ICASEPS WORKING PAPER No. 80
KELEMBAGAAN KETENAGAKERJAAN MAPALUS PADA MASYARAKAT MINAHASA
Herlina Tarigan
Juli 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
KELEMBAGAAN KETENAGAKERJAAN MAPALUS PADA MASYARAKAT MINAHASA Herlina Tarigan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Abstract This study aimed at assessing social change in types, functions and potency of mapalus culture of Minahasa community as labor institution in development process. The study used a qualitative approach and the data were analyzed descriptively. Results of the study showed that there were three phases of social changes in mapalus institution. Those changes could be classified into some aspects, i.e. (1) groups establishment principles, (2) membership, (3) forms of groups, (4) applied rules, (5) groups objectives, (6) leaders and (7) exchange. The changes are harmonious reaction against nature and national development programs. Based on characteristics, types, and social capital connecting members, mapalus empowerment is potential to encourage community’s participation in development especially agricultural development. Key words: mapalus institution, social change, social capital, Minahasa community.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sosial budaya mapalus pada masyarakat Minahasa, jenis-jenisnya dan manfaat serta potensinya sebagai lembaga ketenagakerjaan untuk dikembangkan dalam pembangunan. Studi menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami proses dan pemaknaan topik kajian oleh komunitas yang diteliti. Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi tiga fase perubahan sosial lembaga mapalus. Perubahan tersebut bisa dilihat dari beberapa aspek yaitu (1) Dasar pembentukan kelompok, (2) Unit keanggotaan, (3) Bentuk kelompok, (4) Aturan main yang diterapkan, (5) Tujuan berkelompok, (6) Pemimpin dan (7) Pertukaran. Perubahan ini merupakan bentuk reaksi harmoni terhadap alam dan kebijakan program pembangunan yang dilaksanakan secara nasional. Dilihat dari ciri pembentuk, jenis-jenisnya, dan modal sosial yang mengikat antar anggota, pemberdayaan kelembagaan mapalus sangat potensial untuk membangkitkan partisipasi masyarakat dalam mendukung pembangunan khususnya pembangunan pertanian. Kata kunci : kelembagaan mapalus, perubahan sosial, modal social, masyarakat Minahasa
Pendahuluan Setiap komunitas mempunyai konsep ideal mengenai sistem nilai dan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya.
Konsep ini
merupakan pandangan hidup sekaligus menjadi kontrol social masyarakat
dalam
berperilaku. Nilai-nilai yang dikandung merupakan hasil konstruksi sosial yang lama dan panjang.
1
Pada masyarakat Minahasa dikenal konsep mapalus yang sangat terkenal dan menonjol (Muklis dkk, 1995). royong atau bekerjasama.
Secara harafiah mapalus mengandung makna gotong Penerapannya dalam kehidupan masyarakat mencakup
hampir semua pekerjaan, baik dalam kegiatan duka (kemalangan), kegiatan suka (pernikahan, pembabtisan dll), kegiatan pembangunan rumah, maupun kegiatan produksi pertanian. Saling bantu dan kerjasama dibangun dengan konsep resiprositas. Bantuan yang diberikan bisa dalam bentuk materi seperti barang-barang dan uang, maupun immateri seperti tenaga, penghormatan atau penghargaan. Sebagai konsep ideal, mapalus dipandang sebagai kekayaan atau modal sosial yang memiliki potensi besar dalam pembangunan, khususnya pembangunan pertanian. Lekatnya jiwa kerjasama yang diejawantahkan lewat mapalus mengandung energi komunitas yang besar, sehingga sampai saat ini keberadaannya tetap eksis di masyarakat. Persoalan yang mengusik adalah sejauh mana pelaku pembangunan peka terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat dan mengakomodasinya menjadi penggerak pembangunan.
Tulisan ini akan
mencoba mempelajari perubahan social budaya
mapalus pada masyarakat Minahasa dan manfaat serta potensinya sebagai lembaga ketenagakerjaan untuk dikembangkan dalam pembangunan. METODOLOGI Lokasi. Pendekatan dan data penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus-Oktober 2003 dengan mengambil lokasi di Kelurahan Walian, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon, Dan Desa Sampiri, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan multi-metoda pengumpulan data berupa pengamatan langsung dan wawancara mendalam (indepth interview). Informan meliputi petani anggota mapalus, petani pengguna jasa mapalus, tokoh formal dan informal masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh agama dan pemuda tani. Sebagai penelitian kualitatif, kajian memberi penekanan pada proses dan pemaknaan kebudayaan mapalus serta perubahan-perubahan yang terjadi, yang tidak akan diuji secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994). Data penelitian didominasi data kualitatif yang diperoleh dari berbagai sumber langsung maupun melalui literatur hasil penelitian atau kajian sebelumnya. Penggalian
2
dengan teknik wawancara mendalam dilakukan mengingat pentingnya melakukan temu muka berulang dengan responden sebagai proses pemahaman dan konfirmasi terhadap pandangan subjek penelitian mengenai hidupnya, pengalamannya atau situasi sosialnya.
Metoda Analisa Data kualitatif sebagai data utama dianalisis secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. pemilihan,
pemusatan
perhatian
dengan
Reduksi data dicapai dengan
penyederhanaan,
pengabstrakan
dan
transformasi data kasar yang diperoleh dari catatan harian, foto, serta pengamatan di lapangan yang diproses selama penelitian berlangsung (Moleong, 1999). Data disajikan secara deskriptif. Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus hingga ke tingkat yang lebih rinci dan kokoh. HASIL DAN PEMBAHASAN Budaya Mapalus pada Masyarakat Minahasa Pada pengantar materi diskusi panel yang diadakan Yayasan Kebudayaan Minahasa tahun 1993 dikatakan bahwa dari segi sistem sosial, orang Minahasa menganut campuran “pikiran dan hati” orang Barat dan orang Timur.
Disatu pihak
mampu berfikir pragmatis, senang dan mewah, demokratis, tetapi terkadang tampil congkak (biar kalah nasi asal jangan kalah aksi). Dilain pihak cepat terpengaruh, cepat menyesuaikan diri, murah hati dan seringkali boros. Namun demikian, sebagai suatu kesatuan yang majemuk, masyarakat dan nilai-nilai yang dikonstruksikan terpadu secara khas. Pada realitas kehidupan masyarakat Minahasa, konsep ”manusia hidup untuk memanusiakan orang lain”,
muncul dalam wujud etos kerja yang dikenal dengan
mapalus. Mapalus tidak saja dapat dilihat sebagai sumber adat kebiasaan masyarakat tetapi juga asal pelaksanaannya bersendi pada sikap kekeluargaan, musyawarah/ mufakat, kerjasama dan keagamaan.
Prinsip pengelolaan kehidupan mapalus adalah
tolong menolong, keterbukaan, disiplin kelompok, kebersamaan dan dayaguna. Berdasarkan
pengertian
di
atas
maka
mapalus
sebagai
sebuah
lembaga
ketenagakerjaan merupakan salah satu wujud konkrit yang terlihat hidup dan menyatu dalam masyarakat Minahasa. Sebagai sistem etika sekaligus sistem sosial, mapalus
3
semula dikonstruksikan sebagai wahana upaya produksi.
Dalam perjalanan waktu
yang panjang, sebagai suatu proses sosial mapalus berkembang kesemua unsur ekonomi mulai dari
proses produksi sekaligus distribusi dan konsumsi.
Artinya,
pengertian mapalus sebagai sebuah kebudayaan jauh lebih luas dari yang digambarkan dalam bahasan ini.
Mapalus dan Perubahan-Perubahannya Cikal bakal munculnya budaya mapalus dimulai sejak sistem pertanian masyarakat Minahasa masih menganut ladang berpindah.
Jumlah penduduk masih
sedikit dan pemukiman memusat disuatu tempat dengan lahan pertanian di sekitar perkampungan (Graafland, 1987). Pemindahan ladang ke lokasi hutan yang baru, tidak mengambil daerah yang jauh dari lahan sebelumnya.
Oleh karena itu pemukiman
masyarakat tidak mengalami perpindahan. Penduduk umumnya menanam milu (jagung)
dan padi ladang secara
bergantian. Sayur-sayuran dan buah-buahan di tanam disela-sela tanaman utama (diversifikasi tanaman) dengan jarak yang tidak diatur secara khusus.
Jenis milu
maupun padi yang ditanam masih terbatas pada varietas lokal. Pengolahan lahan dan sistem pertanaman menggunakan teknologi yang sederhana dengan peralatan seperti tajak dan pacul.
Penggunaan pupuk dan varietas unggul belum banyak dikenal.
Sebagian masyarakat yang sudah mengenal varietas unggul,
kurang tertarik
menggunakannya karena penanganan usahataninya dipandang rumit. Teknologi yang relatif sederhana menyebabkan kegiatan pembukaan lahan pertanian baru atau pengolahan tanah membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah cukup besar.
Keterbatasan tenaga dalam keluarga menjadi awal penyebab terbentuknya
upaya untuk bekerjasama dan saling tolong menolong antara sesama anggota komunitas. Awalnya, pembentukan kelompok berdasarkan tinggal dekat. keanggotaan kelompok adalah rumah tangga.
Unit
Bentuk kelompok belum berstruktur,
namun terdapat berbagai aturan tak tertulis yang dilandasi rasa kekeluargaan. Berdasarkan sejarah pembentukannya, tujuan berkelompok adalah memudahkan pengerjaan berbagai kegiatan ekonomi maupun sosial yang memerlukan banyak tenaga dalam waktu yang relatif cepat. Secara operasional, kelompok mapalus tidak terbatas mengerjakan pekerjaan pertanian.
Kegiatan seperti mengangkat kayu dari hutan, mendirikan rumah dan
upacara memasuki rumah baru, dikerjakan kelompok tanpa dibayar. Tuan rumah cukup
4
menyediakan makanan dan minuman untuk seluruh anggota yang bekerja. bekerja secara bersama tanpa digerakkan oleh seorang pemimpin.
Mereka
Balas bantu
dilakukan tatkala ada anggota lain mendirikan rumah atau membutuhkan bantuan tenaga. Kelompok mapalus juga bekerjasama mengurus pemakaman, membantu jika ada yang mengalami musibah, berpesta atau peristiwa penting lainnya. Secara moral setiap anggota yang pernah dibantu akan berusaha membantu rekannya kembali. Pada tahapan berikutnya, mapalus mengalami perkembangan lebih efektif dalam kehidupan masyarakat.
Hukum Tua (kini disebut kepala desa) adalah pimpinan
kampung sekaligus pimpinan mapalus yang diakui. Hukum Tua berperan memimpin rapat-rapat atau musyawarah, juga menjadi koordinator dalam mengatur jadwal kegiatan dan pelaksanaan mapalus, melaksanakan hukuman atau sanksi bagi anggota yang melakukan pelanggaran, dan mengatur inventaris kelompok berdasarkan hasil musyawarah. Pada tahap ini, keanggotaan mapalus masih satuan rumah tangga. Kebersamaan dalam mapalus terus berkembang hingga meliputi kegiatan produktif, kegiatan sosial suka dan duka, kegiatan publik maupun moral keagamaan. Setiap kelalaian atau ketidakmampuan dalam mengikuti aturan yang disepakati menjadi hutang yang harus dibayar. Namun pemakaian uang masih sangat terbatas, sehingga pembayaran dilakukan dalam bentuk non uang. Hutang tenaga hanya bisa dibayar dengan tenaga, hutang moral dibayar dengan moral. Sebagai contoh, seseorang yang sudah menerima bantuan tenaga tetapi tidak bisa bekerja pada lahan rekannya, maka ia harus mencari tenaga pengganti yang seimbang kualitas dan kemampuan kerjanya, atau bekerja dilain waktu yang ditentukan oleh pemilik lahan. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran aturan dan nilai yang dianut oleh komunitas, masih bersifat fisik dan mental. Misalnya, ada anggota yang melakukan pencurian barang orang lain (kelapa muda, milu dll), akan diberi sanksi mengelilingi pemukiman dengan berjalan membawa barang curiannya sambil berteriak “ini hasil curianku”. Suatu bentuk sanksi langsung yang seimbang menurut ukuran masyarakat saat itu. Pertambahan penduduk dan masuknya ekonomi pasar ke pedesaan Minahasa telah memberi perubahan struktur dan nilai yang terdapat pada mapalus.
Peran
mapalus dalam kegiatan ekonomi dan sosial semakin menunjukkan perbedaan sekalipun masih dalam prinsip nilai kerjasama dan kekeluargaan.
Pada berbagai
kegiatan seperti membangun rumah, kematian dan pesta, masih dilakukan dalam bentuk gotong royong yang disertai sanksi sosial dengan dampak “rasa malu”.
5
Seseorang yang kurang peduli dengan kegiatan tetangga dalam ketiga bidang di atas akan terhukum dan tersisih dari masyarakatnya. Ada perasaan takut jika saat bersangkutan menghadapi kegiatan yang sama akan diabaikan juga. Pada kegiatan ekonomi, mulai berlaku hitung-hitungan secara kuantitas, misalnya dalam hal pembayaran jam kerja atau luas sempit hasil pekerjaan. Pertambahan penduduk juga merubah frekuensi komunikasi antar warga suatu komunitas.
Komunikasi langsung semakin sulit/jarang sehingga mendorong basis
mapalus menyempit secara teritorial. menyebabkan terjadinya perubahan
Bersamaan dengan itu, tekanan penduduk
struktur pemilikan lahan.
Ada tendensi terjadi
polarisasi meskipun dalam kapasitas yang relatif kecil. Hal ini menyebabkan banyak petani berlahan luas yang bergeser menjadi petani berlahan sempit. Akibatnya, mapalus yang mengambil bentuk sebagai lembaga ketenagakerjaan lebih banyak berkembang dan
menyebabkan perubahan struktur dalam sistem sosial masyarakat khususnya
pasar tenaga kerja. Munculnya Undang-undang No. 5 tahun 1979 mengenai pemerintahan desa menghapus sifat desa yang tradisional dengan seluruh perangkat aturan yang tradisional pula (Anonim, 1985). Perubahan kampung menjadi desa mendorong terjadinya perubahan pada budaya mapalus. Puncak pimpinan yang dikenal semula Hukum Tua berubah menjadi Kepala Desa. Bagi masyarakat Minahasa, ini tidak semata mengandung muatan perubahan sebutan terhadap pemimpin, melainkan merubah peran dan fungsi
pimpinan yang berakibat pada nilai simpati masyarakat terhadap
pimpinan tersebut. Secara umum, ada deskripsi pekerjaan yang sangat berbeda antara Hukum Tua dengan Kepala Desa. Hukum Tua adalah pimpinan yang mengurusi administrasi pemerintahan desa sekaligus tokoh yang secara kekuasaan, adat maupun sosial ekonomi berperan menjaga stabilitas, dinamika dan pembangunan beragam dimensi kehidupan pada masyarakat. Orientasinya memperjuangkan kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat yang telah memilih dan mempercayainya sebagai pemimpin. Sementara kepala desa lebih banyak menangani pemerintahan dan pembangunan yang diturunkan dari atas desa. Konsekuensinya, kepala desa lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas dari atasan dan bukan masyarakat. Akibatnya, masyarakat kurang merasakan adanya keberpihakan pimpinan terhadap kebutuhan mereka. Faktor perubahan lain sebagai dampak dari kondisi di atas adalah keterbukaan desa terhadap intervensi pemerintah pusat dan pasar sebagai faktor eksternal yang dalam banyak hal berbeda paradigma dengan nilai-nilai di masyarakat.
Model
6
pembangunan
modernisasi yang secara aktif mengintroduksinya berbagai ilmu,
teknologi dan dunia pasar, bertujuan merubah peradaban masyarakat ke arah “kemajuan”. Atribut modern masuk ke pedesaan Minahasa lewat pedagang, migran atau media informasi yang menyebabkan ikatan antar anggota masyarakat semakin longgar dan individualis. Ketergantungan terhadap faktor luar menjadi semakin kuat yang akhirnya merubah struktur maupun aturan main dalam kelompok masyarakat termasuk mapalus. Pada sistem sosial masyarakat desa, posisi mapalus menyempit baik secara kuantitatif anggota, maupun keberadaannya terhadap kampung atau desa. Basis mapalus menjadi hanya setingkat dusun atau lingkungan. Saat desa semakin ramai dengan berbagai program pembangunan yang didominasi oleh sistem kapitalis, mapalus bertahan pada bentuknya yang murni dan lebih banyak bergerak pada bidang sosial. Sementara kegiatan yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi dan produksi, mengadaptasi diri dengan tuntutan kebijakan pemerintah dan pasar.
Kelompok mapalus ketenagakerjaan misalnya, tidak lagi berbasis pada
tingkat dusun atau lingkungan, melainkan membentuk diri dalam kelompok-kelompok kerja yang jumlah anggotanya lebih kecil.
Kecuali untuk kegiatan sosial, kelompok
mapalus merupakan sub komunitas yang lebih kecil dari kampung. Anggota kelompok mapalus
terbentuk
berdasarkan
tinggal
dekat.
Secara
sederhana,
perubahan
kelembagaan mapalus dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1.
Fase-fase Minahasa
Uraian
Perubahan Kelembagaan Mapalus Pada Masyarakat
Fase I
1.
Dasar pembentukan kelompok
Tinggal orang)
2.
Unit keanggotaan mapalus
3.
Bentuk mapalus
Fase II
Fase III
Kampung (50-120 orang)
Kelompok-kelompok kerja (7-20 orang)
Rumah tangga
Rumah tangga
Individu
Belum berstruktur
Semi berstruktur anggota)
(ketua-
Berstruktur (masueng, marampuk, masebungg)
4. Aturan Mapalus
Tidak tertulis, kekeluargaan
dilandasi
Tidak tertulis, dilandasi kerjasama dan kekeluargaan
Tidak tertulis, dilandasi kerjasama yang dinamis, efisien dan tegas
5.
Memudahkan pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja yang banyak
Memudahkan pekerjaan dan keteraturan dalam komunitas
Memudahkan pekerjaan dan tujuan ekonomi
6. Pemimpin
Belum ada
Ada ketua yang dirangkap oleh pemimpin kampong (Hukum Tua)
Komandan Mapalus
7. Pertukaran
Tenaga dengan tenaga Ditambah pekerjaan public
Tenaga dnngan tenaga ditambah pekerjaan public dan social lannya
Tenaga dengan tenaga atau uang. Masih mengerjakan kegiatan publik dan social
kelompok
Tujuan berkelompok mapalus
dekat
(20-60
Keterangan : Fase I : Perkampungan belum mengelompok dan system pertanian masih berpindah Fase II : Sudah membentuk perkampungan dan pertanian sudah menetap Fase III : Perkampungan berubah jadi desa yang dipimpin Kades dan pertanian sudah komersial
Mapalus Sebagai Lembaga Ketenagakerjaan Pertanian Kegiatan mapalus di bidang pertanian mengalami berbagai perkembangan sebagai bentuk respon terhadap perkembangan perekonomian secara luas. Aktivitas mapalus secara alamiah mengatur diri sesuai dengan kebutuhan anggotanya. Secara konsisten mapalus melaksanakan kegiatan social.
Secara ekonomi membentuk
kelompok-kelompok kerja yang tidak saja mengerjakan lahan anggota kelompok, tetapi ada saat mapalus mulai menjual jasa tenaganya ke petani luar kelompok untuk menambah pendapatan anggota. Kegiatan ini kerap memberikan kontribusi lebih besar terhadap pendapatan rumah tangga, daripada hasil usahataninya. Lembaga mapalus adalah kumpulan individu-individu angkatan kerja yang mengklasifikasi
diri
berdasarkan
kecocokan
kepribadian
kemampuan bekerja. Ada kelompok mapalus yang
dan
kesamaan
ritme
tidak membagi diri berdasarkan
seks, dimana dalam satu kelompok bercampur pria dan wanita. Tetapi ada yang membagi diri menjadi mapalus khusus pria atau wanita. Hal terakhir ini didasarkan
8
pertimbangan perbedaan kemampuan kerja, sehingga tingkat upah yang berlaku juga berbeda. Jumlah anggota mapalus berkisar 10-30 orang dengan seorang pimpinan yang diangkat berdasarkan kesepakatan kelompok. Kriteria pemimpin yang dianggap sesuai adalah orang yang punya kharisma, cekatan dan etos kerjanya tinggi. Pemimpin ini disebut sebagai komandan mapalus.
Pada struktur mapalus yang lebih lengkap,
terdapat ketua yang dikenal dengan sebutan masueng. Tugasnya meliputi : membagi luasan lahan yang dikerjakan masing-masing anggota, koordinator dalam melayani panggilan jasa keluar kelompok, membagi upah yang diterima kelompok dan mencatat simpanan kelompok (jika ada). Masueng dibantu oleh marampuk. Tugas marampuk sebagai penilai kualitas kerja seluruh peserta mapalus, termasuk masueng.
Marampuk juga berwenang
memberi hukuman atau denda bagi anggota yang cara bekerjanya lambat atau kurang baik.
Denda dilaksanakan sesuai aturan yang disepakati.
Bentuk denda sendiri
mengalami perubahan dari bentuk makan di panas tanpa lauk (makang di panas dang pake ikang), hingga bentuk yang lebih praktis yaitu denda uang. Selanjutnya ada masebung yang bertugas meniup biak/bintulang/ terompet sebagai tanda pelaksanaan kegiatan mapalus seperti : jadwal kerja besok, waktu bangun dan berangkat ke kebun, waktu makan dan waktu pulang. Setelah masebung meniup biak, masuweng akan menggerakkan anggotanya berangkat ke kebun secara bersama-sama sambil bernyanyi penuh semangat. Setiap kelompok mapalus memiliki tanda/bunyi yang khas. Warga sudah mengenali ciri masing-masing kelompok mapalus yang ada di kampungnya. Secara otomatis warga juga mempunyai penilaian tersendiri terhadap kualitas kerja dan kekompakan setiap kelompok mapalus. Kelompok mapalus bekerja berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan anggota yang lain secara bergiliran. Operasional kerja dilaksanakan dengan membagi luasan lahan untuk masing-masing anggota, yang harus diselesaikan pada hari itu. Semua bergerak dari garis awal yang sama serta secara teliti dan tegas komandan mengamati kualitas dan ritme pekerjaan anggotanya. Awalnya, anggota yang bekerja lambat sehingga tertinggal dari barisan, akan mendapat hukuman cambukan dari komandan. Hukuman ditujukan agar bersangkutan bekerja lebih cepat dan bersemangat.
Hukuman ini disebut sebagai pengusir
kemalasan. Secara alamiah system ini menjadi seleksi anggota dari satu kelompok mapalus. Anggota yang merasa kemampuan kerjanya kurang sesuai dengan rekan
9
lainnya, secara sportif akan mengundurkan diri.
Artinya, kekokohan satu kelompok
mapalus sudah mengalami seleksi secara alamiah. Belakangan, bentuk hukuman beralih menjadi denda uang. Keterlambatan bisa dibayar dengan uang. Anggota kelompok yang berhalangan bekerja di lahan rekannya diwajibkan membayar tenaga oleh anggota keluarga lain.
Jika tidak ada, ia wajib
mencari tenaga pengganti yang mempunyai kualitas dan kecepatan kerja yang sama dengan dirinya. Pada awalnya, hutang tenaga bayar tenaga. Tetapi belakangan sudah ada yang bersedia dibayar dengan uang sesuai tingkat upah yang berlaku. Pada era orde baru, pembangunan pertanian mengetengahkan pentingnya peningkatan produksi dan produktivitas. Harus diakui bahwa telah membawa banyak keberhasilan. Swasembada beras serta beberapa komoditas lain telah menunjukkan perkembangan yang baik. Proses pembangunan digerakkan sepenuhnya dari pusat dengan memberlakukan sistem nasional. Masyarakat Indonesia diasumsikan memiliki tingkat peradaban dan kemajuan yang sama sehingga kebutuhan, kemampuan dan sumberdaya alam maupun sosialnya dianggap sama.
Celakanya, mekanisme dan
pendekatan yang dilakukan pun relatif seragam (hegemoni). Hal ini membawa dampak yang sangat beragam, antara lain melemahnya kelembagaan masyarakat.
yang sudah ada di
Struktur yang disyaratkan agar bisa menerima program maupun bantuan
yang disediakan pemerintah kerap bertolak belakang dengan struktur dan nilai lembaga yang sudah hidup di masyarakat.
Akhirnya demi menggapai program yang ada,
lembaga itu membentuk diri menyesuaikan bentuk yang dituntut oleh program. Sebagai contoh, pada tahun 1997 kelompok mapalus Esaene di Desa Walian berubah menjadi kelompok tani Esaene, dengan struktur dan aturan main yang ditetapkan dari atas desa.
Tujuannya untuk memenuhi kriteria sebagai kelompok
penerima kredit. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga di buat secara instant melalui rapat-rapat yang intensif. Pada akhirnya tujuan mendapat kredit tercapai. Kelompok mapalus Esaene merupakan kelompok ketenagakerjaan dengan anggota yang mempunyai usahatani sendiri-sendiri. Selain itu memiliki lahan kelompok yang diusahakan secara bersama. Pada saat tidak sibuk, kelompok menjual tenaganya kepada petani lain. Tetapi setelah menjadi kelompoktani, muncul usaha-usaha yang sifatnya lebih komersial. Usaha tersebut sebagai bentuk upaya pengembangan dana bantuan yang diterima dari pemerintah. Bantuan yang diterima dari pemerintah memunculkan banyak perbedaan pendapat dan rasa saling curiga baik antar anggota maupun anggota terhadap pengurus.
Akibat kurangnya rasa kebersamaan dalam
10
memiliki dan mengembangkan aset yang ada, maka bantuan yang diberikan pemerintah menjadi penyebab perpecahan kelompok.
Suasana yang kurang kondusif akhirnya
menyebabkan berkurangnya jumlah anggota dan kini kelompok nyaris bubar. Jenis-jenis Mapalus Ketenagakerjaan Secara umum kelompok mapalus terdiri dari dua jenis yaitu mapalus kas dan mapalus murni.
Mapalus kas adalah mapalus bekerja dalam kelompok sekaligus
menjual tenaga ke
luar anggota dengan sistem upah. Uangnya dikelola secara
kelompok untuk ditabung atau dikembangkan dalam bentuk usaha bersama. Uang kas atau keuntungan usaha dibagikan kepada anggota per periode waktu tertentu yaitu enam bulan atau setahun. Mapalus murni adalah kelompok mapalus yang khusus baku tolong, baik dalam kegiatan produksi atau kegiatan sosial suka/duka. Mapalus murni tidak melakukan kegiatan jual tenaga atau perputaran uang yang ditujukan bagi penghasilan anggota. Sesuai dengan jenis kegiatan dan aturan main yang diberlakukan di dalam kelompok, terdapat beberapa jenis kelompok mapalus yang berkembang baik di Walian atau di Sampiri yaitu : 1.
Mapalus asli Ini merupakan bentuk mapalus yang dinilai belum mengalami pergeseran. Orientasi
kegiatannya lebih bersifat sosial. Kegiatan yang bersifat produksi terbatas berupa pertukaran tenaga.
Di luar kegiatan kelompok, masing-masing individu bebas
melakukan kegiatan apa saja. Artinya, kerjasama hanya terikat pada bentuk kerjasama non materi. Selain kegiatan produksi pertanian, kelompok mengikat diri dalam berbagai kegiatan suka dan duka. Peran uang hanya seperti arisan atau sumbangan tanda peduli dengan sesama anggota mapalus. Khusus untuk mapalus sosial, anggotanya bisa di atas 20 orang.
2.
Mapalus Sumawang Lembaga
Mapalus
Sumawang
muncul
secara
aktual
pada
saat
panen.
Keanggotaannya tidak terikat pada sejumlah orang atau rumah tangga tertentu. Umumnya keterlibatan seputar keluarga dekat atau tetangga tinggal dekat. Seorang petani yang bermaksud memanen hasil pertaniannya, mengundang tetangga atau keluarga dekat untuk ikut membantu.
Pekerja yang terlibat beragam dalam usia,
11
kemampuan kerja, maupun ketersediaan waktu untuk bekerja.
Pekerja tidak diberi
upah. Mereka hanya diberi makan jika bekerja hingga tiba jam makan siang. Pekerja yang hanya sempat membantu sebelum atau sesudah jam makan, tidak ada keharusan untuk diberi makan. Mapalus Sumawang banyak berlangsung untuk kegiatan sosial, seperti pesta pernikahan atau pembaptisan. Meskipun tanpa imbalan, hampir tidak ada undangan yang malas atau menolak untuk membantu. Itu sebabnya mapalus ini sering disebut “baku bantu/baku tolong”.
3.
Mapalus Kas. Kelompok mapalus kas terdiri dari 10-15 anggota. Seluruh anggota kelompok
bekerjasama secara bergantian dilahan masing-masing anggota dalam jumlah hari dan jam kerja yang sama. Hari pengerjaan lahan internal ini diatur secara berurutan sesuai hari-hari yang disepakati. Diluar hari itu kelompok menjual tenaganya pada petani luar anggota yang membutuhkan jasa.
Anggota yang tidak ikut bermapalus di lahan
anggota lain, tetapi saat lahannya sendiri sudah dikerjakan, akan dikenakan denda dua kali lipat tingkat upah yang berlaku pada internal kelompok. Jika upah internal kelompok 25.000 per orang per 6 jam, maka denda bagi yang tidak hadir adalah Rp 50.000. Kelompok umumnya hanya mentoleransi halangan berupa sakit atau kemalangan pada keluarga terdekat. Anggota tersebut pun tetap dibebani mengganti tenaga pada waktu lain. Upah kerja ke luar anggota lebih tinggi dari internal anggota yaitu Rp 30.000-Rp 35.000 per hari. Pembayaran tunda dikenakan bunga dengan besaran yang relatif beragam yakni sekitar 5-10 persen per bulan. Seluruh upah dan bunga yang diterima dari luar anggota dikumpulkan oleh kelompok. Tabungan ini akan dihitung pada akhir periode pembagian. Masing-masing anggota akan menerima sesuai jumlah hari kerja yang disumbangkan. Lalu masing-masing akan menyumbangkan upah satu hari kerja sebagai honor pengelola pembukuan.
Kompensasi mesueng, marampuk dan
masebung diberikan dalam bentuk kelebihan jam kerja di lahannya dan bukan bentuk uang. 4.
Mapalus Jam Mapalus ini mempunyai anggota relatif besar dan bekerja menurut hitungan jam
yang disepakati bersama. Umumnya bekerja pada pagi dan sore hari dengan jumlah jam yang sama. Masing-masing lahan anggota dikerjakan secara bergiliran dengan
12
jumlah jam kerja yang sama. Jika 3 jam pagi di lahan A maka 3 jam sore di lahan B, demikian seterusnya.
Saat seluruh lahan anggota sudah mendapat giliran maka
kegiatan kelompok tergantung kesepakatan selanjutnya. Jika tidak ada kegiatan intern kelompok, anggota secara pribadi atau berkelompok biasanya berburuh ke lahan petani lain diluar kelompok. 5. Mapalus Marawis Anggota Mapalus Marawis umumnya petani berlahan sempit yang mengandalkan sebagian besar penghasilannya dari berburuh atau menjual jasa. Kelompok mengambil waktu kerja hanya pada sebagian hari, misalnya mapalus pagi atau mapalus sore. Kelompok bekerja sekitar 2 jam sehari. Di luar waktu itu masing-masing petani bekerja dilahannya sendiri atau secara perorangan maupun kelompok menjual jasa di lahan petani lain. 6. Mapalus Mawean Yange/ Mawenangan Mapalus Mawean Yange mirip kelompok kerja harian. Jumlah anggota 4-8 orang dan bersifat tidak tetap. Jumlah ini sesuai panggilan dan kebutuhan pengguna jasa. Ikatan antar pekerja pun berakhir setelah pekerjaan selesai dan masing-masing menerima upah sesuai upah harian yang berlaku. Berhubung tidak ada ikatan yang tetap antar sesama anggota, maka satu orang bisa terlibat dalam beberapa kelompok mapalus. Keuntungan Bermapalus Suatu lembaga potensial berlanjut jika setiap anggota merasa memiliki lembaga tersebut.
Rasa memiliki sendiri muncul jika masing-masing anggota merasa
memperoleh keuntungan di dalamnya (Soerjono Soekanto, 1987; Andin H. Taryoto dkk, 1992). Keuntungan yang diperoleh bisa dalam bentuk materi langsung, bisa pula dalam bentuk keuntungan secara social-psikis. Bagi sebagian besar masyarakat petani dan buruhtani, keterjaminan harapan untuk hidup hari ini merupakan kondisi yang rasional dan harus diakses. (Lukman Soetrisno dalam Roland Bunch, 2001) . Sebagai suatu hasil konstruksi masyarakat, budaya mapalus menjiwai hampir seluruh aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat Minahasa. Bentuk adaptasi terhadap jaman yang berkembang, mapalus senantiasa membentuk format diri yang paling mengena bagi anggotanya. Kelenturannya sebagai sebuah lembaga ketenagakerjaan
13
karena bernilai ekonomis bagi anggota, baik petani berlahan luas, petani berlahan sempit maupun petani tak berlahan (Asiati, 2002). Inti budayanya bukan pada orangnya, melainkan pada makna kerjasama yang sifatnya saling menguntungkan. Petani berlahan luas bisa terlibat bekerja secara langsung atau mewakilkan pada orang lain yang memiliki ketrampilan dan kemampuan bekerja yang memadai. Petani berlahan sempit umumnya terlibat langsung dalam bekerja maupun dalam menjual jasa. Bagi petani tak berlahan bisa menjual gilirannya pada orang lain yang lebih membutuhkan.
Beberapa manfaat yang dirasakan petani dengan bergabung dalam
mapalus adalah: 1.
Keterjaminan tenaga kerja. Anggota mapalus umumnya mempunyai lahan garapan sendiri. Aturan kerja mapalus yang mendahulukan kepentingan usahatani internal kelompok merupakan keuntungan yang sangat berharga bagi anggota.
Komitmen ini mampu mengatasi keterlambatan penanganan
usahatani pada saat musim bertani sesibuk apapun. Saat hampir di seluruh wilayah pertanian terjadi kelangkaan tenaga kerja pertanian sebagai akibat kekurangtertarikan angkatan kerja terhadap pekerjaan pertanian (transformasi pekerjaan), lembaga mapalus menjadi jalan keluar yang sangat baik. 2.
Bayar tunda tanpa bunga. Seorang anggota mapalus yang membutuhkan tenaga kerja melebihi haknya dalam kelompok, bisa mendapatkan jasa tenaga kelompoknya dengan membayar sesuai tingkat upah yang berlaku dalam kelompok. Pada kasus tertentu nilainya lebih rendah dari upah yang berlaku umum.
Jika bersangkutan belum mempunyai uang untuk membayar jasa
rekannya, bisa bayar tunda tanpa dikenai bunga. 3.
Menabung.
Bagi anggota mapalus yang umumnya petani berlahan sempit
atau tanpa lahan, menjual jasa lewat kelompok mapalus merupakan kegiatan menabung. Pada sebagian kelompok, upah kerja disimpan oleh kelompok dan dibagikan pada akhir periode yang ditentukan. Tabungan ini berbunga karena penundaan pembayaran upah oleh petani non mapalus dikenakan bunga. 4.
Pekerja yang bermutu. Petani berlahan luas memandang menjadi anggota mapalus penting dan menguntungkan karena kualitas kerja mapalus umumnya lebih baik dibanding non mapalus.
Sekalipun petani ini tidak bisa terlibat
langsung bekerja bersama anggota lain, bisa mencari pengganti yang sama terampilnya tetapi dengan upah yang lebih rendah dari pekerja harian.
14
5.
Sosialisasi. Mapalus bersifat sosial dan ekonomi sekaligus. Perannya dalam masyarakat petani merupakan wadah sosialisasi yang tepat dan bermanfaat karena umumnya anggota adalah warga yang bertetangga. Interaksi sesama anggota di dalam mapalus relatif lebih intensif.
6.
Memperluas jaringan kerja. Kelompok mapalus yang bekerja baik dengan ketua atau anggota yang dinamis dalam membina relasi dan mencari peluang kerja akan membawa kelompoknya meluaskan jaringan hingga keluar desa bahkan keluar kecamatan.
Meluasnya medan teritorial ini sejalan dengan
meluasnya jaringan ekonomi dan pengalaman bagi anggota mapalus. Besarnya manfaat yang diperoleh dari lembaga mapalus, seringkali mendorong seseorang untuk menjadi anggota lebih dari satu kelompok mapalus. Bentuk-bentuk manfaat yang diperoleh dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh karena itu mapalus berfungsi membangun interaksi dan komunikasi antar lapisan dalam masyarakat.
Realita ini menunjukkan bahwa mapalus merupakan modal social
komunitas Minahasa yang berpeluang dikembangkan menjadi lembaga sosial dan ekonomi yang berperan besar menyokong program pembangunan yang ingin diimplementasikan. Potensi Kelembagaan Ketenagakerjaan Mapalus Merancang pembangunan dengan modal belajar dari masyarakat lebih mampu membangkitkan rasa tanggungjawab dan memberi kewenangan kepada masyarakat sebagai perencana dan pelaksana dari pembangunan itu sendiri. Lembaga yang sudah ada bisa berperan optimal sebagai penggerak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Partisipasi yang dilahirkan lebih bersifat konstruktif (Roland Bunch,
2001). Berdasarkan keragaan dan perubahan lembaga ketenagakerjaan mapalus, dapat diidentifikasi beberapa potensi internal maupun eksternal mapalus yaitu: 1. Lahir dan terbentuk dari masyarakat sendiri.
Lembaga mapalus lahir dari
masyarakat berdasarkan kebutuhan bersama. Lembaga ini sudah terbentuk dalam kurun waktu yang relatif panjang hingga struktur dan aturan main yang diterapkan sudah stabil. Setiap faktor yang mendorong perubahan mengalami pengendapan terlebih dahulu sebelum direspon atau diadaptasi oleh lembaga. Karena lahir berdasarkan rasa kecocokan dalam bekerja, bersosialisasi, serta berkomunikasi, maka jumlah anggota maupun aturan yang berlaku tercipta dari
15
kesepakatan intern kelompok dan dipatuhi oleh semua anggota. Pemberlakuan program
secara seragam seperti halnya pembentukan kelompok tani justru
mengarah pada kehancuran, karena bentuk yang sesuai bagi setiap kelompok atau komunitas cenderung berbeda. Budaya mapalus pada masyarakat Minahasahampir tidak memisahkan sosial dan ekonomi secara tegas. 2. Proses seleksi anggota secara alamiah. Semakin lama mapalus semakin stabil secara struktur maupun aturan main yang disepakati. Ini membangun ikatan ingroup yang kuat sehingga tidak mudah dipengaruhi faktor penghancur dari dalam maupun dari luar. Proses seleksi anggota terjadi dengan penuh kesadaran dan berlangsung secara alamiah. Ikatan ini yang membedakannya dengan lembaga yang dibentuk secara sengaja oleh pihak luar. 3. Ada masalah dan kebutuhan yang sama antar sesama anggota. Proses lahirnya lembaga menggambarkan bahwa kelompok adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai masalah dan kebutuhan yang sama.
Anggota mapalus umumnya
memiliki lahan yang membutuhkan jasa tenaga kerja mengolah lahannya. Lembaga mapalus justru merupakan keterjaminan bagi anggota untuk memperoleh tenaga kerja atau membayar tunda tenaga kerja dalam proses usahataninya. Perolehan pendapatan dari menjual tenaga adalah hasil ikutan yang muncul belakangan. Tak heran jika anggota mapalus banyak barasal dari petani berlahan cukup luas. 4. Mejunjung tinggi aturan main yang disepakati.
Meskipun tanpa rapat-rapat
formal, tetapi lembaga mapalus menunjukkan intensifnya mufakat dan musyawarah di antara para anggota. Aturan main yang disepakati didukung dan dipatuhi sekalipun aturan tersebut tidak tertulis dan kelompok tanpa pimpinan. Sanksi-sanksi fisik maupun denda uang yang diberlakukan dirasakan tidak melebihi sakitnya sanksi moral/sosial yang dirasakan. Masyarakat pedesaan khususnya masyarakat petani masih memiliki hubungan yang erat dan lebih mendalam (Soekanto, 1987) sehingga pelanggaran terhadap sebuah kesepakatan dipandang sebagai sebuah rasa bersalah yang dalam. 5. Struktur organisasi sangat sederhana.
Lembaga tradisional ketenagakerjaan
pertanian umumnya mempunyai struktur organisasi dan sistem administrasi yang sangat sederhana. Sekalipun sangat sederhana mapalus memiliki struktur kepengurusan yang sifatnya “baku ganti”.
Penunjukan pimpinan mapalus
didasarkan pada kemampuan dan semangat bekerja. Periode kepengurusan berlaku pada satu satuan waktu tertentu seperti sampai tiba saat pembagian hasil usaha
16
atau pada saat tutup mapalus (malekep). Saat itu digunakan juga untuk memilih pengurus baru sekaligus buka mapalus (tumoktol). Semua anggota (termasuk pengurus sebelumnya) mempunyai peluang yang sama menjadi pemimpin. 6. Azas Keadilan. Jika dikaji lebih jauh, lembaga tradisional ketenagakerjaan mapalus menganut azas keadilan, setidaknya di antara anggota.
Setiap ada tawaran
pekerjaan dari pengguna jasa, semua anggota bebas menentukan keputusan ikut atau tidak. Tingkat upah yang berlaku antara anggota dan pengurus juga sama. Keadilan juga terlihat ketika pembagian luasan lahan yang harus dikerjakan tiap anggota yang dipilih oleh anggota sendiri. Sistem pembayaran dan perolehan pendapatan sesuai dengan besaran tenaga yang disumbangkan. Sanksi yang diberikan juga berlaku sama dengan pelanggaran yang dilakukan. KESIMPULAN Lembaga
ketenagakerjaan
mapalus
pada
masyarakat
Minahasa
sudah
mengalami perubahan struktur dan aturan main yang panjang. Perubahan didorong oleh faktor dalam maupun faktor luar komunitas yang
sebagian besar sifatnya
melonggarkan ikatan-ikatan sosial dan melahirkan ketergantungan. Sebagai bentuk reaksi harmoni terhadap perubahan
alam dan intervensi pembangunan dalam
masyarakat, mapalus mengalami penyesuaian optimal.
Realitanya, melahirkan
keragaman jenis mapalus yang dibedakan oleh bentuk kegiatan dan aturan main yang berlaku.
Jiwa kelembagaan mapalus yang konsisten menjadikan semua bentuk itu
masih hidup di masyarakat. Sekalipun struktur dan aturan main mapalus banyak mengalami pergeseran, inti budaya
kerjasamanya
berfungsi
sebagai
pengikat
yang
kuat
antar
anggota.
Keberadaannya ditengah masyarakat, baik secara sosial maupun secara ekonomi masih sangat bermanfaat dan dinilai menguntungkan,
baik untuk ketersediaan dan
kepastian tenaga kerja dalam proses pengembangan usaha pertanian lahan kering maupun sebagai lembaga perekonomian kerakyatan. Ciri pembentuk mapalus memiliki kekuatan sebagai penggerak partisipasi masyarakat dalam mendukung program pembangunan, karena bercikal dari kebutuhan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, implementasi program pembangunan sedianya menggunakan lembaga ini sebagai pemeran utama dalam proses transfer teknologi dan informasi. Rekayasa kelembagaan dengan mengedepankan mapalus sebagai kekuatan lokal, sangat berperan membuka peluang keberhasilan, khususnya paa masyarakat
17
Minahasa. Bentuk pembangunan partisipatif yang menggunakan lembaga penggerak dan metode yang spesifik local, merupakan penghargaan pada kespesifikan tiap masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1993. Materi Diskusi Panel Yayasan Kebudayaan Minahasa. Wale ABI. BitungSulawesi Utara. Anonimous. 1985. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Sulawesi Utara. Proyek Inventarisasi & Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Ditjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Asiati, Devi. 2002. Kualitas Petani Kelapa Dalam Perspektif Sosial Budaya. Dalam Kualitas Petani Kelapa. Tri Pranadji dan I Wayan Rusastra. Pusat Penelitian Kependudukan. PPK-LIPI. Jakarta. Bunch, Roland. 2001. Dua Tongkol Jagung. Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Denzin, Norman K. dan Y. S. Lincoln. 1994. Introduction: Entering the Field of Qualitative Research (bab 1). Dalam: Norman K. Denzin dan Yvonn S. Lincoln (eds). 1994. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publication. Graafland, N. 1987. Minahasa Negeri, Rakyat, dan Budayanya. Diterbitkan Untuk Yayasan Parahita. Grafiti. Jakarta. Moleong, L.J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. P. Mukhlis, Edward Poelinggomang, Abdul Madjid Kallo, Bambang Sulistio, Anwar Thosibo dan Andi Maryam. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Jakarta. Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti dan Roosgandha Elizabeth. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional untuk Memperkuat Jaringan Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. Taryoto, Andin. Abunawan Mintoro, Armen Zulham, Tri Pranadji, Rita Nur Suhaeti, Gelar Satya Budi, Tri Bastuti Purwantini dan Bambang Sudaryanto. 1992. Analisis Perubahan Kebijaksanaan Organisasi Ekonomi dalam Bidang Pangan dan Dampaknya Terhadap Produksi, Distribusi dan Peningkatan Pendapatan dan Kesempatan Kerja di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
18