II. LANDASAN TEORI
A.
Keadaan Umum Kemiskinan Masyarakat Pesisir
Kemiskinan bukanlah suatu gejala baru bagi masyarakat Indonesia. Pada saat ini, walaupun sudah hidup dalam kemerdekaan selama puluhan tahun, yang dalam statusnya sebagai negara berkembang, kondisi kemiskinan itu selalu nyata di tengahtengah masyarakat, baik di kota maupun di desa. Masyarakat pesisir merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam kebijakan pembangunan. Jika pada masyarakat petani terdapat berbagai program subsidi, seperti subsidi pupuk dan benih, maka pada masyarakat nelayan subsidi seperti itu hampir tidak pernah mereka peroleh. Memang di beberapa daerah kadang ada semacam bantuan peralatan tangkap untuk nelayan, namun sering tidak bisa dimanfaatkan oleh nelayan, karena kendala yang bersifat struktural seperti keharusan adanya agunan yang tidak mereka miliki serta sistem angsuran yang tidak sesuai dengan pola pendapatan mereka. Akibatnya, walaupun beberapa program sudah dijalankan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir namun tetap saja kehidupan masyarakat pesisir masih akrab dengan kemiskinan, menghadapi sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: (1) kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat, (2) keterbatasan akses modal, teknologi, dan pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha, (3) kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada, (4) kualitas SDM yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, (5) degradasi sumberdaya lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan (6) belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2009).
Kemiskinan merupakan suatu konsep yang cair, dan bersifat multi dimensional. Disebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subyektif, bermakna relatif, tetapi sekaligus juga bermakna absolut. Sedangkan disebut multidimensional,
5 selain kemiskinan itu dapat dilihat dari sisi ekonomi, juga dari segi sosial, budaya dan politik. Dalam hal ini istilah kemiskinan itu lebih diartikan sebagai suatu kondisi yang serba kekurangan, yang merupakan suatu definisi umum yang digunakan untuk menjelaskan tentang kemiskinan. Pemerintah terus berupaya untuk mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Untuk mendukung kebijakan tersebut diperlukan langkah-langkah yang tepat, agar upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan maksimal. Sementara itu, masyarakat sendiri sebetulnya tidak tinggal diam. Mereka selalu berusaha dengan berbagai cara untuk keluar dari jerat kemiskinan yang membelenggu kehidupan mereka (Imron, M. Azzam 2009). Bertolak dari pemikiran tersebut maka upaya penanggulangan kemiskinan harus didasarkan pada definisi kemiskinan yang jelas, penentuan garis kemiskinan yang tepat dan pemahaman yang jelas mengenai sebab-sebab timbulnya persoalan kemiskinan tersebut.
Pada umumnya konsep kemiskinan lebih banyak dikaitkan dengan dimensi ekonomi. Kemiskinan juga dapat dikaitkan dengan dimensi sosial budaya dan sosial politik. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dalam bentuk ketidakmampuan suatu keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya, seperti pangan, sandang, perumahan dan kesehatan, yang secara kualitatif hal ini dapat dilihat pada kondisi perumahan yang kumuh, perabotan rumah tangga yang seadanya, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
sandang dan kesehatan yang
rendah, dan kondisi pendidikan yang juga rendah. Dalam kaitanya dengan dimensi sosial budaya, kemiskinan lebih sulit untuk diukur, dan tidak dapat dihitung dengan angka-angka. Meskipun demikian, dimensi sosial budaya dari kemiskinan itu dapat dilihat dan dirasakan, karena muncul dalam bentuk budaya kemiskinan misalnya, menyatakan adanya respon tertentu yang dilakukan oleh masyarakat miskin dalam menyikapi hidup, seperti boros dalam membelanjakan uang, mudah putus asa, merasa tidak berdaya, dan apatis. Semua ini merupakan budaya yang muncul karena kemiskinan yang dihadapi oleh generasi sebelumnya, dan diwariskan secara terusmenerus kepada generasi berikutnya, karena digunakan sebagai desain kehidupan bagi orang miskin untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya. Budaya kemiskinan yang demikian itu sekaligus menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan yang lebih
6 dalam, karena menghambat mereka untuk berjuang dalam melawan kemiskinan yang dialami. Adapun dalam dimensi sosial politik, kemiskinan muncul dalam bentuk terpinggirnya kelompok miskin dalam struktur sosial yang dibawah, dan tidak dilibatkannya mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu muncul dengan termarginalisasinya kelompok miskin, sehingga tidak mempunyai akses, misalnya, terhadap lembaga keuangan. Begitu pula dalam program-program untuk perbaikan kelompok ini, mereka tidak punya akses untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depannya, karena penentuan program biasanya dilakukan oleh orang luar yang merasa tahu atas permasalahan mereka, walaupun secara riil masyarakat miskin itulah yang sebetulnya
merasakan dan tahu persis permasalahan yang dihadapi (Imron, M.
Azzam, 2009). Wilayah pesisir memiliki arti strategis dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan yang terkandung di dalamnya.
Menurut Badan Riset Kelautan dan
Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan atau DKP (DKP, 2006) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,4 juta ton per tahun, meskipun demikian potensi ini belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir. Sampai dengan saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih merupakan masyarakat yang tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Padahal secara normatif, masyarakat pesisir seharusnya merupakan masyarakat yang sejahtera karena potensi sumber daya alam yang besar tersebut. Populasi Masyarakat Pesisir saat sekarang ini diperkirakan mencapai 16,42 juta jiwa dan mendiami 8.090 desa. Menurut hasil kompilasi analisis yayasan SMERU dan BPS (2002), Proverty Hedcount Index (PHI) rata-rata 0,3214 yang berarti sekitar 32% dari populasi atau sebanyak 5.254.400 masyarakat pesisir Indonesia berada pada level di bawah garis kemiskinan (Tabel 1). Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat pesisir tidak hanya disebabkan oleh kenaikan harga BBM yang merupakan salah satu modal melaut, tetapi juga disebabkan keterbatasan permodalan dan ketidakmampuan dalam mengakses sumbersumber permodalan yang ada serta kultur kewirausahaan yang tidak kondusif (DKP, 2005).
7 Tabel 1. Kondisi masyarakat pesisir No. Kondisi Masyarakat Pesisir 1
Desa Pesisir
2
Masyarat Pesisir
3
Jumlah 8.090 desa 16.420.000 jiwa
- Nelayan
4.015.320 jiwa
- Pembudidaya
2.671.400 jiwa
- Masyarakat Pesisir Lainnya
9.733.280 jiwa
Hidup di bawah garis kemiskinan
5.254.400 jiwa
Sumber : DKP, 2008 Keterbatasan akses permodalan membuat nelayan terjerat oleh tengkulak, toke atau punggawa yang pada kenyataannya cenderung menjeratnya dalam lilitan utang yang tidak pernah dapat dilunasi. Sedangkan kultur kewirausahaan masih bercorak pada manajemen keluarga dengan orientasi sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsistance). Masyarakat pesisir terdiri atas nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil perikanan, pelaku usaha industri dan jasa maritim serta masyarakat lainnya yang bermukim di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan segmen anak bangsa yang pada umumnya masih tergolong miskin (DKP, 2008). Meskipun pada saat musim ikan pendapatan nelayan cukup tinggi karena banyak ikan yang dapat ditangkap, namun keadaan seperti ini hanya berkisar antara satu atau dua bulan dalam setahunnya.
Di luar musim tersebut pendapatan nelayan cenderung tidak
menentu. Bahkan pada saat musim paceklik tidak jarang nelayan justru pulang dari laut dengan tangan hampa karena tidak ada ikan yang berhasil ditangkap. Apalagi jika musim ombak, tidak jarang nelayan justru tidak dapat melaut, maka bila dibuat angka rataan dalam pendapatan nelayan setahunnya cenderung kecil. Berbagai program bantuan kredit dari pemerintah seperti KIK, KMKP atau program Inpres Desa tertinggal (IDT) belum mampu mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat nelayan. Tidak sedikit bantuan kredit dan kredit bergulir mengalami kemacetan sehingga pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan bantuan kredit untuk
8 masyarakat nelayan. Hambatan pengembalian bantuan kredit ini disebabkan oleh kecilnya tingkat penghasilan nelayan sebagai akibat kesulitan memperoleh hasil tangkapan,
besarnya biaya
operasi, kerusakan
peralatan
tangkap,
jaringan
perdagangan ikan yang merugikan dan persepsi yang salah terhadap bantuan pemerintah. Alasan yang terakhir ini memandang bahwa setiap bantuan kredit modal atau peralatan tangkap yang disalurkan kepada nelayan dianggapnya sebagai pemberian yang cuma-cuma dari pemerintah sehingga nelayan tidak wajib mengembalikannya. Untuk itu, alternatif kebijakan yang terkait dengan pemberian kredit yang ditujukan untuk menangani masalah kemiskinan di nelayan tampaknya perlu dicari dengan segera. Salah satunya adalah program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara pemberian kredit pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang didukung oleh LKM yang pada laporan ini kami ambil objek evaluasi adalah BPR Pesisir.
B.
Pengertian Dasar BPR 1. BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR (Syahrudin, Universitas Gunadarma, 2005). 2. Status BPR diberikan kepada Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dengan memenuhi persyaratan tatacara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan tersebut diberlakukan karena mengingat bahwa lembaga-lembaga tersebut telah berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat, maka keberadaan lembaga dimaksud diakui. Oleh karena itu, UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 memberikan kejelasan status lembaga-lembaga dimaksud. Untuk menjamin kesatuan can keseragaman dalam
9 pembinaan dan pengawasan, maka persya-ratan dan tatacara pemberian status lembaga-lembaga dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 4. BPR Pesisir adalah BPR hasil bentukan dan Binaan KKP (Kementerian Kelautan
dan
Perikanan)
yang
dihasilkan
melalui
program
PEMP
(Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir), bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dimana BPR ini merupakan unit usaha milik koperasi yang bergerak di bidang simpan pinjam. (SOP Asosiasi BPR Pesisir, KKP) C.
Tinjauan BPR Pesisir Penelitian ini mengambil obyek BPR Pesisir Akbar di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dengan tinjauan umum sebagai berikut : 1. Prinsip Dasar BPR Pesisir (SOP Asosiasi BPR Pesisir, KKP) Prinsip dasar Program BPR Pesisir sebagai berikut: a)
Sasaran khusus kepada semua golongan usaha rakyat miskin di wilayah pesisir Kabupaten Bima.
b)
Sistem penyaluran modal, dibuat mudah dan fleksibel
c)
Program dilaksanakan dengan kaedah “perbankan” (1).
Pinjaman tidak dikenakan biaya administrasi
(2).
Program dijalankan secara terbuka
(3).
Pinjaman adalah pelanggan yang memiliki saham di BPR Pesisir
2. Visi dan Misi BPR Pesisir (DKP, 2009) Visi dari BPR Pesisir
adalah meningkatkan pengembangan dan kemajuan
pembangunan ekonomi kerakyatan khususnya bagi masyarakat daerah pesisir dan sekitarnya. Adapun Misi dari BPR Pesisir yaitu: a) Menghimpun dana dari masyarakat pesisir dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. b) Memberikan kredit yang ringan.
10 c) Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. d) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. SBI adalah sertifikat yang ditawarkan Bank Indonesia kepada BPR apabila BPR mengalami over likuiditas. D. Kinerja dan Evaluasi Kinerja
Dalam kamus bahasa Indonesia dikatakan bahwa kinerja adalah (1) sesuatu yang dicapai; (2) prestasi yang diperlihatkan; dan (3) kemampuan kerja. Berdasarkan pengertian tersebut terlihat bahwa kinerja bermakna kemampuan kerja dan hasil atau prestasi yang dicapai dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan (Simanjuntak, 2005).
Evaluasi kinerja adalah satu sistem dan cara penilaian pencapaian hasil kerja suatu perusahaan atau organisasi dan penilaian pencapaian hasil kerja setiap individu yang bekerja di dalam dan untuk perusahaan tersebut (Simanjuntak, 2005). Evaluasi kinerja adalah usaha mengidentifikasi dan menilai aspek-aspek pelaksanaan pekerjaan yang berpengaruh pada kesuksesan organisasi atau perusahaan (Nawawi, 2006). Pengertian ini memberikan tekanan pada pentingnya penilaian kinerja dihubungkan dengan kesuksesan organisasi atau perusahaan. Dengan kata lain aspek-aspek yang diidentifikasi dan dinilai harus diutamakan untuk mengetahui kontribusi pelaksanaan pekerjaan yang berpengaruh pada kemampuan mempertahankan dan mengembangkan eksistensi organisasi atau perusahaan. Evaluasi atas kinerja organisasi akan dipergunakan sebagai umpan balik atau feedback dalam proses manajemen kinerja. Di sisi lain, evaluasi dapat dipergunakan untuk melakukan perbaikan kinerja organisasi dimasa mendatang (Yuwono dkk, 2007).
11 Pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh hasil kerja yang dicapai terhadap tujuan yang diinginkan. Apabila terdapat penyimpangan, perlu dilakukan langkah-langkah untuk memacu kegiatan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai. Manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah : (1) menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggan dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan; (2) memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai mata rantai pelanggan dan pemasok internal; (3) mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan tehadap pemborosan tersebut (reduction of waste); (4) membuat suatu tujuan strategis menjadi lebih konkrit sehingga mempercepat proses pembelajaran; (5) membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi “reward’ atas perilaku yang diharapkan (Yuwono dkk, 2007).