ICASERD WORKING PAPER No.63
SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI WILAYAH RAWAN PANGAN DALAM UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Handewi P. S. Rachman Agustus 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 63
SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI WILAYAH RAWAN PANGAN DALAM UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Handewi P. S. Rachman Agustus 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, Dr. Yusmichad Yusdja, Ir. Mewa Ariani, MS, Ir. Herman Supriyadi, MS, Ir. Saptana, M.Si dan Dr. Edi Basuno M.Phil; Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496 No. Dok.074.63.2.04
SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI WILAYAH RAWAN PANGAN DALAM UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Handewi P. S. Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Deteksi dini wilayah rawan pangan merupakan suatu upaya untuk memberikan informasi awal dan secara dini memberikan sinyal kepada para pengambil keputusan di bidang pangan dan gizi. Hal ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk melakukan intervensi dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan gizi bagi masyarakat di suatu wilayah. Penelitian bertujuan untuk mempelajari konsep pengembangan sistem jaringan deteksi dini masalah rawan pangan dengan mengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur dikaitkan dengan pelaksanaan desentralisasi pembangunan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan RRA (Rapid Rural Appraisal). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemahaman dan apresiasi serta aktualisasi dari semua aparat terhadap tugas dan wewenang masing-masing sesuai aturan yang telah disepakati merupakan kunci keberhasilan pemantapan ketahanan pangan, (2) perubahan struktur departemen dan otonomi daerah berdampak pada kinerja pelaksanaan SKPG di daerah yang belum berjalan dengan baik. Mengingat masalah pemantapan ketahanan pangan merupakan hal kompleks yang melibatkan lintas instansi/lintas sektor/dan lintas wilayah, maka koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi/antar sektor/dan antar wilayah menjadi kunci keberhasilan pemantapan ketahanan pangan. Kata kunci : ketahanan pangan, SKPG, deteksi wilayah rawan pangan
PENDAHULUAN Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam kerangka pembangunan nasional berimplikasi bahwa pengkajian ketahanan pangan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan menjadi penting (Soetrisno, 1995). Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional (daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu (Suhardjo, 1989; Simatupang, 1999). Ketahanan pangan di suatu wilayah mempunyai sifat multidimensional, yang ditentukan oleh berbagai faktor ekologis, sosial ekonomi dan budaya serta melibatkan berbagai sektor (Saliem, et al., 2001). Mengacu pada karakteristik yang beragam tersebut maka pemecahan masalah ketahanan pangan wilayah harus bersifat holistik. Namun untuk efisiensi waktu dan tenaga, perlu dicari faktor-faktor dominan untuk menentukan wilayah rawan pangan agar masalah pangan dan gizi yang ada di wilayah tersebut dapat segera ditangani dan dapat dilakukan monitoring deteksi dini masalah pangan dan gizi. 1
Deteksi dini wilayah rawan pangan merupakan suatu upaya untuk memberikan informasi awal dan secara dini memberikan sinyal kepada para pengambil keputusan di bidang pangan dan gizi.
Informasi awal tentang deteksi dini tersebut diharapkan
merupakan dasar pertimbangan utama bagi pengambil keputusan untuk melakukan intervensi dalam upaya meningkatkan kinerja ketahanan pangan dan gizi bagi masyarakat di suatu wilayah (Anonimous, 2001). Penelitian bertujuan untuk mempelajari konsep pengembangan sistem jaringan deteksi dini masalah rawan pangan dengan mengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur dikaitkan dengan pelaksaaan desentralisasi pembangunan (otonomi daerah). METODA PENELITIAN Kerangka Analisis Analisis kelembagaan sistem jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan dilakukan melalui penelaahan institusi atau lembaga yang terlibat dalam perumusan kebijakan, pelaksana kebijakan, mekanisme atau tata hubungan kerja dari berbagai lembaga yang terkait, serta kinerja dari
sistem deteksi dini wilayah rawan pangan.
Penelaahan sistem kelembagaan tersebut dilakukan melalui penelaahan dokumen, wawancara dengan aparat
di tingkat pusat dan
daerah (provinsi, kabupaten,
kecamatan, desa), kelompok tani, tokoh masyarakat serta rumahtangga di daerah penelitian. Wawancara dilakukan dengan metoda RRA atau rapid rural appraisal dengan menggunakan pedoman wawancara tentang berbagai aspek yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap sistem jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan.
Uraian diawali dengan pengertian, konsep atau
definisi tentang sistem kelembagaan jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan, perkembangan pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), kemudian dilanjutkan dengan pembahasan kasus pelaksanaan SKPG di Provinsi D.I. Yogyakarta dan NTT. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian Kelembagaan Jaringan Deteksi Dini Wilayah Rawan Pangan Sistem
kelembagaan
jaringan
deteksi
wilayah
rawan
pangan
dalam
operasionalnya dilakukan melalui program Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 2
(SKPG) Pengertian SKPG yang merupakan terjemahan dari Food and Nutrition Surveillance adalah suatu rangkaian kegiatan yang berkesinambungan meliputi penyediaan informasi situasi pangan dan gizi, pengambilan keputusan dan tindakan yang berupa perumusan kebijakan, perencanaan, pengendalian program, serta tindakan yang bersifat segera dan tepat waktu. Sistem tersebut dimaksudkan untuk memantau situasi pangan dan gizi dari waktu ke waktu dalam rangka pengumpulan informasi bagi pengambilan keputusan, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program pangan dan gizi (Suhardjo dan Khumaidi, 1992). Dari pengertian SKPG di atas, terdapat setidaknya tiga kata kunci yang terkait dengan kinerja dalam pelaksanaan SKPG tersebut. Ketiga kata kunci tersebut adalah (1) data dan informasi tentang situasi pangan dan gizi secara berkesinambungan (berkala) di suatu wilayah, (2) pengambilan keputusan dan tindakan secara cepat dan tepat untuk penanggulangan masalah pangan dan gizi di wilayah yang bersangkutan, dan (3) bahan perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program pangan dan gizi. Dari ketiga kata kunci tersebut amatlah penting untuk memahami berbagai faktor penentu kinerja SKPG di suatu wilayah yang antara lain mencakup (a) lembaga formal dan informal yang terlibat dalam kegiatan, (b) mekanisme dan ‘aturan main’ dari lembaga yang terlibat, dan (c) wewenang dan tanggung jawab masing-masing pelaku dalam kegiatan SKPG. Berdasar Instruksi Mendagri No.23 Tahun 1998, kegiatan SKPG memiliki tiga komponen yaitu informasi, pengambilan keputusan, dan tindakan.
Pelaksana dari
kegiatan SKPG dibagi dalam 3 (tiga) sub sistem yaitu SKPP (Sistem Kewaspadaan Produksi dan Ketersediaan Pangan) dilaksanakan oleh sektor pertanian, SKDP (Sistem Kewaspadaan Distribusi Pangan) dilaksanakan oleh Bulog, dan SKKG (Sistem Kewaspadaan Konsumsi dan Gizi) oleh sektor kesehatan. Ketiga instansi tersebut (dan mungkin ditambah instansi lain) dikukuhkan dalam suatu tim yang disebut Tim Pangan dan Gizi (di daerah disebut Tim Pangan dan Gizi Daerah). Secara diagram kerangka SKPG dapat disimak pada Gambar 1.
Diagram alur dari input-proses-output
dari
kegiatan SKPG dapat disimak pada Gambar 2. Dari Gambar 1 terlihat bahwa institusi pelaksana utama dari kegiatan SKPG tersebut adalah sektor pertanian, kesehatan, dan Bulog. Sementara itu Badan Pusat Statistik (Pusat dan Daerah) berperan dalam penyediaan data dan informasi yang terkait dengan pelaksanaan SKPG. Dalam operasionalnya, pimpinan daerah sebagai penguasa di tingkat wilayah dituntut berperan dalam mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan 3
semua institusi yang terkait dengan pelaksanaan SKPG. Instansi yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan SKPG antara lain adalah Departemen atau Kantor Tenaga Kerja, Departemen atau Kantor Perindustrian dan Perdagangan, Departemen atau Dinas Sosial, dan lain-lain. PERTANIAN
BPS
KESEHATAN INSTANSI LAIN
INFORMASI PANGAN DAN GIZI
1. PERTEMUAN KOORDINASI 2. PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1 TINDAKAN TEPAT WAKTU
NAKER
2. PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN 3. EVALUASI DOLOG
SOSIAL
PERTANIAN SKPP
Sumber:
1) 2)
BULOG SKDP
KESEHATAN SKKG
Anonimous, 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat, Jakarta. Anonimous, 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Keterangan: SKPG SKPP SKDP SKKG
: : : :
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Sistem Kewaspadaan Produksi dan Ketersediaan Pangan Sistem Kewaspadaan Distribusi Pangan Sistem Kewaspadaan Konsumsi dan Gizi
Gambar 1. Kerangka Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
4
INPUT
OUTPUT
PROSES
1. Pedoman/Juklak 2. Komitmen/Kebijakan (SK) 3. Dana 4. Sumberdaya Manusia 5. Sekretariat - Tempat pelayanan administrasi - Sistem manajemen informasi 6. Sarana - ATK - Komunikasi - Formulir - Transportasio 7. Laporan pemantauan dari tingkat administrasi yang lebih rendah 8. Indikator Pangan & Gizi
1. Pembentukan Tim 2. Penyusunan mekanisme tata kerja 3. Pelatihan 4. Pertemuan/rakor umum 5. Pertemuan Tim Pangan 6. Pengumpulan data 7. Pengolahan data 8. Analisis data 9. Pelaporan/Penyajian laporan 10. Penyusunan konsep program berdasarkan hasil analisis
1. Pokja SKPG 2. Mekanisme kerja lintas sektoral 3. Mekanisme informasi lintas sektoral 4. Undangan rapat 5. Notulen rapat 6. Hasil pertemuan 7. Laporan / Publikasi 8. Tindakan - Intervensi - Penyempurnaan program 9. Konsep kebijakan
Sumber: 1) Anonimous, 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat, Jakarta. 2) Anonimous, 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Gambar 2. Bagan Input-Proses-Output Kegiatan SKP Perkembangan Pelaksanaan SKPG Dalam perkembangannya, SKPG telah dilaksanakan sejak Pelita III (awal tahun 80 an) dimana pada waktu itu sistem tersebut diterapkan untuk mencegah timbulnya keadaan gizi buruk di kalangan penduduk terutama di daerah rawan pangan. Peluang timbulnya rawan pangan sangat besar bila terjadi keadaan darurat seperti bencana kekeringan, serangan hama/penyakit yang menimpa usaha pertanian, banjir, dan juga kerusuhan antar etnis seperti yang terjadi pada periode dua-tiga tahun terakhir yang menyebabkan banyak keluarga harus mengungsi dari tempat tinggalnya, dan sebagainya. Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan SKPG ini merupakan rangkaian kegiatan penyediaan data dan informasi tentang iklim, produksi pangan, harga pangan, ketersediaan pangan setempat, wabah penyakit 5
tertentu dan atau status gizi penduduk (tercermin dari status gizi balita), dan informasi lain yang mampu menjelaskan situasi pangan dan gizi suatu wilayah (provinsi, kabupaten, kecamatan, desa).
Data dan informasi tersebut diolah dan dianalisis
untuk kemudian dapat digunakan oleh pengambil keputusan atau pimpinan daerah dalam mengambil keputusan dan tindakan penanganan yang tepat dan cepat. Sampai dengan masa Pelita III, pengembangan SKPG lebih diarahkan kepada masalah rawan pangan atau rawan konsumsi pangan, karena pada masa itu banyak dijumpai masalah kurang pangan di berbagai daerah di Indonesia.
Pelaksanaan
SKPG ini dilakukan dengan menerapkan Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI) sebagai sub-sistem dari SKPG (Suhardjo dan Khumaidi, 1992). SIDI sebagai bagian dari SKPG pertama kali dikembangkan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan R.I setelah melalui uji coba di beberapa daerah bersama Kelompok Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan bantuan tenaga ahli dari Cornell University.
Sampai menjelang tahun 1990 telah
diterapkan di 13 provinsi meliputi 55 kabupaten di Indonesia. Untuk memantapkan pelaksanaan SKPG/SIDI ini, dilakukan evaluasi dan dari hasil evaluasi tersebut dilakukan perbaikan sesuai dengan masalah yang dihadapi di lapangan. Perkembangan pelaksanaan SKPG tidak terlepas dengan perkembangan pembangunan pertanian sebagai sektor yang menyediakan dan atau memproduksi bahan pangan. Keberhasilan sektor pertanian khususnya di bidang produksi pangan atau beras selama dua dekade lalu cukup signifikan.
Hal ini ditunjukkan dengan
merubah posisi Indonesia dari negara pengimpor pangan (beras) dunia terbesar menjadi
negara
yang
mampu
berswasembada
dan
mendapat
pengakuan
internasional melalui penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1984.
Keberhasilan pembangunan sektor pangan ini secara tidak langsung
menyebabkan situasi yang kurang kondusif untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan SKPG di berbagai daerah karena tantangan terjadinya rawan pangan relatif berkurang. Keberhasilan di sektor pangan beras ini juga membawa pelajaran mahal bagi pembangunan pertanian di Indonesia yaitu relatif kurang intensifnya atau terabaikannya penanganan sektor non-beras.
Ketimpangan alokasi sumberdaya
pembangunan antar sub-sektor dan atau antar sektor dapat dirasakan setelah Indonesia dan juga negara lain terutama di kawasan Asia dilanda krisis ekonomi.
6
Diawali sekitar bulan Agustus 1998 terjadi krisis ekonomi yang diindikasikan oleh merosotnya nilai tukar rupiah dari sekitar Rp 2.200/1US$ menjadi sekitar Rp 15.000/US $ dalam periode sekitar satu tahun berdampak pada perubahan tingkat inflasi dan harga-harga komoditas termasuk harga pangan meningkat tajam. Meningkatnya harga pangan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan terutama di tingkat rumahtangga dan individu, karena menurunnya akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Kondisi tersebut berlangsung sampai sekitar 2 tahun, dibarengi pula dengan perubahan situasi politik dalam negeri yang mengarah ke demokratisasi ternyata secara drastis menyebabkan krisis multi dimensi di Indonesia. Krisis ekonomi yang berakibat pula terjadinya krisis pangan terutama di tingkat rumahtangga dan individu. Hal ini diindikasikan oleh meningkatnya jumlah penduduk miskin yang sangat tajam dan juga meningkatnya prevalensi penduduk yang kurang energi protein (KEP).
Studi yang dilakukan oleh Irawan dan Romdiati (2001)
menunjukkan dampak krisis ekonomi terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Sementara itu Ariani, et al., (2000) menujukkan perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumahtangga akibat adanya krisis ekonomi. Dampak
krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan tuntutan
lingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk di dalamnya pembangunan pertanian. Perubahan paradigma tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Paradigma baru ketahanan pangan tersebut adalah sebagai berikut: (Anonimous, 2001) 1) Pendekatan pengembangan: Dari pemantapan ketahanan pangan pada tataran makro/agregat menjadi pemantapan ketahanan pangan rumahtangga 2) Pendekatan manajemen pembangunan: Dari pola sentralistis menjadi pola desentralistis 3) Pendekatan utama pembangunan: Dari dominasi pemerintah menjadi dominasi peran masyarakat 4) Fokus pengembangan komoditas pangan: Dari bertumpu pada beras menjadi pengembangan komoditas pangan secara keseluruhan 5) Upaya mewujudkan keterjangkauan rumahtangga atas pangan: penyediaan pangan murah menjadi peningkatan daya beli.
7
Dari
Tabel 1. Matriks capacity building pemantapan SKPG Kabupaten/Kota Tingkat Desa
Kecamatan
Sasaran 1. Kepala Desa
Materi 1. Pengertian SKPG 2. Cara pembentukan tim yang terlibat berdasarkan potensi desa 3. Beberapa contoh soludi tindakan berdasarkan informasi kualitatif dari tim SKPG desa
2. Tim SKPG: - Bidan Desa - PPL - Lain-lain (sesuai kebutuhan)
1. Pengertian SKPG 2. Cara analisis data kualitatif dan kuantitatif yang berhubungan dengan permasalahan yang dirasakan masyarakat 3. Cara kajian sederhana berdasarkan analisis kuantitatif dan kualitatif 4. Contoh-contoh intervensi berdasarkan hasil kajian
3. Organisasi Desa - LKMD - LSM
1. Pengertian SKPG 2. Cara sosialisasi SKPG tingkat desa yang ditujukan pada masyarakat, tim SKPG agar sistem tetap bergulir (antisipasi pergantian pelaksana SKPG) 3. Cara advokasi untuk Kepala Desa, terutama pada Kepala Desa baru 4. Cara mencari bantuan ke kecamatan jika masalah tidak bisa dipecahkan oleh tim desa.
1. Camat
1. Pengertian SKPG 2. Pembentukan tim berdasarkan potensi kecamatan 3. Cara-cara solusi berdasarkan permasalahan yang datang dari desa
2. Tim SKPG: - Puskesmas - KCD - PLKB - Sektor lain sesuai tingkat kecamatan
1. Pengertian SKPG 2. Cara analisis berdasarkan data kualitatif dan kuantitatif yang datang dari desa sesuai dengan permasalahan yang tidak terpecahkan oleh desa. 3. Cara kajian berdasarkan analisis kuantitatif untuk kepentingan keseluruhan desa 4. Contoh-contoh intervensi berdasarkan hasil kajian
3. Organisasi Kecamatan - LSM
1. Pengertian SKPG 2. Cara Advokasi/sosialisasi SKPG pada Camat 3. Cara meneruskan untuk minta bantuan ke Kabupaten jika Kecamatan tidak bisa memecahkan permasalahan yang dihadapi.
8
Kabupaten / Kota
1. Bupati
1. Pengertian SKPG 2. Pembentukan tim berdasarkan potensi kabupaten 3. Cara-cara solusi berdasarkan permasalahan yang datang dari kecamatan
2. Tim SKPG: - Sektor terkait
1. Pengertian SKPG 2. Cara analisis berdasarkan data kualitatif yang datang dari kecamatan sesuai dengan permasalahan yang tidak bisa terpecahkan oleh kecamatan 3. Cara kajian berdasarkan analisis kuantitatif untuk kepentingan keseluruhan kecamatan 4. Contoh-contoh intervensi berdasarkan hasil kajian
3. Organisasi Kabupaten - LSM
1. Pengertian SKPG 2. Cara advokasi/sosialisasi SKPG pada Bupati 3. Cara meneruskan untuk minta bantuan ke Provinsi jika Kabupaten tidak bisa memecahkan permasalahan yang dihadapi
Sumber: Bahan capacity building Daerah, Departemen Kesehatan, 2001.
Perubahan paradigma pemantapan ketahanan pangan tersebut mendorong pula adanya ”semangat baru” untuk memantapkan ketahanan pangan melalui pemberdayaan kembali SKPG sebagai suatu sistem kelembagaan yang berperan mewujudkan ketahanan pangan di tingkat wilayah dan rumahtangga maupun individu. Terkait dengan upaya tersebut Departemen Kesehatan dan
kooordinasi dengan
instansi terkait melakukan kegiatan revitalisasi atau pemantapan SKPG melalui pemberdayaan pelaku (capacity building) SKPG di tingkat daerah. Adapun matriks kegiatan capacity building di setiap tingkatan daerah disajikan pada Tabel 1. Data dan informasi yang perlu dikumpulkan untuk diolah dan dianalisa lebih lanjut serta proses dan mekanisme penyampaian informasi tersebut di masing-masing tingkatan wilayah dapat diuraikan sebagai berikut. Tingkat Desa Informasi pangan dan gizi yang perlu diketahui oleh Kepala Desa adalah : 1.
Informasi keadaan gizi balita (SKDN) yang dapat diperoleh dari Posyandu melalui Bidan Desa atau Ketua Kader Posyandu setiap bulan.
2.
Jumlah ibu hamil/ibu nifas yang kurang gizi (KEK) dari Bidan desa atau Ketua Kader Posyandu
9
3.
Jumlah bayi berat lahir rendah dari bidan desa atau dukun bayi setiap saat.
4.
Jumlah keluarga miskin (Pra Sejahtera dan Sejahtera I) dari PLKB secara berkala (setiap bulan)
5.
Jumlah keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan keluarganya seharihari dari ketua-ketua RT/Kepala Dusun atau Kader Posyandu/PKK, atau LSM setempat.
6.
Kemungkinan terjadinya gangguan produksi (pangan dan non-pangan) akibat adanya serangan hama, kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya.
Selanjutnya informasi tersebut dibawa ke dalam rapat atau rembug desa untuk mencari upaya penanggulangannya dengan memanfaatkan sumberdaya (potensi) yang ada di desa. Selain itu Tim SKPG tingkat desa juga diharapkan menyusun dan mengevaluasi secara berkala tentang hal-hal berikut: a. Membuat daftar nama penerima bantuan berdasarkan urutan yang paling membutuhkan. b. Membangkitkan rasa kepedulian atau gotong royong masyarakat untuk mengatasi masalah sesama warga desa. c. Melaporkan kepada Camat setempat tentang semua permasalahan yang sudah dan yang belum dapat diselesaikan oleh kepala desa dan warganya. d. Mencari bantuan (dana, bibit, dll. sesuai kebutuhan) dari berbagai sumber di dalam dan di luar desa (termasuk LSM). e. Menilai keadaan kemampuan pemenuhan konsumsi pangan dan status gizi balita secara berkesinambungan (terus menerus).
Tingkat Kecamatan Informasi pangan dan gizi yang perlu diketahui oleh Camat/Ketua Tim Pangan dan Gizi Kecamatan adalah : 1.
Informasi keadaan gizi balita (SKDN) yang dapat diperoleh dari Puskesmas dan Puskesmas pembantu setiap bulan.
2.
Jumlah ibu hamil/ ibu nifas yang kurang energi protein (KEK) dari Puskesmas dan Puskesmas pembantu.
3.
Jumlah bayi berat lahir rendah dari bidan desa atau dukun bayi setiap saat.
10
4.
Jumlah keluarga miskin (Pra Sejahtera dan Sejahtera I) dari PPLKB secara berkala (setiap bulan).
5.
Jumlah keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan/keluarganya seharihari dari Kepala Desa atau PPLKB, Bidan Desa/Puskesmas, LSM.
6.
Luas lahan, luas kerusakan dan luas panen dari formulir 1a dan 1b dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan.
7.
Jumlah penduduk atau keluarga yang ke luar desa mencari penghasilan alternatif pada waktu-waktu tertentu dari masing-masing kepala desa. Informasi tersebut di gabungkan bawa ke dalam pertemuan rutin Tim Pangan
dan Gizi Kecamatan untuk dibahas guna pengambilan keputusan tentang situasi pangan dan gizi di kecamatan serta alternatif tindakannya. Kesimpulan (informasi) tersebut disampaikan dalam Rakorcam (pertemuan bulanan) bersama semua instansi tingkat kecamatan dan semua kepala desa guna dimintakan taggapan serta partisipasi penanggulangan masalah. Selanjutnya Tim perlu memformulasikan hasil kajian tersebut untuk disampaikan kepada Bupati/Walikota, Bappeda dan DPRD Kabupaten/Kota serta permohonan tanggapan utuk peningkatan kualitas laporan. Selanjutnya Tim SKPG kecamatan juga perlu mengidentifikasi hal-hal berikut : a. Membuat daftar nama desa dan warga penerima bantuan berdasarkan urutan yang paling membutuhkan b. Membangkitkan rasa kepedulian atau gotong royong masyarakat utuk mengatasi masalah sesama warga c. Menilai keadaan kemampuan pemenuhan konsumsi pangan dan status gizi masyarakat secara berkesinambungan disertai pencegahan (konfirmasi) ke lapangan d. Mencari bantuan dari sumber lain di luar kecamatan, termasuk dari LSM e. Melaporkan kepada Bupati/Ketua Tim Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota setempat tentang semua permasalahan yang sudah dan yang belum dapat diselesaikan f.
Menyusun perencanaan yang lebih terarah (kecenderungan/ ramalan) situasi pangan dan gizi.
berdasarkan
informasi
Tingkat Kabupaten / Kota Informasi pangan dan gizi yang harus diketahui oleh Bupati/Walikota/Ketua Tim Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota adalah: 11
1. Informasi keadaan gizi balita (SKDN) yang dapat diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 2. Jumlah ibu hamil/ibu nifas yang kurang gizi (KEK) dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 3. Jumlah bayi berat lahir rendah dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 4. Jumlah keluarga miskin (Pra Sejahtera dan Sejahtera I) dari BKKBN secara berkala (setiap bulan) 5. Jumlah keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan keluargaya seharihari dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan BKKBN 6. Luas lahan, luas kerusakan dan luas panen dari formulir 1a dan 1b dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan 7. Produksi perikanan, peternakan dan perkebunan dari instansi yang berkompeten. Informasi tersebut dibahas/dikaji oleh Tim Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota dalam pertemuan rutin (bulanan, 3 bulanan) guna pengambilan kesimpulan tentang situasi pangan dan gizi di Kabupaten/Kota serta alternatif tindakannya. Kesimpulan (informasi) tersebut disampaikan dalam pertemuan bulanan bersama semua instansi tingkat Kabupaten/Kota dan semua Camat untuk mendapat tanggapan serta partisipasi penanggulangan masalah. Selain itu berbagai informasi berikut juga perlu disusun oleh Tim SKPG Kabupaten/Kota. a. Menentukan besar dan luas masalah rawan pangan dan gizi yang harus ditanggulangi segera, jangka menengah dan jangka panjang. b. Menentukan jenis intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis permasalahan. c. Menghimpun dan mengkoordinasikan sumber dana/bantuan dari berbagai instansi serta mencari sumber bantuan dari masyarakat dan LSM. d. Menyusun perencanaan yang lebih terarah (kecenderungan/ramalan) situasi pangan dan gizi.
berdasarkan
informasi
e. Mengupayakan kepastian haga pasar terhadap komoditi sumber penghasilan masyarakat desa. Kasus Pelaksanaan SKPG di Provinsi D.I. Yogyakarta Pada era otonomi daerah, keragaan SKPG di masing-masing daerah (provinsi, kabupaten) bervariasi tergantung pada apresiasi dan persepsi pimpinan daerah 12
terhadap
SKPG
dalam
kaitannya
dengan
pencapaian
target
atau
sasaran
keberhasilan ketahanan pangan di masing-masing daerah, perubahan struktur organisasi dalam tatalaksana pemerintahan, dan kesiapan aparatur daerah terhadap pelaksanaan SKPG secara berkelanjutan. Hal ini setidaknya terbukti di dua provinsi penelitian terdapat variasi kinerja pelaksanaan SKPG tersebut baik antar provinsi maupun antar kabupaten. Seperti diketahui bahwa desentralisasi pembangunan atau otonomi daerah secara umum perubahan sistem pemerintahan yang berlaku adalah perubahan dari dominasi pemerintah pusat menjadi dominasi pemerintahan di daerah khususnya kewenangan
yang
kabupaten/kota.
cukup
dominan
diberikan
pada
pemerintahan
tingkat
Perubahan ini mempunyai dampak yang hampir sama dalam
pelaksanaan SKPG di provinsi penelitian yaitu: (1)
Perubahan struktur organisasi dan tatalaksana pemerintahan yang baru berdampak pada penyesuaian sistem pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan pelaksanaan SKPG. Hal ini terkait dengan perubahan personil pelaksana maupun pemahaman terhadap konsep dan pengertian SKPG dari pelaksana yang baru; dan
(2)
Kewenangan Pemerintahan Kabupaten / Kota yang cukup besar berdampak pada adanya semacam ‘arogansi’ bahwa Pemerintahan Kabupaten / Kota bukan lagi aparat pelaksana di bawah Pemerintahan Provinsi. Hal ini berdampak terhadap kelancaran pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan SKPG dari masing-masing kabupaten/kota ke tingkat provinsi. Padahal dalam beberapa hal pengalokasian sumberdaya pembangunan yang terkait dengan upaya penanganan masalah rawan pangan sangat ditentukan oleh data dan informasi yang disampaikan oleh Pemerintahan Provinsi ke Pemerintahan Pusat tentang keragaan pelaksanaan SKPG atau penanganan masalah pangan dan gizi secara umum di masing-masing kabupaten/kota. Di Provinsi D.I. Yogyakarta,
pelaksanaan SKPG secara umum juga
menghadapi dua masalah utama seperti diuraikan di atas. Sampai saat pengumpulan data dilakukan (bulan Mei–Juni 2002),
pelaksanaan SKPG di wilayah ini belum
berjalan dengan baik. Artinya kelancaran pengumpulan data dan informasi pangan dan gizi, analisis dan pengolahan data tersebut serta koordinasi lintas instansi atau lintas sektor belum dapat dilaksanakan secara kontinyu dan berkesinambungan. Ada semacam kevakuman pelaksanaan SKPG sekitar 2 (dua) tahun sejak tahun 2000 13
sampai tahun 2002. Hal ini disebabkan pada tahun 2000 merupakan awal pelaksanaan perubahan sistem pemerintahan yang mengarah pada pelaksanaan otonomi daerah, tahun 2001 sampai awal 2002 masih merupakan tahap penyesuaian sistem pemerintahan yang baru dan tatakerja serta pengisian personil dalam pelaksanaan pemerintahan. Terkait dengan upaya pemantapan ketahanan pangan daerah, pada tanggal 4 Februari 2002 dikeluarkan S K Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta. Sebenarnya pada tahun 2001 telah dibentuk Dewan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta berdasar Surat Keputusan Gubernur Nomor 155 Tahun 2001, namun dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 132 Tahun 2001 tentang Dewan Ketahanan Pangan, maka SK Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 155 Tahun 2001 tersebut disempurnakan dan dikeluarkan SK Gubernur yang baru yaitu SK Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta. Tujuan dibentuknya Dewan Ketahanan Provinsi D.I Yogyakarta seperti tertuang dalam SK Nomor 11 Tahun 2002 tersebut adalah: (1) menciptakan keterpaduan dan keserasian antar berbagai komponen masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pemantapan ketahanan pangan, dan (2) menciptakan koordinasi fungsional yang konstruktif dan saling menguntungkan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten / Kota. Sesuai dengan mandat yang diberikan, Dewan Ketahanan Pangan Provinsi (Dewan) kedudukannya sebagai lembaga non struktural yang dipimpin oleh seorang Ketua. Dalam melaksanakan tugasnya Dewan bertanggung jawab kepada Gubernur. Fungsi
dari
Dewan
adalah
sebagai
pelaksana
koordinasi
dan
perumusan
kebijaksanaan di bidang ketahanan pangan yang meliputi pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan/kehutanan, dan pangan lainnya, kewenangan sebagai koordinasi dengan instansi terkait, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten / Kota. Terkait dengan fungsi tersebut maka tugas yang diamanatkan kepada Dewan adalah: (1) melakukan koordinasi perumusan kebijakan di bidang pemantapan ketahanan pangan provinsi yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, konsumsi, keamanan
14
pangan,
kekurangan/kerawanan
pangan,
dan
(2)
melakukan
evaluasi
dan
pengendalian pemantapan ketahanan pangan provinsi. Dalam melaksanakan fungsi dan tugas yang diamanatkan,
sesuai SK
Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 Ketua Organisasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi adalah Gubernur D.I. Yogyakarta yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari diketuai oleh Asisten Ekonomi Pembangunan Sekretaris Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta sebagai Ketua Harian dibantu oleh Kepala Dinas Pertanian Provinsi D.I. Yogyakarta sebagai Wakil Ketua Harian. Sekretaris merangkap anggota Dewan adalah Kepala Sub Dinas Ketahanan Pangan,
Dinas Pertanian Provinsi D.I.
Yogyakarta. Sementara itu berbagai instansi dan lembaga yang tergabung dalam Dewan atau berstatus sebagai anggota Dewan adalah semua instansi dan organisasi terkait tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta. Anggota Dewan lingkup Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta tersebut adalah: Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Kepala Badan Statistik, Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan, Perguruan Tinggi di D.I. Yogyakarta, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kepala Badan Pengembangan Perekonomian dan Investasi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial,
Kepala
Dinas
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah,
Kepala
Dinas
Perhubungan, Kepala Dolog, Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah, dan Kepala Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta. Dalam melaksanakan tugasnya Ketua harian Dewan dapat membentuk Kelompok Kerja yang terdiri dari para ahli dan pejabat yang berkaitan dengan penyelenggaraan ketahanan pangan.
Selain itu untuk kelancaran pelaksanaan
tugasnya Ketua Dewan dapat mengundang pihak tertentu atau unsur-unsur lain yang terkait untuk hadir dalam pertemuan Dewan dan mengikutsertakannya dalam upaya pemantapan ketahanan pangan Provinsi D.I. Yogyakarta. Dalam tatakerja Dewan Ketahanan Pangan Provinsi dirumuskan bahwa Dewan mengadakan rapat-rapat pleno yang dipimpin oleh Ketua atau Ketua Harian secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun dan sewaktu-waktu 15
sesuai dengan keperluan.
Laporan pelaksanaan tugas Dewan wajib disampaikan
kepada Gubernur secara berkala dan sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan. Selain itu ditegaskan pula dalam SK Gubernur bahwa setiap satuan organisasi di lingkungan Dewan dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik di lingkungan instansi masing-masing maupun antar organisasi di dalam dan di luar Dewan.
Pembiayaan pelaksanaan
tugas Dewan tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta sumber-sumber dana lain. Menyimak apa yang tersurat dan tersirat di dalam Surat Keputusan Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 tersebut maka pelaksanaan kebijakan pemantapan ketahanan pangan di Provinsi D.I. Yogyakarta sudah jelas diatur lembaga atau instansi yang terlibat, tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi serta tatakerja dalam melaksanakan tugas dan fungsi maupun kewajiban Dewan dalam pelaksanaan tugas telah dirumuskan dengan jelas dalam dokumen Surat Keputusan tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh mandat
tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Kinerja pelaksanaan kebijakan pemantapan ketahanan pangan daerah sangat dipengaruhi setidaknya oleh dua faktor berikut: (1)
kesiapan aparat dalam mengapresiasi, memahami, serta mengaktualisasikan tugas dan fungsi yang teramanatkan dalam SK tersebut dalam kegiatan konkrit yang terkait upaya pemantapan ketahanan pangan diselaraskan dengan tugas dan fungsi di masing-masing instansi,
(2)
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi lintas organisasi/institusi tentang fungsi, tugas, kewajiban dan tanggungjawab seringkali menjadi alasan klise kekurang berhasilan kinerja pembangunan di berbagai aspek. Oleh karena itu koordinasi seringkali mudah diucapkan tetapi dalam pelaksanaan operasional yang terkait dengan tugas dan fungsi sektoral sulit dilaksanakan merupakan faktor kunci dalam menunjang kinerja pemantapan ketahanan pangan di D.I. Yogyakarta. Selain itu selaras dengan paradigma baru dalam mewujudkan ketahanan
pangan nasional, daerah, maupun rumahtangga/individu, maka peranserta dan
16
partisipasi masyarakat dalam kegiatan yang terkait dengan upaya pemantapan ketahanan pangan perlu dikembangkan dan diperluas cakupan aktivitasnya. Beberapa peran yang dapat dilakukan masyarakat dalam upaya perwujudan ketahanan pangan antara lain adalah: (1) pemberdayaan kelembagaan dasawisma di lingkungan tempat tinggal dalam memantau dan melaporkan kejadian kurang pangan di masyarakat sekitar kepada pihak pengambil keputusan terdekat merupakan faktor kunci terdeteksinya secara dini kasus kerawanan pangan di tingkat rumahtangga, (2) kepedulian sosial masyarakat sekitar terhadap tetangga yang mengalami kekurangan pangan dengan cara membantu mengatasi dan memenuhi pangan yang dibutuhkan merupakan bentuk pemantapan ketahanan pangan masyarakat secara swadaya atau mandiri tanpa menggantungkan bantuan dan uluran tangan pemerintah, dan (3) partisipasi dan peran masyarakat terhadap terlaksananya berbagai program pemantapan ketahanan pangan yang dilaksanakan pemerintah merupakan faktor kunci keberhasilan perwujudan ketahanan pangan. Di D.I Yogyakarta, lembaga struktural pemerintah yang mendapat tugas dan fungsi sebagai pelaksana kebijakan ketahanan pangan di tingkat daerah diamanatkan pada Dinas Pertanian Provinsi D.I. Yogyakarta, tepatnya pada Sub Dinas Ketahanan Pangan. Walaupun kelembagaan Sub Dinas Ketahanan Pangan tidak merupakan organisasi tersendiri tetapi bernaung dalam struktur Dinas Pertanian Provinsi, namun dalam lembaga non struktural pemantapan ketahanan pangan yaitu dalam Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Kepala Sub Dinas Ketahanan Pangan menjadi Sekretaris Dewan (merangkap Anggota). Peran tersebut dapat diaktualisasikan dalam merumuskan kebijakan pemantapan ketahanan pangan daerah. Hal ini dapat dilakukan mengingat tugas Dewan Ketahanan Pangan Provinsi adalah (1) melakukan koordinasi perumusan kebijakan di bidang pemantapan ketahanan pangan Provinsi yang
meliputi
aspek
ketersediaan,
distribusi,
konsumsi,
keamanan
pangan,
kekurangan/kerawanan pangan, dan (2) melakukan evaluasi dan pengendalian pemantapan ketahanan pangan provinsi.
Oleh karena itu dalam melaksanakan
kebijakan pemantapan ketahanan pangan daerah, pejabat yang menduduki jabatan Kepala Sub Dinas Ketahanan Pangan sekaligus dapat memberikan umpan balik pada perumusan kebijakan di saat yang bersangkutan berperan sebagai Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Provinsi. Hal ini apabila dapat dijalankan sesuai dengan amanat yang tertuang dalam SK Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 maka 17
perwujudan
ketahanan
pangan
di
D.I
Yogyakarta
secara
mantap
dan
berkesinambungan dapat dicapai.
Kasus Pelaksanaan SKPG di Provinsi Nusa Tenggara Timur Berbeda dengan kondisi di Provinsi D.I. Yogyakarta, lembaga struktural yang menjalankan tugas dan fungsi pelaksana kebijakan pemantapan ketahanan pangan daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berada pada Badan Bimas Ketahanan Pangan
Provinsi (BBKPP).
Keberadaan BBKPP sebagai lembaga
struktural yang relatif baru di tingkat Pemerintah Daerah Provinsi NTT melalui reorganisasi personal dan jabatan membawa konsekuensi positif dan negatif dalam pelaksanaan pamantapan ketahanan pangan daerah khususnya terhadap pelaksaaan program dan kegiatan SKPG.
Dampak positif antara lain adalah dengan adanya
lembaga khusus yang menangani masalah ketahanan pangan daerah maka pelaksanaan kooordinasi, integrasi dan sinkronisasi kebijakan pangan dan gizi dapat dilaksanakan secara lebih fokus.
Namun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut
karena BBKPP merupakan lembaga struktural yang baru maka penyesuaian personal, tatakerja dan pemahaman terhadap tugas dan fungsi yang diamanatkan pada lembaga ini memerlukan waktu dan proses yang bertahap. Hal ini merupakan salah satu dampak negatif dari dibentuknya lembaga baru dalam sistem pemerintahan. Berdasar informasi dari Kepala BBKPP dan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan
Hortikultura
Provinsi
NTT,
efektifitas
lembaga
BBKPP
dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dalam pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan di daerah masih relatif kurang.
Hal ini antara lain adalah karena (1) sosialisasi
tentang keberadaan, peran, dan bidang tugas lembaga tersebut kepada seluruh Dinas /Instansi terkait baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota memerlukan waktu yang cukup lama, (2) pemahaman dan aktualisasi para pejabat dan pelaksana kebijakan di tingkat BBKPP sendiri memerlukan proses serta waktu yang tidak singkat. Sebagai contoh dalam pelaksanaan SKPG yang merupakan salah program dan kegiatan dari pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan daerah selama 2 (dua) tahun ini relatif vakum. Kevakuman ini antara lain karena pembagian tugas dan wewenang dari berbagai instansi yang terkait langsung maupun tidak langsung belum dapat dikoordinasikan dan disinkronkan secara baik. 18
Sebagai salah satu kasus kekurang efektifan pelaksanaan kegiatan SKPG di provinsi NTT antara lain terlihat di Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Semula Dinas Kesehatan sebagai leading sector dalam pelaksanaan SKPG di Provinsi NTT, maka sejak digulirkannya otonomi daerah dan diwujudkannya berbagai perubahan struktur organisasi pemerintahan di daerah maka pelaksanaan pengumpulan data dan informasi mengenai pangan dan gizi secara berkala dan berkesinambungan tidak lagi dapat diwujudkan dengan baik.
Hal ini terjadi antara lain karena dipindahkannya
petugas yang sudah terlatih pada kegiatan lain sementara pemegang tugas baru belum memahami secara baik terhadap tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Selain itu dalam struktur yang baru, petugas yang dilibatkan untuk menganalisis data status gizi adalah bagian gizi, padahal data tersebut ada di bagian pemantauan penyakit. Keadaan tersebut juga dapat berdampak pada kinerja SKPG. Permasalahan kekurang efektifan pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan pemantapan ketahanan pangan di Provinsi NTT juga dirasakan oleh BBKPP. Sebagai lembaga baru berbagai penyesuaian organisasi, tatakerja dan personal yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan SKPG juga masih dirasakan belum efektif. Kewenangan BBKPP sebagai lembaga khusus di daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas perwujudan ketahanan pangan secara mantap di Provinsi NTT belum didukung oleh sarana dan ketetapan yuridis dalam merumuskan kebijakan ketahanan pangan daerah. Sampai saat pengumpulan data dan informasi di Provinsi NTT dilakukan ( Juni-Juli 2002) SK Gubernur NTT tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTT belum dapat diperoleh.
Belajar dari
pengalaman memahami SK Gubernur D.I. Yogyakarta tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan D.I. Yogyakarta, maka dikeluarkannya Surat Keputusan serta dijalankannya secara konsisten dari apa yang tersurat dan tersirat dalam SK pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Daerah oleh semua unsur yang terlibat merupakan salah satu instrumen penting bagi terwujudnya ketahanan pangan di daerah. Keberadaan lembaga BBKPP di NTT merupakan salah satu modal dasar yang dapat diberdayakan untuk mewujudkan ketahanan pangan di daerah ini.
Peran
lembaga BBKPP dapat dimaksimalkan baik dalam perumusan kebijakan pemantapan ketahanan pangan (terkait dengan peran Ketua BBKPP dalam Dewan Ketahanan
19
Pangan Provinsi) maupun Ketua BBKPP sebagai penanggung jawab institusi pelaksana kebijakan tersebut terkait dengan tugas dan mandatnya dalam BBKPP.
KESIMPULAN DAN SARAN Perubahan dari dominasi pemerintah pusat menjadi dominasi pemerintah daerah khususnya tingkat kabupaten/kota dalam pelaksanaan otonomi daerah membawa konsekuensi dalam pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan di daerah. Perubahan ini secara umum mempunyai dampak yang hampir sama dalam pelaksanaan SKPG di dua provinsi penelitian yaitu: (1) Perubahan struktur organisasi dan tatalaksana pemerintahan yang baru, berdampak pada penyesuaian sistem pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan pelaksanaan SKPG. Hal ini terkait dengan perubahan personil, sehingga masih diperlukan pemahaman terhadap konsep dan pengertian SKPG untuk pelaksana yang baru; dan (2) Kewenangan Pemerintahan Kabupaten/Kota yang besar berdampak pada adanya semacam ‘arogansi’ bahwa Pemerintahan Kabupaten/Kota bukan lagi aparat pelaksana di bawah Pemerintahan Provinsi. Hal ini berdampak terhadap kelancaran pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan SKPG dari masing-masing kabupaten/kota ke tingkat provinsi. Dalam beberapa hal, pengalokasian sumberdaya pembangunan yang terkait dengan upaya penanganan masalah rawan pangan sangat ditentukan oleh data dan informasi yang disampaikan oleh Pemerintahan Provinsi ke Pemerintahan Pusat. Oleh karena itu pemahaman dan apresiasi serta aktualisasi dari semua aparat terhadap tugas dan wewenang masing-masing sesuai aturan yang telah disepakati merupakan kunci keberhasilan pemantapan ketahanan pangan. Pada era otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, Pemerintah Pusat dan Provinsi perlu membatasi perannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, khususnya pada urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, serta membantu Pemerintah Daerah (Kabupaten) sesuai permintaan.
Dalam hal ini, Pemerintah
Kabupaten/Kota melaksanakan perannya sesuai kewenangan otonomnya, namun tetap dalam kerangka sistem yang lebih luas. Setiap kebijakan yang dirumuskan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu mempertimbangkan keterkaitan timbal baliknya dengan kebijakan di tingkat lokal, regional, nasional bahkan global.
20
Dengan adanya krisis ekonomi, perubahan struktur departemen dan otonomi daerah telah berdampak pada kinerja SKPG. Walaupun dilakukan revitalisasi SKPG, namun pelaksanaan SKPG di daerah masih belum berjalan dengan baik karena masih mencari format baik dalam hal struktur organisasi maupun penggandaan jenis indikator yang digunakan terutama untuk indikator bidang pertanian.
Selain itu
terdapat dualisme kegiatan SKPG, yaitu SKPG dengan “leading sector” Departemen Kesehatan dan SKPG dengan “leading sector” Departemen Pertanian/Badan Bimas Ketahanan pangan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) antara lain adalah: (1) peran sebagai fasilitator atau memfasilitasi
dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi
pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan merupakan kunci utama dalam pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan di era desentralisasi pembangunan, (2) ruang gerak dan peran aktif swasta serta masyarakat luas perlu dibuka lebar dengan memberikan kebebasan dalam berkiprah di bidang pemantapan ketahanan pangan. Namun demikian kebebasan tersebut masih terbingkai oleh acuan kebijakan nasional terutama untuk jenis pangan strategis, dan (3) mengingat masalah pemantapan ketahanan pangan merupakan hal kompleks yang melibatkan lintas instansi/lintas sektor/dan lintas wilayah, maka koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi/antar sektor/dan antar wilayah menjadi kunci keberhasilan pemantapan ketahanan pangan. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat. Jakarta. Anonimous. 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Anonimous. 2001. Bahan Raker Kerja. Departemen Pertanian dan DPR. Jakarta. Anonimous. 2001. Paradigma Baru Ketahanan Pangan. Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta. Ariani, M, H.P. Saliem, S.H. Suhartini, Wahida dan H. Supriadi. 2000. Analisis Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Departemen Kesehatan 2001. Bahan Capacity Building Daerah. Departemen Kesehatan. R. I. Jakarta.
21
Irawan, P.B. dan H. Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. WKNPG, LIPI. Jakarta. Saliem, H.P., E.M. Lokollo, M. Ariani, T.B. Purwantini, dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Laporan Penelitian Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security : The Need for A New Paradigm. Paper Presented on International Seminar on Agricultural Sector During the Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. CASER. Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No.21 Vol. V. Bulog, Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen. Pendidikan Tinggi dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Suhardjo dan M. Khumaidi. 1992. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
22