ICASERD WORKING PAPER No. 46
INDIKATOR PENENTU, KARAKTERISTIK, DAN KELEMBAGAAN JARINGAN DETEKSI DINI TENTANG KERAWANAN PANGAN Handewi P.S. Rachman Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 46
INDIKATOR PENENTU, KARAKTERISTIK, DAN KELEMBAGAAN JARINGAN DETEKSI DINI TENTANG KERAWANAN PANGAN Handewi P.S. Rachman Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari, M. Rahmat Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail :
[email protected] No. Dok.058.46.04.04
INDIKATOR PENENTU, KARAKTERISTIK, DAN KELEMBAGAAN JARINGAN DETEKSI DINI TENTANG KERAWANAN PANGAN Handewi P.S. Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk melakukan (1) identifikasi wilayah rawan pangan, (2) karakteristik wilayah rawan pangan dan upaya penanganannya, dan (3) kelembagaan sistem jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan. Bahan kajian bersumber dari hasil penelitian dan kajian dari penelitian terdahulu serta berbagai dokumen serta makalah yang terkait dengan topik bahasan. Secara empiris, identifikasi penduduk rawan pangan di suatu wilayah digunakan dua pendekatan yang saling mengisi yaitu: (1) menghitung jumlah penduduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan dari data ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi penduduk di masing-masing wilayah (negara), jumlah tersebut dikategorikan sebagai undernourishment, dan (2) menghitung jumlah penduduk yang tergolong undernutrition yang didasarkan pada data umur, berat badan dan tinggi seseorang terhadap kebutuhan konsumsi pangan. Salah satu kegiatan atau wewenang minimal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi adalah melaksanakan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Oleh karena itu, desentralisasi akan menuntut pemerintah daerah untuk lebih berperan dalam mengambil kebijakan dalam bidang ketahanan pangan di masa yang akan datang. Kata Kunci : rawan pangan, sistem kewaspadaan pangan dan gizi
PENDAHULUAN Kerawanan pangan di tingkat wilayah maupun tingkat rumahtangga/individu merupakan
kondisi
tidak
tercapainya
ketahanan
pangan
di
tingkat
wilayah,
rumahtangga/individu. Oleh karena itu membahas kerawanan pangan tidak terlepas dengan konsep ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security secara luas diartikan sebagai terjaminnya akses pangan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya agar dapat hidup sehat dan beraktivitas. Membahas ketahanan pangan (dan juga kerawanan pangan) pada dasarnya juga membahas hal-hal yang menyebabkan orang tidak tercukupi kebutuhan pangannya. Tidak tercukupinya kebutuhan pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, distribusi, dan akses terhadap pangan. Hasil penelitian sebelumnya (Saliem, et al., 2001) menunjukkan bahwa tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Hal ini ditunjukkan adanya fakta bahwa walaupun di empat provinsi penelitian (Lampung, D.I Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara) tergolong provinsi dengan status tahan pangan terjamin, namun di masing-masing 1
provinsi masih ditemukan proporsi rumahtangga rawan pangan berkisar 22-30 persen. Selain itu ditemukan pula bahwa tidak terpenuhinya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga bukan disebabkan oleh faktor ketersediaan pangan, namun lebih disebabkan oleh aspek distribusi dan daya beli. Faktor distribusi antara lain dipenuhi oleh tersedianya sarana dan prasarana jalan, transportasi, biaya angkut serta kelancaran arus lalu lintas termasuk didalamnya biaya yang terkait dengan kelancaran tersebut. Sementara itu faktor daya beli sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan hargaharga komoditas pangan. Uraian berikut bertujuan untuk melakukan review pustaka tentang: (1) identifikasi dan pemetaan wilayah rawan pangan, (2) karakteristik wilayah rawan pangan dan upaya penanganannya, dan (3) kelembagaan sistem jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan. Bahan kajian bersumber dari hasil penelitian dan kajian dari penelitian terdahulu serta berbagai dokumen serta makalah yang terkait dengan topik bahasan. IDENTIFIKASI WILAYAH RAWAN PANGAN Identifikasi (dan pemetaan) wilayah rawan pangan umumnya bertujuan untuk mengetahui situasi pangan wilayah agar dapat dilakukan tindakan intervensi dan penanganan wilayah yang termasuk kategori rawan pangan. Identifikasi wilayah rawan pangan terkait dengan upaya mengidentifikasi dan menentukan atau menghitung jumlah penduduk yang rawan pangan di suatu wilayah. Terkait dengan upaya ini lembaga pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization, FAO) secara berkala melakukan studi untuk mengkaji perkembangan wilayah rawan pangan dan jumlah penduduk rawan pangan di berbagai negara (FAO, 1999). Kegiatan tersebut terkait dengan hasil kesepakatan para pemimpin negara di dunia pada Word Food Summit 1996 untuk menurunkan separuh (50 %) jumlah penduduk dunia yang kurang gizi (rawan pangan) pada tahun 2015. Metode mengidentifikasi dan menghitung penduduk rawan pangan (chronic food insecurity) yang digunakan oleh FAO (1999) adalah mengestimasi jumlah penduduk di suatu negara (dan dunia) yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan (diukur dengan jumlah kalori yang dikonsumsi) sesuai kebutuhan normatif kesehatan agar seseorang dapat hidup sehat dan beraktivitas sehari-hari. Dalam perhitungan empiris, identifikasi tersebut menggunakan dua pendekatan analitik yang berbeda namun saling mengisi (komplemen) yaitu: (1) menghitung jumlah penduduk yang tidak dapat memenuhi 2
kebutuhan pangan dari data ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi penduduk di masing-masing negara, jumlah tersebut dikategorikan sebagai undernourishment, dan (2) menghitung jumlah penduduk yang tergolong undernutrition yang didasarkan pada data umur, berat badan dan tinggi seseorang terhadap kebutuhan konsumsi pangan. Kedua pendekatan tersebut pada dasarnya menggunakan pendekatan yang sama yaitu memperhitungkan asupan pangan (dan gizi) atau food intake. Mengidentifikasi wilayah rawan pangan dapat dikatakan identik dengan mengidentifikasi wilayah miskin. Di Indonesia, identifikasi dan karakteristik wilayah miskin telah banyak dilakukan dan kajian tersebut mengemuka di awal tahun 1990 an di mana pada saat itu program priositas nasional diarahkan pada program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan. Dalam kaitan ini, selama tiga tahun berturut-turut Badan Litbang Pertanian mendapat tugas melaksanakan kajian identifikasi wilayah miskin dan upaya penanggulangannya di 27 provinsi di Indonesia serta melakukan evaluasi berbagai
program
lingkup
Departemen
Pertanian
yang
terkait
dengan
upaya
penanggulangan kemiskinan. Metoda yang digunakan Badan Litbang Pertanian untuk mengidentifikasi wilayah miskin (rawan pangan) adalah dengan menelaah berbagai karakteristik wilayah yang diduga menjadi penyebab suatu wilayah tergolong miskin. Berbagai karakteristik yang diidentifikasi tersebut adalah aspek sumberdaya alam, teknologi, sumberdaya manusia, dan sarana/prasarana dan kelembagaan yang ada di suatu wilayah (Puslit Sosek Pertanian, 1991, Puslit Sosek Pertanian 1992, dan Puslit Sosek Pertanian 1993). Beberapa temuan penting dari studi yang dilakukan Badan Litbang Pertanian tersebut adalah bahwa karakteristik suatu wilayah tergolong miskin adalah: (1) sumberdaya alam: lahan kurang subur, pendayagunaan lahan tidak optimal, dan adanya degradasi lahan, (2) teknologi: adopsi teknologi rendah, ketersediaan sarana produksi terbatas, adanya serangan hama/penyakit, (3) sumberdaya manusia: tingkat pendidikan rendah, produktivitas tenaga kerja rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah, lapangan pekerjaan terbatas, dan adanya tradisi atau adat istiadat yang menghambat, dan (4) sarana, prasarana, dan kelembagaan: daerah terisolir, modal terbatas, kelembagaan
catur
sarana
produksi
pertanian
tidak
berfungsi
maksimal,
pemilikan/penguasaan lahan sempit, sistem bagi hasil tidak adil, dan tingkat upah yang rendah.
3
Selain itu identifikasi wilayah miskin dilakukan pula oleh Departemen Dalam Negeri
dalam
hal
ini
oleh
Ditjen
Bangda
yang
melakukan
identifikasi
dan
mengklasifikasikan desa-desa dan kecamatan miskin di seluruh Indonesia (Anonimous, 1990). Pada dasarnya identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan untuk menentukan desa IDT (Inpres Desa Tertinggal) mencakup berbagai aspek mulai dari aspek keamanan, sosial, politik, dan sarana prasarana yang tersedia di desa tersebut. Departemen Kesehatan bersama dengan Departemen Pertanian dan BKKBN juga telah melakukan kegiatan yang terkait dengan identifikasi wilayah rawan pangan dalam kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) (Anonimus, 2000). Kegiatan SKPG dimaksud untuk mendeteksi secara dini wilayah yang mempunyai risiko rawan pangan dan mengantisipasi tindakan atau intervensi yang perlu dilakukan oleh Pemda dan atau masyarakat setempat. Indikator yang digunakan dalam menentukan wilayah rawan pangan dari kegiatan SKPG ini adalah: (1) sektor pertanian: proporsi areal puso dari tanaman padi, (2) sektor kesehatan: proporsi atau prevalensi KEP (kurang energi protein) dari anak balita, dan (3) BKKBN: proporsi keluarga miskin (prasejahtera dan sejahtera I). Unit analisis wilayah dalam kegiatan ini adalah tingkat kecamatan. Setiap
tahun
Departemen
Kesehatan
melalui
kegiatan
SKPG
tersebut
telah
mengidentifikasi dan memetakan wilayah rawan pangan nasional yang dipilah menurut provinsi dan kabupaten dengan peta sampai tingkat kecamatan (Anonimus, 2000). Dari indikator yang digunakan dalam SKPG tersebut terlihat bahwa indikator dari sektor pertanian sangat terbatas. Oleh karena itu pengembangan dan uji coba metoda identifikasi wilayah rawan pangan dengan menggunakan indikator yang lebih beragam dan mencerminkan kondisi pertanian dan perekonomian wilayah secara lebih holistik diharapkan menjadi masukan bagi pengambil kebijakan di bidang pangan dan gizi. KARAKTERISTIK WILAYAH RAWAN PANGAN DAN UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kemiskinan dan rawan pangan. Hubungan kedua hal tersebut bersifat timbal balik, kemiskinan menyebabkan rawan pangan atau rawan pangan disebabkan oleh kemiskinan. Karena sifat hubungan yang seperti tersebut di atas, maka dalam penulisan berikut istilah rawan pangan dianggap sama atau identik dengan kemiskinan. 4
Sumberdaya lahan dan lingkungan hidup merupakan sumberdaya alam yang sangat fragile, mudah rusak, dan bersifat semi renewable. Apabila pemeliharaannya baik dan benar, sumberdaya lahan dan lingkungan akan bersifat renewable atau dapat diperbaharui, namun bila pengelolaannya salah, akan sangat sulit dan mahal untuk memperbaikinya (Kasryno, 1998). Selanjutnya juga dikatakan bahwa pada sisi penyediaan pangan terdapat kendala yang antara lain adalah: (1) lahan pertanian subur berubah fungsi untuk kegiatan non-pertanian tanpa penggantian lahan dengan luas dan kesuburan sepadan dan (2) kualitas sumberdaya pertanian yang berupa sumberdaya manusia, modal usaha, lahan, hara, air dan bahan makanan semakin menurun mutunya. Secara lebih spesifik dikatakan oleh Soekartawi dan Anindito (1994) bahwa golongan miskin di pedesaan adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah yang terisolasi dengan kondisi sumberdaya alam dan manusia yang kurang menguntungkan. Akibat keterbatasan ini maka produktivitas pertanian dan tenaga kerjanya relatif rendah. Akibat selanjutnya adalah pendapatan rumahtangga relatif rendah. Raharto, A. dan Romdiati (2001) mengemukakan bahwa untuk mengetahui kemiskinan tingkat wilayah dapat menggunakan indikasi sebagai berikut: (1) indikator ekonomi, yang terdiri dari akses terhadap sumber-sumber (akses terhadap pekerjaan berupah dan terhadap lahan pertanian) dan akses pada prasarana dan sarana ekonomi (transportasi umum, listrik, pasar, pelayanan finansial/bank), dan (2) indikator sosial, terdiri dari: (a) akses terhadap fasilitas pendidikan; (b) akses terhadap fasilitas kesehatan (Puskesmas, air bersih) dan (c) akses terhadap fasilitas informasi dan komunikasi (akses terhadap radio/TV, kantor pos, telepon). Sementara itu, Sumarwan dan Sukandar (1998) mengidentifikasi peubah yang nyata menentukan wilayah rawan yaitu kemampuan produksi pangan (padi, jagung, jagung, ubikayu, ubijalar), PDRB dan curah hujan. Dengan menggunakan indikator tersebut Sumarwan dan Sukandar (1998) memetakan wilayah rawan pangan di Indonesia dengan menggunakan data Susenas tahun 1996. Puslit Sosek Pertanian (1991) melakukan kajian identifikasi wilayah miskin di Indonesia. Hasil identifikasi penyebab kemiskinan dikelompokkan menurut: (1) sumber daya alam; (2) teknologi; (3) sumberdaya manusia; (4) prasarana dan permodalan; dan (5) kelembagaan. Dari kelompok sumberdaya alam, penyebab kemiskinan yang menonjol adalah lahan kurang subur, rawan erosi dan daerah kawasan hutan 5
kesepakatan yang tidak boleh dikonversi sebagai daerah produksi. Dari sisi teknologi, masih rendahnya pengenalan dan penerapan teknologi terutama teknologi produksi usahatani merupakan penyebab kemiskinan. Penyebab kemiskinan dari kelompok sumberdaya manusia adalah tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan dengan produktivitas tenaga kerja rendah. Rendahnya produktivitas ini juga berhubungan dengan adanya tradisi tingkah laku masyarakat setempat yang menghambat seperti budaya subsisten dan cepat puas. Tidak ada motivasi ekonomi masyarakat sebagai akibat kondisi daerah yang tertutup dengan prasarana dan arus informasi yang terbatas. Kondisi wilayah yang terisolir juga merupakan ciri daerah miskin. Dengan kondisi daerah tersebut maka prasarana transportasi dan arus informasi menjadi terbatas dan ini juga mempunyai kaitan dengan faktor lain seperti rendahnya fasilitas pendidikan, pelayanan, dan permodalan. Dari sisi kelembagaan, penyebab kemiskinan adalah kurang berfungsinya lembaga pelayanan produksi, adanya sistem ijon dan bagi hasil yang merugikan petani/nelayan dan sistem pengupahan yang rendah. Sudah banyak program/proyek yang dilakukan oleh pemerintah dan mungkin swasta/LSM untuk menanggulangi wilayah miskin/rawan pangan. Program-program ini berada di masing-masing departemen yang kegiatannya disesuaikan dengan tugas dan wewenang departemen. Seperti program IDT, pemerintah menyediakan bantuan program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal yang dilaksanakan langsung oleh masyarakat desa melalui LKMD. Program ini bertujuan untuk mempermudah pengembangan usaha melalui pembangunan program jalan, jembatan, air bersih dan sarana MCK atau fasilitas lain sesuai kebutuhan desa. Program terbaru, yang dicetuskan saat terjadinya krisis (PDM-DKE), selain memberikan kredit bergulir, juga perbaikan fasilitas-fasilitas umum (Irawan, dan Romdiati, 2000). Khusus di bidang pertanian, program pembangunan pertanian terutama di lahan kering dan marjinal harus mendapat prioritas. Selain menyangkut peningkatan teknologi pertanian,
penanggulangan
kemiskinan
di
wilayah
marjinal
juga
mencakup
pembangunan infrastruktur, kelembagaan sosial-ekonomi dan sumberdaya manusia (Puslit Sosek Pertanian, 1991).
6
KELEMBAGAAN SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI Salah satu kegiatan untuk memantau situasi pangan dan gizi penduduk adalah melalui sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Istilah kewaspadaan gizi berasal dari nutritional surveillance yang kemudian diterjemahkan menjadi kewaspadaan pangan dan gizi. Kegiatan kewaspadaan (surveillance) ini bukan merupakan kegiatan tersendiri, tetapi suatu sarana pelengkap penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan di dalam bidang pangan dan gizi. Kewaspadaan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mampu memberikan informasi yang tepat waktu untuk mengatasi terjadinya bencana gizi (nutritional disasters) dan cara-cara memantau perkembangan keadaan dalam situasi kronis (Suhardjo dan Khumaidi, 1992). Lebih lanjut diungkapkan bahwa kewaspadaan berperan dalam menyediakan informasi tentang situasi pangan dan gizi penduduk serta berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pada dasarnya kewaspadaan pangan dan gizi merupakan suatu proses berkelanjutan (continous) yang mempunyai beberapa tujuan khusus yakni: 1. Menentukan status gizi penduduk dengan merujuk secara khusus pada kelompok penduduk yang diketahui sedang dalam keadaan menderita (at risk). Penentuan situasi gizi tersebut meliputi keadaan dan luasnya masalah gizi yang ada dan gambaran tentang pasang surutnya kejadian. 2. Menyediakan informasi yang dapat dipergunakan untuk menganalisis tentang sebabsebab dan berbagai faktor terkait. Hasil kajian tersebut diperlukan untuk mencari pilihan dalam menentukan kebijaksanaan upaya pencegahan. 3. Menyediakan informasi bagi pemerintah untuk menentukan prioritas yang sesuai dengan tersedianya sumberdaya dalam memperbaiki status gizi penduduk baik dalam situasi normal maupun darurat. 4. Melakukan prakiraan tentang perkembangan masalah gizi yang akan datang berdasarkan analisis perkembangan (trend) yang telah dan sedang terjadi. Prakiraan tersebut dilengkapi dengan informasi tentang potensi kemampuan dan sumberdaya yang tersedia untuk upaya penanggulangannya. 5. Melakukan pemantauan (monitoring) berbagai program pangan dan gizi serta menilai bagaimana keefektifan berbagai program tersebut.
7
Berkaitan dengan permasalahan pangan dan gizi, tipe informasi yang kemudian dapat menghasilkan indikator, dapat dikelompokkan berdasarkan urutan penyebabnya sebagai berikut: Tingkat A: Ekologi: meteorologi, tanah air, vegetasi, animalitas, demografi antrografi; Infrastruktur (prasarana): perhubungan, badan-badan pelayanan masyarakat; Tingkat B: Produksi dan sumberdaya: tanaman pangan, peternakan, perikanan, ekspor dan impor pangan, cadangan pangan, bahan bakar (energi). Tingkat C: Pendapatan dan konsumsi: pasar, lapangan kerja, pendapatan, konsumsi pangan termasuk kuantitas dan kualitasnya. Tingkat D: Status kesehatan: status gizi, pola penyakit. Informasi yang penting untuk merancang suatu sistem kewaspadaan gizi harus dipilih berdasarkan jawaban pertanyaan berikut: a. Ada masalah pangan dan gizi apa ? b. Siapa yang menderita, di mana, kapan dan mengapa sampai menderita. c. Data dan sumbernya: apa dan di mana tersedia untuk dapat dipakai dalam kewaspadaan. Sebenarnya, sejak awal tahun 1980-an telah dikembangkan suatu sistem yang bisa digunakan untuk mewaspadai masalah pangan dan gizi yaitu sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI). Namun pelaksanaannya masih terbatas. Pada saat itu, Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) lebih diarahkan untuk mencegah dan mendukung perencanaan penanggulangan masalah pangan dan gizi jangka panjang. Dalam perkembangannya istilah SIDI diganti dengan Sistem Isyarat Tepat Waktu dan Intervensi (SITWI) yang merupakan terjemahan bebas dari istilah dalam Bahasa Inggeris: Timely Warning Information and Intervention System (TWIIS). Kata tepat waktu (timely) dianggap lebih tepat daripada dini (early) karena kata dini memberikan konotasi yang sangat relatif. Sebaliknya kata tepat waktu memiliki arti yang jelas dalam kaitannya dengan efisiensi dan keefektifan tindakan intervensi. Namun demikian, istilah SIDI masih tetap digunakan dalam pengembangannya di Indonesia karena sudah terlanjur masuk dalam kesepakatan politis, meskipun secara teknis lebih tepat SITWI. Untuk meningkatkan kembali peranan SKPG guna mewaspadai timbulnya ancaman kerawanan pangan dan gizi serta menanggulangi kejadian kelaparan dan gizi buruk, maka pemerintah melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) melakukan 8
revitalisasi SKPG di seluruh kabupaten/kota. Kegiatan tersebut merupakan serangkaian kegiatan penyempurnaan dan pemantapan pelaksanaan SKPG. Hal di atas sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa salah satu kegiatan atau wewenang minimal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi adalah melaksanakan SKPG. Oleh karena itu, desentralisasi akan menuntut pemerintah daerah untuk lebih berperan dalam mengambil kebijakan dalam bidang ketahanan pangan di masa yang akan datang. Beberapa kegiatan sistem deteksi dini rawan pangan dan gizi adalah sebagai berikut (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2001). 1. Pengumpulan, pengolahan dan analisis data meliputi: (a) pemetaan kecamatan rawan pangan dan gizi; (b) peramalan ketersediaan pangan pokok dan status gizi dan (c) pengamatan pola konsumsi, kasus gizi buruk dan indikator lokal. 2. Perumusan kebijakan, perencanaan dan evaluasi: hal yang sangat penting di sini adalah koordinasi antar sektor terkait. 3. Pelaksanaan penanggulangan krisis pangan dan gizi. Luaran yang diharapkan dari sistem di atas adalah: 1. Ketersediaan peta kecamatan rawan pangan dan gizi 2. Ketersediaan ramalan persediaan pangan dan status gizi 3. Diketahuinya perkembangan pola konsumsi dan status gizi. Tabel contoh indikator, kegunaan, sumber data dan frekuensi pengumpulan data menurut kegunaan SKPG (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2001) No. 1.
2.
3.
Dikumpulkan pada tingkat
Frekuensi pengumpulan
• Prevelansi KEP
Kecamatan
1 kali/tahun
PSG
Pemetaan
• % kerusakan
Kecamatan
1 kali/tahun
SP IV
Pemetaan
• % keluarga miskin
Kecamatan
1 kali/tahun
PLKB
Pemetaan
• Produksi pangan
Kecamatan
Bulanan
PPL
• Harga pangan
Kecamatan
Bulanan
BPS
• SKDN
Desa/ kecamatan Desa
Bulanan
Posyandu
Bulanan/ Khusus Bulanan/ Khusus
Keluarga
Indikator
•Perubahan konsumsi pangan • Kasus gizi buruk
Desa 9
Sumber data
Puskesmas
Kegunaan
KESIMPULAN DAN SARAN Tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Hal ini ditunjukkan adanya fakta bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumahtangga rawan pangan. Tidak terpenuhinya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga umumnya bukan disebabkan oleh faktor ketersediaan pangan, namun lebih disebabkan oleh aspek distribusi dan daya beli. Oleh karena itu untuk memantapkan ketahanan pangan rumahtangga diperlukan kebijakan peningkatan dan perbaikan fasilitas infrastruktur untuk kelancaran
distribusi
pangan
dan
perluasan
kesempatan
kerja
yang
mampu
meningkatkan pendapatan dan daya beli rumahtangga untuk lebih akses terhadap pangan. Perhitungan secara empiris untuk identifikasi penduduk rawan pangan di suatu wilayah digunakan dua pendekatan analitik yang saling mengisi (komplemen) yaitu: (1) menghitung jumlah penduduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan dari data ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi penduduk di masing-masing wilayah (negara), jumlah tersebut dikategorikan sebagai undernourishment, dan (2) menghitung jumlah penduduk yang tergolong undernutrition yang didasarkan pada data umur, berat badan dan tinggi seseorang terhadap kebutuhan konsumsi pangan. Mengidentifikasi wilayah rawan pangan dapat dikatakan identik dengan mengidentifikasi wilayah miskin. Di Indonesia, identifikasi dan karakteristik wilayah miskin telah banyak dilakukan dan kajian tersebut mengemukan di awal tahun 1990-an di mana pada saat itu program priositas nasional diarahkan pada program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kemiskinan dan rawan pangan. Hubungan kedua hal tersebut bersifat timbal balik, kemiskinan menyebabkan rawan pangan atau rawan pangan disebabkan oleh kemiskinan. Hasil identifikasi penyebab kemiskinan dikelompokkan ke dalam: (1) sumber daya alam; (2) teknologi; (3) sumberdaya manusia; (4) prasarana dan permodalan; dan (5) kelembagaan. Oleh karena itu untuk menanggulangi kemiskinan dan atau meningkatkan ketahanan pangan kelompok penduduk yang rawan pangan diperlukan kebijakan yang komprehensif menyangkut aspek pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam, 10
penciptaan dan sosialisasi teknologi spesifik lokasi, peningkatan kapabilitas sumberdaya manusia, peningkatan pelayanan dan fasilitas distribusi dan pemasaran, serta pemberdayaan kelembagaan lokal untuk berpartisipasi aktif dalam upaya memantapkan ketahanan pangan. Salah satu kegiatan untuk memantau situasi pangan dan gizi penduduk adalah melalui sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Untuk meningkatkan kembali peranan SKPG guna mewaspadai timbulnya ancaman kerawanan pangan dan gizi serta menanggulangi kejadian kelaparan dan gizi buruk, maka pemerintah melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) melakukan revitalisasi SKPG di seluruh kabupaten/kota melalui serangkaian kegiatan penyempurnaan dan pemantapan pelaksanaan SKPG. Hal di atas sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa salah satu kegiatan atau wewenang minimal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi adalah melaksanakan SKPG. Oleh karena itu, desentralisasi akan menuntut pemerintah daerah untuk lebih berperan dalam mengambil kebijakan dalam bidang ketahanan pangan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1990. Rekap Kecamatan Miskin di Seluruh Indonesia. Direktorat Pembangunan Daerah. Jakarta. Anonimous. 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat. Jakarta. Anonimous. 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2001. Sistem Deteksi Dini Rawan Pangan dan Gizi. Makalah seminar. Pertemuan Sinkronisasi dan Sosialisasi Ketahanan Pangan. Bandar Lampung, 8-9 Mei 2001. F.A.O. World Food Summit, FAO. Rome. F.A.O. 1999. Food Insecurity: When People Must Live with Hunger and Fear Starvation. The State of Food Insecurity in the World. FAO. Rome. Irawan, P.B. dan H. Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. WKNPG, LIPI. Jakarta. Kasryno, F. 1998. Pemanfaatan dan Pengolahan Sumberdaya Pangan dan Lingkungan Hidup serta Ketersediaan Iptek Pertanian untuk Mendukung Pembangunan Pangan dan Gizi Nasional yang Berkelanjutan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, LIPI. Jakarta. 11
Proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi Pusat. 1999. Informasi Pangan dan Gizi (Infopagi) Departemen Pertanian. Jakarta. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1991. Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan Alternatif Upaya Penanggulangannya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. ___________________. 1992. Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan Alternatif Upaya Penanggulangannya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. ___________________. 1993. Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan Alternatif Upaya Penanggulangannya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Raharto, A. dan H. Romdiati. 2000. Identifikasi Rumahtangga Miskin. WKNPG VII, LIPI. Jakarta. Saliem, H.P., E.M. Lokollo, M. Ariani, T.B. Purwantini, dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Laporan Penelitian Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Soehardjo dan M. Khumaidi. 1992. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sumarwan, U dan D. Sukandar. 1998. Identifikasi Indikator dan Variabel serta Kelompok Sasaran dan Wilayah Rawan Pangan Nasional. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB bekerjasama dengan UNICEF dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian, Bogor.
12