3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Morfologi Tanaman Genderuwo (Sterculia foetida Linn.) Tanaman genderuwo, memiliki beberapa nama yang berbeda di beberapa daerah seperti halumpang (Batak); kepoh, koleangka (Sunda); kepuh, kepoh, jangkang (Jawa); jhangkang, kekompang (Madura); kepuh, kepah, kekepahan (Bali); kepoh, kelompang, kapaka, wuka, wukak (NTT); bungoro, kalumpang (Makassar); alumpang, alupang, kalupa (Bugis); dan kailupa furu, kailupa buru (Maluku). Dalam bahasa Inggris tanaman ini disebut sebagai Hazel Sterculia. Selain itu juga sering disebut sebagai Indian Almond, Indian-Almond, Java Olive, Java Olives, Java-Olive, Peon, Skunk Tree, dan Sterculia Nut. Pohon generuwo kini hanya ditemukan di beberapa tempat yang dianggap keramat seperti kuburan, punden ataupun tempat sakral lainnya. Karena itu tanaman ini sering dianggap sebagai tanaman “genderuwo”. Apalagi dengan bentuk buahnya yang aneh dan besar hingga disebut pula buah genderuwo (Handayani dan Yuniastuti 2014). Identifikasi berdasarkan karakter morfologi, tanaman genderuwo memiliki batang berkayu, membulat, berwarna abu-abu sampai coklat. Tinggi tanaman genderuwo dapat mencapai 33 m dengan usia ± 350 tahun. Daun tanaman genderuwo berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau muda pada permukaan daun bagian bawah. Bentuk daun bulat memanjang dengan panjang 525 cm, lebar 3-8,5 cm dan memiliki ketebalan antara 0,02-0,06 cm. Panjang tangkai daun berkisar 6,5-43 cm. Bunga tanaman genderuwo memiliki mahkota daun berwarna merah darah. Buah tanaman genderuwo berbentuk semanggi dengan jumlah lokus 3-6 setiap buah. Buah berwana hijau pada saat masih muda dan hitam pada waktu masak. Biji tanaman genderuwo berbentuk lonjong berwarna
putih dengan kulit biji berwarna kuning. Jumlah biji setiap lokus
berkisar antara 5-20 (Yuniastuti 2008). Deskripsi morfologi tanaman genderuwo telah dilakukan pada 10 kabupaten di Jawa Tengah secara garis besar tanaman genderuwo yang ditemukan dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu berbuah
besar dan berbuah kecil.
Pengelompokkan biji berdasarkan berat rata-rata 10 biji tua antara 1,5-2,0 g (biji 3
4
besar) dan 1,0-1,5 g (biji kecil). Hasil pengamatan menjelaskan bahwa bunga muncul pada cabang terakhir atau anak cabang ke-4 hingga ke-6. Begitu pula dengan daun, dimana daun juga muncul pada anak cabang ke-4 hingga ke-6. Selain itu, persentase fruit-set tanaman genderuwo cukup rendah, karena dalam 1 tangkai bunga yang berisi antara 20-30 bunga hanya 1-2 bunga yang jadi buah (Yuniastuti 2008). Adapun taksonomi tanaman ini sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magholiophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malvales
Famili
: Malvaceae
Genus
: Sterculia
Spesies
: Sterculia foetida Linn.
(Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 2014). Bunga S. foetida secara fungsional berumah satu dengan jantan dan bunga hemaprodit morfologi berfungsi sebagai bunga betina. Bunga-bunga betina yang kompatibel terhadap serbuk sari secara silang saja. Serangga yang membantu proses penyerbukan yaitu: lebah dan lalat, hasil penyerbukan dikumpulkan baik serbuk sari dan nektar dan yang terakhir hanya nektar. Bunga menunjukkan perubahan warna dari hijau ke hijau kemerahan, kemudian menjadi merah keseluruhannya. Bunga S. foetida mampu mengalami penyerbukan baik secara alami, silang maupun bantuan serangga (Rao 2006). Tanaman genderuwo termasuk jenis tanaman cepat tumbuh dengan sebaran tumbuh cukup luas serta mampu tumbuh pada ketinggian 0-1.000 mdpl. Tanaman tersebut dapat ditemukan pada hutan primer, hutan sekunder, daerah berkarang dengan pasir berbatu dan daerah pesisir pantai. Benih kepuh atau bisa disebut genderuwo cenderung memiliki karakter after ripening yang ditunjukan dengan meningkatnya daya berkecambah benih setelah penyimpanan kering di suhu kamar selama beberapa hari (Sudrajat et al 2011).
5
B. Budidaya Secara In vitro Kultur jaringan merupakan salah satu teknik dalam perbanyakan tanaman secara klonal untuk perbanyakan masal. Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur jaringan antara lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (mother stock) sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Jalur embriogenesis somatik di masa mendatang lebih mendapat perhatian karena bibit dapat berasal dari satu sel somatik sehingga bibit yang dihasilkan dapat lebih banyak dibandingkan melalui jalur organogenesis. Di samping itu, sifat perakarannya sama dengan bibit asal biji (Lestari 2011). Menurut Rahardja dan Wiryanta (2005), kultur jaringan termasuk teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan berdasar pada sifat totipotensi tumbuhan. Totipotensi adalah kemampuan beberapa sel tanaman yang masih dalam proses pertumbuhan. Untuk mendukung keberhasilan kultur jaringan, tanaman yang akan dikulturkan berupa jaringan muda yang dalam kondisi tumbuh, seperti pucuk tanaman, daun muda, akar, dan tunas. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangkan secara generatif. Tanaman dalam kultur jaringan dikembangkan melalui poliferasi tunas lateral. Poliferasi tunas dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi sesuai untuk poliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas dalam jumlah yang banyak dalam waktu singkat (Kosmiatin et al 2005). Bahan tanaman dapat diperoleh dalam jumlah banyak dapat dilakukan dengan perbanyakan secara in vitro. Tunas berakar hasil perbanyakan in vitro, tingkat adaptasinya di lapangan (aklimatisasi) lebih tinggi daripada tunas tidak berakar. Teknik kultur jaringan merupakan salah satu alternatif yang baik untuk
6
memperoleh bibit dalam jumlah banyak, seragam, dan dalam waktu relatif singkat. Salah satu keberhasilan dalam perbanyakan dengan kultur jaringan adalah pembentukan akar (Rostiana dan Seswita 2007). Penelitian mikropropagasi untuk tanaman berbiji rekalsitran berhasil menumbuhkan tanaman berkayu di luar habitatnya. Kriteria seleksi untuk tanaman hasil mikropropagasi adalah kesesuaian iklim lokal yaitu waktu fenologi dan penampakan antosianin untuk meningkatkan adaptasi pertumbuhan pada intensitas cahaya tinggi dan rendah. Mikropropagasi tanaman berkayu akan lebih baik untuk memperbanyak induksi tunas dan akar secara rutin dengan menggunakan 10 mikrogram/l triacontanol yang dikombinasikan dengan 0,5 mg IBA (Handayani dan Yuniastuti 2014). Dalam mikropropagasi tanaman berkayu dibutuhkan media dasar yang optimum. Kemampuan hidup eksplan nodus tanaman pada media WPM dengan pemberian ZPT menunjukkan respon yang cukup tinggi, yaitu mencapai 73.33 %. Kemampuan hidup eksplan pada kultur in vitro sangat tergantung dari eksplan itu sendiri, jenis dan komposisi media serta kandungan zat pengatur tumbuh yang diberikan. Jenis dan komposisi media sangat mempengaruhi
besarnya
ketersediaan zat makanan bagi eksplan sehingga secara langsung dapat mempengaruhi besarnya daya tahan eksplan untuk hidup pada media tersebut, sedangkan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen berpengaruh utuk menginduksi pola morfogenesis tertentu (Sundari et al 2015). Media kultur jaringan yang dirancang untuk tanaman berkayu seperti buah-buahan adalah WPM. Media WPM merupakan media dengan konsentrasi ion yang rendah pada jaman sesudah penemuan media MS. Media ini konsisten sebagai media untuk tanaman berkayu yang dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media tanaman berkayu lain (Sundari et al 2015). C. Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh mempunyai peran penting dalam proses
7
pertumbuhan dan perkembangan untuk kelangsungan hidup suatu tanaman. Pada kultur jaringan dibutuhkan ZPT untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas, ZPT yang digunakan adalah auksin dan sitokinin dengan konsentrasi rendah. Kultur jaringan dimanfaatkan untuk merangsang pembentukan akar pada tunas, biasanya menggunakan ZPT auksin, misalnya IBA dan NAA, karena efektivitasnya tinggi dan harganya relatif murah (Yusnita 2004). Pemberian auksin dalam kutur jaringan perlu memperhatikan fungsi dari setiap jenis auksin tersebut. Penambahan auksin jenis tertentu dapat menstimulasi pembentukan kalus tetapi menghambat elongasi akar. Auksin sintetik yang sering digunakan untuk menginduksi perakaran in vitro adalah NAA dan IBA dalam konsentrasi rendah. Konsentrasi yang diperlukan dalam menginduksi akar bervariasi, tergantung dari jenis tumbuhan, jenis eksplan dan jenis auksin yang digunakan. Indole 3-Acetic Acid (IAA) digunakan pada kisaran konsentrasi 0,110 mg/l, NAA 0,05-1 mg/l, dan IBA 0,5-3 mg/l. Berbagai jenis auksin dapat diaplikasikan bersama-sama atau dikombinasikan dengan golongan sitokinin dan giberelin (Ahmed et al 2002), tetapi untuk menginduksi perakaran akan lebih baik hanya dengan penambahan satu jenis auksin saja (George dan Sherrington 1984). Zat pengatur tumbuh dari golongan auksin dapat menginisisasi akar dan memacu perkembangan akar cabang pada kultur jaringan (Davies 2004) sedangkan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin dapat menstimulasi pembentukan tajuk (Gaba 2005). Kombinasi IAA (auksin) dan BAP (sitokinin) yang digunakan dalam media pada penelitian ini diharapkan dapat membentuk tajuk dan akar yang normal pada tanaman Poinsettia. Sitokinin yang terdapat pada air kelapa dapat menyokong dan meningkatkan jumlah tunas, sementara auksin berperan dalam pembentukan akar (Pisesha et al 2007). Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Sitokinin yang diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh xilem menuju sel-sel target pada batang. Zat pengatur tumbuh yang termasuk golongan sitokinin yaitu kinetin, zeatin, ribosil dan Benzyl Amino Purine (BAP), 2-iP, dan Thidiazuron. Beberapa macam sitokinin merupakan sitokinin
8
alami (misal : kinetin, zeatin) dan beberapa lainnya sitokinin sintetik yaitu BAP dan 2-iP. Sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah BAP dan kinetin. BAP adalah sitokinin yang sering digunakan karena paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, lebih stabil dan tahan terhadap oksidasi serta paling murah diantara sitokinin lainnya (Fahmi 2013). Pengaruh sitokinin dipengaruhi oleh konsentrasi auksin. Adanya meristem apikal, maka auksin menekan pertumbuhan tunas aksilar. Meristem apikal dibuang, konsentrasi sitokinin meningkat, merangsang pertumbuhan tunas aksilar. Sitokinin berperan dalam menghambat pertumbuhan akar melalui peningkatan konsentrasi etilen. Sitokinin menghambat pembentukan akar lateral melalui pengaruhnya pada sel periskel dan memblok program pengembangan pembentukan akar lateral. Bersama dengan auksin, sitokinin berfungsi dalam pertumbuhan sel meristem dan mempengaruhi perkembangan kuncup, batang, dan daun (Parnata 2004).