ICASERD WORKING PAPER No. 45
KETAHANAN PANGAN DAN IMPOR BERAS BERKELANJUTAN Supadi Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 45
KETAHANAN PANGAN DAN IMPOR BERAS BERKELANJUTAN Supadi Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. M. Rahmat Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail :
[email protected] No. Dok.055.45.01.04
KETAHANAN PANGAN DAN IMPOR BERAS BERKELANJUTAN Supadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Food security and sustainability merice import. Rice is strategic commodity because not only as a staplefood, but also have certain values such as economic, psychology and social politic for Indonesian. Since 1994, Indonesia was no longer able to fulfill the domestic rice demand therefore the rice import is inevitable. The import continue to a longer volume in period of 19851993, the average rice import was 0.16 M ton/year. It grew in the period of 1994-1997 to an average 1.1 M ton/year and it grew even large to an average 4.65 M ton/year. The conditions rice import dependence in large number, is not all giving benefit for Indonesia, nevertheless of it creator serious threat to the national food securities. Therefore the rice production must be increased by creating and environmentally friendly technological breakthrough which can be applied in the farmer level. The rice production can also be increase by intensification and extensification out side Java and applicating incentive policy to encourage farmers to produce rice. Key words: Rice import, food security, commodities strategies. ABSTRAK Beras merupakan komoditas strategis karena merupakan bahan pangan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia, selain bernilai ekonomis juga mengandung nilai psikologis, sosial dan politik. Sejak tahun 1994 Indonesia sudah tidak berswasembada beras lagi, karena setelah swasembada beras diraih pada tahun 1984 produksi beras cenderung menurun dan tidak stabil. Produksi beras dalam negeri tidak dapat diandalkan lagi sehingga terpaksa mengimpor beras. Impor beras terus berlanjut dengan volume yang membesar. Dalam tahun 1985-1993 (periode swasembada) impor beras hanya rata-rata 0,16 juta ton/tahun, pada tahun 1994-1997 (periode sebelum krisis ekonomi) meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/tahun dan pada tahun 1998-2000 (periode krisis) meningkat lebih besar lagi menjadi rata-rata 4,65 juta ton/tahun. Dilihat dari berbagai segi ketergantungan kepada impor beras secara berkelanjutan dan dalam volume besar sangat tidak menguntungkan karena dapat merupakan ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional. Untuk itu maka Indonesia harus memacu produksi beras dalam negeri yang lebih serius melalui terobosan-terobosan teknologi produksi yang lebih unggul dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan secara optimal ditingkat petani sehingga produktivitas dapat ditingkatkan tanpa merusak lingkungan. Selain itu peningkatan produksi beras dapat dilakukan melalui peningkatan intensitas tanam dan perluasan areal di luar Jawa serta menerapkan kebijakan yang memberikan insentif yang menggairahkan petani untuk mau memproduksi padi. Kata kunci: impor beras, ketahanan pangan, komoditas strategis.
PENDAHULUAN Di Indonesia aspek ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu sentral dalam pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Masalah pangan dan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari konteks komoditas beras. Hal ini mengingat beras merupakan bahan pangan pokok (staple food) yang dikonsumsi oleh
1
hampir seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian ketersediaan beras menjadi faktor penting dalam memantapkan ketahanan pangan nasional. Badan Pangan Dunia FAO menginterpretasikan ketahanan pangan sebagai kemampuan menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk sepanjang tahun dengan harga terjangkau untuk dapat hidup sehat dan aktif (Fagi, et al., 2002). Menurut Undang-Undang RI No.7/1996 tentang pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan konsep yang dinamis dalam arti dapat digunakan untuk mengukur secara langsung kualitas sumber daya manusia dengan cara mengukur kecukupan pangan dan gizinya. Karena sifatnya yang dinamis, ketahanan pangan di suatu negara sangat dipengaruhi tidak hanya dari produksi dan sistemnya namun juga oleh kondisi sosial ekonomi yang terjadi di suatu negara. Konsep ketahanan pangan dapat dilihat dari segi individu dan nasional. Konsep ketahanan pangan di tingkat individu mengacu pada suatu keadaan yang dapat menjamin setiap individu di manapun dan kapanpun di suatu negara untuk memperoleh pangan agar dapat mempertahankan hidup sehat. Sedangkan konsep ketahanan pangan nasional berarti adanya jaminan kecukupan pangan dan gizi di tingkat nasional dari waktu ke waktu. Untuk mejamin ketahanan pangan nasional sampai tingkat individu, ketersediaan pangan dan keterjangkauan aksesnya oleh semua orang merupakan dua syarat penting. Namun meskipun ketersediaan pangan belum menjamin akses, tapi ketersediaan pangan yang cukup secara nasional merupakan langkah awal yang sangat penting untuk ditangani. Ketidakseimbangan antara kedua hal tersebut dapat menyebabkan ancaman ketahanan pangan (food insecurity). Ketahanan pangan yang mantap akan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan. Ketahanan pangan yang mantap merupakan syarat keharusan bagi pelaksanaan pembangunan. Tanpa ketahanan pangan yang mantap maka tidak mungkin tersedia sumberdaya manusia berkualitas tinggi yang sangat diperlukan sebagai motor penggerak pembangunan. Ketahanan pangan yang mantap merupakan prasyarat bagi stabilitas sosial politik, sementara stabilitas sosial politik merupakan syarat mutlak bagi pelaksanaan pembangunan.
2
Predikat
sebagai
negara
agraris
belum
mampu
menjadikan
Indonesia
berswasembada pangan. Bahkan, sampai saat ini impor pangan utama (beras) masih terus berlangsung. Padahal beras merupakan komoditas pangan strategis karena menyangkut kehidupan ekonomi dan mempengaruhi kondisi sosial dan politik masyarakat. Tujuan penulisan makalah ini adalah menyajikan tinjauan kritis terhadap masalah impor beras yang berkelanjutan dalam jumlah besar akhir-akhir ini dikaitkan dengan peranan komoditas beras yang sangat strategis dalam memantapkan ketahanan pangan nasional. Dari hasil analisis diharapkan memberikan alternatif kebijakan untuk mengantisipasi permasalahan yang akan muncul, sehingga kerapuhan ketahanan pangan nasional dapat dihindarkan. Metode penulisan makalah adalah mengkaji kepustakaan (review) dari berbagai sumber seperti buku-buku dan tulisan lain, majalah, surat kabar, hasi-hasil pengkajian dan sebagainya. Arti Strategis Beras Secara historis komoditas beras tidak semata-mata hanya komoditas ekonomi, melainkan juga sebagai komoditas sosial politik yang strategis. Hal ini ditunjukkan oleh pengalaman bahwa sejak zaman pemerintah Hindia-Belanda, beras merupakan “amunisi” strategis para geriliyawan di pedalaman untuk bertahan dan memenangkan perang. Ketersedian beras yang cukup di pihak gerilyawan akan menyulitkan Belanda untuk mengalahkan mereka. (Pranadji 2003). Pengalaman lalu menunjukkan bahwa beras adalah satu-satunya komoditas yang mengawali pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintahan Orde Baru. Kegagalan dalam penyedian beras sebagai pangan utama akan bisa menimbulkan implikasi soial politik yang sangat mahal. Keterkaitan lintas sektor dalam penanganan komoditas beras sangat kuat, sehingga kandungan politiknya baik nasional maupun internasional cukup tinggi. Struktur pasar beras dunia akan mengarah ke pasar oligopoli yaitu produksinya akan terkonsentrasi pada sejumlah kecil negara. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryana et al.,(2001), 80 persen perdagangan beras dunia dikuasai oleh enam negara yaitu Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, China dan Myanmar, sehingga pasar akan ditentukan oleh kekuatan oligopoli. Struktur pasar yang oligopoli diperburuk lagi oleh adanya segmentasi pasar (perbedaan selera) sehingga pertukaran antara segmen pasar
3
dalam mengantisipasi perubahan pasokan dan permintaan tidak sepenuhnya terjadi. Apalagi akhir-akhir ini Indonesia merupakan negara net importer beras terbesar. Menurut Timmer (1996) yang dikutip Amang dan Sawit (2001) perekonomian beras (rice economy) secara signifikan merupakan pendukung pesatnya ekonomi Indonesia seperti pada tahun 1960-an. Selain sebagai pangan pokok, beras juga dipandang sebagai komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dalam konteks perekonomian beras secara garis besar terdapat dua kubu/aliran yaitu : (1) kubu pertama agar pemerintah tidak campur tangan di pasar untuk semua komoditas, termasuk komoditas pangan (beras), dan (2) kubu kedua perlunya peran pemerintah. Dalam hal ini khusus untuk komoditas kebutuhan pokok (salah satunya beras), pemerintah melakukan pengendalian agar masyarkat tidak menjadi obyek pencari keuntungan. Pertimbangan ini karena ditinjau dari banyak segi beras merupakan komoditas yang sangat strategis bagi bangsa Indonesia (Suryana et al., 2001). Dengan memperhatikan nilai strategis beras, maka kebijaksanaan nasional tentang beras tidak hanya memandang dari satu sisi saja yaitu sisi ekonomi, karena beras bagi Indonesia bukan semata-mata dipandang sebagai komoditas yang mempunyai nilai ekonomi akan tetapi sekaligus mengandung nilai sosial, psikologis dan politik (Pranolo, 2001). Di sebagian besar negara Asia, termasuk di Indonesia, umumnya beras diperlakukan sebagai komoditas upah (wage goods) dan komoditas politik (political goods) sehingga apabila harga beras tidak stabil dan sulit diperoleh pemerintahan akan labil (Suryana et al., 2001). Meningkatnya harga beras secara mencolok dikhawatirkan akan meningkatkan laju inflasi, karena bagi Indonesia beras mempunyai bobot yang besar dalam pengeluaran masyarakat. Menurut perhitungan Ikhsan (2001) setiap kenaikan 10 persen harga beras akan diterjemahkan pada kemiskinan sekitar satu persen penduduk miskin atau tambahan dua juta penduduk miskin. Dalam konteks yang lebih luas, Amang dan Sawit (2001) menyatakan bahwa beras merupakan komoditas yang unik tidak saja untuk bangsa Indonesia, tapi juga sebagian besar negara-negara Asia. Karena keunikannya tersebut, Tsuji (1998) yang dikutip Amang dan Sawit (2001) menyatakan bahwa penerapan perdagangan bebas untuk komoditas beras adalah tidak tepat, karena sejumlah asumsi teori perdagangan bebas (free trade theory) tidak cocok dalam dunia nyata. Apabila kebijakan tersebut tetap ingin dipaksakan akan memperburuk distribusi pendapatan dan berpengaruh negatif terhadap lingkungan dan biodiversity. Demikian juga halnya Arifin (2001) mengemukakan
4
bahwa apabila pilihan pelepasan komoditas beras pada mekanisme pasar, bangsa Indonesia harus siap dengan segala risiko yang harus dihadapi. Di antaranya adalah kerentanan sistem ketahanan pangan akibat pasar beras dunia yang sangat tipis, bergejolak dan adanya potensi kerawanan pangan global pada masa yang akan datang. Pangan khususnya beras merupakan komoditas “strategis” yang mungkin terlalu berisiko bila diserahkan “sepenuhnya” kepada mekanisme pasar. Pertimbangan pokoknya adalah jumlah penduduk yang besar dan pola konsumsi pangan rakyat yang didominasi beras. Dengan jumlah penduduk sekitar 203 juta orang pada tahun 2000, maka setiap gejolak yang mempengaruhi produksi dan distribusi beras di dalam negeri akan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional yang pada gilirannya dapat memacu gejolak sosial yang lebih luas (Pranolo, 2001). Perkembangan Impor Beras Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Namun sejak swasembada beras diraih, laju pertumbuhan produksi beras nasional cenderung menurun dan semakin tidak stabil sehingga sejak tahun 1994 Indonesia sudah tidak lagi berswasembada beras (Sapuan, 1999). Dengan pola produksi beras yang melandai (levelling off) maka produksi beras dalam negeri semakin tidak dapat diandalkan sebagai sumber utama penyediaan pangan nasional sehingga menyebabkan impor beras berkelanjutan dengan volume yang terus meningkat. Perkembangan impor beras pada periode 1985-1993 (periode swasembada) rata-rata mencapai 0,16 juta ton/tahun, dan pada periode 1994-1997 (periode setelah tidak berswasembada beras sampai dengan sebelum krisis ekonomi) meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/tahun, dan periode 1998-2000 (periode krisis) meningkat lebih besar menjadi 4,65 juta ton/tahun. Perkembangan volume impor periode 1985-2000 dapat dilihat pada Tabel 1. Kini Indonesia merupakan negara net importer beras terbesar di dunia. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyebutkan tahun 2002 lima negara pengimpor beras terbesar di dunia yaitu Indonesia (3,25 juta ton), Nigeria (1,7 juta ton), Iran (1,5 juta ton), Filipina (1,2 juta ton) dan Irak (1,1 juta ton). Pada tahun 2001 Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor dua setelah Nigeria (Kompas, 2003).
5
Tabel 1. Perkembangan Impor Beras, 1985-2000 (dalam ribuan ton) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Tahun Impor Keterangan Rata-rata impor beras: 0 1985 0 1986 1985-1993 : 0,16 juta ton 120 1987 1994-1997 : 1,10 juta ton 0 1988 1998-2000 : 4,65 juta ton 464 1989 30 1990 179 1991 634 1992 0 1993 876 1994 3014 1995 1090 1996 407 1997 7100 1998 Sejak September 1998, impor beras bebas 5044 1999 dilakukan swasta (importir umum) 1800 2000 Rata-rata 1297 Sumber: Simatupang,et al. (1999),1985-1997; Erwidodo,et al.(1999), 1985-1997; Surono (2001), 1992-1999; dan Amang dan Sawit (2001),1990-2000. Catatan: Bila ada perbedaan angka impor untuk tahun yang sama diambil angka yang lebih besar, contoh tahun 1990 angka impor 29 dan 30, diambil 30, tahun 1998:5783 dan 7100, diambil 7100.
Prediksi USDA yang terbaru menunjukkan Indonesia masih menjadi pengimpor beras terbesar. Prediksi impor beras ini masih sama besar dengan prediksi USDA tahun 2002. Prediksi impor beras menurut Pusat Studi Pembangunan (PSP-IPB) untuk tahun 2003 sekitar 2,3 juta ton. Meskipun perhitungan PSP-IPB ini lebih kecil dari USDA, namun impor beras tersebut masih tergolong besar. Faktor yang menyebabkan prediksi impor cukup besar (Krisnamukti, dalam Kompas 23 Januari 2003), karena: (1) keterlambatan panen musim rendeng (juga akan berakibat pada keterlambatan musim tanam gadu), sehingga bisa memperparah produksi beras dalam negeri, (2) insentif kenaikan harga dasar gabah diperkirakan belum mampu menaikkan produksi, (3) kemungkinan dampak El Nino tahun 2003 lebih besar dibanding tahun 2002. Kebijakan menaikkan harga dasar gabah dinilai tidak memberikan insentif bagi petani yang melakukan produksi karena pada saat yang bersamaan hargaharga barang lain mengalami kenaikan. Panen musim rendeng menyumbang 60 – 65 persen produksi padi total tiap tahunnya (Sawit, 1998). Proyeksi produksi padi dapat dicapai bila didukung kondisi alam dan kebijakan yang kondusif, antara lain: (1) tidak ada anomali iklim, (2) kebijakan yang kondusif terutama harga dasar gabah dan tarif impor, (3) tersedianya sarana dan prasarana
6
pendukung seperti air irigasi, kredit modal kerja, ketersediaan pupuk, (4) sistem penyuluhan berjalan baik untuk mendukung penerapan teknologi di tingkat petani (Hafsah, 2003). Impor Beras Dan Permasalahannya Ancaman terhadap ketahanan pangan disebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah produksi dan konsumsi pangan. Jumlah konsumsi beras di Indonesia tampaknya
akan
sulit
ditekan
karena
sebagian
besar
masyarakat
Indonesia
mengandalkan beras sebagai makanan pokok. Bila konsumsi tidak dapat ditekan sementara jumlah produksi beras di tingkat nasional yang menurun, maka situasi demikian akan memperburuk ketahanan pangan nasional. Namun sesungguhnya, berkurangnya jumlah produksi beras tidak otomatis menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan selama mampu mengimpor beras dari luar negeri. Namun permasalahannya, dalam situasi perekonomian yang tidak menentu seperti sekarang ini, mengimpor beras bukanlah persoalan yang gampang. Selain dampak psikologis karena Indonesia pernah dikenal dunia internasional sebagai negara yang pernah berswasembada beras, juga disebabkan oleh masalah devisa. Mengimpor beras dari luar negeri, pemerintah harus memiliki cadangan devisa yang besar. Cadangan devisa akhirnya menjadi faktor yang menentukan karena untuk mendatangkan beras impor tidak dapat menggunakan rupiah. Merosotnya nilai rupiah jelas akan memperburuk posisi daya beli Indonesia terhadap komoditas yang diimpor. Aksesibilitas terhadap pasar internasional yang terus berkurang pada gilirannya akan mengancam ketahanan pangan di tingkat nasional. Menipisnya cadangan devisa, stagnannya produksi beras serta masalah aksesibilitas terhadap pasar merupakan sebagian dari banyak persoalan yang berpotensi besar terhadap ancaman ketahanan pangan di tingkat nasional (Safuan, 1997). Menurut Amang dan Sawit (2001) kebijaksanaan impor beras yang berlebihan mengandung sejumlah risiko dalam mempertahankan kemandirian dan kekuatan sesuatu negara. Pangan dapat dijadikan alat politik untuk menekan suatu negara oleh negara besar atau oleh negara pesaing, misalnya melalui embargo pangan. Apalagi upaya pemenuhan beras yang berasal dari impor bukanlah pekerjaan gampang. Hal ini karena volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia relatif kecil yaitu sebesar 15 juta ton atau sebesar 4-5 persen dari total produksi dunia sekitar 350 juta ton beras. Dari 15 juta
7
ton beras tersebut sebagian besar sudah memiliki pembeli (negara-negara di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah dan juga Asia), sehingga bila Indonesia masuk ke pasar beras dunia dengan satu sampai dua juta ton akan mengakibatkan goncangan harga beras di pasar dunia. Selanjutnya dikemukakan bahwa angka impor yang aman Indonesia diperkirakan jangan lebih dari lima persen dari jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut maka Indonesia harus segera memacu produksi beras dalam negeri yang lebih serius di masa datang. Setiap Indonesia mengiimpor beras sebesar satu juta ton, maka diperkirakan harga beras dunia akan melonjak minimal sebesar US$ 50,00 per ton (Amang dan Sawit, 2001). Hal-hal yang harus diperhatikan Dalam upaya meningkatkan produksi beras untuk masa mendatang, hal-hal yang harus diperhatikan adalah: (1) Dalam jangka panjang mengandalkan Pulau Jawa tetap sebagai produsen utama beras bukanlah keputusan yang bijaksana karena tingkat persaingan penggunaan lahan di Pulau Jawa untuk kegiatan non-pertanian sulit dibendung akibat dari tekanan jumlah penduduk, kebutuhan industri dan infrastruktur yang makin meningkat, dan (2) Penurunan produktivitas akibat degradasi lahan dan stagnasi teknologi produksi. Untuk itu diperlukan terobosan teknologi unggul yang ramah lingkungan dan dapat diterapkan secara optimal di tingkat petani dan juga peningkatan indeks pertanaman (IP). Sedangkan hal lainnya yang luput dari perhatian, namun sangat penting diperhatikan adalah fenomena penurunan rendemen beras (faktor konversi dari gabah ke beras). Penurunan rendemen beras menyebabkan menurunnya produksi usahatani dalam bentuk beras, sehingga berdampak negatif terhadap produksi beras nasional. Rendemen beras telah turun dari 70 persen pada awal tahun 1950-an menjadi hanya sekitar 62 persen pada akhir 1990-an (Simatupang, 2000; Amang dan Sawit, 2001). Penurunan rendemen beras ini perlu mendapat perhatian serius karena berdasarkan perhitungan, setiap penurunan rendemen satu persen, beras yang hilang mencapai 0,5 juta ton (Amang dan Sawit, 2001). Selain penurunan rendemen beras yang juga harus diperhatikan adalah menekan serendah mungkin kehilangan hasil gabah pada saat panen dan pasca panen. Kehilangan hasil gabah pada saat panen hingga perontokan diperkirakan 15-19 persen. Dalam proses perontokan saja kehilangan hasil panen
8
mencapai 4,9 persen.Kalau angka ini dapat ditekan hingga rata-rata dua persen, akan diperoleh tambahan produksi gabah nasional sekitar 1 juta ton per tahun (Fagi et al., 2002). Kehilangan hasil pada waktu panen dan pasca panen, kemudian diikuti dengan penurunan angka rendemen dari gabah ke beras dan penurunan produktivitas sama artinya dengan penurunan pendapatan petani dan pengurangan pasokan beras yang berasal dari produksi dalam negeri. Kecenderungan produksi beras dalam negeri yang semakin menurun tersebut merupakan ancaman yang serius bagi ketahanan pangan nasional. Dengan kata lain impor beras dalam jumlah yang besar dan berkelanjutan sangat tidak diharapkan karena dilihat dari berbagai segi sangat tidak menguntungkan. PENUTUP Indonesia sebagai negara berkembang yang jumlah penduduknya banyak harus menghindari ketergantungan yang terlalu besar kepada beras asal impor, karena banyak mengandung risiko seperti keterbatasan devisa, melemahnya nilai rupiah terhadap dolar, ketidakstabilan harga beras di pasar dunia dan sebagainya, sehingga dapat membuat rapuhnya ketahanan pangan nasional. Pemberian izin impor kepada swasta (importir umum) agar dikaji ulang. Sebaiknya beras diproteksi saja sehingga dalam impor beras ini hanya pemerintah saja yang boleh mengimpor beras dan didistribusikan lewat Bulog. Dengan kata lain dalam persoalan komoditas beras pemerintah harus melakukan pengendalian agar masyarakat tidak menjadi obyek mencari keuntungan. Menurunnya produksi beras dengan konsekuensinya mengimpor beras dalam jumlah besar dan berkelanjutan merupakan persoalan yang berpotensi besar terhadap ancaman ketahanan pangan nasional. Kegagalan dalam penyediaan beras sebagai bahan pangan strategis akan bisa menimbulkan implikasi sosial dan politik yang bernilai sangat mahal, seperti yang telah terjadi pada tahun 1998. Dengan sumberdaya alam, kekayaan biodiversiti lokal dan potensi kekuatan kelembagaan perekonomian masyarakat pedesaan tidak sepantasnya jika bangsa Indonesia menggantungkan kebutuhan berasnya pada pasar luar negeri (impor) secara berkelanjutan. Terlebih lagi jika disadari bahwa sistem produksi beras nasional hingga kini masih menjadi bagian integral dari perekonomian masyarakat pedesaan.
9
Akhir-akhir ini di kalangan perumus kebijakan pembangunan (ekonomi) berkembang pemikiran tentang liberalisasi perdagangan komoditas, termasuk di dalamnya komoditas beras. Ditinjau dari semangat untuk membangun perekonomian dengan kekuatan sendiri, terutama untuk mencukupi kebutuhan beras sendiri, hal ini tidak sejalan dengan catatan historis keberadaan dan kelangsungan masyarakat Indonesia karena beras bagi bangsa Indonesia bukan semata-mata sebagai komoditas bernilai ekonomi tapi juga sekaligus mengandung nilai sosial, psikologis dan politik. Upaya untuk meningkatkan produksi beras dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan peningkatan indeks pertanaman menjadi tiga kali, memberikan insentif kepada petani seperti antara lain menaikkan harga dasar gabah dan menurunkan harga saprotan (benih, pupuk dan pestisida), mengendalikan serangan hama/penyakit dan memperbaiki manajemen pasca panen sehingga kehilangan hasil gabah dapat ditekan dan penurunan rendemen beras dapat diperkecil.
DAFTAR PUSTAKA Amang, Beddu dan M.H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Penerbit IPB Press, Bogor. Edisi Kedua. Arifin,
Bustanul. 2001. Kebijakan Beras di Persimpangan Jalan. Majalah Pangan. Media Komunikasi dan Informasi. No.36/X/Januari 2001. Puslitbang Bulog. Jakarta.
Erwidodo, A.H. Malian, C. Saleh, S. Mardianto dan A.K. Zakaria. 1999. Pengkajian Pengamanan Harga Dasar Gabah dan Penerapan Kebijakan Tarif Impor Beras. Dalam Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pasca Krisis Ekonomi. Monograph Series No.20. T. Sudaryanto, I W. Rusastra, E. Jamal (Eds). Puslit Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Hal.257-268. Fagi, A.M., Irsal Las dan M. Syam. 2002. Penelitian Padi Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Hafsah, M. Jafar. 2003. Bagaimana Mengamankan Proyeksi Tanaman Pangan Tahun 2003? Sinar Tani. Edisi 22-28 Januari 2003. Ikhsan, M. 2001. Kemiskinan dan Harga Beras. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Perberasan Nasional. A. Suryana, S. Mardianto dan M. Ikhsan (Eds). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia (LPEM-UI). Hal.173-210. Kompas. Indonesia Masih Pengimpor Beras Terbesar. Kompas, 25 Januari 2003. Kompas. Industri dan Lumbung Padi. Kompas, 24 Januari 2003. Kompas. Pengadaan Beras Oleh Bulog Mulai Akhir Maret 2003. Kompas, 17 Januari 2003. Pranadji, Tri. 2003. Reformasi Kelembagaan Untuk Kemandirian Perekonomian Pedesaan. Paper dalam Workshop Metodologi Penelitian Kelembagaan, 25-27 Februari 2003. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.
10
Pranolo, Tito. 2001. Pangan, Ketahanan Pangan dan Liberalisasi Perdagangan. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Perberasan Nasional. A. Suryana, S. Madianto dan M. Ikhsan (Eds). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia (LPEM-UI). Hal.211-244. Safuan, Sugiharso. 1997. Ketahanan Pangan dan Gejolak Moneter Dalam Penduduk, Pangan dan Ancaman Hantu Malthus. Warta Demografi No.3/1997. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Hal.36-38. Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras di Indonesia 1969-1998. Agro Ekonomika (I): 29-37. Sawit, M. Husein. 1998. Produksi Padi dan Pengadaan Beras Dalam Negeri. Kompas, 13 Januari 1998. Sawit, M.H. 1998. Harga Beras di Dalam dan di Luar Negeri. Republika, 28 Januari 1998. Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya. Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 Ke Depan. Bogor, 9-10 November 2000. Puslit Sosek Pertanian, Bogor. Simatupang, P., Nizwar Syafa’at, Erwidodo, dan A.H. Malian. 1999. Penentuan Tarif Impor Beras: Alternatif Pengamanan Kebijaksanaan Desember 1998. Dalam Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pasca Krisis Ekonomi. Monograph Series No.20. T. Sudaryanto, I W. Rusastra, E. Jamal (Eds). Puslit Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Hal.247-256. Surono, Sulastri, 2001. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerirntah Untuk Melindungi Petani. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Perberasan Nasional. A. Suryana, S. Mardianto dan M. Ikhsan (Eds). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia (LPEM-UI). Hal.41-58. Suryana, A., S. Mardianto dan M. Ikhsan. 2001. Dinamika Kebijakan Perberasan Nasional: Sebuah Pengantar. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Perberasan Nasional. A. Suryana, S. Mardianto dan M. Ikhsan (Eds). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia (LPEM-UI). Hal.XIX-XXXIII.
11