ICASEPS WORKING PAPER No. 84
KERAGAAN USAHATANI JAMBU METE PERKEBUNAN RAKYAT (Studi Kasus di Propinsi Nusa Tenggara Barat)
Ade Supriatna
September 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
KERAGAAN USAHATANI JAMBU METE PERKEBUNAN RAKYAT (Studi Kasus di Propinsi Nusa Tenggara Barat)
Ade Supriatna1) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl.A.Yani 70, Bogor (16161), Jawa Barat, Indonesia
ABSTRAK Dalam memasuki era perdagangan bebas, Indonesia sebagai negara produsen jambu mete diharuskan melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan daya saing produk agar lebih bersaing di pasar domestik maupun pasar internasional. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2003 dan berlokasi di NTB. Tujuan penelitian adalah mengetahui karakteristik petani dan kebun mete, penerapan teknik budidaya, menganalisis kelayakan ekonomi usahatani mete, dan sistem pemasaran di tingkat petani. Hasil penelitian menunjukan, bahwa tanaman mete pada awalnya merupakan tanaman penghijauan untuk merehabilitasi lahan kritis. sejalan dengan program pengembangan Indonesia wilayah timur tahun 1990, tanaman mete mulai diusahakan secara lebih intensif. Cara budidaya tanaman mete pada umumnya sudah sesuai anjuran, termasuk jarak tanam dan lainnya. Hal ini dikarenakan selama penanaman, petani dibimbing langsung oleh petugas unit pelayanan pengembangan (UPP) proyek pengembangan. Permasalahannya, belum ada bibit unggul Nasional yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas. Selama ini petani masih menanam varietas unggul lokal “Muna” dengan produktivitas masih rendah 285 kg gelondong asalan/ha/tahun. Petani belum mampu menerapkan pupuk sesuai rekomendasi dikarenakan kekurangan modal sementara kepastian mendapat harga jual tinggi belum diperoleh karena fluktuasi harga mete cukup tinggi. Biaya usahatani mete mencapai Rp.1.526 ribu, terdiri atas biaya tenaga kerja keluarga (68,3%), pupuk kimia (14,1%), tenaga upah (7,6%), pupuk kandang (2,2%), lainnya (0,1%). Apabla seluruh biaya usahatani diperhitungkan, usahatani jambu mete tergolong tidak layak secara ekonomi (R/C Ratio 0,84) dan mengalami kerugian sebanyak Rp.246 ribu/ha/tahun. Usahatani akan layak (R/C Ratio 2,65) apabila tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan dengan keuntungan Rp.796 ribu/ha/tahun. Apabila seluruh sumber pengeluaran dari petani tidak diperhitungkan, pendapatan mencapai Rp.831 ribu/ha/tahun. Biaya pemasaran pedagang pengumpul Rp.40,- dan margin keuntungan Rp.160,-. Margin keuntungan Pedagang besar Rp.210,-. Bagian yang diterima petani (farmers share) mencapai 83,1 persen. Introduksi teknologi biaya rendah (low cost technology) sangat cocok dikembangkan seperti penggunaan pestisida nabati dan penggunaan pupuk kandang. Upaya pengembangan jambu mete sebaiknya melibatkan pihak swasta termasuk ekportir melalui program kemitraan.
Kata kunci: jambu mete, budidaya, kelayakan ekonomi, pemasaran
1
PENDAHULUAN Salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai prospek baik untuk dikembangkan
sebagai
komoditi
ekspor
adalah
Jambu
mete
(Anacardium
moccidentale). Tahun 2000, ekspor nasional jambu mete mencapai 27. 617 ton atau sama dengan 31.502 US$ dan tingkat pertumbuhan ekspor selama sepuluh tahun terakhir (tahun 1990-2000) mencapai 47,8 persen per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan Rakyat, 2002). Salah satu sentra produksi jambu mete nasional adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Total luas jambu mete di NTB tahun 2000 mencapai 53.321 hektar dengan total produksi 4.607 ton biji kering, sebagian besar merupakan perkebunan rakyat (92,9%) sedangkan sisasnya (7,1%) merupakan perkebunan swasta (Dinas Perkebunan Propinsi NTB, 2002). Dalam memasuki perdagangan bebas, negara produsen jambu mete (termasuk Indonesia), membutuhkan upaya-upaya perbaikan sistem produksi untuk meningkatkan daya saing produk, supaya lebih mampu bersaing baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. Tulisan ini menggambarkan keragaan usahatani jambu mete membahas mulai dari teknik budidaya sampai pemasaran hasil. Secara rinci penelitian bertujuan untuk; (1) mengetahui karakteristik petani dan kebun jambu mete, (2) penerapan teknik budidaya, (3) menganalisis kelayakan ekonomi usahatani, dan (4) sistem pemasaran di tingkat petani. Hasil penelitian diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dalam upaya meningkatkan kinerja usahatani jambu mete.
METODA PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2003 selama empat bulan mulai Bulan Juni sampai dengan September 2003. Kabupaten Lombok Barat terpilih sebagai lokasi penelitian, merupakan sentra produksi terbesar untuk NTB. Selanjutnya untuk desa penelitian, terpilih Desa Kayangan dan Desa Dangiang, keduanya termasuk Kecamatan Kayangan. Penelitian menggunakan metode survei, data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data primer dikumpulkan dari enam puluh petani yang diambil secara acak (random sampling). Data sekunder berasal dari Dinas/Instansi terkait seperti Dinas Perkebunan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Lembaga Penelitian.
2
Karakteristik petani, dan cara budidaya dikemukakan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis data tabulasi dengan parameter nilai rata-rata dan persentase petani yang menerapkan. Sedangkan untuk analisis pendapatan, kelayakan ekonomi, dan pemasaran hasil menggunakan metoda sbb:
1. Pendapatan usahatani jambu mete
n π = Y.Py - ∑ Xi.Pxi - BL i=1 Dimana: π Y Py Xi Pxi BL
= Pendapatan bersih usahatani mete (Rp/ha/tahun) = Total produksi mete (Kg/ha/tahun) = Harga jual mete (Rp/kg) = Tingkat penggunaan input usahatani ke-i (Rp/ha/tahun) = Harga input usahatani ke-i (Rp/kg) = Biaya lainnya (Rp/ha/tahun)
2. Analisis kelayakan ekonomi Jambu mete (Nilai R/C ratio)
R/C Ratio = NPT/BT Dimana: R/C Ratio = Nisbah penerimaan dan biaya NPT = Nilai produksi total (Rp) BT = Nilai biaya total (Rp) Dengan keputusan: R/C > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan R/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP) R/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)
3. Analisis pemasaran meliputi saluran tataniaga, margin pemasaran, dan bagi an harga yang diterima petani (farmers share): a. Margin pemasaran dan distribusi
Mm = Pe – Pf
Dimana: Mm = Margin pemasaran di tingkat petani
3
Pe Pf
= Harga produk di tingkat pelaku pemasaran (di atas petani) = Harga produk ditingkat petani
b. Bagian harga yang diterima petani (Farmers share). Merupakan perbanding an harga yang diterima petani dengan harga di lembaga pemasaran dan dinyatakan dalam persentase:
Pf Fs = ------ x 100 % Pe Dimana: Fs = Farmers share Pf = Harga di tingkat petani Pe = Harga di tingkat lembaga pemasaran HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani dan Kebun Jambu Mete Salah satu faktor yang dapat memperlancar pengembangan komoditi jambu mete adalah karakteristik petani sebagai pelaku usahatani (producer), terutama kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga, dan luas penguasaan kebun. Tabel 1 menginformasikan bahwa, umur petani berada pada usia produktif, mayoritas berada pada kisaran umur 31-40 tahun (49%). Pendidikan berada antara Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Pertama (61,7%), Sekolah Lanjutan Atas (23,3%), dan sisanya termasuk buta huruf (15,0%). Dilihat dari aspek umur dan tingkat pendidikan, petani cukup baik sehingga diharapkan akan lebih lancar untuk menerima dan menerapkan setiap teknologi yang dikembangkan Sebagian besar petani mempunyai pekerjaan utama sebagai petani jambu mete (75,9%), sisanya merupakan petani pangan (20,8%), dan sebagai peternak
sapi
(3,2%). Keberadaan ternak sapi sangat menunjang kegiatan budidaya jambu mete karena memberikan beberapa keuntungan seperti tambahan pendapatan (dari proses produksi), sumber tenaga kerja, kotorannya merupakan sumber pupuk organik, dan mengurangi biaya penyiangan karena rumput (gulma) selalu diambil untuk pakan sapi. Anggota keluarga terdiri atas istri, anak, dan lainnya diluar kepala keluarga yang tinggal satu rumah dan satu dapur. Rataan anggota keluarga petani
4
ada empat orang,
keberadaan anggota keluarga ini sangat penting sebagai sumber tenaga kerja keluarga sehingga petani tidak harus mengeluarkan uang cash.
Tabel 1. No 1.
2.
3.
Karakteristik Petani dan Kebun Jambu mete di NTB. 2003. Karakteristik petani dan kebun
Nilai
Kelompok Umur kep.keluarga (%) - 20 - 30 tahun - 31 - 40 tahun - > 40 tahun Tingkat pendidikan (%) - Buta huruf - SLTP - SLTA Jenis pekerjaan utama (%) - Petani pangan - Petani jambu mete - Peternak
33 49 18 15,0 61,7 23,3 20,8 75,9 3,3 1)
4.
Jumlah anggota keluarga (Orang/KK)
5.
Luas kepemilikan kebun (Ha/petani)
1,1
6.
Populasi tanaman (Pohon/ha) - Belum menghasilkan (TBM) - Tanaman menghasilkan (TM) - Tanaman rusak (TR) 2)
10 209 20
.
4
Keterangan : 1) Diluar Kepala Keluarga. 2) Akibat gangguan HPT, iklim, dll.
Luas penguasaan lahan kebun petani relatif tergolong sempit, yaitu 1,1 ha per petani dengan populasi tanaman jambu mete mencapai 239 pohon, terdiri dari tanaman produktif (87,4%), sisanya merupakan tanaman rusak (8,4%) dan tanaman belum menghasilkan (4,2%). Tanaman jambu mete pada awalnya ditanam sebagai tanaman penghijauan untuk merehabilitasi lahan-lahan krisis. Sejalan dengan program pengembangan kawasan timur Indonesia, jambu mete di NTB mulai diusahakan secara intensif pada tahun 1990 melalui program Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK). Selanjutnya pada tahun 1994 dikembangkan melalui berbagai program seperti Eastern
5
Island Cashew Development Proyect (EISCDP), International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan program lainnya. Cara budidaya jambu mete pada umumnya sudah sesuai anjuran, termasuk jarak tanam, cara tanam,
dan lainnya. Hal ini
dikarenakan selama penanaman, petani selalu dibimbing langsung oleh petugas Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) proyek yang ditempatkan di lapang. Teknik Budidaya Jambu Mete Pada waktu penelitian, jambu mete berumur antara 8-10 tahun (sudah memasuki
usia
produktif),
kegiatan
rutin
usahatani
terdiri
atas
penyiangan,
pemangkasan, pemupukan, dan pengendalian Hama Penyakit Tanaman (HPT), panen/pasca panen, dan pemasaran hasil dalam bentuk gelondong kering asalan. Uraian lebih rinci mengenai teknik budidaya tanaman adalah sebagai berikut: Penggunaan bibit varietas unggul. Petani menyadari pentingnya penggunaan bibit varietas unggul karena disamping memberikan produksi tinggi juga lebih tahan terhadap gangguan hama penyakit. Tabel 2 menginformasikan bahwa, seluruh petani sudah menanam bibit unggul, yaitu bibit unggul lokal varietas “muna”, berasal dari bantuan proyek pengembangan tahun 1992 dan 1997. Untuk rehabilitasi tanaman atau perluasan areal, petani medapatkan bibit dari kebun sendiri, bisa disemaikan dulu tetapi paling banyak dalam bentuk tanaman yang sudah tumbuh di kebun. Permasalahan utama adalah belum ditemuknnya varietas unggul nasional yang diharapkan mampu memberikan produktivitas lebih tinggi dibandingkan varietas lokal “Muna”. Tabel 2. No
Persentase Petani menurut Penerapan Teknik Budidaya. 2003. Jenis Teknik Budidaya
Persentase (%)
6
1)
1.
Menanam bibit unggul
2.
Menerapkan penyiangan/dangir
98,3
3.
Menerapkan pemangkasan
91,7
4.
Aplikasi pupuk kandang
100
5.
Aplikasi pupuk UREA
95,6
6.
Aplikasi pupuk SP-36
30,0
7.
Pengendalian HPT cara mekanis
100
83,3 2)
8.
Pengendalian HPT pakai pesnab
9.
Pengendalian HPT pakai pestisida kimia
25,0 -
Keterangan: 1)
Varietas unggun local “muna”
2)
Pestisida nabati bentuk larutan dibuat sendiri dari daun nimba, sirsak, tembakau, dll. Penyiangan/dangir.
Mayoritas
petani
sudah
menyadari
bahwa,
gulma
disamping merupakan pesaing jambu mete dalam dalam penyerapan nutrient tanah, air, dan lainnya juga dapat merupakan tanaman inang untuk beberapa penyakit. Kegiatan penyiangan sudah dilakukan oleh sebagian besar petani (91,7%) dengan frekuensi satu kali per tahun, yaitu pada setiap awal musim hujan menggunakan sabit, dan parang. Untuk penyiangan dibutuhkan tenaga kerja 47,0 HOK pria dan 7,5 HOK wanita per hektar per tahun. Pemangkasan. Cabang tanaman jambu mete diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu (a) cabang intensif yang akan menghasilkan bunga dan atau buah dan (b) cabang ekstensif merupakan cabang yang tidak atau sedikit menghasilkan bunga selanjutnya Jenis cabang terakhir sebaiknya dibuang (Daras dan Zaubin (2002). Kegiatan pemangkasan sudah dilakukan oleh mayoritas petani (91,7%) dengan frekuensi satu kali per tahun, pada setiap awal musim hujan sebelum pemberian pupuk. Pemangkasan dilakukan secara selektif, terhadap cabang ekstensif, cabang terlalu rimbun, dan cabang rusak akibat terserang HPT. Untuk pemangkasan dibutuhkan tenaga kerja 3,9 HOK pria dan 3,0 HOK wanita per hektar per tahun. Pemupukan.
Supaya
tanaman
menghasilkan
buah
yang
banyak
dan
berkulaitas baik, tanaman jabu mete sebaiknya diberi pupuk sesuai dosis anjuran, terdiri atas 450 gram Urea, 200 gram SP-36, dan 330 gram KCL per pohon per tahun
7
(Disbun Propinsi NTB, 2003). Karena mendapatkan permasalahan, petani baru mampu memberikan dua jenis pupuk, yaitu 151 kg Urea dan 12 kg TSP per hektar atau sekitar 630 gram Urea dan 50 gram SP-36 per pohon per tahun (Tabel 3). Petani belum menerapkan pupuk rekomendasi dikarenakan menemukan beberapa kendala, yaitu; (a) kekurangan modal karena ekonomi petani masih tergolong rendah, (b) jenis pupuk KCL harganya mahal sementara pengaruhnya terhadap pendapatan belum dirasakan, dan (c) harga jual biji jambu mete sangat fluktuatif dan tidak dapat diduga. Kekurangan pupuk anorganik diimbangi dengan pemberian pupuk kandang (sapi) dengan takaran 1.690 kg per hektar per tahun. Pupuk diberikan satu tahun sekali setelah kegiatan penyiangan/dangir dengan cara disebarkan pada
galian tanah sepanjang tajuk
tanaman yang dikenal dengan sebutan “sistem piring”. Untuk pemupukan dibutuhkan tenaga kerja 13,9 HOK pria dan 10,5 HOK wanita per hektar per tahun.
Tabel 3. No.
Masukan Fisik Usahatani Jambu Mete di NTB. 2003.
Jenis masukan Usahatani
Volume (Satuan/ha/tahun)
8
1.
2.
3.
Takaran pupuk (Kg): - Urea - SP-36 - Pupuk kandang 1) Takaran pestisida (Lt): - Pestisida an organik 2) - Pestisida organik 3) Tenaga kerja (HOK) - Penyiangan/dangir
151 12 1.687 25,0
P W - Pemangkasan P W - Pemupukan P W - Pengendalian HPT 4) P W - Panen/pasca panen P W Total tenaga kerja: P W
47,0 7,5 3,9 3,0 13,9 10,5 1,9 0,5 8,9 10,6 37,7 31,9
Keterangan : 1) Kotoran ternak sapi 2) Pestisida nabati bentuk larutan dibuat sendiri dari daun nimba, sirsak, tembakau, dll 3) Hari Orang Kerja (HOK) 4) Cara mekanis dan penggunaan pestisida
Pengendalian Hama Penyakit Tanaman (HPT). Di tingkat petani, ditemukan banyak jenis hama penyakit tetapi yang utama dan sering menimbulkan kerugian baru empat jenis, yaitu hama lawana (Lawana candida), Helopeltis (Helopeltis spp), dan Aphis (Aphis sp.), dan penyakit jamur busuk akar (Fusarium solani) (Disbun Propinsi NTB, 2002). Sesuai dengan konsep pengendalian hama terpadu (PHT), Disbun Propinsi NTB mengintroduksikan beberapa agent hayati, yaitu; (a) Beauveria bassane dan Shynnematium sp. untuk mengendalikan hama lawana, dan (b) Trichoderma spp. untuk mengendalikan jamur busuk akar. Disamping itu, diintroduksikan cara pembuatan pestisida nabati (pesnab) dari sumberdaya pohon yang ada di sekitar kebun petani seperti daun nimbi, tembakau, sirsak, dll. Dalam mengendalikan HPT petani sudah menerapkan prinsip PHT, tidak mengandalkan penggunaan pestisida kimia. Tabel 2 menginformasikan bahwa, petani lebih mendahulukan cara mekanik (83,3%) yaitu memotong bagian tanaman yang
9
terserang dan penggunaan pestisida nabati (25,0%0. Selanjutnya apabila gangguan HPT masih tinggi, mereka baru akan menggunakan pestisida kimia seperti Diazinon atau Elsan. Pada waktu penelitian, tidak ditemukan petani yang menggunakan pestisida kimia, dikarenakan intensitas gangguan HPT relatif rendah dan harga pestisida kimia yang mahal turut menahan penggunaannya. Petani hanya melakukan pengendalian cara mekanis dan penyemprotan pesnab dengan takaran 25 Lt larutan per hektar, tenaga kerja pengendalian HPT terdiri atas 1,9 HOK pria dan 0,5 HOK wanita (Tabel 3). Pestisida nabati tidak langsung membunuh hama tetapi upaya untuk mengusir dari tanaman, mengurangi nafsu makan dan diharapkan berlanjut dengan kematian. Panen/Pasca panen. Dari tiga fase masa pembungaan, masa panen jambu mete
jatuh pada awal Bulan Agustus sampai dengan Oktober, Bulan September
merupakan masa panen raya. Petani menetapkan waktu panen apabila buah sudah masak dengan kriteria buah sudah berwarna kuning atau jatuh ke tanah. Panenan buah mete dilakukan dengan beberapa cara, yaitu; (a) menggunakan alat panen berupa galah yang ujungnya diberi besi untuk meraih buah pada tangkai yang tinggi, (bi) buah yang rendah langsung dipungut pakai tangan, dan (c) buah yang sudah jatuh dipungut langsung “cara lelesan”. Penanganan pasca panen petani masih sederhana, yaitu
kegiatan
pengambilan
gelondong
dari
buah
semu
dan
ppenjemuran
menggunakan sinar matahari selama 1-3 hari. Selanjutnya, gelondong dijual dalam bentuk gelondong kering tingkat petani “gelondong asalan”. Ditemukan beberapa petani langsung menjual biji gelondong tampa melalui proses penjemuran terlebih dahulu. Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Jambu Mete Tabel 4 mengimformasikan, bahwa nilai masukan usahatani jambu mete mencapai Rp.1.526 ribu,-/ha/tahun, terdistribusi paling banyak untuk biaya tenaga kerja keluarga (68,3%), pengadaan pupuk buatan (14,1%), tenaga kerja upahan (7,6%), pupuk kandang (2,2%), dan lain-lain (0,1%). Produktivitas tanaman mencapai 285 kg biji gelondong asalan atau senilai Rp. 1.280 ribu/ha/tahun. Pembiayaan usahatani dapat dipenuhi petani dengan dua sumber, yaitu berasal dari luar petani (pembelian) dan dari sumber petani sendiri seperti tenaga kerja keluarga, pupuk kandang, dan pesnab. Tabel 4 menginformasikan, bahwa apabla seluruh biaya usahatani
10
diperhitungkan (A), usahatani jambu mete termasuk tidak layak secara ekonomi (R/C Ratio 0,84) dan mengalami kerugian sebanyak Rp.246 ribu/ha/tahun. Usahatani akan layak secara ekonomi (R/C Ratio 2,65) apabila tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan (B) dengan keuntungan Rp.796 ribu/ha/tahun. Pendapatan akan semakin tinggi apabila seluruh sumber pengeluaran dari petani tidak diperhitungkan (C), yaitu Rp.831 ribu/ha/tahun dengan R/C Ratio 2,85. Tabel 4. Masukan dan pengeluaran usahatani jambu mete di NTB. 2003.
No
1.
2.
3. 4.
5.
Jenis masukan/ pengeluaran usahatani
Sarana produksi (Kg) a. Pupuk buatan b. Pupuk kandang c. Pestisida nabati Total (1): Tenaga kerja (Rp) a. Tenaga kerja keluarga b. Tenaga kerja upahan Total (2): Pengeluaran lain (Rp)1) Total biaya (1+2+3): Produksi a. Fisik (Kg) b. Nilai (Rp) Pendapatan (Rp)2) (A) (B) (C)
Nilai (Rp/ha/tahun)
215.340 33.720 1.330 250.390 1.043.400 115.840 1.159.340 117.000 1.526.720 285 1.280.110 -246.610 796.790 830.500
R/C Ratio (A) R/C Ratio (B) R/C Ratio (C)
0,84 2,65 2,85
Keterangan: 1) Pengeluaran lain: PBB, bunga pinjaman, dan penyusutan 2) A = Seluruh pembiayaan diperhitungkan B = Biaya tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan. C = Biaya tenaga kerja keluarga dan pupuk kandang tidak diperhitungkan
11
Sistem Pemasaran Jambu Mete Produk mete di Propinsi NTB paling banyak terjual ke pasar Internasional (ekspor) dan hanya sebagian kecil untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Pelaku ekspor paling besar adalah eksportir lokal dan hanya sebagian kecil oleh eksportir luar daerah seperti Surabaya. Sebaliknya pada waktu produksi berkurang, eksportir lokal akan
mencari
ke
luar
daerah
termasuk
ke
sulawesi
selatan.
Gambar
1
menginformasikan, bahwa dalam kegiatan pemasaran jambu mete ditemukan beberapa pelaku pasar, yaitu: (a) petani sebagai penghasil (produser) jambu mete, (a) pedagang pengumpul, (c) pedagang besar, (d) pedagang antar kota, dan (e) eksportir. Petani menjual hasil dalam bentuk gelondong asalan ke pedagang pengumpul, harga ditetapkan berdasarkan kadar air dan berkisar antara Rp.3.500 sampai Rp.5.000 per kilogram. Pedagang pengumpul pada umumnya merupakan kaki tangan pedagang besar, mereka sebelumnya memberikan pinjaman ke petani berupa pupuk, obatobatan, dan juga kebutuhan lainnya. Sehingga secara tidak langsung, ada keharusan petani untuk menjual hasil panen kepada mereka. Mubiyarto (1973) menyatakan, bahwa
penerimaan
petani
hanya
diterima
setiap
musim
panen,
sedangkan
pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen seperti kematian, pesta perkawinan, dan selamatan lain. Dalam hal demikian, petani sering menjual tanamannya pada saat masih hijau (ijon) baik dengan harga penuh atau berupa pinjaman. Sebagian besar petani (78,4%) melakukan pinjaman pupuk atau uang tunai ke pedagang pengumpul dengan bentuk pembayaran berupa hasil panen. Mayoritas pembayaran dilakukan secara kontan/cash setelah terlebih dahulu dipotong pinjaman, sisanya (3,4%) dibayar kemudian antara 1-7 hari setelah pembelian. Dari pedagang pengumpul, gelondong asalan langsung dikirim ke pedagang besar pada hari yang sama dengan tampa perlakuan penanganan apapun. Biaya pemasaran pedagang pengumpul terdiri atas tenaga kerja pengumpulan gelondong dari rumah atau kebun petani dan ongkos pengiriman ke pedagang besar. Pembayaran dilakukan bisa secara cash apabila di pedagang besar ada uang tetapi paling sering selalu menunggu hasil pembayaran dari eksportir.
12
Petani (Produser mete)
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar antar Pulau
Pedagang Besar
Industri Pengolah
Eksportir
Konsumen Gambar 1. Rantai Pemasaran Jambu Mete di NTB. 2003.
Pedagang besar pada umumnya sudah mempunyai fasilitas cukup berupa gudang penyimpanan, lantai jemur, sarana angkutan dan tenaga kerja. Untuk membina hubungan kerja dengan pedagang pengumpul, mereka memberikan bantuan modal pembelian dan hadiah di hari raya keagamaan. Di tingkat pedagang besar, gelondong asalan mendapat penanganan hasil lanjutan yaitu proses penjemuran, sortasi, dan pengarungan. Biaya pemasaran meliputi upah penanganan hasil tersebut dan ongkos pengiriman ke eksportir. Volume penjualan ke pedagang pengumpul antar kota masih kecil, penjualan hanya pada musim panen raya dan apabila kebutuhan eksportir lokal sudah terpenuhi. Ada empat ekportir local dalam pemasaran mete (gelondong dan biji), yaitu: (a) UD.Agung Sejahtera, (b) PD. Garuda Indah, (c) PT. Phoenix Mas Sejahtera, dan (d) PT. Teguh Jaya. Dari ke empat perusahaan tersebut, PT.Phoenix Mas Persada merupakan perusahaan terbesar dengan tujuan pemasaran ke negara Hongkong, Taiwan, India, dan China. Selain ke eksportir, pedagang besar melakukan penjualan ke industri local pengolahan jambu mete, tetapi volume permintaannya masih kecil. Di lokasi KIMBUN
13
sudah ada kegiatan pengolahan hasil mete oleh kelompok tani, yaitu: (a) Koperasi Mete Bersama dan UD.Surya Tani di Kecamatan Bayan, (b) Koperasi Maju Jaya di Kecamatan Bayan, (c) Koperasi Sinar Mete di Kecamatan Pekat, dan (d) Kelompok Usaha Bersama “Maulukae” di Kecamatan Manggalewa. Kegiatan pengolahan masih tahap industri rumah tangga dan dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga. Hasil produk olahan berupa kacang mete mentah dan biji siap dikonsumsi. Kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan merupakan tiga fungsi utama dari pemasaran disamping fungsi pembiayaan (financing). Masing-masing pelaku pasar akan memperoleh besaran margin pemasaran yang berlainan tergantung kepada struktur pasar, posisi tawar, dan efisiensi usahanya. Karena kesulitan untuk menghubungi dan mendapatkan informasi, analisis margin pemasaran hanya bisa dilakukan sampai ke tingkat pedagang besar. Tabel 5. Analisis Margin Pemasaran Jambu Mete di NTB. 2003. No
1.
Nilai (Rp/kg)
Uraian
Tingkat petani (Produsen) a. Harga beli
-
b. Margin pemasaran
-
c. Harga jual 2.
4.490
83,1 3)
4.490
83,1
200
3,8
Tingkat pedagang pengumpul a. Harga beli b. Margin pemasaran -Biaya pemasaran 1)
40
-Margin keuntungan
160
c. Harga jual 3.
Persentase (%)
4.690
86,9
4.690
86,9
710
13,1
Tingkat pedagang besar a. Harga beli b. Margin pemasaran -Biaya pemasaran 2)
500
-Margin keuntungan
210 5.400
c. Harga jual
14
100,0
1) 2) 3)
Biaya pemasaran: Biaya pengumpulan hasil dan ongkos pengiriman Biaya pemasaran: Ongkos penanganan hasil dan pengiriman Bagian yang diterima petani (Farmers share): Harga jual di petani/Harga jual di pedagang besar x 100 Tabel 5 menginformasikan bahwa, di tingkat petani tidak ada biaya pemasaran
karena pedagang pengumpul mengambil langsung gelondong asalan dari rumah atau kebun
petani.
Biaya
pemasaran
dipedagang
pengumpul
terdiri
atas
biaya
pengumpulan dan pengiriman gelondong ke pedagang besar sebesar Rp.40 dan mendapatkan margin keuntungan Rp.160 per kilogram gelondong. Pedagang besar memperoleh margin keuntungan paling tinggi sebesar Rp.210 per kilogram gelondong, karena mereka sudah mencurahkan jasa pemasaran lebih banyak mencakup kegiatan penjemuran, sortasi, grading, pengarungan dan penyimpanan. Biaya pemasaran pedagang besar terdiri atas ongkos penanganan hasil dan biaya pengiriman ke eksportir. Selama ini, kegiatan pengacipan dilakukan oleh pihak eksportir sedangkan petani dan pedagang besar belum melakukan. Kendala petani dalam pengacipan, adalah: (a) volume panen sedikit sehingga tidak efisien secara ekonomi untuk melakukan penjualan bentuk hasil kacipan, (b) alat kacip yang baik tidak tersedia di tingkat petani, hanya dimiliki eksportir, (c) kebutuhan sehari-hari mendorong petani untuk cepat menjual hasil panen, dan (d) petani kurang trampil menggunakan alat kacip, memberikan rendemen rendah yaitu 70 persen kernel utuh dan 30 persen pecah (belah, pecahan, dan menir).
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Tanaman jabu mete pada awalnya ditanam sebagai tanaman penghijauan untuk merehabilitasi lahan kritis. Sejalan dengan program pengembangan Indonesia wilayah timur tahun 1990, tanaman mete di NTB mulai diusahakan secara intensif. Cara budidaya jambu mete pada umumnya sudah sesuai anjuran, termasuk penggunaan varietas unggul, cara tanam, dan teknik pemeliharaan lainnya. Hal ini dikarenakan selama penanaman, petani selalu dibimbing langsung oleh petugas Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) proyek yang ditempatkan di lapang. Permasalahan utama adalah belum ditemukan bibit varietas unggul Nasional, petani masih menggunakan varietas unggul local “muna” dengan produktivitas masih rendah 285 kg gelondong asalan/ha/tahun. Petani belum menerapkan pupuk rekomendasi secara
15
penuh dikarenakan beberapa kendala, yaitu; (a) kekurangan modal karena ekonomi petani masih tergolong rendah, (b) jenis pupuk KCL harganya sangat mahal sementara pengaruhnya terhadap pendapatan belum dirasakan petani, dan (c) harga jual biji jambu mete sangat fluktuatif dan tidak dapat diduga. Biaya usahatani mete mencapai Rp.1.526 ribu, paling besar digunakan untuk tenaga kerja keluarga (68,3%), pupuk kimia (14,1%), tenaga upah (7,6%), pupuk kandang (2,2%), lainnya (0,1%). Apabila seluruh biaya usahatani diperhitungkan, usahatani jambu mete termasuk tidak layak secara ekonomi (R/C Ratio 0,84) dan mengalami kerugian Rp.246 ribu/ha/tahun. Usahatani akan layak secara ekonomi (R/C Ratio 2,65) apabila tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan dengan keuntungan Rp.796 ribu/ha/tahun. Pendapatan akan semakin tinggi apabila seluruh sumber pengeluaran dari petani tidak diperhitungkan (C), yaitu Rp.831 ribu/ha/tahun dengan R/C Ratio 2,85.. Dalam kegiatan pemasaran jambu mete ditemukan beberapa pelaku pasar, yaitu petani sebagai penghasil (produser) jambu mete, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang antar kota, dan eksportir. Di tingkat petani tidak ada biaya pemasaran karena pedagang pengumpul mengambil langsung gelondong asalan dari rumah atau kebun petani. Biaya pemasaran dipedagang pengumpul terdiri atas biaya pengumpulan dan pengiriman gelondong ke pedagang besar sebesar Rp.40 dan mendapatkan margin keuntungan Rp.160 per kilogram gelondong. Pedagang besar memperoleh margin keuntungan paling tinggi sebesar Rp.210 per kilogram gelondong, karena mereka sudah mencurahkan jasa pemasaran lebih banyak mencakup kegiatan penjemuran, sortasi, grading, pengarungan dan penyimpanan. Biaya pemasaran pedagang besar terdiri atas ongkos penanganan hasil dan biaya pengiriman ke eksportir. Rataan luas kepemilikan kebun mete relatif sempit
ditambah pendapatan
usahatani kurang menguntungkan menyebabkan kekuatan petani dalam memupuk modal lemah. Sehingga introduksi teknologi biaya rendah (low cost technology) sangat cocok dikembangkan seperti penggunaan pestisida nabati yang tersedia di kebun, pengendalian secara mekanis dan biologis (hayati), dan penggunaan pupuk kandang dikarenakan mayoritas petani sudah memelihara ternak sapi. Disamping itu, upaya pengembangan jambu mete sebaiknya melibatkan pihak swasta termasuk ekportir melalui program kemitraan yang saling menguntungkan. Perlu bantuan modal usaha
16
dan bimbingan langsung di tingkat lapangan untuk meningkatkan produktivitas tanaman, efisiensi produksi, dan peningkatan kualitas produk sehingga lebih bersaing di pasar internasional.
DAFTAR PUSTAKA Dahl Dale C. and Jerome W.Hammond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGraw-Hill. Book Company. New York St.Lois San Francisco Anckland Bogota Dusseldorf the United States of America. Daras Usman dan R.Zaubin. 2002. Pemupukan dan pemangkasan jambu mete. Dalam Robber,Z., M.Hadad,E.A., Usman,D., Ellyda,A.W., Djajeng,S., Ludi,M., Amrizal,M.R., Rita, dan Wiratno (Eds.). Monografi jambu mete. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm. 67-76. Dirjenbun. 2002. Statistik perkebunan Indonesia.2000-2002 Jambu mete. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. 25 hal. Disbun Propinsi NTB. 2001. Latihan Pemandu Lapang (PL II). Kumpulan petunjuk lapang PHT jambu mete. 2001. Dinas Perkebunan Propinsi NTB. 150 hal. Kohl, Richard L. and Joseph N.Uhl. 1990. Marketing of Agricultural Products. Mac Millan Publishing Company. New York. Mubyarto.1973. Pengantar ekonomi pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Cetakan pertama. PT. Repro Internasional. Jakarta. 274 hal.
=========
17