ICASEPS WORKING PAPER No. 79
KERAGAAN USAHA PELAYANAN JASA ALSINTAN (UPJA) DI JAWA BARAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU
Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan
April 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
KERAGAAN USAHA PELAYANAN JASA ALSINTAN (UPJA) DI JAWA BARAT: STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU Ening Ariningsih dan Herlina Tarigan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai keragaan UPJA di Provinsi Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Indramayu, dampak pemanfaatan alsintan UPJA dalam pelaksanaan, serta faktor yang menghambat maupun mendukung pencapaian sasaran. Data dan informasi yang terkait dengan UPJA dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam, sementara dampak pemanfaataaan alsintan UPJA pada petani diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa: (1) Pelaksanaan program UPJA tidak didasari dengan persiapan matang, baik dalam hal sumberdaya manusia pengelolanya, kesesuaian antara jenis alat dan kondisi lapangan, jumlah serta kualitas alsintan yang dibutuhkan untuk masing-masing wilayah, maupun sarana dan prasarana pendukungnya, (2) Dampak pemanfaatan alsintan UPJA sulit diukur secara kuantitatif. Dampak yang cukup signifikan adalah percepatan waktu pengolahan lahan karena tambahan hand tractor bantuan UPJA, yang mendorong peningkatan produktivitas padi. Saran bagi keberlanjutan UPJA diantaranya adalah: (1) Perlu sosialisasi yang memadai untuk mengimplementasikan UPJA pada suatu wilayah, (2) Optimalisasi alsintan UPJA dalam hal realokasi alsintan, perencanaan penggunaan alsintan dan kerjasama dengan pihak lain, (3) Koordinasi yang baik antar instansi terkait, dan (4) Pengembangan menjadi UPJA profesional, yang didukung oleh subsistem pengguna jasa alsintan, subsistem penyedia alsintan (dealer/bengkel), subsistem pemodalan (bank, non bank) dan subsistem pembinaan. Kata kunci: UPJA, Indramayu
PENDAHULUAN Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) merupakan rekayasa sosial yang dimaksudkan untuk lebih mendorong pemanfaatan alsintan oleh petani. Menurut Todaro (1983), penggunaan teknologi termasuk alsintan merupakan salah satu faktor pertumbuhan ekonomi disamping akumulasi modal dan pertumbuhan populasi.
Selain itu, UPJA merupakan terobosan untuk mengatasi masalah
usahatani pada kondisi di mana kepemilikan lahan pertanian relatif sempit sehingga
kepemilikan
alsintan
secara
individu
tidak
menguntungkan.
Pemecahannya dapat dilakukan dengan memanfaatkan alsintan secara bersama (sewa) sehingga lebih menguntungkan. Secara garis besar, UPJA diperkirakan dapat
meningkatkan
pendayagunaan
alsintan
secara
optimal,
sehingga
mendukung peningkatan produksi di tingkat petani, meningkatkan efisiensi
1
tenaga kerja, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, serta dapat mengatasi masalah kelangkaan tenaga kerja pertanian di pedesaan (Friyatno et al., 2003) Berdasarkan pemikiran di atas, Ditjen Produksi Tanaman Pangan telah meluncurkan Program P3TP (Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan) melalui bagian proyek Pengembangan Sarana dan Prasarana Kelembagaan Pertanian (SPL-JBIC INP-22) untuk Ketahanan Pangan (Ditjen Produksi Tanaman Pangan, 1999).
Program dimulai pada TA 1999/2000. Salah satu
komponen pokok program adalah pemberian bantuan alat dan mesin pertanian berupa hand tractor, power thresher, pompa air, dryer, dan rice milling unit. Pendayagunaan
alsintan
di
Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA).
lapangan
diserahkan
kepada Usaha
Program yang tersebar di 25 provinsi ini,
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi pangan
melalui perluasan areal tanam, peningkatan indeks pertanaman,
pengurangan kemungkinan kehilangan hasil, dan mengatasi kelangkaan alat mesin pertanian di masyarakat petani. Dengan demikian, orientasi program ini sepenuhnya adalah orientasi produksi. Setelah diimplementasikan selama 2,5 tahun, ditemukan beberapa hambatan yang dinamikanya di lapangan dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan maupun pencapaian sasaran.
Oleh karena itu, diperlukan peta
ulang dan identifikasi dampak pemanfaatan alsintan.
Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan informasi mengenai keragaan UPJA di Jawa Barat, dampak pemanfaatan alsintan UPJA dalam pelaksanaan, serta pengaruhnya terhadap pencapaian sasaran .
METODE PENELITIAN Penelitian
dilakukan
pada
bulan November
2002
di
Kabupaten
Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi ini di pilih karena menerima bantuan alsintan SPL-JBIC INP-22
terbanyak dan terlengkap (hand tractor, power
thresher, pompa air, dryer, dan rice milling unit) di antara kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Berdasarkan pertimbangan agroekosistem lokasi UPJA serta keragaan (jumlah dan distribusi) alsintan yang diterima masing-masing UPJA, maka dipilih tiga UPJA di Kecamatan Sliyeg mewakili agroekosistem sawah irigasi, dan tiga UPJA di Kecamatan Kroya mewakili agroekosistem sawah tadah hujan untuk penelitian secara mendalam.
Contoh UPJA yang diteliti di
Kecamatan Sliyeg adalah UPJA Sri Mulya (Desa Sleman Lor), UPJA Eka Wisata
2
(Desa Tugu Kidul), dan UPJA Mekar Tani (Desa Sudimampir Lor), sedangkan di Kecamatan Kroya adalah UPJA Sri Ayu (Desa Tanjungkerta), UPJA Tani Mulya (Desa Sukaslamet), dan UPJA Sri Jaya (Desa Sukamelang). Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Keragaan UPJA tingkat provinsi dan kabupaten diperoleh berdasarkan data sekunder di Dinas Pertanian Tanaman Pangan pada masing-masing tingkatan, diperkaya oleh informasi dari hasil wawancara intensif dengan berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam program ini.
Sementara
keragaan di tingkat UPJA diperoleh berdasarkan data sekunder di tingkat UPJA, diperkaya dengan informasi hasil wawancara mendalam (indept interview) dengan pengurus UPJA, tokoh tani maupun pengusaha penyewaan alsintan swasta yang ada di lokasi. Sementara data primer petani diambil dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum UPJA di Jawa Barat 1. Prosedur Penyerahan Alsintan UPJA Menurut Bagian Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan melalui Pengembangan Sarana dan Prasarana Kelembagaan Pertanian (SPL-JBIC INP22), pada TA 1999/2000 di Jawa Barat telah terealisir pengadaan alat dan mesin pertanian sebanyak 2.391 unit, terdiri dari 657 unit traktor tangan (hand tractor/ HT), 657 unit perontok bermotor (power thresher /PT), 487 unit pompa air (PA), 295 unit rice milling unit (RMU), dan 295 unit dryer.
Alat dialokasikan di 20
kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Setelah pemecahan wilayah menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, maka 4 kabupaten (Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang) menjadi wilayah Provinsi Banten, sedangkan 16 kabupaten lainnya tetap menjadi wilayah Provinsi Jawa Barat. Distribusi UPJA dan alsintan-alsintan di tiap-tiap kabupaten disajikan secara rinci pada Tabel 1. Implementasi UPJA dilaksanakan sepenuhnya oleh pusat melalui pimpro pelaksana yang memberi wewenang penuh kepada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi sebagai penanggung jawab program sekaligus pembina dan pelaksana monitoring UPJA di wilayahnya kerjanya.
3
Tabel 1. Distribusi UPJA dan Alsintan SPL-JBIC INP-22 Provinsi Jawa Barat T.A. 1999/2000 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kabupaten
Serang Pandeglang Lebak Tangerang Bekasi Karawang Purwakarta Subang Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Cirebon Kuningan Majalengka Indramayu Jumlah
Jumlah Kecamatan
Jumlah UPJA
Jumlah Operator (Orang)
Jumlah Mekanik (Orang)
Jumlah Alsintan (Unit) HT
PT
PA
RMU
Keterangan
Dryer
Jumlah
4 10 4 5 1 4 4 14 6 17 5 2 5 10 4 7 7 9 8 12
9 19 4 6 6 4 4 22 7 1 8 6 11 10 6 7 7 12 12 32
27 57 12 18 18 12 12 66 21 51 24 18 33 30 18 21 21 36 36 96
9 19 4 6 6 4 4 22 7 17 8 6 11 10 6 7 7 12 12 32
19 70 9 10 28 12 13 80 23 31 23 25 40 18 20 15 15 31 35 140
19 70 9 10 28 12 13 80 23 31 23 25 40 18 20 15 15 31 35 140
10 41 8 6 45 12 10 9 37 38 10 33 36 20 30 27 9 30 39 37
9 36 4 4 14 4 5 36 11 9 11 12 20 5 7 6 7 14 16 65
9 36 4 4 14 4 5 36 11 9 11 12 20 5 7 6 7 14 16 65
66 253 34 34 129 44 46 241 105 118 78 107 156 66 84 69 53 120 141 447
138
209
627
209
657
657
487
295
295
2.391
HT : Hand Tractor PT : Power Thresher PA : Pompa Air RMU : Rice Milling Unit
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (1999)
4
Secara
operasional,
Dinas
Pertanian
Tanaman
Pangan
Provinsi
mengawali program dengan melakukan sosialisasi misi program ke instansi dibawahnya.
Disperta Kabupaten akan memilih lokasi yang diusulkan untuk
menerima UPJA berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada dasarnya kelompok tani terpilih ikut menentukan jumlah dan jenis alsintan yang dibutuhkan di wilayahnya, namun seringkali terjadi perubahan dengan alasan ketersediaan jenis alat dan anggaran yang terbatas. Hal ini mendasari jauhnya realita dari konsep pembentukan UPJA profesional seperti tercantum dalam Pedoman Umum Pengembangan UPJA (Ditjen Bina Sarana Pertanian, 2002). Paket alsintan diserahkan langsung kepada kelompok tani (Manajer UPJA) disaksikan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten sebagai pihak yang diharapkan bisa mendampingi teknologi sekaligus membina kelompok tani penerima UPJA. Secara hukum penerima alsintan adalah pengelola barang milik negara c.q. Departemen Pertanian yang dalam Kerja Sama Operasional (KSO) diwakili oleh Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi dengan para manajer UPJA. Program UPJA bukan merupakan bantuan penuh kepada petani, melainkan stimulir usaha dari pemerintah.
Dalam KSO, 50 persen dari
keuntungan bersih/SHU (Sisa Hasil Usaha) harus disetorkan kepada kas negara melalui Dinas Pertanian Kabupaten, sedangkan 50 persen lagi untuk kelompok pengelola. 2. Distribusi Alsintan UPJA di Kabupaten Indramayu UPJA dimasukkan sebagai salah satu program Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu untuk mendukung Peningkatan Areal Tanam (PAT) yang sudah dilaksanakan setahun sebelumnya. Program PAT berbentuk Rehabilitasi Jaringan Irigasi (RJI) dan Jalan Usaha Tani (JUT).
Pada tahun
berikutnya diperluas dengan UPJA. Sasaran PAT sekitar 13 ribu hektar lahan sawah dari 118.513 total lahan sawah di kabupaten tersebut.
Pada tahun
pertama, 32 Kelompok Tani dari lebih 1.000 kelompok yang ada diberi bantuan UPJA (Tabel 2). Ada beberapa pertimbangan yang dipakai dalam menentukan kelompok tani penerima program UPJA. Pertama, lokasi yang lahannya berpotensi untuk ditingkatkan indeks pertanamannya, baik dari IP 100 menjadi IP 200, maupun
5
dari IP 200 menjadi IP 300. Kedua, kelompok yang secara finansial (kelompok atau pribadi ketua) mampu menyediakan sarana bangunan dan gudang untuk operasional RMU dan penyimpanan alat yang secara aman. Ketiga, memiliki modal untuk melengkapi keperluan-keperluan UPJA lainnya.
Keempat,
kekompakan dan dinamika kelompok yang dinilai layak dan potensial memajukan UPJA. Kelima, kelompok harus diajukan oleh KCD setempat. Bermodalkan kelima hal di atas maka pada tahun-tahun berikutnya pembinaan UPJA menjadi tanggung jawab daerah. Harapannya, daerah dapat mengalokasikan sebagian dananya (APBD) untuk kepentingan program ini. Jumlah alsintan SPL-JBIC INP-22 yang diberikan untuk masing-masing UPJA menggunakan pertimbangan setiap 100 ha areal PAT di wilayah UPJA bersangkutan.
Luasan ini ditentukan dengan penitikberatan kemampuan alat
hand tractor.
Pemberian pompa air mempertimbangkan kondisi ketersediaan
sumber air. Oleh karena itu, daerah yang memiliki pengairan bagus (golongan I dan II) tidak memperoleh pompa. Pompa air hanya diberikan pada UPJA yang memiliki lahan irigasi sederhana dan tadah hujan dengan syrat terdapat sumber air yang memungkinkan dipompa. Distribusi UPJA dan alsintan di Kabupaten Indramayu dapat disimak pada Tabel 2.
3. Manajemen Pengelolaan UPJA Struktur Organisasi UPJA Di Kabupaten Indramayu terdapat dua versi struktur organisasi UPJA. Versi yang pertama sesuai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dari pusat. UPJA merupakan unit usaha alsintan yang mandiri, independen dari kelompok tani. Versi kedua, UPJA merupakan bagian dari kelompok tani. Artinya, UPJA merupakan kegiatan salah satu seksi dalam Kelompok Tani, yaitu seksi alsintan. Masing-masing versi mempunyai system operasional tersendiri yang terlepas dari kelompok tani. Manajer UPJA adalah ketua kelompok tani di mana UPJA itu berada. Anggota kelompok tani secara otomatis juga menjadi anggota UPJA. Perbedaan yang nyata terlihat pada menejemen pembagian hasil. Pada versi pertama, UPJA tidak memberikan fee apa pun kepada kelompok. Sedangkan pada versi kedua, UPJA sebagai salah satu unit usaha dari kelompok tani berkewajiban memberikan fee kepada kelompok tani induknya. Besaran fee ditentukan oleh manajer UPJA yang biasaya merangkap ketua kelompok tani.
6
Struktur organisasi UPJA pada kedua versi relatif sama mencakup manajer, sekretaris, bendahara dan mekanik atau operator. Secara umum struktur organisasi UPJA,
baik yang mandiri maupun
menginduk pada Kelompok Tani, dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Struktur organisasi UPJA yang independen dari kelompok diadopsi oleh UPJA-UPJA yang ada di Kecamatan Kroya, sedangkan struktur organisasi UPJA yang merupakan salah satu unit dari kelompok diadopsi oleh UPJA-UPJA di Kecamatan Sliyeg.
Jumlah anggota UPJA berkisar 90 hingga 112 anggota,
dengan luas garapan berkisar antara 73 hingga 137 ha. Dilihat dari fungsinya, struktur organisasi UPJA yang terdiri dari manajer, sekretaris dan bendahara sangat tidak efektif. Peran sekretaris dan bendahara hanya sebagai pelengkap struktur yang ada. Hampir seluruh operasional dan pengembangan UPJA ditangani oleh manajer.
Artinya, ini berpeluang besar
mengarahkan UPJA seakan usaha perseorangan. Keuntungan pun diambil perseorangan karena keputusan sepenuhnya ada pada manajer.
Kinerja ini
selain tidak memiliki sikap pembelajaran atau pengkaderan kepemimpinan juga meniadakan fungsi kontrol.
Akibatnya, kelompok dimanfaatkan sebagai alat
untuk memperoleh keuntungan bagi sebagian orang atau seseorang. Dilihat dari segi keorganisasian, UPJA rata-rata tidak memenuhi kriteria manajerial yang baik sebagai sebuah bentuk usaha/bisnis.
Pengelola
tidak
mampu menerapkan sistem administrasi yang profesional karena umumnya hanya berpendidikan SD. Kondisi SDM demikian membuat pelatihan ketrampilan manajerial singkat yang dilakukan pada awal program tidak memadai sebagai modal mengelola UPJA.
Setidaknya ini menyulitkan pemerintah untuk
melakukan monitor maupun pengembangan.
7
Tabel 2. Distribusi UPJA dan Alsintan SPL-JBIC INP-22 di Kabupaten Indramayu T.A. 1999/2000 Agroekosistem Desa Nama UPJA 1 Cipancuh TDH Tani Harum 2 Wanakaya TDH Tani Harapan 3 Sumber Mulya TDH Sukatani 4 Baleraja TDH Dutatani 5 Sidodadi TDH Tani Mukti 2 Anjatan 6 Bugistua IRG Bugistua 7 Salamdarma IRG Karanganyar 3 Gabus Wetan 8 Gabus Kulon IRG Sutajaya 9 Sekar Mulya IRG Mulya Bakti 4 Kroya 10 Sukaslamet TDH Tani Mulya 11 Tanjungkerta TDH Sri Ayu 12 Sukamelang TDH Sri Jaya 5 Losarang 13 Pangkalan IRG Lestari 14 Jangga IRG Sumber Tani 6 Cikedung 15 Jatisura IRG Rezeki Tani 16 Loyang TDH Bina Makmur 17 Amis TDH Bina Karya 18 Manggungan IRG Daun Ijo 7 Sindang 19 Rambatan Wetan IRG Tirta Sari 20 Terusan IRG Sri Haci 21 Panyindangan Kulon IRG Glatik 8 Lohbener 22 Kiajaran Wetan IRG Simung Jaya 23 Kiajaran Kulon IRG Serabut Jaya 24 Langut IRG Jaidin Jaya 25 Arahan Kdul IRG Citra Jaya 9 Kertasemaya 26 Tersana TDH Mulya Asri 10 Sliyeg 27 Tambi Lor IRG Sri Rejeki 28 Tugu Kidul IRG Eka Wisata 29 Sleman Lor IRG Sri Mulya 30 Sudimampir Lor IRG Mekar Tani 11 Jatibarang 31 Krasak IRG Sri Makmur 32 Plumbon IRG Suropati Jumlah Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu (1999) Kecamatan 1 Haurgeulis
Jumlah Nama Manajer Operator Dapin 10 Supardi 8 Robani 10 Suhaya 14 Supeno 12 Empad 18 Carman 12 Karya 12 Rasiwan 15 Mancas 14 Kastari 17 Rasidi 19 Catu 10 Durahman 14 Sulaeman 15 A. Robani 13 Daskiman 15 H. Dewon 16 Casdiyah 19 Warma 13 Saidi 13 Wasdirah 18 Lilik Sugianto 19 Khaeri 13 Madrana 17 Ali Baba 5 Muh. Juhdi 12 Radiah 14 R. Sumardjo 12 Samuri 14 Mujibaturochman 25 Tarsim 9 447
HT 4 3 3 2 4 5 3 4 5 4 5 6 3 4 5 4 5 5 6 4 4 6 6 4 6 1 4 5 4 5 8 3 140
Jenis Alsntan (Unit) PT PA Dryer RMU 3 1 2 3 1 1 3 2 2 3 6 2 1 4 2 2 5 4 2 2 3 2 2 2 4 2 2 5 1 2 2 4 2 2 2 5 1 3 3 6 1 3 3 3 2 1 1 4 2 2 2 5 1 2 2 4 1 2 2 5 1 2 2 5 2 2 2 6 1 3 3 4 1 2 2 4 1 2 2 6 2 2 2 6 1 3 3 4 1 2 2 6 1 2 2 1 1 1 1 4 2 2 5 2 2 4 2 2 5 2 2 8 1 4 4 3 1 1 1 140 37 65 65
Keterangan IRG : sawah irigasi TDH : sawah tadah hujan HT : Hand Tractor PT : Power Thresher PA : Pompa Air RMU : Rice Milling Unit
8
Manajer
Sekretaris
Bendahara
Operator/Mekanik
Gambar 1. Struktur Organisasi UPJA
Ketua Kelompok Tani
Sekretaris
Bendahara Unit Usaha UPJA
Manajer
Sie P3A MC
Sie Pengolahan Tanah
Sie Saprodi
Sie Peralatan
Sie Pasca Panen
Sie Pemasaran
Gambar 2. Struktur Organisasi Kelompok Tani Dengan Unit Usaha UPJA
9
Insentif Pengelola UPJA Selayaknya, optimalisasi kinerja sebuah usaha sangat ditentukan oleh insentif yang bisa diperoleh pengelola atau pekerja.
Insentif merupakan
dorongan yang kuat untuk bekerja secara maksimal. Hal ini menjadi salah satu kelemahan dalam pengembangan UPJA.
Tidak terdapat aturan yang baku
mengenai pemberian insentif untuk pengelola UPJA, oleh karena itu insentif yang diberikan masing-masing UPJA sangat bervariasi. Sebagai contoh, gaji/insentif pengelola UPJA Sri Jaya sebesar Rp 500.000 untuk keseluruhan pengelola UPJA (manajer, sekretaris, dan bendahara), yang diberikan per musim tanam. Insentif tidak langsung diberikan berupa keringanan dalam biaya sewa hand tractor, sebesar 30 persen dari sewa normal. UPJA Tani Mulya memberikan insentif kepada manajer, sekretaris, dan bendahara tergantung besarnya SHU yang diperoleh.
Ketidakjelasan jumlah insentif ini memaksa sekretaris atau
bendahara merangkap sebagai operator alat untuk menambah penghasilan.
Pengembangan UPJA Seperti telah diungkap sebelumnya, program UPJA bukan bantuan pemerintah sepenuhnya, maka secara hukum UPJA penerima alsintan adalah pengelola barang milik negara c.q. Departemen Pertanian. Penetapan 50 persen keuntungan bersih (Sisa Hasil Usaha) disetorkan ke kas Negara dan 50 persen untuk pengelola, mempunyai tujuan agar pengembangan UPJA bisa berlangsung secara baik. Operasionalisasi UPJA sebenarnya terkait erat dengan pemberdayaan sekaligus empowering. Pengembangan UPJA berazas pada upaya memotivasi masyarakat untuk membangkitkan kesadaran mengenai potensi yang dimiliki dan memperkuat pengembangan potensi tersebut dengan stimulus input (Batubara, 2003). Ini merupakan kesempatan bagi masyarakat petani maupun aparat yang terlibat untuk membangun perekonomiannya menjadi lebih baik. Pelaksanaannya di kabupaten ini terlihat dalam bentuk rekayasa kebijakan yang disesuaikan dengan sumberdaya yang ada, maka UPJA-UPJA di Kabupaten Indramayu dibebaskan setoran selama dua musim tanam awal. SHU yang diperoleh pada musim itu digunakan untuk membangun RMU dan gudang alsintan lainnya. Meski masih sekitar 2,5 tahun, secara umum UPJA-UPJA di lokasi pengamatan telah melakukan pengembangan diri. Hasil pengembangan antar UPJA sangat bervariasi, tergantung kebutuhan dan
kemampuan pengelola
10
UPJA.
Pengembangan yang umum dilakukan adalah pembuatan bangunan
RMU (Rice Milling Unit) beserta lantai jemur, pembelian gandengan/gerobak traktor, rangka traktor, pompa air, dan polisher.
Pada beberapa kasus
pengembangan UPJA yang dilakukan, khususnya dalam pembuatan bangunan RMU, masih menggunakan dana hasil pinjaman dari pribadi manajer maupun pihak lain. Pada kasus penggunaan uang pribadi manajer menyebabkan status kepemilikan bangunan tersebut mengambang. Tertib Administrasi dan Penyetoran SHU Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten melakukan pembinaan terhadap UPJA mencakup penyetoran sisa hasil usaha (SHU) ke kas negara, pembinaan/pelatihan pengelolaan UPJA serta merapikan system pelaporan. Pelaporan UPJA dilakukan secara triwulan. Setiap dua bulan sekali dilakukan pertemuan manajer UPJA se-Kabupaten Indramayu untuk melakukan evaluasi, tukar pengalaman, serta diskusi mengenai hambatan-hambatan yang dialami UPJA. Masalah utama yang dihadapi pembina UPJA adalah kesulitan untuk menertibkan
administrasi
maupun
setoran
SHU
UPJA.
Seringkali
ketidakmengertian ataupun ketidakjujuran pengelola melahirkan laporan dan penyetoran SHU jadi semrawut. Dinas berusaha bersikap tegas dengan memberlakukan ganjaran terhadap UPJA yang bermasalah berupa pergantian kepengurusan atau realokasi alsintan.
Namun realokasi alsintan seringkali
terlambat atau gagal dilakukan karena prosesnya tidak mudah dan butuh biaya besar. Akibatnya penyetoran SHU selanjutnya menjadi tidak jelas.
Sebagai
contoh, salah satu UPJA di Kabupaten Indramayu yang memperoleh tiga buah hand tractor (dalam kondisi baru) hanya menyetorkan SHU sebesar Rp 129.000/MT, yang seharusnya sekitar tiga juta rupiah per musim tanam. Kegagalan sistem di atas memunculkan kesepakatan baru. Wajib setor diambil dari jumlah keuntungan bersih.
Penghitungan dilakukan dengan
memberi kewajiban-kewajiban tertentu terhadap setiap unit alsintan yang dikelola oleh UPJA, seperti hand tractor wajib setor Rp 500.000 per unit per musim, pompa air Rp 200.000 per unit per musim untuk ukuran 4 inci dan Rp 100.000 untuk ukuran 2 inci, RMU Rp 300.000 per unit per musim. penelitian menunjukkan bahwa pemakaian HT dan RMU
Beberapa hasil
sejak tahun 1975
11
sangat berkembang di Indonesia, termasuk di lokasi penelitian (Bagyo, 1983; Simatupang et al., 1995; Soentoro, 1998).
Sementara itu, untuk power thresher
dan dryer belum disepakati tingkat pembayarannya
karena penggunaannya
belum optimal. Pada prakteknya, kesepakatan tersebut membuat sistem administrasi UPJA semakin kurang tertib. Sebagian besar UPJA tidak memiliki catatan sama sekali.
UPJA akhirnya berorientasi pada besaran kewajiban setor yang
ditentukan dinas. Hal ini menyulitkan dinas dalam melakukan pengontrolan dan pengawasan. Di tingkat kabupaten, pemberlakuan Otonomi Daerah sempat membuat kesimpangsiuran/kemandegan penyetoran ke kas negara. Hasil konsultasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Indaramayu, dana setoran SHU atas KSO Alsintan yang telah diterima pada tahun 2001 sempat dibekukan, dengan maksud disetorkan ke kas daerah. Turunnya SK Kepala Dinas Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat No. 521.31/99/PH tanggal 9 Januari 2002 perihal setoran SHU atas KSO Alsintan, yang menyatakan keharusan penyetoran ke kas Negara membuat rencana tersebut batal.
Hingga penelitian dilakukan,
belum ada
keputusan tegas sampai kapan UPJA harus menyetor ke kas negara. Ini sangat menentukan kegairahan para manajer dalam berusaha. Kesesuaian Jenis dan Kualitas Alsintan Dengan Kebutuhan Jenis dan jumlah alsintan yang diterima oleh masing-masing UPJA sesuai yang dijanjikan sebelumnya. Alsintan diterima di tempat tanpa dipungut biaya transportasi, namun dalam kualitas yang kurang baik.
RMU banyak yang rusak
mgakibatkan rendemen maupun kualitas beras yang dihasilkan kurang baik akibat hasil penyosohan yang kurang optimal. Dampaknya mengganggu kinerja alat dan meningkatkan biaya produksi beras maupun biaya perbaikan alat. Sebagian besar alsintan kurang sesuai untuk kondisi agroekosistem petani. Di antara kelima jenis alsintan, hanya hand tractor, pompa air dan RMU yang berfungsi cukup optimal. Traktor banyak mengalami permasalahan pada singkal/mata bajak dan gelebeg yang harus dimodifikasi. Modifikasi memerlukan biaya antara Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per unit. Kondisi ini mengharuskan
12
UPJA menyediakan modal awal untuk operasional traktor maupun dan dana taktis untuk perbaikan alat. UPJA beragroekosistem sawah tadah hujan mengalami kesulitan dengan pompa air yang berukuran kecil (2 inci) karena debit air yang dialirkan sangat kecil dan mesin diesel yang berat.
Debit air yang dialirkan sangat kecil
sementara mesin yang besar dan berat menyebabkan pompa air kurang fleksibel untuk dipindahkan dari lahan satu ke lahan lainnya. Akibatnya, lahan yang jauh dari sumber air atau jauh dari jalan usahatani sulit mendapat pengairan. Petani menilai
penggunaan power thresher mampu mengurangi
kehilangan hasil dibanding dengan dikebot. Namun demikian penggunaannya kurang diterima,
karena khawatir menggeser peluang kerja tenaga pemanen
masih cukup banyak.
Sebagian besar sistem pembayaran panen masih
menganut sistem bawon (6:1 atau lima bagian untuk pemilik dan satu bagian untuk penderep). Berdasarkan perhitungan tersebut, pemakaian power thresher dinilai dapat mengurangi gabah bagian penderep. Ini menjadi faktor pendorong yang kuat bagi penolakan alat power thresher.
Realita ini menunjukkan
hubungan antara pekerja dengan majikan tidak semata-mata hubungan ekonomi tetapi memiliki nilai sosial yang tidak bisa disetarakan dengan ukuran-ukuran ekonomi (Nurmanaf et al., 2003). Di sisi lain, penggunaan power thresher juga memakan waktu lebih lama karena penderep harus menunggu antrian untuk merontokkan hasil sabitannya. Sistem tanam serentak yang berlaku umum mengakibatkan musim panen yang serentak pula. Oleh karena itu, alat ini dinilai kurang efektif serta mengurangi peluang bagi penderep untuk memanen di lahan petani yang lain. Sementara dengan cara dikebot, masing-masing penderep bisa melakukan dengan serempak, sehingga proses perontokan gabah bisa berlangsung cepat. Selain mengejar peluang memanen sebanyak-banyaknya, bagi petani kecepatan proses pemanenan sangat penting, terutama pada musim hujan. Proses panen dan penjemuran yang cepat sangat membantu menjaga kualitas gabah. Kasus pada UPJA Tani Mulya yang beragroekosistem sawah tadah hujan, pemakaian power thresher oleh penderep cukup tinggi, terutama pada saat MK. Pada saat MH, alat ini relatif
tidak digunakan karena padi basah
(alum) sehingga susah dirontokkan. Efektifnya penggunaan alat ini pada saat MK bertujuan mengejar waktu untuk tanam selanjutnya, sehingga proses
13
perontokan bisa selesai sebelum turun hujan. Selain itu, cuaca panas membuat penderep merasa terbantu untuk menggunakan alat ini. dipandang
bisa
mengurangi
kehilangan
hasil.
Mekanisme kerja ini
Sewa
power
diperhitungkan dari catu yang diperoleh penderep. Setiap lima
thresher
bagian yang
diperoleh penderep, satu bagian diantaranya merupakan bagian alat (5:1). Seperti halnya HT, power thresher juga merupakan alat berat sehingga sulit di pindah-pindahkan. Akibatnya, ada kesulitan mengerjakan lahan-lahan yang terletak agak jauh dari jalan raya/usahatani. Akhirnya, hanya lahan sawah yang jaraknya dekat dengan jalan raya/jalan usahatani yang bisa dilayani. Dryer juga merupakan alat yang yang belum banyak diadopsi oleh petani. Peran alat untuk mengeringkan gabah ini dipandang kurang ekonomis. Selain waktunya lama, kerjanya rumit dan hasilnya dianggap kurang baik. Gabah yang dikeringkan dengan dryer menyebabkan beras yang dihasilkan lebih kusam dan hancur setelah digiling. Alat ini juga dinilai punya kelemahan yang sama yaitu bentuknya
yang tidak knock down
sehingga kurang fleksibel dipindah-
pindahkan. Oleh karena itu, praktis alat ini tidak digunakan oleh petani, kecuali pada saat musim hujan karena petani kesulitan untuk menjemur. Penolakan power thresher dan kurang optimalnya penggunaan dryer menyebabkan pengelola mengalihfungsikan kedua mesin ini pompa air atau mesin
menjadi mesin
traktor yang lebih banyak dibutuhkan oleh petani.
Akibatnya, secara kasat mata ada perbedaan jumlah dan jenis alat dengan yang tercatat secara administrasi UPJA.
Namun demikian, manajer UPJA sengaja
tidak menggunakan seluruh mesih power thresher atau dryer untuk kepentingan hand tractor ataupun pompa air dengan alasan sewaktu-waktu ada yang membutuhkan atau ada pengontrolan dari dinas, alat tersebut tersedia.
Dampak Pemanfaatan Alsintan UPJA 1.
Dampak kehadiran UPJA sulit dilihat dari sisi luas garapan karena luas garapan petani umumnya lebih terkait erat pada lahan yang dimiliki atau yang dikuasai. Dengan kata lain, pada penguasaan lahan yang relatif sempit selalu diusahakan digarap total, baik sebelum maupun sesudah ada UPJA. Dampak lebih nyata pada petani yang memiliki lahan luas. Fakta bahwa petani pedesaan memiliki luas lahan yang umumnya berbanding lurus
14
dengan penguasaan modal dan aset ekonomi lainnya membuat lapisan ini bisa mengakses alsintan jauh hari sebelum UPJA hadir. 2.
Dampak yang lebih signifikan terdapat pada produktivitas persatuan luas lahan.
Hal ini diakibatkan proses pengolahan lahan yang cepat dan
memungkinkan untuk melakukan penanaman tepat waktu dengan mengejar ketersediaan air. 3.
Khusus pada lahan yang pengairannya terbatas, musim tanam kedua yang biasanya ditanami palawija dengan sistem alakadarnya, kehadiran pompa sangat membantu ketersediaan air sehingga memungkinkan perubahan komoditas yang ditanam menjadi padi. Lahan yang pada musim kedua biasanya ditanami padi secara untung-untungan (ditentukan curah hujan), adanya pompanisasi memberikan jaminan akan keberhasilan panen.
4.
Ada kesulitan dalam melihat dampak UPJA pada pemakaian tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) maupun luar keluarga (TKLK), karena sebelum ada UPJA,
sudah terdapat banyak alsintan yang disewakan di masyarakat.
Kekurangan hand traktor misalnya bukan menyebabkan petani mengerjakan sendiri pengolahan tanahnya dengan tenaga ternak atau manusia, melainkan menunggu giliran meskipun akhirnya waktu tanam terlambat. 5.
Pemberian alsintan UPJA kepada kelompok tani tertentu menimbulkan kecemburuan kelompok tani lainnya yang tidak mendapat bantuan tersebut. Demikian pula mereka berharap untuk mendapatkan bantuan alsintan seperti itu.
Faktor Pendorong dan Penghambat Berkembangnya UPJA Faktor Pendorong: 1.
Karakter manajer UPJA yang rata-rata berjiwa dinamis, mempunyai sifat kepemimpinan yang kuat, serta berkeinginan kuat untuk maju merupakan faktor yang sangat potensial sebagao pendorong berkembangnya UPJA.
2.
Kehadiran UPJA sedikitnya membuka peluang kerja bagi tenaga operator maupun tenaga teknik/bengkel alsintan.
3.
Kehadiran alsintan UPJA sangat berperan membantu petani menggarap usahataninya dalam waktu singkat dan tepat..
15
4.
Ada upaya pengembangan usaha oleh pengelola dalam mensiasati alsintan yang kurang dinamis pada agroekosistem setempat, misalnya merekayasa alat yang ada agar alat itu menjadi produktif.
Hal Ini terjadi karena alat
lebih berupa dropping dan petani tidak mendapat gambaran spesifikasi alat sebelumnya. Faktor Penghambat: 1.
Tujuan pembentukan UPJA kurang disosialisasikan dengan baik sehingga belum terjadi pemahaman yang benar pada pengelola, pengguna alsintan, maupun para pembina di lapangan.
2.
Banyak alat yang kurang sesuai dengan kebutuhan petani maupun kondisi lingkungan petani.
Ketidaksesuaian jenis alat yang disediakan dengan
kebutuhan petani maupun model/type alat yang kurang fleksibel. Sebagian pnggunaan alat kurang baik untuk ikatan sosial yang berkembang di masyarakat,
seperti
pemakaian
power
thresher
yang
mengancam
pendapatan penderep dll. 3.
Kualitas alat yang diberikan sangat rendah sehingga biaya perawatan dan perbaikan menjadi sangat tinggi. Ini setidaknya menghambat kelancaran setoran yang diwajibkan kepada UPJA.
4.
Dari segi perbengkelan yang menjadi permasalahan adalah sulitnya mencari suku cadang.
Agar mesin-mesin UPJA bisa terpelihara dengan baik,
manajer berharap ada perlengkapan UPJA dengan peralatan perbengkelan yang memadai i\untuk jenis mesin yang digunakan. 5.
Tidak adanya insentif khusus bagi pengurus UPJA sehingga penanganan alat menjadi tidak optimal.
Tiadanya insentif bagi pengelola UPJA juga
menyebabkan pengelola UPJA lainnya (sekretaris dan bendahara) tidak mau terus bekerja sebagai pengelola UPJA.
Ini menyebabkan manajer harus
bekerja sendiri. Kondisi ini akhirnya membuat para pengurus kelompok diberi peluang lebih dulu sebagai operator alat UPJA. 6.
Salah satu faktor penghambat pengembangan UPJA, adalah biaya sewa hand tractor yang dirasakan masih jauh lebih rendah dibandingkan biaya sewa yang layak. Saat ini biaya sewa hand tractor yang berlaku (baik untuk hand tractor UPJA maupun perseorangan/swasta) adalah Rp 180.000 per bau atau Rp 250.000 per ha. Dengan biaya sewa sebesar itu, sulit untuk mengumpulkan hasil bersih untuk pengembangan hand tractor selanjutnya.
16
Sebagai gambaran, hasil perhitungan analisis kelayakan usaha hand tractor yang dilakukan Disperta Propinsi Jawa Barat dengan biaya sewa Rp 350.000 per ha dan umur ekonomis 5 tahun, maka keuntungan tiap ha lahan yang diolah adalah sebesar Rp 33.320, atau biaya pokok per ha adalah sebesar Rp 316.618. Dibandingkan perhitungan tersebut, biaya sewa yang berlaku sangat rendah, namun untuk menaikkan sangat sulit karena harga jual gabah yang berlaku saat ini, petani tak akan sanggup membayarnya. 7.
Di beberapa kasus UPJA terjadi persaingan pengoperasian alsintan UPJA dengan alsintan sejenis milik perseorangan/swasta yang sudah beroperasi sebelum adanya UPJA. Sebagai contoh, persaingan dengan hand tractor milik perseorangan (swasta) membuat hand tractor UPJA Sri Ayu dalam posisi mengalah. Hal ini menyebabkan kerja hand tractor milik UPJA tidak bekerja secara optimal. Hal yang sama terjadi pada kasus RMU di UPJA Tani Mulya.
8.
Selain kelemahan-kelemahan yang terdapat pada alat, ada pula kelemahan yang terdapat pada sumberdaya manusia pengelola/manajer, seperti kemampuan manajerial yang sangat terbatas, sehingga UPJA yang semestinya berorientasi bisnis tidak mempunyai pembukuan (administrasi dan keuangan) yang tertib, termasuk setoran ke kas negara masih kurang disiplin, sementara sistem perjanjian Kerja Sama Operasional (KSO) memerlukan disiplin dan kejujuran.
9.
Sulitnya membuat pembukuan yang sistematis dalam nuansa penargetan yang dilakukan oleh pihak Disperta.
Akhirnya UPJA “malas” membuat
pembukuan yang riil karena yang dipentingkan adalah pemenuhan target setoran. Kesulitan ini dipengaruhi juga oleh kemampuan pengelola yang sangat terbatas baik dari segi ketersediaan waktu maupun pendidikan. 10. Banyaknya kutipan-kutipan dari berbagai pihak luar (KNPI, wartawan, desa, kecamatan, dll.) yang mengatasnamakan ijin pemerintah daerah. Hal ini tidak
saja
membuat
pengelola
merasa
dibebani
dari
segi
keuangan/operasional, tetapi kasus ini menyulitkan mereka membuat pertanggungjawaban pembukuan/keuangan dengan baik dan jujur.
17
KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum dapat disimpulkan bahwa : 1. Pelaksanaan program UPJA tidak didasari dengan persiapan matang, baik dalam hal sumberdaya manusia pengelolanya, kesesuaian jenis, jumlah dan kualitas alsintan yang dibutuhkan untuk masing-masing wilayah, maupun sarana dan prasarana pendukungnya. 2. Dampak pemanfaatan alsintan UPJA sulit diukur secara kuantitatif. Dampak yang cukup signifikan adalah percepatan waktu pengolahan lahan karena tambahan hand tractor bantuan UPJA, yang mendorong peningkatan produktivitas padi. Dalam rangka keberlanjutan UPJA, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1. Perlu sosialisasi yang bersifat terus menerus pada seluruh tingkatan institusi maupun oknum yang terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program UPJA, sehingga muncul persepsi yang sama yang membangkitkan motivasi pengembangan usaha. 2. Alsintan UPJA yang masih belum optimal penggunaannya perlu dioptimalkan dengan cara: (i) kerja sama dengan kelompok tani lain di luar UPJA, (ii) alsintan yang tidak digunakan pada UPJA yang bersangkutan dapat dipindahkan ke UPJA lain yang membutuhkan atau dibentuk UPJA baru, (iii) perencanaan
penggunaan
alsintan,
agar
berdampak
positif/dapat
meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan meningkatkan produksi dan pendapatan petani. 3. Perlu diintensifkan pembinaan terhadap seluruh SDM yang terlibat agar barang negara tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya: (i) anggaran untuk pembinaan monitoring dan pelaporan perlu disediakan, baik APBN, APBD I maupun APBD II, (ii) perlu adanya koordinasi yang baik antara Dinas Pertanian Propinsi, Kabupaten, dan pengelola/manajer UPJA. 4. Pembukuan SHU dan setoran ke kas negara perlu ditertibkan: (i) Sisa Hasil Usaha (SHU) dan setoran ke kas negara perlu dibukukan dengan baik, disiplin, dan yang paling penting adalah kejujuran pengelola UPJA (Manajer, Operator dan pengurus lainnya) serta para pembina memegang amanah dalam melaksanakan tugasnya, (ii) kalau bisa, sistem KSO diubah jadi sistem
18
leasing, agar dalam jangka waktu tertentu (umur ekonomis) alsintan tersebut sudah dimiliki kelompok (UPJA) dan target setoran per tahun dapat ditentukan. 5. Sistem dan struktur organisasi UPJA perlu dikembangkan: (i) disarankan UPJA di bawah naungan GAPOKTAN/Koperasi Tani, (ii) UPJA perlu dikembangkan menjadi UPJA profesional, yang didukung oleh subsistem pengguna jasa alsintan, subsistem penyedia alsintan (dealer/bengkel), sub sistem permodalan (Bank, non Bank) dan sub sistem pembinaan.
DAFTAR PUSTAKA Bagyo, A.S. 1983. Pengaruh Mekanisasi Terhadap Produksi dan Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Sawah di Jawa Barat. Dalam F. Kasryno et al. (Eds.). Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. hlm. 47-60. Pusat Penelitian Agro-Ekonomi. Bogor. Batubara, M.T. 2003. Pentingnya Pengembangan Usaha Pengelolaan Alsintan. Harian Ekonomi Medan Bisnis. Medan. Ditjen Bina Sarana Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) di Lahan Sawah. Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu. 1999. Distribusi UPJA dan Alsintan SPL-OECF INP-22 Kabupaten Indramayu TA 1999/2000. Looseleaf. Indramayu. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat. 1999. Data UPJA Penerima Alsintan SPL-OECF INP-22. Bandung. Ditjen Produksi Tanaman Pangan. 1999. Petunjuk Pelaksanaan Pendayagunaan dan Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian. Jakarta. Friyatno, S., H.P.S. Rachman, dan Supriyati. Kelembagaan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan). Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Bappenas/Usaid/DAI. Bogor. Nurmanaf, A.R., E.L. Hastuti, H. Tarigan, dan Supadi. 2003. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Ketenagakerjaan Pertanian di Pedesaan Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang, P., A. Purwoto, B. Santoso, Hendiarto, Supriyati, S.H. Susilawati, V. Siagian, E. Ariningsih, E. Ananto, dan J. Situmorang. 1995. Pola Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Soentoro. 1998. Pengembangan Mekanisasi Pertanian Tinjauan Aspek Ekonomi dan Kelembagaan. Dalam Erwidodo et al. (Eds.). Perspektif Pemanfaatan Mekanisasi Pertanian dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. hlm. 26-36. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
19
Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa: Aminuddin dan Mursid. Ghalia Indonesia. Jakarta.
20
21