1
II. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Isu orientasi pembangunan berubah dan berkembang pada setiap urutan
waktu yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua (PDII), pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara. Beberapa negara berhasil meletakkan landasan pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi termasuk Indonesia. Tetapi keberhasilan ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga isu pembangunan pada periode 1980-an bergeser dengan memasukkan unsur kesejahteraan sebagai tujuan dari pembangunan. Todaro
(1989)
menjelaskan
pembangunan
sebagai
suatu
proses
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Masuknya kesejahteraan dalam pemaknaan pembangunan terus bergulir di antara beberapa pakar pembangunan, hingga mencapai puncak dengan lahirnya Deklarasi Millenium hasil kesepakatan 189 kepala negara dan pemerintahan anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di bulan September 2000 (Hulme, 2003). Millenium Development Goals (MDGs) adalah tujuan pembangunan global yang mengedepankan kesejahteraan rakyat baik untuk generasi sekarang maupun generasi akan datang, yang kemudian diadopsi oleh negara-negara anggota PBB (Gentilini & Webb, 2008). MDGs Indonesia menargetkan penurunan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya dibawah US $1 per hari menjadi setengahnya dalam rentang waktu 1990-2015. Target pencapaian ini belum menunjukkan hasil yang baik, sehingga kemiskinan masih menjadi masalah fundamental di Indonesia. Pada rentang tahun 1990 hingga 2008, tim laporan pencapaian MDGs Indonesia (2007) dan BPS (2009) mencatat proporsi penduduk miskin di Indonesia belum menunjukkan penurunan, bahkan sedikit lebih tinggi. Jika tahun 1990 proporsi penduduk miskin Indonesia sebesar 15,10%, di tahun
2
2008 proporsinya menjadi 15,42%. Pada periode yang sama penurunan penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat lebih baik dibandingkan tingkat nasional, dimana penurunan proporsi penduduk miskin telah melebihi setengahnya dari 27,60% menjadi 11,07%. meskipun dibandingkan wilayah lain di Kalimantan, jumlah dan persentase penduduk miskin Kalimantan Barat masih lebih tinggi, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1
Perbandingan tingkat kemiskinan, IPM dan pendapatan per kapita antar provinsi di Kalimantan Tahun 2008 Jumlah Penduduk Miskin (000 orang)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Provinsi
IPM Kota
Desa
Kota+ Desa
Kota
Desa
Kota+ Desa
PDRB per kapita (Rp juta/kap)
Kalbar
127,5
381,3
508,8
9,98
11,49
11,07
68,17
6,52
Kalteng
45,3
154,6
200,0
5,81
10,20
8,71
73,88
8,13
Kalsel
81,1
137,8
218,9
5,79
6,97
6,48
68,72
7,99
Kaltim
110,4
176,1
286,4
5,89
15,47
9,51
74,52
33,34
12 768,5
22 194,8
34 963,3
11,65
18,93
15,42
71,17
21,70
Indonesia
Sumber : BPS (2009) (diolah)
Upaya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan dengan membangun kapabilitas penduduk miskin agar mampu bersaing mendapatkan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan (Sumodiningrat, 2009). Strategi melalui pembangunan pendidikan dan kesehatan diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tingginya tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat berkorelasi dengan rendahnya IPM di wilayah ini yang sebesar 68,17, yang juga menunjukkan IPM terendah di wilayah Kalimantan. Pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, besaran IPM menunjukkan korelasi yang cukup kuat dengan persentase penduduk miskin. Pada Tabel 2, Kabupaten Sambas dengan IPM terendah yang sebesar 63,73, persentase penduduk miskinnya mendekati persentase penduduk miskin di tingkat provinsi. Hal yang sama tampak pada data Kabupaten Landak dengan proporsi penduduk miskinnya tertinggi, yaitu 18,65%, IPM-nya menunjukkan pencapaian dibawah provinsi. Hanya Kota Pontianak yang menunjukkan IPM lebih tinggi dan persentase penduduk miskin yang lebih rendah dibandingkan di tingkat provinsi.
3
Hal ini menunjukkan bahwa investasi di bidang pembangunan manusia di provinsi ini masih terkonsentrasi di Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi. Tabel 2
Indeks Pembangunan Manusia beserta kompositnya dan persentase penduduk miskin di kabupaten/kota pada Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008
Usia Harapan Kabupaten/Kota Hidup (tahun) Kab. Sambas 60,70 Kab. Bengkayang 68,57 Kab. Landak 64,98 Kab. Pontianak 67,12 Kab. Sanggau 67,99 Kab. Ketapang 67,02 Kab. Sintang 67,91 Kab. Kapuas Hulu 66,39 Kab. Sekadau 67,27 Kab. Melawi 67,63 Kab. Kayong Utara 65,33 Kab. Kubu Raya 66,17 Kota Pontianak 66,86 Kota Singkawang 66,95 Sumber : BPS Kalbar (2009) (diolah)
Angka Melek Huruf (%) 89,50 88,68 91,45 89,40 89,92 88,87 90,41 92,55 88,98 92,32 88,20 85,83 93,59 89,62
Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 5,90 6,03 6,86 6,48 6,40 6,22 6,58 7,10 6,06 7,20 5,60 6,16 9,11 7,30
Pengeluaran per Kapita (Rp000.00/ kap/bul) 614,92 599,30 608,21 617,52 609,95 608,43 602,01 627,31 598,62 598,62 600,67 617,00 636,18 611,76
IPM 63,73 66,81 66,74 67,90 67,86 66,84 67,44 69,41 66,13 67,91 64,69 66,31 72,08 68,02
Persentase penduduk miskin (%) 11,51 9,41 18,65 7,03 6,25 15,21 13,61 11,44 7,66 14,80 14,50 9,29 7,89
BPS Kalbar (2009) mencatat jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat pada tahun 2008 mencapai 508 800 jiwa, dengan jumlah tertinggi di Kabupaten Ketapang sebesar 67 700 orang dan persentase tertinggi di Kabupaten Landak sebesar 18,65%. Kabupaten Ketapang yang menghasilkan total output wilayah (PDRB) ketiga terbesar di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa pendapatan wilayah yang tinggi belum mampu berperan untuk menekan tingkat kemiskinan di wilayahnya. Berbeda dengan Kabupaten Landak yang menempati urutan kesembilan penyumbang PDRB provinsi, persentase penduduk miskin terkait dengan persentase rumahtangga sebesar 91,91% adalah rumahtangga pertanian yang juga ditunjukkan dengan share sektor pertanian yang sangat tinggi, yaitu sebesar 51,94% (Tabel 3). Sektor pertanian yang merupakan sektor yang padat tenaga kerja, dengan produktivitas dan tingkat keterampilan sumber daya manusia yang rendah, serta memiliki struktur penduduk berusia tua dan berpendidikan rendah, berkontribusi terhadap peningkatan proporsi penduduk miskin (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Keterkaitan ini memberikan gambaran bahwa konsentrasi penduduk miskin di Kalimantan Barat secara umum dijumpai di wilayah perdesaan yang aktivitas utamanya adalah pertanian.
4
Tabel 3
Persen rumahtangga pertanian, share sektor-sektor unggulan dan jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Kalimantan Barat, Tahun 2008
Kabupaten/ kota
Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu
Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara
Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Kalimantan Barat
Rumah tangga tani (%)
Share sektor (%) Pertanian
Industri
42.58 46.49 51.93 26.89 37.19 33.12 41.31 34.51 47.55 33.32 47.43 20.21 1.67 13.38 27.80
10.59 4.51 10.91 14.62 24.71 16.48 9.46 4.09 10.54 10.94 16.78 47.00 7.83 7.51 16.96
81,71 87,23 91,91 71,37 84,18 80,02 85,82 85,10 83,87 87,26 85,67 80,75 2,97 53,54 75,81
Dagang
28.87 26.33 19.94 18.43 18.93 20.03 23.76 15.96 20.42 34.30 16.00 18.04 24.05 40.78 22.74
Jasa
5.47 7.05 5.39 26.12 8.43 6.22 8.95 11.73 4.86 6.99 5.94 3.88 20.23 13.90 10.44
penduduk miskin (juta (%) orang)
0.06 0.02 0.07 0.05 0.03 0.07 0.05 0.03 0.01 0.03 0.01 0.05 0.02 0.51
11.51 9.41 18.65 7.03 6.25 15.21 13.61 11.44 7.66 14.80 14.50 9.29 7.89 11.07
Sumber : BPS Kalbar (2009) (diolah)
Selain di wilayah dengan basis pertanian, pola kemiskinan di provinsi ini juga menunjukkan bahwa Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi harus menghadapi desakan atas pergeseran kemiskinan di perdesaan. Estimasi untuk meningkatkan pendapatan di perkotaan bagi penduduk perdesaan mengakibatkan Kota Pontianak harus menanggung beban penduduk dengan pendidikan dan keterampilan rendah yang menekuni sektor-sektor informal dengan upah yang rendah. Dampak nyata pergeseran penduduk ke perkotaan ini adalah banyak dijumpai pemukiman kumuh di pinggiran Kota Pontianak. Kondisi ini memunculkan bentuk lain dari gambaran kemiskinan di provinsi Kalimantan Barat. Adam (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan satu persen PDRB per kapita akan menurunkan 0,252% jumlah penduduk miskin. Di tahun 2008, seluruh wilayah kabupaten telah melampaui estimasi dari penelitian tersebut. Berbeda dengan Kota Pontianak dan Kota Singkawang, dimana kenaikan PDRB per kapita meningkatkan pula jumlah penduduk miskin dengan persentase yang besar (Gambar 1). Dengan pola seperti ini menunjukkan tingginya daya tarik wilayah kota karena pendapatan wilayah yang tinggi yang justru menimbulkan bias ibukota (first city bias).
5
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 -10.00 -20.00 -30.00
% perubahan PDRB per kapita
Gambar 1
1.2
Kota Singkawang
Kota Pontianak
Kab. Kubu Raya
Kab. Kayong Utara
Kab. Melawi
Kab. Sekadau
Kab. Kapuas Hulu
Kab. Sintang
Kab. Ketapang
Kab. Sanggau
Kab. Pontianak
Kab. Landak
Kab. Bengkayang
Kab. Sambas
% perubahan jumlah penduduk miskin estimasi % perubahan jumlah penduduk miskin
Perubahan PDRB per kapita dan perubahan persentase penduduk miskin pada tahun 2007-2008 di kabupaten/kota.
Perumusan Masalah Kemiskinan masih menjadi permasalahan penting bagi pemerintah daerah
Provinsi Kalimantan Barat. Data statistik di tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di provinsi ini mencapai 508 800 orang, yaitu 11,07% dari total penduduk Provinsi Kalimantan Barat. Proporsi ini turun 4,39% dibandingkan proporsi penduduk miskin Kalimantan Barat di tahun 2002, dan jika dirata-ratakan penurunannya mencapai 0,73% per tahunnya. Adam (2004) mensyaratkan perubahan 1,00% pertumbuhan ekonomi untuk dapat menurunkan 0,252% jumlah penduduk miskin di negara-negara berkembang. Di Provinsi Kalimantan Barat, dalam rentang tahun 2002-2008,
rata-rata pertumbuhan
ekonomi mencapai 4,48%, sehingga estimasi dari perhitungan ini diharapkan penurunan penduduk miskin dapat mencapai 1,13% per tahunnya. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan prestasi penurunan proporsi penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat pada periode yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup sebagai prasyarat mengurangi kemiskinan, terlebih lagi jika wilayah tersebut menunjukkan keragaman yang tinggi baik etnik, geografi, ekologi dan demografi (Kalwija dan Verschoorb, 2007). Provinsi Kalimantan Barat yang terdiri atas 14 kabupaten/kota menunjukkan keragaman pola pencapaian indikator kinerja pembangunan daerah. Tingkat kemiskinan sebagai salah satu indikator
6
pembangunan menunjukkan pola hubungan yang berbeda-beda dengan indikator pembangunan lainnya, seperti total output wilayah yang diukur dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kabupaten Ketapang sebagai salah satu wilayah berbasis sektor pertanian dan penyumbang ketiga terbesar total PDRB provinsi, jumlah penduduk miskinnya adalah yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat. Demikian halnya dengan Kota Pontianak dengan basis ekonomi daerah adalah sektor sekunder dan tersier, juga menunjukkan jumlah penduduk miskin tertinggi kelima di provinsi ini. Oleh karena itu, keterkaitan antara pola aktivitas ekonomi dengan kemiskinan berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Strategi pembangunan manusia dalam ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diharapkan sebagai senjata lain untuk
mengatasi
kemiskinan, juga belum cukup mampu menjelaskan pola kemiskinan di suatu wilayah, sebagaimana yang ditunjukkan di Provinsi Kalimantan Barat. Pola hubungan antara tingkatan pembangunan manusia dengan tingkat kemiskinan yang berbeda-beda antar kabupaten/kota menunjukan bahwa untuk mengatasi kemiskinan, memerlukan strategi yang sesuai dengan pola masing-masing wilayah. Oleh karena itu, mengetahui karakteristik pembangunan di masingmasing kabupaten/kota diperlukan untuk mengelola dan mengembangkan strategi penanganan kemiskinan di suatu wilayah. Karakteristik wilayah sebagaimana dimaksud, tentunya terkait pula dengan pola interaksi antar wilayah terdekat (ketetanggaan). Wilayah yang berdekatan akan saling mempengaruhi, dan untuk hal-hal tertentu dimana interaksinya tinggi, wilayah yang berdekatan memiliki kesamaan atau kemiripan pola aktivitasnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pola spasial kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat? 2. Bagaimana pola spasial pembangunan manusia/sosial kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat? 3. Bagaimana pola spasial aktivitas ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat?
7
4. Bagaimana hubungan antara pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat? 5. Bagaimana arah kebijakan penanganan kemiskinan yang diperlukan pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat?
1.3
Tujuan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini
adalah: 1. Memetakan pola spasial kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. 2. Memetakan pola spasial pembangunan manusia/sosial di Provinsi Kalimantan Barat. 3. Memetakan pola spasial aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. 4. Menganalisis keterkaitan variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. 5. Menyusun arahan kebijakan penanganan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam upaya menyusun strategi penanggulangan kemiskinan; 2. Sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah; 3. Sebagai bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu sentralnya adalah penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia/sosial.