II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Andisol Tanah Andisol di Jawa terdapat di daerah lereng pada ketinggian 7001.500 meter diatas permukaan laut, dengan wilayah yang memiliki kondisi iklim agak dingin dan lebih basah daripada di dataran rendah. Pada tempat yang tinggi, keadaan iklim kurang cocok untuk terjadinya kristalisasi mineral, oleh karena itu Andisol banyak dijumpai alofan dan bahan-bahan amorf. Curah hujan tahunan pada wilayah tersebut bervariasi dari 2.000-7.000 mm, dengan temperatur tahunan antara 18o C – 22o C (Munir 1996). Tanah Andisol mempunyai sifat yang khas yaitu sifat andik, dicirikan dengan kadar bahan organik kurang dari 25% dan kandungan bahan amorf (alofan, imogolit, ferrihidrit, atau senyawa komplek Al-humus) cukup tinggi. Kandungan bahan amorf yang tinggi menyebabkan jerapan P di tanah Andisol sangat tinggi (Brady dan Weil 2004). Darmawijaya (1990) menerangkan bahwa Andisol
merupakan
tanah
yang
berwarna
hitam
kelam,
sangat
porous,
mengandung bahan organik dan liat tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silika dan alumina atau hidroksida besi, daya pengikat airnya sangat tinggi, jika ditutup vegetasi selalu jenuh air, sangat gembur tetapi mempunyai derajat ketahanan struktur yang tinggi sehingga mudah diolah. Sanchez (1976) menyampaikan, pengikatan atau penjerapan P di tanah Andisol dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Kandungan oksida Al yang ada pada Andisol tinggi, sehingga daya jerapannya terhadap ion fosfat semakin besar. 2. Derajat kristal, yaitu semakin tinggi derajat kristal mineral penyusun tanahnya akan semakin rendah daya jerapnya terhadap fosfor. Oksida amorf pada Andisol mempunyai derajat kristal yang rendah dan luas permukaan yang sangat besar sehingga mempunyai daya jerap yang besar. 3. Susunan mineral Andisol yang bersifat oksida memiliki daya jerap yang besar. Tanah dengan mineral alofan mengandung oksida Al tinggi sehingga akan menjerap P dalam bentuk Al-P sehingga ketersediaan P di dalam tanah rendah. Tanah Andisol, umumnya mempunyai efisiensi pemupukan P yang rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena sebagian P yang diberikan akan bereaksi 4
5 dengan Al membentuk Al-P akibat tingginya kadar Al larut dalam larutan tanah (Sufardi 2001). Permasalahan terjerapnya unsur hara P, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi jerapan P tinggi antara lain: mengembangkan tanaman yang toleran terhadap ketersediaan P rendah, memperbaiki kendala P tanah, terutama melalui pengelolaan P, dan kombinasi dari kedua cara tersebut (Nursyamsi et al. 2003). Vegetasi yang terdapat pada tanah Andisol, sama melimpahnya seperti pada tanah pada zona alluvial dan wilayah iklim yang lembab, akan tetapi pertumbuhan tanaman pertanian di wilayah tersebut relatif kurang baik karena kandungan nutrisi tanaman yang rendah terutama P dan beberapa hara mikro (Nanzyo 2002). Kondisi kesuburan tanah Andisol sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Kualitas tanah yang baik diantaranya dicirikan oleh kandungan bahan organik tanah yang rata-rata tergolong tinggi. Tan dan Schuylenborgh (1961) cit. Prasetyo (2005) menyatakan banwa kandungan C-organik tanah Andosol di Indonesia berkisar anatar 6 sampai 15%. Namun demikian beberapa hasil penelitian menemukan kandungan C-organik tanah Andosol yang kurang dari 2% (Sukarman dan Dariah 2014). B. P dalam tanah dan tanaman Pada sebagian besar tanah jumlah P yang tersedia untuk tanaman dari larutan tanah sekitar 0.01 % dari total P dalam tanah. P tanah secara umum digolongkan menjadi 3 yaitu : a.
P Organik : berasal dari bahan organik dan imobilisasi P terlarut oleh mikrobia.
b.
Ikatan P anorganik dengan Ca : umumnya pada pH tinggi dan tanah berkapur bersumber dari pupuk dan mineral.
c.
Ikatan P anorganik dengan Fe atau Al : ikatan Fe atau Al umumnya terdapat pada tanah yang mempunyai pH rendah dan tanah yang telah mengalami pelapukan tinggi atau telah lanjut (Brady and Weil 2004). Penerapan pupuk fosfor di tanah pertanian memiliki beberapa masalah
terutama karena fiksasi P rendah dan akumulasi dalam tanah. Bentuk kimia fosfor adalah dasar memahami dinamika fosfor dan interaksinya dalam tanah yang diperlukan untuk manajemen fosfor. Garg dan Bahl (2008) melaporkan bahwa
6 bahan organik untuk meningkatkan ketersediaan P dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P. Fosfor dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk HPO 4 2atau H2 PO4 - (Munawar 2011). Winarso (2005) mengemukakan bahwa unsur P di dalam tanah bersifat tidak stabil, sehingga ketersediannya relatif rendah dimana sebagian besar unsur P diserap tanaman melalui mekanisme difusi 93%, dan mekanisme lainnya yaitu intersepsi akar 3% dan 5% mass flow. Munawar (2011) dan Devau et al.(2009) menyampaikan bahwa ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh nilai pH tanah. Ketersediaan P dikebanyakan tanah maksimum pada rentang pH 6,0 – 6,5 (Havlin et al. 2005; Munawar 2011). Fosfor mempunyai peranan penting dalam metabolisme energi. Energi yang diperoleh dari proses fotosintesis dan metabolisme karbohidrat disimpan dalam senyawa fosfat yang digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Unsur P pada berperan dalam peningkatan perkembangan akar, sehingga dapat mempercepat penyerapan hara dari dalam tanah (Hamdani 2008). Unsur P merupakan komponen utama dalam tanaman yaitu sekitar 0,2 - 0,4 % atau 2000 – 4000 ppm (Suhariyono dan Yurizon 2005). Berdasarkan Reuters dan Robinson (1985) diketahui bahwa nilai P jaringan (%) pada tanaman kelapa sawit muda yaitu 0,19 % - 0,21 %. Sumarni et al. (2012) menyatakan bahwa unsur P berperan penting dalam komponen penyusun enzim dan protein, ATP, RNA, DNA dan phyteen yang mempunyai fungsi penting di dalam pembelahan sel meristematik, proses fotosintesis, penggunaan gula seperti pati dan transfer energi. Nursyamsi dan Setyorini (2009) mengemukakan kecukupan P sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif dan reproduktif tanaman,
meningkatkan
kualitas
hasil,
dan ketahanan tanaman
terhadap penyakit. Oleh karena itu pengelolaan hara P merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam meningkatkan produksi pertanian. Tanaman membutuhkan unsur P untuk pertumbuhan dan produksinya, terutama untuk bunga, buah dan biji, mempercepat pematangan, dan memperbaiki kualitas tanaman (Tan 2003). C. Mikoriza ( Vesicular Arbuscullar Mycorrhizal) Mikoriza arbuskular adalah simbion bawah tanah yag lazim ditemukan, dan
terbentuk pada perakaran, tanaman tingkat tinggi dan bersifat
cendawan
7 obligat simbiosis (Smith dan Read 1997). Mikoriza arbuskular masuk ke dalam filum Glomeromycota (Schiipier et al. 2001). berasal
Asal dari mikoriza diperkirakan
400 tahun yang lalu, mendukung hipotesis dari evolusi tanaman kuno
(Simon et al. 1993). Saat ini, mikoriza arbuskular bersimbiosis mayoritas dengan 80% spesies tanaman, termasuk sebagian besar tanaman tanaman pertanian, hortikultura dan kehutanan. Mikoriza arbuskular berkembang dalam dua sistem miselia, satu tumbuh di dalam akar, dan yang lain meluas ke dalam perakaran tanah. Miselium yang bersifat ekstraradikal mengembangkan hubungan antara akar dan partikel tanah, sehingga berperan dalam menjaga stabilitas struktur tanah, dan pengangkutan mineral serta air untuk tanaman, yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan nutrisi bagi tanaman. Mikoriza arbuskular lebih berkontribusi untuk kebugaran dan ketahanan pada tanaman terhadap cekaman lingkungan abiotik dan biotik, oleh
karena itu mikoriza arbuskular memainkan peran penting dalam sistem
pertanian terpadu (Rufyikiri et al. 2005).
Haris dan Adnan (2005) berpendapat
bahwa mikoriza arbuskular merupakan cendawan yang berasosiasi dengan tanaman inang dan sporanya berkecambah membentuk apressoria sebagai alat infeksi pada perakaran. Hifa pada mikoriza arbuskular berkembang diluar jaringan akar, sehingga membantu dalam penyerapan unsur hara tertentu dan air. Hifa dari jamur mikoriza arbuskular mampu menembus lubang pori pada biochar dengan ukuran < 1mm, dan berkontribusi pada penyerapan nutrisi yang lebih tinggi (Hammer et al. 2014). Mosse (1981) menjelaskan,
mikoriza arbuskular yang memperoleh inang
pada perakaran tanaman akan membantu tanaman tersebut dalam hal penyerapan air dan unsur hara sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Pengaplikasian mikoriza indigenous pada tanaman jagung ditanah
gambut di Kalimantan Barat mampu meningkatkan serapan hara N, P, K dan Mg (Sasli dan Agus 2012). Novriani (2010) menerangkan bahwa pemberian pupuk kompos menyebabkan kenaikan persentase kolonisasi
mikoriza
meningkat
hingga mencapai 83,23% jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa kompos. Püschel (2014) menyampaikan bahwa inokulasi mikoriza menunjukan efek
positif terhadap
kenampakan
visual dan
berbagai indikator penting
8 pertumbuhan tanaman hias Pelargonium zonale, pada perlakuan pemberian air minimum dibanding, tanaman yang diairi secara baik. Kolonisasi oleh cendawan mikoriza arbuskular akan melindungi akar terhadap serangan patogen tanah penyebab penyakit, diantaranya pada kemangi (Toussaint et al. 2008) dan palem (Abohatem et al. 2011). Terdapat bukti yang jelas bahwa jaringan cendawan ini menyerap unsur hara yang sering tercuci seperti Fosfor dan mendistribusikannya kepada tanaman. Pada cendawan yang bersimbiosis dalam akar, unsur hara yang diserap cendawan, ditransfer dari sel cendawan ke sel akar, dimana menyebabkan peningkatan
perolehan
nutrisi oleh
tanaman dan peningkatan pertumbuhan
tanaman (Leyval et al. 1977 cit. Rufyikiri et al. 2005). D. Pupuk Organik Cair Pupuk secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik, pupuk anorganik merupakan semua jenis pupuk yang berasal dari bahan kimia anorganik dan dibuat di industri (pabrik), pupuk anorganik sendiri dibedakan menjadi dua yaitu pupuk anorganik teknis dan pupuk anorganik pro analis (Amini 2006). Pupuk organik, menurut Supartha et al. (2012) merupakan hasil dekomposisi bahan-bahan organik yang diurai
(dirombak) oleh
mikroba, yang hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman
untuk
pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.
Sutanto
(2002)
menyatakan pupuk kandang sebagai salah satu jenis pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami daripada bahan pembenah tanah buatan atau sintetis. Pupuk organik cair merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan ketersediaan,
kecukupan,
dan
efisiensi
serapan
hara
bagi tanaman
dan
mengandung mikroorganisme sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik (N,P,K) dan meningkatkan hasil tanaman secara maksimal serta mampu memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah. (Dhamayanti et al. 2013). Penggunaan pupuk organik padat dan cair pada sistem pertanian organik sangat dianjurkan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pemakaian pupuk organik juga dapat memberi pertumbuhan dan hasil tanaman yang baik. Rahmatika (2010) menemukan pengaruh yang sama antara perlakuan pemupukan urea 100% dibandingkan dengan penggunaan 100% nitrogen yang
9 berasal dari azola pada
tanaman padi. Hal serupa juga ditemukan Rohcmah dan
Sugiyanta (2010) yang meneliti kombinasi pupuk organik dan anorganik pada tanaman padi. Penggunaan pupuk organik 10 ton/ha dan pupuk anorganik (200kg Urea/ha + 100kg SP-36/ha + 100kg KCl/ha) mampu meningkatkan efektivitas agronomi pada padi jika dibandingkan hanya menggunakan pupuk anorganik. Hadi (2005) juga menyarankan memanfaatkan abu sekam sebagai alternatif pupuk organik sumber kalium pada budidaya tanaman padi sawah. Penggunaan lain pupuk organik padat dan cair juga telah diteliti pada beberapa tanaman seperti bayam (Dhamayanti et al. 2013), jagung manis (Rahmi A dan Jumiati 2007) dan pada sawi hijau (Sutari 2010). Mutu pupuk cair dapat ditapsirkan dari nisbah antar jumlah karbon dan nitrogen (C/N ratio) . Jika C/N ratio Tinggi berarti bahan penyusun pupuk cair belum terurai\ secara sempurna. Bahan baku dengan C/N ratio tinggi akan terurai atau membusuk lebihlama dibandingkan dengan bahan baku C/N rendah. Kualitas pupuk cair dianggap baik jika memiliki C/N ratio antara 12 – 15. kandungan Unsur hara di dalam pupuk cair tergantuing dari jenis bahan asal yang digunakan dan cara pembuatannya (Pancapalaga 2011). Rahmi A dan Jumiati (2007) berpendapat bahwa aplikasi pupuk organik cair mealui daun pada tanaman jagung merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan produktvitas jagung sebesar 13%. E. Pupuk Majemuk Anorganik Pupuk majemuk (NPK) adalah pupuk yang terdiri dari dua atau lebih unsur hara.
Penggunaan
pupuk
majemuk
ini
menjamin
diterapkannya
teknologi
pemupukan berimbang sehingga dapat meningkatkan produksi dan mutu hasil tanaman. Selain itu, pupuk majemuk juga dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi pemupukan, mudah dalam aplikasi serta mudah diserap oleh tanaman (Primanti
dan
Haridjaja
2005).
Hasil penelitian
Sirappa
et
al.
(2002)
mengungkapkan bahwa pemupukan nitrogen dengan takaran 120 kg N/ha atau setara dengan 260 kg Urea/ha pada lahan kering dengan kadar N total sangat rendah sampai sedang dengan jenis tanah Inceptisols, mampu memberikan hasil pipilan jagung 6–7 t/ha. Selanjutnya Sirappa et al. (2003) dan Sirappa dan Tandisau (2004) melaporkan bahwa hasil jagung tertinggi pada tiga jenis tanah
10 (Entisol, Inceptisols dan Vertisols) masing-masing diperoleh pada pemupukan dengan takaran 120 kg N, 80 kg P2 O5 dan 80 kg K 2 O/ha atau setara dengan 260 kg urea, 220 kg SP36, dan 130 kg KCl/ha. Pemakaian pupuk anorganik dengan intensitas yang tinggi dan interval yang panjang menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan tanah, sehingga menurunkan produktivitas lahan pertanian (Supartha et al. 2012). Supadma (2006) menyatakan bahwa sejak tahun 1984 pemakaian pupuk buatan (anorganik) oleh petani di Indonesia nampak sangat dominan untuk meningkatkan hasil pertanian, karena pupuk anorganik mampu meningkatkan ketersediaan hara makro secara cepat. Sutanto (2006) memaparkan dampak buruk penggunaan pupuk kimia juga menyebabkan
ketidakseimbangan
ekosistem
biologi
tanah,
sehingga
tujuan
pemupukan untuk mencukupkan unsur hara di dalam tanah tidak tercapai, potensi genetis tanaman pun tidak dapat dicapai mendekati maksimal. Kondisi tersebut menimbulkan pemikiran untuk kembali menggunakan bahan organik sebagai sumber pupuk organik. Pemupukan berimbang adalah pengelolaan hara spesifik lokasi, bergantung pada lingkungan setempat, terutama tanah. Konsep pengelolaan hara spesifik lokasi mempertimbangkan kemampuan tanah menyediakan hara secara alami dan pemulihan
hara
yang
sebelumnya
dimanfaatkan
untuk
padi sawah irigasi
Penggunaan bahan organik perlu mendapat perhatian yang lebih besar, mengingat banyaknya lahan yang telah mengalami degradasi bahan organik, di samping mahalnya pupuk anorganik (urea, ZA, SP36, dan KCl). (Dobermann dan Fairhurst 2000; Dobermann et al. 2003). Quansah (2010) menyatakan bahwa kombinasi pupuk anorganik dengan organik
umumnya
meningkatkan
produksi
karena
bahan
organik
dapat
memperbaiki kondisi tanah sehingga unsur hara lebih tersedia untuk tanaman. Salah satu manfaat dari pupuk organik adalah dapat memperbaiki sifat kimia tanah khususnya meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Herviyanti et al. (2012) menyatakan bahwa tanah-tanah dengan kandungan bahan organik tinggi dapat meningkatkan jumlah muatan negatif yang menyebabkan KTK tanah tinggi dan mampu mengikat unsur hara, sehingga efektivitas pemupukan anorganik juga meningkat. Senada dengan hal tersebut Sari et al. (2015) menyampaikan bahwa
11 penggunaan pupuk organik mampu meningkatkan efisiensi pemaikaian pupuk NPK anorganik serta berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit. Perhitungan keefektifan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pupuk organik dengan pupuk NPK umumnya efektif secara agronomi. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pupuk NPK akan lebih efektif apabila diaplikasikan dengan pupuk organik. Efektivitas pupuk NPK dapat terjadi karena pemberian pupuk organik yang berperan dalam memperbaiki sifat biologi tanah.
Pupuk
organik
dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah
sehingga pemberian pupuk NPK akan lebih efektif sebagai sumber energi bagi mikroorganisme meningkatkan
tersebut.
Kombinasi
produksi dan
kualitas
pupuk
organik
dan
kimia
tanaman
karena
pupuk
kimia
dapat yang
dicampurkan dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai energi, sedangkan pemberian pupuk kimia saja akan menyebabkan tanah miskin bahan organik dan mengurangi populasi mikroorganisme (Darmiyati et al. 2006). F. Salak ( Salacca zalacca (Gaertn.) Voss ) Salak (S. zalacca (Gaertner (Voss)) merupakan tanaman asli Indonesia. Buahnya banyak
digemari masyarakat karena rasanya manis, renyah dan
kandungan gizi yang tinggi. Salak mempunyai nilai ekonomis dan peluang pasar yang cukup luas, baik di dalam negeri maupun ekspor. Pulau Jawa sebagai salah satu pusat keragaman kultivar salak, mempunyai potensi yang cukup besar untuk menghasilkan
varietas-varietas
unggul
yang
lebih
bernilai
ekonomis
dan
kompetitif (Nandariyah et al. 2004). Taksonomi tanaman salak : Kerajaan : Plantae Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Arecales
Famili
: Arecaceae
Genus
: Salacca
Spesies
: S. zalacca (Gaertn.) Voss (Astuti 2007) Terdapat 20 spesies dari genus Salacca yang telah di temukan di dunia, 13
spesies diantaranya tersebar di wilayah asia tenggara termasuk indonesia.
12 Indonesia terdapat beberapa varietas salak yang mempunyai nilai komersial yang relatif tinggi yaitu dari jawa S. zalacca (Gaertner) Voss mengandung 2-3 biji, dari Bali, (S. amboinensis (Becc) Mogea) mengandung 1-2 biji dan dari Padang Sidempuan, S. sumatrana (Becc) Mogea, yang mempunyai daging berwarna kemerahan dan putih (Hadiati 2012). Tanaman salak S. zalacca merupakan jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai salah satu metode konservasi lahan dengan pola tanam yang beragam. Dalam rangka konservasi lahan rawan bencana longsor maka budidaya tanaman salak merupakan alternatif karena mempunyai banyak keunggulan. Tanaman salak dapat ditanam di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi 50 – 800 mdpl pada tanah gembur dengan struktur lempung pasir dengan keasaman tanah (pH) 4 – 7,5 dan curah hujan 200-400 mm per bulan. Penyinaran matahari 70-80 %, kelembaban tinggi 80-90 % tetapi tidak becek dan suhu 20 – 30 o C (Astuti 2007). Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman salak, dimana
faktor
tersebut
dapat
merangsang
tanaman
untuk
berbunga
dan
menghasilkan benih. Kebanyakan spesies tidak akan memasuki masa reproduktif jika pertumbuhan vegetatifnya belum selesai dan belum mencapai tahapan yang matang untuk berbunga. Sehubungan dengan ini terdapat dua rangsangan yang menyebabkan perubahan itu terjadi, yaitu suhu dan panjang hari (Rai et al. 2010). Charisma (2014), menerangkan bahwa pada dosis inokulan mikoriza arbuskular 75 g/tanaman menghasilkan persentase fruit-set yang budidaya salak gula pasir, hal terinfeksi dengan lebih
tinggi
ini dikarena
akar tanaman
salak yang sudah
mikoriza arbuskular, mempunyai kandungan
dimana
memungkinkan
tinggi pada
auksin
yang
peningkatan pertumbuhan akar, sehingga
kapasitas penyerapan unsur hara dan air juga meningkat, dan fruit set yang dapat dihasilkan dari fruit set tanaman salak gula pasir juga akan meningkat.