ICASEPS WORKING PAPER No. 76
Telaah Aspek Produksi, Pendapatan dan Kecukupan Pangan Rumahtangga Pertanian
Gatoet Sroe Hardono
Maret 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Telaah Aspek Produksi, Pendapatan dan Kecukupan Pangan Rumahtangga Pertanian Oleh: Gatoet Sroe Hardono Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161
Abstrak Makalah ini bertujuan menganalisis keterkaitan kinerja penguasaan aspek produksi (sumberdaya) sebagai sumber perolehan pendapatan, pola pengeluaran, dan kecukupan pangan rumahtangga pertanian dengan memanfaatkan data penelitian Panel Petani Nasional dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan membedakan lokasi penelitian berdasarkan tipe agroekosistem. Hasil analisis menunjukkan kinerja kecukupan pangan sebagai indikator ketahanan pangan pada rumahtangga pertanian memiliki keterkaitan erat dengan penguasaan aspek produksi, khususnya lahan. Perbedaan derajat kecukupan pangan antara daerah sawah yang lebih rendah (energi 88 % dan protein 107 %) dengan daerah non sawah yang lebih tinggi (energi 94 % dan protein 114 %) berakar dari lebih rendahnya luas penguasaan lahan di daerah sawah relatif terhadap daerah non sawah, yang menyebabkan rendahnya pencapaian pendapatan rumahtangga di daerah sawah. Pangsa pengeluaran pangan pokok yang relatif lebih besar dibanding pangsa pengeluaran kelompok pangan lain mengindikasikan kontribusi energi dan protein dominan dalam rumahtangga pertanian berasal dari konsumsi kelompok pangan tersebut. Kata kunci: pangan, pendapatan, kecukupan pangan, rumahtangga pertanian
PENDAHULUAN Secara hirarkis terciptanya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga merupakan tahap akhir dari agenda program pembangunan pangan dan pertanian yang ingin dicapai. Telah banyak upaya untuk menuju tercapainya tujuan tersebut. Namun mewujudkan ketahanan pangan tidak semudah yang diperkirakan. Kendala yang muncul adalah banyaknya sumber distorsi akses pangan yang menjadi pemicu kasus-kasus rawan pangan (Hardono, 2002). Akses pangan merupakan determinan penting ketahanan pangan. Akses pangan merefleksikan kemampuan memperoleh, memproduksi dan atau membeli pangan. Pada konteks ini rumahtangga pertanian menjadi berbeda dari rumahtangga lain karena rumahtangga pertanian memiliki akses langsung terhadap produksi pangan. Akan tetapi, gambaran umum menunjukkan bahwa rumahtangga pertanian di Indonesia tidak memiliki skala usaha yang memadai untuk menjalankan kegiatannya. Secara nasional lebih dari 45 persen rumahtangga pertanian hanya memiliki lahan dengan luasan kurang dari 0.5 ha
1
(Rusastra dan Sudaryanto, 1998), dimana rataan pemilikan per rumahtangga kurang dari 0.3 ha (Sudaryanto, et al, 1999). Dengan kinerja demikian, perubahan pada lingkungan strategis produksi pertanian dan lapangan usaha penunjang yang tidak kondusif berpeluang muncul sebagai pemicu penurunan derajat ketahanan pangan atau peningkatan kejadian rawan pangan di lingkungan rumahtangga pertanian. Makalah ini bertujuan menganalisis keterkaitan kinerja penguasaan aspek produksi (sumberdaya), sebagai sumber perolehan pendapatan, pola pengeluaran dan kecukupan pangan pada rumahtangga pertanian.
SUMBER DATA DAN METODE ANALISIS Makalah ini memanfaatkan data seri penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) dari Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian 1999 dengan pertimbangan lengkapnya aspek penelitian (mencakup produksi dan pengeluaran), besarnya sebaran wilayah dan populasi contoh. Dari 35 desa penelitian yang tersebar di Propinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, terpilih 23 desa dengan jumlah sampel terpilih 399 rumahtangga, dimana pemilihan sampel mengikuti sebaran rumahtangga contoh yang memiliki basis pertanian padi sebagai kriteria. Analisis dilakukan secara deskriptif menggunakan tabulasi silang sederhana dengan membedakan wilayah penelitian menurut agroekosistem. Nilai konsumsi energi dan protein diperoleh dari hasil konversi pangan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Demografi, Produksi dan Pendapatan Pada umumnya kepala keluarga (KK) telah berusia cukup tua dan ukuran rumahtangga di daerah non sawah lebih besar dibanding daerah sawah (Tabel 1). Meskipun terdapat KK atau isteri yang memiliki jenjang sekolah hingga sekolah lanjutan atas (SMU), tetapi rataan tingkat pendidikan mereka adalah tidak tamat sekolah dasar (SD). Kinerja tingkat pendidikan ini mengindikasikan bahwa masalah tingginya tenaga kerja tak terdidik di sektor pertanian dan pedesaan hingga kini belum tertangani dengan baik (lihat Ariani dan Sayaka, 2000). Akan tetapi menurut Sudaryanto (1999), pada tingkat makro kinerja pendidikan tenaga kerja pertanian sebenarnya sudah menunjukkan perbaikan. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan pangsa tenaga kerja pertanian yang tidak pernah sekolah.
2
Tenaga kerja merupakan input penting dalam usahatani. Pangsa biaya tenaga kerja terhadap total biaya usahatani relatif besar, terlebih pada usahatani padi, sehingga ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga merupakan aset berharga. Tabel 1 juga menunjukkan, ketersediaan (pasok) tenaga kerja pada rumahtangga contoh berkisar antara 3-4 orang. Sementara itu anggota rumahtangga yang belum atau tidak produktif relatif sedikit sehingga tanggungan rumahtangga menjadi kecil. Tabel 1. Karakteristik Demografi Rumahtangga Contoh.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Uraian Umur KK (th) Umur isteri (th) Pendidikan KK (th) Pendidikan isteri (th) Jml anggta rmhtangga (org) Jml anak sekolah (org) Jml tenaga kerja (org) Rasio Ketergantungan
Agroekosistem Sawah Non sawah 49.5 42.0 4.8 3.5 4.5 1.0 3.7 0.3
49.9 43.1 4.8 3.9 4.9 1.1 3.8 0.3
Agregat 49.7 42.5 4.8 3.7 4.7 1.0 3.8 0.3
Dalam perspektif ketahanan pangan, jaminan utama terbukanya akses fisik terhadap pangan adalah adanya penguasaan lahan (khususnya sawah) sebagai basis usahatani. Hasil analisis menunjukkan partisipasi penguasaan lahan sawah mencapai 94 persen di daerah non sawah dan 97 persen di daerah sawah. Untuk jenis lahan lainnya tingkat partisipasi penguasaan sangat rendah. Secara agregat rataan pemilikan sawah per rumahtangga sebesar 0,52 ha (Tabel 2), dimana pemilikan di daerah agroekosistem sawah lebih sempit dibanding daerah non sawah. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan rataan penguasaan lahan pertanian nasional hasil Sensus Pertanian 1993 dari BPS yang sebesar 0.74 ha/rumahtangga (Sudaryanto, et al. 1999). Sebagaimana ditunjukkan Tabel 2, partisipasi penguasaan seluruh jenis lahan non milik juga relatif rendah. Dari sisi penyediaan, oleh karena ketersediaan lahan relatif tetap, rendahnya penguasaan lahan non milik dapat disebabkan oleh sikap pemilik yang cenderung tidak melepaskan lahannya digarap orang lain. Sebagai aset utama, pelepasan lahan biasanya hanya terjadi pada kondisi darurat (terpaksa) secara ekonomi. Dari sisi permintaan, rendahnya partisipasi penguasaan di atas terkait dengan keterbatasan modal (pendapatan maupun tenaga kerja) rumahtangga disamping karena nilai sewa lahan (land
3
rent) yang semakin mahal seiring makin kuatnya “tekanan” terhadap lahan sebagai imbas perkembangan wilayah. Tabel 2. Kinerja Penguasan Lahan Rumahtangga Contoh .
No. Jenis Lahan 1. Milik (ha): -Sawah -Tegal -Kebun -Lainnya 2.
Non milik (ha): -Sawah -Tegal -Kebun -Lainnya
Agroekosistem Sawah Non Sawah
Agregat
0.47 (97.1) 0.58 (9.6) 0.78 (30.8) 0.11 (78.3)
0.57 (93.7) 1.34 (35.2) 1.02 (54.7) 0.11 (64.8)
0.52 (95.7) 1.12 (19.8) 0.91 (40.4) 0.11 (72.9)
0.47 (36.3) 0.36 (2.9) 0.63 (0.8) 0.16 (0.8)
0.37 (22.0) 0.78 (12.6) 0.82 (4.4) 0.08 (3.1)
0.45 (30.6) 0.67 (6.8) 0.77 (2.3) 0.11 (1.3)
Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan persen partisipasi penguasaan. Peran penting lahan sebagai input produksi dalam rumahtangga pertanian dapat tercermin dari kontribusi pendapatan usahatani terhadap total pendapatan rumahtangga (Sawit et al, 1985). Pada Tabel 3 dapat disimak kontribusi pendapatan usahatani dalam rumahtangga pertanian contoh mencapai sekitar 75 persen. Angka tersebut lebih besar dari analisis Sumaryanto, et al (2002) di seluruh lokasi desa penelitian PATANAS (sekitar 56 %). Di daerah penelitian rataan pendapatan rumahtangga mencapai Rp 7 539 000/tahun atau sekitar Rp 135 000/kapita/bulan. Sejalan dengan perbedaan luas penguasaan (Tabel2), lebih rendahnya pendapatan rumahtangga di daerah sawah ternyata karena penguasaan lahan garapan di daerah tersebut lebih sempit dibandingkan di daerah non sawah. Menarik disimak bahwa kontribusi (pangsa) pendapatan usahatani non padi ternyata lebih besar daripada pendapatan dari usahatani padi. Struktur pendapatan seperti itu selain terkait dengan faktor kendala skala usaha dan rendahnya produktivitas padi, juga tidak terlepas dari pengaruh faktor perbedaan harga antara padi dengan komoditas lain yang diusahakan.
Dari sisi kualitas dan kapasitas input produksi (sumberdaya),
produktivitas padi di daerah sawah hanya sekitar 3.6 ton/ha dan di daerah non sawah 3.5 ton/ha. Intensitas tanam lahan sawah di kedua daerah relatif sama, yaitu sekitar 150 persen. Angka persentase tersebut menunjukkan bahwa sebagian areal sawah petani masih ada yang hanya dapat ditanami padi sekali setahun.
4
Tabel 3. Struktur Pendapatan Rumahtangga Contoh (persen). No. 1.
2.
3.
Sumber pendapatan Usahatani: - Padi - Non padi Berburuh: - Pertanian - Non pertanian Lainnya: Total (Rp 000/tahun)
Agroekosistem Sawah Non sawah
Agregat
29.3 45.5
31.2 44.5
30.1 45.0
1.1 8.8 15.3 7117
2.2 7.6 14.5 8158
1.6 8.3 15.0 7539
Di luar usahatani, sebagian pendapatan rumahtangga berasal dari kegiatan berburuh. Meski memiliki pangsa relatif kecil, kegiatan berburuh (khususnya berburuh di sektor non pertanian) berpotensi sebagai alternatif sumber pendapatan rumahtangga pertanian sehingga kebijakan penciptaan kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan perlu terus dikembangkan. Bagi rumahtangga penggarap lahan, berburuh sifatnya hanya sambilan atau tambahan sehingga kegiatan ini biasanya dilakukan di sela waktu senggang dari kegiatan mengelola usahatani, atau ketika rumahtangga mengalami paceklik karena tidak ada garapan di lahan mereka. Akan tetapi, dengan bekal pendidikan dan ketrampilan terbatas menjadi tidak mudah bagi tenaga kerja dari rumahtangga pertanian untuk mendapatkan pilihan kerja buruh yang memberikan pendapatan lebih layak. Terlebih karena pasar tenaga kerja cenderung semakin kelebihan penawaran seiring dengan semakin tingginya pengangguran secara nasional setelah krisis ekonomi (Irawan dan Sutanto, 1999), sehingga upah buruh makin tertekan. Di daerah sawah, rataan upah buruh tani sebesar Rp 774/jam dan upah buruh non pertanian sekitar Rp 1659/jam, sedangkan di daerah non sawah upah kedua jenis kegiatan masing-masing sekitar Rp 826/jam dan Rp 2051/jam. Struktur pendapatan dan situasi ketenagakerjaan
di atas juga mengesankan
pentingnya peningkatkan skala dan kapasitas (kualitas) lahan garapan bagi peningkatan pendapatan rumahtangga pertanian. Akan tetapi hasil analisis model perilaku rumahtangga oleh Hardono (2002) menunjukkan bahwa harga output yang berlaku di daerah penelitian belum dapat menjadi insentif ekonomi bagi rumahtangga petani padi untuk memperluas skala usaha. Sehingga terkesan intervensi melalui mekanisme pasar yang telah dilakukan selama ini (melalui kebijakan harga pedoman pembelian pemerintah, HPP) tidak berjalan optimal bila ditujukan untuk mendorong peningkatan skala garapan rumahtangga.
5
Oleh karena peningkatan pendapatan merupakan source of power bagi peningkatan kinerja ketahanan pangan rumahtangga, maka selain upaya peningkatan efektifitas kebijakan harga output, kreasi kebijakan lain yang dapat efektif dalam membuka peluang petani adalah menambah luas garapan, baik melalui penambahan fisik maupun peningkatan kapasitas dan kualitas lahan. Peningkatan mutu intensifikasi, investasi irigasi dan revitalisasi program reformasi agraria adalah beberapa alternatif opsi kebijakan yang relevan. Pengeluaran Rumahtangga Pada penelitian ini biaya atau pengeluaran pendidikan dan kesehatan dipisahkan dari pengeluaran lainnya dan dikatagorikan sebagai investasi sumberdaya manusia. Disebut investasi karena pada pengeluaran tersebut terkandung ekspektasi (nilai harapan) peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rumahtangga yang akan menghasilkan tambahan manfaat (ekonomi dan non ekonomi) dalam jangka panjang. Secara agregat pangsa pengeluaran pangan rumahtangga sekitar 32 persen dari total pengeluaran rumahtangga, dimana pengeluaran di daerah sawah lebih kecil dibandingkan di daerah non sawah (Tabel 4). Terdapat kemungkinan angka pengeluaran tersebut bias ke atas (over estimate) karena data penelitian PATANAS cenderung menekankan aspek produksi (pendapatan). Pengeluaran non pangan merupakan pengeluaran terbesar yang meliputi pengeluaran untuk: penerangan, bahan bakar, pemeliharaan rumah, transportasi, sosial dan pengeluaran non pangan lainnya. Di daerah sawah pengeluaran non pangan mencapai 47 persen dari total pengeluaran, sedangkan di daerah non sawah pengeluaran tersebut hanya 39 persen. Investasi sumberdaya manusia mencapai hampir 25 persen dari total pengeluaran dengan alokasi terbesar adalah pada pengeluaran pendidikan. Kesediaan berinvestasi seperti itu mengindikasikan rumahtangga pertanian di pedesaan memiliki kesadaran cukup terhadap upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam rumahtangga mereka. Terkait dengan aspek stabilitas pengeluaran atau konsumsi, rumahtangga pertanian pada umumnya menghadapi resiko ketidakpastian pendapatan karena usahatani mereka dipengaruhi oleh kondisi musim (Hossain, 1998). Faktor musim berperan menentukan pencapaian tingkat pendapatan melalui pengaruhnya terhadap kecukupan air irigasi yang menjadi syarat tumbuh dan keberhasilan usahatani. Derajat kecukupan air dapat berubahubah mengikuti perubahan iklim antar musim. Perubahan iklim yang terlalu menyimpang (anomali), seperti kejadian El Nino dan La Nina yang menimbulkan kekeringan, banjir, dan
6
serangan hama berpotensi meningkatkan resiko keberhasilan produksi pangan (Irawan, et al. 2003). Tabel 4. Pola Pengeluaran Rumahtangga Contoh (persen)
No. 1. 2. 3.
Jenis pengeluaran Pangan Non pangan Investasi SDM Total
Agroekosistem Sawah Non sawah 30.7 47.3 22.0 100.0
33.6 38.7 27.7 100.0
Agregatl 31.8 43.9 24.3 100.0
Faktor resiko pendapatan tersebut dalam jangka pendek dapat ditanggulangi bila rumahtangga memiliki coping strategy. Salah satu pilihan teknik coping di pedesaan adalah dengan menabung, baik dalam bentuk tunai atau natura. Penyimpanan gabah sebagai cadangan pangan merupakan alternatif pilihan tabungan natura. Cadangan pangan maupun tabungan tunai biasa juga digunakan sebagai modal biaya usahatani selama belum panen. Di daerah sawah akumulasi total nilai cadangan pangan dan tabungan tunai dalam setahun rata-rata mencapai Rp 392 000/rumahtangga, sedangkan di daerah non sawah hanya Rp 292 000/rumahtangga. Kecukupan Pangan Kecukupan pangan merupakan indikator (outcome indicator) ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Untuk mengetahui kinerja kecukupan pangan dilakukan pengukuran kecukupan energi dan protein. Rekomendasi kecukupan konsumsi energi penduduk Indonesia dalam hitungan setara pria dewasa (adult equivalent unit) adalah sebesar 2800 Kkal/hr, sedangkan kecukupan protein 55 gram/hari. Tingkat kecukupan tersebut setara dengan 2200 Kkal/kapita/hari untuk energi dan 48 gram/kapita/hari untuk protein (Muhilal, et al. 1998). Dari hasil perhitungan diperoleh rataan konsumsi energi anggota rumahtangga mencapai 2526 Kkal/hari/setara pria dewasa di tingkat agregat atau sekitar 90 persen dari norma kecukupan, sedangkan konsumsi protein 60.5 gram/hari/setara pria dewasa atau lebih dari 110 persen dibandingkan norma kecukupan. Tingkat konsumsi energi maupun protein tersebut lebih tinggi di daerah non sawah dibanding daerah sawah. Bila dikaitkan dengan tingkat pendapatan rumahtangga di masing-masing agroekosistem (Tabel 3) terkesan adanya korelasi positif antara pendapatan dengan derajat kecukupan energi dan
7
protein. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi pula pencapaian derajat kecukupan kedua unsur pangan tersebut. Tabel 5. Derajat Kecukupan Pangan Rumahtangga Contoh (persen) Kecukupan pangan No.
Agroekosistem Sawah Non sawah
Agregat
1.
Energi
87.8
93.9
90.2
2.
Protein
107.1
114.4
111.6
Oleh karena setiap jenis pangan memiliki kandungan zat gizi tertentu maka pilihan terhadap jenis, kuantitas serta komposisi bahan pangan sangat berpengaruh terhadap status gizi anggota rumahtangga. Untuk mencapai derajat sehat komposisi konsumsi pangan seyogyanya terdiri atas sumber-sumber pangan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, minyak, vitamin dan mineral secara proporsional. Hasil analisis menunjukkan, proporsi pengeluaran rumahtangga contoh untuk pangan pokok di tingkat agregat mencapai lebih dari 40 persen total pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaran lauk pauk sekitar 30 persen dari total pengeluaran pangan, sayuran 12 persen dan pengeluaran tiga kelompok sayur, buah dan pangan lain kurang dari 10 persen (Tabel 6). Apabila diasumsikan tidak terdapat perubahan harga bahan pangan, total pengeluaran pangan akan berbanding lurus dengan total kuantitas bahan pangan yang dikonsumsi rumahtangga. Oleh karena kuantitas fisik pangan tersebut berbanding lurus dengan kandungan gizinya maka berdasarkan pola pengeluaran pangan pada Tabel 6, dapat diduga bahwa kontribusi energi dan protein dominan dalam konsumsi pangan rumahtangga pertanian bersumber dari kelompok pangan pokok. Bila dikaitkan kembali dengan kecukupan pangan sebelumnya (Tabel 5), dan dengan asumsi tidak ada perbedaan harga pangan antar wilayah, dapat dikatakan bahwa konsumsi pangan rumahtangga pertanian di daerah non sawah tidak saja memiliki derajat kecukupan kuantitas lebih tinggi tetapi secara kualitas juga lebih baik dibandingkan konsumsi pangan rumahtangga di daerah sawah. Indikasi ini terlihat dari cenderung lebih tingginya pangsa pengeluaran lauk-pauk, sayur, buah dan pangan lain, sementara di sisi lain pangsa pengeluaran pangan pokok cenderung menjadi lebih rendah dibandingkan pangsa pengeluaran pangan pokok di daerah sawah. Analisis di atas menunjukkan perlunya pemantapan program sosialisasi Pedoman Umum Gizi Seimbang di kalangan
8
rumahtangga pertanian, khususnya di daerah agroekosistem sawah sehingga mereka dapat merubah komposisi pangannya sesuai norma anjuran. Tabel 6. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Jenis Pangan (persen)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Pangan pokok Lauk pauk Sayur Buah Susu Lainnya Total
Agroekosistem Sawah Non sawah 42.7 37.5 29.6 30.2 11.4 11.8 5.3 10.4 8.8 6.7 2.1 3.4 100.0 100.0
Agregat 40.5 29.8 11.6 7.2 8.2 2.7 100.0
KESIMPULAN DAN SARAN
Kinerja kecukupan pangan sebagai indikator ketahanan pangan pada rumahtangga pertanian memiliki keterkaitan erat dengan penguasaan aspek produksi, khususnya lahan. Perbedaan derajat kecukupan pangan antara daerah sawah yang lebih rendah dengan daerah non sawah yang lebih tinggi berakar dari lebih rendahnya luas penguasaan lahan di daerah sawah relatif terhadap daerah non sawah, karena luas lahan menentukan besarnya perolehan pendapatan rumahtangga yang sebagian akan dialokasikan untuk belanja pangan. Pangsa pengeluaran pangan pokok yang relatif lebih besar dibanding pangsa pengeluaran kelompok pangan lain mengindikasikan kontribusi energi dan protein dominan dalam rumahtangga pertanian berasal dari konsumsi kelompok pangan tersebut. Dalam perspektif pangan, kinerja ketahanan pangan rumahtangga pertanian dapat ditingkatkan bila petani memiliki kemampuan meningkatkan pendapatan dan memperbaiki pola konsumsi pangan mereka. Untuk itu selain pemantapan kebijakan harga output pertanian, diperlukan dukungan kebijakan lain yang bersifat non pasar tetapi membuka kesempatan petani meningkatkan luas dan kapasitas lahan garapan seperti: peningkatan mutu intensifikasi, investasi irigasi dan revitalisasi program reformasi agraria serta penciptaan kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan.
Tak kalah penting adalah
peningkatan sosialisasi Pedoman Umum Gizi Seimbang yang masih diperlukan sebagai stimulus bagi rumahtangga pertanian agar dapat memperbaiki komposisi konsumsi pangan mereka.
9
DAFTAR PUSTAKA Ariani, M. dan B. Sayaka, 2000. Ketahanan Pangan Rumahtangga Pedesaan. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Hardono, GS. 2002. Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian. Thesis. Tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hossain, M. 1998. Sustaining Food Security in Asia: Economic, Social and Political Aspect. Sustainability of Rice in The Global Food System. Pacific Basin Study Center. International Rice Reseach Institute, Los Banos. Irawan, PB dan A. Sutanto. 1999. Impact of the Crisis on The Number of Poor People. Paper presented at The International Seminar on The Agricultural Sektor During Turbulence of Economic Crisis: Lesson Learned and Future Direction. CASER. 1718 Februari 1999. Bogor. Irawan, B. et al. 2003. Analisis Faktor Penyebab Perlambatan Produksi Pangan Utama. Laporan hasil penelitian. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. Muhilal, F. Jalal dan Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI, Jakarta. Rusastra, IW dan T. Sudaryanto. 1998. Dinamika Ekonomi Pedesaan dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sawit, MH, Y. Saefudin dan S. Hartoyo. 1985. Aktivitas Non Pertanian Pola Musiman dan Peluang Kerja Rumah Tangga di Jawa. Peluang Kerja dan Berusaha. BPFE, Yogyakarta. Sudaryanto, Erwidodo dan B. Rachman. 1999. Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dalam Era Globalisasi. Makalah disajikan dalam seminar nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. 16-17 Nopember 1999. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sumaryanto, MO. Adnyana, R. Kustiari dan Suprapto, 2002. Struktur Pendapatan Rumahtangga Penelitian Tahun 1998/1999. Monograph Series No. 22. Analisis Kebijaksanaan: Pendekatan Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis. Penyunting: Tahlim Sudaryanto, dkk. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
10