KEBIJAKAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN MENYONGSONG RPJMN 2015-2019 DI PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI ACEH (Climate Changes Mitigation Policy of Forestry Sector for Middle Term Development Planning 2015-2019 in the Provinces of Papua and Aceh) Hariyadi Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI alamat email:
[email protected]
Naskah diterima: 14 Agustus 2015 Naskah direvisi: 16 September 2015 Naskah disetujui: 2 Oktober 2015 Abstracts Having huge tropical forest resources and simultaneously still struggling to cope with the dwindling forest resources, Indonesia’s forest mitigation efforts are very crucial following the agenda of the 2015-2019 mid-term national development planning (the RPJMN). For the government, these become more crucial because of the weak implementation of forestry sector governance, indicated by significant deforestation and forest degradation, extreme forest fires, high tenurial conflicts and land-use and land cover changes. The relevance of these issues is not only related to the recent weak forestry management but also how a set of mid- and long-term national forestry policies can be sustainably implemented. Furthermore, the implementation agenda of climate change mitigation policies of the forestry sector will closely relate to the regional roles. Therefore, putting climate change mitigation policies of the forestry sector in the RPJMN in the framework of the regional roles becomes high priority. The research, applying descriptive analytical approach and considering views from considerable public and private stakeholders in the provinces of Papua and Aceh, found that the two provinces have not demonstrated an optimum role in sustaining the national policies. Government’s political will still needs to be directed to more transparent regional roles on this issue. There is also an urgent need to strengthen coordination and synergy between the central and regional government, and efforts to attract more public supports. Keywords: climate change, mitigation, forestry, RPJMN 2015-2019, Papua, Aceh.
Abstrak Sebagai pemilik hutan tropis yang luas meskipun pada saat yang sama juga masih harus dihadapkan pada upaya mengatasi merosotnya sumber daya kehutanan, upaya-upaya mitigasi sektor kehutanan di Indonesia memiliki arti yang sangat strategis menyongsong pelaksanaan agenda RPJMN 2015-2019. Bagi pemerintah, upaya ini semua menjadi semakin strategis seiring dengan lemahnya implementasi tata kelola sektor kehutanan seperti diindikasikan dengan masih tingginya deforestasi dan degradasi hutan, kebakaran hutan, konflik kepemilikan lahan dan perubahan alih fungsi lahan dan hutan. Arti pentingnya hal ini tidak hanya terkait dengan lemahnya pengelolaan hutan selama ini tetapi juga bagaimana serangkaian kebijakan kehutanan dalam jangka menengah dapat dikawal secara berkesinambungan. Implementasi kebijakan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan sangat akan terkait dengan peran daerah. Oleh karena itu, menempatkan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dalam RPJMN dalam konteks peran daerah menjadi salah satu prioritas utama. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis dan dengan mempertimbangkan sejumlah pandangan sejumlah narasumber pemerintah dan swasta di Provinsi Papua dan Provinsi Aceh, riset ini menemukan bahwa kedua provinsi tersebut belum berperan optimal dalam menopang kebijakan yang sama secara nasional. Dalam konteks inilah, kemauan politik pemerintah masih sangat dibutuhkan sedemikian rupa dapat membuka peran daerah dalam isu tersebut. Termasuk di dalamnya adalah kebutuhan mendesak untuk penguatan koordinasi dan upaya sinergis lainnya antara pusat dan daerah, dan upaya yang sama dalam mengelola dukungan masyarakat secara umum. Kata kunci: perubahan iklim, sektor kehutanan, RPJMN, peran daerah, implementasi kebijakan, Papua, Aceh. Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
145
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai mandat UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, pemerintah telah menyiapkan RPJMN tahap ke-3, yakni RPJMN periode 2015-2019 sebagai dasar kesinambungan acuan pelaksanaan pembangunan lima tahunan. Secara normatif, penuntasan RPJMN 20102014 telah memberikan arah dan sekaligus menjadi acuan pelaksanaan pembangunan nasional ke depan. Arti pentingnya disain perencanaan pembangunan tahap ke-3 ini dan merujuk pada ketentuan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, penentuan disain tersebut harus bersifat partisipatoris, inklusif dan komprehensif. Bersifat partisipatoris karena disain dimaksud harus melibatkan semua pemangku kepentingan. Sementara itu, disebut inklusif dan komprehensif didasari oleh kebutuhan atas disain rencana pembangunan yang mencakup semua aspek pembangunan secara utuh. Dalam pemahaman ini, proses penentuan disain tersebut perlu memberikan bobot perhatian pada proses.1 Sebagaimana diketahui, rancangan RPJMN 2015-2019 disiapkan dalam bentuk rancangan awal teknokratis sebagai dasar penentuan rancangan RPJMN 2015-2019 setelah disandingkan dengan hasil evaluasi pelaksanaan RPJMN periode sebelumnya.2 Disebut teknokratis karena rancangan ini dibuat sebelum mempertimbangkan visi dan misi presiden terpilih yang disampaikan pada masa kampanye presiden. Merujuk pada rancangan teknokratis RPJMN 2015-2019 tersebut, sejumlah sasaran dan arah kebijakan pembangunan dalam rentang http://bappenas.go.id/unit-kerja/deputi-bidang-evaluasikinerja-pembangunan/contents-deputi-bidang-eva lu-asikinerja-pembangunan/penjaringan-aspirasi-masyarakatrpjmn/; diakses 14 April 2014. 2 Lihat Pasal 10 Ayat (3) PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa “Rancangan rencana pembangunan secara teknokratik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kerangka ekonomi makro, rencana pembangunan sektoral dan kewilayahan dihimpun dari (1) hasil evaluasi pelaksanaan RPJM Nasional yang sedang berjalan; dan (2) aspirasi masyarakat.” 1
146
waktu lima tahun mendatang ditujukan dalam mengelola sejumlah tantangan pembangunan. Sejumlah tantangan tersebut mencakup sejumlah upaya keluar dari perangkap berpendapatan menengah bagi sebagian besar penduduk (middle income trap), pemeratan dan mengurangi kesenjangan pembangunan, pemberantasan korupsi, konsolidasi dan pengelolaan potensi bencana alam dan risiko perubahan iklim.3 Terkait dengan isu potensi bencana alam dan risiko perubahan iklim akan bertalian dengan upaya yang bersifat mitigatif. Dalam konteks ini, arah dan sejumlah agenda kebijakan RPJMN 2015-2019 secara normatif ditujukan dalam kerangka memperkuat kapasitas kelembagaan mitigasi bencana alam untuk mengurangi risiko bencana, mempercepat rehabilitasi daerah terdampak dan memperkuat kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.4 Upaya mitigasi perubahan iklim berkaitan erat dengan kebijakan tata kelola sektor kehutanan. Hal ini tidak berlebihan karena Indonesia merupakan salah satu pemilik hutan tropis terbesar kedua di dunia mencapai 129 juta hektar.5 Dalam kerangka mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan, sejumlah upaya telah disasar pemerintah khususnya melalui kebijakan pengurangan emisi baik akibat fenomena deforestasi dan degradasi hutan. Arti penting isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan tidak hanya terkait dengan persoalan kinerja kebijakan pengelolaan sektor kehutanan selama ini tetapi juga bagaimana serangkaian kebijakan nasional yang sifatnya jangka menengah dan panjang dapat dikawal secara berkesinambungan. Tidak hanya itu, arti pentingnya juga bisa dilihat dari komitmen global Indonesia dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) s.d. tahun 2020. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2009 Indonesia 3
4
5
Lihat Lukita Disarsyah Tuwo, Rancangan Teknokratis RPJMN 2015-2019, Kementerian PPN/Bappenas, makalah disampaikan dalam rangka penjaringan aspirasi masyarakat, Pontianak, 20 Februari 2014, dalam http:// bappenas.go.id/files/5713/9295/0477/5._Wamen_PPN. pdf; diakses 14 April 2014. Ibid. Lihat Kemenhut, Statistik Kehutanan 2009, Jakarta: Kemenhut, 2010.
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
berkomitmen secara global akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% tanpa dukungan asing atau 46% dengan dukungan asing sampai tahun 2020.6 Dalam RPJMN periode 2010-2014, sejumlah kebijakan penting telah ditempuh pemerintah yang diarahkan dalam rangka mitigasi perubahan iklim untuk memperkuat proses penataan tata kelola kehutanan dan penurunan emisi GRK. Melengkapi komitmen global tersebut, melalui Letter of Intent (LoI) Indonesia melakukan kerja sama kemitraan dengan Norwegia dalam upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sampai tahun 20207. Tidak hanya itu, sejumlah kebijakan strategis juga ditempuh meskipun dengan dasar hukum yang diragukan kemampuan implementatifnya. Pada tahun 2011 misalnya, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang berlaku s.d. 2013 dan diperpanjang dengan Inpres No. 6 Tahun 2013 tentang kebijakan yang sama s.d. tahun 2015. Kebijakan ini dikenal sebagai kebijakan moratorium. Secara normatif, kebijakan moratorium ini juga memiliki kaitan erat dengan kebijakan tentang rencana pengurangan emisi GRK sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Pasal 2 ayat (2) Perpres tersebut misalnya, menegaskan bahwa rencana aksi dalam bidang kehutanan dan lahan gambut dilakukan dengan melaksanakan sejumlah strategi, yakni (1) menekan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK, penerapan pengelolaan hutan secara berkelanjutan (Sustainable Forest Management/ SMF), dan (3) mengoptimalkan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi.8 6
7
8
Komitmen Indonesia dalam Sidang G-20 di Pitsburg tahun 2009. “LoI between the Government of the Kingdom of Norway and the Government of the Republic of Indonesia on Cooperation on reducing greenhouse emissions from deforestation and forest degradation”, ditandatangani di Oslo, Norwegia, 26 Mei 2010. Lihat Lampiran II, Perpres 61 Tahun 2011 tentang RANGRK, pada Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut.
Oleh karena itu, menempatkan isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan merupakan bagian penting dalam penentuan RPJMN 20152019. Pendek kata, isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dalam RPJMN 2015-2019 menjadi sangat penting dalam menyongsong penetapan agenda pembangunan nasional jangka menengah ke-3. Sebagaimana telah disinggung, hal ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan kinerja kebijakan pengelolaan sektor kehutanan selama ini tetapi juga sebagai upaya pemenuhan komitmen global Indonesia. Kinerja pemerintah dalam isu ini belum memberikan hasil yang optimal. Kebijakan moratorium yang dipandang sebagai sebuah terobosan politik penting khususnya dalam rangka penurunan emisi GRK dan konservasi dan penguatan cadangan karbon ke depan serta merespons peran aktif Indonesia dalam penurunan GRK secara global misalnya, belum mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sejumlah parameter keberhasilan implementasinya mencakup konsistensi dan sinergi tujuan, dan dukungan pelaksana kebijakan dan/atau publik atas kebijakan moratorium tersebut. Hal lain mencakup aspek pelaksanaan LoI tentang kerja sama REDD+ dengan Norwegia. Sampai sekarang pelaksanan kerja sama ini dapat dikatakan masih jalan di tempat. Politisasi isu LoI dan lambatnya implementasi setiap tahapan kerja sama dapat dikatakan belum dapat memperkokoh komitmen politik global Indonesia dalam rangka pengurangan emisi GRK. Isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dalam kerangka pelaksanaan RPJMN 2015-2019 juga sangat terkait dengan peran daerah. Untuk tujuan kajian ini, dua provinsi, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Aceh dipilih sebagai lokasi penelitian. Terdapat dua alasan pemilihan kedua provinsi tersebut. Pertama, Provinsi Papua dan Provinsi Aceh merupakan provinsi yang masih memiliki kawasan yang relatif luas dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Pada saat yang sama kedua provinsi ini juga dikategorikan sebagai provinsi yang menjadi provinsi percontohan program mitigasi perubahan iklim
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
147
sektor kehutanan. Sampai akhir tahun 2012, luas kawasan hutan daratan Papua tercatat 29.368.482 ha dan kawasan hutan perairan berupa KSA tercatat mencapai 1.019.017 ha. Luasan non-kawasan hutan mencapai jumlah 2.369.548,66 ha. Dengan demikian, digabung dengan kawasan areal penggunaan lain (APL) jumlah total luasan kawasan hutannya mencapai 32.757.058,66 ha.9 Sementara itu, sampai tahun 2013, luas kawasan hutan daratan Aceh tercatat 3.599.288,68 ha dan kawasan hutan perairan berupa KSA tercatat mencapai 211.007,97 ha. Dengan demikian, luas kawasan hutan dan perairan mencapai 4.448.803,60 ha10 dengan luas tutupan lahan sebesar 56% sampai tahun 2012.11 Kedua, dalam isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan, kedua provinsi memiliki kemauan politik yang kuat. Indikasi kemauan politik ini adalah peluncuran kebijakan investasi dan pembangunan ekonomi rendah karbon secara berkelanjutan di Provinsi Papua sejak tahun 2009. Dalam rangka ini, Provinsi Papua membentuk satgas pembangunan ekonomi rendah karbon di Provinsi yang melibatkan semua unsur pemangku kepentingan baik dari unsur publik dan masyakat seperti akademisi, LSM, sektor privat, dan perwakilan masyakat adat.12 Kemauan politik Provinsi Papua untuk berperan dalam rangka mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan tidak hanya didorong oleh kondisi yang dihadapi Provinsi ini sendiri.13 Hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Lihat Kementerian Kehutanan. Statistik Kementerian Kehutanan 2013. Jakarta: Kemenhut, 2014. 11 Ibid. 12 Dikukuhkan melalui Surat Keputusan Gubernur Papua, No. 105 Tahun 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon di Provinsi Papua, 11 Oktober 2010. 13 Provinsi Papua telah mengakui bahwa dampak perubahan iklim telah dirasakan seperti ditunjukkan dengan terjadinya fenomena kelaparan dan kekeringan di sebagian wilayah dataran tingginya di wilayah tengah provinsi itu. Kenaikan 2 derajat temperatur secara global akan berdampak pada menurunnya kemampuan daerah dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan angka kematian bayi di wilayah-wilayah padat penduduk. Lihat Barnabas Suebu, A Global Solution, Building a Low Carbon Economy for Papua Province, Indonesia, makalah dipresentasikan dalam COP ke-15 di Kopenhagen, 2009. 9
10
148
juga terkait dengan dukungan politis pemerintah daerah dalam rangka memperkokoh peran kemimpinan Indonesia dalam menurunkan emisi GRK secara global. Sementara itu, kemauan politik Provinsi Aceh dapat ditunjukkan dengan kebijakan penting terkait dengan agenda pembangunan berkelanjutan di wilayah ini (Pergub Aceh No. 70 Tahun 2012 tentang RPJMD Aceh Tahun 2012-2017) dan pelansiran sejumlah kebijakan prioritas penetapan kerangka hukum dan rencana aksi terkait dengan penurunan deforestasi dan degradasi hutan.14 Dalam kerangka ini, kajian ini diarahkan untuk menilai seberapa jauh pelaksanaan respons kebijakan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan di kedua provinsi tersebut sebagai wujud peran daerah dalam rangka menyongsong RPJMN periode 2015-2019. B. Perumusan Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Sebagai pemilik hutan tropis terbesar kedua di dunia, upaya mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan memiliki makna strategis dalam menyongsong agenda pembangunan nasional jangka menengah 2015-2019. Hal ini menjadi semakin strategis ketika isu tata kelola kehutanan nasional belum memberikan tingkat pengelolaan yang diharapkan sebagaimana terlihat masih maraknya fenomena deforestasi dan degradasi hutan, konflik tenurial, kebakaran hutan dan masih besarnya laju alih fungsi lahan. Isu lain terkait dengan bagaimana serangkaian kebijakan nasional yang sifatnya jangka menengah dan panjang dapat dikawal secara berkesinambungan. Tidak hanya itu, persoalan kredibilitas Indonesia sebagai negara yang siap memberikan kontribusi dalam mitigasi perubahan iklim secara global juga bermakna penting dalam menopang kesinambungan kerja sama kemitraan mitigasi global selama ini. Dengan demikian, menempatkan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dalam RPJMN 2015-2019 menjadi agenda kebijakan nasional yang harus menjadi salah satu prioritas. 14
Lihat Pemerintah Aceh. 2013. Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh.
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
Dengan rumusan permasalahan di atas, penelitian ini diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan berikut ini: (1) “Sejauh mana peran kedua daerah tersebut dalam upaya kebijakan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan secara nasional dalam mendukung RPJMN 2015-2019?”, dan (2) “Faktor-faktor apa saja yang turut menentukan perlunya isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan diperkuat dalam agenda RPJMN 2015-2019?”
telah menyajikan sejumlah elemen yang turut mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan. Namun demikian, seberapa besar derajat pengaruh setiap elemen itu pada akhirnya akan tergantung pada jenis kebijakan itu sendiri. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier misalnya, menetapkan 18 elemen yang turut menentukan keberhasilan implementasi 17 kebijakan. Keduanya memeras menjadi 6 kondisi yang diperlukan bagi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan, yakni (1) C. Tujuan dan Kegunaan tujuan yang jelas dan konsisten;18 (2) landasan Penelitian ini ditujukan untuk melihat: (1) teoritik yang kuat atas hubungan kausalitas seberapa penting isu mitigasi perubahan iklim yang relevan dengan isu kebijakan; (3) kesiapan sektor kehutanan mendapatkan perhatian lembaga pelaksana dengan derajat otoritasnya dalam kerangka RPJMN 2015-2019; dan (2) yang cukup dan dukungan finansial yang faktor-faktor apa saja yang turut menentukan memadai; (4) kapasitas manajerial lembaga perlunya isu mitigasi perubahan iklim dari pelaksana; (5) dukungan konstituen; dan (6) sektor kehutanan. Sementara itu, manfaat dukungan publik secara umum. Bagi kedua peneliti itu, biasanya ke-6 kondisi penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi AKD terkait dalam rangka mendukung tidak mungkin dicapai selama periode awal pelaksanaan fungsi pengawasan DPR dalam implementasi atas kebijakan yang diarahkan untuk mencapai perubahan perilaku yang mengawal kebijakan pemerintah ke depan. mendasar.19 Dengan kata lain, implementasi kebijakan atau program yang benar-benar baru D. Kerangka Konseptual Secara umum sejumlah faktor turut atau kontroversial akan menimbulkan sebuah menentukan implementasi sebuah kebijakan ‘perjuangan’ baru. Isu-isu yang sebelumnya publik. Perspektif normatif menjelaskan menimbulkan kontroversi, bagi mereka yang mengenai bagaimana seharusnya implementasi kalah pada tahapan penentuan agenda, baik kebijakan dilakukan untuk mencapai target di tingkatan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang telah ditentukan serta instrumen yang ada masih akan tetap berjuang dan aktif dalam dipakai dalam penelitian ini. Jika pertarungan ‘memblokade’ dalam bentuk apapun seperti antar-kelompok pengambil keputusan untuk dalam proses pembiayaan, penyelesaian regulasi menentukan agenda formal (agenda setting) turunan, mempengaruhi kelompok target dalam proses pengambilan keputusan berada di dan lain-lain. Lebih jauh, sejumlah faktor tahapan awal proses kebijakan, implementasi yang turut mempersulit implementasi sebuah kebijakan berada dalam tahapan akhir kebijakan menyangkut antara lain: (1) konflik proses itu. Implementasi kebijakan berarti kepentingan antar-pemangku kepentingan; (2) diadministrasikan dengan serangkaian tindakan koordinasi antar-lembaga pelaksana; (3) terlalu yang secara aktual dieksekusi terhadap populasi tingginya tuntutan dari atas dan bawah; (3) saling lempar tanggung jawab antar-lembaga target.15 20 Gambaran umum tentang proses pelaksana (power of inaction). implementasi kebijakan akan menyamai 17 Ibid., h. 28. proses penentuan agenda.16 Sejumlah ahli 18 Bandingkan dengan Riant Nugroho, Public Policy, edisi 15
16
Ira Sharkansky, Politics and Policy Making, USA: Lynne Rienner Publ., 2002, h. 27. Ibid., h. 19-22.
revisi, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011., h. 618627. 19 Sharkansky, op.cit. 20 Ibid., h. 29-39.
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
149
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah faktor instrumen yang dipakai. Dalam proses implementasi kebijakan ada tiga kelompok instrumen yang bisa dipakai baik dilakukan secara tersendiri maupun bersama dengan kadar keterlibatan pemerintah yang berbeda-beda.21 Pertama, instrumen yang sifatnya wajib dengan keterlibatan pemerintah yang tinggi (compulsory instruments). Pembentukan regulasi, pendirian perusahaan negara dan pembagian jasa/barang secara langsung oleh pemerintah masuk dalam kategori ini. Kedua, instrumen yang sifatnya sukarela yakni instrumen yang dipakai pemerintah dengan tingkat keterlibatan pemerintah yang terbatas (voluntary instruments). Penyerahan pelaksanaan sebuah kebijakan yang sifatnya bisa diserahkan atau didelegasikan kepada keluarga dan masyarakat, LSM dan mekanisme pasar masuk dalam kategori ini. Dan yang ketiga, instrumen yang sifatnya campuran (mixed instruments), yakni instrumen yang dipakai secara bersamaan dengan atau tanpa keterlibatan pemerintah. Penggunaan informasi dan himbauan/anjuran, penggunaan mekanisme subsidi, lelang dan penggunaan mekanisme tax & user charges masuk dalam kategori ini. Meskipun secara teoritis, ketiga kelompok instrumen kebijakan tersebut bisa dipilah secara empiris para pengambil kebijakan terbiasa dengan penggunaan sebagian atau semua komponen dari ketiga kelompok instrumen secara bersamaan atau berganti-ganti.
B. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data Teknis pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Kegiatan studi kepustakaan dilakukan di Jakarta dengan memusatkan pada dokumen-dokumen ataupun bahan pustaka terkait yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian dan kepentingan dengan isu mitigasi kehutanan baik lembaga publik, non-publik dan media massa. Pengumpulan data melalui wawancara di lapangan yang diambil secara purposif akan dilakukan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Adapun kegiatan wawancara dilakukan dengan sejumlah informan yang mewakili lembaga publik dan swasta yang memiliki perhatian dan terlibat dalam persoalan ini antara lain, Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, BPS, Dinas Lingkungan Hidup, perwakilan Greenpeace Indonesia, dan akademisi di universitas negeri di dua provinsi tersebut, dan organisasi kemasyarakatan dan sejumlah informan lain yang terkait. Sementara itu, data dari sumber yang sifatnya sekunder diharapkan dari pengumpulan data dan dokumen dari lembaga-lembaga yang didatangi tersebut. Teknis analisa data dilakukan dengan cara mereduksi dan intepretasi data yang terkumpul untuk kemudian dikategorisasikan ke dalam konsepsi-konsepsi berdasarkan konteks kerangka pemikiran yang dipakai.
C. Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penggalian data dilakukan di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Papua dan II. METODOLOGI Provinsi Aceh. Di Jakarta, penggalian data A. Jenis Penelitian dilakukan mulai minggu keempat bulan Mei Penelitian ini bersifat kualitatif dengan sumber 2014. Penggalian data Provinsi Papua dilakukan data primer dan sekunder. Data primer yang pada tanggal 1-7 September. Sementara itu, dipakai adalah hasil wawancara mendalam dan kegiatan yang sama di Provinsi Aceh dilakukan serangkaian dokumen resmi yang terkait mitigasi pada tanggal 15-20 September 2014. perubahan iklim sektor kehutanan. Sementara itu, data sekunder mencakup serangkaian informasi III. PEMBAHASAN umum/khusus baik dari hasil penelitian, sumber A. Kondisi Kehutanan Papua berita media massa dan lain-lain. Wilayah Papua berupa daratan seluas 68.033,00 km2 atau 6.330.446 ha. Sampai 21 Michael Howlett and M. Ramesh, Studying public policy: policy cycles and policysubsistems, USA: Oxford Univ. Press, akhir tahun 2012, luas kawasan hutan daratan Papua tercatat 29.368.482 ha dan kawasan 1995, h. 82. 150
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
hutan perairan berupa KSA tercatat mencapai 1.019.017 ha. Sementara itu, luasan nonkawasan hutan mencapai jumlah 2.369.548,66 ha. Dengan demikian, digabung dengan kawasan areal penggunaan lain (APL) jumlah total luasan kawasan hutannya mencapai 32.757.058,66 ha.22 Namun demikian, berdasarkan SK Penunjukkan Baru No. 782/Menhut-II/2012 tertanggal 27 Desember 2012jumlah luasan total kawasan hutan mengalami perbedaan signifikan khususnya untuk luasan APL. Sumber statistik Kemenhut menunjukkan perbedaan mencolok luasan APL mencapai 4.366.707,34 ha (lihat Tabel 1).23
tutupan hutan ini, 94,84% atau seluas 3.335.692 ha adalah kawasan hutan dam sisanya, 5,16% atau 181.523 ha adalah APL.25 Dilihat dalam konteks peran pengemisi GRK, sektor kehutanan dan gambut tetap menempati posisi teratas; berturut-turut diikuti sektor energi, transportasi, limbah padat dan pertanian. Sektor industri belum dimasukkan sebagai salah satu sumber pengemisi secara signifikan karena persoalan teknis perhitungannya dan masih terbatasnya peran sektor ini kecuali kegiatan pertambangan tembaga dan emas yang dimiliki PT Freeport. Namun demikian, karena masih luasnya kawasan hutan Papua, emisi GRK yang
Tabel 1 Kawasan Hutan Papua Sampai Akhir 2012 (ha) Kawasan Hutan Hutan Tetap KSA/ KPA
HL
6.736.267
7.815.283
7.775.2841
7.815.283
HPT (Terbatas)
Jml
KSA Perairan
APL
Jml Total
HPT (Tetap)
HPK
5.961.240
4.739.327
4.116.365
29.368.482
1.019.017
2.369.548,66
32.757.058,66
5.961.240
4.739.327
4.116.365
30.387.499
-
6.736.267
37.123.7662
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2013. Ket.:1termasuk KSA Perairan 2 Statistik Kementerian Kehutanan 2013 (2014)
Luas lahan kritis di Papua sebesar 4.938.655 ha yang terdiri dari 2,08% sangat kritis, 77,48 agak kritis dan sisanya potensi kritis.24 Data statistik Kementerian Kehutanan 2013 tidak menyajikan tingkat deforestasidi Papua secara umum dalam kurun waktu 20112012. Berdasarkan data statistik Kementerian Kehutanan 2013, angka deforestasi dalam dan luar kawasan hutan Papua periode 20102012 mencapai 10.059,4 ha per tahun dengan perincian sebagai berikut: KSA-KPA, 103, 1 ha, HL, 2.294,3 ha, HPT 2,344,3, HP, 869,8 ha, HPK, 3.421,1 ha, dan APL 1.026,7 ha. Sementara itu data RAD GRK Aceh, tututan lahan untuk hutan Aceh seluas 3.517.215 ha atau 61,31% dari total luas Aceh. Dari luasan 22 23
24
Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Lihat Kementerian Kehutanan. Statistik Kementerian Kehutanan 2013. Jakarta: Kemenhut, 2014. Papua Dalam Angka 2014. Jayapura: BPS Provinsi Papua, 2014, h. 258.
ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan di PT Freeport selama ini dinilai terserap habis oleh tutupan hutan yang ada.26 Berkurangnya luasan tutupan hutan Papua selama ini lebih banyak diakibatkan oleh faktor desentralisasi politik, yakni pemekaran kabupaten. Data Bappeda provinsi menegaskan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2008-2012), terjadi 11 pemekaran kabupaten. Penurunan luasan tutupan hutan rata-rata mencapai110 ribu per tahun selama kurun waktu 2000-2010.27 Dengan demikian, secara kualitatif, gambaran ini menunjukkan bahwa fenomena deforestasi di Papua masih relatif rendah atau Pemerintah Aceh (2013). Rencana Aksi Daerah PEnurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Aceh 2012-2020. (2013). Aceh: Pemerintah Aceh, h. 81. 26 Wawancara dengan Nico (Kasubid Fisik dan Prasarana Bappeda Papua), Risma, staf LH Subid Fisik dan Prasarana, pada tanggal 2 September 2014. 27 Ibid. 25
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
151
baru mencapai 0,34% dari 32.757.000 ha luas kawasan hutan. Namun demikian, seiring dengan kebutuhan alih fungsi lahan akibat desentralisasi politik, pengembangan perkebunan, dan pertumbuhan pembangunan sarana dan prasarana fisik, dalam skenario tanpa kebijakan intervensi (business as usual), penurunan tutupan hutan akan terus mengalami peningkatan. Hal ini mengimplikasikan bahwa peningkatan deforestasi dan degradasi hutan hanyalah masalah waktu.
mencapai 11.229,6 ha/tahun. Sementara itu, dari unsur hutan tanaman, angka deforestasinya mencapai 78 ha.30 Laju deforestasi di dalam dan luar kawasan hutan Aceh tergolong rendah ataupun moderat. Dalam periode 2011-2012 misalnya laju tersebut mencapai 21.464,7 ha/tahun31 atau 0,48%/tahun dari luas kawasan hutan dan perairan sebagaimana tercatat dalam Tabel 2. Namun demikian, seiring dengan dinamika pembangunan sosial-ekonomi dan B. Kondisi Kehutanan Provinsi Aceh perkembangan demografis, pemetaan persoalan Wilayah daratan Provinsi Aceh mencapai potensi emisi GRK Aceh berasal dari sektor 56.770, 85 km2 atau ha. Dengan wilayah seluas pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi ini dan pemekaran daerah, secara administratif, dan transportasi, dan industri dan pengelohan Aceh terbagi ke dalam 18 kabupaten dan limbah. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa 5 kota. Berdasarkan SK Menhut No. 941/ potensi naiknya emisi GRK menjadi hal yang Menhut-II/2013 tertanggal 23 Desember 2013, wajar. Berbicara emisi GRK, penggunaan luas kawasan hutan daratan Aceh tercatat lahan baik didorong oleh fenomena alih fungsi 3.599.288,68 ha dan kawasan hutan perairan lahan maupun meningkatkannya intensitas berupa KSA tercatat mencapai 211.007,97 ha. penggunaan lahan itu sendiri memiliki korelasi Dengan demikian, luas kawasan hutan dan yang tinggi dengan fenomena deforestasi. perairan mencapai 4.448.803,60 ha28 (lihat Tabel Data laju deforestasi periode sebelumnya juga menguatkan penilaian ini. Data tahun 20092). Tabel 2 Kawasan Hutan Aceh Sampai Akhir 2012 (ha) Kawasan Hutan Hutan Tetap KSA/KPA
HL
1.060.522,89
1.824.906,84
HPT (Terbatas) 141.771,66
HPT (Tetap)
HPK
556.655,69
15.431,60
Jml 3599.288,68
APL
Luas Kawasan hutan dan perairan 4.448.803,60
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2013
Luas tutupan lahan dalam kawasan hutan di Aceh sebesar 56% sampai tahun 2012.29 Data statistik Kementerian Kehutanan menyajikan tingkat deforestasi di Aceh secara umum dalam kurun waktu 2011-2011 dapat disajikan sebagai berikut. Dihitung di wilayah di dalam dan luar kawasan tingkat deforestasinya mencapai 21.464,7 ha per tahun terdiri dari hutan primer mencapai 2.227,1 ha per tahun, hutan sekunder mencapai 7.930 ha/tahun dan untuk APL 28
29
152
Lihat Kementerian Kehutanan. Statistik Kementerian Kehutanan 2013. Jakarta: Kemenhut, 2014. Ibid.
2011 misalnya, angka deforestasi di kawasan hutan masih di kisaran mencapai 7.792,3 ha/ tahun meskipun fenomena deforestasi ini mayoritas terjadi di kawasan hutan sekunder.32 Sebelum kebijakan moratorium jeda tebang diberlakukan pada tanggal 6 Juni 2007, hutan Aceh sudah mengalami tekanan berat seperti ditunjukkan dengan penurunan tutupan hutan dan beberapa indikator ekologis lainnya seperti intensitas banjir dan longsor, kebakaran hutan dan 32 30 31
Ibid. Kementerian Kehutanan (2014), op.cit., h. 18. Ditjen Planologi Kehutanan 2011.
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
lahan, serta konflik kepentingan sektor kehutanan. Di satu sisi, masalah bencana dan konflik diakui telah menimbulkan kerugian besar. Sementara di sisi lain, dorongan untuk melakukan ekstraksi juga terus terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Selain itu, sektor kehutanan telah dikonvensikan sebagai sumber pemenuhan pendapatan baik bagi dan daerah.33 Secara lebih spesifik, penyebab deforestasi adalah buruknya pengelolaan dan kinerja pengoperasian konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (dulu disebut HPH). Lemahnya sistem pengawasan dan pelaksanaan silvikultur pada hutan alam, maupun hutan tanaman menjadikan sumberdaya hutan diekstraksi secara melawan hukum sehingga terjadi penurunan kualitas dan kuantitas jenis tutupan hutan alam inibahkan beberapa kasus lain terjadi konversi terhadap kawasan hutan. Selain buruknya pengelolaan IUPHHK-HA/HPH, laju kerusakan hutan juga dipicu oleh aktivitas illegal logging yang terus terjadi. Pada tahun 2006, terdapat sekitar 120.209,50 meter kubik kayu dari hasil illegal logging berhasil disita. Angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu sekitar 33.249,25 meter kubik. Berdasarkan data kajian spatial Tipereska (Tim terpadu) tahun 2008, tutupan hutan Aceh pada tahun 1945 tercatat 4.908.019 hektar. Sampai tahun 1980 hutan Aceh tersisa hingga 4.085.741 ha atau kehilangan luas hutan sekitar 822.278 ha. Dengan demikian, laju kerusakan hutan pada periode tersebut adalah 23.494 ha per tahun. Sedangkan pada periode 1980 sampai dengan tahun 1990 total deforestasi hutan Aceh sebesar 383.436 ha atau 38.344 ha per tahun, karena hutan yang tersisa adalah 3.702.305 ha. Pada saat berlangsungnya konflik bersenjata di Acehpada periode 1990 hingga 2000, hutan Aceh terdeforestasi sebesar 346.426 ha atau laju kerusakan pada periode yang sama adalah 34.643 ha per tahun. Pada periode 2000 hingga 2006 total deforestasi hutan Aceh selama kurang lebih 6 tahun adalah 33
Draf SRAP REDD+ Aceh, 2013.
sebesar 184.560 ha, laju kerusakan hutan Aceh mencapai 30.760 ha per tahun, dan pada tahun 2006 existing tutupan hutan Aceh yang tersisa adalah ± 3.171.319 ha. Pasca-konflik pada rentang waktu 2006 – 2009, total deforestasi hutan Aceh sebesar 92.497 ha atau laju kerusakan hutan Aceh sebesar 23.124 ha per tahun (lihat Tabel 3). Faktor pertambangan juga turut berkontribusi terhadap potensi deforestasi dan degradasi hutan. Sampai tahun 2010, data Walhi menunjukkan bahwa di Aceh terdapat 109 usaha pertambangan di Aceh yang tersebar di 12 kabupaten/kota dan sebagian berdiri di atas kawasan hutan lindung dan/atau kawasan ekosistem leuser(KEL) seluas 193.550,34 ha. Dari jumlah usaha ini, 30 usaha statusnya tidak mendapatkan izin atau rekomendasi gubernur dan 1 usaha pertambangan statusnya dibekukan (suspensi).34 Data ini menyiratkan dua kesimpulan awal. Pertama, tidak adanya izin/ rekomendasi gubernur mencerminkan bahwa usaha pertambangan itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tata ruang provinsi dan kebijakan provinsi terkait lainnya. Dengan demikian, usaha pertambangan itu memang tidak sejalan dengan kriteria dasar pengusahaannya, misalnya masuk di kawasan lindung dan KEL. Kedua, fenomena ini menjadi dampak yang tidak terhindarkan dari adanya desentralisasi politik. Dengan demikian, deforestasi lebih banyak didorong baik oleh kebutuhan ruang sebagai akibat pemekaran wilayah maupun dorongan pemenuhan kebutuhan dana politik kepala daerah. Dorongan lain untuk pemenuhan kebutuhan pendapatan daerah.35 C. Respons Daerah terhadap Isu Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan 1. Respons Provinsi Papua Respons daerah terhadap isu perubahan iklim dapat kita kelompokkan menjadi dua
Data rekapitulasi pertambangan di Aceh sampai tahun 2010 dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Aceh. 35 Wawancara dengan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, 2/9/2014. 34
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
153
Tabel 3.Kondisi Deforestasi Hutan Aceh Periode 1945 – 2009 Tahun
Luas Hutan (ha)
Laju deforestasi (ha/ tahun)
Deforestasi (ha)
1945
4.908.019
-
-
1945 – 1980
4.085.741
822.278
23.494
1981 – 1990
3.702.305
383.436
38.344
1991 – 2000
3.355.879
346.426
34.643
2001 – 2006
3.171.319
184.560
30.760
Rata-rata deforestasi 1945 – 2009
1.684.384
26.318
Rata-rata deforestasi sebelum konflik (1945 – 1990)
1.205.714
34.449
914.422
57.151
Rata-rata deforestasi selama konflik (1990 – 2006) Sumber: Draf SRAP REDD+ Aceh, 2013.
kategori. Pertama, respons normatif karena isu ini menjadi salah satu kebijakan prioritas nasional yang mengikat secara mandatoris dan karenanya menuntut peran daerah dalam implementasinya. Beberapa kebijakan prioritas nasional tersebut antara lain mencakup kebijakan rencana pembangunan jangka menengah nasional, kebijakan tata ruang, pencegahan perusakan hutan, rencana aksi nasional pengurangan gas rumah kaca (RANGRK), kebijakan penghentian pemberian konsesi perizinan hutan alam dan gambut (moratorium), dan kebijakan kerja sama kemitraan program REDD+, dan lain-lain. Dalam lingkup respons ini, daerah menjalankan sejumlah kebijakan sebagaimana didelegasikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Kedua, kebijakan yang berdimensi lokalitas terkait dengan visi dan misi pembangunan daerah baik secara umum dan spesifik maupun upaya atau kebijakan terobosan lain atau indikasi tingkat kemauan politik daerah yang tinggi akibat semakin signifikannya dampak perubahan iklim di daerah tersebut. Sejumlah kejadian bencana seperti kebakaran hutan, banjir, longsor di daerah semakin memperkuat kesadaran atas dampak perubahan iklim. Hal lain termasuk peran manusia dalam menurunkan daya dukung lingkungan seperti ditunjukkan dengan masih adanya fenomena pembalakan liar, penyerobotan tanah dan lainlain. 154
Secara normatif, respons Provinsi Papua terhadap isu mitigasi perubahan iklim misalnya, dapat ditunjukkan dengan sejumlah kebijakan dan upaya nyata berikut ini. Pertama, RPJM 2013-2018 Provinsi Papua telah menggarisbawahi salah satu misi pemerintahan daerahnya terhadap arti pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan. Misi ini dijalankan dalam mengawal upaya percepatan konektifitas pembangunan antar-kawasan dan antardaerah. Hal ini mengimplikasikan bahwa politik pembangunan Papua memiliki korelasi dengan politik pembangunan era sebelumnya dalam hal perhatiannya terhadap masalah keberlanjutan. Dalam jangka panjang, politik pembangunan ini juga telah ditetapkan dalam jangka panjang 2013-2033. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua (Perda No. 23 Tahun 2013) telah menegaskan satu aspek penting yang berkaitan langsung dengan upaya mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan. Rencana pola ruang wilayah Provinsi misalnya, telah menetapkan rencana kawasan lindung seluas 14.756.737 ha dari unsur kawasan hutan lindung seluas 7.887.848,14 ha dan 6.868.525,3 ha dari unsur KSA/KPA, Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan rawan bencana, kawasan lindung geologi, kawasan lindung lainnya.36 36
Pasal 30-38 Perda Provinsi Papua No. 23 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua 2013-2033
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
Pemikiran ini juga tercakup dalam RAD-GRK sebagai dasar hukum yang lebih teknis dalam pengelolaan emisi GRK sektor kehutanan. Kerangka hukum terkait lainnya yang merefleksikankemauan politik Provinsi Papua dalam isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan terkait dapat ditunjukkan dengan sejumlah peraturan daerah. Sejumlah peraturan daerah itu antara lainsebagai berikut: 1. Perdasus No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua; 2. Perdasus No. 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; 3. Perdasi No. 6 Tahun 2008 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup; 4. Perdasi No. 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat Daerah;
membentuk satgas pembangunan ekonomi rendah karbon di Provinsi yang melibatkan semua unsur pemangku kepentingan baik dari unsur publik dan masyakat seperti aktoraktoir dari akademisi, LSM, sektor privat, dan perwakilan masyakat adat.37 Kemauan politik Provinsi Papua untuk berperan dalam rangka mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan tidak hanya didorong oleh kondisi yang dihadapi Provinsi ini sendiri.38 Hal ini juga terkait dengan dukungan politis pemerintah daerah dalam rangka memperkokoh peran kemimpinan Indonesia dalam menurunkan emisi GRK secara global.
2. Respons Provinsi Aceh Paralel dengan kebijakan Provinsi Papua, dari sisi kemauan politik, Provinsi Aceh juga menunjukkan kekuatannya dalam rangka Beberapa poin penegasan terkait dengan isu mendukung kebijakan pengelolaan mitigasi mitigasi perubahan iklim misalnya dapat dilihat perubahan iklim. Beberapa kebijakan utama dari beberapa ketentuan sbb. Pasal 3 Perdasus terkait dengan isu ini antara lain sebagai berikut. No. 21 Tahun 2008, misalnya menegaskan bahwa Pertama, Pergub Aceh No. 70 Tahun 2012 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan bertujuan RPJMD Aceh Tahun 2012-2017 menegaskan untuk mengembangkan keanekaragaman hasil arti pentingnya pengelolaan lingkungan hutan yang menjamin kelestarian fungsi hutan; sebagai dasar pelaksanaan pembangunan menjamin kelestarian dan keseimbangan berkelanjutan. Melihat pada sejumlah analisis ekologi; mempertahankan dan mengembangkan isu-isu strategis politik pembangunan jangka keanekaragaman hayati; dan mengurangi emisi menengah ini, dua isu strategis yang menjadi karbon dan mencegah perubahan iklim global. sasaran pembangunan ke depan dan terkait Pengaturan lain terkait dengan perubahan dengan isu mitigasi perubahan iklim adalah: status hutan. Pasal 54 menegaskan bahwa areal (1) rendahnya pemanfataan sumber daya alam hutan yang dipergunakan untuk kepentingan yang berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada nonkehutanan yang berbatasan dengan kondisi misalnya, pemanfaatan sda yang tidak kawasan hutan lindung dan/atau kawasan terkendali, pengelolaan sektor kehutanan konservasi dibuat daerah penyangga selebar 1 37 Dikukuhkan melalui Surat Keputusan Gubernur Papua, (satu) km kearah luar dari batas kawasan. Paralel No. 105 Tahun 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon di Provinsi dengan lain terkait dengan keberadaan dana pembangunan kehutanan di mana dalam Pasal 38 Papua, 11 Oktober 2010. Provinsi Papua telah mengakui bahwa dampak perubahan 58 ditegaskan bahwa penggunaan dana yang iklim telah dirasakan seperti ditunjukkan dengan bersumber dari pihak lain untuk pembangunan terjadinya fenomena kelaparan dan kekeringan di sebagian wilayah dataran tingginya di wilayah tengah provinsi kehutanan wajib mendapat persetujuan dari itu. Kenaikan 2 derajat temperatur secara global akan Gubernur. berdampak pada menurunnya kemampuan daerah dalam Indikasi kemauan politik dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan dan angka kematian ini adalah peluncuran kebijakan investasi dan bayi di wilayah-wilayah padat penduduk. Lihat Barnabas Suebu, A Global Solution, Building a Low Carbon Economy pembangunan ekonomi rendah karbon secara for Papua Province, Indonesia, makalah dipresentasikan berkelanjutan. Dalam rangka ini, Provinsi Papua dalam COP ke-15 di Kopenhagen, 2009.
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
155
yang berakibat pada kerusakan ekosistem, dan (2) fenomena alih fungsi yang berakibat pada deforestasi. Fenomena ini semakin didorong oleh pengelolaan yang lebih mementingkan pada aspek ekonomi, perilaku manusia dan faktor pertanian/perkebunan. Dalam konteks ini, arah pembangunan Aceh dibingkai dalam misi dan tujuan pelaksanaan pembangunan yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan. Sasarannya jelas diarahkan pada peningkatan pembangunan yang terintegrasi dengan berbagai sektor pembangunan secara berkelanjutan, meningkatkan keselarasan dan keserasian program pembangunan Aceh antara RKPA, RPJMA, RPJPA, RTRWA dan dokumen lainnya, dan peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi masyarakat terhadap bencana dan pengelolaan lingkungan yang berkualitas. Kedua, Sesuai dengan mandat Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK, Pemda Aceh menerbitkan RAD-GRK Aceh 2012-213. RAD ini menegaskan relatif tingginya tingkat emisi GRK yang jika dihitung dari historical baseline (emisi aktual akibat perubahan tutupan lahan) mencapai 14.984.933,15 ton setara karbon. Hutan lindung menyumbang 11,3% (1.749.934,17 ton setara karbon) atau terbesar kedua setelah setelah APL (61,5%). Dari gambaran ini, sepuluh usulan aksi mitigasi telah dikeluarkan antara lain terkait dengan (1) penyusunan rencana pengelolaan kawasan hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan; (2) restorasi dan pemulihan ekosistem di kawasan hutan dan lahan gambut yang terdegradasi dan terdeforestasi; (3) pengawasan dan pengendalian perizinan penggunaan lahan di kawasan hutan dan lahan gambut; (4) evaluasi lahan gambut yang berkedalaman lebih dari 3 meter; dan (5)menurunkan kebakaran hutan dan lahan gambut.39 Ketiga, dalam rangka menyatukan kemauan politik pemda dalam pengarusutamaan isu perubahan iklim dari sektor kehutanan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah, Pemda Aceh telah menetapkan sejumlah 39
156
Lihat Pemerintah Aceh. 2012. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK (RAD-GRK) Aceh 2012-2020, Banda Aceh: Pemerintah Aceh, h. 178-184.
prioritas kerangka hukum dan rencana aksi terkait dengan penurunan deforestasi dan degradasi hutan (lihat Tabel 4).40 Dalam konteks pengelolaan kawasan ekosistem leuser (KEL) misalnya, Gubernur Aceh telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemanfaatan Kawasan Budidaya di dalam KEL dalam Wilayah Aceh. Beberapa hal pengaturan menegaskan poin penting misalnya dalam upaya mempertahankan kedudukan kawasan strategis dari sisi kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini sedikit banyak memperkuat sekaligus melengkapi kemauan politik Pemda tersebut dalam memperkuat strategi prioritas dan rencana aksi di atas. D. Lemahnya Implementasi Keseluruhan kerangka hukum tersebut di atas belum memberikan gambaran yang cukup memadai untuk memastikan bahwa respons daerah itu semuanya dapat diimplementasikan. Beberapa faktor itu adalah, pertama, sektor kehutanan Papua masih menjadi sumber utama emisi GRK bersama-sama dengan sektor energi, transportasi, produk limbah dan perkebunan/ pertanian meskipun sektor industri belum diperhitungkan sebagai salah satu sumber emisi karena persoalan teknokratis dan terbatas jumlahnya. Tingginya emisi sektor kehutanan juga diakibatkan oleh kegiatan alih fungsi lahan untuk infrastruktur publik/sosial, perkantoran dll. Situasi ini diakibatkan oleh pemekaran daerah. Sebagai contoh, dalam rentang waktu satu dekade sampai tahun 2010, Provinsi ini telah menghasilkan 11 daerah pemekaran dan karena itulah alih fungsi lahan telah mencapai rata-rata 110 ribuan/tahun dari tingkat tutupan rentang waktu yang sama.41 Belum lagi isu perambahan hutan oleh masyarakat dan alih fungsi lahan untuk perkebunan.42 Lihat Pemerintah Aceh. 2013. Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh. 41 Wawancara dengan Nikanor Aury dan Risma, Bidang Perencanaan dan Pengendalian, dan Fisik dan Prasarana Bappeda Papua, 2 September 2014. 42 Wawancara dengan Estiko Tri Wiradyo, Bidang Perencanaan Dishut dan Konservasi Provinsi Papua, 3 September 2014. 40
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
Tabel 4. Kerangka Hukum dan Rencana Aksi Prioritas Strategi Prioritas 1) Penataan dan penggunaan ruang
a. Percepatan Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota; b. Percepatan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Provinsi dan Kabupaten/Kota; c. Percepatan pelaksanaan “One Map” integrasi peta dan pemetaan untuk perijinan; d. Evaluasi perijinan, penindakan, dan pengembangan system perijinan yang baik.
2) Penataan tenurial
a. Memperjelas dan mempertegas pengakuan terhadap tenurial masyarakat/ kelembagaan lokal melalui regulasi setingkat Qanun atau Pergub; b. Penyusunan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan pedoman teknis (Juknis) terhadap proses pengakuan tenurial masyarakat;
3) Moratorium konversi hutan
a. Revisi INGUB No. 5 Tahun 2007 tentang “Jeda tebang” untuk direvisi menjadi Moratorium Konversi Hutan; b. Penyusunan peta indikatif moratorium konversi hutan Provinsi Aceh.
4) Kebijakan benefit sharing dan persetujuan di awal tanpa paksaan (Padiatapa)
a. Disain mekanisme benefit sharing; b. Mekanisme Padiatapa; c. Regulasi atau pengaturan benefit sharing dan Padiatapa.
Dalam konteks sosio-kultural di Papua, persoalan ini menjadi tantangan tersendiri karena kentalnya masyarakat di sekitar hutan yang menggantungkan kehidupan subsistennya terhadap hasil hutan non-kayu. Dalam kaitan inilah, pemerintah daerah memandang perlunya keterlibatan masyarakat untuk ikut mengatur serta mengetahui secara persis bagaimana pengelolaan hutan dilakukan. Upaya ini dilakukan tentunya diarahkan dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, dukungan secara legal keterlibatan perlu didorong oleh pemerintah.43
43
Rencana Aksi
Dasar legal tersebut menurut elit daerah adalah Peraturan Daerah Khusus. Lihat situs Provinsi Papua, “Kebijakan Green Forest 70% Masyarakat Perlu Dilibatkan”, disunting dalam http://www.papua.go.id/; diakses 13 Januari 2011.
Kedua, kuatnya isu sumber daya kehutanan sebagai “alat tawar politik” dalam menekan pemerintah pusat atas isu kompensasi tambahan. Isu sumber daya kehutanan tidak hanya terkait dengan isu potensi sumber dayanya un sich! tetapi penegasan konteks sosio-kultural. Sebagai contoh, isu lingkungan/perlindungan hutan harus dikaitkan dengan isu kompensasi bagi penghidupan mereka yang telah secara turun menurun bergantung pada hutan/ekstraktif. “Klaim” ini semakin kuat setelah lahirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua berikut Perppu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang dalam implementasinya belum dianggap menyelesaikan persoalan pembangunan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dan aspek budaya Papua selama ini. Dalam
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
157
konteks ini, Provinsi Papua misalnya, mulai mewacanakan otsus+ meskipun titik beratnya pada ‘tambahan’ tuntutan transfer pendanaan dari pemerintah pusat. Ketiga, arah politik pembangunan hijau yang sifatnya kondisional. Provinsi Papua menyatakan komitmennya secara terbuka dalam forum internasional atas rencana kebijakan pembangunan rendah karbon dalam forum COP-5 di Copenhagen pada tahun 2009 dalam rangkaian kegiatan bersama dengan kehadiran resmi Presiden SBY dalam forum tsb. Dalam mendukung komitmen Indonesia, Provinsi Papua menegaskan 4 komitmen dalam pengelolaan sektor kehutanan: (1) konservasi setidak-tidaknya 50% hutan Papua yang telah dialokasikan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) atau telah dialokasikan untuk kawasan non-kehutanan (APL) dan kemudian dialokasikan untuk kawasan hutan berkelanjutan yang dikelola oleh masyarakat lokal; (2) tidak menggunakan hutan alam atau kawasan lain yang bernilai sosio-kultural, konservasi dan sejalan dengan stabilisasi iklim seperti lahan gambut untuk sawit dan alih fungsi lahan secara besar-besaran; (3) menjamin bahwa sawit dan alih fungsi lahan lainnya telah menggunakan standar terbaiknya; mencakup investasi dengan produksi optimal di atas lahan yang dipakai, mengurangi kebutuhan konversi hutan baru; dan (4) upaya diversifikasi perekonomian terpencil, termasuk dukungan bagi pengembangan energi, perusahaan agrokehutanan skala kecil menengah secara bersih.44 Dengan menerapkan beberapa prinsip di atas, dari seluas 6 juta ha hutan yang telah dipersiapkan untuk HPK dan APL, Pemda berkomitmen untuk mengurangi potensi deforestasi yang sudah pasti terjadi tanpa intervensi kebijakan di atas dari sektor sawit sampai dengan 830 juta ha atau setara dengan penyelamatan 0.94 gigaton potensi emisi CO2. Di samping itu, pemda juga berkomitmen untuk tidak akan membuka hutan untuk perkebunan kepala sawit dan berupaya mencari alternatifalternatif lain yang sesuai dengan prinsip 44
158
Ibid.
pengelolaan kehutanan dan agro-kehutanan secara lestari jika dunia internasional bersedia memberikan kompensasi potensi pendapatan yang hilang akibat kebijakan terobosan tadi sehingga upaya ini diharapkan dapat menyimpan sejumlah 1,08 gigaton potensi emisi CO2. Namun demikian, semua upaya ini mengharuskan Pemda Papua revisi total pembangunan ekonomi Papua dan RTRWP dan pemberlakuan model usaha kehutanan dan pertanian yang ramah lingkungan.45 Di samping pembentukan Satgas Pembangunan ekonomi rendah karbon, untuk melaksanakan semua komitmen di atas khususnya dalam kerangka LoI, kebijakan pembangunan rendah karbon diarahkan antara lain pada upaya perhitungan dan simulasi emisi karbon pada berbagai pilihan pemanfaatan hutan. Dalam rangka kebijakan ini pula, Pemda terus berupaya mendorong pengembangan “best practises” dalam pengelolaan hutan (sertifikasi FSC dan PHPL).46 Sejauh ini, sejumlah pemangku kepentingan di Provinsi Papua belum sepenuhnya menegaskan atas peran kompensasi yang dijanjikan negara-negara industri terhadap politik pembangunan hijau di Papua. Dalam konteks rencana alih fungsi, konsekuensinya, skenario business as usual akan tetap berjalan. Keempat, kurang sinergisnya antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan politik pembangunan di daerah, khususnya daerah dengan otonomi khusus. Dalam kasus pembangunan Papua misalnya, kita bisa melihat kehadiran Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan 45 46
Ibid. Sebenarnya terobosan penting lainnya dalam kerangka pengelolaan sektor kehutanan, kerangka hukum lokal lainnya telah digulirkan pada tahun 2008, yakni Perdasus No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Pandangan dari Forum Kerja (Foker) LSM Papua menunjukkan bahwa Perdasus itu masih belum bisa dilaksanakan karena adanya persoalan tarik-menarik kepentingan antara Gubernur di satu sisi dengan pihak legislatif di sisi lain dan faktor kesiapan daerah itu dalam melaksanakan perda itu. Wawancara dengan Abner Mansai AR, Kord. Pokja PSDA Foker LSM Papua, 16 November 2010.
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Perpres No. 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Rencana aksi percepatan pembangunan di kedua provinsi ini hanya berjalan dalam kurun waktu 2011-2014. Dalam kurun waktu ini, pembangunan infrastruktur khususnya jalan misalnya, memiliki titik singgung kepentingan yang sangat kuat dengan kepentingan perlindungan sektor kehutanan. Hutan Papua menyimpan karakteristik tersendiri seperti ditunjukkan dengan adanya hutan yang memiliki kayu jenis purba, yakni vono padhus, suatu tipe hutan di pegunungan Laurens yang ada sejak jaman purba. Dengan demikian, upaya alih fungsi lahan di Papua khususnya di sejumlah besar wilayah di Papua harus benarbenar matang. Ironisnya, upaya sinergis dan koordinatitif antara pemerintah pusat dengan daerah belum terlihat secara kental. Sebagai contoh, antara Kementerian PU dengan dinas kehutanan setempat dalam pembukaan hutan untuk pembangunan jalan. Hal ini penting dilakukan karena implikasinya. Sebagai contoh, Danau Habema telah mengalami penurunan debit air 2500 liter. Faktor lain yang turut memperparah tingkat kerusakan hutan adalah isu keterlibatan oknum dan tentunya meskipun secara normatif an pembangunan, yakni Inpres pembangunan jalan di Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, untuk mengerem laju kerusakan, penggunaan teknologi pembukaan jalan yang lebih tepat guna sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, penggunaan sistem jalan layang akan mengurangi tingkat keterbukaan akses masyarakat untuk membuka lahan.47 Sebaliknya, pemerintah pusat pun dinilai terus memberikan perhatian dalam pelaksanaan otsus. Dalam nota keuangan RAPBN 2015 misalnya, dengan merujuk pada pemenuhan amanat UU tentang Otsus, pemerintah merencanakan kenaikan alokasi dana otsus sebesar Rp320,4 miliar menjadi Rp16,5 triliun dari alokasi tahun 2014 sebesar Rp16,1 triliun. 47
Wawancara dengan Estiko Tri Wiradyo, Bidang Perencanaan Dishut dan Konservasi Provinsi Papua, 3 September 2014.
Dana alokasi otsus Papua dan Papua Barat, dengan pembagian masing-masing 70% untuk Papua dan 30% untuk Papua Barat, sebesar Rp7 triliun. Dana ini secara khusus diarahkan pada pendanaan bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, kedua provinsi ini juga diberikan Dana Tambahan Infrastruktur yang direncanakan sebesar Rp 2,5 triliun.48 Belum lagi persoalan legalitas. Berdasarkan agenda percepatan pembangunan ini, akan dibangun 40 ruas Jalan Strategis Nasional di tanah Papua yang dipastikan melalui hutan adat. Merujuk pada keputusan MK bahwa hutan adat bukanlah hutan negara, pemerintah harus menginventarisasi jumlah, lokasi, dan luasan hutan adat yang akan dilalui pembangunan jalan ini.49 Pandangan yang sama ditegaskan Gubernur Papua Barat, Bram O Atururi menilai implementasi kebijakan ini kurang berjalan baik dan bahkan cenderung mengabaikan peran gubernur. Ketika menyampaikan capaian pembangunan di hadapan tiga menteri koordinator (Menko) beberapa waktu lalu, Atururi membeberkan 4 pemasalahan yang dihadapi. Pertama, pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat berjalan lambat. Setelah Inpres digulirkan, pembinaan yang meliputi frekuensi dan jadwal ke daerah sangat terbatas, sehingga terjadi miskomunikasi dan misinterprestasi. Kedua, master plan dan action plan yang tidak konsisten. Menurutnya, setelah rencana aksi Inpres disusun oleh provinsi ternyata sebagian besar program dan kegiatan kurang terakomodasi di dalam RKP kementerian/lembaga. Yang dilaksanakan justru banyak inisiatif kementerian dan lembaga. Ketiga, anggaran Inpres No 5 yang dikucurkan tidak terverifikasi dengan jelas untuk sektor mana saja. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan verifikasi alokasi dana program. Akibatnya, 48
49
Lihat Dana otsus Papua-Aceh Rp16,5 T, dan istimewa DIY Rp547 M; dalam http://www.merdeka.com/uang/ dana-otsus-papua-aceh-rp-165-t-dana-istimewa-diy-rp547-m.html; diakses 22 Desember 2014. Lihat Gate Master, Status Hutan di Papua Mayoritas Masih Hutan Adat; dalam http://www.up4b.go.id/index. php/prioritas-p4b/9-pengawasan-lingkungan/item/563status-hutan-di-papua-mayoritas-masih-hutan-adat; diakses 9 Desember 2014.
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
159
sistem akuntabilitas menjadi tidak transparan. Keempat, soal ketidakjelasan labelisasi Inpres yang mengakibatkan terabaikannya peran gubernur baik dalam pelaksanaan pelaksanaan maupun evaluasi.50 Perspektif kritis terkait dengan kasus yang terjadi Provinsi Papua pun bisa kita letakkan dalam konteks kasus yang terjadi di Provinsi Aceh dalam beberapa (varian) isu berikut ini. Pertama, data terbaru menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk perkebunan menempati posisi ke-3 setelah kehutanan dan non-pertanian telah mencapai 688.458 ha atau 12% dari luas total wilayah Aceh. Posisi ke-4 ditempati oleh pembukaan lahan sawah dengan luas mencapai 311.865 ha atau 5,44% dari total luas wilayah Aceh. Semua peruntukkan lahan ini berdampak negatif terhadap kedudukan lahan itu sendiri baik secara fisik, biologi maupun kimia. Titik singgung dampak tersebut dengan fenomena deforestasi adalah dampak secara fisik. Pada tahun 2010 misalnya, lahan kritis di Aceh mencapai 391.485 ha atau 6,82% dari total wilayah Aceh sementara lahan sangat dan agak kritis mencapai 3.698.359 (64,47% luas wilayah Aceh).51 Kedua, faktor pertambangan juga turut berkontribusi terhadap potensi deforestasi dan degradasi hutan. Sampai tahun 2010, data Walhi menunjukkan bahwa di Aceh terdapat 109 usaha pertambangan di Aceh yang tersebar di 12 kabupaten/kota dan sebagian berdiri di atas kawasan hutan lindung dan/atau kawasan ekosistem leuser (KEL) seluas 193.550,34 ha. Dari jumlah usaha ini, 30 usaha statusnya tidak mendapatkan izin atau rekomendasi gubernur dan 1 usaha pertambangan statusnya dibekukan (suspensi).52 Data ini menyiratkan dua kesimpulan awal: (1) pertama, tidak adanya izin/rekomendasi gubernur mencerminkan bahwa usaha pertambangan itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya 50
51 52
160
Lihat “Inpres Percepatan Pembangunan Papua Dikritisi”, http://www.jpnn.com/read/2010/10/02/73606/InpresPercepatan-Pembangunan-Papua-Dikritisi-#; diakses 9 Desember 14. Pemerintah Aceh (2013), op.cit., h. 83-88. Data rekapitulasi pertambangan di Aceh sampai tahun 2010 dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Aceh.
tata ruang provinsi dan kebijakan provinsi terkait lainnya. Dengan demikian, usaha pertambangan itu memang tidak sejalan dengan kriteria dasar pengusahaannya, misalnya masuk di kawasan lindung dan KEL; dan (2) kedua, fenomena ini menjadi dampak yang tidak terhindarkan dari adanya desentralisasi politik. Dengan demikian, deforestasi lebih banyak didorong baik oleh kebutuhan ruang sebagai akibat pemekaran wilayah maupun dorongan pemenuhan kebutuhan dana politik kepala daerah. Dorongan lain untuk pemenuhan kebutuhan pendapatan daerah.53 Ketiga, masih adanya ‘sahwat’ alih fungsi lahan meskipun secara normatif dan administratif, misalnya kebutuhan penyesuaian tata ruang wilayah dan telah melalui proses yang wajar, menjadi pilihan yang seharusnya ditempuh. Dalam kurun waktu 2010-2013, Gubernur Aceh telah mengajukan empat kali usulan peruntukkan kawasan hutan, perubahan fungsi dan penunjukkan kawasan bukan hutan menjadi kawasan hutan. Berdasarkan usulan ini, Menteri Kehutanan akhirnya mengeluarkan SK No.941/ Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas kira-kira 42.616, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas kurang lebih 130.542 dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi KAwasan Hutan Seluas +- 26.461 Hektar. Dengan terbitnya SK ini menunjukkan bahwa perubahan peruntukan dan/atau fungsi hutan meskipun tidak cukup signifikan. Bagaimana pun, kebijakan ini cukup menguatkan analisis sebelumnya tentang fenomena alih fungsi lahan yang kuat khususnya untuk perkebunan dan pertambangan. Keempat, isu tata kelola pemerintahan. Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) dan jaringannya menyebutkan bahwa Aceh menjadi salah satu dari 6 provinsi yang menjadi lokasi terjadinya korupsi terkait dengan pengelolaan SDA dengan potensi kerugian negara mencapai Rp201,82 triliun. Pada tahun 2012, kasus korupsi pengusahaan SDA terjadi pada pada sektor penguasahaan sawit di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang sampai sekarang 53
Wawancara dengan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, 2 September 2014.
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
penegak hukum belum menangani secara penuh untuk mengambil alih perizinan yang telah lama meskipun dengan besarnya potensi kerugian tidak aktif akan mengalami tantangan berat. Tabel 5. Kondisi IUPHHK-Hutan Alam No.
Nama Perusahaan
No.SK HPH/ Tanggal
Izin HPH
Luas (Ha)
Lokasi
Berakhir
Sisa Berakhir
Aktivitas
Izin
741/MenhutIV/1994 6 Juni 1994
59.910
6 Juni 2014
Kota Subulussalam
±4 Tahun
Tidak Aktif
PT. Lamuri Timber
863/Kpts-VI/1999 12 Oktober 1999
44.400
14 Nopember 2034
Kab. A. Jaya, A. Barat, Pidie
± 24 Tahun
Tidak Aktif
3
PT. Aceh Inti Timber
859/Kpts-VI/1999 12 Oktober 1999
80.804
9 Juli 2049
Kab. Aceh Jaya
± 39 Tahun
Tidak Aktif
4
PT. Raja Garuda Mas Unit II
851/Kpts-VI/1999 11 Oktober 1999
96.500
11 Agustus 2052
Kab. Aceh Barat
± 42 Tahun
Tidak Aktif
5
Kopontren Najmussalam
876/kpts-II/1999 14 oktober 1999
30.846
14 Oktober 2054
Kab. Bireun
± 44 Tahun
Tidak Aktif
Jumlah
312.460
1
PT. Hargas Industries Ind
2
Sumber: Dinas Kehutanan Aceh, 2011, dalam SRAP REDD+ Aceh, 2013.
negara yang mencapai Rp58,7miliar. Modusnya beragam dari perambahan hutan legal maupun ilegal, manipulasi perizinan, tidak membayar biaya reklamasi, penggunaan broker untuk mengurus perizinan serta menggunakan proteksi aparat penegak hukum. Selain itu, juga ditemukan pejabat negara yang menggunakan posisinya agar perusahaan pribadinya memperoleh konsesi.54 Berdasarkan statistik Dinas Kehutanan Aceh tahun 2011, konsesi pemanfaatan hutan yang masih berlaku izin terdiri dari IUPHHKHA sebanyak 5 unit izin dengan luas areal kerja ± 312.460 hektar dan IUPHHK-HT sebanyak 8 unit izin dengan luas areal kerja ± 247.265 hektar (lihat Tabel 4 dan 5).55 Namun demikian, data menunjukkan bahwa semua jenis izin ini dalam kondisi tidak aktif. Dengan demikian, tantangan terbesar yang harus dikelola ke depan oleh pemda adalah bagaimana mengelola ini dan tentunya, potensi tergodanya untuk melanjutkan kembali kebijakan penguasaanya oleh pemegang izin tsb. Pendek kata, kebijakan pemerintah 54
55
Lihat “Parah, Korupsi Sumber Daya Alam”, Kompas, 15 Desember 2014. Lihat Draf SRAP REDD+ Aceh, 2013.
Kelima, seperti halnya kasus di Papua terkait dengan masih kurangnya sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan politik pembangunan daerah. Semangat otsus Aceh berdasarkan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah pemberian ruangkewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan Aceh. Namun demikian, Pemda Aceh masih melihat bahwa sejumlah isu seperti pengelolaan sumber daya alam, baik migas dan kehutanan dan penggunaan lahan dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan landasan normatif tersebut. Dalam isu pengelolaan sektor kehutanan, kebijakan moratorium penebangan hutan yang digulirkan pada tahun 2007 oleh Pemda Aceh dinilai belum mampu mendorong dukungan pendanaan kuat dari pusat. Kasus lain terkait dengan pengelolaan perizinan investasi migas dan penggunaan lahan yang masih sangat tergantung terhadap pemerintahan pusat.56 Isu lain
56
Pandangan ini misalnya disampaikan dalam wawancara dengan pihak Bappeda Pemda Aceh, 29 September 2014 (Rahmat).
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
161
Tabel 6. Kondisi IUPHHK-HTI Nama Perusahaan
No
1
PT. Gunung Medang Raya Utama Timber
No. SK. HPHTI/ Tanggal 495/KptsII/1992 1 Juni 1992 556/KptsII/1997 1 September 1997
2
PT. Tusam Hutani Lestari
3
PT. Aceh Nusa Indrapuri
4
PT. Rimba Wawasan Permai
5
PT. Rimba Penyangga Utama
195/KptsII/1997 4 April 1997
6
PT. Rimba Timur Sentosa
262/KptsII/1997 4 April 1997
7
8
PT. Aceh Swaka Wana Nusa Prima
PT. Mandum Payah Tamita
Jumlah
95/ Kpts-V/1997 17 Februari 1997 558/KptsII/1997 1 September 1997
529/KptsII/1997 15 Agustus 1997
522/052/2003 23 Desember 2003
Izin Berakhir
Luas Tanaman s.d saat ini (Ha)
Lokasi
Aktifitas
7.300,00
1 Juni 2045
3.627,00
Kab. Aceh Timur
Tidak Aktif
97.300,00
12 Mei 2035
13.158,00
110.000,00
5 Agust 2035
22.458,00
5.200,00
15 Juli 2035
1.600,00
Kab. Aceh Timur
Tidak Aktif
6.150,00
21 Peb 2035
2.474,00
Kab. Aceh Timur
Tidak Aktif
6.250,00
25 Sept 2053
2.130,00
Kab. Aceh Timur
Luas (Ha)
Kab. A. Tengah Kab. B. Meriah
Tidak Aktif
Kab. A. Besar Kab. Pidie
Tidak Aktif
7.050,00
21 Sept 2035
1.343,00
Kab. Aceh Utara
8.015,00
23 Des 2053
-
Kab. Aceh Utara
46.790,00
247.265,00
Tidak Aktif dan proses RKT 2011 Telah dicabut (SK Menhut No.SK.250/ MENHUTII/2011 tanggal 3 Mei 2011) Tidak Aktif
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh, 2011, dalam SRAP REDD+ Aceh, 2013.
terkait dengan kecenderungan kekurangpercayaan pemerintah pusat dalam setiap pengelolaan SDA Aceh. Akibatnya, “tarik-menarik” terus terjadi dalam setiap usulan kebijakan pembangunan daerah.57 Sebaliknya, pemerintah pusat pun dinilai telah memberikan perhatian penuh dalam 57
162
Pandangan ini misalnya disampaikan dalam wawancara dengan pihak Dishut Pemda Aceh, 2 Oktober 2014 (Karmansyah, Kabid Perencanaan dan Fauzan, Bagian Planologi Dishut Provinsi Aceh).
pelaksanaan otsus. Dalam nota keuangan RAPBN 2015 misalnya, dengan merujuk pada pemenuhan amanat UU tentang Otsus, pemerintah merencanakan kenaikan alokasi dana otsus sebesar Rp320,4 miliar menjadi Rp16,5 triliun dari alokasi tahun 2014 sebesar Rp16,1 triliun. Dana alokasi otsus Aceh yang sebesar Rp7 triliun, secara khusus diarahkan untuk memenuhi pendanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.58 Dengan melihat konstelasi persoalan implementasi kebijakan mitigasi perubahan iklimsektor kehutanan kedua provinsi di atas, kedua provinsi tersebut belum berperan secara optimaldalam implementasi kebijakan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan secara nasional. Dalam konteks inilah, disain dan arah kebijakan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan lima tahun ke depan seharusnya semakin memperkuat ruang peran pemerintah daerah. Lalu, faktor-faktor apa saja yang turut menentukan perlunya isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan diperkuat dalam agenda RPJMN 2015-2019?”. Pertama, kemauan politik yang kuat dalam menjalankan kebijakan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, penekanan sektor kehutanan sebagai satu unsur utama politik mitigasi iklim harus mendapat posisi sentral dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Sebaliknya, di tingkat daerah, kemauan politik pusat harus menjadi cambuk dalam mengimplementasikan serangkaian kebijakan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, disain RPJMN 2015-2019 ke depan tidak hanya menyentuh agenda mitigasi iklim yang sifatnya normatif tetapi juga operatif/konkrit. Hal ini menyiratkan perlunya penguatan koordinasi dan sinergitas antara pusat dan daerah. Upaya ini hanya bisa terlaksana jika kejelasan dan konsistensi tujuan mitigasi dapat dijaga sehingga sinergitas pusat-daerah mudah ditempuh. Hal ini penting dilakukan karena tingginya derajat kepentingan antar-pemangku kepentingan baik pusat dan daerah maupun antara negara dan aktor nonnegara, lemahnya koordinasi antar-lembaga pelaksana, terlalu tingginya tuntutan dari atas dan bawah serta kecenderungan terjadinya saling melempar tanggung jawab antar-lembaga pelaksana (power of inaction). Kedua, perlu upaya ‘rekonsiliasi’ antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sektor kehutanan. Besarnya potensi sektor kehutanan menjadikannya 58
Lihat catatan kaki no. 42.
sebagai daya tawar baru daerah yang ber-otsus dalam mendapatkan kompensasi pendanaan pusat sebagai ganti untuk mengerem kegiatan alih fungsi lahan baik di sektor kehutanan dan pertambangan. Dalam konteks ini, komitmen pusat dalam mengelola ini akan meningkatkan dukungan daerah dalam setiap kebijakan mitigasi dalam lima tahun ke depan. Ketiga, tata kelola. Restrukturisasi kelembagaan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan menjadi satu kementerian menjembatani kuatnya tarik-menarik kepentingan mana yang akan didahulukan antara penjagaan lingkungan atau sumber daya ekonomis. Oleh karena itu, kiranya menjadi tantangan bagi kementerian ini untuk menguatkan tata kelola sektor kehutanan. Keberhasilan tata kelola tidak hanya semata-mata bermanfaat untuk pengelolaan sektor ini tetapi juga dalam rangka mendukung kredibilitas peran Indonesia dalam mendukung kebijakan mitigasi secara global. Sebagai gambaran serangkaian kebijakan progresif mitigasi iklim sektor kehutanan diciptakan dalam rentang waktu berakhirnya RPJMN ke-3. Konsekuensinya, RPJMN 2015-2019 harus memberikan landasan yang semakin tegas dalam pelaksanaan serangkaian kebijakan tersebut. Sebagai contoh, kebijakan penurunan emisi 40% dan penyelesaian kerja sama REDD+ dengan Norwegia ditargetkan pada tahun 2020. Tanpa dukungan kuat pemerintah terhadap hal ini, kebijakan rencana aksi nasional pengurangan GRK tidak akan mampu memenuhi target penurunan emisi tersebut. Keempat, penguatan dukungan sosial. Isu tata kelola kehutanan selalu menjadi isu seksi yang banyak mendapatkan resistensi sosial karena menyangkut pola pengelolaan yang secara sosial melibatkan lintas-generasi dan kentalnya kepentingan ekonomi. Dalam konteks sosio-kultural di Papua, persoalan ini menjadi tantangan tersendiri karena kentalnya masyarakat di sekitar hutan yang menggantungkan kehidupan subsistennya terhadap hasil hutan non-kayu dan berburu. Dalam kaitan ini, kebijakan mitigasi yang ditegaskan dalam RPJMN, harus benar-benar
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
163
menjamin manfaatnya bagi masyarakat dalam jangka menengah dan panjang. Hal lain terkait kepastian bahwa pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kerangka peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.59 Jadi, keberhasilan pemerintah pusat dan daerah dalam merebut dukungan publik akan memperkuat kebijakan mitigasi kehutanan ke depan. Kekuatan gaya kepemimpinan rezim pemerintahan sekarang dan kemajuan teknologi informasi seharusnya dapat mempermudah dalam mendapatkan dukungan tersebut.
Provinsi Aceh belum berperan optimal dalam mendukung kebijakan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu menguatkan kemauan politiknya yang memberikan ruang peran bagi daerah dalam pelaksanaan kebijakan mitigasi iklim sektor. Hal ini mensyaratkan penguatan koordinasi dan sinergitas pusat dan daerah untuk menjamin kejelasan dan konsistensi tujuan mitigasi. Dalam konteks ini, ‘rekonsiliasi’ antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sektor kehutanan karena seringnya potensi sektor kehutanan dijadikan sebagai alat tawar baru daerah. Dengan demikian, RPJMN 2015IV. PENUTUP 2019 harus menjadi landasan yang kuat dalam pelaksanaan serangkaian kebijakan mitigasi ini. A. Kesimpulan Selain itu, pemerintah dengan dibantu RPJMN periode 2015-2019 bersifat sangat strategis sebagai dasar kesinambungan acuan oleh pemangku kepentingan lain harus mampu pelaksanaan pembangunan lima tahunan menguatkan dukungan publik. Isu tata kelola dalam rentang waktu s.d. tahun 2025. Nilai kehutanan selalu menjadi isu yang banyak strategisnya akan semakin dipertaruhkan seiring mendapatkan resistensi sosial karena menyangkut dengan adanya perubahan rezim pemerintahan pola pengelolaan yang secara sosial bersifat lintasyang biasanya tidak selalu sejalan dengan arah generasi dan kentalnya kepentingan ekonomi. politik pembangunan rezim pemerintahan Dengan demikian, implementasi serangkaian sebelumnya. Dengan demikian, tidak tergodanya kebijakan mitigasi kehutanan ke depan akan pemerintahan sekarang untuk tidak mendisain lebih mudah dilaksanakan seiring dengan gaya kebijakan pembangunan yang dapat berpotensi kepemimpinan pemerintahan sekarang dan tidak sejalan dengan kesinambungan arah kemajuan teknologi informasi seharusnya dapat pembangunan sebelumnya menjadi tantangan mempermudah dalam mendapatkan dukungan tersebut. tersendiri. Beberapa faktor turut menentukan perlunya Dalam kerangka mitigasi perubahan sektor isu mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan kehutanan sektor ini, disain RPJMN 2015-2019 harus memperkuat arah dan kebijakan yang diperkuat dalam agenda RPJMN 2015-2019. telah disasar pemerintahan sebelumnya. Arti Pertama, kemauan politik yang kuat dalam penting isu mitigasi perubahan iklim dari sektor menjalankan kebijakan mitigasi perubahan iklim kehutanan tidak hanya terkait dengan persoalan sektor kehutanan baik di tingkat pusat maupun kinerja pengelolaan sektor tersebut selama ini daerah. Kedua, perlu upaya ‘rekonsiliasi’ antara tetapi juga bagaimana serangkaian kebijakan pusat dan daerah dalam pengelolaan sektor nasional jangka menengah dan panjang dapat kehutanan. Besarnya potensi sektor kehutanan dikawal secara berkesinambungan dalam menjadikannya sebagai daya tawar baru daerah kerangka kebijakan nasional maupun komitmen yang ber-otsus dalam mendapatkan kompensasi pendanaan pusat sebagai ganti untuk mengerem global. Dengan melihat peta persoalan mitigasi kegiatan alih fungsi lahan di sektor kehutanan. iklim kehutanan di Provinsi Papua dan Dalam konteks ini, komitmen pusat dalam mengelola ini akan meningkatkan dukungan 59 Misalnya, Perdasus Provinsi Papua No. 22 Tahun 2008 daerah dalam setiap kebijakan mitigasi dalam lima tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya tahun ke depan. Ketiga, tata kelola. Restrukturisasi Alam Masyarakat Hukum Adat Papua.
164
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015
kelembagaan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan menjadi satu kementerian menjembatani kuatnya tarik-menarik kepentingan mana yang akan didahulukan antara penjagaan lingkungan atau sumber daya ekonomis. Keempat, penguatan dukungan sosial. Dalam kaitan ini, kebijakan mitigasi yang ditegaskan dalam RPJMN, harus benar-benar menjamin manfaatnya bagi masyarakat dalam jangka menengah dan panjang. B. Rekomendasi Berdasarkan hasil data dan analisis kualitatif di atas, arah kebijakan RPJMN III mensyaratkan terpenuhinya sejumlah hal berikut ini: 1. Penguatan sinergitas arah kebijakan antara pusat dan daerah dalam proses pembangunan dan pengelolaan sektor kehutanan secara khusus; 2. Penguatan dukungan pusat terhadap penegakkan hukum dan implementasi kebijakan dalam upaya mitigasi iklim sektor kehutanan ; dan 3. menyongsong pengelolaan mitigasi iklim kehutanan, penyatuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan harus memperkuat kemauan politik pemerintah dalam melaksanakan arah pengelolaan kehutanan sebagaimana tertuang dalam RPJMN tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arild Angelsen, dan Stibniati Atmadja (ed). Melangkah maju dengan REDD: Isu, pilihan dan implikasi, Bogor: Cifor, 2010. Arild Angelsen, et al. (ed.). Mewujudkan REDD+, Strategi nasional dan berbagai pilihan kebijakan, Bogor: Cifor, 2011.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Statistik Kehutanan 2009, Jakarta: Kemenhut, 2010. Kemenhut. Statistik Kementerian Kehutanan 2013, Jakarta: Kemenhut, 2014. Michael Howlett, and M. Ramesh. Studying public policy: policy cycles and policysubsistems, USA: Oxford Univ. Press, 1995. Pemerintah Aceh. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh, Aceh: Pemerintah Aceh, 2013. Pemerintah Aceh. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RADGRK) Aceh 2012-2020, Aceh: Pemerintah Aceh, 2013. Riant Nugroho. Public Policy, edisi revisi, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011. Sebastian Hetsch dan Juan Chang. “Key Concepts for Carbon Accounting of REDD+ Projects”, Patways for Implementing REDD+, Perspectives Series, UNEP, 2010. Ira Sharkansky. Politics and Policy Making, USA: Lynne Rienner Publ, 2002. Jurnal Arild Angelsen. “Forest cover change in space and time: combining von Thunen and the forest Transition”, World Bank Policy Research Working Paper, 4117, Washington DC, 2007. Gerald E. Caiden. “What Really is Public Maladministration?”, Public Administration Review, Vol. 51, No. 6 (Nov.-Dec.), 1991. Des Gasper. “The Human Security Approach as a Frame for Considering Ethics of Global Environmental Change”, IHDP Update, Bonn: June 2009, Issue 2, 2009. Chukwumerije Okereke. “Climate Justice and the international regime”, WIREs Climate Change, Vol. 1 (May/June), 2010.
BPS Provinsi Papua. Papua dalam Angka 2014, Jayapura: BPS Provinsi Papua, 2014.
Hariyadi: Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
165
Surat Kabar Dokumen dan Peraturan UU Barnabas Suebu. A Global Solution, Building a UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Low Carbon Economy for Papua Province, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Indonesia, makalah dipresentasikan dalam Lingkungan Hidup. COP ke-15 di Kopenhagen, 2009. PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara “Moratorium Tak Hambat Pertumbuhan”, Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional Kompas, Harian Umum, 12 April 2013. Perpres 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK, pada “Parah, Korupsi Sumber Daya Alam”, Kompas, Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut. 15 Desember 2014. “LoI between the Government of the Kingdom of Norway and the Government of the Republic Website of Indonesia on Cooperation on reducing Dana otsus Papua-Aceh Rp16,5 T, dan istimewa greenhouse emissions from deforestation and DIY Rp547 M [http://www.merdeka.com/ forest degradation”, ditandatangani di Oslo, uang/dana-otsus-papua-aceh-rp-165-tNorwegia, 26 Mei 2010. dana-istimewa-diy-rp-547-m.html]; diakses Perdasus No. 21 Tahun 2008 tentang 22 Desember 2014. Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di “Inpres Percepatan Pembangunan Papua Provinsi Papua. Dikritisi” [http://www.jpnn.com/ Perdasus Provinsi Papua No. 22 Tahun 2008 tentang read/2010/10/02/73606/Inpres-PercepatanPerlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Pembangunan-Papua-Dikritisi-#], diakses Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. 9 Desember 2014. Perda Provinsi Papua No. 23 Tahun 2013 “Kebijakan Green Forest 70% Masyarakat tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Perlu Dilibatkan”[http://www.papua.go.id/;] Provinsi Papua 2013-2033 diakses 13 Januari 2011. Surat Keputusan Gubernur Papua, No. 105 Gate Master. Status Hutan di Papua Mayoritas Tahun 2010 tentang Pembentukan Satuan Masih Hutan Adat [http://www.up4b.go.id/ Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah index.php/prioritas-p4b/9-pengawasanKarbon di Provinsi Papua. lingkungan/item/563-status-hutan-di-papuamayoritas-masih-hutan-adat]; diakses 9 Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional, Penurunan Emisi Desember 2014. GRK. Lukita Disarsyah Tuwo. Rancangan Teknokratis RPJMN 2015-2019, Kementerian PPN/ Letter of Intent between the Government of the Kingdom of Norway and the Government Bappenas, makalah disampaikan dalam of the Republic of Indonesia on Cooperation rangka penjaringan aspirasi masyarakat, on reducing greenhouse emissions from Pontianak, 20 Februari 2014, dalam http:// deforestation and forest degradation. bappenas.go.id/files/5713/9295/0477/5._ Wamen_PPN.pdf; diakses 14 April 2014.
166
Politica Vol. 6 No. 2 Agustus 2015