ICASERD WORKING PAPER No.52
STUDI AGRIBISNIS KUBIS DI SUMATERA BARAT Bambang Rahmanto Mei 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 52
STUDI AGRIBISNIS KUBIS DI SUMATERA BARAT Bambang Rahmanto Mei 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, M. Rahmat, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail :
[email protected]
No. Dok.065.52.02.04
STUDI AGRIBISNIS KUBIS DI SUMATERA BARAT Bambang Rahmanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A.Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK Komoditas kubis memiliki peranan penting bagi perekonomian petani sayuran di pedesaan Sumatera Barat. Hal itu disebabkan oleh biaya usahatani kubis yang relatif rendah, sehingga banyak dibudidayakan petani. Aktivitas agribisnis kubis diwarnai dengan kegiatan usahatani diversifikasi dengan tanaman sayuran lain, terutama bawang merah dan kentang. Ketersediaan saprodi didukung oleh adanya kios saprodi sebanyak 42 buah, namun sering terjadi kelangkaan dan permainan harga. Sumber permodalan petani sebagian besar berasal dari swadana (55%), dan sebagian lainnya memanfaatkan dana KUT kentang dan bawang merah (40%), serta kredit dari pedagang saprodi (5%). Resiko kegagalan usahatani kubis, baik dari segi produksi maupun harga cukup besar. Dalam upaya pemberdayaan petani sayuran, pemerintah telah mendorong tumbuhnya Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) komoditas sayuran di wilayah SPAKU kubis di Kabupaten Solok. Selama proses pengembangannya, KUBA telah menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan mempersiapkan keorganisasian yang berbadan hukum, penyediaan kelengkapan sarana/prasarana usaha, pemupukan modal, dan menarik partisipasi aktif dari para anggotanya. Hasil evaluasi terhadap unsur-unsur faktor internal dan faktor eksternal KUBA mengindikasikan bahwa strategi pengembangan KUBA yang perlu ditempuh adalah melalui integrasi horizontal atau stabilitas. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah: (1) memperluas jaringan pemasaran; (2) meningkatkan produktivitas dan mutu hasil; (3) meningkatkan usaha efisiensi produksi; (4) mengembangkan modal usaha; (5) menyediakan saprodi dengan harga yang bersaing; (6) Pengadaan traktor; dan (7) perencanaan polatanam yang mempertimbangkan keseimbangan permintaan dan penawaran. Pembinaan dan fasilitasi dari pemerintah masih sangat diperlukan untuk mewujudkan kemandirian KUBA. Kata kunci : agribisnis, kubis.
PENDAHULUAN Dalam rangka menciptakan usaha pertanian yang efisien telah muncul gagasan tentang pembangunan pertanian spesifik lokasi. Gagasan tersebut telah terartikulasi dengan lahirnya konsep pengembangan komoditas unggulan di wilayah tertentu. Disamping itu pengembangan komoditas spesifik lokasi sejalan pula dengan tuntutan desentralisasi perencanaan pembangunan pertanian agar sesuai dengan spesifik daerah yang bersangkutan. Pembangunan pertanian komoditas unggulan tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan, tetapi perlu pembenahan kelembagaan dan adanya peningkatan nilai tambah melalui kegiatan agribisnis. Komoditas kubis dan jagung merupakan bagian dari sekitar 16 komoditas unggulan dalam program pengembangan agribisnis di daerah sentra produksi maupun dalam program penumbuhan SPAKU di Sumatera Barat sejak tahun anggaran 1996/1997. Komoditas kubis memiliki peranan penting dilihat dari 1
luas
areal penanaman maupun nilai produksi yang dihasilkan. Areal penanaman kubis menduduki urutan kedua setelah tanaman cabai, yaitu mencapai luas 3.820 hektar atau sekitar 16,9 persen dari total luas areal tanam komoditas sayuran pada tahun 1997, sedangkan nilai produksinya mencapai sekitar 67,4 milyar di atas komoditas sayuran lainnya kecuali cabai. Berdasarkan hasil analisis usahatani yang dilakukan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dati I Sumatera Barat (1997) menunjukkan bahwa komoditas kubis memberikan tingkat kelayakan usaha yang cukup baik, dimana nisbah keuntungan atas biaya usahatani mencapai 2,29. Dalam mewujudkan program pembangunan pertanian yang berorientasi pasar dengan memberdayakan sumberdaya unggulan di masing-masing wilayah, maka Departemen Pertanian telah merekayasa suatu model kelembagaan perekonomian petani yang kelak dapat dikembangkan menjadi koperasi, yang tercermin dari program Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU). Melalui SPAKU diupayakan untuk memberdayakan komoditas unggulan di suatu daerah yang mampu bersaing di pasar. Dengan pengembang-an usaha komoditas secara terpusat di suatu lokasi dimaksudkan agar skala produksi memungkinkan tumbuhnya berbagai usaha agribisnis, baik hulu maupun hilir. Dengan skala usaha yang dikembangkan dimungkinkan terwujudnya efisiensi usaha dari kegiatan usaha penyediaan sarana produksi, kegiatan usaha pertanian, pengolahan hasil, dan pemasaran. Penumbuhan SPAKU kubis melalui pengembangan kelembagaan KUBA (Kelompok Usaha Bersama) telah dilakukan di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Hal ini didasarkan pada potensi daerah tersebut sebagai sentra produksi kubis maupun komoditas sayuran penting lainnya seperti kentang, bawang merah, dan bawang putih. Dalam hubungan dengan hal tersebut, studi ini bertujuan untuk mempelajari model agribisnis kubis di lokasi contoh sekaligus melihat kinerja kelembagaan KUBA agar dapat digunakan sebagai masukan untuk menyusun kebijaksanaan dalam rangka pembinaan dan penyempurnaan kelembagaan sejenis di masa depan. METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei di lokasi pengembangan KUBA kubis di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat pada bulan September-Oktober 1999. Sumber data diperoleh dari petani anggota dan non anggota KUBA sebanyak 25 responden yang dipilih secara acak, pengurus KUBA, dan informan kunci lainnya yang terdiri dari tokoh masyarakat, 2
pembina dan pejabat dari instansi terkait serta data sekunder sebagai pendukung dalam memahami kondisi daerah penelitian dan identifikasi kondisi organisasi/ manajemen KUBA.
Metode Analisis Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan model agribisnis yang berlaku secara umum di lokasi contoh maupun yang dilaksanakan oleh organisasi KUBA guna memberikan gambaran kinerja KUBA sebagai badan usaha dan sekaligus sebagai lembaga ekonomi rakyat. Analisis kelayakan finansial digunakan untuk melihat tingkat kemampuan usahatani kubis dalam memberikan profitabilitas, pendapatan dan nilai tambah kepada petani produsen. Analisis SWOT dipergunakan untuk memformulasikan strategi pengembangan KUBA. Berdasarkan identifikasi peubah-peubah internal (SW) dan eksternal (OT) dibuat tabel analisis internal faktor (IFAS) dan tabel analisis eksternal faktor (EFAS) dengan memberi bobot dan rating. Pemberian bobot
didasarkan atas keunggulan keunggulan relatif terhadap faktor
lainnya, sedangkan pemberian rating didasarkan atas prediksi atau kemampuan KUBA untuk masa yang akan datang. Berbagai alternatif strategi dapat dirumuskan berdasarkan model analisis SWOT Matrik. Indikator faktor internal yang mempengaruhi kinerja KUBA diasumsikan mencakup unsur-unsur sebagai berikut: (1)
Manajemen: struktur organisasi; pembagian tugas; dan kualitas kelengkapan pengurus.
(2)
Produksi: kapasitas; kualitas produk; skala ekonomi; diversifikasi produk; biaya produksi; efisiensi biaya; ketersediaan bahan baku; dan integrasi vertikal.
(3)
Pemasaran: harga jual; penguasaan pasar; akses terhadap informasi pasar; image, reputasi, dan kualitas; saluran distribusi; efektivitas promosi; dan pembentukan harga.
(4)
Sumberdaya fisik: lahan usaha; gudang; bangunan kantor; dan peralatan.
(5)
Sumberdaya manusia: personil managemen; efektivitas sistem intensive; spesialisasi keterampilan; dan pengalaman.
(6)
Sumberdaya finansial: kemampuan peningkatan kapital jangka pendek; kemam-puan peningkatan kapital jangka panjang; labor relation cost vs pesaing; consistency and barier to entry; dan ability to reduce cost. 3
Indikator faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja KUBA diasumsikan mencakup unsur-unsur sebagai berikut : (1)
Kebijakan pemerintah: prioritas pengembangan pemerintah; pembinaan pasar oleh petugas; adanya perkembangan teknologi; perubahan regulasi yang meningkatkan daya saing; pencabutan tarif/liberalisasi perdagangan; dan peningkatan infrastruktur perhubungan dan telekomunikasi.
(2)
Kondisi pasar input/output: kondisi konsumen; harga input; peningkatan posisi tawar pembeli; dan segmen pasar yang terabaikan.
(3)
Kondisi sosial/kemasyarakatan: kependudukan; dan peningkatan hubungan baik dengan konsumen.
(4)
Kondisi perekonomian: kondisi ekonomi; dan keberadaan sumber modal dari luar.
(5)
Perkembangan sektor swasta: perusahaan mitra; perusahaan pesaing; dan masuknya kompetitor baru.
(6)
Kondisi politik dan keamanan.
(7)
Cekaman hama/penyakit dan perubahan cuaca. Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan KUBA dilakukan evaluasi
dengan mengidentifikasi unsur-unsur yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari aspek internal KUBA serta unsur-unsur yang menjadi peluang dan tantangan/ ancaman dari aspek eksternal KUBA. Selanjutnya dilakukan inventarisir terhadap unsur-unsur kekuatan dan kelemahan maupun unsur-unsur peluang dan ancaman, masing-masing dalam sebuah tabel analisis faktor internal dan tabel analisis faktor eksternal dan memebrikan nilai skor untuk setiap unsur. Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian bobot dan skala. Pemberian bobot didasarkan atas keunggulan relatif terhadap faktor lain, sedangkan pemberian skala didasarkan atas kondisi aktual atau prediksi kemampuan organisasi di masa yang akan datang. Nilai bobot berkisar antara 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (paling penting), sedangkan nilai skala berkisar antara 1 (sangat buruk) sampai 4 (sangat baik). Hasil total nilai skor unsur kekuatan dan kelemahan pada faktor internal dan total nilai skor unsur peluang dan ancaman pada faktor eksternal memberikan indikasi alternatif strategi pengembangan KUBA dengan mengacu pada kriteria seperti tersaji pada Diagram 1.
4
Total skor faktor eksternal
4,0 Kuat
3,0
Menengah
2,0
Rendah
1,0
Kuat 3,0 I: Pertumbuhan Strategi konsentrasi melalui integrasi vertikal IV : Stabilitas Strategi stabilitas
Total skor faktor internal Rata-rata 2,0 II : Pertumbuhan Strategi konsentrasi melalui integrasi horizontal V: Pertumbuhan/stabilitas Strategi integrasi horizontal/ stabilitas VIII : Pertumbuhan Strategi diversifikasi konglomerat
VII: Pertumbuhan Strategi diversifikasi konsentrik
Lemah 1,0 III : Penciutan Strategi turn around VI : Penciutan Strategi divestasi IX: Likuidasi Strategi likuidasi/ bangkrut
Sumber: Rangkuti (1999)
Diagram 1. Alternatif strategi SWOT matriks
HASIL DAN PEMBAHASAN Model Agribisnis Pengadaan Saprodi dan Modal Usahatani Kebutuhan sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida, dan herbisida pada umumnya dapat dilayani pengadaannya oleh 42 kios saprodi yang tersebar di dua puluh desa di kecamatan Lembah Gumanti. Kebutuhan benih/bibit kubis dan komoditas sayuran lainnya, selain diperoleh dari kios saprodi juga dapat dibeli dari petani lain yang melakukan pembibitan atau petani melakukan pembibitan sendiri dari hasil panen yang telah diseleksi untuk bibit. Pupuk kandang diperoleh dari pedagang pengumpul pupuk kandang atau dari petani yang memelihara ternak ruminansia (Gambar 1) sendiri. Tetapi, ada sebagian petani yang meminjam dari kios dalam bentuk pupuk atau pestisida apabila kekurangan modal, dimana pengembaliannya dibayar pada saat panen. Sebagian lainnya ada yang menggunakan bagian dari dana KUT yang diperolehnya bagi komoditas tanaman kentang atau bawang merah (Gambar 2). Modal usahatani untuk tanaman kubis pada umumnya bersumber dari petani Permasalahan yang terjadi dalam kaitannya dengan penyaluran KUT sayuran adalah bahwa pengajuan kredit bagi anggota kelompok-kelompok tani yang memperoleh dana KUT pada periode November 1998 dan telah melunasinya sebelum jatuh tempo ternyata sampai dengan saat survei dilakukan belum direalisasikan pencairannya oleh Kandep Koperasi & PPKM karena berbagai alasan. Di antaranya adalah : (1) Dana KUT yang tersedia tidak mencukupi; (2) Pemerintah Daerah khawatir akan terjadinya resiko kredit macet, karena setelah pengucuran dana KUT untuk tanaman 5
Kubis Benih
40%
Komoditas lainnya
Petani lain
Harga: Rp 50/bibit tanaman umur : ± 35 hari
Kios
Benih impor Harga: Rp 3.500 ± .800/bungkus
60% Seleksi hasil panen
Pedagang Sarana produksi lainnya
Pupuk Kandang
Harga: Rp 5.000 ± 1.600/karung Peternak
Kapur Pupuk Unorganik, Pestisida dan Herbisida
Kios
Harga: Kapur Rp 5.950 ± 1.900/zak SP-36 Rp 1.740 ± 120/kg Urea Rp 1.200 ± 95/kg KCL Rp 2.220 ± 335/kg NPK Rp 3.000 ± 550/kg SS Rp 1.800 ± 500/kg
Sumber : Data primer
Gambar 1. Sumber pengadaan dan harga sarana produksi untuk keperluan usahatani kubis dan tanaman sayuran lainnya di Kecamatan Lembah Gumanti, Solok, 1999
sayuran dalam jumlah yang cukup besar berdampak pada terjadinya kelebihan pasokan produk yang diindikasikan oleh turunnya harga secara tajam; (3) Kurang akuratnya data areal tanam yang diajukan dalam RDKK. Pengalihan tanggungjawab pelayanan KUT dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) kepada Kandep Koperasi & PPKM dan BUKOPIN telah menyebabkan timbulnya hambatan dalam hal kelancaran keadministrasian dan penyaluran kredit, serta me-ningkatkan biaya pengurusan pencairan KUT bagi koperasi/LSM yang ditunjuk sebagai penyalur KUT kepada petani. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (1) Kurangnya pengalaman petugas Kandep Koperasi dan BUKOPIN dalam menangani penyaluran KUT; (2) Pemahaman aparat terhadap aturan main (Juklak/Juknis) yang belum cukup; (3) Belum tersedianya unit-unit cabang BUKOPIN di tingkat kecamatan, bahkan di tingkat kabupaten; (4) Timbulnya kecemburuan sosial dari aparat Kandep Koperasi terhadap PPL yang memperoleh fee sebesar 1 persen dari jumlah KUT yang dicairkan.
6
Sumber modal usahatani kubis
40%
55%
5% Kredit ke kios saprodi
Modal sendiri
Memanfaatkan sebagian KUT kentang/bw. merah
Alasan
Belum jadi anggota kelompok tani
Belum ada KUT untuk kubis
Khawatir resiko/tidak bisa melunasi
Dari modal sendiri sudah cukup
Gambar 2. Sumber permodalan usahatani kubis dari petani contoh di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, 1999
Sub Sistem Produksi A. Polatanam Dari keragaan polatanam petani contoh setahun terakhir yang tersaji pada Tabel 1 tampak ada tiga pola tanam yang dominan dilaksanakan petani, yaitu: (1) Bawang merah - Kubis - Kentang; (2) Bawang merah - Bawang Merah - Kubis; dan (3) Kubis - Kubis - Bawang merah. Pengaturan waktu tanam ketiga komoditas tersebut sangat bervariasi, tergantung pada selera atau kalkulasi masing-masing petani. Berdasarkan keragaan polatanam pada Tabel 1 tersebut diperkirakan proporsi luas tanam bawang merah dan kubis dalam satu tahun terakhir adalah yang tertinggi, yaitu masing-masing mencapai 40,7 dan 35,9 persen, sedangkan tanaman kentang menduduki peringkat ketiga dengan persentase sebesar 18,9 persen. Tanaman lainnya hanya memperoleh porsi sekitar 0,2 - 2,5 persen (Tabel 2). Untuk menghindari resiko kegagalan panen atau resiko memperoleh harga rendah dari salah satu komoditas yang diusahakan, maka bagi petani yang memiliki lahan yang relatif luas melakukan model mix farming dengan cara membagi lahan ke dalam 2-3 petakan, dimana setiap petakan ditanami dengan komoditas yang berbeda dan dilakukan pergantian komoditas secara bergiliran pada setiap musimnya. Artinya apabila pada musim I petak I ditanami bawang merah dan petak II ditanami Kubis, 7
Tabel 1.
Sebaran frekuensi petani dan luas persil menurut polatanam setahun terakhir, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, 1999
No.
Luas persil
Polatanam
(ha)
Jumlah petani
(%)
orang
(%)
1.
Bw. merah - Kubis – Kentang
8,50
38,2
10
33,3
2.
Bw. merah - Bw. Merah - Kubis
3,55
15,9
6
20,0
3.
Kubis - Kubis - Bw. merah
2,59
11,6
6
20,0
4.
Bw.merah - Bw. merah - Bw. merah
0,48
2,2
3
10,0
5.
Kubis - Kubis - Kentang
0,95
4,3
2
6,7
6.
Cabai - Bw. merah - Bw. putih
0,60
2,7
1
3,3
7.
Bw. merah - Cabai - Kubis
0,50
2,2
1
3,3
8.
Bw. merah - Kubis - Bw. putih
0,25
1,1
1
3,3
9.
Bw.merah - Bw. putih - Bw. merah
0,01
0,0
1
3,3
10.
Padi - Ubijalar - Kubis
0,12
0,5
1
3,3
11.
Padi - Kubis/Bw.merah
0,25
1,1
1
3,3
12.
Kubis/Bw.merah/Cabai - Bw.merah/kentang-/Bw. merah
1,00
4,5
1
3,3
13.
Kubis/B.merah/kentang-/-Kubis/B.merah Kol/B.merah/kentang
1,00
4,5
1
3,3
14.
Kubis/B.merah/kentang -/- Kubis/B.merah Kubis/B.merah
0,75
3,4
1
3,3
15.
Bw.merah - Kubis/Bw.merah Kubis/Bw.merah
0,72
3,2
1
3,3
16.
Kubis/B.merah - Kubis/B.merah Kubis/B.merah
0,50
2,2
1
3,3
17.
Bw.merah/Cabai - Kentang - Kol
0,50
2,2
1
3,3
22,27
100
30
100
Jumlah Sumber: Data primer
maka pada musim II petak I ditanami kubis dan petak II ditanami bawang merah. Pada Tabel 1 diwakili oleh polatanam nomer 12-17. Penentuan luas areal tanam untuk masing-masing komoditas pada setiap musimnya tergantung pada ekspektasi petani terhadap harga saat panen nanti, kesesuaian musim, banyaknya petani lain yang menanam komoditas serupa, dan ketersediaan modal (Gambar 3). Apabila petani dalam menentukan komoditas yang akan diusahakan berorientasi pada harga, maka jika prediksi harga komoditas itu nantinya akan meningkat atau paling tidak memberikan tingkat keuntungan yang layak, petani akan meningkatkan skala usahanya dengan melakukan beberapa cara sebagai berikut: (1) sewa lahan; (2) meningkatkan luas areal tanam atau menambah populasi tanaman; dan (3) meningkatkan frekuensi tanam. Tetapi, tidak semua petani dapat melakukan hal tersebut karena berbagai keterbatasan, seperti: (1) Kurang mampu dalam meramal harga; (2) Keterbatasan modal; dan (3) Keterbatasan tenaga kerja keluarga. 8
Tabel 2.
Sebaran luas pertanaman komoditas sayuran menurut polatanam petani contoh setahun terakhir, Kecamatan Lembah Gumanti, 1999
No.
Luas Tanam
Komoditas
(ha)
(%)
1.
Bawang merah
27,10
40,7
2.
Kubis
23,91
35,9
3.
Kentang
12,55
18,9
4.
Cabai
1,65
2,5
5.
Bawang putih
0,86
1,3
6.
Padi
0,37
0,6
7.
Ubijalar
0,12
0,2
66,56
100
Total Sumber: Data primer
Keputusan dalam penentuan luas tanam dan komoditas
Pergiliran tanam Kesesuaian musim
Jumlah penanam/pesaing Ketersediaan modal
Ekspektasi harga Tinggi 63% Skala usaha ditingkatkan
Cara
• Sewa lahan • Meningkatkan
•
luas petakan/ menambah populasi tanaman Meningkatkan frekuensi tanam
Rendah 37%
46%
54%
Skala usaha tetap
Tetap tanam
Ganti Komoditas lain
Alasan
Alasan
• Sulit mengestimasi
harga • Tenaga kerja keluarga terbatas • Modal terbatas
• Sulit mengestimasi harga
• Pergiliran tanam • Tetap tanam, tetapi
luas areal dikurangi
• Jika ketersediaan
modal sedikit, tanam kubis
Gambar 3. Diagram keputuasan petani dalam menentukan luas areal tanam dan jenis komoditas yang akan diusahakan
9
Antisipasi akan terjadinya harga rendah juga berbeda di antara petani satu dengan lainnya. Sebagian petani tetap melakukan penanaman terhadap komoditas yang diperkirakan akan mengalami harga rendah tersebut karena faktor: (1) keterbatasan modal untuk menanam komoditas
lain;
(2) Pergiliran tanam/
kesesuaian dengan musim; (3) keterbatasan kemampuan meramalkan harga; dan (4) tetap tanam, tetapi dengan luas areal yang sempit. Pada umumnya, apabila modal yang dimiliki terbatas, petani memilih menanam komoditi kubis dari pada menanam bawang merah, kentang, atau komoditas lain yang memerlukan modal yang relatif lebih besar. Budidaya padi kurang diminati oleh sebagian besar petani, karena produktivitas varietas unggul padi dataran tinggi kurang berkembang, sehingga sejak tahun 1974, berangsur-angsur petani beralih ke komoditas sayuran yang lebih menguntungkan.
B. Produktivitas dan Harga Tingkat hasil kubis antar petani bervariasi, dimana koefisien keragaman produk-tivitas kubis per hektar mencapai 45,67 persen, dengan hasil rata-rata sekitar 20.800 kg/ha dan variasi antara 11.300-30.300 kg/ha (Tabel 4). Rata-rata hasil kubis ini relatif tidak berbeda dengan laporan BIPP (1999) yaitu sebesar 18,7 ton/ha, meskipun jauh di bawah tingkat hasil yang dikemukakan Badan Agribisnis (1999) dan laporan pengurus KUBA yaitu sebesar 30 ton/ha. Jika dilihat dari variasinya, menunjukkan bahwa petani berpeluang untuk mencapai tingkat hasil kubis sebesar 30 ton/ha. Sementara itu, tingkat hasil untuk komoditas bawang merah dan kentang menurut laporan BIPP (1999) masing-masing mencapai 8,7 dan 16,6 ton/ha, sedangkan menurut laporan pengurus KUBA, produktivitas bawang merah mencapai 7-10 ton/ha. Untuk komoditas kentang di Kabu-paten Solok, berdasarkan Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dati I Sumatera Barat (1997), produktivitasnya mencapai 16,1 ton/ha. Tabel 4.
Rata-rata, simpangan baku dan koefisien keragaman tingkat hasil dan harga kubis yang diterima petani contoh pada MK II - 1998, MH 1998/1999, dan MK I - 1999 Produktivitas
Harga
(kg/ha)
(Rp/kg)
Rata-rata
20.800
520
Simpangan baku
9.500
300
Koefisien keragaman (%)
45,67
57,7
Uraian
Sumber: Data primer
10
Dari segi produksi, variasi hasil kubis yang tinggi tersebut mencerminkan besarnya kemungkinan bagi petani mengalami resiko kerugian akibat kegagalan panen. Semantara itu dari segi pemasaran, peluang petani untuk memperoleh harga jual di bawah titik impas juga besar.
Variasi harga kubis ditunjukkan oleh nilai
koefisien keragaman sebesar 57,7 persen, dimana berdasarkan nilai rata-rata dan simpangan bakunya memperlihatkan kisaran harga kubis antara Rp 220 - Rp 820 (Tabel 4). Sementara itu, berdasarkan laporan dari pengurus KUBA, variasi harga kubis dari bulan Januari - Juni 1999 berkisar antara Rp 300 - Rp 1.100 (Tabel 5), sedangkan harga bawang merah pada bulan-bulan tersebut sedang mencapai puncaknya, meskipun pada saat survei (September 1999) mengalami penurunan hingga mencapai Rp 1.200 - Rp 1.700 per kilogramnya. Tabel 5. Variasi harga kubis dan bawang merah pada bulan Januari sampai dengan Juni 1999 Bulan
Kubis (Rp/kg)
Bawang merah (Rp/kg)
Januari
800 - 1.000
10.000
Februari
600 - 900
7.000 - 8.000
Maret
600 - 700
6.000 - 7.000
April
300 - 400
6.000 - 7.000
Mei
500 - 800
5.000 - 6.000
Juni
1.000 - 1.100
5.500 - 6.000
Sumber : Laporan pengurus KUBA Keterangan : Harga bawang merah pada saat survei (September 1999) hanya mencapai Rp 1.200 Rp 1.700/kg.
C. Kelayakan Usahatani Hasil analisis usahatani kubis yang disajikan pada Tabel 6 memberikan gambaran bahwa secara rata-rata untuk berusahatani kubis dengan luasan satu hektar diperlukan biaya sekitar Rp 8.133.970. Pada tingkat produksi sebesar 20.800 kg dan tingkat harga Rp 520 per kilogram hasil diperoleh pendapatan sebesar Rp 10.816.000 dengan tingkat keuntungan sebesar 2.682.030 atau sekitar 33 persen dari total biaya. Keuntungan sebesar itu diperoleh dengan asumsi bahwa hasil panen ditebaskan, sehingga petani hanya membayar 10 persen kepada penebas sebagai kompensasi penyusutan produk atau istilah setempat disebut dengan “potongan air”. Apabila petani melaksanankan panen sendiri (biasanya pada saat harga kubis rendah, kurang dari Rp 500), maka ia akan menanggung biaya potong/petik sebesar Rp 10/kg dan biaya angkut sebesar Rp 30 - Rp 75/kg, tergantung jauh-dekatnya jarak antara lahan usaha dengan tepi jalan tempat memasarkan hasil. Ini berarti tambahan biaya untuk melakukan panen sendiri pada tingkat hasil 20.800 kg mencapai sekitar 11
Rp 832.000 - Rp 1.768.000. Kenyataan ini menunjukkan bahwa apabila harga kubis rendah, maka petani akan menanggung beban kerugian ganda, yaitu beban selisih harga jual terhadap biaya produksi rata-rata (harga titik impas jika dijual tebasan) yang bernilai negatif serta beban biaya petik dan angkut, karena tidak ada pedagang yang mau membeli secara tebasan. Dalam kondisi yang demikian petani harus Tabel 6. Analisis usahatani kubis per hektar, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, tahun 1999. Komponen biaya Biaya Saprodi I. Benih II. Pupuk 1. Kapur 2. Pupuk kandang 3. Urea 4. SP-36 5. Kcl 6. NPK 7. SS 8. Pupuk mikro 9. Ongkos angkut III. Pestisida IV. Herbisida Biaya Tenaga Kerja 1. Pengolahan tanah 2. Tanam 3. Pemeliharaan 4. Panen 1)
Satuan volume
Volume
Harga (Rp/satuan)
Bungkus
10,8
32.500
Zak Karung kg kg kg kg kg
8,70 7,00 240 540 150 73 15
5.950 5.000 1.200 1.740 2.220 3.000 1.800
JOKP JOKP JOKP
688,00 146,50 974,00
1.600 1.600 1.600
Biaya lain-lain 1. Penyusutan alat 2. Sewa lahan 3. Pajak tanah 4. Bunga modal A. Total Biaya B. Pendapatan/produksi C. Keuntungan D. B/C Ratio E. TIH (Rp/kg) H. TI P (kg/ha)
Nilai (Rp/ha) 3.279.665 351.000 2.070.465 51.765 35.000 288.000 939.600 333.000 219.000 27.000 151.800 25.300 786.800 71.400 3.975.200 1.100.800 234.400 1.558.400 1.081.600 879.105 16.950 650.000 4.100 208.055
kg
20.800
520
8.133.970 10.816.000 2.682.030 1,33 391,1 15.642,3
Sumber : Data Primer Keterangan: 1) Diasumsikan panen dilakukan oleh penebas, sehingga petani tidak mengeluarkan biaya petik dan angkut hasil, kecuali memberikan kompensasi “potongan air” sebesar 10% dari produksi kotor kepada penebas.
12
Tabel 7.
Analisis usahatani bawang merah per hektar, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, 1999
Komponen biaya Biaya Saprodi I. Benih II. Pupuk 1. Pupuk kandang 2. Urea 3. SP-36 4. Kcl 5. NPK 6. Pupuk mikro III. Pestisida IV. Herbisida
Satuan volume
Volume
Harga (Rp/satuan)
kg
1.000
7.500
kg kg kg kg kg
600 200 700 250 300
80 1.250 1.900 2.000 3.000
Biaya Tenaga Kerja
HOKP
9321)
7.500
Biaya lain-lain 2) 1. Penyusutan alat 2. Sewa lahan 3. Pajak tanah 4. Bunga modal A. Total Biaya B. Pendapatan/produksi C. Keuntungan D. B/C Ratio E. TIH (Rp/kg) H. TI P (kg/ha)
Nilai (Rp/ha) 13.183.000 7.500.000 3.208.000 48.000 250.000 1.330.000 500.000 900.000 180.000 2.250.000 225.000 6.990.000 1.218.206 16.950 650.000 4.100 547.156
kg
10.000
5.500
21.391.206 55.000.000 33.608.794 2,57 2.139,1 3.889,3
Sumber: Laporan pengurus KUBA Keterangan: 1) Mengacu pada laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dati I Sumbar (1997) 2) Diperhitungkan seperti dalam analisis usahatani kubis
menggunakan tenaga keluarga dalam kegiatan petik dan angkut hasil guna mengurangi kerugian
atas pengeluaran biaya tunai untuk tenaga kerja petik dan
angkut hasil. Berdasarkan hasil analisis usahatani pada Tabel 6 tersebut, titik impas harga (TIH) dicapai pada tingkat harga sekitar Rp 391/kg, dan titik impas produksi (TIP) dicapai pada tingkat hasil sekitar 15.642 kg/ha. Jika dianggap bahwa kriteria kelayakan usahatani harus memenuhi B/C rasio tidak kurang dari 2,0, maka untuk mencapai tingkat kelayakan usahatani kubis, petani harus memperoleh harga jual minimal Rp 782/kg pada tingkat hasil 20.800 kg/ha atau produksi minimal 31.285 kg/ha pada tingkat harga Rp 520/kg.Dari keragaan harga kubis pada Tabel 5 dapat diperkirakan bahwa pada bulan April 1999 banyak petani yang menderita kerugian, sedangkan pada bulan-bulan lainnya, sebagian besar petani bisa memperoleh kuntungan yang cukup tinggi, 13
bahkan mencapai di atas tingkat kelayakan, terutama pada bulan Januari dan Juni 1999. Dibandingkan dengan kubis, biaya untuk usahatani bawang merah mencapai hampir 3 kalinya, yaitu sebesar Rp 21.391.206 per hektar. Pada tingkat produksi sebesar 10 ton/ha dan harga Rp 5.500/kg diperoleh keuntungan sebesar Rp 33.608.794/ha atau sekitar 157 persen dari total biaya (Tabel 7). Titik impas harga dicapai pada tingkat harga sekitar Rp 2.139/kg, dan titik impas produksi sekitar 3.889 kg/ha. Angka nisbah TIP dan TIH terhadap tingkat produksi dan harga aktualnya untuk komoditas kubis dan bawang merah masing-masing mencapai sebesar 75,2 dan 38,89 persen. Angka ini menunjukkan bahwa komoditas bawang merah memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap terjadinya penurunan harga atau produksi dibandingkan dengan komoditas kubis. Pada komoditas kubis, petani telah menderita kerugian apabila harga atau produksi mengalami penurunan sekitar 24,8 persen dari harga atau produksi aktual-nya. Sedangkan untuk bawang merah, petani baru mengalami kerugian setelah harga atau produksi mengalami penurunan sebesar 61,11 persen dari harga atau produksi aktualnya. Pemasaran Saluran pemasaran hasil komoditas sayuran di tingkat petani tidak banyak pilihan kecuali kepada pedagang pengumpul. Mekanisme pemasaran kubis tergantung pada kondisi harga pasar. Jika harga tinggi (tidak kurang dari Rp 500), pedagang melakukan pembelian dengan cara tebasan. Sedangkan apabila harga pasaran kubis rendah, petani terpaksa melakukan panen sendiri, karena tidak ada pedagang yang bersedia melakukan pembelian secara tebasan. Hal yang demikian disebabkan oleh faktor biaya panen yang tinggi, yaitu untuk biaya petik mencapai sekitar Rp 10 per kilogram hasil kubis, sedangkan biaya angkut dari sawah ke tepi jalan raya berkisar antara Rp 30 - Rp 75 per kilogram hasil kubis. Potongan air atau biaya penyusutan dibebankan kepada petani, baik
14
Komponen biaya: • Potongan air 10% volume jual/nilai tebas
≥ Rp 5 Juta Tinggi ≥ Rp 500
Proporsi uang muka 40-50%
Ditebas Nilai tebas
Panjar Mekanisme Pemasaran
Kondisi harga
< Rp 5 juta
Cara Pembayaran
Proporsi uang muka 60-75%%
tunai Penawaran harga lebih rendah Rendah < Rp 500
Sumber: Data primer
Dipanen sendiri dijual satuan Komponen biaya: • Petik Rp 10/kg • Angkut hasil Rp 30-Rp 75/kg • Potongan air 10% volume jual
Gambar 4. Mekanisme pemasaran komoditas kubis di tingkat petani produsen, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, 1999
Ya 87%
Mencari informasi Harga
• •
Faktor kepercayaan Harga antar pedagang relatif sama
Tinggi
Penentuan penjualan hasil
Sesama petani yang telah menjual
Sumber info
Tidak 13%
Kiat pemasaran
Biaya: Rp 6.000/musim
alasan
Pasar
Pedagang pengumpul: membandingkan harga dengan menawarkan pada 2-5 pedagang
Langsung dijual:
41%
Ditahan, menunggu harga lebih tinggi lagi: 53% Dijual ke luar daerah (Bukittinggi): 6%
Kondisi harga Langsung dijual 80%
Sumber: Data primer Rendah Panen ditunda 1.2 minggu
Gambar 5. Tindakaan petani dalam pemasaran kubis dan perilaku dalam mengantisipasi fluktuasi harga
16
20%
pada cara tebasan maupun penjualan secara satuan, yang besarnya mencapai sekitar 10 persen dari volume jual atau nilai tebasan (Gambar 4). Mekanisme pembayaran dilakuan dalam dua cara, yaitu dengan cara pembayaran tunai dan panjar, tergantung kesepakatan antara petani dan pedagang. Sebagian petani memilih untuk dibayar secara tunai agar tidak menanggung resiko terjadinya tunggakan atau macetnya sisa pembayaran, meskipun biasanya harga yang diperoleh dengan cara pembayaran tunai relatif lebih rendah dibandingkan dengan cara panjar. Besarnya pro-porsi uang muka yang diberikan mencapai sekitar 40 - 75 persen, tergantung pada besarnya volume jual atau nilai tebasan. Apabila volume penjualan mencapai nilai minimal Rp 5 juta, pembayaran uang muka sebesar 40 - 50 persen, sedangkan apabila nilai penjualan di bawah Rp 5 juta, uang muka dibayar sebesar 60 - 75 persen. Untuk memperoleh harga jual yang terbaik, biasanya petani (87%) melakukan perbandingan harga antar pedagang pengumpul dengan menawarkan produknya kepada lebih dari satu pedagang, sekitar 2-5 pedagang. Cara lain adalah dengan mencari info harga ke pasar atau kepada sesama petani yang telah melakukan penjualan (Gambar 5). Dalam menghadapi kondisi harga rendah, sebagian petani (20%) melakukan penundaan panen atau penjualan hasil sekitar 1-2 minggu sesuai dengan kondisi tanaman kubis, menunggu terjadinya kenaikan harga. Sebaliknya, pada kondisi harga tinggi, sekitar 41 persen petani melakukan penjualan sesegera mungkin, sedangkan lainnya ada yang menunggu harga meningkat lebih tinggi lagi (53%) atau melakukan penjualan ke luar daerah (6%). Mekanisme pemasaran kubis sebagaimana diuraikan di muka mengindikasikan masih lemahnya posisi petani dalam sistem perdagangan komoditas kubis pada khususnya dan komoditas sayuran pada umumnya. Peranan KUBA dalam meningkatkan kemampuan petani untuk memperoleh posisi yang lebih baik dalam sistem agribisnis komoditas sayuran masih belum tampak nyata. Kinerja Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) Kubis Latar Belakang Pembentukan Pada awal penumbuhannya, sekitar tahun 1998, KUBA Kubis ini merupakan himpunan dari empat kelompok tani yang ada di tiga desa. Dengan semakin tumbuhnya kelompok-kelompok tani yang dirangsang oleh adanya kucuran dana KUT kepada
17
petani tanaman sayuran yang dilaksanakan sejak bulan Nopember 1998, Maret 1999, Mei 1999, dan Juli 1999, maka jumlah kelompok tani yang tergabung dalam organisasi KUBA meningkat menjadi 25 kelompok. Untuk meningkatkan peran dan fungsinya, KUBA Kubis yang diberi nama KUBA Sungai Nanam Sepakat ini selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi unit otonom dari KUD Sungai Nanam dengan surat integrasi nomor 012/ITG-KUD/VIII, tanggal 7 Agustus 1998 (Badan Agribisnis, 1999). Kemudian pada tahun 1999 ditetapkan sebagai koperasi dengan surat keputusan Kakandep Koperasi dan PPKM Kabupaten Solok sebagai koperasi berbadan hukum No. 56/BH/KIX.3.4/VI/1999.
Struktur Organisasi, Aturan Kelompok, dan Sumber Permodalan Struktur organisasi KUBA kubis terdiri dari seorang ketua dan wakil ketua, dan dibantu oleh sekretaris, bendahara, serta empat manajer usaha. Atruan main organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang disepakati oleh seluruh anggota. Permodalan KUBA, selain bersumber dari fee KUT selama MT 1998 – MT 1999 sebesar Rp 20.000.000, secara umum masih tergantung sepenuhnya dari pengumpulan iuran pokok dan iuran wajib para anggotanya yang berjumlah lebih dari 274 orang. Modal KUBA yang terhimpun dari iuran anggota tersebut mencapai sekitar Rp 9.498.000 hingga bulan September 1999. Pemupukan modal selanjutnya dilakukan melalui kegiatan simpan-pinjam dan pengelolaan ladang kelompok.
Prasarana dan Sarana Tempat pelayanan koperasi seperti gudang, kios saprodi, dan kios pelayanan kebutuhan pokok bagi anggota KUBA dan masyarakat pada umumnya digunakan bangunan bekas kantor wali negeri. Pembangunan sub terminal agribisnis masih menung-gu kucuran dana dari pemerintah yang diperkirakan mencapai Rp 10 juta. Fasilitas lain yang merupakan bantuan dari pihak pemerintah kepada sebagian kelompok tani anggota KUBA adalah kulkas (tempat pendingin) untuk digunakan sebagi penyimpan “agen hayati”. Agen hayati digunakan sebagai media pengendalian hama dan penyakit tanaman sayuran sebagai substitusi penggunaan pestisida yang tidak terkendali.
18
Bantuan mesin pertanian seperti traktor belum tersedia. Sementara
itu,
kelompok tani maupun masyarakat sendiri belum ada yang berinisiatif untuk mengadakan traktor secara swadaya. Traktor sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi kecenderungan petani meningkatkan skala usahanya melalui pembukaan lahan-lahan tidur. Dengan tersedianya traktor akan mempercepat proses pengolahan tanah dan sekaligus mengurangi hambatan keterbatasan tenaga kerja yang ada. Tumbuhnya kelompok-kelompok tani di Kecamatan Lembah Gumanti telah memberikan dampak positif terhadap pemanfaat lahan tidur sebagai lahan usahatani, karena sebagian dari kelompok-kelompok tani tersebut
telah memanfaatkan lahan-lahan tidur yang ada
sebagai “ladang Kelompok” melalui cara sewa. Pembinaan Pembinaan
merupakan
salah
satu
faktor
penting
dalam
mendukung
perkembangan KUBA untuk tumbuh kuat dan mandiri. Kegiatan pembinaan yang telah dilakukan oleh beberapa institusi pemerintah di antaranya berupa kegiatan kursus dan pelatihan, studi banding, magang, dan temu usaha. Tetapi, kegiatan tersebut masih terbatas diikuti oleh ketua, pengurus kelompok atau anggota-anggota tertentu saja, sedangkan penyebarluasan pengetahuan yang diperoleh peserta kegiatan itu belum menjangkau secara merata kepada seluruh anggota kelompok KUBA. Peranan KUBA dalam Kegiatan Agribisnis Peran KUBA dalam sistem agribisnis komoditas kubis dan tanaman sayuran lainnya sampai saat dilakukan survei belum tampak terintegrasi. Artinya, seksi-seksi kepengurusan seperti manajer produksi, manajer pemasaran, manajer alsintan, dan manajer kendali mutu belum melaksanakan peran dan fungsinya sebagaimana yang diharapkan. Dalam penyaluran KUT sayuran, peran KUBA juga belum menonjol, karena penyaluran dananya masih dilakukan lewat KUD, Koperasi Markisa, maupun LSM. Dari aspek pemasaran, peran KUBA juga masih lemah, karena dalam penjualan hasil, petani anggota KUBA masih sangat tergantung kepada pedagang pengumpul. Pada awal terbentuknya KUBA pernah terjalin hubungan pemasaran hasil kubis dengan pengusaha Malaysia dan terjadi transaksi yang mencapai volume 10 ton. Kegiatan pemasaran itu sekarang telah terhenti, karena pihak pengusaha Malaysia menuntut adanya jaminan “Badan Hukum” yang jelas dan adanya jaminan mutu produk yang dihasilkan,
19
Tabel 8.
Analisis faktor eksternal KUBA kubis Nanam Sepakat, Kabupaten Solok, 1999 Faktor Diskriminan
Bobot
Skala
Skor
1. Kondisi politik dan keamanan
0,047
3
0,141
2. Kependudukan
0,058
4
0,232
3. Perusahaan mitra
0,088
4
0,352
4. Kondisi konsumen
0,070
4
0,280
5. Keberadaan sumber modal dari luar
0,053
3
0,174
6. Segmen pasar terabaikan yang dapat dilayani
0,088
3
0,264
7. Adanya perkembangan teknologi
0,053
3
0,159
8. Peningkatan hubungan baik dengan konsumen/mitra
0,076
4
0,304
9. Peningkatan infrastruktur perhubungan dan telekomunikasi
0,070
3
0,210
10. Prioritas pengembangan pemerintah
0,053
3
0,159
Peluang
Sub total
0,661
2,275
Ancaman 11. Kondisi ekonomi
0,058
2
0,116
12. Perusahaan pesaing
0,029
2
0,058
13. Pembinaan pasar oleh petugas
0,017
1
0,017
14. Perubahan regulasi yang meningkatkan daya saing
0,047
1
0,047
15. Peningkatan posisi tawar pembeli
0,053
2
0,106
16. Harga input
0,053
2
0,106
18. Serangan hama/penyakit
0,023
1
0,023
19. Pencabutan tarif/liberalisasi perdagangan
0,017
1
0,017
20. Perubahan cuaca
0,041
2
0,082
Sub total
0,339
0,572
Total
1,000
2,847
20
Tabel 9.
Analisis faktor internal KUBA kubis Nanam Sepakat, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 1999 Faktor Diskriminan
Bobot
Skala
Skor
1. Struktur organisasi
0,046
3
0,138
2. Job description
0,046
3
0,138
3. Kualitas kelengkapan pengurus
0,023
4
0,092
4. Kapasitas
0,023
4
0,092
5. Kualitas produk
0,023
4
0,092
6. Diversifikasi produk
0,046
4
0,184
7. biaya produksi
0,023
4
0,092
8. Ketersediaan bahan baku
0,046
4
0,184
9. Skala ekonomi
0,046
4
0,184
10. Akses informasi pasar
0,023
4
0,092
11. Image, reputasi, kualitas
0,036
4
0,144
12. Efektivitas promosi
0,018
4
0,072
13. Lahan usaha
0,046
3
0,138
14. Gudang
0,036
3
0,108
15. Bangunan kantor
0,046
3
0,138
16. Personal manajemen
0,023
3
0,069
17. Efektivitas sistem insentive
0,018
3
0,054
18. Spesialisasi ketrampilan
0,018
3
0,054
19. Pengalaman
0,018
3
0,054
20. Kemampuan peningkatan kapital jangka pendek
0,023
3
0,069
21. Kemampuan peningkatan kapital jangka panjang
0,046
3
0,138
22. Consistency & barier to entry
0,018
4
0,072
23. Ability to reduce cost/efisiensi biaya
0,018
3
0,054
Kekuatan
Sub total
0,709
2,452
Kelemahan 24. Integrasi vertikal
0,036
1
0,036
25. Harga jual
0,046
1
0,046
26. Penguasaaan pasar
0,046
2
0,091
27. Saluran distribusi
0,036
1
0,036
28. Pembentukan harga
0,046
2
0,091
29. Peralatan
0,046
1
0,046
30. Labor relation cost vs pesaing
0,036
2
0,072
Sub total
0,291
0,418
Total
1,000
2,870
21
seperti kandungan residu pestisida pada produk kubis yang dapat dikonsumsi dengan aman oleh konsumen. Dengan telah disyahkannya KUBA menjadi koperasi berbadan hukum paling tidak telah memberikan jaminan “status” bagi KUBA dalam berhubungan dengan mitra usaha di masa datang. Proses pemberdayaan KUBA masih perlu didorong melalui pembinaan yang kontinyu dan terpadu maupun kucuran bantuan modal usaha, baik berupa fasilitas kredit lunak maupun dalam bentuk alsintan, serta kegiatan promosi melalui aktivitas temu usaha dengan pengusaha lokal maupun eksportir.
Strategi Pengembangan KUBA Hasil evaluasi terhadap unsur-unsur peluang dan ancaman pada faktor eksternal KUBA menghasilkan total nilai skor sebesar 2,847 (Tabel 8). Sedangkan evaluasi terhadap unsur-unsur kekuatan dan kelemahan pada faktor internal KUBA menghasilkan total nilai skor 2,870 (Tabel 9). Berdasarkan hasil skor faktor internal dan faktor eksternal tersebut mengindikasikan bahwa strategi pengembangan KUBA yang perlu ditempuh adalah melalui integrasi horizontal atau stabilitas. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah: (1) meningkatkan upaya menghidupkan kembali kerjasama pemasaran dengan pihak pengusaha Malaysia (menembus peluang ekspor); (2) meningkatkan mutu hasil kubis yang dapat ditempuh dengan menghasilkan kubis bebas pestisida/residu pestisida rendah; (3) meningkatkan usaha efisiensi produksi; (4) mengembangkan peman-faatan lahan-lahan tidur sebagai ladang kelompok untuk akumulasi modal KUBA.
KESIMPULAN Komoditas kubis merupakan bagian dari sekitar 16 komoditas unggulan/potensial dalam program pengembangan agribisnis di daerah sentra produksi maupun dalam program penumbuhan SPAKU di Sumatera Barat. Peranannya cukup ber-arti dilihat dari luas areal penanaman maupun nilai produksi yang dihasilkan. Aktivitas agribisnis kubis ditandai dengan kegiatan usahatani melalui diversifikasi dengan tanaman sayuran lain, terutama bawang merah dan kentang, yang tercermin dalam 17 polatanam. Ketersediaan saprodi didukung oleh adanya kios saprodi sebanyak 42 buah. Namun sering terjadi kelangkaan dan permainan harga. Sumber permodalan petani berasal dari dana sendiri (55%), memanfaatkan KUT (40%), dan kredit dari pedagang saprodi (5%).
22
Kinerja KUBA kubis diawali setahun sebelum resmi berbadan hukum, yaitu sejak menjadi bagian otonom dari KUD Sungai Nanam yang sudah berbadan hukum. Integrasi itu terjadi pada bulan Agustus 1998, dua bulan sejak didirikan pada bulan Juni 1998. Pada bulan Juni 1999, KUBA kubis dikukuhkan menjadi koperasi berbadan hukum, karena telah memenuhi syarat dalam hal kelengkapan personel kepengurusan, AD/ART, kegiatan ekonomi, sumber finansial, dan peningkatan sumberdaya manusia. Meskipun demikian, kegiatan tersebut terkesan belum terkoordinasi dengan baik, sehingga keberadaan KUBA belum terintegrasi dalam penanganan agribisnis sayuran. Sejak berdirinya KUBA kubis yang berbadan hukum telah berkembang dari 6 kelompok yang melibatkan 131 petani dengan 43 hektar lahan garapan menjadi 25 kelompok yang melibatkan 582 petani dengan 180 hektar lahan garapan. Jumlah kelompok tani yang telah diakomodasi oleh KUBA mencapai sekitar 35 persen dari jumlah kelompok tani di Kecamatan Lembah Gumanti. Perkembangan pesat ini didasari oleh pengurus yang dinamis mencari dan memanfaatkan peluang, sehingga selain jumlah anggota meningkat, KUBA juga mampu mengumpulkan modal finansial sejumlah Rp 20 juta lebih melalui keberhasilannya merealisasikan penyaluran KUT selama 3 musim tanam, yaitu November 1998, Maret 1999, dan Mei 1999. Pengalihan wewenang penyaluran kredit dari BRI ke Bank Bukopin menyebabkan kelancaran administrasi tersendat, sehingga pengajuan KUT bulan Juli 1999 tidak sempat terealisasi. Sampai bulan September 1999, dari iuran wajib dan iuran pokok terkumpul modal sebesar Rp 9,5 juta. Dampak dari kegiatan KUBA telah meningkatkan kegiatan usahatani anggota yang mencatat pendapatan Rp 13,6 juta se tiap tahun, lebih besar 26 persen dari non anggota. Walaupun non anggota lebih banyak berpeluang usaha di luar usahatani, namun ternyata pendapatan total per tahun anggota KUBA tetap lebih tinggi 19 persen. Usahatani sayuran menyumbang tidak kurang dari 80 persen pendapatan setahunnya. Kemajuan KUBA juga ditandai dengan kegiatan merenovasi bangunan adat/desa untuk keperluan sarana kantor koperasi serta tempat pelayanan saprodi dan kebutuhan pokok. Direncanakan KUBA juga akan membangun sub terminal agribisnis untuk transaksi dan pemasaran produksi sayuran. Sarana lain yang telah ada adalah lemari pendingin untuk menyimpan agen hayati. Selain asset lahan produksi individu, juga diciptakan lahan kelompok yang memanfaatkan lahan tidur. Hasilnya untuk pemupukan modal kelompok. Semua
23
anggota wajib bekerja di lahan kelompok. Kalau berhalangan didenda sebanyak hari berhalangan dikali upah harian yang berlaku. Harapan memperoleh kemitraan dengan pembeli dari Malaysia tertunda setelah lulus dari kontrak tahap pertama sebesar 10 ton kubis. Pada tahap perjanjian kedua mitra mengundurkan diri karena ketidakpastian muncul, sebagai akibat dari kehendak aparat pembina agar kontrak melibatkan kelompok di luar KUBA. Alternatif strategi pengembangan KUBA yang perlu ditempuh adalah melalui integrasi horizontal atau stabilitas. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah: (1) Meningkatkan upaya menghidupkan kembali kerjasama pemasaran dengan pihak pengusaha Malaysia (menembus peluang ekspor); (2) Meningkatkan mutu hasil kubis yang dapat ditempuh dengan menghasilkan kubis bebas pestisida atau residu pestisida rendah; (3) Meningkatkan usaha efisiensi produksi; dan (4) Mengembangkan pemanfaatan lahanlahan tidur sebagai ladang kelompok untuk akumulasi modal KUBA.
DAFTAR PUSTAKA Badan Agribisnis. 1998. Analisis Kebutuhan Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) pada Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan
(SPAKU) Menurut Provinsi,
Kabupaten, dan Kecamatan. Departemen Pertanian. Badan Agribisnis. 1999. Company Profile “KUBA” pada SPAKU. Departemen Pertanian. BIPP. 1999. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Lembah Gumanti tahun 1999. Balai Informasi Penyuluhan Pertanian. Pemerintah Kabupaten Dati II Solok. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dati I Sumatera Barat. 1997. Laporan Tahunan 1997. Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
24