ICASERD WORKING PAPER No. 23
DINAMIKA PASAR TENAGA KERJA KELUARGA DI BIDANG PERTANIAN KAITANNYA DENGAN DAMPAK KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Kasus di Propinsi Jawa Barat) Bambang Winarso Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 23
DINAMIKA PASAR TENAGA KERJA KELUARGA DI BIDANG PERTANIAN KAITANNYA DENGAN DAMPAK KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Kasus di Propinsi Jawa Barat) Bambang Winarso Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail :
[email protected] No. Dok.034.23.04..04
DINAMIKA PASAR TENAGA KERJA KELUARGA DI BIDANG PERTANIAN KAITANNYA DENGAN DAMPAK KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (KASUS DI PROVINSI JAWA BARAT)
Bambang Winarso Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Pertengahan tahun 1997 Indonesia telah mengalami krisis ekonomi maupun krisis moneter yang ditandai oleh semakin melemahnya mata uang rupiah khususnya terhadap dolar, disamping juga terganggunya sistem kelembagaan keuangan negara yang terus berlarut-larut yang pada akhirnya meluas dan berdampak terhadap krisis politik yang diwarnai oleh jatuhnya pemerintahan orde baru. Kejadian tersebut pada akhirnya membawa negara ini pada keadaan ekonomi dan politik yang kurang stabil bahkan juga berdampak terhadap tingkat kepercayaan masyarakat luar negeri yang diwarnai oleh semakin melemahnya minat investor asing untuk masuk ke Indonesia dan juga semakin membengkaknya utang luar negeri karena pengaruh lemahnya mata uang rupiah tersebut. Hal ini diikuti pula oleh semakin meningkatnya kebangkrutan bisnis terutama perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Sektor pertanian pada masa-masa krisis tersebut justru menunjukkan "ketangguhannya" dalam menyelamatkan ekonomi negara, termasuk didalamnya dalam menstabilisir penawaran pasar tenaga kerja dibidang pertanian. Tulisan ini merupakan hasil studi literature dari beberapa publikasi yang sebagian besar kasus utamanya sengaja diambil dari kasus di Provinsi Jawa Barat khususnya pada wilayah pedesaan di daerah sentra-sentra produksi padi, yang mana wilayah tersebut merupakan salah satu sentra padi secara nasional.
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian yang pada era pemerintahan Orde Baru mulai tergeser peranannya dalam sumbangannya terhadap ekonomi negara oleh sektor lain khususnya sektor industri, perdagangan dan sektor pariwisata, justru pada saat dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter sektor pertanian mampu berperan banyak dalam menyelamatkan ekonomi negara yang sedang dalam keadaan terpuruk. Hal ini disebabkan oleh kemampuan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja, dan oleh adanya keunggulan komperatif maupun keunggulan kompetitif dari hampir semua komoditas yang dihasilkan terutama untuk komoditas-komoditas yang berorientasi ekspor, dimana industri pengolahan hasil pertanian berbahan baku lokal pada saat krisis tersebut ternyata memiliki daya saing secara signifikan. Usaha di bidang pertanian kegiatan yang bersifat "Land base" yang kinerjanya sangat tergantung keberadaan lahan sebagai basis kegiatan usahanya. Secara geografis
1
keberadaan usaha ini lebih dominan di wilayah pedesaan bahkan jauh di pedalaman. Keberhasilan peran sektor pertanian dalam menjaga stabilitas ekonomi negara pada saat masa krisis, tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan lahan potensial, namun yang lebih utama adalah peran sumberdaya manusia yaitu para pelaku seperti petani, peternak, nelayan, pekebun serta para pelaku bisnis ("Interpreneur") komoditas pertanian itu sendiri di samping peran pemerintah dalam ikut mendorong iklim bisnis di bidang ini. Peranan sumberdaya manusia terhadap kinerja bidang pertanian pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah : (1) jumlah penduduk angkatan/usia kerja, (2) tingginya tingkat pendidikan, pengalaman dan ketrampilan tenaga kerja, (3) tinggi rendahnya curahan jam kerja, (4) tersedianya peluang/pasar tenaga kerja, dan (5) adanya sistem yang mampu mendukung terciptanya lapangan kerja dan lapangan berusaha. Perkembangan penduduk usia kerja dapat dipandang sebagai cerminan adanya potensi ketersediaan tenaga kerja, sementara adanya peluang pekerjaan bagi penduduk usia kerja tersebut berarti akan berakibat terhadap munculnya kegiatan ekonomi yang juga akan berdampak terhadap aktivitas lainnya seperti munculnya kesempatan kerja, munculnya kegiatan turunan lainnya seperti kegiatan migrasi beserta implikasinya, munculnya kegiatan perpindahan tenaga kerja antar sektor dan yang tak kalah penting adalah meningkatnya pendapatan masyarakat. Data kependudukan Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa perkembangan jumlah penduduk secara nasional selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir (19902000) adalah sebesar 1,2 persen rata-rata pertahun, dari sebanyak 179,38 juta jiwa (1991) meningkat menjadi 203,45 juta jiwa (2000). Dari jumlah sebesar 203,45 juta jiwa tersebut 19,99 persen merupakan penduduk usia kerja yang secara geografis berdomisili di pedesaan. Hal yang demikian mencerminkan bahwa sektor pertanian masih merupakan andalan bagi penyerapan tenaga kerja secara nasional. Manning (1982) pernah mengemukakan bahwa suatu negara baru mulai mendekati "titik balik" (turning point) dalam pembangunan manakala jumlah tenaga kerja disektor pertanian mulai menurun secara mutlak sebagai akibat tenaga kerja tersebut terserap ke sektor lain.
Studi yang pernah dilakukan oleh Widiarti (1980) bahwa pada masa tersebut
Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja secara mutlak di sektor pertanian. Walaupun pada saat itu sudah mengalami penurunan secara relatif, namun secara absolut jumlah ketersediaan tenaga kerja yang ada di sektor ini ada
2
indikasi kecenderungan yang akan terus bertambah, yang tentu saja akan semakin memberatkan daya tampung sektor tersebut. Data menunjukkan bahwa tenaga kerja yang berkecimpung di sektor pertanian umumnya
berpendidikan
rendah,
sehingga
kalaupun
keluar
dari
sektor
ini
kecenderungannya akan masuk ke bidang pekerjaan yang sifatnya informal pula, yang kalau meminjam istilah Manning C (1982) klasifikasi tenaga kerja yang demikian adalah tergolong "Blue Colour Worker", artinya setiap orang yang akan terjun kedalam suatu kegiatan tertentu pada dasarnya tidak dituntut persyaratan pendidikan yang ketat. Namun demikian curahan tenaga kerja dari setiap anggota keluarga tani yang terlibat akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan dan ekonomi keluarga, baik keluarga tersebut berpendapatan utama dari kegiatan usaha pertanian maupun diluar itu. Pada kenyataannya menunjukkan bahwa dalam upaya untuk mencukupi kebutuhan
ekonomi
rumah
tangga
setiap
keluarga
petani
tidak
sepenuhnya
mengandalkan dari satu sumber mata pencaharian yaitu sektor pertanian. Disamping adanya sumber mata pencaharian pokok sebagai andalan kestabilan ekonomi rumah tangga, maka juga akan mencari sumber matapencaharian lain ("sampingan"), manakala sumber matapencaharian utama belum dapat mencukupi untuk menutupi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Hal ini sangat dimungkinkan terutama bagi keluarga yang menghadapi beban
ekonomi rumah tangga yang tidak cukup untuk diatasi oleh
penghasilan utama semata, kondisi yang demikian terutama akan terjadi pada rumah tangga petani yang tingkat penguasaan asset produktifnya (tanah, ternak, alat pertanian dan lainnya) tergolong rendah. Munculnya curahan kerja ganda tersebut disamping untuk menambah penghasilan, maka sekaligus untuk mengatasi risiko kegagalan pendapatan lainnya baik kegagalan pendapatan dari usaha pokok maupun dari usaha sampingan. Identifikasi Masalah Meningkatnya jumlah penduduk yang terus bertambah, sementara kemampuan penyerapan tenaga kerja disektor pertanian mulai terbatas, maka akan membawa permasalahan tersendiri bagi perekonomian tenaga kerja nasional khususnya tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian khususnya tenaga kerja yang secara geografis berasal dari pedesaan. Sementara akhir-akhir ini disinyalir bahwa produksi usahatani khususnya padi telah mengalami ”leveling off", sementara curahan tenaga kerja disektor pertanian terus mengalami peningkatan, disisi lain pola usahatani lebih diwarnai oleh
3
perkembangan teknologi yang mengarah pada efisiensi tenaga kerja, kondisi yang demikian akan mengarah pada situasi tenaga kerja yang semakin "idle capacity". Komoditas pertanian sebagian besar merupakan komoditas yang bersifat musiman, terutama untuk tanaman pangan (padi, palawija), hortikultura sayuran dan sebagian tanaman buah-buahan. Hal yang demikian akan berdampak terhadap aktivitas curahan waktu kerja bagi sebagian besar tenaga kerja sektor pertanian yaitu munculnya rentang curahan waktu kerja yang terbatas pula. Hal yang demikian akan berimplikasi bahwa curahan jam kerja tenaga kerja petani juga akan mengikuti irama musim tersebut. Permasalahannya akan berbeda manakala komoditas yang ditangani adalah komoditas yang bersifat tidak mengenal musim , sebagai misal komoditas karet, kelapa sawit dan komoditas lainnya, yang sifatnya dapat merupakan kegiatan harian, mingguan, bulanan atau bahkan tahunan. Dengan usaha yang bersifat musiman tersebut, bagi petani yang memiliki waktu luang menyebabkan munculnya peluang untuk "mendeversifikasi" alokasi waktu curahan tenaga kerjanya untuk kegiatan produktif lainnya, dalam artikata meningkatkan efisiensi kerja tenaga keluarga. Dengan demikian amatlah logis apabila sebuah keluarga petani akan berusaha memaksimalkan sumberdaya tenaganya dalam upaya mencukupi kebutuhan ekonominya sehingga akan memiliki sumber pendapatan ganda merupakan konsekwensi dari curahan tenaga kerja yang dilakukan pada beberapa mata rantai kegiatan usaha, baik sebagai petani, buruh tani maupun usaha lainnya diluar pertanian. Yang menjadi permasalahan dalam upaya mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya tersebut, sampai sejauh mana setiap anggota keluarga tani mampu mencurahkan dan mendeversifikasi tenaga kerjanya mengingat setiap anggota keluarga petani senantiasa dihadapkan pada kendala dan keterbatasan masing-masing dan ini tentu saja akan berimplikasi pada besar kecilnya jumlah pendapatan keluarga suatu rumah tangga. Maksud dan Tujuan Keragaan alokasi tenaga kerja keluarga tani secarta parsial amatlah beragam baik dilihat dari jenis pekerjaan, curahan jam kerja maupun anggota keluarga yang terlibat. Hal yang demikian dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: (1) jenis komoditas yang diusahakan, (2) sifat usaha dan sifat komoditas yang diusahakan, (3) ketersediaan tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja dari luar keluarga, (4) tingkat penguasaan teknologi, (5) tingkat penguasaan modal dan (6) adat kebiasaan dan perilaku bekerja. Dengan melihat beberapa karakteristik usaha tersebut diatas maka 4
tulisan ini bermaksud untuk Pertama: mempelajari karakteristik dan spesifikasi tenaga kerja dibidang pertanian yang secara umum memiliki karakteristik ganda baik sebagai petani tanaman pangan, perikanan, petani ternak, petani kebun, buruh tani maupun buruh/bekerja diluar pertanian. Kedua, mempelajari sampai sejauh mana
keragaan
curahan tenaga kerja keluarga petani dan pengaruhnya terhadap pendapatan yang dihasilkan guna memenuhi kebutuhan ekonominya. Kerangka Teori Seperti telah dikemukakan bahwa sebagian dari masyarakat desa bermata pencaharian lebih dari satu sumber, hal ini dimungkinkan karena (1) kegiatan pertanian khususnya tanaman pangan adalah bersifat musiman, sehingga pada saat masa sepi maka kesempatan kerja
terbatas, (2) usaha pertanian senantiasa dihadapkan pada
kendala kegagalan, baik kegagalan produksi (hama/penyakit, iklim, teknologi) maupun kegagalan pasar (permintaan dan harga tidak sesuai dengan yang diharapkan), (3) Pendapatan dari usahatani diperoleh pada waktu panen, disisi lain kebutuhan hidup keluarga dituntut setiap harinya, (4) kesempatan kerja dan pendapatan dari lahan sendiri belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan (5) adanya kesempatan kerja diluar usaha pokok (tani) yang mampu memberikan tambahan pendapatan baik usaha sampingan dalam kegiatan yang berkaitan dengan masalah pertanian maupun kegiatan sampingan diluar pertanian. Berdasarkan kondisi-kondisi diatas pendapatan sebuah rumah tangga keluarga petani akan senantiasa berubah-ubah
sesuai dengan kelima faktor tersebut diatas.
Perubahan pendapatan keluarga tani disamping dipengaruhi oleh kelima faktor tersebut juga dapat terjadi karena adanya perubahan asset produktif, adanya perubahan penguasaan modal usaha, perubahan harga, perubahan curahan jam kerja maupun kombinasi
diantaranya.
Secara
teoritis
curahan
jam
kerja
seseorang
akan
dimaksimalkan sedemikian rupa manakala kesempatan tersebut ada serta adanya desakan kebutuhan yang memaksa seseorang untuk mencoba memenuhi kebutuhan tersebut. Grafik dalam gambar 1. mengillustrasikan bahwa pada saat seorang petani telah memiliki waktu untuk bekerja sebesar (W0) dan digunakan untuk benar-benar bekerja sebesar (L0) maka terjadilah keseimbangan kegiatan dititik (E0) dan ini terjadi pada saat dimana seorang petani disibukkan oleh kegiatan pengolahan lahan pada saat menjelang musim tanam maupun musim panen. Namun manakala kegiatan tersebut telah usai, 5
maka Jumlah tenaga kerja yang tidak lagi mempunyai kegiatan semakin bertambah sebagai akibat dari kegiatan pengolahan sawah yang telah selesai sehingga akan mendorong jumlah tenaga tersedia sebesar (L0) ke (L1). Sementara peluang pekerjaan yang ada tinggal sebesar (W1), yang cukup dikerjakan oleh tenaga kerja sebanyak (L2). Kondisi yang demikian ini akan menyebabkan kelebihan tenaga kerja dipedesaan pada masa-masa senggang sebesar
((L1) - (L2)). Hal ini akan membawa dampak
terhadap pencarian peluang kerja bagi
sebagian tenaga kerja yang telah usai
mengerjakan sawahnya. Sebagian dari mereka akan berusaha mencari pekerjaan sampingan memanfaatkan waktu luang yang ada baik dalam kegiatan pertanian seperti buruh tani, atau kegiatan informal lainnya diluar pertanian seperti sebagai pedagang atau kegiatan jasa lainnya. Sebagai konsekwensinya adalah bahwa sebagian tenaga kerja yang memiliki kelonggaran waktu tersebut akan terserap ke pada kegiatan informal tersebut, hal ini akan mendorong jumlah tenaga kerja aktif kembali bekerja sebesar dari (L2) menjadi
(L3) yang memiliki aktivitas kegiatan sebesar (W2), dimana
(E3)
merupakan titik keseimbangan baru.
S' S E4 D'' E3 W2 E0 W0 E2
E1
W1 O' D
D’
0
L2
L3
L0
L1
Gambar 1 Ilustrasi kesempatan dan alokasi waktu kerja tenaga kerja di pedesaan
6
Dalam kondisi yang demikian tetap saja
bahwa tidak semua tenaga yang
memiliki luang waktu tersebut dapat terserap pada kegiatan informal / sampingan tersebut, sebagian tetap merupakan tenaga petani pengangguran yang tidak memiliki kegiatan samasekali, kalaupun ada adalah merupakan kegiatan yang tidak terlalu menuntut curuhan tenaga kerja yang penuh, seperti halnya petani lanjut usia, para wanita tani yang umumnya tinggal didesa atau tenaga-tenaga lainnya yang memang tidak tertampung dalam kegiatan/pekerjaan sambilan tersebut. Kondisi tenaga yang dalam keadaan yang demikian adalah merupakan tenaga setengah menganggur ("Disguise unemployment") yang besarnya antara ((L1)-(L3)). Mengingat pada masa tersebut kegiatan olah tanah, maupun kegiatan panen telah selesai sementara mereka sendiri tidak memiliki kegiatan sampingan lainnya. Diasumsikan bahwa jikalau semua tenaga kerja yang memiliki kelonggaran waktu tersebut dapat mengisi kegiatan yang bersifat produktif, maka akan tercapai keseimbanagan ideal yang diharapkan pada posisi keseimbaangan (E4), dimana semua tenaga setengah menganggur tersebut memiliki kegiatan sampingan atau terserap pada kegiatan informal lainnya, namun hal ini sulit terjadi mengingat peluang yang ada juga terbatas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Seperti pertambahan
diketahui penduduk
bahwa
pemerintah
sedemikain
rupa
telah
melalui
berupaya
untuk
menekan
berbagai
program
kebijakan
diantaranya adalah program keluarga berencana, program persyaratan kawin usia minimal maupun pembatasan angka kelahiran. Hal ini tidak lain adalah untuk menekan angka pertambahan penduduk. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang kekerja di sektor pertanian selama sepuluh tahun terakhir (1991-2000) mengalami perkembangan yang kurang signifikan (Tabel 1). Hal ini disebabkan oleh adanya indikasi bahwa semakin terbatasnya tenaga kerja yang bergerak disektor pertanian, namun apabila hal tersebut dikaitkan dengan kondisi tenaga kerja yang bekerja diluar sektor pertanian tampaknya kurang tepat. Gejala ini dapat diamati melalui data tersebut dan kondisi yang demikian akan lebih terlihat jelas apabila dilihat dari dua sisi pertumbuhan, yaitu laju pertumbuhan jumlah tenaga kerja disektor pertanian pada periode sebelum krisis ekonomi (1991-
7
1996) dan trend setelah krisis ekonomi tahun (1997-2000) yang juga dapat dilihat pada tabel 2. Dimana laju pertumbuhan tenaga kerja sebelum krisis (1991-1996) disektor pertanian adalah sebesar (-3,10%) rata rata pertahun dengan jumlah angkatan kerja sebesar 37.720,2 ribu jiwa, industri meningkat rata-rata (7,19%) pertahun dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 10.773,0 ribu jiwa, sedangkan sektor perdagangan melaju dengan kecepataan (7,44%) rata-rata pertahun. Pada periode tersebut tenaga kerja pertanian banyak terserap ke sektor luar pertanian (Industri pengolahan, perdagangan, angkutan dan komunikasi dan lainnya) hal yang demikian menyebabkan trend pertumbuhan tenaga kerja yang masuk ke sektor pertanian cenderung semakin menurun, sementera sektor lainnya meningkat.
Situasi
dimana menurunnya jumlah tenaga kerja pertanian yang diimbangi dengan semakin meningkatnya penyerapan tenaga kerja
ke sektor lainnya menunjukkan bahwa
"Demand" terhadap tenaga kerja dari sektor pertanian meningkat, tentunya diimbangi dengan tingkat upah yang lebih kompetitif. Hal
tersebut
terjadi
sebaliknya
setelah
Indonesia
mengalami
krisis
ekonomi/moneter antara tahun 1997–2000, dimana pertumbuhan angka tenaga kerja sektor pertanian meningkat tajam menjadi (3,22%) pertahun, sementara diluar sektor pertanian mengalami pelambatan yang cukup signifikan bahkan ada kecenderungan negatif. Ini memberikan suatu indikasi bahwa dengan adanya situasi krisis ekonomi tersebut tingkat produktivitas tenaga kerja hampir disemua sektor mengalami penurunan. Dimana lagi-lagi sektor pertanian menjadi “penampung” tenaga kerja yang putus kegiatannya dan kembali lagi ke sektor pertanian. Melimpahnya tawaran tenaga kerja yang diharapkan dapat tertampung disektor pertanian tersebut merupakan suatu indikasi adanya kemerosotan kesempatan kerja diluar pertanian yang tentu saja berdampak terhadap inflasinya tenaga kerja di pedesaan. Studi yang dilakukan oleh Nurmanaf et al., (2000) menunjukkan bahwa sebagian para migran yang kembali kedesa dan belum mendapat pekerjaan, umumnya beranggapan bahwa pekerjaan yang tersedia di desa kurang cocok dengan jenis pekerjaan sebelumnya dan ketrampilan yang dimiliki. Namun demikian sebagian dari mereka rela bekerja di sektor pertanian walaupun bersifat sementara sambil menunggu kesempatan adanya pekerjaan yang sesuai dengan kegiatan sebelumnya, secara umum itulah harapan mereka. Disisi lain penulis yang sama juga mengemukakan bahwa dalam hal mencari tenaga kerja/buruh tani dirasa semakin sulit alasan yang dikemukakan
8
adalah kurangnya angkatan kerja terutama angkatan muda yang berminat sebagai buruh tani, dengan demikian berarti pula semakin terbatasnya kesempatan berburuh bagi tenaga kerja/buruh pertanian. Disinyalir hal ini berkaitan erat dengan rendahnya tingkat upah di bidang pertanian. Disamping itu adanya pengaruh teknologi mekanisasi yang mengarah pada semakin meningkatnya efisiensi penggunaan tenaga kerja, cenderung akan semakin membatasi kesempatan kerja bagi tenaga/buruh tani lainnya. Pekerja muda terdidik tampaknya cenderung memilih pekerjaan diluar pertanian, sementara kegiatan pertanian secara umum digeluti oleh masyarakat pedesaan yang berstatus telah nikah dimana kegiatan pertanian merupakan kegiatan pokoknya. Atau juga digeluti oleh angkatan kerja muda yang memang memiliki modal lahan milik/garapan yang luas. Sehingga dalam studinya Nurmanaf menyimpulkan bahwa arus balik tenaga kerja dari kota ke desa tidak sepenuhnya dapat terserap pada kegiatan sektor pertanian, disamping dirasakan memang tidak sesuai lagi juga disebabkan oleh semakin terbatasnya kesempatan. Ragam Pendapatan Keluarga petani Ada beberapa faktor yang saling berhubungan secara langsung berpengaruh terhadap kesempatan kerja dan pendapatan di pedesaan, (Sumaryanto et.al., 1999) diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, adalah kondisi karakteristik desa dan sumber daya alam, seperti kondisi agroekosistem yang berbeda akan membawa pola usaha yang berbeda pula. Desa-desa dengan ber-agroekosistem pantai, kondisi sosial ekonominya akan berbeda dengan desa persawahan, atau desa-desa di wilayah pegunungan. Kedua : sumberdaya manusia yang dapat meliputi jumlah dan struktur (umur, pendidikan dan jenis kelamin) yang merupakan indikator tenaga kerja siap pakai disamping dapat dijadikan acuan untuk menentukan jenis kegiatan yang tepat untuk dikembangkan. Ketiga : sumberdaya kapital meliputi penguasaan asset produktif lahan maupun non lahan. Seperti deketahui bahwa pembangunan pedesaan yang salah satunya ditandai oleh berkembangnya sektor non pertanian pada akhirnya juga diikuti oleh meningkatnya permintaan asset produksi seperti lahan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perubahan pola distribusi penguasaan lahan pada masyarakat di pedesaan.
9
Tabel 1 :
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Pekerjaan Utama Terakhir di Indonesia Tahun 1991–2000
Tahun
Pertanian
Industri Pengola han
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
42378,3 41205,8 42113,2 40071,8 35233,3 37720,2 35848,6 39414,7 38378,1 40676,7
7693,3 7946,3 8255,9 8784,3 10127,0 10773,0 11214,8 9993,6 11515,9 11641,7
Perdaga Ngan
Angkutan dan Komunikasi
Jasa Ke Masyara Katan
Lainnya
Total
11067,3 11430,6 11746,8 12508,1 13883,7 16102,5 17221,2 16814,2 17529,1 18489,0
2312,5 2493,4 2573,8 2921,3 3458,1 3942,8 4137,6 4153,7 4206,1 4553,8
9070,3 9530,0 9911,6 10566,4 12121,9 11728,5 12637,5 12394,3 12224,6 9574,0
3329,0 3817,1 3877,5 4338,6 5286,0 5434,8 5990,0 4901,9 4963,0 4902,5
75850,6 76423,2 78518,4 79200,5 80110,0 85701,8 87049,7 87672,4 88816,8 89837,7
Sumber : Statistik Indonesia tahun 1991 s/d tahun 2000 Keterangan : Trend rata-rata pertahun (dalam %) …….. 1991 – 1996 - Sektor pertanian ………………………… - 3,10 - Sektor Industri & Pengolahan …………. 7,19 - Sektor Perdagangan …………………… 7,44 - Sektor Angkutan & Komunikasi ……….. 11,03 - Sektor Jasa Kemasyarakatan ………….. 5,91 - Sektor lainnya …………………………….. 10,12
1997 - 2000 3,22 2,52 2,58 3,01 - 7,99 - 6,17
Dalam hal penguasaan sumberdaya kapital sebagai asset produktif seperti penguasaan lahan, ternak, kolam maupun sarana peralatan pertanian menyebabkan ketersediaan sumberdaya tenaga kerja akan lebih termanfaatkan terutama dalam melakukan proses produksi guna mendapatkan hasil berupa produk maupun jasa. Tersedianya asset-asset produktif tanpa diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja sebagai pelaku usaha dan input-input lainnya, maka aktivitas produksi tidak akan terjadi. Lahan merupakan salah satu bentuk asset dan faktor produksi penting bagi petani yang mengandalkan kegiatan ekonominya yang didasarkan atas "land base resources". Lahan disamping merupakan faktor produksi sekaligus merupakan penentu status sosial bagi pemiliknya, dimana
status penguasaannya senantiasa mengalami dinamika. Status
kepemilikan lahan dapat berubah karena proses jual-beli maupun proses pewarisan yang sampai saat ini masih terus berjalan. Hasil studi yang dilakukan oleh Winarso B. dan Sawit MH. (1998) menunjukkan bahwa diwilayah pedesaan Jawa-Barat terdapat 18 (delapan belas) jenis status penguasaan lahan dengan tingkat fragmentasi yang tersebar, walaupun pada intinya
10
jenis penguasaan lahan tersebut hanya terdapat 5(lima) macam seperti milik, sakap/bagi hasil, sewa, gadai dan numpang namun penguasaan lahan ditingkat petani dapat muncul berbagai kombinasi dari kelima macam status penguasaan lahan tersebut. Semakin mengecilnya tingkat kepemilikan lahan maka akan cenderung semakin terfragmentasi. Dimana lahan yang dikuasai petani pada akhirnya cenderung akan tercerai-berai sebagai akibat adanya hukum waris atau terjadinya proses jual beli tersebut (Lihat: Kasryno et.al., 1979, Makali dan Wiradi (1980), Gunawan M, (1996) dan Winarso B. (1999). Wiradi G., 1996 mengemukakan bahwa munculnya berbagai bentuk penguasaan lahan tersebut merupakan akibat diterapkannya konsep barat mengenai hak atas tanah yang diterapkan sejak tahun 1870. Salah satu illustrasi penguasaan lahan pertanian oleh petani di pedesaan dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah. Keragaan data pada Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa disamping dimungkin berkembangnya rumah tangga tani dengan tingkat penguasaan lahan yang semakin sempit sebagi akibat pewarisan, akibat transaksi jual beli maupun akibat lainnya, maka hal tersebut sangat besar kemungkinannya akan menimbulkan dampak terutama kendala teknis maupun modal dalam
melakukan
membengkaknya
usaha
keberadaan
tani, tenaga
bahkan
dampak
kerja
setengah
lain
adalah
menganggur
semakin ("Disguise
Unimployment") dikawasan tersebut. Dan pada wilayah pedesaan dengan kondisi tingkat pengusaan lahan yang demikian akan muncul banyak tenaga kerja tani yang terpaksa melakukan kerja sampingan baik pada sektor pertanian maupun sektor diluar pertanian. Tabel 2 : Distribusi Penguasaan Lahan Sawah Berdasarkan Klasifikasi Luas Lahan di Desa SukalaksanaWanaraja, Garut Thn 1997 Klasifikasi Penguasaan Lahan
RW 01
(Ha) 0,01 - 0,10 21(51,22) 0,11 - 0,25 11(26,83) 0,26 - 0,50 7(17,07) 0,51 - 1,00 2(4,88) >1,00 0(0,00) Total n (KK) 41(100,00) Total N (KK) 117 Luas lahan sawah 7,13 Rata-rata penguasaan 0,17
RW 02
22(37,29) 23(38,98) 11(18,64) 2(3,39) 1(1,69) 59(100,00) 155 11,21 0,19
RW 03
RW 04
RW 05
TOTAL
14(45,16) 11(35,48) 6(19,35) 0(0,00) 0(0,00) 31(100,00) 75 4,84 0,15
12(42,86) 12(30,00) 81(40,70) 8(28,57) 17(42,50) 70(35,17) 6(21,43) 9(22,50) 39(19,60) 2(7,14) 1(2,50) 7(3,52) 0(0,00) 1(2,50) 2(1,00) 28(100,00) 40(100,00) 199(100,00) 64 83 377 5,37 8,36 39,91 0,19 0,21 0,18
Sumber : Winarso B dan Sawit MH.(1998) Keterangan : - n (KK) adalah total KK(Kepala Keluarga) contoh yang menguasai lahan garapan sawah - N (KK) adalah total populasi (KK) pada masing-masing RW - Angka dalam tanda (..) adalah % terhadap total KK contoh
11
Sementara penguasaan asset produktif lainnya yang bukan lahan seperti ternak, kolam maupun alat-alat pertanian seperti traktor, perontok padi, bajak dan peralatan lainnya, adalah merupakan modal usaha yang dapat menciptakan usahatani lainnya yang umumnya diusahakan oleh petani. Seperti halnya ternak, bahwa asset berupa ternak ini disamping merupakan komoditas yang berfungsi ganda seperti dapat dijual belikan, merupakan "tabungan" yang setiap saat dapat diuangkan, sebagai penyedia input usaha tani pangan disamping merupakan penyedia tenaga (kerbau, sapi, kuda), juga penyedia kompos, bahkan diwilayah tertentu juga dapat memberikan status sosial bagi pemiliknya. Pada intinya ternak disamping dapat memberikan fungsi sosial maupun ekonomi, maka bagi sebagian petani usaha yang menitik beratkan pada asset ternak merupakan andalan pendapatan bagi sebagian keluarga petani. Potensi Tenaga Kerja Keluarga Kondisi sosial ekonomi keluarga dapat dicirikan oleh ukuran jumlah anggota keluarga, komposisi anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab kepala keluarga, sex ratio serta curahan kerja serta pendapatan anggota keluarga. Seperti diketahui bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja merupakan angka perbandingan antara angkatan kerja yang ada dengan jumlah tenaga kerja yang benar-benar aktif bekerja yang dinyatakan dalam prosentase. Berdasarkan Undang-Undang Tenaga Kerja (UUTK) ditentukan bahwa usia kerja tergolong produktif ditentukan antara umur 15 tahun sampai dengan 54 tahun, walau pada kenyataannya menunjukkan bahwa di wilayah pedesaan anak usia 10 tahun telah mampu bekerja dengan baik, baik untuk membantu pekerjaan orang tua seperti menggembala ternak, mencari rumput, ikut memanen disawah maupun kegiatan lainnya. Studi yang dilakukan oleh Susilawati S. et al., (2000), menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria tersebut, ketersediaan tenaga kerja dipedesaan menunjukkan bahwa angka ketergantungan hidup ("Dependency Rasio") di desa persawahan baik dataran tinggi maupun dataran rendah bervariasi antara 57,89 persen sampai dengan 82,44 persen. Tingginya angka tersebut disebabkan oleh struktur usia anggota keluarga antara 1 tahun sampai dengan 14 tahun maupun usia diatas 55 tahun cukup besar. Disamping itu berdasarkan tingkat pendidikan yang ada pada setiap elemen anggota rumah tangga yang dapat dijadikan komponen pokok dalam pemenuhan kebutuhan
12
dasar dalam kategori ekonomi utama, menunjukkan bahwa secara umum masih rendah (Tabel 3). Pendidikan pada dasarnya merupakan sarana utama untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia dalam arti dapat memperkuat daya fisik dan daya intelektual, sehingga mampu meningkatkan kapasitasnya dalam bekerja. Tingginya tingkat pendidikan dapat dijadikan acuan indikasi kapasitas pengetahuan seseorang yang pada akhirnya akan mencerminkan kualitas seseorang. Berdasarkan kriteria tersebut maka data pada tabel 3 menunjukkan bahwa keragaan tingkat pendidikan anggota rumah tangga di pedesaan Jawa-Barat lebih didominasi pada tingkat pendidikan yang masih rendah (6 tahun kebawah), dengan pangsa sebesar 80,52 persen. Ini merupakan suatu indikasi bahwa ketersediaan tenaga kerja didaerah pedesaan masih didominasi oleh tenaga kerja yang mengandalkan fisik. Tabel 3 : Distribusi Anggota Keluarga Berdasarkan Rata-rata Tingkat Pendidikan di Beberapa Desa di Jawa-Barat, Thn 2000. Tingkat pendidikan
Desa Dataran Rendah
a. Tidak Sekolah b. < 6 tahun c. 6 Tahun d. 7 - 9 tahun e. 10- 12 tahun f. 12 tahun g. Total n =
22,82 29,31 26,32 15,89 5,16 0,49 883
Desa Dataran Tinggi 17,20 15,85 38,40 12,95 13,48 1,58 378
Total Rata-rata 20,95 24,83 30,35 14,91 7,94 0,85 1261
Sumber : Susilawati S., et al., (2000) (diolah kembali) Keterangan : - Desa-Desa Dataran rendah diantaranya adalah : Desa Rajasinga, Desa Sampalan, Desa Kelapasawit dan Desa Sodong, masing masing tersebar di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kerawang, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung. Desa-desa dataran tinggi diantaranya adalah Desa Cipanas dan Desa Pagelarang yang masing-masing tersebar di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut.
Sumber Mata Pencaharian Keluarga Ketersediaan sumberdaya manusia merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap pendapatan keluarga yang tentu saja akan bervariasi antara rumah tangga yang satu dengan rumah tangga lainnya, tergantung kondisi dari struktur rumah tangga yang ada pada masing-masing rumah tangga tersebut. Beberapa penyebab tingginya prosentase mata pencaharian utama anggota keluarga diluar sektor pertanian diantaranya adalah Pertama : semakin terbukanya wilayah pedesaan terhadap pusat
13
pertumbuhan ekonomi di perkotaan yang mengakibatkan aksesibilitas antar kedua wilayah tersebut semakin lancar. Kedua : Semakin menyempitnya penguasaan lahan oleh sebagian masyarakat desa sehingga tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga bahkan kondisi petani dengan status “tuna kisma” (petani tanpa memiliki lahan garapan) cenderung semakin meningkat. Ketiga : semakin mengecilnya peluang untuk mendapatkan penghasilan yang bersumber dari sektor pertanian, sebagai contoh semakin terbatasnya kesempatan untuk berburuh tani, kalaupun ada umumnya dengan upah yang relatif rendah, semakin sempit peluang untuk menggarap lahan karena semakin terbatasnya lahan pertanian yang ada yang disebabkan
oleh semakin
berkembangnya jumlah populasi penduduk, sementara pertambahan luas lahan dalam keadaan stagnasi. Ketiga hal pokok tersebut menyebabkan sebagian masyarakat desa tidak lagi mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian, melainkan mulai mengarah ke sektor diluar pertanian. Studi yang dilakukan Susilawati.S ET AL., (Tahun 2000) menunjukkan bahwa aktivitas diluar sektor pertanian seperti industri, jasa bangunan, jasa angkutan, perdagangan maupun aktivitas lainnya, merupakan kegiatankegiatan yang mampu memberikan sumbangan pendapatan bagi sebagian besar anggota rumah tangga, dimana kegiatan-kegiatan tersebut ternyata merupakan sumber mata pencaharian dari 59,32 persen dari responden rumah tangga di pedesaan dataran rendah, sementara untuk wilayah pedesaan dataran tinggi 59,09 persen (Tabel 4). Sebagai contoh meningkatnya peran sektor industri rumah tangga di pedesaan mencerminkan bahwa sebagian masyarakat menyadari bahwa sektor ini mampu memberikan peluang usaha dan peluang pendapatan yang lebih baik. Industri bata merah, industri tahu-tempe, pedang eceran, industri pengolahan makanan dan sejenisnya, buruh bangunan, jasa angkutan seperti ojek dan kegiatan produktif non pertanian lainnya
merupakan kegiatan bisnis yang
banyak di tekuni oleh sebagian
masyarakat pedesaan, terutama mereka yang tidak memiliki lahan. Situasi yang demikian menjadikan semakin tingginya tingkat mobilitas masyarakat pedesaan terutama bagi mereka yang mencari peluang usaha diluar desanya, maupun diluar daerahnya. Hal yang demikian merupakan dampak sebagai akibat bahwa desa tidak lagi mampu menyediakan kesempatan usaha dan kesempatan berusaha disamping tidak lagi mampu menampung kelebihan tenaga kerja.
14
Tabel 4 : Distribusi Anggota Keluarga Menurut Sumber Mata Pencaharian Utama di Desa Contoh Jawa-Barat, Thn 2000. Sumber Mata Pencaharian
Desa Dataran Rendah
- Petani - Buruh Tani - Usaha Industri - Usaha Angkutan - Pedagang - Usaha Jasa - Pekerjaan Industri - Pekerjaan Angkutan - Pekerjaan Bangunan - Pekerjaan Penjualan - Pekerjaan Jasa - Profesional - Total n =
27,88 12,80 11,67 0,25 13,88 1,94 6,10 5,77 2,57 2,49 11,11 3,53 435
Desa Dataran Tinggi 32,13 8,78 3,12 0,46 21,15 0,54 2,95 7,63 5,59 1,94 5,83 9,88 199
Rata-rata Desa 29,38 11,48 8,82 0,33 16,30 1,48 5,07 6,39 3,58 2,25 9,36 5,65 634
Sumber : Soesilawati, dkk (2000) (diolah kembali). Catatan : Curahan jam kerja keluarga berdasarkan jenis kegiatan di sektor pertanian maupun non pertanian adalah sebagai berikut : - Curahan jam kerja di bidang Pertanian : - Usaha tani 15,33 % - Buruh tani 6,36 % - Curahan jam kerja usaha non pertanian : - Dagang 26,47 % - Industri 11,90 % - Angkutan 11,67 % - Curahan jam kerja buruh non pertanian : - Buruh 13,01 % - Karyawan 15,24 - Total Jam kerja tercurahkan selama satu tahun = 3009 jam
Pembangunan pedesaan pada dasarnya merupakan upaya untuk membuka kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan kearah peningkatan produktivitas kerja, partisipasi kerja dan kesejahteraan masyarakat yang lebih meningkat dan merata. Namun demikian dampak pembangunan ekonomi
senantiasa diikuti adanya
transformasi tenaga kerja dari pertanian ke non pertanian, karena sektor lain diluar pertanian sering diasumsikan lebih menjanjikan.
KESIMPULAN Pada periode sebelum krisis ekonomi/moneter, keragaan ketenaga kerjaan di Indonesia diwarnai oleh laju pertumbuhan yang negatif untuk tenaga kerja yang bergerak dibidang pertanian, sementara laju pertumbuhan tenaga kerja yang bergerak diluar sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang cukup positif. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya aktivitas perekonomian nasional terutama dibidang industri, pariwisata, perdagangan dan sektor lainnya yang membawa akibat meningkatnya
15
permintaan akan tenaga kerja yang sebagian diisi oleh tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian. Rendahnya skala penguasaan lahan dan penguasaan asset-asset produktif lainnya menyebabkan alokasi tenaga kerja keluarga untuk menangani usahatani milik sendiri semakin terbatas. Di sisi lain penawaran tenaga kerja pertanian di pedesaan yang tidak sepenuhnya dapat terserap sebagai akibat berkembangnya teknologi yang lebih menekankan efisiensi penggunaan tenaga kerja dan semakin terbatasnya peluang kerja di bidang pertanian menjadikan pekerjaan sampingan dalam bidang pertanian maupun diluar pertanian menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Kegiatan di luar pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar anggota keluarga masyarakat di pedesaan, ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian bukan lagi merupakan sumber mata pencaharian yang dapat diharapkan bagi sebagian masyarakat di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya migrasi tenaga kerja pertanian ke luar sektor pertanian. Yang menjadi masalah adalah bahwa dengan adanya krisis ekonomi moneter membawa dampak arus balik tenaga kerja ke desa sebagai akibat permintaan tenaga kerja di luar sektor pertanian yang semakin melemah. Ironisnya tidak semua tenaga kerja yang kembali ke desa tersebut mampu dan mau bekerja di bidang pertanian dengan berbagai sebab. Tidak ada jalan lain kecuali mengembalikan kondisi ekonomi seperti semula sebelum adanya krisis ekonomi/moneter.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik (1991 - 2000) , Indonesia Dalam Angka Gunawan M., dan Erwidodo, (1996); Urbanisasi Temporer di Jawa-Barat. Monograph Series No. 4 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian - Bogor. Kasryino F., Makali, Djoko Kustiono, Ratna Asih, dan Sumaralin SR., (1979) Aspek Ekonomi Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris. Survey Agro EkonomiPusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian - Bogor. Makali dan Wiradi G. (1980); Pranata Sosial dalam Pembangunan Pertanian, Masalah Pola Penguasaan Tanah; Survey Agro Ekonomi, Pusat Penelitian Agro EkonomBogor Manning C. dan Papayungan M. (1985); Analisa Ketenagakerjaan di Indonesia; Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gajahmada 16
Nurmanaf R., Bagio AS., Suhaeti RN., dan Sugiarto, (2000); Dampak krisis Ekonomi Terhadap Struktur Pasar Tenaga Kerja di Pedesaan; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian - Bogor. Sumaryanto 1999; Perubahan Penguasaan Asset, Tenaga kerja dan Teknologi pedesaan; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian - Bogor 8. S wati S. et al., (2000); Studi Dinamika Pedesaan; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian - Bogor. Winarso B. dan Sawit MH., (1998); Status Penguasaan Lahan Kaitannya dengan Upaya Kegiatan Konservasi Tanah di Tingkat Petani di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu; dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat - Bogor. Winarso B., (1999); Kajian Sosial Ekonomi Usahatani di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu); Lokakarya Nasional Alternatif Teknologi Konservasi Tanah; Pusat Penelitan Tanah dan Agroklimat - Bogor.
17