ICASEPS WORKING PAPER No. 71
ANALISIS NILAI TUKAR PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan)
Supriyati
Pebruari 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ANALISIS NILAI TUKAR PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) Supriyati Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 ABSTRAK Pembangunan pertanian pada dasamya ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama petani. Salah satu alat ukur untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis nilai tukar (NT) pada tingkat rumahtangga petani, tujuan spesifik dari kajian adalah : (1) Menganalisis perilaku Nilai Tukar Subsisten (NTS) berdasarkan kelompok masyarakat (yang dipnoxi dengan luas garapan); (2). Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku NTS berdasarkan luas garapan- (3) Mencari alternatif penghitungan NT yang dapat lebih menggambarkan indikator kesejahteraan petani. Sumbangan sektor pertanian dalam pendapatan rumahtangga di pedesaan Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan masih relatif besar, namun ada indikasi semakin menurun. Sementara di Jawa Timur. penurunan peran sektor pertanian menyebabkan pendapatan rumahtangga pada tahun 1998/1999 didominasi oleh sektor non pertanian. Semakin tinggi luas garapan semakin tinggi pula pendapatan dari usaha pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pertanian di pedesaan masih bersifat land base. Secara rataan, usaha pertanian tidak dapat untuk mencukupi pengeluaran rumahtangga petani, kecuali di Jawa Tengah. Oleh karena usaha pertanian masih bersifat land base, maka pada rumahtangga petani tidak beriahan dan behahan sempit, usaha pertanian tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga petani (kecuali di Jawa Tengah). Faktor-faktor yang mempengaruhi NTS di 3 propinsi contoh, yaitu: (1) NTS dipengaruhi oleh besamya tingkat pendapatan usaha pertanian. Tingkat pendapatan usaha pertanian dipengaruhi oleh luas lahan garapan, tingkat teknologi (yang diproxi dengan biaya usahatani), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas yang diusahakan; (2) NTS dipengaruhi oleh pengeluaran untuk konsumsi pangan, dimana tingkat konsumsi pangan dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga, jumlah yang dikonsumsi dan harga barang konsumsi pangan. Dengan indikator NTPRTP, dapat diketahui kemampuan rumahtangga dalam membiayai pengeluaran rumahtangganya, sehingga lebih dapat menggambarkan kesejahteraan petani. Dilihat dari indikator NTPRTP, secara umum rumahtangga pedesaan dapat memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Implikasi dari kajian ini adaiah, ke depan periu dibangun indikator NTPRTP. Hal ini untuk memudahkan a rah kebijakan pemerintah, apakah kebijakan tersebut di sisi usaha pertanian, kesempatan kerja di luar pertanian atau kebijakan harga di tingkat konsumen. Kata kunci: nilai tukar subsisten, nilai tukar pendapatan rumahtangga PENDAHULUAN Latar Belakang Pambangunan kesejahteraan
pertanian
masyarakat
pada
terutama
dasarnya petani.
ditujukan
Pembangunan
bagi
peningkatan
pertanian
telah
memberikan sumbangan besar dalam keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia, baik sumbangan langsung seperti dalam pembentukan Produk Domestik
1
Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain (Simatupang, 1992; Bunasor, 1997). Salah satu alat ukur untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Pertanian (NTPR), yang mencakup Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) dan Nilai Tukar Petani (NTP). Peningkatan NTPR, NTKP dan NTP mengindikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian dan sebaliknya. Kajian tentang nilai tukar petani umumnya terbatas kepada aspek pergerakan nilai tukar petani dan dengan unit analisis yang bersifat agregat dengan cakupan nasional dan regional (Scandizzo dan Diakosavas, 1987; PAE-IPB, 1980; PAEUNPAD, 1981; Hutabarat, 1995; Simatupang, 1992; Simatupang dan Isdiyoso 1992). Sebagian besar hasi! kajian tersebut mengungkapkan bahwa nilai tukar petani cenderung menurun karena laju harga yang diterima petani lebih rendah dari laju harga yang dibayar petani. Namun demikian dengan unit agregat tidak dapat melihat aspek distribusi dari nilai tukar pertanian tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul dari pengetahuan nilai tukar petani dan nilai tukar komoditas diatas adalah (a) Bagaimana kekuatan nilai tukar petani dari setiap kelompok masyarakat di pedesaan, seperti buruh tani, petani beriahan sempit, petani beriahan Iuas; (b) Apa dan bagarnana faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar dari setiap kelompok masyarakat tersebut dan (c) Apakah ada indikator lain yang dapat menggambarkan kesejahteraan petani. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, kajian ini bertujuan untuk menganalisis Nilai Tukar (NT) pada tingkat rumahtangga petani. Tujuan spesifik dari kajian adalah : (1) Menganalisis perilaku Nilai Tukar Subsisten (NTS) berdasarkan kelompok masyarakat (yang diproxi dengan Iuas garapan); (2). Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku NTS berdasarkan Iuas garapan; dan (3) Mencari altematif penghitungan NT yang dapat lebih menggambarkan indikator kesejahteraan petani . METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelaahan terhadap nilai tukar petani dan nilai tukar komoditas pertanian di tingkat petani tidak tertepas dari pengkajian terhadap kegiatan rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebemasilan pembangunan telah menciptakan
keragaman
sumber-sumber
pendapatan
baru
dan
keragaman
kebutuhan konsumsi baru. Sumber pendapatan rumahtangga petani tidak hanya
2
berasal dari usahatani (on farm) dan berburuh tani (off farm) tetapi telah berkembang ke kegiatan non pertanian (non farm). Berkembangnya usaha dan kesempatan kerja non pertanian dapat terjadi karena interaksi faktor pendorong dari dalam petani sendiri dan faktor penarik dari kegiatan di luar pertanian. Faktor dari dalam yang mendorong petani untuk bekerja di luar pertanian terutama berkaitan dengan ketidakmampuan sumber pendapatan dari sektor pertanian (on farm dan off farm) dalam memenuhi tuntutan kebutuhan konsumsi yang diinginkan, sedangkan faktor luar yang menarik petani bekerja di non pertanian antara lain berkaitan dengan terbukanya kesempatan kerja non pertanian dan tawaran lingkungan kerja non pertanian yang relatif lebih nyaman. Pada kondisi dimana pendapatan rumahtangga petani dari usaha pertanian dapat untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, maka NTPR besar dan sebaliknya. Dengan demikian kekuatan NTPR berkaitan dengan peran usaha pertanian dalam pendapatan rumahtangga petani. Peran usaha pertanian tersebut berbeda menurut keiompok masyarakat, (petani besar, petani kecil, buruh tani). Selain dipengaruhi oleh skala luas pemilikan atau pengusahaan lahan, usaha psrtanian juga dipengaruhi oleh tingkat profitabilitas usaha pertanian, kekuatankekuatan yang bekerja di pasar dan kebijakan pemerintah. Dengan demikian terbentuknya NTPR berkaitan dengan sistem permintaan, penawaran dan kebijakan. Pembentukan nilai tersebut tidak semata ditentukan oleh sektor pertanian, namun juga ditentukan oleh perilaku sektor di luar pertanian baik sektor riil, fiskal maupun moneter (Killick, 1983; Timmeretal, 1983). Metoda Analisis Metoda analisis yang dibangun dan digunakan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Nilai tukar pendapatan petani dihitung dengan konsep nilai tukar subsisten (NTS). Selain nilai tukar petani dengan unit regional (makro) seperti yang dikembangkan BPS, konsep NTPR yang digunakan dalam penelitian empiris pada tingkat mikro reiatif beragam. Minimal ada 4 konsep nilai tukar yang dijumpai, yaitu : (a) Konsep Barter / Pertukaran (b) Konsep Faktorial, (c) Konsep Pendapatan dan (d) Konsep Subsisten. (Suharjo, 1976; Anwar, dkk., 1980, Sukarja, 1981, Pramonosidhi, 1984; Reksa-sudharma, 1988; Chacholiades, 1990; Tsakok, 1990; Diakosavas dan Scandizzo, 1991; Simatupang, 1992, Hutabarat, 1995). 1. Konsep Barter/Pertukaran Konsep barter mengacu kepada harga nisbi suatu komoditas pertanian tertentu terhadap barang / produk non pertanian. Nilai Tukar Barter (NTB) didefmisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga produk non
3
pertanian. Secara matematik dirumuskan sebagai berikut: NTB
=
Px/Py;
.................................... 1
NTB
=
Nilai Tukar Barter Pertanian;
Px
=
Harga Komoditas Pertanian;
Py
=
Harga Produk Non Pertanian;
Keterangan :
Konsep nilai tukar ini mampu mengidentifikasi perbandingan harga reiatif dari komoditas
pertanian
tertentu
terhadap
harga
produk
yang
dipertukarkan.
Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar harga komoditas pertanian terhadap barang yang dipertukarkan. Kelemahan konsep NTB, disamping hanya berkaitan dengan komoditas dan produk tertentu juga tidak mampu memberikan penjelasan yang berkaitan dengan perubahan produktivitas (teknologi) komoditas pertanian dan komoditas non pertanian. 2. Konsep Faktorial Konsep Faktorial merupakan perbaikan dari konsep barter, yaitu dengan memasukkan pengaruh perubahan teknologi (produktivitas) dalam konsep nilai tukar. Nilai Tukar Faktorial (NTF) Pertanian didefmisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga non pertanian, dikalikan dengan produktivitas pertanian (Zx). Apabiia hanya memperhatikan produktivitas pertanian disebut Nilai Tukar Faktorial Tunggal (NTFT), dan apabila produktivitas non pertanian (Zy) juga dipertirtungkan, disebut Nilai Tukar Faktorial Ganda (NTFG). NTFT dan NTFG dirumuskan sebagai berikut: NTFT = = NTFG = =
Px*Z.x / Py; NTB*Zx;
............................................ 2
Px * Zx / Py * Zy; NTB / Z;
............................................ 3
Keterangan : NTFT =
Nilai Tukar Faktorial Tunggal;
NTFG =
Nilai Tukar Faktorial Ganda;
Zx
=
Produktivitas Komoditas Pertanian;
Zy
=
Produktivitas Produk non Pertanian;
Z
=
Rasio Produktivitas Pertanian Terhadap Produktivitas Non Pertanian;
Konsep ini mampu mengidentifikasi pengaruh perubahan teknologi dari komoditas dan produk tertentu yang dipertukarkan. Namun konsep ini terbatas kepada komoditas dan produk tertentu dan tidak dapat menjelaskan kemampuan seluruh komoditas / produk yang dipertukarkan.
4
3. Konsep Pendapatan Konsep pendapatan (Nilai Tukar Pendapatan) merupakan perbaikan dari konsep nilai tukar faktorial. Nilai Tukar Pendapatan (NTI) merupakan daya ukur dari nilai hasil komoditas pertanian yang dihasilkan petani per unit (hektar) terhadap nilai korbanan untuk memproduksi hasil tersebut. NTI
=
PxQx ----------; PyQy
........................................ 4
Dengan demikian, NTI menggambarkan tingkat profitabilitas dari usahatani komoditas tertentu. Namun demikian, NTI hanya menggambarkan nilai tukar dari komoditas tertentu, belum mencakup keseluruhan komponen pendapatan petani dan komponen pengeluaran petani. 4. Konsep Subsisten Konsep nilai tukar subsisten (NTS) merupakan pengembangan lebih lanjut dari NTI. NTS menggambarkan daya ukur dari pendapatan total usaha pertanian terhadap pengeluaran total petani untuk kebutuhan hidupnya (Pramonosidhi, 1984). Pendapatan usaha pertanian merupakan penjumlahan dari seluruh nilai produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga dan pengeluaran untuk biaya produksi usahatani. NTS dirumuskan sebagai berikut: NTS
=
S Pxi Qxi ---------------------Pyi Qyi + Pzj Qzj
..................................................
5
Keterangan : NTS
=
Nilai Tukar Subsisten;
Px;
=
Harga komoditas Pertanian ke i ;
Qx,
=
Produksi komoditas Pertanian ke i;
Py,
=
Harga Produk Konsumsi ke i;
Pzj
=
Harga Input Produksi ke i;
Qy,
=
Jumlah Produk Konsumsi ke i;
Q^
=
Jumlah Input Produksi ke i;
Dengan demikian NTS menggambarkan tingkat daya tukar / daya beli dari pendapatan usaha pertanian dari usahatani terhadap pengeluaran rumahtangga petani untuk kebutuhan hidupnya yang mencakup pengeluaran konsumsi dan pengeluaran untuk biaya produksi. Dalam operasionalnya konsep NTS hanya dapat dilakukan pada tingkat mikro yaitu rumahtangga. Suatu alternatif perbaikan penghitungan indikator kesejahteraan petani
5
dihitung dengan Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Pedesaan (NTPRTP). NTPRTP merupakan nisbah antara pendapatan total rumah tangga dengan pengeluaran total rumah tangga petani. Pendapatan total rumah tangga petani merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani, nilai dari berburuh tani, nilai hasil produksi usaha non-pertanian, nilai dari berburuh non-pertanian, dan lainnya (kiriman dan Iain-Iain). Dengan konsep ini, indikator tingkat kesejahteraan petani lebih mendekati fakta yang ada. Sumber Data dan Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, analisis NTS pada tingkat mikro menggunakan data Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 1998/1999 yang merupakan penelitian kolaborasi antara Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan World Bank. Sementara analisis perubahan struktur pendapatan menggunakan data PATANAS 1995/96 dan tahun 1998/99. Salah satu tujuan penelitian PATANAS adalah untuk mengetahui dinamika sosial ekonomi pedesaan. Desa-desa contoh di masing-masing propinsi beragam menurut agroekosistem dan komoditas, sehingga diharapkan dapat menggambarkan kondisi
pedesaan
di
masing-masing
propinsi.
Penyebaran
desa
menuait
agroekosistem dan komoditas utama di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kiasifikasi desa contoh PATANAS menurut agroekosistem Propinsi
Desa
Agroekosistem
Tanaman utama
1 Jawa Tengah
Cepogo Karangwungu Kwadungan Gunung Karang Tengah Larangan Karangmoncol Mojoagung Gerih
Lahan kering Lahan sawah Lahan kering Lahan kering Lahan sawah Lahan sawah Lahan sawah
Sapi perah Padi Tembakau Sayuran Bawang merah Padi Tebu
Lahan sawah
Padi+tebu
Selosari Terung Kulon Sungun Legowo Brondong Wiyurejo Margolembo Baroko Selli Ka'do Rumbia Batupanga
Lahan sawah Lahan sawah Pantai Pantai Lahan kering
Padi+tebu Padi+tebu Udang+bandeng Perikanan tangkap Sayuran
lahan sawah Lahan kering Lahan sawah Lahan kering Lahan kering Lahan kering
Padi Sayuran Padi Kopi Jagung Kakao
2. Jawa Timur
3. Sulawesi Selatan
Sumber: Adyana, M.O. etal, 2000
6
DINAMIKA STRUKTUR PENDAPATAN RUMAH TANGGA PEDESAAN Peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan merupakan salah satu indikator
peningkatan
kesejahteraan.
Secara
umum
sumber
pendapatan
rumahtangga dapat digolongkan ke dalam dua sektor yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Sektor pertanian dibagi menjadi usaha pertanian dan berburuh tani, sementara sektor non pertanian dibagi menjadi usaha non pertanian, berburuh dan lainnya. Dinamika struktur pendapatan di tiga provinsi contoh ditampilkan pada Tabel 2. Secara rataan, pendapatan rumah tangga pedesaan di Jawa Tengah meningkat dari Rp 3.158 ribu pada tahun 1995/96 menjadi Rp 13.176 ribu pada tahun 1998/99. Sumbangan sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga peaesaan masih relatif besar, yaitu 66,99 %, namun ada kecenderungan sumbangannya menurun dalam periode 5 tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan pendapatan sektor non-pertanian lebih besar dari sektor pertanian. Apabila rumah tangga contoh dibedakan atas luas garapan, yaitu menjadi rumahtangga buruh tani (tidak mempunyai garapan), garapan sempit, sedang dan luas, terlihat bahwa struktur pendapatan rumah tangga berbeda. Semakin tinggi luas garapan, semakin besar sumbangan sektor pertanian dalam pendapatan rumah tangga. Pada tahun 1998/99 sumbangan sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga pada rumah tangga yang mempunyai luas garapan sempit, sedang dan luas berturut-turut adalah 637 persen; 79,12 persen dan 89,95 persen; sementara pada buruh tani sebesar 23,82 persen. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian masih didominasi oleh usaha yang bersifat land base. Di Jawa Timur, pendapatan rumah tangga pedesaan secara rataan meningkat sebesar 336 persen atau dari Rp 2.252,42 ribu pada tahun 1995/1996 menjadi Rp 9.827,47 ribu pada tahun 1998/1999. Peningkatan ini karena terjadi peningkatan yang cukup besar pada rumah tangga yang mempunyai luas garapan sedang dan tinggi. Berbeda dengan Jawa Tengah, peranan sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga lebih rendah dari sektor non-pertanian, baik pada tahun 1995/1996 maupun 1998/1999. Bahkan pada tahun 1998/1999 peranan sektor pertanian semakin menurun. Struktur pendapatan rumahtangga menurut luas garapan menunjukkan bahwa semakin luas garapan semakn tinggi peranan sektor pertanian. Pada rumahtangga dengan garapan luas, sekitar 90 persen pendapatannya berasal dari sektor pertanian. Lagi-tagi ini membuktikan bahwa usaha pertanian yang berkembang di lokasi-lokasi contoh masih berbasis lahan.
7
Peran sektor pertanian dan non-pertanian terhadap pendapatan rumah tangga menurut luas garapan, terlihat gambaran yang berbeda. Peran sektor pertanian menurun pada kelas garapan nol, rendah dan sedang, sementara pada kelas garapan tinggi meningkat. Pada kelas garapan sedang dan tinggi, peran sektor pertanian pada tahun 1998/99 masih dominan masing-masing adalah 66,84 persen dan 95:13 persen. Sementara itu, secara rataan pendapatan rumah tangga di Sulawesi Selatan pada periode yang Peningkatan
ini
sama
meningkat
sebesar 353
persen.
disebabkan peningkatan pendapatan dari cektor non-pertanian,
walaupun peran sektor pertanian pada tahun 1998/99 masih besar yaitu 70,98 persen. Tabel 2. Perubahan Strukur Pendapatan Rumahtangga di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, tahun 1995/1996 - 1998/1999 (%) Struktur Pendapatan/
Luas garapan
Propinsi
Nol
Sempit
Sedang
95/96
98/99
95/96
98/99
95/96
98/99
Jawa Tengah I. Pertanian
32.54
25,76
61.48
59,62
76.29
1. Usaha pertanian
3.27
14,72
52.51
57,41
72.69
2. Buruh Tani II. Non-Pertanian
29.27 6/.46
11,04 74,24
8.97 38.52
2,21 40,38
3.60 23.71
1. Usaha non-pertanian 28.62 2. Buruh non-pertanian 32.46 3. Lainnya 6.38 Total (Rp 000) 1,605 Jawa Timur
31,71 27,31 15,22 4.773
16.12 29,06 13.43 16.62 5,97 9.77 5.79 5,34 0.50 2,232 13.065 3,970
I. Pertanian 1. Usaha pertanian 2. Buruh Tani
31.90 14.49 17.41
18,91 10,12 8,79
64.51 57.67 6.84
38,29 29,70 8,59
II. Non- Pertanian
68.10
81,09
35.49
61,71
1. Usaha non-pertanian 28.14
56,90
8.10
2. Buruh non-pertanian 3. Lainnya
35.76 4.20
11,92 12,27
20.15 7.24
Total (Rp 000) Sulawesi Selatan 1. Usaha pertanian 2. Buruh Tani II. Non- Pertanian
Luas
Rataan
95/96
98/99
95/96
98/99
78,42
9121
81,77
69.95
66,99
77,40
90.63
81,68
61.24
64,55
1,02 21,58
0.59 8.79
0,09 1823
8.71 30.05
2,44 33,01
13,87 4.26 15,14 2,64 3.24 0,93 5,07 1.29 2,16 13.911 8,995 29.883
13.56 13.32 3.17 3,158
21,24 6,42 5,35 13.176
73.79 59.63 14.16
57,28 54,57 2,72
92.71 90.60 2.10
90,81 90.12 0,70
4926 36.18 13.08
44,38 38,57 5,81
2621
42,72
729
9,19
50.74
55,62
26,25
3.08
36,77
0.50
7,42
18.82
37,15
9,30 26,16
19.79 3.34
2,31 3,64
4.83 1.96
1,02 0,75
27.49 4.44
7,11 11,36
2,243 12.201 1,922
9.999
1,820
17.371 3,704 29.131
2,252
14.342
82.76
19,52
76.56
75,62
81.95
76,64
81.07
69,65
80.66
73,56
0.00
19,16
74.60
71,46
81.52
75,52
80.70
67,61
79.74
71,15
82.76
0,35
1.96
4,17
0.44
1,12
0.37
2,03
0.92
2,40
1. Usaha non-pertanian 17.24 2. Buruh non-pertanian 17.24 3. Lainnya 0.00
80,48 38,18 0,00
23.44 8.48 11.81
24,38 6,56 7,99
18.05 3.11 14.94
23,36 10,03 3,16
18.93 10.64 7.89
30,35 19,73 4,05
19.34 8.10 10.55
26,44 12,54 4,69
1. Usaha pertanian Total (Rp 000)
42,30 9.694
3.15 1,139
9,83 8.284
0.00 2,035
10,17 0.40 6,58 16.124 3,465 21.333
0.69 2,275
9,21 12.980
0.00 1,044
Sumber: Patanas 95/96 dan 98/99 diolah.
8
Dibandingkan dengan tahun
1995/96, peran sektor pertanian terhadap
total pendapatan mmah tangga tahun 1998/1999 mengalami penurunan. Lebih lanjut teriihat di semua kelas luas garapan terjadi penurunan sumbangan sektor pertanian. Penurunan sangat besar terjadi pada rumah tangga yang tidak mempunyai lahan garapan, dimana pada tahun 1998/99 sumbangannya hanya 0,83 persen. Pada kelas ini, pendapatan dari berburuh sangat kecil, sementara sumber pendapatan yang memberikan sumbangan cukup besar adalah usaha non-pertanian dan lainnya. Ada kecenderungan semakin tinggi luas garapan semakin tinggi pula sumbangan pendapalan dari sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa skala usaha di sektor pertanian berpengaruh besar terhadap pendapatan. NILAI TUKAR PENDAPATAN PETANI NTS rumah tangga petani merupakan nisbah antara pendapatan total usaha pertanian terhadap total pengeluaran rumah tangga petani (yang terdiri atas pengeluaran untuk konsumsi dan pengeluaran untuk biaya produksi). Secara agregat, pendapatan usaha pertanian di Jawa Tengah sebesar Rp 8,5 juta, Jawa Timur sebesar Rp 5,5 juta dan di Sulawesi Selatan sebesar Rp 9,2 juta. Tingginya pendapatan rumah tangga di Sulawesi Selatan antara lain disebabkan adanya tanaman perkebunan: kopi dan kakao di dua desa contoh, dan pada akhir-akhir ini, khususnya setelah krisis ekonomi harga komoditas perkebunan cenderung meningkat tajam. Biaya produksi usaha pertanian juga bervariasi, biaya produksi usaha pertanian terendah terjadi di Jawa Timur (Rp 1,3 juta), kemudian Sulawesi Selatan (Rp 2,2 juta) dan tertinggi di Jawa Tengah ( Rp 2,9 juta). Keragaman biaya produksi karena adanya keragaman komoditas yang diusahakan rumahtangga pedesaan Sementara tingkat konsumsi pangan dan non-pangan tertinggi di Sulawesi Selatan, diikuti oleh Jawa Timur dan terendah di Jawa Tengah. Keragaan pendapatan dan biaya usaha pertanian serta tingkat konsumsi rumah tangga ditampilkan pada Tabel 3. Baik di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan ada korelasi positif antara luas garapan dengan pendapatan usaha pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pertanian masih bersifat land-base. Dan kesenjangan antara rumah tangga yang tidak mempunyai lahan garapan dan yang mempunyai luas garapan tinggi cukup besar, teriihat bahwa kesenjangan pendapatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih besar dari Sulawesi Selatan. Baik secara agregat, maupun menurut kelas luas garapan, tingkat pengeluaran untuk konsumsi pangan lebih besar dari konsumsi non-pangan seperti untuk kesehatan, pendidikan, pakaian dan Iain-Iain. Tingkat konsumsi rumah tangga
9
dipengaruhi oleh jumlah yang dikohsumsi per kapita, harga dan jumlah anggota rumah tangga. Dengan demikian, korelasi antara luas garapan dan tingkat pengeluaran tidak nyata. Secara agregat, daya beli petani berdasarkan indikator NTS di Jawa Tengah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. NTS di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur kurang dari satu, hal ini berarti pendapatan dari usaha pertanian tidak dapat untuk membiayai total pengeluaran rumah tangga. Sementara di Jawa Tengah, nilai NTS lebih besar satu, artinya pendapatan usaha pertanian dapat untuk membiayai total pengeluaran rumah tanga. Rendahnya NTS di Jawa Timur disebabkan rendahnya pendapatan usaha pertanian, dan tingginya tingkat konsumsi pangan dan non-pangan. Sementara di Sulawesi Selatan, disebabkan karena tingginya tingkat konsumsi pangan yang mencaoai 53 persen dari pendapatan usaha pertanian, padahal pendapatan usaha pertanian di Sulawesi Selatan lebih tinggi dari dua propinsi contoh lainnya. Di Jawa Tengah, proporsi pengeluaian untuk konsumsi pangan lebih besar dibandingkan biaya usahatani dan pengeluaran non-pangan. Di Jawa Tengah, apabila NTS dibedakan menurut luas garapan, teriihat bahwa daya beli buruh tani jauh lebih rend ah dibandingkan tiga kelas lainnya, sementara NTS rumah tangga dengan luas garapan rendah, sedang dan tinggi hampir sama, yaitu berkisar antara 1,51 - 1,61. Rendahnya daya beli buruh tani disebabkan karena rendahnya pendapatan usaha pertanian dan tingginya pengeluaran untuk konsumsi. Hai ini dapat dimaklumi, karena rendahnya pendapatan usaha pertanian tidak dapat disubstitusi dari usaha non-pertanian. Untuk dapat teriibat dalam kegiatan tersebut diperiukan modal, suatu hal yang tidak dimiliki oleh buruh tani. NTS rumah tangga dengan luas garapan tinggi hampir sama dengan luas garapan rendah, disebabkan karena tingginya biaya produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk memperoleh pendapatan usaha pertanian yang tinggi diperiukan biaya produksi yang tinggi pula. Di Jawa Timur, teriihat adanya kesenjangan tingkat daya beli rumah tangga menurut luas garapan. NTS rumah tangga tidak beriahan dan luas garapan rendah lebih kecil dari satu, hal ini menunjukkan bahwa pendapatan usaha pertanian dari rumah tangga kelas tersebut lebih kecil dari pengeluaran. Proporsi pengeluaran yang relatif besar adalah pengeluaran untuk konsumsi pangan, terutama pada rumah tangga tidak beriahan. NTS rumah tangga dengan luas garapan sedang sebesar 1,18, yang berarti pendapatan usaha pertanian dapat untuk memenuhi semua pengeluaran rumah tangga. Pada kelas inipun, tingkat pengeluaran terbesar adalah pengeluaran untuk
10
konsumsi pangan. Seperti di Jawa Tengah, pada rumah tangga dengan luas garapan tinggi, biaya produksi lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk pangan dan non-pangan. Namun biaya produksi yang tinggi pada kelas ini mampu memberikan tingkat pendapatan yang tinggi pula, sehingga NTS nya cukup tinggi (2,04) dibandingkan NTS pada kelas lainnya. Tabel 3. Nilai Tukar Subsisten di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, tahun 1998/1999 Uraian
Luas Garapan Sedang Tinggi
Nol
Rendah
Rataan
702.57 319.67
7.501.12 994.70
10,766.96 24,409.09 2,248.78 7,988.90
8,504.78 2,893.92
III. Konsumsi (Rp 000) - Pangan - Non Pangan
2,425.52 1,675.87
2.618.84 1,039.77
3,369.19 1,513.98
4,316.75 2.9S2.90
3,190.76 1,932.89
IV. Total Pengeluaran (Rp 000)
4,421.06
4,653.31
7,131.95
15,288.55
8,017.57
0.16
1.61
1.51
1.60
1.06
1,234.28 L 181.49
2,969.80 666.85
9,478.40 2,051.59
26,251.56 5,897.91
5,532.33 1,314.23
III. Konsumsi (Rp 000) - Pangan
4,062.35
2,696.13
3,642.21
4,110.01
3,876.20
- Non Pangan
2,372.52
1,342.45
2,337.35
2,337.35
2,477.32
IV. Total Pengeluaran (Rp 000) V. NTS
6,616.36 0.19
4,705.43 0.63
8,031.15 1.18
12,345.27 2.13
7,667.75 0.72
1857.84 1826.84
5919.9 1181.07
12176.95 2058.07
14424.02 4259.17
9236.11 2244.96
3663.20 1470.42 6960.46 0.27
4785.33 2187.1 8153.5 0.73
4213.61 2673.42 8945.1 1.36
6104.67 3355.36 13719.2 1.05
4906.61 2639.11 9790.68 0.94
Jawa Tengah I. Pendapatan usaha pertanian (Rp 000) II. Biaya produksi (Rp 000)
V. NTS Jawa Timur I. Pendapatan usaha pertanian (Rp 000) II. Biaya produksi (Rp 000)
Sulawesi Selatan I. Pendapatan usaha pertanian (Rp 000) II. Biaya produksi (Rp 000) III. Konsumsi (Rp 000) - Pangan - Non Pangan IV. Total Pengeluaran (Rp 000) V. NTS Sumber: Patanas 98/99 diolah.
Di Sulawesi Selatan, tingkat daya beli buruh tani sama dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. tingkat pendapatan usaha pertanian pada rumah tangga tidak beriahan dan lahan garapan sempit, tidak cukup untuk memenuhi pengeluaran rumahtangganya. Hal ini disebabkan tingkat pengeluaran untuk pangan di wilayah ini cukup tinggi, berkisar antara Rp 3,66 juta - Rp 6,1 juta per rumah tangga per tahun. Tingkat konsumsi pangan rumah tangga tidak beriahan lebih kecil dibandingkan dengan
kelas
lainnya,
walaupun
demikian
tingkat
pendapatannya
tidak
mencukupinya. Tingkat daya beli rumah tangga dengan luas garapan sedang relatif lebih baik dibandingkan dengan luas garapan tinggi. Hal ini disebabkan pada rumah tangga dengan luas garapan tinggi, biaya produksi dan konsumsi pangan jauh lebih tinggi dibandingkan rumah tangga dengan luas garapan sedang.
11
ANALISA NILAI TUKAR PENDAPATAN RUMAH TANGGA PEDESAAN (Suatu altematif perbaikan penghitungan indikator kesejahteraan petani) Sumber pendapatan rumah tangga pedesaan atau petani, tidak hanya berasal dari usaha pertanian (on-farm) baik usahatani tanaman pangan, tanaman perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan tetapi juga dari kegiatan berburuh tani (off farm), dan pendapatan non-pertanian yang terdiri atas usaha non-pertanian (perdagangan, industri, jasa), buruh non-pertanian dan lainnya. Konsep NTS yang dibangun BPS baru mendefinisikan petani sebagai petani yang berbasis lahan yang membudidayakan komoditas tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Konsep nilai tukar pendapatan yang menggunakan konsep NTS sudah memasukkan semua usaha pertanian, namun belum memasukkan kegiatan berburuh tani dan sektor nonpertanian. Sementara dari uraian struktur pendapatan rumah tangga teriihat bahwa di beberapa kelas, sumbangan dari berburuh tani dan sektor non-pertanian cukup besar. Untuk melihat indikator tingkat kesejahteraan petani, dari kajian ini diajukan konsep "Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Pedesaan" (NTPRTP). NTPRTP merupakan nisbah antara pendapatan total rumah tangga dengan pengeluaran total rumah tangga petani. Pendapatan total rumah tangga petani merupakan penjumiahan dari seluruh nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani, nilai dari berburuh tani, nilai hasil produksi usaha non-pertanian, nilai dari berburuh non-pertanian, dan lainnya (kiriman dan Iain-Iain). Dengan konsep ini, nampaknya indikator tingkat kesejahteraan petani lebih mendekati fakta yang ada. Analisa nilai tukar pendapatan rumah tangga pedesaan ditampilkan pada Tabel 4. Berdasarkan indikator nilai tukar pendapatan rumah tangga pedesaan, secara agregat tingkat kesejahteraan petani di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan CLikuo baik, dimana pendapatan total rumah tangga lebih besar dari pengeluaran total rumah tangga. Dengan tingkat pendapatan total rumah tangga yang hampir sama di 3 propinsi contoh, NTPRTP lebih dipengaruhi oleh keragaman tingkat pengeluaran. Proporsi pengeluaran terbesar di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah biaya produksi (usaha pertanian dan non-pertanian), sementara di Sulawesi Selatan adalah tingkat pengeluaran untuk konsumsi pangan. Di Jawa Tengah apabila rumah tangga contoh dibedakan atas luas garapan, nampak bahwa kesejahteraan rumah tangga tidak beriahan paling rendah, dimana pendapatan total rumah tangga tidak mencukupi untuk memenuhi pengeluaran total rumah tangga. Sementara itu nampaknya tidak ada korelasi positif antara luas garapan dengan tingkat daya beli, terlihat dari nilai tukar pendapatan pada rumah tangga dengan luas garapan tinggi, lebih kecii dari rumah tangga dengan luas garapan rendah dan sedang. Hal ini diduga disebabkan karena meningkatnya biaya
12
usaha pertanian sebagai konsekuensi penerapan teknologi yang lebih baik, meningkatnya biaya produksi usaha non-pertanian, serta meningkatnya pengeluaran pangan dan non-pangan. Tingkat pengeluaran konsumsi pangan dan non-pangan yang lebih besar diduga karena erat hubungannya dengan status ekonomi, dimana semakin tinggi status ekonomi semakin tinggi pula kebutuhan pangan dan nonpangannya. Berbeda dengan Jawa Tengah, di Jawa Timur, NTPRTP rumah tangga tidak beriahan lebih besar satu, berarti pendapatan dari berburuh tani dan sektor nonpertanian cukup besar, sehingga dapat untuk menutup kekurangan pendapatan dari usaha pertanian. Tingkat kesejahteraan rumah tangga dengan luas garapan tinggi lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga dengan luas garapan rendah dan sedang. Sementara tingkat kesejahteraan rumah tangga dengan luas garapan sedang lebih buruk dibandingkan dengan rumah tangga dengan luas garapan rendah. Besar kecilnya NTPRTP di Jawa Timur, ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan dan pengeluaran biaya produksi, kecuali pada kelas garapan sedang, proporsi pengeluaran terbesar adalah untuk konsumsi pangan. Di Sulawesi Selatan, NTPRTP untuk semua kelas luas garapan lebih besar satu. NTPRTP terbesar luas garapan sedang, berturut-turut diikuti oleh luas garapan tinggi, luas garapan
nol
dan
luas
garapan
rendah.
Faktor yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga pedesaan di Sulawesi Selatan adalah tingkat pendapatan yang beragam antar kelas dan tingginya pengeluaran untuk konsumsi, khususnya konsumsi pangan. Tabel 4. Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Pedesaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, tahun 1998/1999 Uraian Jawa Tengah Total Pendapatan (Rp 000) Pertanian 1. Usaha pertanian 2. Buruh Tani Non- Pertanian Total Pengeluaran (Rp 000) Biaya produksi (RpOOO) 1. Pertanian 2. Non Pertanian Konsumsi (Rp 000) - Pangan - Non Pangan NTPRTP Jawa Timur Total Pendapatan (Rp 000) Pertanian 1. Usaha pertanian 2. Buruh Tani
Nol
Rendah
4,772.89 1,229.35 702.57 526.78 3,543.54 5,055.73 954.34 319.67 634.67 4,101.39 2,425.52 1,675.87 0.94
13,065.09 7,789.74 7,501.12 288.62 5,275.35 6,060.63 2,402.02 934.7 1,407.32 3,65561 2,618.84 1,039.77 2.16
12,201.48 2,307.09 1,234.28 1,072.81
9,999.20 3,828.30 2,969.80 858.5
13
Luas Garapan Sedang
Tinggi
Rataan
13,910.58 10.908.65 10,766.96 141.69 3,001.93 7,862.14 2,978.97 2,243.78 730.19 4,883.17 3,369.19 1,513.98 1.77
29,883.30 24,434.86 24,409.09 25.77 5,448.44 17,992.51 10,692.86 7,988.90 2,703.96 7,299.65 4,316.75 2,982.90 1.66
13,175.83 8,826.37 8,504.78 321.59 4.349.46 9,267.16 4,143.51 2.893.92 1.249.59 5.123.65 3.190.76 1.932.85 1.42
17,370.55 9,950.29 9,478.40 471.89
29,131.07 26,454.16 26,251.56 202.6
14,342.21 6.365.43 5,532.33 833.1
Non- Pertanian 9,894.39 Total Pengeluaran (Rp 000) 10,650.22 Biaya produksi (Rp 000) 4,215.35 1. Pertanian 181.49 2. Non Pertanian 4,033.86 Konsumsi (Rp 000) 6,434.87 - Pangan 4,062.35 - Non Pangan 2,372.52 NTPRTP 1.15 Sulawesi Selatan Total Pendapatan (Rp 000) 9,694.08 Pertanian 1,892.08 1. Usaha pertanian 1,857.84 2. Buruh Tani 34.24 Non- Pertanian 7,802.00 Total Pengeluaran (Rp 000) 6,972.96 Biaya produksi (Rp 000) 1,839.34 1. Pertanian 1,826.84 2. Non Pertanian 12.5 Konsumsi (Rp 000) 5,133.62 - Pangan 3,663.20 - Non Pangan 1,470.42 NTPRTP 1.39 Sumber: Patanas 1998/1999 diolah
6,170.90 6,060.24 2,021.66 666.85 1,354.81 4,038.58 2,696.13 1,342.45 1.65
7,420.26 11,531.98 5,552.42 2,051.59 3,500.83 5,979.56 3,642.21 2,337.35 1.51
8,284^9 6,264.96 5,919.90 345.06 2,019.33 8,190.89 1,218.46 1,181.07 37.39 6,972.43 4,785.33 2,187.10 1.01
16,124.20 12,357.62 12,176.95 180.67 3,766.58 9,535.12 2,648.09 2,058.07 590.02 6,887.03 4,213.61 2,673.42 1.69
L
2,676.91 14,520.46 7,523.10 5,897.91 1,625.19 6,997.36 4,110.01 2,887.35 2.01
7,976.76 10,870.26 4,514.74 1,314.23 3,200.51 6.355.52 3.878.20 2,477.32 1.32
21,333.58 14,858.03 14,424.02 434.01 6,475.55 14,666.72 5,206.69 4,259.17 947.52 9,460.03 6,104.67 3,355.36 1.45
12,980.41 9,547.97 9,236.11 311.86 3,432.44 10,234.95 2,689.23 2,244.96 444.27 7,545.72 4,906.61 2,639.11 1.27
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Sumbangan sektor pertanian dalam pendapatan rumahtangga di pedesaan Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan masih relatif besar, narnun ada indikasi semakin menurun. Sementara di Jawa Timur, peranan sektor pertanian dan non pertanian pada tahun 1995/1996 relatif sama, sehingga penurunan peran sektor pertanian menyebabkan pendapatan rumahtangga didominasi oleh sektor non pertanian pada tahun 1998/1999. Semakin tinggi luas garapan semakin tinggi pula pendapatan dari usaha pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pertanian di pedesaan masih bersifat land base. Secara rataan, usaha pertanian tidak dapat untuk mencukupi pengeluaran rumahtangga petani, kecuali di Jawa Tengah. Oleh karena usaha pertanian masih bersifat land base, rnaka pada rumahtangga petani tidak berlahan dan berlahan sempit, usaha pertanian tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga petani (kecuali di Jawa Tengah). Faktor-faktor yang mempengaruhi NTS di tiga propinsi contoh, yaitu: (1) NTS dipengaruhi oleh besamya tingkat pendapatan usaha pertanian. Tingkat pendapatan usaha pertanian dipengaruhi oleh luas lahan garapan, tingkat teknologi (yang diproxi dengan biaya usahatani), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas yang diusahakan; (2) NTS dipengaruhi oleh pengeluaran untuk konsumsi pangan, dimana tingkat konsumsi pangan dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga, jumlah
14
yang dikonsumsi dan harga barang konsumsi pangan. Dengan indikator NTPRTP, dapat diketahui kemampuan rumahtangga dalam membiayai pengeluaran rumahtangganya, sehingga tebih dapat menggambarkan kesejahteraan petani. Dilihat dari indikator NTPRTP, secara umum rumahtangga pedesaan dapat memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Implikasi dari kajian ini adalah, perlu dibangun indikator NTPRTP secara kontinyu. Hal ini untuk memudahkan arah kebijakan pemerintah, apakah kebijakan tersebut di sisi usaha pertanian, kesempatan kerja di luar pertanian atau kebijakan harga di tingkat konsumen. Puslitbang Sosek Pertanian yang mempunyai data PATANAS bersifat panel dengan cakupan lokasi penelitian yang cukup luas diharapkan mampu menghasilkan indikator ini, sebagai komplemen indikator Nilai Tukar Petani (NTP) dari BPS.
15
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. 2000. Assesing the Rural Development Impact of the Crisis in Indonesia Center for Agro-Socioeconomic Research, Bogor and The World Bank, Washington D.C., USA. Anwar, A., F. Kasryno, S. Ibrahim dan B. Bachtiar. 1981. Studi Kebijaksanaan Nilai tukar Komoditi Pertanian. Kerjasama Puslit Agroekonomi dengan llmu-ilmu Sosial ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Bunasor, S. 1997. Integrasi Perekonomian Perdesaan dan Perkotaan. Makalah bahasan: Seminar Nasional Pengembangan Perekonomian Perdesaan dan Perkotaan. Sosek-Faperta IPB, 8-9 Juli 1997. Chacoliades, M. 1990. International Economics. Me Graw-Hill International Edition : p 46-56. Diakosavas, D. and P.L. Scandizzo. 1991. Trends in the terms of trade and cost structure as an analytical tool for estimating the food crops farmers welfare. Jakarta. Hutabarat, B. 1995. Analisa Deret Waktu Kecenderungan Nilai Tukar Petani di Indonesia Jumal Agro Ekonomi, Vo! 4 (2): 55-65. Killick, T. 1981. policy Economics. A Textbook of Applied Economics on Developing Countries. The English Language Book Society. Pramonosidhi. 1984.. Tingkah Laku Nilai Tukar Komoditi Pertanian pada Tingkat Petani. Kerjasama Puslit Agroekonomi dan Unlversitas Satya Wacana, Salatiga. Puslit Agroekonomi (PAE)-IPB. 1980. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditi Pertanian. Pusat Penelitian Agroekonomi. Bogor. Puslit Agroekonomi (PAE)-UNPAD. 1981. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditi Pertanian. Pusat Penelitian Agroekonomi. Bogor. Reksasudharma. 1988. Study on Term of Trade and Cost Structure as an Analytical Tool for Estimating The Food Crops Farmers Welfare. Departemen Pertanian, Jakarta. Scandizzo, P., and D. Diakosavas. 1987. Instability in the term of trade of primary commodities : 1900-1982. FAO Rome. Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Jumal Agroekonomi Vol 11 (1): 33-48. Simatupang, P. dan B. lsdiyoso.1992. Penganjh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Nilai Tukar Sekfor Pertanian : Landasan Teoritis dan Bukti Empiris. Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol XL (1): 33-48. Suharjo, A. 1976. Nilai Tukar Hasil-Hasil Pertanian Selama Pelita I. Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
16
Sukarja R., Sendjaja, T. dan A. Sudradjat. 1981. Studi Kebujaksanaan Nilai tukar Komoditi Pertanian. Kerjasama Puslit Agro Ekonomi dengan Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran Bandung. Timmer.C.P., W.P. Falcon, and S.R. Pearson. 1983. Food policy Analisys. John Hopkins University Press. Baltimore. Tsakok, I. 1990. Agricultural Price Policy : A Practitioner's guide to partial equilibrium analysis. Cornell University Press. P 277-287.
17