II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Padi (Varietas Rojolele) Di dunia terdapat kurang lebih 22 jenis padi-padian (Oryza) yang sudah diketahui genomnya (Suhartini 2010). Jenis O sativa dan O. glaberrima adalah jenis yang dibudidayakan, sedangkan sisanya adalah jenis-jenis liar. O. sativa adalah jenis yang tersebar keseluruh dunia (Priadi 2007). Spesies yang termasuk genus Oryza tersebut dikenal sebagai kerabat liar dari padi budidaya yang memiliki jumlah kromosom (2n): 24 dan 48. Genom O. sativa sama dengan padi budidaya, yaitu AA. Padi budi daya merupakan O. sativa yang mengalami seleksi baik secara alami maupun bantuan manusia. Menurut Tjitrosoepomo (1994) dalam Tjandra (2010), klasifikasi tanaman padi secara lengkap adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monotyledonae
Bangsa
: Poales
Suku
: Gramineae
Subfamili
: Oryzidae
Marga
: Oryza
Jenis
: Oryza sativa L. Pertumbuhan padi terdiri atas 3 fase, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan
pemasakan. Fase vegetatif dimulai dari saat berkecambah sampai dengan primordial malai, fase reproduktif terjadi saat tanaman membentuk malai sampai berbunga dan fase pemasakan dimulai dari pembentukan biji sampai panen. Fase pemasakan terdiri atas 4 stadia yaitu stadia masak susu, stadia masak kuning, stadia masak penuh dan stadia masak mati. Lamanya fase vegetatif berkisar selama 55 hari untuk padi berumur pendek dan 85 hari untuk padi berumur panjang, fase reproduktif 35 hari dan fase pemasakan selama 30 hari (Tripathi et al 2011). Padi rojolele termasuk sub spesies javanica (Soerjani et al 1987) yang banyak dibudidayakan di Jawa khususnya Jawa Tengah. Pada tahun 2003 Departemen
6
7
Pertanian telah merilis galur padi sawah lokal rojolele asal Kabupaten Klaten sebagai varietas unggul dengan nama padi Rojolele. berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 126/Kpts/TP.240/2/2003. Padi varietas Rojolele merupakan salah satu jenis padi sawah, dan tempat hidupnya berupa tanah berlempung yang berat atau tanah degan lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah. Selain itu juga menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18–22 cm dan pH 4,0–7,0. Pada tahap-tahap pertumbuhan tertentu, padi membutuhkan kondisi air yang tergenang (Widiyanti 2007). Padi rojolele merupakan salah satu varietas unggul lokal asal Indonesia yang digunakan sebagai induk persilangan dalam program IRRI (Mudjisihono et al 2002). Rojolele disenangi petani dan konsumen (Priadi et al 2007), hasil produksinya memiliki kualitas yang tinggi yaitu pulen dan wangi serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Mudjisihono et al 2001). Padi rojolele, dalam Rahmawati et al (2004) memiliki fenotip daun yang ramping dan panjang, memiliki komposisi amilum yang sedang, temperatur intermediet untuk gelatinisasi, merupakan padi aromatik, dan memiliki rasa yang enak. Padi rojolele memiliki karakteristik tinggi normal 165 cm, batang kuat dan tebal, daun kasar, sistem perakaran kuat, dan waktu panen yang cukup lama yaitu 150 hari setelah penanaman. Produksi padi rojolele dapat mencapai 8–10 ton/ha sehingga cukup menguntungkan secara ekonomis. Kualitas rojolele pada keturunannya juga cenderung stabil. Morfologi biji padi varietas rojolele dalam Widiyanti et al (2008) menunjukkan panjang bulu padi varietas rojolele bervariasi untuk 6 lokasi di Klaten. Berdasarkan panjang bulunya, padi varietas rojolele yang terdapat di Kabupaten Klaten dikelompokan menjadi dua. Pertama adalah kelompok padi varietas rojolele berbulu panjang yang meliputi lokasi Gledeg, Karangan dan Taji dengan panjang bulunya berturut-turut 30,375 mm, 30,05 mm dan 33,256 mm. Kelompok kedua terdiri dari lokasi Kadilajo, Mrisen dan Trasan yang merupakan kelompok padi varietas rojolele yang berbulu pendek dengan panjang bulunya berturut-turut 10,014 mm, 10,5 mm dan 9,35 mm.
8
Bentuk biji dari keenam padi varietas rojolele yang diuji memiliki rasio P/L yang mendekat pada angka 3 yang merupakan perbatasan antara bentuk lonjong dan langsing. Variasi yang terjadi pada bentuk biji sangat kecil yang tidak memberikan perbedaan yang nyata. Bentuk padi diperoleh dengan membandingkan antara ukuran panjang biji padi dan ukuran lebar biji padi. Bentuk biji padi varietas rojolele menurut Widiyanti (2008), yaitu lokasi Gledeg: lonjong (P/L: 2,9159), Kadilajo: lonjong (P/L: 2,998), Karangan: langsing (P/L: 3,0072), Mrisen: langsing (P/L: 3,0399), Taji: langsing (P/L: 3,0825) dan Trasan: langsing (P/L: 3,0365). Warna biji padi varietas rojolele dari keenam lokasi Gledeg, Kadilajo, Karangan, Mrisen, Taji dan Trasan adalah kuning. Secara visual tidak ada variasi warna biji diantara keenam lokasi padi varietas rojolele yang diuji. Pada permukaan biji padi varietas rojolele memiliki dua garis memanjang dan rambut- rambut kecil (hairines). Beras rojolele mempunyai kadar amilosa sedang, antara 20–25 %, begitu juga pada beras Bondoyudo, Pandanwangi, IR 64, Cibodas, Maros, Way Apo Buru (Deliani 2004). B. Cekaman Kekeringan Kekurangan air merupakan salah satu faktor pembatas utama di bidang pertanian yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan serta hasil produksi tanaman. Ketersediaan air tanah yang semakin menurun serta adanya perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan kemarau yang berkepanjangan dan selanjutnya mengakibatkan kekurangan air pada tanaman (Efendi 2008). Menurut Makarim (2006) masalah kekeringan atau kekurangan air pada tanaman merupakan masalah yang bukan hanya sulit untuk diatasi pada masa kini, namun juga akan terus berkembang pada masa-masa mendatang. Kekeringan pada tanaman padi sawah yang menyebabkan gagal panen (puso) di Pulau Jawa, kemungkinan disebabkan oleh (1) berkurangnya distribusi air ke lahan pertanian, akibat bertambahnya penggunaan air untuk sektor non-pertanian, termasuk untuk air minum dan industri yang juga berkembang pesat, (2) daya tanah menahan air berkurang karena berkurangnya vegetasi, dan luas lahan resapan air, sehingga
9
periode kekeringan akan berkembang, dan (3) rusaknya lingkungan akibat emisi gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, dll.) Kekurangan air atau kekeringan pada tanaman dalam Nio dan Banyo (2011) dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu, (1) Cekaman ringan, jika kandungan air nisbi menurun 8 – 10 %, (2) Cekaman sedang, jika kandungan air nisbi menurun 10 – 20 % , dan (3) Cekaman berat, jika kandungan air nisbi menurun > 20%. Tanaman dikatakan mengalami kekeringan jika kehilangan lebih dari 50% air dari jaringannya. Kebutuhan air setiap tanaman berbeda, tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhannya (Solichatun et al 2005). Hal ini juga berkaitan langsung dengan proses fisiologis dan morfologis pada tanaman serta kombinasi kedua faktor tersebut dengan faktor-faktor lingkungan. Kebutuhan air pada tanaman dapat terpenuhi dengan adanya penyerapan air oleh akar. Jumlah air yang diserap oleh akar sangat bergantung pada kandungan air tanah, kemampuan partikel tanah untuk menahan air serta kemampuan akar untuk menyerap air (Nio et al 2010). Mekanisme toleransi pada tanaman sebagai respon adanya cekaman kekeringan menurut Lestari (2006), meliputi: (1) Kemampuan tanaman tetap tumbuh pada kondisi kekurangan air yaitu dengan menurunkan luas daun dan memperpendek siklus tumbuh, (2) Kemampuan akar untuk menyerap air di lapisan tanah paling dalam, (3) Kemampuan untuk melindungi meristem akar dari kekeringan dengan meningkatkan akumulasi senyawa tertentu seperti glisin, betain, gula alkohol atau prolin untuk osmotic adjustment, dan (4) Mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah hilangnya air melalui daun. Dengan adanya osmotic adjustment tersebut memungkinkan pertumbuhan tetap berlangsung dan stomata tetap membuka. Kekurangan air dapat menurunkan hasil produksi tanaman yang sangat signifikan dan bahkan bisa menjadi penyebab kematian pada tanaman (Nio dan Banyo 2011). Berkurangnya produktivitas (biomassa) tanaman pada saat kekurangan air disebabkan oleh penurunan aktivitas metabolisme primer termasuk fotosintesis dan penyusutan luas daun. Penurunan akumulasi biomassa akibat
10
kekurangan air untuk setiap jenis tanaman bervariasi tergantung pada respons masing-masing jenis tanaman terhadap kekurangan air (Solichatun et al 2005). Penurunan ketersediaan air tanah menurunkan berat kering akar. Berat kering akar adalah berat akar setelah dikeringkan di oven pada suhu 70 0C selama 72 jam sampai beratnya konstan seperti pada akar rumput gajah dan rumput raja (Sinaga 2008). Genotipe tanaman yang memiliki berat kering akar lebih tinggi pada saat kekurangan air memiliki resistensi kekeringan yang lebih besar (Palupi dan Dedywiryanto 2008). Dalam Nio dan Torey (2013) disebutkan bahwa berat kering genotipe padi gogo yang toleran terhadap kekurangan air (Salumpikit, B11597CTB-2-24, dan B11338F-TB-26) 2 kali lebih besar (2,74 mg) daripada genotipe yang peka (varietas IR65907-116- 1-B-MR- 4, B528B-TB-12-1-1, dan IR 20). Genotipe tanaman dengan berat kering akar lebih besar pada saat kekurangan air memiliki resistensi terhadap kekurangan air yang lebih besar (Palupi dan Dedywiryanto 2008). C. Radiasi Sinar Gamma Peningkatan keragaman genetik tanaman dapat dilakukan melalui introduksi, hibridisasi, induksi mutasi dan rekayasa genetika. Diantara cara-cara tersebut mutasi merupakan salah satu cara yang dipandang paling murah dan cepat dalam upaya peningkatan keragaman genetik tanaman (Sari et al 2015). Mutasi adalah suatu proses perubahan yang mendadak pada materi genetik dari suatu sel, yang mencakup perubahan pada tingkat gen, molekuler, atau kromosom. Induksi mutasi merupakan salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan keragaman tanaman. Gen yang berubah karena mutasi disebut mutan (BBbiogen 2011). Radiasi adalah istilah yang digunakan untuk berbagai bentuk pancaran energi (Crowder 1997) melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel, atau gelombang elektromagnetik (foton) dari suatu sumber energi (BATAN 2013). Radiasi ditinjau dari massanya, dibagi menjadi radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi elektromagnetik adalah radiasi yang tidak memiliki massa, terdiri dari radiasi gelombang radio, gelombang mikro, inframerah, cahaya tampak, sinarX, sinar gamma, dan sinar kosmik. Radiasi partikel adalah radiasi berupa partikel yang memiliki massa, misalnya partikel beta, alfa dan neutron (BATAN 2013).
11
Radiasi ditinjau dari muatan listriknya, radiasi dibagi menjadi radiasi pegion (radiasi atom / radiasi nuklir) dan radiasi non-pegion. Radiasi pegion adalah radiasi yang dapat menyebabkan ionisasi (terbentuk ion positif dan negatif) jika berinteraksi dengan materi, dan ion ini akan memberika efek / pengaruh pada materi tersebut. Radiasi pegion antara lain sinar-X, sinar gamma, sinar kosmik, serta partikel beta, alfa dan neutron. Sinar-X, sinar gamma, dan sinar kosmik, walaupun tidak memiliki massa dan muatan listrik, dapat menimbulkan ionisasi secara tidak langsung. Radiasi non-pegion adalah radiasi yang tidak dapat menimbulkan ionisasi, antara lain radiasi gelombang radio, gelombang mikro, inframerah, cahaya tampak, dan ultra violet (BATAN 2013). Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah ditemukannya sinar alpha dan beta oleh E. Rutherford dan F. Soddy. Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang lebih pendek dari sinar X yang berarti menghasilkan radiasi elektromagnetik dengan tingkat energi yang lebih tinggi (Crowder 1997). Besarnya dosis radiasi yang diterima oleh suatu medium yang berada dalam suatu medan radiasi sebanding dengan lamanya penyinaran, dimana semakin lama penyinaran maka akan semakin besar dosis radiasi yang diterima (Safitri dan Fitri 2010). Penggunaan iradiasi sinar gamma dengan dosis yang terlalu tinggi dapat memberikan efek negatif langsung pada tanaman, karena semakin banyak mutasi yang diberikan maka tanaman akan mati (Mubarok et al 2011). Pemberian mutasi yang terlalu tinggi akan menghambat pembelahan sel yang menyebabkan kematian sel yang berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tanaman dan morfologi tanaman. Pemberian sinar gamma dengan konsentrasi tinggi secara umum dapat menurunkan persentase perkecambahan dan pertumbuhan tanaman. Penurunan persentase pertumbuhan tanaman akibat radiasi sinar gamma disebabkan oleh adanya efek deterministik yaitu efek kematian sel yang disebabkan oleh paparan radiasi. Efek determinasi ini muncul karena dosis paparan radiasi yang diberikan di atas dosis ambang yang seharusnya diterima. Semakin tinggi dosis radiasi maka semakin tinggi efek deterministiknya (Mubarok et al 2011).