skema partisipasi industri dalam mitigasi GRK d. Penerapan kebijakan yang mendorong industri mengolah air limbah tanpa menyumbang GRK Program Minimasi Sampah dengan prinsip 3R
2.788
3.067
3.374
3.711
4.082
2
Program Peningkatan Sarana-Prasarana Persampahan
7.040
7.744
8.518
9.370
10.307
3
Recovery gas metan di TPA I Sukawinatan (CDM-Project)
10.002
11.002
12.102
13.312
14.644
4
Pembangunan prasarana Waste Water Treatment Pemukiman
3.098
3.408
3.749
4.124
4.536
1
Program penyusunan perencanaan pengelolaan persampahan
-
-
-
-
-
2
Program minimasi sampah dengan program 3R
-
-
-
-
-
5
6
9
10
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
L-49
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program
13
Gorontalo
2017
2018
2019
Program peningkatan sarana-prasarana persampahan
-
-
-
-
-
4
Program penyusunan perencanaan pengelolaan air limbah
-
-
-
-
-
5
Program pembangunan prasarana Waste Water Treatment Pemukiman Program pengendalian banjir
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8
Program pemberdayaan kesehatan lingkungan dan masyarakat Program non-teknis RAD-GRK sektor limbah
-
-
-
-
-
1
Rehabilitasi peningkatan kerja TPA
82.070
90.276
99.304
109.235
120.158
2
Peningkatan pengomposan dan 3R
48.050
52.855
58.141
63.955
70.350
3
16.140
17.755
19.530
21.483
23.631
1
Rehabilitasi pengelolaan limbah cair dari latrin (cubluk) ke septic tank Pembangunan TPA sistem Sanitary Landfill
0
0
0
0
0
2
Pembangunan TPA sistem Controlled Landfill
0
0
0
0
0
3
Penutupan TPA Open Dumping
0
0
0
0
0
4
Pemanfaatan Landfill Gas sebagai energi alternatif
0
0
0
0
0
5
Pembangunan fasilitas kompos di TPA
0
0
0
0
0
6
Pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST)
0
0
0
0
0
7
Pengelolaan sampah 3R di rumah tangga perkotaan
0
0
0
0
0
8
Fasilitasi daur ulang sampah plastik
0
0
0
0
0
7
Jawa Timur
2016
3
6
12
2015
9
Pembangunan IPAL domestik kota
0
0
0
0
0
10
Pembangunan sanitasi komunal dengan biogas
0
0
0
0
0
11
Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah Terpadu (IPLT)
0
0
0
0
0
12
Pembangunan biogas industri kecil
0
0
0
0
0
13
Pemanfaatan limbah industri sebagai by produk
0
0
0
0
0
14
Pengembangan eco-sanitation
0
0
0
0
0
L-50
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 14
Wilayah Jawa Barat
Kebijakan dan Program 1
Kelompok Kegiatan A. Program Minimasi Sampah dengan Prinsip 3R a. Program Minimasi Sampah dengan prinsip 3R b. Pembangunan TPS Terpadu (TPST)
2
3
15
18
Sulawesi Tenggara
Bangka Belitung
1
2015
2016
2017
2018
2019
-
-
-
-
-
35.026
38.529
42.382
46.620
51.282
75
83
91
100
110
Kelompok Kegiatan B. Program Peningkatan SaranaPrasarana Persampahan a. Operasional TPA seni-aerobic dan sanitary landfill
-
-
-
-
-
114.584
126.043
138.647
152.512
167.763
b. Recovery gas metan di TPA Sumur Batu (CDM-Project)
85.034
93.537
102.891
113.180
124.498
-
-
-
-
-
158.799
174.679
192.146
211.361
232.497
Kelompok Kegiatan C. Pembangunan prasarana Waste Water Treatment Pemukiman a. Migrasi Pit-Latrin ke Septic Tank
-
-
-
-
-
2
Program Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Persampahan Program Minimasi Sampah dengan Prinsip 3R
1.051
1.156
1.272
1.399
1.539
3
Program Peningkatan Sarana-Prasarana Persampahan
3.829
4.212
4.633
5.096
5.606
4
Program Peningkatan Pengelolaan Gas Sampah
1.750
1.925
2.117
2.329
2.562
5
Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Air Limbah
-
-
-
-
-
6
Pembangunan prasarana Waste Water Treatment Pemukiman
7.824
8.607
9.468
10.414
11.456
7
Program Pengendalian Banjir
2.960
3.256
3.582
3.940
4.334
8
Program Pengelolaan Badan Air
-
-
-
-
-
9
8.942
9.836
10.820
11.902
13.092
10
Program Pemberdayaan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat Program Monitoring dan Evaluasi
-
-
-
-
-
11
Program Non-teknis RAD-GRK Sektor Limbah
1
Minimalisasi sampah
2 3
-
-
-
-
-
(0)
(0)
(0)
(0)
(0)
Rehabilitasi dan Optimalisasi TPA
0
0
0
0
0
Pelarangan Open Burning
0
0
0
0
0
L-51
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No 19
20
Wilayah Bali
Aceh
Kebijakan dan Program
26
Sulawesi Utara
Kalimantan Tengah
2018
2019
44.275
48.703
53.573
58.930
64.823
2
Rehabilitasi TPA
81.360
89.496
98.446
108.291
119.120
3
Pengalihan septic tank rumah tangga ke Septic Tank Komunal
94.047
103.451
113.796
125.176
137.694
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
Menyelenggarakan pembangunan infrastruktur bidang persampahan dengan konsep sanitary landfill Sosialisasi dan pelatihan pebuatan kompos dan program 3R untuk umum Pemanfaatan libah hasil pembukaan lahan dan pertanian dan perkebunan untuk bahan pembuatan kompos Mengembangkan penerapan kebijakan lingkungan hidup untuk prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dalam pengelolaan persampahan Program penanganan sampah
12.300
13.530
14.883
16.371
18.008
2
Program peningkatan sarana dan prasarana persampahan
43.050
47.355
52.091
57.300
63.030
3
Pembangunan IPAL
10.003
11.003
12.103
13.314
14.645
4
Peningkatan efektivitas pengelolaan TPA
69.973
76.971
84.668
93.135
102.448
5
Pembangunan TPS Terpadu
14.584
16.042
17.646
19.411
21.352
1
Pengelolaan Sampah Terpadu (3R/5R)
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
3
Reduksi Sistem Open Dumping dan Pengembangan Sanitary Landfill Pengembangan Sistem Composting
-
-
-
-
-
4
Green Consumer
-
-
-
-
-
5
Pengembangan Waste to Energy
-
-
-
-
-
6
Pemilahan Sampah Sebelum Pengangkutan
-
-
-
-
-
1
Pemanfaatan limbah hasil pembukaan lahan untuk bahan pembuatan kompos Pembangunan sarana prasarana air limbah dengan sistem offsite dan on-site
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
24
2017
Minimalisasi sampah
3
Sulawesi Selatan
2016
1
2
21
2015
2
L-52
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program 3 4 5
6 28
Lampung
1
2 3 4
29
Banten
2015
2016
2017
2018
2019
Pengawasan Kegiatan pembakaran terbuka (open burning) sampah Peningkatan kapasitas pengelolaan sampah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mengembangkan penerapan kebijakan lingkungan hidup untuk prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dalam pengelolaan persampahan Pemanfaatan limbah hasil pembukaan lahan untuk bahan pembuatan kompos Penyusunan: Buku Putih, SSK, MPSS, SPPIP, Feasibility Study, Review Master Plan Persampahan, Amdal/ UKL/ UPL, Detail Engineering Design (DED) Pembangunan/ Peningkatan TPA dari Open Dumping menjadi Controlled/ Sanitasi Landfill Operasional TPA Controlled/ Sanitary Landfill di 14 Kab/ Kota
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
23.883
26.271
28.898
31.788
34.966
23.883
26.271
28.898
31.788
34.966
23.883
26.271
28.898
31.788
34.966
23.883
26.271
28.898
31.788
34.966
-
-
-
-
-
5
Penambahan Sarana Prasarana Persampahan (Excavator, Buldozer, Truck, Amrol Truck) Pembangunan PS Sampah Terpadu 3R
6
Penyusunan/ Review Master Plan Limbah Cair
7
Pembangunan PSSanimas
10.784
11.862
13.049
14.354
15.789
8
Pembangunan PSSLBM
10.784
11.862
13.049
14.354
15.789
9
Pembangunan IPAL Komunal
10.784
11.862
13.049
14.354
15.789
10
Pembangunan IPAL Kawasan RSH
10.784
11.862
13.049
14.354
15.789
1
Program Minimasi Sampah dengan Prinsip 3R
2
-
-
-
-
-
a. Pembangunan TPS Terpadu (TPST)
7.337
8.071
8.878
9.766
10.742
b. Sosialisasi 3R dan Pemilahan Sampah
7.337
8.071
8.878
9.766
10.742
c. Pendirian Bank Sampah
7.337
8.071
8.878
9.766
10.742
d. Komposting sampah organik pedesaan dengan sistem gali timbun Program Peningkatan Sarana-Prasarana Persampahan
7.337
8.071
8.878
9.766
10.742
-
-
-
-
-
L-53
Indikator penurunan emisi (ton CO2 eq) No
Wilayah
Kebijakan dan Program a. Rehabilitasi/ Pembangunan TPA Unmanaged Deep menjadi Semi-aerobic Landfill di 8 kota/kab b. Operasional TPA semi-aerobic di 8 kota/kab dan pengadaan tanah timbun c. Penambahan sarana-prasarana persampahan 3
4
Pembangunan Prasarana Waste Water Treatment Pemukiman
2015
2016
2017
2018
2019
23.357
25.693
28.262
31.088
34.197
26.276
28.904
31.795
34.974
38.471
26.276
28.904
31.795
34.974
38.471
-
-
-
-
-
a. Pembangunan MCK Plus
17.021
18.723
20.595
22.655
24.920
b. Pembangunan MCK Komunal Sanimas
136.168
149.784
164.763
181.239
199.363
c. Pengelolaan Air Limbah Komunal Rumah Murah dgn sistem off-site d. Pembangunan Septik Tank Komunal
136.168
149.784
164.763
181.239
199.363
136.168
149.784
164.763
181.239
199.363
e. Rehabilitasi & Pembangunan IPLT
68.084
74.892
82.381
90.620
99.681
f. Penggunaan Jamban Sehat
17.021
18.723
20.595
22.655
24.920
-
-
-
-
-
11.475
12.622
13.884
15.273
16.800
11.475
12.622
13.884
15.273
16.800
c. Sosialisasi kebersihan dan kesehatan kotan (+ sosialisasi pelarangan open burning) d. Pembinaan Sekolah Peduli dan Berbudaya
11.475
12.622
13.884
15.273
16.800
11.475
12.622
13.884
15.273
16.800
e. Pembinaan dan Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pengelolaan Sampah Jumlah Sektor Bidang Energi
11.475
12.622
13.884
15.273
16.800
3.748.035
4.122.838
4.535.122
4.988.634
5.487.498
Program Pemberdayaan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat a. Sosialisasi, Penyuluhan dan Pengkajian Kebijakan Lingkungan Sehat b. Pembentukan lembaga Sadar Sanitasi di setiap Kelurahan
Sumber: Disarikan dari RAD-GRK (Kemendagri, Bappenas, Kemen-LH, 2013)
L-54