ICASERD WORKING PAPER No.16
KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN DAYA SAING KOMODITAS KEDELAI Masdjidin Siregar September 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No.16
KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN DAYA SAING KOMODITAS KEDELAI Masdjidin Siregar September 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai :
[email protected]
No. Dok.027/16/2/03
KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN DAYA SAING KOMODITAS KEDELAI 1 Masdjidin Siregar Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRACT
This objective of this paper is to review soybean trade policy and competitiveness of soybean. Trade policies in the past consisted of (i) floor price, (ii) import tariff, (iii) import volume, and (iv) import price for domestic users. The major objective of the trade policies is to stabilize domestic soybean price at particular levels that would encourage soybean growers to increase production. Among the four policies, only import volume and import price policies can be effective to attain the policy objective. Such policies, however, cannot be implemented in free trade era. The government should not intervene in local soybean marketing since the marketing efficiency has been relatively high. The marketing efficiency can only be raised by improving infrastructure, market information, and other supporting policies such as credits for small traders and farmers. Although soybean has no comparative advantage, it is still financially competitive if the exchange rate at least decreases by 9,2 percent (from Rp.8500/US $), or border price of soybean (CIF) at least increases by 8,5 percent (from US $ 244 / ton), or soybean yield at least increases by 27,4 percent (from 1,5 ton per hektar), ceteris paribus. Key words : trade policy, competitiveness, and efficiency. ABSTRAK
Tujuan makalah ini adalah untuk mereview perubahan kebijakan perdagangan kedelai dan daya saing kedelai. Kebijakan tersebut terdiri dari (i) penetapan harga dasar, (ii) penetapan tarif impor, (iii) pengaturan volume impor dan (iv) penetapan harga kedelai impor untuk pengguna di dalam negeri. Dari keempat instrumen kebijakan tersebut ternyata hanya kebijakan pengaturan volume impor dan penetapan harga jual kedelai impor yang efektif dalam upaya menjaga kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang memberi insentif kepada petani. Tapi kedua kebijakan itu nampaknya tidak dapat lagi dipertahankan dalam menghadapi liberalisasi perdagangan. Campur tangan dalam pemasaran kedelai lokal juga sebaiknya tidak dilakukan karena efisiensi pemasaran kedelai sudah relatif tinggi. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan dengan perbaikan prasarana, penyebaran informasi pasar dan sarana penunjang lainnya seperti pemberian kredit kepada petani dan pedagang kecil. Meskipun kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif, komoditas kedelai masih mempunyai daya saing finansial kalau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 persen (dari Rp.8500/US $), atau harga perbatasan kedelai (CIF) naik 8,5 persen (dari US$244/ton), atau produktivitas kedelai ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen (dari 1,5 ton per hektar), ceteris paribus. Kata kunci : kebijakan perdagangan, dayasaing, dan efisiensi.
1
Makalah ini merupakan pengembangan dari Siregar (2003) yang dimuat dalam SOCA, Vol.3 No.2 2003
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebutuhan terhadap kedelai berupa hasil olahan (seperti tempe, tahu, tauco dan kecap) dan bahan baku pakan ternak yang terus meningkat dari tahun ke tahun. tidak saja karena pertambahan penduduk, tetapi juga karena peningkatan konsumsi perkapita dan pertumbuhan peternakan unggas. Sebagai contoh, konsumsi kedelai per kapita meningkat dari 3,5 kg pada tahun 1970-an menjadi 22,2 kg pada tahun 1993. Ini berarti bahwa peningkatan konsumsi kedelai meningkat sekitar 160 persen dalam periode waktu 13 tahun (Amang dan Sawit, 1996). Konsumsi tempe dan tahu meningkat lebih cepat jika dibandingkan dengan konsumsi produk-produk kedelai lainnya. Karena peningkatan konsumsi kedelai yang begitu pesat dan tidak dapat diimbangi oleh peningkatan produksi kedelai di dalam negeri, maka kesenjangan antara konsumsi dan produksi semakin melebar. Kesenjangan itu ditutup dengan kedelai impor yang banyak menyita devisa. Amang dan Sawit (1996) menyatakan bahwa impor kedelai dan bungkil kedelai pada tahun 1994 saja mencapai US$242 juta atau 30 persen dari nilai impor biji-bijian, sementara pertumbuhan impor kedelai dan bungkil kedelai mencapai 12 persen per tahun. Upaya memperkecil kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai tersebut sebenarnya dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu meningkatkan produksi dalam negeri atau mensubstitusi kedelai dengan produk pertanian lainnya seperti ikan. Tetapi kemungkinan mensubstitusi tempe dan tahu dengan ikan, misalnya, agaknya masih kecil sepanjang harga ikan masih jauh lebih tinggi dari harga tempe dan tahu. Untuk jangka waktu yang relatif lama kedepan, satu-satunya cara untuk mengurangi kesenjangan itu hanya dengan meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Upaya peningkatan produksi kedelai di Indonesia telah banyak dilakukan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. Tetapi kebanyakan lahan yang digunakan untuk tanaman kedelai juga dipergunakan untuk tanaman pangan lainnya seperti jagung dan padi yang produksinya juga perlu ditingkatkan karena kesenjangan antara produksi dan konsumsi di dalam negeri juga terjadi pada komoditas jagung dan padi. Karena itu kajian yang lebih memperkaya pengetahuan tentang berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk menanam kedelai atau tanaman lainnya sangat diperlukan bagi penentuan kebijakan. Salah satu unsur lingkungan strategis dalam pengembangan suatu komoditas pertanian yang perlu diperhatikan adalah libelarisasi perdagangan yang memberikan
2
peluang dan tantangan baru. Liberalisasi perdagangan memberikan peluang baru karena pasar semakin luas sejalan dengan penghapusan berbagai hambatan perdagangan antar negara. Tetapi liberalisasi perdagangan juga akan menimbulkan masalah baru kalau komoditas yang dihasilkan tidak mampu bersaing di pasar dunia. Keberhasilan pengembangan komoditas di suatu wilayah antara lain tergantung pada kemampuan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya. Karena itu maka seperangkat data dan informasi dari hasil penelitian yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sangat dibutuhkan. Tujuan makalah ini adalah untuk mereview perubahan kebijakan perdagangan kedelai dan daya saing kedelai. Kebijakan tersebut terdiri dari (i) penetapan harga dasar, (ii) penetapan tarif impor, (iii) pengaturan volume impor dan (iv) penetapan harga kedelai impor untuk pengguna di dalam negeri. DINAMIKA KEBIJAKAN Instrumen Kebijaksanaan Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan komoditas pertanian. Meskipun istilah perdagangan (trade) lebih sering diartikan sebagai perdagangan antar negara, namun kebijakan perdagangan (trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu,
kebijakan
perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga karena harga sering menjadi sasaran penting dari kebijakan perdagangan. Tujuan
kebijakan perdagangan komoditas pertanian dapat berbeda-beda
tergantung pada jenis komoditasnya. Kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan nontarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Sebaliknya, kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah. Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan sebagai berikut: (i) meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; (v) menjaga kestabilan politik; dan (vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan
3
ekonomi secara efisien (lihat Tomek dan Robinson, 1972; Timmer, Falcon dan Pearson, 1983). Sejak Pelita I pemerintah menggunakan berbagai instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berbagai kebijakan mengalami perkembangan dan telah berdampak terhadap keragaan ekonomi berbagai komoditas pertanian. Untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, tarif, volume impor, dan stabilisasi harga dalam negeri. Karena itu fokus pambahasan selanjutnya lebih ditekankan pada keempat aspek tersebut.
Kebijakan Harga Dasar Kebijakan harga dasar kedelai dimulai sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991 dan setiap tahun ditetapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih awal. Seperti terlihat pada Tabel 1, harga dasar kedelai dimulai pada tingkat Rp.210 per kg dan berakhir pada tingkat Rp.500 per kg selama kurun waktu 12 tahun tersebut. Meskipun nilai nominal harga dasar kedelai meningkat, namun nisbah (ratio) harga dasar kedelai terhadap harga dasar gabah kering giling (GKG) hanya meningkat selama tiga tahun pertama, yaitu dari 2,47 sampai 2,57. Kemudian nilai nisbah tersebut menurun sampai 1,43 pada tahun 1987, tapi setelah itu kecenderungannya menjadi tidak jelas sampai tahun 1991. Gambaran nisbah harga dasar kedelai terhadap harga GKG tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah pada mulanya lebih berpihak pada pengembangan kedelai jika dibandingkan dengan padi, tapi kemudian lebih memihak kepada padi dan akhirnya kecenderungannya tidak jelas. Perubahan kecenderungan tersebut nampaknya menggambarkan perubahan perhatian pemerintah terhadap kedelai atau padi dari tahun ke tahun. Tetapi nisbah harga dasar kedelai terhadap harga di tingkat petani memperlihatkan bahwa kebijakan harga dasar kedelai tidak banyak menguntungkan petani. Seperti terlihat pada Tabel.1, nisbah harga dasar kedelai terhadap harga produsen dalam tiga tahun pertama cenderung naik tapi masih lebih kecil dari satu dan kemudian bahkan cenderung menurun sampai mencapai 0,51 pada tahun 1991. Nisbah yang kecil ini menggambarkan bahwa harga di tingkat produsen tidak dipengaruhi oleh harga dasar kedelai karena harga dasar tersebut cenderung semakin menjauh dibawah harga di tingkat produsen.
4
Tabel 1. Nisbah Harga Dasar Kedelai Terhadap Harga Produsen dan Harga Dasar GKG, 1979/80-1991 Tahun
Harga dasar kedelai (HDK) (Rp/kg)
Tanggal berlaku
1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1884/85 1986 1987 1988 1989 1990 1991
210 240 270 280 280 300 300 300 325 370 400 500
1/11/79 1/11/80 1/11/81 1/11/82 1/11/83 1/11/84 1/11/86 1/11/87 1/11/88 1/11/89 1/11/90 3/10/91
Nisbah HDK terhadap HD-GKG*) 2,47 2,53 2,57 2,33 2,07 2,07 1,71 1,43 1,55 1,48 1,48 1,69
Nisbah HDK terhadap harga produsen**) 0,85 0,91 0,95 0,86 0,75 0,81 0,64 0,54 0,52 0,57 0,53 0,51
Sumber : Vademekum Pemasaran 1986-96 (Dirjen TPH, 1997) dan BPS; Keterangan: *) HD-GKG= harga dasar gabah kering giling; **) Diolah.
Untuk mengetahui dasar pertimbangan pemerintah dalam menetapkan harga dasar, Sudaryanto et al., (2000) mencoba menggali dasar pertimbangan tersebut dengan menggunakan metode regresi. Hasil analisis regresi tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah
lebih
mempertimbangkan
nilai
tukar
mata
uang
dan
kurang
mempertimbangkan harga kedelai dunia dalam penetapan harga dasar. Kemudian Siregar (2002) menemukan bahwa penentuan harga dasar kedelai dipengaruhi oleh keputusan pemerintah tentang penentuan harga dasar gabah. Hal ini menarik karena meskipun nisbah harga dasar kedelai terhadap harga gabah cenderung menurun (lihat Tabel 1), namun penentuan harga dasar gabah tetap menjadi bahan pertimbangan utama dalam penentuan harga dasar kedelai. Ini menunjukkan bahwa kebijakan harga dasar pangan dengan maksud memberi insentif kepada petani lebih mengutamakan peningkatan produksi padi daripada peningkatan produksi kedelai. Kebijakan Tarif dan Volume Impor serta Stabilisasi Harga Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pada awal tahun delapan puluhan BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selama 3 tahun (1979/80-1982/83) dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang besar. Pengadaan melalui impor meningkat hingga mencapai 1,1 juta ton pada tahun 1984, tetapi kemudian menurun drastis pada tahun berikutnya dan meningkat lagi sampai mancapai 490,9 ton pada tahun 1991. Sementara itu stok kedelai
5
meningkat terus dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai lokal sekitar 20 persen dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan Purwoto, 1989) tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan baik. Alasannya adalah karena harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal. Karena intervensi BULOG dalam pengadaan kedelai impor, fluktuasi harga kedelai di dalam negeri lebih kecil dari fluktusi harga kedelai internasional. Dalam periode 197290, koefisien variasi harga kedelai di tingkat pedagang besar hanya sekitar 9 persen, sedangkan untuk harga kedelai internasional adalah 34 persen (Sudaryanto et al., 1992). Koefisien variasi harga riil kedelai domestik bahkan lebih kecil lagi yaitu 0,8 persen sementara untuk harga riil kedelai internasional adalah 5,3 persen. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa kebijakan perdagangan kedelai berhasil menstabilkan harga kedelai di dalam negeri. Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-valorem untuk kedelai impor. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 sampai tahun 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2,5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 sampai sekarang. Tarif biasanya menaikkan harga dalam negeri termasuk harga produsen. Tetapi analisis regresi yang dilakukan oleh Sudaryanto et al., (2000) memperlihatkan bahwa harga dalam negeri tidak dipengaruhi oleh tarif. Dengan perkatan lain, kebijakan tarif juga tidak efektif dalam menaikkan harga dalam negeri. Lebih jauh analisis regresi tersebut memperlihatkan bahwa harga produsen dipengaruhi oleh harga paritas dan volume impor kedelai. Selama berlakunya harga dasar kedelai, tarif impor dikenakan 30 persen pada periode 1979-80 dan 10 persen pada periode 1981-91. Pada masing-masing periode tersebut nisbah harga konsumen terhadap harga paritas adalah 1,39 dan 1,67. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa tarif impor tidak efektif karena pada saat tarif impor menurun, nisbah harga konsumen terhadap harga paritas malah meningkat. Dengan perkataan lain konsumen membayar lebih tinggi dari yang seharusnya (Sudaryanto et al., 2000). Penurunan tarif impor berlanjut menjadi 5 persen pada tahun 1994-96, 2,5 persen pada tahun 1997, dan akhirnya ditiadakan sejak tahun 1998. Penurunan tarif impor ini sesuai dengan tuntutan liberalisasi perdagangan, tetapi konsumen dalam negeri masih membayar lebih besar dari yang seharusnya.
6
Selama kurun waktu 1979-91, BULOG relatif berhasil dalam menstabilkan harga di tingkat produsen jika ditinjau dari segi harga kedelai dunia yang lebih bergejolak. Hal ini diperlihatkan oleh koefisien variasi harga produsen sebesar 32,1 persen yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan koefisien variasi harga dunia dalam rupiah sebesar 40,3 persen. Harga konsumen dengan koefisien variasi sebesar 38,7 persen menunjukkan harga konsumen kurang stabil jika dibandingkan dengan harga produsen tapi masih lebih stabil jika dibandingkan dengan harga kedelai dunia dalam rupiah. Harga kedelai dunia dalam dolar cukup stabil dengan koefisien variasi sebesar 10,8 persen. Ketidakstabilan harga kedelai dunia dalam rupiah disebabkan karena koefisien variasi kurs rupiah terhadap dolar cukup besar yaitu 40 persen (Sudaryanto et al., 2000). Berkaitan dengan elastisitas transmisi harga, Erwidodo dan Hadi (1999) memperoleh hasil regresi sebagai berikut. Elastisitas transmisi harga kedelai internasional terhadap harga kedelai pedagang besar pada periode 1986-96 adalah 0,7152 dan elastisitas transmisi harga kedelai pedagang besar terhadap harga kedelai produsen adalah 0,8774. Dalam mengestimasi dampak deregulasi, Erwidodo dan Hadi (1999) menganalisis dampak penghapusan tarif impor kedelai 5 persen pada tahun 1995 (Pakmei) dengan konsep consumer surplus dan producer surplus. Fungsi permintaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga kedelai tingkat pedagang besar, sementara fungsi penyediaan dispesifikasikan
sebagai fungsi
dari harga tingkat
produsen. Analisis tersebut
menyimpulkan bahwa penghapusan tarif akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dinikmati oleh konsumen sebesar Rp. 110,5 milyar. Peningkatan kesejahteraan konsumen tersebut melebihi kehilangan yang dialami oleh produsen sebesar Rp. 55,8 milyar sebagai akibat dari penghapusan tarif impor kedelai. Di pihak pemerintah akan kehilangan Rp. 22,3 milyar sebagai akibat dari penghapusan tarif tersebut. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan keseluruhan adalah Rp. 32,4 milyar. Tetapi analisis regresi yang dilakukan oleh Sudaryanto et al., (2000) memperlihatkan bahwa harga dalam negeri tidak dipengaruhi oleh tarif. Karena kebijakan tarif tidak efektif dalam menaikkan harga dalam negeri, maka peningkatan kesejahteraan sebagai akibat dari penghapusan tarif tersebut mungkin tidak terjadi. Setelah menganalisis data dari Direktorat Binus, Zulham dan Yumm (1996) menyatakan bahwa baik harga kedelai lokal maupun harga kedelai impor pada tingkat pedagang besar relatif stabil dari bulan ke bulan, masing-masing dengan koefisien variasi 3,1 untuk kedelai lokal dan 3,0 untuk kedelai impor. Fluktuasi harga yang kecil tersebut disebabkan karena pemerintah berhasil melaksanakan mekanisme pengendalian harga melalui impor kedelai. Sementara itu nisbah harga kedelai lokal terhadap harga kedelai
7
impor dari bulan ke bulan berada di antara 0,9 dan 1,0, sedangkan nisbah harga produsen kedelai di luar Jawa terhadap harga kedelai di di Jawa sebagai daerah konsumen berada di antara 0,8 dan 0,9. Harga kedelai pada tingkat konsumen dari bulan ke bulan juga tidak berfluktuasi besar. Sebagai contoh, koefisien variasi harga bulanan kedelai di Jawa pada tahun 1994 adalah 5,6 untuk kedelai lokal dan 4,0 untuk kedelai impor. Sementara itu, koefisien variasi harga kedelai lokal pada tingkat produsen di luar Jawa (Sulawesi Selatan, Lampung dan NTB) sebagai daerah produsen tidak jauh berbeda, yaitu 5,9 (lihat Zulham dan Yumm, 1996). Sehubungan dengan efisiensi pemasaran, Rusastra et al., (1992) menyatakan bahwa pemasaran kedelai lokal di Jawa Timur sudah efisien karena marjin pemasaran keseluruhan dari produsen ke konsumen hanya 11 persen, dengan perkataan lain petani memperoleh harga sekitar 89 persen dari harga konsumen. Marjin pemasaran yang relatif rendah ini disebabkan karena fungsi tataniaga yang dilakukan sangat sederhana, yaitu berupa pengangkutan saja. EFISIENSI PEMASARAN DAN DAYA SAING
Pemasaran komoditas pertanian sering dipandang tidak efisien karena distorsi yang diakibatkan oleh struktur pasar. Akan tetapi Hayami, et al., (1987) and Hayami, et al., (1989) menyatakan bahwa efisiensi pemasaran kedelai di daerah produksi kedelai di Garut dan di Lampung sudah efisien dengan alasan bahwa besaran marjin pemasaran dari satu tingkat ke tingkat pemasaran berikutnya hanya dapat diterangkan oleh biaya penanganan dan pengangkutan. Dengan demikian maka efisiensi pemasaran kedelai hanya dapat ditingkatkan apabila ada perbaikan prasarana dan sarana transportasi. Untuk memperkuat kesimpulannya itu Hayami et al., (1987) menambahkan bahwa penerimaan bersih pedagang pada setiap tingkatan hanya mendekati ‘opportunity costs’. Artinya mereka tidak meraup ‘economic rent’ atau keuntungan berlebihan yang biasa ditemukan pada sistem pemasaran yang tidak efisien. Temuan yang hampir sama juga diperlihatkan oleh Rusastra et al., (1992), Zulham et al., (1993), Purwoto et al., (1993) and Purwoto and Sayaka (1992) walaupun mereka menemukan bahwa pedagang kecamatan di beberapa tempat masih memperoleh keutungan yang melebihi ‘normal profit’. Kalau perbedaan marjin pemasaran dapat diterangkan dengan perbedaan biaya transportasi, Hayami et al., (1987) menyarankan agar pemerintah tidak melakukan intervensi dalam pemasaran kedelai lokal karena setiap intervensi justru akan mengurangi
8
efisiensi pemasaran kedelai lokal. Dalam hal ini efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan
kalau
pemerintah
dapat
memperbaiki
infrastuktur
transportasi,
mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan terhadap kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran kedelai. Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang tidak siap dalam menghadapi era liberalisasi perdagangan. Hal ini diperlihatkan oleh Rosegrant et al., (1987), Gonzales et al., (1993) dan Rusastra (1996) dengan kriteria nisbah biaya sumberdaya domestik (DRCR). Seperti diperlihatkan pada Tabel 2, hasil penelitian Rusastra (1996) menunjukkan bahwa produksi kedelai di Jawa tidak memiliki keunggulan komparatif untuk tujuan substitusi impor (IS) atau untuk perdagangan antar daerah (IR), apalagi kalau untuk tujuan ekspor (EP). Usahatani kedelai di luar Jawa memiliki keunggulan komparatif marginal untuk tujuan perdagangan antar daerah (IR) atau substitusi impor (IS) tetapi tidak memiliki keungulan komparatif untuk tujuan ekpor (EP) kecuali di Sulawesi. Dari uraian di atas terlihat bahwa pengembangan kedelai di Indonesia yang memiliki kelayakan ekonomis hanya di luar Jawa, yaitu di wilayah Sumatera, Bali dan Nusra, Sulawesi dan Kalimantan. Tetapi harus diingat bahwa, kecuali di Sulawesi, kelayakan produksi kedelai di luar Jawa masih rentan terhadap penurunan produktivitas sehingga memiliki stabilitas kelayakan yang relatif rendah. Penurunan produktivitas dengan kisaran 3,2-8,1 persen akan menyebabkan usahatani kedelai tidak lagi memiliki keunggulan komparatif. Menyadari hal ini, sebelum tahun 1988 pemerintah berupaya memberikan perlindungan kepada produsen kedelai baik dari segi harga keluaran maupun dan segi harga masukan. Dari segi harga output, pemerintah bahkan pernah memberikan proteksi sangat tinggi. Hal ini terlihat dari kisaran tingkat proteksi nominal (NPR) yang berada di antara 83 persen sampai 188 persen (Purwoto dan Suryana, 1997). Hasil penelitian Rosegrant dkk (1987) dan Gonzales et al., (1993) juga menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap keluaran sangat protektif. Seperti telah dikemukakan di atas, instrumen proteksi utama dalam hal ini adalah penetapan harga kedelai dan pengaturan jumlah impor kedelai yang dilakukan oleh BULOG. Karena keunggulan komparatif merupakan sesuatu yang dinamis maka temuan-temuan ini perlu dikaji ulang terutama setelah subsidi pupuk dan pestisida ditiadakan setelah tahun 1998.
9
Tabel 2. Keunggulan Komparatif dan Struktur Proteksi Usahatani Kedelai Menurut Pola Perdagangan, 1993 Wilayah 1.Jawa . 2.Luar Jawa
Pola perdagangan IR IS EP IR IS EP
a)
b)
DRCR
NPR (%)
IT (%)
EPR (%)
1,78 1,62 1,85 0,97 0,88 1,01c)
187 148 163 121 155 172
-8 - 14 - 11 6 -3 -1
270 190 220 138 170 194
Produktivitas Aktual (kg /ha) 1260 1233 1233 1058 883 1083
Produktivitas utk. DRC=1 (kg/ha) 2065 1916 2108 1024 935 1068
Sumber : Diadaptasi dari Rusastra (1996); a) Tidak termasuk Jawa Barat; b) Hanya untuk Bali dan Nusra; c) DRCR di luar Jawa untuk tujuan ekspor > 1 kecuali untuk Sulawesi = 0,94; Besaran yang tercantum adalah median nilai antar propinsi (di Jawa) atau antar pulau (di luar Jawa).
Untuk melihat daya saing komoditas kedelai setelah penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada tahun 1998, Siregar dan Sumaryanto (2003) melakukan analisis dengan menggunakan kerangka kerja Policy Analysis Matrix (PAM). Hasilnya memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah tidak lagi memihak kepada petani karena koefisien proteksi efektif (EPC) kedelai adalah 0,91 (Tabel 3); artinya nisbah (ratio) nilai tambah finansial terhadap nilai tambah sosial kurang dari satu. Temuan ini dipertegas oleh nilai proteksi nominal terhadap input (NPCI) dan terhadap output (NPCO). Nilai NPCI yang sama dengan 1,12 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input tradable secara umum tidak menguntungkan usahatani kedelai karena petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari harga bayangannya. Dari segi harga output, pemerintah juga tidak memberikan proteksi kepada komoditas kedelai karena nilai proteksi nominal terhadap output (NPCO) ternyata kurang dari satu, yaitu 0,95. Ini berarti bahwa petani menerima harga kedelai yang sedikit lebih rendah dari harga bayangannya. Karena nilai NPCO pada waktu-waktu yang lalu lebih besar dari satu (lihat Purwoto dan Suryana, 1997; Rosegrant et al., 1987; dan Gonzales et al.,1993) maka dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan pemerintah telah berubah dari kebijakan protektif menjadi tidak protektif terhadap output kedelai. Kebijakan pemerintah yang protektif terhadap output kedelai pada waktu yang lalu itu dilaksanakan berupa kebijaksanaan harga dan penetapan jumlah impor kedelai yang dilakukan oleh BULOG.
10
Tabel 3. Koefisien PAM Usahatani Kedelai dan Analisis Sensitivitas, DAS Brantas, 2000.
Keterangan
Transfer Output (OT) (Rp000) Transfer Input (IT) (Rp000) Transfer Faktor (FT) (Rp000) Transfer Bersih (NT) (Rp000) Ratio Biaya Privat (PCR) Biaya Sumberdaya Domestic (DRC) Koefisien Proteksi Nominal (NPC) : a. Untuk Output (NPCO) b. Untuk Input (NPCI) Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Koefisien Keuntungan (PC) Ratio Subsidi bagi Produsen. (SRP)
Yang Berlaku
-123 59 43 -225 1,080 0,968 0,954 1,117 0,915 -2,246 -0,085
Analisis sensitivitas Kurs $ terhadap Rp CIF (US$/Kg) Turun Naik Turun Naik 10% 10% 10% 10% -380 135 -380 135 47 71 59 59 43 44 43 43 -470 20 -482 32 1,080 1,080 1,080 1,080 0,868 1,093 0,864 1,100 0,869 1,092 0,821 -0,496 -0,162
1,056 1,144 1,034 0,887 0,008
0,869 1,117 0,817 -0,477 -0,166
1,056 1,117 1,040 0,829 0,014
Sumber : Siregar dan Sumaryanto (2003)
Tabel 3 memperlihatkan bahwa kalau nilai tukar dolar bayangan terhadap rupiah naik 10 persen, yaitu dari Rp.9.350/US$ menjadi Rp 10.285/US$, maka keunggulan komparatif kedelai juga meningkat yang ditunjukkan oleh nilai DRC yang menurun dari 0,968 menjadi 0,868. Sebaliknya, kalau nilai tukar dolar bayangan terhadap rupiah turun 10 persen, yaitu dari Rp.9.350/US$ menjadi Rp. 8.415/US$, maka keunggulan komparatif kedelai juga menurun yang ditunjukkan oleh kenaikan nilai DRC dari 0,968 menjadi 1,093. Kedua nilai DRC yang terakhir ini masih berada disekitar satu. Pada Tabel 3 juga terlihat bahwa dampak perubahan harga perbatasan kedelai terhadap nilai DRC juga hampir sama dengan dampak perubahan nilai tukar dolar. Dari simulasi ini dapat disimpulkan bahwa daya saing komoditas kedelai di pasar internasional kurang begitu sensitif terhadap perubahan nilai tukar dolar dan perubahan harga perbatasan kedelai.
Titik Impas Produktivitas, Harga Dunia dan Kurs Dolar Di atas telah dikemukakan bahwa usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Pertanyaan selanjutnya adalah pada keadaan yang bagaimana komoditas kedelai masih memiliki daya saing dari segi finansial. Dari sekian banyak determinan, tiga faktor penting yang menentukan daya saing finansial komoditas kedelai adalah harga internasional, nilai tukar mata uang dan produktivitas kedelai. Harga kedelai internasional berpengaruh terhadap daya saing kedelai lokal karena hambatan non-tarif untuk komoditas kedelai sudah tidak ada. Hal ini terlihat dari hasil
11
penelitian terdahulu yang memperlihatkan bahwa elastisitas transmisi harga internasional terhadap harga pedagang besar dan harga pedagang besar terhadap harga produsen berturut-turut adalah 0,72 dan 0,88 (Erwidodo dan Hadi, 1999). Karena itu estimasi titik impas harga internasional yang masih memberikan daya saing terhadap kedelai lokal menjadi relevan. Hasil estimasi Siregar dan Sumaryanto (2003) yang disajikan pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa titik impas harga internasional (CIF) adalah US $ 244 / ton kedelai. Titik impas yang diperoleh ini sekitar 8,5 persen diatas CIF yang berlaku pada tahun 2000. Ini berarti bahwa komoditas kedelai lokal akan memiliki daya saing kalau harga internasional tersebut paling sedikit naik 8,5 persen dari harga CIF yang berlaku, ceteris paribus. Faktor lain yang turut menentukan daya saing finansial komoditas kedelai adalah nilai tukar dolar terhadap rupiah karena perhitungan harga paritas barang-barang tradable baik berupa input (seperti pupuk dan pestisida) maupun berupa output (komoditas kedelai) dimulai dengan mengkonversikan harga-harga CIF atau FOB kedalam rupiah. Estimasi yang dilakukan Siregar dan Sumaryanto (2003) yang hasilnya disajikan pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa komoditas kedelai akan mempunyai daya saing finansial kalau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 persen, ceteris paribus. Tabel 4. Titik Impas Produktivitas, Harga Batas (CIF), dan Nilai Tukar Usahatani Kedelai, DAS Brantas, 2000. Nilai tukar Harga CIF Produktivitas (kg/ha)
(US$ / kg)
(Rp. / US$)
Titik Impas
1734
0,244
7765
Kenyataan
1361
0,225
8500
Toleransi (%)
27,4
8,5
-9,2
Uraian
Sumber: Siregar dan Sumaryanto (2003)
Keunggulan finansial daya saing kedelai dapat pula ditingkatkan kalau produktivitas kedelai dapat ditingkatkan. Titik impas produktivitas tidak lain dari hasil bagi antara biaya total dengan harga. Dengan rumus ini, Siregar dan Sumaryanto (2003) memperoleh bahwa titik impas produktivitas kedelai adalah sekitar 1,5 ton per hektar (Tabel 4). Ini berarti bahwa kalau faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus) maka produktivitas kedelai harus dapat ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen agar kedelai memiliki daya saing finansial. Sebenarnya tingkat kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit untuk dicapai melalui perbaikan teknologi, misalnya dengan penggunaan benih bermutu dan pupuk berimbang. Peningkatan daya saing kedelai dalam jangka yang relatif
12
panjang dapat dilakukan melalui pengembangan varietas yang selama ini relatif mengalami stagnasi. KESIMPULAN
Tujuan utama kebijakan perdagangan kedelai pada masa yang lalu adalah untuk menjaga kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang cukup memberi insentif kepada petani dalam peningkatan produksi dan sekaligus memberi insentif kepada pengrajin tahu tempe. Dari keempat instrumen kebijakan (penetapan harga dasar, penetapan tarif impor, pengaturan volume impor, dan penetapan harga kedelai impor) ternyata hanya kebijakan pengaturan volume impor dan penetapan harga jual kedelai impor yang efektif dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hal itu. Kebijakan harga dasar yang lalu tidak efektif karena cenderung menjauh dibawah harga produsen sehingga tidak mendorong peningkatan produksi kedelai. Pembelian kedelai lokal oleh BULOG juga tidak meningkatkan produksi karena jumlah yang dibeli kurang dari 1 persen produksi kedelai dalam negeri Karena jumlah kedelai impor hanya sekitar 6-9 persen dari produksi kedelai dalam negeri maka tarif impor tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga kedelai di dalam negeri sehingga tidak efektif sebagai instrumen yang dapat memberi insentif kepada produsen. Ini berarti bahwa peningkatan kesejahteraan yang diestimasi sebagai dampak dari deregulasi (kebijaksaan penghapusan tarif) tidak menjadi kenyataan. Ketidakefektifan tarif impor terlihat pula dari kenyataan bahwa ketika nisbah harga produsen terhadap harga konsumen naik, tarif impor menurun. Ini berarti bahwa tarif impor kedelai tidak memberi insentif kepada produsen. Efisiensi pemasaran kedelai dapat dikatakan efisien karena margin pemasaran kedelai relatif kecil. Ini berarti bahwa efisiensi pemasaran kedelai lokal hanya dapat ditingkatkan dengan perbaikan prasarana dan sarana transportasi dan bukan dengan melakukan campur tangan dalam pemasaran termasuk campur tangan dalam penetapam harga dasar. Setelah penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada tahun 1998, kebijakan pemerintah tidak lagi memihak kepada petani karena petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari harga bayangannya dan menerima harga kedelai yang sedikit lebih rendah dari harga bayangannya. Dari segi finansial, komoditas kedelai akan mempunyai daya saing kalau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 persen (dari Rp.8.500/US $), atau
13
harga perbatasan kedelai (CIF) naik sekitar 8,5 persen (dari US $ 244/ton), atau produktivitas kedelai ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen (dari 1,5 ton per hektar), ceteris paribus. Sebenarnya tingkat kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit untuk dicapai melalui perbaikan teknologi, misalnya dengan penggunaan benih bermutu dan pupuk berimbang. Peningkatan daya saing kedelai dalam jangka yang relatif panjang dapat dilakukan melalui pengembangan varietas yang selama ini relatif mengalami stagnasi. DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. dan M.H. Sawit (1996). Ekonomi Kedelai: Rangkuman dalam: Amang, B., M.H. Sawit, dan A. Rachman (eds). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Erwidodo dan Prayogo U. Hadi, 1999. Effects of Trade on Agriculture in Indonesia: Commodity Aspects. Working Paper 48, October 1999. The CGPRT Centre, Bogor. Gonzales, Leonardo A., Faisal Kasryno, Nocostrato D. Perez, dan Mark W. Rosegrant, 1993. Economic Incentives and Comparative Advantage in Indonesian Food Crop Production. Research Report, International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Hayami, Y., T. Kawagoe, Y. Morooka, and Masdjidin Siregar (1987). Agricultural Marketing and Processing in Upland Java: A Perspective from A Sunda Village. CGPRT No.8. The CGPRT Centre, Bogor. Hayami, Y., T. Kawagoe, Y. Morooka, H. Mayrowani and Mat Syukur (1989). Agricultural Marketing in a Transmigration Area in Sumatra. CGPRT No. 19. The CGPRT Centre, Bogor. Irawan, B. dan A. Purwoto, 1989. Kebijaksanaan Pengolahan Agro Industri dan Mekanisasi Pertanian. Analisis Ekonomi Industri Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di Propinsi Lampung dan Jawa Barat. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor. Purwoto, A. dan B. Sayaka (1992). Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Purwoto, A., B. Winarso, T. Sudaryanto, E. Yosa (1993). Penelitian Agribisnis (Buku I: Kedelai). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Purwoto, Adreng., dan Achmad Suryana, 1997. Keunggulan Komparatif dan Struktur Proteksi Produk Tanaman Pangan dan Peternakan. Pangan, 8(32). Rosegrant, Mark W., Faisal Kasryno, Leonardo A. Gonzales, Chairil Rasahan, dan Yusuf Saefudin, 1987. Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. IFPRI, Washington D.C., dan CASER, Bogor.
14
Rusastra, I.W.; Rusmiati Sayuti dan Chaerul Muslim, 1992. Telahan Aspek Produksi dan Pemasaran Kedelai di Jawa Timur. Forum Agro Ekonomi, 9(2) & 10(1), July 1992. Rusastra. I.W. (1996). Keunggulan Komperative, Struktur Ptroteksi, dan Perdagangan Internasional Kedelai Indonesia. In Amang, B., dan M.H. Sawit (eds.): Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Siregar, M. 2000. Kebijakan Perdagangan Komoditas Kedelai. SOCA, Vol.2, No.3. Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Siregar, M. dan Sumaryanto (2003). Analisis Daya Saing Usahatani Kedelai di DAS Brantas. Monograph. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sudaryanto, Tahlim., Hermanto, Erwidodo, Efendi Pasandaran, dan Mark Rosegrant, 1992. Food Situation and Outlook for Indonesia, CASER Bogor dan IFPRI Washington D.C. Sudaryanto, Tahlim., !.W. Rusastra, A.Djauhari, K. Suradisastra, M. Rachmat, dan A.R. Nurmanaf (2000). Analisis dan Perumusan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Puslit Sosek Pertanian. Bogor. Timmer, C.P., W.P. Falcon dan S.R. Pearson, 1983. Food Policy Analysis. John Hopkins University Press. Baltimore, Maryland. Tomek, W.G. dan K.L. Robinson, 1972. Agricultural Product Prices. Second Edition. Cornell University Press. Zulham, A., N. Syafa’at, Y. Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini (1993). Pola Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Petanian, Bogor. Zulham, A. dan M. Yumm (1996). Pemasaran dan Pembentukan Harga dalam Amang, B., dan M.H. Sawit (eds.): Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press.
15