ICASEPS WORKING PAPER No. 91
Deskripsi Keragaan Sosial Ekonomi Petani pada Lokasi P4MI di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur
Muhammad Iqbal dan Rudy Sunarja Rivai
Mei 2007
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
DESKRIPSI KERAGAAN SOSIAL EKONOMI PETANI PADA LOKASI P4MI DI KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Muhammad Iqbal dan Rudy Sunarya Rivai Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161
ABSTRACT Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) is one of agricultural projects in which it is specifically proposed to empower poor farmers. This article aims to describe farmers’ socioeconomic performance in one of PFI3P sites, namely Ende Regency in East Nusa Tenggara Province. The research result shows that the socioeconomic performance of local farmers was relatively underdeveloped. Therefore, it is needed to develop human resources capacity in managing natural resources. Concretely, the key word in implementing PFI3P activities is stakeholders’ participation, which enhances the welfare of farmers as both clients and beneficiaries of development Keywords : farmers, poor, PFI3P, Ende, East Nusa Tenggara ABSTRAK Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi (P4MI) merupakan salah satu proyek pembangunan pertanian yang secara spesifik ditujukan untuk pemberdayaan petani miskin. Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan keragaan sosial ekonomi petani pada salah satu lokasi P4MI, yaitu di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum keragaan sosial ekonomi petani di lokasi setempat boleh dikatakan masih tertinggal. Oleh karena itu, kapasitas sumberdaya manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam perlu dikembangkan. Kongkretnya, kata kunci dalam pelaksanaan kegiatan P4MI adalah partisipasi para pemangku kepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan petani sebagai subyek dan penerima manfaat pembangunan. Kata kunci : petani, miskin, P4MI, Ende, Nusa Tenggara Timur
PENDAHULUAN Pada hakekatnya, pembangunan pertanian diimplementasikan dalam beberapa kegiatan program/proyek. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain mencakup : (1) penerapan berbagai pola pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku pembangunan agribisnis, terutama petani; (2) fasilitasi terciptanya iklim yang kondusif bagi perkembangan kreativitas dan kegiatan ekonomi masyarakat; (3) penyediaan prasarana dan sarana fisik oleh pemerintah yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan publik yang mendukung sektor pertanian serta lingkungan 1
bisnis secara luas; dan (4) memicu akselerasi pembangunan wilayah dan merangsang tumbuhnya investasi masyarakat serta dunia usaha (Deptan, 2002). Salah satu fokus pembangunan pertanian dalam kaitannya dengan pemberdayaan petani miskin adalah Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi (P4MI). Secara garis besar, proyek ini ditujukan untuk membangun sistem agribisnis di lahan marjinal melalui pemberdayaan petani, pengembangan kelembagaan desa, dan perbaikan prasarana/sarana pendukung di desa secara partisipatif yang disertai inovasi teknologi dan peningkatan akses pada jaringan informasi. Ketatalaksanaan P4MI memiliki empat komponen kegiatan, yaitu : (1) pemberdayaan petani; (2) pengembangan sumber informasi nasional dan lokal; (3) dukungan untuk pengembangan inovasi pertanian dan diseminasi; dan (4) manajemen proyek (Badan Litbang Deptan dan ADB, 2003). P4MI dilaksanakan pada lima kabupaten di empat provinsi, masingmasing Blora dan Temanggung (Jawa Tengah), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Ende (Nusa Tenggara Timur); dan Donggala (Sulawesi Tengah). Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian (survai pendasaran) PSE dan P4MI dengan fokus tujuan untuk mendeskripsikan keragaan sosial ekonomi petani pada lokasi PM4I, kasus Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
METODOLOGI Penelitian dilaksanakan pada lima desa di empat kecamatan. Masingmasing
desa dan kecamatan tersebut adalah : (1) Desa Tendambepa
(Kecamatan Nangapanda); (2) Desa Hobatuwa (Kecamatan Lio Timur); (3) Desa Kotabaru (Kecamatan Kotabaru); (4) Desa Bokasape (Kecamatan Wolowaru; dan (5) Desa Tou (Kecamatan Kotabaru). Jenis data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari data dan informasi primer dan sekunder. Pengumpulan data dan informasi primer dilakukan melalui wawancara di tingkat petani dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) terstruktur dan semi-terstruktur. Sementara itu, data dan informasi sekunder diperoleh dari dokumentasi laporan dari beberapa institusi terkait. Responden adalah petani yang secara permanen mengusahakan lahan marginal, baik lahan kering maupun tadah hujan. Penarikan contoh (responden) dilakukan secara sengaja dan acak (purposive random sampling). Jumlah 2
responden untuk setiap desa yaitu 30 orang, sehingga jumlah responden seluruhnya adalah sebanyak 150 orang. Responden dibedakan atas dua kelompok berdasarkan batas garis kemiskinan menurut standar Badan Pusat Statistik (BPS, 2003), yaitu dengan kriteria pendapatan per kapita Rp. 1.025.628 per tahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penduduk dan Angkatan Kerja Kabupaten Ende memiliki kepadatan penduduk relatif jarang, yaitu sekitar 117 jiwa per kilometer persegi dengan penyebaran yang tidak merata (BPS Ende, 2003). Kepadatan yang relatif tinggi terdapat di wilayah bagian selatan kabupaten ini, dan yang jarang di Kecamatan Datukeli (hanya sekitar 27 jiwa/km2). Sementara itu, kepadatan penduduk di desa contoh berkisar antara 39-62 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Bokasape dan Kotabaru, karena kedua desa tersebut merupakan desa pusat kecamatan. Kepadatan penduduk terendah di Desa Tou dan Tendambepa, mengingat kedua desa ini terletak di wilayah pedalaman yang relatif jauh dari jalan raya dan ibu kota kecamatan. Umumnya pendidikan formal penduduk desa contoh adalah setingkat SD (43,06%). Berikutnya jenjang pendidikan SLTP dan SLTA masing-masing sekitar 23,37 persen dan 13,83 persen. Jenjang pendidikan perguruan tinggi hanya 2,72 persen. Bahkan persentase yang tidak sekolah mencapai sekitar 17,02 persen. Sementara itu, sebagian besar (67-97%) mata pencaharian penduduk desa contoh berasal dari sektor pertanian. Diluar sektor pertanian yang menjadi usaha penduduk desa contoh terbanyak adalah bidang swasta dan PNS/pensiunan, sedangkan di usaha dagang relatif sedikit. Bidang swasta yang umum diusahakan penduduk adalah buruh bangunan, buruh galian C, dan jasa lainnya.
Akssesibilitas Konstruksi jalan yang menghubungkan desa contoh dengan kecamatan cukup beragam, yaitu mulai dari jalan tanah sampai jalan aspal. Di Desa Bokasape, Hobatuwa dan Tendambepa konstruksi jalannya masih berupa tanah, sedangkan di Desa Bokasape, Kotabaru, dan Tou sebagian berupa jalan koral 3
(pasir-batu).
Namun
demikian,
sebagian
besar
kostruksi
jalan
yang
menghubungkan desa dengan kecamatan adalah jalan aspal. Untuk jalan yang menghubungkan antara kecamatan dengan kabupaten, seluruhnya sudah beraspal. Pada umumnya kondisi jalan di Kabupaten Ende relatif masih banyak yang belum baik, terutama jalan-jalan propinsi dan kabupaten. Akibatnya, biaya transportasi di wilayah ini relatif mahal. Sementara itu, jalan yang cukup membantu dalam transportasi tingkat desa adalah jalan poros desa. Total panjang jalan poros desa di kabupaten ini adalah sekitar 356 kilometer, namun sebagian fungsinya tidak optimal sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan dan perbaikan. Oleh karena itu, pembangunan atau peningkatan jalan usahatani yang diprakarsai P4MI di desa contoh lewat bantuan loan dari ADB dipandang cukup strategis. Hal tersebut mengingat sebagian besar fungsinya ditujukan untuk menghubungkan (jalan tembus) antar desa yang sebelumnya merupakan jalan setapak atau jalan motor ojek. Pembangunan jalan usahatani yang dilaksanakan adalah berupa jalan makadam (belum diaspal), tetapi dapat dilalui kendaraan roda empat yang sekaligus dapat memperlancar transportasi hasil usahatani.
Sumberdaya Lahan Pertanian Kabupaten Ende termasuk wilayah yang kurang potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi iklim, topografi dan kesuburan lahan yang kurang menunjang. Dengan kemampuan sumberdaya manusia yang relatif rendah karena sebagian besar pendidikan formalnya juga rendah, maka upaya pengembangan usahatani sebagai sumber pendapatan terbesar penduduk setempat menjadi relatif terbatas. Dari total luas wilayah Kabupaten Ende (2.046,6 km2), sebagian besar (71,54%) merupakan lahan dengan kemiringan lebih dari 40 persen. Sekitar 19,59 persen lagi merupakan lahan dengan kemiringan 12-40 persen. Hal ini berarti bahwa lahan yang topografinya datar sampai berombak yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 8,87 persen dari total luas lahan yang ada di Kabupaten Ende. Oleh karena itu secara keseluruhan potensi sektor pertanian yang dominan di wilayah ini adalah untuk tanaman perkebunan dan agroforestri.
4
Selain dari bentuk wilayahnya yang memiliki keterbatasan dalam pengembangan sektor pertanian, kondisi iklim juga kurang begitu menunjang. Dari data curah hujan pada lima kecamatan yang tercatat di BPS Kabupaten Ende (dengan kondisi data yang kurang lengkap), hanya sekitar tiga sampai empat bulan saja wilayah ini yang curah hujannya diatas 100 milimeter per bulan, sedangkan selebihnya bahkan dibawah 60 milimeter per bulan. Akibatnya, optimalisasi pengembangan usahatani tanaman pangan berbasis pengairan relatif sulit dilakukan.
Ketersediaan Sarana Irigasi dan Teknologi Semua air irigasi di desa contoh bersumber dari sungai. Umumnya kualitas pemeliharaan bendungan dan jaringan irigasi rendah, sehingga pada beberapa tempat ditemui adanya beberapa kerusakan. Rendahnya kualitas pemeliharaan mengakibatkan terbatasnya ketersediaan air irigasi di musim kemarau. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan tidak adanya hujan pada musim kemarau, sehingga volume air irigasi menjadi makin berkurang. Ketersediaan jenis dan jumlah alat dan mesin pertanian (alsintan) pada kelima desa contoh boleh dikatakan masih terbatas. Traktor sebagai alat pengolahan lahan sawah hanya terdapat di Desa Kotabaru dan Tou, sementara luas lahan yang perlu digarap jauh lebih besar dari jumlah kertersediaan alsintan ini. Perontok gabah dapat ditemui di beberapa desa contoh, kecuali di Desa Tou. Sementara itu, unit penggilingan padi hanya terdapat di Desa Hobatuwa. Jenis alsintan pascapanen lainnya seperti penggiling tepung tapioka, pengupas biji mete, dan pengupas kacang belum ada di semua desa contoh. Satu-satunya jenis alsintan pascapanen yang tersedia adalah mesin pengupas kulit kopi di Desa Tendambepa.
Produksi Pertanian Jenis tanaman pangan utama di kabupaten Ende adalah padi, jagung, ketela pohon, dan ketela rambat. Produksi keempat jenis tanaman ini lebih tinggi dibandingkan produksi jenis tanaman pangan lainnya yang pengusahaannya relatif masih terbatas. Selanjutnya, tanaman hortikultura utama jenis sayursayuran adalah kentang, sawi, kubis, wortel, dan labu siam. Tanaman hortikultura
5
utama jenis buah-buahan terdiri dari pisang, mangga, jeruk siam, dan alpukat. Produksi jenis tanaman sayuran lainnya boleh dikatakan terbatas, sedangkan produksi jenis tanaman buah-buahan lain seperti durian, nenas, rambutan, dan pepaya juga masih terbatas. Tanaman perkebunan merupakan sub-sektor pertanian potensial di Kabupaten Ende. Jenis tanaman perkebunan dominan di kabupaten ini adalah kopi, kelapa, jambu mete, dan kakao. Tanaman perkebunan lainnya yang belum banyak diusahakan secara masal tetapi mempunyai prospek yang cukup baik, adalah jenis rempah dan obat-batan seperti jahe, lengkuas, dan kencur. Sementara itu, produksi dominan sub-sektor peternakan berasal dari jenis ternak babi dan kambing/domba. Jenis ternak lainnya seperti sapi potong, kerbau, dan kuda relatif belum banyak diusahakan. Kendati data perikanan tidak tersedia secara memadai, namun peran sub-sektor ini relatif cukup besar bagi PDRB Kabupaten Ende.
Kelembagaan dan Program Pengembangan Pertanian Lahan Marjinal Kelembagaan
yang
memegang
peranan
cukup
penting
dalam
pembangunan pertanian di pedesaan adalah organisasi kelompok tani dan perhimpunan petani pemakai air (P3A), lembaga keuangan/permodalan, dan pemasaran. Organisasi kelompok tani dapat ditemui di semua desa contoh dengan kinerja aktivitas cukup aktif namun terbatas. Sementara itu, organisasi kelompok wanita tani (KWT) hanya terdapat di Desa Tendambepa, Kotabaru, dan Bokasape. Kecuali di Desa Bokasape, dua KWT lainnya di Desa Tendambepa dan Kotabaru memiliki kinerja aktivitas cukup aktif namun sangat terbatas. Organisasi P3A hanya ada di Desa Tendambepa, Bokasape dan Kotabaru. Kecuali di Desa Tendambepa, dua organisasi P3A masing-masing di Desa Kotabaru dan Bokasape cukup aktif. Hal tersebut disebabkan karena kedua desa terakhir mempunyai jaringan irigasi yang ketersediaan airnya terbatas (terutama di Desa Bokasape), sehingga memerlukan pengaturan air yang merata untuk seluruh lahan sawah irigasi. Lembaga keuangan yang terdapat di desa contoh berupa kelompok usaha bersama (KUB) dapat ditemui di Desa Bokasape dan Tou. Selain KUB, di desa contoh juga terdapat kelompok simpan pinjam, yaitu di Desa Tendambepa.
6
Lembaga keuangan lainnya seperti Bank Perkreditan Rakyat dan Bank keliling tidak ada di desa contoh. Pelepas uang sulit diidentifikasi karena usaha ini bersifat informal dan tidak terdaftar secara resmi. Sementara itu, keberadaan lembaga pemasaran di desa contoh boleh dikatakan relatif terbatas. Pasar desa dan sejumlah toko hanya terdapat di Desa Bokasape. Kios banyak dijumpai di Desa Tendambepa, Bokasape dan Hobatuwa, sedangkan warung di Desa Kotabaru, Tou, dan Bokasape.
Karakteritik Rumah Tangga Mengacu pada batas garis kemiskinan yang ditetapkan BPS (2003), sebagian besar
responden penelitian survai pendasaran ini tergolong miskin
(berpendapatan rendah). Dari total responden (150 orang), 101 orang (67,33%) diantaranya masuk kedalam kelompok golongan berpendapatan rendah (dibawah batas garis kemiskinan), dan sisanya 49 orang lagi (31,67%) tergolong kedalam kelompok berpendapatan tinggi (diatas batas garis kemiskinan). Kelompok responden berpendapatan rendah paling banyak dijumpai di Desa Tendambepa (76,67%), dan paling sedikit ditemui di Desa Kotabaru dan Tou (masing-masing sekitar 56,67%). Sementara itu, di Desa Hobatuwa dan Bokasape masing-masing terdapat sekitar 73,33 persent responden berpendapatan rendah (miskin). Secara agregat, rataan jumlah anggota keluarga kelompok responden berpendapatan rendah berkisar antara 5,07 jiwa sampai 6,47 jiwa, sedangkan kisaran rata-rata jumlah anggota keluarga kelompok responden berpendapatan tinggi adalah 4,58 jiwa hingga 6,47 jiwa. Dengan kata lain, rumah tangga responden di desa contoh penelitian relatif tergolong kedalam skala sedang. Rataan sex ratio anggota rumah tangga kelompok responden berpendapatan rendah dan tinggi masing-masing sekitar 99,27 dan 105. Hampir sebagian besar anggota rumah tangga responden tergolong kedalam kelompok umur 14-54 tahun (umur produktif). Sebaran anggota rumah tangga umur produktif pada kelompok responden berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan sebaran pada kelompok responden berpendapatan rendah. Secara keseluruhan, umur kepala keluarga (KK) di desa contoh penelitian tergolong kedalam kelompok umur produktif. Adapun kisarannya antara 37,33 tahun sampai 46,86 tahun untuk kelompok responden berpendapatan rendah dan
7
35,08 tahun hingga 52,25 tahun untuk kelompok responden berpendapatan tinggi. Sementara itu, rataan lama waktu pendidikan KK untuk kelompok responden berpendapatan rendah berkisar antara 5,62 tahun sampai 7,91 tahun, sedangkan untuk kelompok responden berpendapatan tinggi antara 6,13 tahun hingga 8,86 tahun. Sebagian besar KK menekuni pekerjaan pertanian sebagai sumber utama pendapatan rumah tangga. Hal tersebut disebabkan karena masih relatif luasnya ketersediaan lahan garapan usahatani dan terbatasnya keahlian mereka serta ketersediaan lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian. Lebih dari separuh (diatas 53%) kelompok responden berpendapatan tinggi menempati rumah dengan lantai semen, sedangkan kelompok responden berpendapatan rendah menghuni rumah lantai tanah, kayu, atau bambu (pelupuh). Jenis dinding rumah baik kelompok responden berpendapatan rendah maupun kelompok responden berpendapatan tinggi secara dominan terbuat dari bambu. Sebagian besar atap rumah terbuat dari seng. Sumber utama air minum berasal dari sumur, mata air, sungai, dan air hujan. Kesadaran menggunakan MCK pribadi relatif belum begitu tinggi. Sementara itu, sumber penerangan utama adalah listrik. Meskipun jauh tergolong belum lengkap, secara agregat pemilikan peralatan rumah tangga kelompok reponden berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan pemilikan kelompok responden berpendapatan rendah. Secara keseluruhan responden di desa contoh penelitian lebih mengutamakan fungsi dan kegunaan peralatan rumah tangga dari pada tujuan lain misalnya untuk simbol status. Disamping itu mereka sendiri juga mengalami keterbatasan untuk membeli dan memiliki peralatan rumah tangga, apalagi yang sifatnya ‘mewah’. Sebagian besar lahan pertanian yang digarap responden berstatus milik. Khusus untuk lahan garapan potensial seperti kebun, ladang/tegalan, dan sawah irigasi, rataan luasnya cukup bervariasi antar desa contoh. Secara keseluruhan, rataan luas garapan milik kelompok responden berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan rataan luas garapan milik kelompok responden berpendapatan rendah. Kebun merupakan lahan yang paling banyak digarap dengan distribusi relatif menyebar, yaitu dengan kisaran luas rata-rata antara 0,220 hektar sampai 1,196 hektar dan 0,255 hingga 2,61 hektar, masing-masing untuk kelompok responden berpendapatan rendah dan tinggi. Sementara itu ladang/tegalan serta
8
sawah irigasi, rataan luasnya bervariasi sesuai dengan kondisi agro-ekosistem masing-masing desa contoh. Sapi merupakan jenis ternak yang penyebarannya ditemui di setiap desa contoh. Ternak ruminansia kecil seperti kambing/domba serta babi cukup banyak dipelihara responden, namun tidak ada konsistensi keterkaitan antara persentase pemilik dan rataan pemilikan dengan tinggi rendahnya pendapatan mereka. Jenis ternak unggas utama yang dipelihara reponden adalah ayam buras dengan persentase pemilik relatif cukup tinggi. Akan tetapi skala pemilikannya rendah, mengingat pemeliharaan jenis ternak ini lazimnya dilakukan secara sambilan. Tingkat penguasaan responden terhadap alat dan mesin pertanian (alsintan) di desa contoh dapat dikatakan masih rendah. Jenis alsintan yang dimiliki terbatas pada alat pembasmi HPT (hand sprayer) dan bajak/singkal dengan penyebaran pada desa contoh tertentu. Sementara itu, pemilikan responden atas alat transportasi hanya terbatas pada sepeda motor, sepeda, dan gerobak dengan pemilikan yang relatif kecil dan hanya ditemui pada beberapa desa contoh. Tidak ada konsistensi keterkaitan antara penguasaan alsintan dan alat transportasi dengan tinggi rendahnya pendapatan responden di desa contoh penelitian.
Tingkat Penerapan Teknologi Pertanian Jenis tanaman dominan di desa contoh penelitian terdiri dari padi, jagung, dan bawang merah (tanaman musiman); kemiri dan mete (tanaman tahunan tahunan/perkebunan); dan sapi, kambing/domba, dan babi (peternakan). Usahatani tanaman musiman dilaksanakan di berbagai jenis lahan baik sawah, ladang/tegalan, maupun kebun. Pola usahatani yang umumnya dijumpai pada lahan sawah adalah budidaya tanaman monokultur yang diusahakan secara reguler. Pola usahatani di ladang/tegalan dan kebun kebanyakan berupa budidaya tanaman tumpangsari, tumpanggilir, dan tumpangsisip yang biasanya dicirikan oleh pola tanam yang tidak teratur. Pola tanam lahan sawah responden di desa contoh penelitian boleh dikatakan
tidak
begitu
beragam.
Pada
waktu
MH
semua
responden
mengusahakan tanaman padi, sebagian melanjutkan lagi pada waktu MK I dan terhenti sampai disini melewati MK II hingga waktu MH tahun berikutnya. Dengan
9
demikian, secara kumulatif indeks pertanaman (IP) padi di desa contoh penelitian hanya sekitar 153,41, atau lebih kurang separuh dari IP maksimal. Faktor penyebab utama rendahnya IP tersebut adalah karena terbatasnya ketersediaan air. Selanjutnya, pada
waktu MK I, jenis tanaman lain yang diusahakan
responden adalah jagung dan bawang merah. Sebagian dari kedua jenis tanaman ini dapat diusahakan lagi pada waktu MK II. Namun sebagian besar pada waktu MK II lahan sawah tidak ditanami (bera). Secara keseluruhan persentase lahan bera pada waktu MK II ini cukup besar angkanya, yaitu sekitar 91,25 persen. Secara agregat, keragaan usahatani tanaman musiman dominan di desa contoh penelitian boleh dikatakan masih dibawah acuan teknis rekomendasi. Penggunaan benih cenderung berlebih, sedangkan pemakaian pupuk justru sebaliknya dan relatif hanya terbatas pada jenis Urea/Za dan TSP/SP-36 saja. Dilihat dari segi biaya produksi, komponen paling tinggi adalah untuk upah tenaga kerja. Secara nominal, upah tenaga kerja ini relatif tidak begitu tinggi karena sebagian besar pekerjaannya dilakukan secara gotongroyong. Akan tetapi, biaya riil upah tenaga kerja yang dikeluarkan kelompok responden berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan biaya riil upah tenaga kerja pada kelompok responden berpendapatan rendah. Penggunaan tenaga ternak dan manusia masih dominan, sedangkan penggunaan traktor masih terbatas pada lokasi lahan-lahan tertentu. Pada waktu MH produksi padi dapat mencapai sekitar 2,5 ton per hektar (kelompok responden berpendapatan rendah) dan tiga ton per hektar (kelompok responden berpendapatan tinggi), namun pada waktu MK hanya 2,1 ton per hektar (kedua kelompok responden); atau mengalami penurunan sekitar 16,58 persen sampai 31,70 persen. Turunnya produksi padi pada MK lebih disebabkan karena terbatasnya ketersediaan air. R/C usahatani padi sawah di desa contoh penelitian boleh dikatakan relatif cukup tinggi, yaitu masing-masing berkisar antara 2,69 sampai 2,79 dan 2,47 hingga 2,58 untuk MH dan MK untuk kelompok responden berpendapatan rendah dan tinggi. Untuk R/C usahatani jagung masing-masing
mencapai
1,85
dan
1,58
untuk
kelompok
responden
berpendapatan rendah dan tinggi. Sementara itu R/C bawang merah untuk masing-masing kelompok responden juga berbeda dan relatif cukup tinggi, yaitu
10
3,45 dan 3,41 untuk masing-masing kelompok responden berpendapatan tinggi dan rendah. Pola usaha tanaman tahunan/perkebunan di desa contoh penelitian dapat diketegorikan relatif apa adanya. Bahkan untuk komoditas utama seperti kemiri dan mete sekalipun, penerapan usahataninya hanya dilakukan secara sederhana. Pemeliharaan tanaman relatif terbatas pada penyiangan, sedangkan pemupukan dan pengendalian hama/penyakit jarang dilaksanakan. Penyiangan biasanya terbatas pada sekitar pokok dan tajuk tanaman, atau sedikit lebih sempurna jika ada tanaman sela di sekitarnya. Kegiatan panen dan pascapanen juga dilakukan secara sederhana. Khusus untuk pascapanen, penanganannya masih terbatas pada penjemuran, pengupasan, dan sebagian kecil sortasi. Usahatani tanaman tahunan/perkebunan merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi rumah tangga responden di desa contoh penelitian. Untuk kemiri dan mete, terlihat perbedaan yang cukup menyolok antara rataan pendapatan kelompok responden berpendapatan rendah dengan rataan pendapatan kelompok responden berpendapatan tinggi. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan populasi pohon, produksi, biaya produksi, harga produksi, produksi, dan nilai produksi pada kedua kelompok responden tersebut. Khusus untuk komoditas mete, hampir keseluruhan responden dan umumnya petani di desa contoh penelitian memasarkan hasil panenan mereka dalam bentuk belum diolah. Alasannya, disamping mereka tidak memiliki alat proses pascapanen, pedagang pengumpul keliling lebih menyukai hasil panenan yang belum diolah tersebut dan kemudian diproses untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Harga mete di tingkat petani hanya sekitar Rp. 7.000 per kilogram. Padahal, harga mete yang sudah diproses (mete kering bersih) dapat mencapai harga sekitar Rp. 30.000 per kilogram, khususnya di pasar. Disamping jenis tanaman musiman dan tanaman tahunan/perkebunan dominan diatas, beberapa jenis tanaman lainnya juga dibudidayakan responden, khususnya secara tumpangsari, tumpanggilir, atau tumpangsisip (tanaman sela) pada lahan kering/tegalan atau kebun. Jenis tanaman tersebut antara lain padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan cabai merah. Kesemua jenis tanaman ini cukup berperan dalam menunjang ekonomi rumah tangga responden. Untuk tanaman tahunan/perkebunan, jenis tanaman potensial lainnya
11
antara lain kakao, kopi, cengkeh, dan panili. Khusus untuk tanaman kakao, akhirakhir ini mulai banyak yang membudidayakannya. Namun jenis tanaman tersebut belum termasuk kategori tanaman dominan yang diusahakan responden, karena beberapa diantaranya belum berproduksi sama sekali atau belum berproduksi secara optimal. Pola usaha peternakan di desa contoh penelitian boleh dikatakan masih bersifat tradisional. Sebagian besar tujuan responden memelihara ternak adalah untuk tabungan. Adapun sistem pemeliharaannya masih sederhana, tanpa dikandangkan atau sebagian dikandangkan seadanya. Pakan ternak sebagian besar berupa jenis hijauan makanan ternak (HMT). Penerapan sanitasi dan vaksinasi masih minim, sementara sistem perkawinan ternak masih bersifat alami. Tempat pemasaran dilakukan di pasar atau pedagang ternak. Pemasaran ke rumah potong hewan (RPH) belum pernah dilakukan. Secara agregat, sistem pemeliharaan ternak kelompok responden berpendapatan tinggi relatif lebih baik dibandingkan sistem pemeliharaan ternak kelompok responden berpendapatan rendah. Hasil analisis usaha peternakan menunjukkan bahwa penerimaan paling besar berasal dari ruminansia besar (sapi dan kerbau), berikutnya ruminansia kecil (kambing/domba dan babi), dan unggas (ayam buras). Dilihat dari sisi pengeluaran, biaya pemeliharaan usaha ternak ruminansia besar juga lebih tinggi yaitu rata-rata sekitar 40-50 persen dari nilai penerimaan. Akan tetapi mengingat harga jualnya lebih mahal, maka perolehan pendapatannya juga lebih tinggi. Untuk usahaternak ruminansia kecil, secara agregat baik penerimaan maupun pendapatan usahaternak babi sedikit lebih tinggi dibandingkan pendapatan usahaternak kambing/ domba. Hal tersebut disebabkan karena adanya selisih perbedaan skala pemilikan dan nilai harga jual kedua jenis ternak ini, sedangkan biaya pemeliharaannya boleh dikatakan relatif sama. Selanjutnya untuk usahaternak ayam buras, selisih antara pendapatan dan penerimaannya relatif kecil karena biaya pemeliharaannya juga kecil. Umumnya jenis ternak ini dipelihara secara sambilan, sehingga dapat mendatangkan margin keuntungan (pendapatan) yang lebih besar. Meskipun tidak ada konsistensi keterkaitan antara tinggi rendahnya pendapatan responden dengan penerimaan, pengeluaran, dan pendapatan usaha peternakan di desa contoh penelitian, namun secara agregat
12
nilai nominal ketiga aspek ini untuk kelompok responden berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan kelompok responden berpendapatan rendah.
Kelembagaan Pertanian Secara agregat proporsi responden baik kelompok berpendapatan rendah maupun tinggi mengalami keterbatasan atau tidak dapat mencukupi pemenuhan modal usahatani. Kekurangan modal saat pemeliharaan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan saat persiapan tanam. Upaya pemenuhan modal dengan mencari pinjaman kepada keluarga merupakan langkah yang paling banyak dilakukan, berikutnya mencari pinjaman ke koperasi, tengkulak, kios sarana produksi, dan pelepas uang. Pada umumnya mencari pinjaman dengan cara-cara tersebut lebih banyak dilakukan kelompok responden berpendapatan rendah dibandingkan kelompok responden berpendapatan tinggi. Lembaga perbankan relatif belum menyentuh masyarakat petani di desa contoh penelitian. Pembayaran pinjaman yang paling banyak dilakukan adalah dengan cara mengangsur, berikutnya sistem yarnen dengan uang/tunai atau dengan natura. Cara terakhir lebih banyak ditemukan pada kelompok responden berpendapatan rendah. Umumnya sarana produksi bibit padi berasal dari milik sendiri. Proporsi asal bibit selain dari milik sendiri, lebih banyak ditemui pada kelompok responden berpendapatan tinggi dibandingkan kelompok responden berpendapatan rendah. Ditinjau dari sisi kontinuitas ketersediaan, sebagian besar responden menyatakan kontinyu. Sebagian besar responden juga menyatakan bahwa kualitas pemakaian bibit tergolong kategori sedang dan baik. Alasan responden memakai bibit berkualitas sebagian besar agar produksi tinggi serta tahan hama dan penyakit tanaman (HPT). IR-64 merupakan jenis varietas padi unggul (tidak berlabel) dominan digunakan responden di desa contoh penelitian. Jenis varietas unggul lainnya adalah IR-42, namun hanya sebagian kecil digunakan. Ternyata jenis varietas lokal seperti Arendale, Roslin, dan Sigadis masih cukup diminati beberapa responden. Untuk tanaman jagung, sebagian besar jenis bibit yang digunakan responden adalah varietas lokal. Penggunaan varietas unggul (hibrida) hanya dimanfaatkan sebagian kecil kelompok responden berpendapatan tinggi di Desa
13
Hobatuwa. Hal serupa juga ditemui pada keragaan pengadaan bibit bawang merah, namun ragam kualifikasi penggunaannya sedikit lebih bervariasi. Hal tersebut terutama dijumpai pada kelompok responden berpendapatan tinggi. Untuk tanaman tahunan/perkebunan dominan yakni kemiri dan mete, sebagian besar bibitnya berasal dari milik sendiri (bibit lokal) dengan kontinuitas ketersediaan yang sifatnya kontinyu. Dalam hal kategori kualitas pemakaian bibit, sebagian besar responden menyatakan sedang. Sementara itu, alasan pemakaian bibit berkualitas pada umumnya adalah kombinasi agar produksi tinggi dan tahan HPT. Sebagian besar sumber pengadaan pupuk di desa contoh penelitian berasal dari pasar/toko. Untuk beberapa kasus ditemui bahwa relatif jauhnya jarak ke tempat pengadaan pupuk, barang sedikitnya cukup berpengaruh terhadap tingkat penggunaannya. Akan tetapi, umumnya responden menyatakan bahwa pupuk selalu tersedia di tempat pengadaan. Ditinjau dari segi kualitas, sebagian besar responden menyatakan bahwa pupuk yang mereka gunakan sesuai
kualitas.
Alasan
responden
menggunakan
pupuk
berdasarkan
pertimbangan kemampuan daya beli lebih tinggi dari pada alasan untuk meningkatkan produktivitas. Sementara itu keragaan pengadaan pestisida relatif hampir identik dengan keragaan pengadaan pupuk. Demikian juga halnya dengan alasan penggunaannya, yaitu sama-sama berdasarkan pertimbangan kemampuan daya beli. Sebagaimana lazimnya terjadi dan terutama di wilayah pedesaan, penentu harga jual dominan adalah pihak pembeli (pedagang). Kondisi di desa contoh penelitian juga menunjukkan fenomena yang sama, dimana hampir 70 persen hingga maksimum 100 persen harga jual hasil pertanian ditentukan oleh pedagang. Posisi peran petani sebagai penentu harga jual masih rendah, tapi untungnya sebagian harga jual tersebut (lebih kurang 10-30%) disepakati secara kompromi antara petani dan pedagang. Untuk penentu harga jual hasil pertanian dalam rumah tangga, kesepakatan antara suami dengan isteri merupakan hal yang paling banyak ditemui. Namun secara terpisah, peran suami sedikit lebih tinggi dibandingkan peran isteri. Kondisi serupa juga ditemui pada pihak penentu pembelian saprotan. Sebagian besar penentu keputusan adalah suami bersama
14
isteri, akan tetapi jika dibandingkan dengan penentu harga jual hasil pertanian, peran suami lebih dominan dari pada peran isteri. Sebagai bagian dari pemasaran, responden yang melakukan sistem kontrak jauh lebih rendah proporsinya dibandingkan proporsi responden yang tidak melakukan sistem kontrak. Sebagai catatan, sistem ini umumnya lebih banyak dilakukan kelompok responden berpendapatan tinggi dibandingkan kelompok responden berpendapatan rendah. Adapun penerapan sistem kontrak bervariasi jangka waktunya, sehingga keberlangsungan kontrak sendiri juga tidak memiliki batas tempo. Demikian juga jika kontrak tidak berlanjut, alasan yang dikemukakan responden juga bervariasi atau bersifat kombinasi antara terganggunya pasokan dari petani, tidak stabilnya harga, adanya petani yang mengundurkan diri atau pedagang yang lari, dan sebagainya. Sistem pemasaran hasil pertanian di desa contoh penelitian boleh dikatakan tidak begitu berbeda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya. Dilihat dari lokasi penjualan, sebagian besar responden melakukannya di pasar atau di rumah, serta sebagian kecil di lahan usahatani. Sebagian besar pembelinya adalah kombinasi dari beberapa kelas pedagang. Namun secara terpisah pembeli yang lebih banyak dihubungi adalah pedagang pengumpul setempat. Sistem pembayaran yang paling banyak dilakukan adalah dalam bentuk tunai dan berikutnya secara kombinasi (panjar dan pembayaran tertunda), tergantung kesepakatan dengan pembeli. Selanjutnya, dari lima kelompok tani yang ada di desa contoh, hanya tiga yang masih aktif dan melakukan kegiatan pertemuan. Dua kelompok tani lainnya boleh dikatakan kurang berfungsi karena tidak pernah lagi atau jarang melakukan aktivitas, termasuk kegiatan pertemuan. Hanya satu kelompok tani yang telah bekerjasama dengan Lembaga koperasi setempat, sehingga sekaligus semua anggota kelompok tani menjadi anggota koperasi. Umumnya kelompok tani yang masih berfungsi telah melakukan penerapan teknologi, khususnya yang berkaitan dengan budidaya pertanian. Dari ketiga kelompok tani yang masih aktif tersebut, kegiatannya antara lain berkaitan dengan usaha pemupukan modal dan rencana pengembangan modal. Kelompok tani Kemasai Kita di Desa Tendambepa, misalnya, telah mempunyai salah satu kegiatan simpan pinjam yang sangat membantu dalam
15
penyediaan keperluan modal usahatani anggotanya. Berdasarkan penilaian yang baku untuk masing-masing kelompok tani yang disurvai, hanya satu kelompok tani yang mempunyai status atau kriteria lanjut, sedangkan empat kelompok tani lainnya masih berstatus pemula. Keberadaan organisasi kelompok tani salah satunya berkaitan dengan kegiatan penyuluhan pertanian. Oleh karena itu keberadaan organisasi kelompok tani merupakan salah satu prasyarat pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, mengingat landasan utama kegiatan penyuluhan pertanian sendiri adalah bersifat kolektif dan bukan dalam bentuk individual. Gambaran di desa contoh penelitian menunjukkan bahwa responden yang sering ikut pertemuan penyuluhan dengan yang menyatakan jarang atau tidak ada, jarang atau tidak ikut, tidak pernah diajak, dan tidak berminat pertemuan penyuluhan hampir berimbang proporsinya. Secara implisit hal Ini mengindikasikan bahwa program penyuluhan pertanian di desa contoh penelitian belum berjalan secara optimal. Lebih lanjut, hasil analisis gender menunjukkan bahwa terdapat suatu kebiasaan yang berlaku setempat tentang pembagian jenis pekerjaan, baik di lahan sawah maupun di lahan kering. Umumnya pengolahan lahan dilakukan oleh laki-laki. Pemeliharaan dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dengan jenis kegiatan yang berbeda. Dengan pembangian jenis pekerjaan yang berbeda, maka tingkat upah yang diterima laki-laki dan perempuan juga berbeda. Umumnya jenis pekerjaan yang memerlukan tenaga kuat dilakukan oleh kaum laki-laki, sebaliknya untuk pekerjaan yang menggunakan tenaga ringan dilaksanakan kaum perempuan. Dalam hal partisipasi atau kesempatan kerja pada kegiatan usahatani, terlihat laki-laki (berdasarkan kebiasaan) mempunyai kesempatan yang relatif sedikit lebih banyak dibandingkan kesempatan perempuan. Demikian pula dalam hal akses terhadap sumberdaya, keputusan pengelolaan usahatani, dan pemanfaatan hasil pertanian. Walaupun ketiga kegiatan tersebut dilakukan secara bersama, tetapi dalam hal teknis di lapangan, dominasi kaum laki-laki sedikit lebih menonjol. Hal tersebut lebih disebabkan karena kaum perempuan cenderung lebih menekuni aktivitas urusan rumah tangga. Peran serta kaum laki-laki sedikit lebih aktif dibandingkan peran serta kaum perempuan dalam kegiatan kemasyarakatan, misalnya dalam organisasi
16
LKMD, koperasi, dan karang taruna. Akan tetapi, dalam kegiatan arisan hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja. Sementara itu, untuk kegiatan sosial lainnya seperti keagamaan, perkawinan, khitanan, gotongroyong, rapat RT dan lain-lain lebih cenderung dilakukan secara bersama oleh laki-laki dan perempuan. Dalam hal akses dan kontrol terhadap sumberdaya pertanian dan pemanfatan hasilnya, ternyata kaum laki-laki relatif lebih banyak berperan dibandingkan kaum perempuan.
Sumber Informasi Teknologi dan Pemasaran Pertanian Sumber introduksi teknologi pertanian di desa contoh penelitian paling banyak berasal dari petugas penyuluhan pertanian lapangan (PPL) atau Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), berikutnya dari orang tua dan sesama petani. Sebagian dari introuksi teknologi tersebut ada yang diterapkan responden dan sebagian lagi tidak. Alasan yang paling banyak ditemui dengan tidak diterapkannya introduksi teknologi adalah karena terbatas/tidak tersedianya teknologi tersebut secara reguler dan adanya persepsi tambahan biaya dalam penerapannya. Tidak ada konsistensi keterkaitan antara tinggi rendahnya pendapatan responden dengan keragaan introduksi dan penerapan teknologi pertanian, baik untuk usahatani tanaman musiman maupun usahatani tanaman tahunan/perkebunan. Akses responden terhadap informasi teknologi pertanian yang paling dominan di desa contoh penelitian adalah melalui sumber perorangan (diatas 70%), berikutnya lembaga/organisasi (sekitar 16%), dan sebagian kecil dari media cetak dan audio visual dengan persentase masing-masing dibawah empat persen dan satu persen. Perlu dikemukakan bahwa sumber-sumber informasi teknologi pertanian tidak memiliki konsistensi keterkaitan dengan tinggi rendahnya pendapatan responden. Namun satu hal yang patut digarisbawahi yaitu sumber perorangan lewat interaksi informal merupakan media paling efektif dalam penyebarluasan informasi teknologi pertanian di desa contoh penelitian. Secara substansial, akses responden terhadap sumber informasi pemasaran pertanian tidak jauh berbeda dengan akses mereka terhadap sumber informasi teknologi pertanian. Dengan variabel yang sama, akses responden paling dominan juga ditemui pada sumber informasi perorangan, berikutnya
17
lembaga/organisasi, serta media cetak dan audio visual. Secara agregat, aksesibilitas responden terhadap sumber informasi perorangan ini jauh sangat dominan, yaitu dengan persentase hampir 85 persen. Aksesibilitas terhadap lembaga/organisasi hanya sekitar sembilan persen, sedangkan untuk media cetak dan audio vissual masing-masing hanya sekitar lima persen dan dibawah satu persen. Kembali dapat dikemukakan bahwa tidak ada konsistensi keterkaitan tinggi rendahnya pendapatan responden dengan eksistensi sumber informasi pemasaran pertanian di desa contoh penelitian. Aksesibilitas responden terhadap sumber informasi teknologi dan pemasaran pertanian melalui media cetak dan audio visual masih minim dan terbatas. Permasalahan utamanya terletak pada eksistensi sumber informasi ini yang boleh dikatakan belum memasyarakat pada semua kalangan penduduk di desa contoh penelitian. Khusus untuk media cetak seperti brosur/liptan, koran, dan majalah, sebagian besar (diatas 85%) responden menyatakan bahwa permasalahan utamanya terletak pada belum ada/tidak cukup tersedianya sumber informasi ini di desa contoh penelitian atau tidak tahu dimana keberadaannya. Untuk audio visual seperti radio dan televisi, permasalahan utamanya terletak pada keterbatasan pemilikan dan tidak/belum tersedianya media ini di desa contoh penellitian. Sementara itu, untuk audio visual lain yaitu film/VCD/CD dan internet, disamping karena keterbatasan pemilikan juga beberapa responden belum pernah mendapatkan informasi tentang media ini (terutama internet). Bila responden menghadapi permasalahan dalam penerapan teknologi dan pemasaran usahatani, pihak yang paling banyak dihubungi adalah sesama petani/tetangga. Khusus untuk permasalahan teknologi pertanian, secara berurutan pihak yang pertama kali dihubungi adalah petugas PPL setempat, berikutnya sesama petani, ketua kelompok tani, dan aparat pemerintahan. Sementara itu untuk permasalahan pemasaran, sebagian besar (sekitar 70%) responden menghubungi rekan sesama petani, berikutnya sebagian kecil ke petugas PPL setempat, ketua kelompok tani, dan aparat pemerintahan. Dapat dikemukakan
bahwa
langkah
yang
dilakukan
kelompok
responden
berpendapatan rendah dan tinggi boleh dikatakan hampir sama dalam menyikapi permasalahan penerapan teknologi dan pemasaran usahatani di desa contoh
18
penelitian.
Namun
perlu
digarisbawahi
bahwa
dalam
menghadapi
dan
mencarikan jalan keluar permasalahan yang dihadapi (terutama pemasaran), tampaknya sebagian besar petani masih bertidak sendiri-sendiri, sementara sokongan dan bantuan pihak luar relatif minim.
Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Secara agregat, sumber pendapatan rumah tangga responden sebagian besar berasal dari kegiatan on-farm dan non-farm, sedangkan sumber pendapatan dari kegiatan off-farm hanya terbatas pada pekerjaan buruh tani. Kontribusi terbesar untuk pendapatan on-farm berasal dari usahatani sawah dan kebun, berikutnya usaha peternakan dan usahatani ladang/tegalan, serta sebagian kecil dari usaha penangkapan ikan (nelayan). Sementara itu, kontribusi tertinggi untuk pendapatan non-farm adalah dari gaji PNS/TNI/POLRI (aktif dan pensiunan), dan kegiatan perdagangan. Ditinjau dari kelas pendapatan, tampak bahwa pendapatan rumah tangga kelompok responden berpendapatan tinggi jauh lebih besar dari pada pendapatan rumah tangga kelompok responden berpendapatan rendah. Secara proporsional, sumber pendapatan on-farm dan non-farm untuk kelompok responden berpendapatan rendah masing-masing sekitar 51,43 persen dan 46,57 persen. Sementara itu, proporsi pendapatan kelompok responden berpendapatan tinggi yaitu lebih kurang 56,76 persen dari on farm dan 43,24 persen dari non-farm. Paralel dengan pendapatan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga kelompok responden berpendapatan tinggi lebih besar dari pada pengeluaran kelompok responden berpendapatan rendah. Secara keseluruhan, persentase pengeluaran kedua kelompok responden ini lebih besar untuk keperluan pangan dibandingkan keperluan non-pangan. Secara terpisah, pengeluaran pangan kelompok responden berpendapatan rendah jauh diatas pengeluaran nonpangan. Sementara itu, bagi kelompok responden berpendapatan tinggi, meskipun proporsi pengeluaran pangan juga lebih tinggi dari pada pengeluaran non-pangan, namun proporsinya tidak setimpang proporsi pengeluaran kelompok responden berpendapatan rendah. Secara proporsional, persentase pengeluaran pangan dan non-pangan kelompok responden berpendapatan rendah masing-
19
masing sekitar 70,03 persen dan 29,97 persen, sementara bagi kelompok responden berpendapatan tinggi lebih kurang 55,80 persen dan 44,20 persen.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Keragaan sosial ekonomi petani di lokasi P4MI Kabupaten Ende baik yang berkaitan dengan aspek pengelolaan sumberdaya alam maupun keberadaan sumberdaya manusianya boleh dikatakan masih tertinggal dan perlu dibenahi secara terencana dan tepat sasaran. Oleh karena itu, keberadaan P4MI dipandang strategis dalam mendukung pembangunan yang sinkron dan sinergis antara satu dengan lainnya baik prasarana dan sarana fisik, inovasi dan diseminasi teknologi pertanian, serta tatanan kelembagaan guna menunjang pemberdayaan petani. Peran lembaga pendamping (konsultan dan LSM nasional/lokal) perlu segera diuwujudkan guna menunjang pemberdayaan petani dalam upaya meningkatkan keterampilan, inovasi, kemandirian, dan pendapatan mereka. Termasuk didalamnya penataan kelembagaan secara partisipatif seperti wadah organisasi kelompok tani serta akses terhadap permodalan, teknologi, dan pemasaran yang selama ini belum berfungsi secara optimal dan masih jadi kendala. Selain investasi desa berupa jalan dan jaringan irigasi, jenis investasi lain yang sesuai dengan ketentuan P4MI seperti pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian, pelatihan petani, pengembangan informasi, konservasi tanah dan air, serta
pembangunan
pasar
desa
perlu
diupayakan
guna
menunjang
pemberdayaan petani secara komprehensif. Selanjutnya perlu diupayakan juga sistem pengawasan yang efektif guna menjamin tujuan proyek dapat terlaksana secara efisien dan bermanfaat secara berkesinambungan. Kongkretnya, kata kunci dalam pelaksanaan kegiatan P4MI adalah partisipasi para pemangku kepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan petani sebagai subyek dan penerima manfaat pembangunan.
20
DAFTAR PUSTAKA Deptan. 2002. Pedoman Umum Bantuan Langsung Masyarakat Tahun 2002. Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Litbang Deptan dan ADB. 2003. Project Administration Memorandum for the Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Asian Development Bank. Jakarta. BPS Ende. 2003. Ende Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende. Ende. BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003 Buku I (Provinsi) dan Buku 2 (Kabupaten). Badan Pusat Statistik. Jakarta. PSE dan P4MI. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi. Bogor.
21