ICASEPS WORKING PAPER No. 67
ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI
Mewa Ariani
Oktober 2004
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI Mewa Ariani Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis situasi konsumsi pangan dan gizi selama dasa warsa terakhir. Data yang digunakan adalah SUSENAS tahun 1993, 1996, 1999 dan 2002. Hasil analisis menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat telah membaik, namun dengan adanya krisis ekonomi terjadi penurunan. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan konsumsi energi dan protein serta perubahan konsumsi pangan yang harganya mahal ke pangan yang harganya murah. Namun dengan membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat partisipasi dan konsumsi pangan meningkat kembali serta pola konsumsi pangan semakin beragam. Selain itu mie telah menjadi pangan pokok kedua setelah beras, menggeser umbi-umbian dan jagung. Implikasinya untuk meningkatkan keragaman pangan dan pangan lokal, political will dan political power pemerintah menjadi ujung tombak keberhasilan hal tersebut. Selain itu, diperlukan upaya peningkatan daya beli serta penyadaran masyarakat akan pentingnya pola pangan dan gizi seimbang. Kata kunci : perkembangan, konsumsi, pangan, gizi
PENDAHULUAN Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan secara kuantitas dan kualitas merupakan hal yang sangat penting sebagai landasan bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam jangka panjang. Dalam Undang-Undang Pangan Nomor 7/1996 juga mengamanatkan bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia (Kantor Meneg Pangan, 1998). Situasi pangan dan gizi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait dan bersifat komplek, mulai dari kemampuan produksi, penyediaan pangan, kelancaran distribusi, struktur dan jumlah penduduk, daya beli rumah tangga, sampai pada kesadaran gizi penduduk dan keadaan sanitasi lingkungan Faktor-faktor tersebut senantiasa berkembang seiring dengan perubahan lingkungan strategis Internasional dan domestik. Seperti adanya kesepakatan GATT/WTO, globalisasi perlindungan hak azasi manusia, gerakan perbaikan kualitas produk, liberalisasi sektor moneter, dan terakhir wacana bioterorism act. Dampak total dari keterbukaan ekonomi dan komunikasi global sangat nyata mempengaruhi dinamika sosio-kultur-politis di dalam negeri. Dari sisi konsumen, telah terjadi perubahan mendasar dalam selera penduduk Indonesia yang
1
mengarah pada selera global, yang menyebabkan substitusi antar produk semakin meningkat termasuk dari produk impor (Rusastra, et al., 2002). Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang ditandai oleh depresiasi nilai rupiah yang tajam, harga barang (pangan dan bukan pangan) menjadi mahal dan sekaligus tingkat inflasi yang meningkat tajam membawa
dampak dalam bentuk
penurunan pendapatan riil dan daya beli masyarakat, meningkatnya pengangguran dan pada akhirnya meningkatnya jumlah penduduk miskin serta melemahnya permintaan konsumsi. Pada tahun 1996 (sebelum krisis), jumlah penduduk miskin hanya 22,5 juta orang, maka pada waktu krisis (1998) meningkat menjadi 79,4 juta orang (Irawan, et al., 2000). Pada saat hampir bersamaan dengan terjadinya masa krisis ekonomi, Indonesia juga mengubah kebijaksanaan sistem ketatanegaraan, dari sentralisasi ke desentralisasi sesuai amanat otonomi daerah yang dituangkan pada PP No. 22
tahun 1999. Akibat
dari hal tersebut, terjadi pemilahan kewenangan, dimana wewenang pemerintah pusat menjadi berkurang, sedangkan di daerah (kabupaten ) meningkat, termasuk wewenang dalam hal pangan. Perubahan ini secara mendasar akan berpengaruh pada situasi ketahanan pangan nasional dan daerah, baik dari aspek produksi, penyediaan dan distribusi, serta konsumsi pangan dan gizi. Disamping itu, ketahanan pangan yang dihadapi pada masa mendatang adalah liberalisasi perdagangan. Produk-produk pertanian, khususnya pangan (termasuk jenisjenis pangan yang secara alami tidak diproduksi di Indonesia) dari berbagai negara dengan sistem produksi dan distribusi yang lebih efisien diperkirakan akan membanjiri Indonesia. Hal ini tidak hanya akan memukul petani/produsen dalam negeri, tetapi juga menimbulkan pergeseran pola konsumsi pangan, serta tentu saja meningkatkan arus devisa ke luar negeri. Mengingat ketahanan pangan merupakan salah satu isu sentral dalam kerangka pembangunan pertanian dan pembangunan nasional, yang ditunjukkan antara lain dengan dijadikannya ketahanan pangan sebagai salah satu fokus kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian dalam Kabinet Persatuan Nasional (Anonimous, 1999), maka pembangunan ketahanan pangan nasional di era globalisasi dan desentralisasi di masa mendatang perlu memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi selama ini, paling tidak selama dasawarsa terakhir. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis mendalam terhadap situasi konsumsi pangan dan gizi selama dasa warsa
2
terakhir sebagai bahan masukan bagi pemantapan kebijakan ketahanan pangan di masa mendatang. Analisis ini menggunakan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1993, 1996, 1999 dan 2002.
PERKEMBANGAN PANGSA PENGELUARAN PANGAN Pangsa Pengeluaran Pangan Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan pengeluaran menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran untuk
pangan dan bukan pangan. Pada umumnya
pengetahuan tentang pengeluaran ini digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan tingkat pendapatan rumah tangga, dikarenakan pengukuran dan pengumpulan data pendapatan lebih sulit. Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga atau masyarakat. Dari proporsi pengeluaran pangan dapat diungkapkan bahwa semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga tersebut semakin rendah atau rentan; sebaliknya semakin rendah proporsi pengeluaran pangan, tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik. Selama tahun 1996-2002,
secara absolute total pengeluaran (pangan dan non-
pangan) rumah tangga mengalami peningkatan yaitu dari Rp.69.977,- menjadi Rp.206.336/kapita/bulan atau meningkat sebesar 24,3 persen/tahun (Tabel 1). Peningkatan yang relatif besar ini pada hakekatnya tidak menunjukkan peningkatan daya beli masyarakat, karena peningkatan pendapatan riil rumah tangga relatif kecil. Dengan menggunakan indeks harga konsumsi gabungan 43 kota sebagai deflator, ternyata pendapatan riil masyarakat hanya meningkat sebesar 1,3 persen/tahun, yaitu dari Rp.69.977 menjadi (1996 = 100) menjadi Rp.75.305,- Perubahan daya beli (purchasing power) yang relatif kecil ini tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perubahan struktur pengeluaran masyarakat termasuk perubahan dalam pola konsumsi pangan dan gizi. Namun demikian gambaran absolute mengenai perkembangan data pengeluaran rumah baik untuk pangan dan non pangan tetap menarik untuk diungkapkan lebih lanjut dengan memilah wilayah atau strata ekonomi sebagai proksi dari pendapatan masyarakat. Berbagai upaya
untuk meningkatkan perekonomian masyarakat telah
3
diupayakan oleh pemerintah terlihat dari adanya penurunan pangsa pengeluaran pangan. Pangsa pengeluaran pangan terus menurun selama tahun 1993-1996
seperti
terlihat pada Tabel 1. Namun dengan adanya krisis ekonomi yang mulai pada pertengahan tahun 1997 telah berdampak pada peningkatan alokasi anggaran untuk pangan yaitu dari 55,3 persen menjadi 62,9 persen, atau meningkat sebesar 7,6 persen selama periode 3 tahun. Peningkatan proporsi pengeluaran pangan ini sekaligus mengindikasikan menurunnya kesejahteraan masyarakat, karena semakin menurunnya proporsi anggaran untuk membeli kebutuhan di luar pangan seperti untuk sandang, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Lagi-lagi situasi penurunan kesejahteraan masyarakat dialami oleh semua elemen masyarakat yang berada di berbagai wilayah. Kejadian ini menunjukkan adanya efek negatif dari penerapan kebijakan perekonomian yang sentralistik, sehingga apabila kondisi ekonomi di satu wilayah mengalami kerapuhan/goyah, maka situasi tersebut juga akan dialami oleh wilayah lain. Tabel .1
Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Menurut Wilayah di Indonesia, 1996-2002.
Pangan
Non Pangan
Total Pengeluaran (Rp/kap/bln)
Kota 1996 1999 2002
48,0 56,2 52,8
52,0 43,8 47,2
100.639 180.500 273.294
Desa 1996 1999 2002
63,3 70,2 66,6
36,7 29,8 33,4
52.711 109.523 152.784
Kota + Desa 1996 1999 2002
55,3 62,9 58,5
44,7 37,1 41,5
69.977 137.453 206.336
Pengeluaran (%)
Sumber : Susenas, 1996, 1999, 2002 (diolah)
Dengan membandingkan antar wilayah menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di kota lebih baik daripada di desa seperti yang ditunjukkan oleh pangsa pengeluaran pangan pada Tabel 1. Hal ini berarti masyarakat kota telah menikmati dampak positif dari pembangunan (yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta) lebih besar daripada masyarakat desa, padahal jumlah penduduk kota hanya sekitar 30 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan perkataan lain, pembangunan
4
perekonomian yang dilaksanakan oleh pemerintah dan juga sektor swasta masih bias pada perkotaan. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan antara penduduk kota dan desa dan hal ini seringkali memicu terjadinya tindakan kejahatan. Pada tahun 2002 dapat dikatakan termasuk situasi pemulihan ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan pada waktu krisis ekonomi terutama tahun 1998/1999. Seiring dengan perbaikan ekonomi tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakat juga mulai membaik yang ditunjukkan oleh penurunan pangsa pengeluaran untuk pangan (dibandingkan tahun 1999). Penurunan pangsa pengeluaran pangan tahun 2002 terjadi tidak hanya pada masyarakat kota tetapi juga masyarakat pedesaan. Namun bila dianalisis menurut strata ekonomi, ternyata peningkatan kesejahteraan banyak dirasakan oleh masyarakat kaya. Hal ini terlihat dari penurunan pangsa antara tahun 1999-2002 pada kelompok berpendapatan rendah hanya 0,7 persen, sedangkan
pada kelompok berpendapatan sedang dan tinggi,
masing-masing 5,0 persen dan 4,0 persen. Walaupun kesejahteraan pada tahun 2002 mengalami peningkatan, namun tingkat kesejahteraan tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis ekonomi, yang ditunjukkan oleh proporsi pengeluaran pangan pada tahun 2002 masih lebih besar daripada tahun 1996. Oleh karena itu, pemerintah masih perlu melakukan terobosan-terobosan untuk pemulihan ekonomi sehingga mampu memulihkan kesejahteraan masyarakat.
Tabel 2. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan Tahun 1993-2002
Wilayah Desa
Kota
Desa + Kota
Strata pendapatan Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1993
1996
1999
2002
Laju (%)
69.2 68.5 62.5 62.2 59.3 48.6 65.5 63.5 54.3
62.0 59.5 45.2 53.9 49.4 34.2 60.1 55.0 38.1
67.1 67.2 55.7 59.8 56.9 42.1 65.4 62.6 45.5
67.0 64.9 55.8 57.1 51.7 36.0 64.7 57.6 41.5
-0.2 -0.4 -1.7 -1.6 -0.9 -7.4 -0.5 -1.7 -6.9
Sumber : Susenas, 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
Dari Tabel 2 juga terlihat bahwa rata-rata pangsa pengeluaran pangan pada kelompok pendapatan rendah dan sedang masih di atas 55 persen, sebaliknya pada
5
kelompok pendapatan tinggi sudah di bawah angka tersebut. Namun tingkat kesejahteraan masyarakat ketiga kelompok pendapatan
menunjukkan perbaikan
(terutama pada waktu sebelum krisis ekonomi ) yang ditunjukkan oleh penurunan pangsa pengeluaran pangan baik di kota maupun di desa. Semakin tinggi pendapatan maka pangsa pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil atau semakin sejahtera. Pada waktu krisis ekonomi, pangsa pengeluaran pangan meningkat kembali yang berarti terjadi penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Penurunan pangsa pengeluaran pangan pada kelompok pendapatan sedang dan tinggi lebih tajam daripada kelompok berpendapatan rendah dan pada masyarakat kota lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa. Sebaliknya pada kondisi pemulihan ekonomi, peningkatan kesejahteraan
pada
kelompok
berpendapatan
sedang
dan
tinggi
lebih
besar
dibandingkan dengan kelompok miskin seperti diuraikan terdahulu. Pada waktu krisis ekonomi, sektor industri banyak yang gulung tikar, tidak beroperasi karena harga input produksi terutama dari impor yang harganya mahal. Sehingga banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor tersebut. Hal ini yang menyebabkan penurunan kesejahteraan pada waktu krisis di kota lebih tinggi daripada di desa, karena umumnya sektor industri berada di daerah pinggiran kota. Dengan memperhatikan keadaan periode tahun 1993-2002 (Tabel 2), laju pangsa pengeluaran pangan pada periode tersebut bertanda negatif
baik menurut wilayah
(kota/desa) maupun kelompok pendapatan (rendah/sedang/tinggi). Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan pada masyarakat, namun dengan memperhatikan laju pangsa tersebut maka perkembangan kesejahteraan pada kelompok pendapatan tinggi lebih tajam dibandingkan dengan kelompok pendapatan sedang atau rendah. Ini berarti pertambahan kekayaan pada orang kaya akan lebih cepat daripada orang miskin.
Pengeluaran Kelompok Pangan dan Jenis Pangan Pada Tabel 3 disajikan proporsi pengeluaran pangan menurut kelompok pangan. Terdapat sembilan kelompok pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani yang terdiri dari ikan dan produk peternakan, kacang-kacangan, sayur+buah, minyak+lemak, makanan/minuman jadi, tembakau+sirih dan kelompok lain-lain terutama berupa bumbu-bumbuan dan bahan minuman. Kelompok pangan yang menjadi pangan pokok masyarakat adalah kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Dalam kelompok
6
padi-padian terdiri dari tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung dan tepung terigu. Karena beras sebagai pangan pokok,
proporsi pengeluaran untuk beras dalam
kelompok padi-padian dapat dipastikan paling dominan. Dari Tabel 3 terlihat bahwa proporsi pengeluaran padi-padian baik di desa maupun di kota menunjukkan penurunan selama tahun 1993-1996, namun pada waktu krisis ekonomi menunjukkan kebalikannya. Pada waktu krisis ekonomi, pangsa pengeluaran padi-padian meningkat dari 17,7 persen (1996) menjadi 21,1 persen (1999) di kota dan dari 27,6 persen menjadi 31,5 persen di desa. Peningkatan pengeluaran padi-padian pada tahun 1999 bukan karena peningkatan konsumsi padi-padian secara kuantitatif tetapi dikarenakan harga pangan menjadi mahal. Sebagai contoh, harga beras sebelum krisis ekonomi sekitar Rp. 1500-2000/kg menjadi sekitar Rp.2.000-3.500/kg. Menarik dari fakta tersebut adalah pengeluaran padi-padian di desa justru lebih besar daripada di kota padahal sebagian besar masyarakat pedesaan (petani) adalah produsen beras. Fenomena ini menunjukkan bahwa walaupun petani memproduksi gabah/beras, namun karena hasil tersebut lebih banyak dijual untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya, maka petani lebih dominan berperan sebagai konsumen yang harus membeli beras setiap saat sesuai dengan kebutuhannya. Sementara itu, proporsi pengeluaran untuk umbi-umbian dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan yang berarti yaitu hanya sekitar 0,9 persen untuk di kota dan 1,5 persen untuk di desa.
Tabel 3. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan (%) Kota
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Kacang-kacangan Sayur+buah Minyak+lemak
Desa
1993 18,1
1996 17,7
1999 21,1
2002 16,4
1993 29,0
1996 27,6
1999 31,5
2002 27,0
0,9
0,9
0,9
0,9
1,9
1,5
1,5
1,4
22,8
22,8
19,3
21,6
17,0
17,4
15,3
16,8
4,1
3,4
3,8
3,3
3,8
3,5
3,6
3,6
13,7
14,7
13,0
13,0
13,4
13,7
13,3
12,8
3,9
3,8
4,3
3,4
4,9
4,7
5,3
4,3
18,2
19,2
20,2
21,2
10,0
12,2
10,6
11,4
8,2
7,1
7,9
10,7
9,1
8,8
8,9
12,7
10,1
10,4
9,5
9,5
10,9
10,6
10,0
10,0
Makanan/minuman jadi Tembakau+sirih Lainnya
Sumber : Data Susenas , 1993,1996,1999,2002 (diolah)
7
Selain padi-padian, proporsi pengeluaran yang besar adalah kelompok pangan hewani dan makanan/minuman jadi. Selama tahun 1993-1996, proporsi pengeluaran pangan hewani sekitar 23,0 persen di kota dan 17,0 persen di desa. Sedangkan pengeluaran makanan/minuman jadi di kota juga lebih besar dibandingkan di desa, masing-masing sekitar 19 persen dan 12 persen. Seperti halnya pada tingkat agregat, pangsa pengeluaran kedua kelompok pangan tersebut juga mengalami penuruna pada waktu krisis ekonomi dan meningkat lagi pada waktu tahun 2002. Dengan demikian dapat diartikan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan hewani dan makanan jadi adalah daya beli masyarakat. Walaupun mengalami peningkatan pada tahun 2002, namun proporsi pengeluaran pangan hewani pada tahun tersebut masih lebih kecil daripada keadaan sebelum krisis ekonomi. Hanya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi di wilayah kota yang lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Tingginya proporsi pengeluaran makanan/minuman jadi di kota terkait dengan pola kehidupan masyarakatnya. Jumlah warung/restoran yang menjual makanan/ minuman jadi sangat banyak yang tersebar diberbagai tempat yang dengan mudah dapat dijumpai dengan harga yang bervariasi tergantung pada daya beli masayarakat. Situasi ini membuat orang cenderung untuk mencari makan baika makan siang atau malam di luar rumah, apalagi fungsi makan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan secara kauntitatif, tetapi juga sebagai sarana komunikasi atau prestise (gaya hidup) dengan anggota masyarakat yang lain. Disis lain, masyarakat kota banyak yang bekerja di luar rumah termasuk kaum wanita, sehingga mereka sering makan siang/malam dalam bentuk makanan/minuman jadi. Hal-hal yang demikian mengakibatkan proporsi pengeluaran untuk makanan/minuman jadi di kota sangat tinggi. Khusus untuk tembakau+sirih, permintaan komoditas tersebut tetap meningkat dari tahun ke tahun dan tidak terpengaruh dengan adanya krisis ekonomi. Bahkan pada masyarakat desa, proporsi pengeluarannya lebih tinggi daripada kota, padahal tingkat kesejahteraan
masyarakat
kota
lebih
baik
daripada
desa.
Secara
terperinci
perkembangan proporsi pengeluaran untuk beberapa jenis pangan selama tahun 19932002 dapat dilihat pada gambar berikut. Pada tahun 1996, pengeluaran beras mencapai 35,6 persen, kemudian menurun pada tahun 1999 dan 2002, masing-masing sebesar 26,4 persen dan 21,8 persen (Gambar 1). Sementara itu, pengeluaran pangan sumber karbohidrat lain seperti
jagung dan ubikayu
8
tidak sampai satu persen dan juga
menurun.
Sebaliknya perkembangan mie yang juga sumber karbohidrat terus
meningkat dan peningkatannya sangat besar (Gambar 2).
40 30 20 10 0 1993
1996
1999
2002
Beras
Gambar 1. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Beras (%)
1.6 1.2 0.8 0.4 0 1993
1996 Jagung
Gambar 2.
1999
Ub kayu
Terigu
2002 Mie
Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan Sumber Karbohidrat Selain Beras (%)
Walaupun terjadi penurunan saat krisis ekonomi, dengan membaiknya kondisi perekonomian
nasional,
menunjukkan peningkatan,
pangsa
pengeluaran
pangan
sumber
protein
hewani
bahkan pangsa pengeluaran untuk telur ayam dan ikan
segar sudah seperti kondisi sebelum krisis ekonomi. Di antara jenis pangan hewani, proporsi pengeluaran untuk ikan segar paling tinggi yaitu sekitar 7,0 persen (Gambar 3). Pada kondisi krisis ekonomi, masyarakat telah merubah jenis pangan yang dikonsumsi dari harga yang mahal ke pangan yang harganya murah.
9
Sehingga pada kondisi
tersebut konsumsi pangan hewani yang harganya relatif mahal menurun dan sebaliknya konsumsi tahu dan tempe terjadi peningkatan. Karena sifat pangan hewani yang sangat elastis terhadap pendapatan, pada periode pemulihan ekonomi terjadi peningkatan pangsa pengeluaran pangan hewani, sebaliknya pengeluaran untuk tahu dan tempe menurun. Kecenderungan yang demikian sesuai dengan hukum Bennet yang menyatakan dengan meningkatnya pendapatan, seseorang akan beralih dari pangan yang berharga murah ke pangan yang berharga mahal.
8 7
Daging sapi Daging ayam Telur Susu Ikan Segar Ikan Olahan Tahu-tempe
6 5 4 3 2 1 0 1993
Gambar 3.
1996
1999
2002
Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan Sumber Pangan Hewani (%)
PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN Dalam bahasan topik ini disajikan data tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi pangan. Beras merupakan pangan pokok yang banyak disenangi oleh masyarakat. Hampir semua penduduk mengkonsumsi beras seperti ditunjukkan oleh tingkat partispasi konsumsi beras hampir 100 persen (Tabel Lampiran 1). Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat kota tetapi juga masyarakat desa dan tidak hanya pada masyarakat kaya tetapi juga masyarakat miskin. Namun selama dekade terakhir, tingkat partisipasi
konsumsi
beras
sudah
menunjukkan
penurunan.
Hal
ini
tentu
menggembirakan terutama bagi pemerintah mengingat permintaan beras belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi sendiri, sehingga pemerintah masih harus mengimpor untuk memenuhi kekurangan tersebut. Bahan pangan pokok lain seperti ubikayu dan jagung tidak sepopuler seperti beras. Tingkat partisipasi kedua pangan
10
tersebut tidak sampai 50 persen bahkan untuk jagung hanya lsekitar 15 persen. Selama 10 tahun terakhir, tingkat partisipasi ubikayu dan jagung terus menurun
bahkan pada
kelompok pendapatan tinggi, penurunannya sangat tinggi. Pangan sumber protein terdiri pangan hewani (daging,telur,susu,ikan) dan pangan nabati (tahu/tempe). Berdasarkan data pada Tabel Lampiran 1, secara umum terlihat bahwa tingkat partisipasi konsumsi pangan sumber protein nabati lebih tinggi daripada pangan hewani. Kecenderungan ini karena harga tahu atau tempe lebih murah sehingga sebagian besar masyarakat dapat menjangkau pangan tersebut. Sebaliknya harga pangan hewani sangat mahal apalagi seperti daging sapi atau ikan laut. Fenomena demikian juga terlihat pada Tabel Lampiran 1 bahwa semakin tinggi kelompok pendapatan, tingkat partisipasi konsumsi protein pangan hewani juga meningkat.
Di
negara maju, sudah banyak orang yang mengubah pola konsumsi pangan hewaninya, dari red meat (daging-dagingan) ke white meat (ikan-ikanan), karena makan ikan lebih menyehatkan daripada makan daging. Namun kondisi di Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi daging masih tinggi dan cenderung meningkat, apalagi untuk daging ayam. Sedangkan laju perkembangan partisipasi konsumsi ikan menurun termasuk juga pada kelompok pendapatan tinggi. Ini memang ironis, Indonesia termasuk negara maritim yang tersedia berbagai jenis ikan, justru masyarakatnya cenderung meninggalkan ikan dan
menyenangi daging yang bahan baku pakan ternaknya masih diimpor.
Kecenderungan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama dari pemerintah.
Orientasi kebijakan ekspor ikan untuk memperoleh devisa jangan sampai
menyebabkan harga ikan domestik menjadi mahal, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas. Di Indonesia, beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan perberasan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Sehingga pertumbuhan produksi beras terus meningkat dan beras dapat dijumpai di mana-mana dengan harga yang terjangkau. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Berdasarkan data Susenas tahun 1979, jumlah provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai pola makanan pokok tunggal beras hanya satu provinsi, maka tahun 1996 sudah menjadi 6 provinsi ( PAE, 1979; Rachman.HPS, 2001).
11
Sementara itu, tingkat konsumsi beras selama 10 tahun terakhir telah menunjukkan penurunan baik di kota maupun di desa. Namun untuk di desa, tingkat konsumsi beras masih diatas 100 kg/kap/tahun, sedangkan di kota sudah dibawah level tersebut (Tabel 4). Penurunan konsumsi beras perlu diterjemahkan secara hati-hati karena terdapat dua hal yang dapat saling bertentangan satu dengan lainnya. Penurunan konsumsi beras dapat diartikan sebagai keberhasilan program diversifikasi konsumsi pangan yang telah dicanangkan beberapa puluh tahun yang lalu. Tetapi di pihak lain yang perlu dicermati adalah data yang dianalisis adalah data beras yang dibeli dan dimasak oleh rumah tangga dan tidak termasuk data yang dikonsumsi di luar rumah tangga dalam bentuk makanan jadi. Padahal perubahan gaya hidup masyarakat mengakibatkan juga perubahan gaya makan, yang senang makan di luar rumah dan data ini belum tercatat dengan baik terutama dalam bentuk kuantitas pangan. Sehingga data beras (nasi) yang dikonsumsi tersebut belum dapat disatukan dengan data konsumsi beras yang dimasak oleh rumah tangga. Tingkat konsumsi ubikayu dan jagung juga menurun selama kurun waktu tersebut.
Diantara pangan sumber karbohidrat, hanya mie instant yang tingkat
konsumsinya meningkat. Memang harus diakui telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok, yang semula umbi-umbian atau jagung menjadi pangan kedua setelah beras, maka situasi sekarang justru mie yang merupakan pangan kedua, menggeser kedudukan pangan lokal. Berarti masyarakat telah meninggalkan pangan lokal beralih ke pangan global berupa mie. Tingginya konsumsi mie ini tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada jaman Orde Baru, Indonesia kesulitan devisa dan volume beras yang diperdagangkan di dunia menipis, sehingga untuk menghindari ketergantungan terhadap beras yang harganya tidak stabil dan terbatas maka pemerintah intensif memperkenalkan terigu. Pertimbangannya karena harga gandum relatif stabil dan volume yang diperdagangkan cukup banyak serta beras dapat bersubsitusi dengan terigu. Pemerintah telah memberikan subsidi gandum yang cukup tinggi melalui subsidi impor dan penyaluran. Pada tahun 1976/1977, subsidi riil mencapai Rp. 3 milyar, tahun 1978/1979 sebesar Rp.17 milyar. Bahkan sekitar tahun 1990-an, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen mie instan (PT Bogasari) sebesar Rp.760 milyar setiap tahunnya. Kebijakan lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjual terigu dengan harga murah, sekitar 50 persen lebih rendah dari harga internasional. Selain itu
12
juga terjadi monopoli perteriguan oleh Bulog dan proses penggilingannya oleh PT Bogasari yang akhirnya menjadi industri prosesor terbesar di dunia. Program diversifikasi konsumsi pangan yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan penduduk pada beras dan meningkatkan konsumsi pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian, justru menunjukkan kecenderungan yang kebalikannya. Sebaliknya, gandum dan produk olahannya seperti mie mempunyai tingkat partisipasi konsumsi yang terus meningkat, bahkan lebih besar daripada partisipasi konsumsi jagung dan ubikayu. Impor gandum Indonesia mencapai 4,1 juta ton pada tahun 2000/2001 dan merupakan importir terbesar ke 6 terbesar di dunia. Tingkat konsumsi daging sapi paling kecil dan relatif tidak berubah dari tahun ke tahun, kalaupun ada perubahan namun perubahannya sangat kecil. Diantara pangan hewani,
tingkat konsumsi terbesar adalah telur, kemudian disusul daging ayam.
Konsumsi komoditas tersebut di kota lebih besar daripada di desa dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tingkat konsumsi ikan segar di kota mencapai lebih dari 10 kali dibandingkan konsumsi ikan olahan, sedangkan di desa mencapai sekitar 5 kali. Masyarakat kurang menyukai ikan olahan dikarenakan penanganan ikan tersebut kurang baik seperti rasa, kemasan, dan penyajian/teknologi pengolahan ikan olahan masih bersifat tradisional. Tingkat konsumsi pangan berbeda juga antar kelompok pendapatan (Tabel Lampiran 2). Untuk pangan sumber karbohidrat kecuali mie, pada umumnya tingkat konsumsinya semakin rendah seiring dengan peningkatan
pendapatan masyarakat.
Untuk beras, semakin tinggi pendapatan juga semakin tinggi tingkat konsumsinya, namun pada tingkat pendapatan tertentu konsumsi beras menurun dan disubsitusi dengan pangan lain seperti mie. Karena konsumsi mie akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan.
Pangan hewani adalah pangan dengan harga mahal dan
bersifat superior, dalam arti tingkat konsumsi pangan ini berhubungan positip dengan tingkat pendapatan masyarakat. Sehingga upaya untuk meningkatkan konsumsi pangan ini harus dilakukan dengan upaya peningkatan pendapatan atau daya beli masyarakat.
13
Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Pangan Menurut Wilayah (kg/kap) Komoditi
1993
1996
1999
2002
Kota - Beras - Jagung - Ubi kayu - Mie instant - Tahu+tempe - Daging sapi - Daging ayam - Telur ayam - Susu - Ikan Segar - Ikan olahan
113.5 0.8 7.1 0.2 13.6 1.4 3.6 6.0 2.9 13.8 1.9
108.9 0.8 5.6 2.6 30.4 1.2 5.2 7.4 2.0 19.0 1.7
96.0 0.9 7.7 2.1 44.6 0.8 2.5 5.0 1.5 14.8 1.5
89.7 0.7 5.4 2.8 18.6 0.9 4.4 6.6 4.0 14.5 2.4
Desa - Beras - Jagung - Ubi kayu - Mie instant - Tahu+tempe - Daging sapi - Daging ayam - Telur ayam - Susu - Ikan Segar - Ikan olahan
123.7 8.4 15.8 0.1 8.6 0.3 1.6 3.3 1.4 11.8 3.0
121.0 3.6 9.8 1.2 19.0 0.3 2.7 4.6 0.6 14.6 2.8
111.8 4.2 12.2 1.5 31.1 0.3 1.2 3.1 0.4 12.2 2.4
109.6 5.5 14.4 1.5 13.9 0.3 1.5 3.9 1.3 12.2 2.7
Sumber : Susenas, 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
PERKEMBANGAN KONSUMSI ZAT GIZI Tingkat konsumsi energi dan protein juga digunakan
sebagai salah satu
indicator untuk melihat status ketahanan pangan atau kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (WKNPG) tahun 1998, ratarata konsumsi energi dan protein yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia adalah 2200 Kalori/kapita/hari dan 48,0 gram/kapita/hari.
Mengacu pada Tabel 5, tingkat
konsumsi energi rumah tangga Indonesia dari tahun ke tahun masih di bawah anjuran. Sebetulnya tingkat kecukupan konsumsi energi menunjukkan peningkatan pada kondisi sebelum krisis yaitu dari 87,4 persen menjadi 94,0 persen. Namun dengan adanya krisis ekonomi, konsumsi energi juga menurun hampir 10 persen baik di kota maupun di desa. Periode pemulihan ekonomi
(1999-2002) berdampak positif pada peningkatan
kecukupan konsumsi energi yaitu dari 84,0 persen menjadi 90,3 persen, namun kondisi tersebut masih belum kembali seperti pada waktu sebelum krisis ekonomi.
14
Berbeda dengan protein, konsumsi protein penduduk sudah mencukupi sejak tahun 1996.
Walaupun terjadi penurunan pada tahun 1999, namun protein yang
dikonsumsi masih memenuhi anjuran. Rata-rata tingkat kecukupan protein tahun 1996 mencapai 118,0 persen menurun menjadi 101,5 persen tahun 1999 dan sudah meningkat kembali pada tahun 2002.
Mengacu pada Ilmu Gizi, walaupun konsumsi
protein sudah tinggi namun karena konsumsi energinya masih rendah, protein tersebut akan dibakar dalam tubuh menjadi energi untuk menutupi kekurangan konsumsi energi. Sehingga dimungkinkan secara riil protein yang dikonsumsi masih lebih rendah dari angka kecukupan yang dianjurkan. Tabel 5. Perkembangan Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein (%) WILAYAH ENERGI Kota Desa Kota + Desa PROTEIN Kota Desa Kota + Desa
1993
1996
1999
2002
82.0 90.1 87.4
92.3 94.9 94.0
81.9 85.5 84.0
88.8 91.5 90.3
98.3 98.7 98.5
121.0 116.2 118.0
102.7 100.4 101.5
116.7 110.8 113.3
Sumber : Susenas, 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
Konsumsi energi di desa lebih tinggi daripada di kota, sebaliknya konsumsi protein di desa lebih rendah daripada di kota.
Pada umumnya tingkat pendapatan
penduduk di desa lebih kecil dibandingkan dengan di kota dan pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan mengutamakan faktor kenyang daripada faktor enak atau prestise, sehingga mereka cenderung memilih
pangan yang memberi rasa kenyang
dengan harga yang murah. Sebaliknya pada masyarakat kota yang selain faktor pendapatan, juga tingkat pendidikan yang lebih baik dan kesadaran kesehatan yang tinggi serta tersedianya pangan yang beraneka ragam, memudahkan mereka untuk memilih pangan sesuai dengan kaidah gizi. Walaupun secara rata-rata tingkat konsumsi energi masih dibawah norma yang dianjurkan, namun
tidak semua rumah tangga defisit energi. Dengan mencoba
menganalisis data Susenas tahun 1999 dan menggunakan kriteria konsumsi energi <70 persen termasuk defisit energi, maka di setiap provinsi dapat diketahui jumlah rumah tangga defisit energi seperti pada Tabel 6. Pada tabel tersebut terlihat bahwa di setiap provinsi terdapat rumah tangga yang defisit energi dengan proporsi yang berbeda-beda.
15
Dengan menggunakan indikator defisit energi dan pangsa pengeluaran pangan seperti pada Tabel 6 dapat diartikan hubungan jumlah rumah tangga defisit energi tidak selalu positif dengan pangsa pengeluaran pangan. Dengan kata lain, provinsi yang kesejahteraan masyarakatnya baik (pangsa pengeluaran pangan rendah) tidak selalu jumlah rumah tangga defisit energinya sedikit. Tabel 6.
Hubungan antara Pangsa Pengeluaran Pangan dengan Energi Tahun 1999
Rumahtangga Defisit
Defisit energi >20%
-
DKI
-
Jatim, Maluku
Jabar, Jateng, DIY, Kaltim, Sulteng, Sulsel
10-20% -
Bali
Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulut, Sultra, Papua NAD, Sumbar
<10% <50%
50-60%
>60%
Pangsa Pengeluaran Pangan Seperti di DKI, yang pangsa pengeluaran pangannya lebih kecil dari 50 persen, jumlah rumah tangga defisit energi masih sekitar 10-20 persen. Hal ini diduga terdapat ketimpangan pendapatan dalam masyarakat di provinsi DKI. Sebaliknya di provinsi NAD dan Sumbar, walaupun pangsa pengeluaran pangannya mencapai
lebih 60 persen,
namun jumlah rumah tangga defisit energi relatif kecil, kurang dari 10 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa selain faktor pendapatan yang mempengaruhi tingkat konsumsi energi juga faktor pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. Dengan pendapatan yang cukup, masyarakat akan leluasa untuk menentukan makanan yang disukai namun apabila dalam pemilihan makanan tersebut tidak dilandasi dengan pengetahuan tentang pangan dan gizi, maka apa yang dibeli baik jumlah, jenis maupun kualitas pangan akan berbeda dengan apa yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain zat gizi makro, manusia juga membutuhkan zat gizi mikro yang berfungsi sebagai zat pengatur dalam tubuh yang berdampak pada kesehatan dan produktivitas kerja manusia. Seperti zat besi sangat penting untuk meningkatkan produktivitas kerja. Akhir-akhir ini ditemukan khasiat fungsi Zinc yang tidak hanya sebagai antioksidan tetapi
16
juga berperan positif
dalam kekebalan tubuh manusia. Berbeda dengan energi dan
protein, konsumsi zat gizi mikro cenderung meningkat dari tahun ke tahun walaupun terjadi krisis ekonomi (Tabel 7). Konsumsi vitamin A tahun 1993 hanya 258,79 RE menjadi 653,9 RE tahun 1999 dan 506,3 RE tahun 2002. Walaupun terjadi peningkatan konsumsi namun berdasarkan standar anjuran (Muhilal, et al., 1998) konsumsi zat gizi mikro pada Tabel 7 umumnya baru setengahnya dari anjuran. Oleh karena itu perbaikan pola konsumsi pangan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Perbaikan tersebut dilakukan dengan meningkatkan daya beli mereka dan kesadaran akan pangan yang bergizi dan kesehatan. Hal tersebut harus dilakukan secara paralel karena dalam hal konsumsi pangan, masyarakat kadang-kadang bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti kebutuhan, kepentingan, dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial. Soehardjo (1995) walaupun ada pertimbangan
Bahkan menurut
nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya,
agama dan pengetahuan, namun unsur-unsur prestise menjadi sangat menonjol. Tabel 7. Perkembangan Tingkat Konsumsi Zat Gizi Mikro, 1993-2002 WILAYAH
1993
1996
1999
2002
258.79
512.68
653.9
506.32
Vit B1 (mg)
0.49
0.45
0.44
0.58
Vit B2 (mg)
0.41
0.44
0.54
0.54
Fe (mg)
5.22
9.09
17.33
11.28
Zinc (mg)
5.24
3.66
4
4.91
164.84
326.14
421.17
331.74
Vitamin A (RE)
Calcium (mg)
Sumber : Susenas, 1993, 1996, 1999 dan 2002 (diolah)
Kualitas konsumsi pangan dan gizi juga dapat diketahui dengan menghitung komposisi konsumsi energi menurut kelompok pangan dengan pedoman pada Pola pangan Harapan (PPH). Dengan mengetahui skor PPH juga dapat diketahui sejaumana tingkat keragaman konsumsi pangan masyarkat. Adapun komposisi energi yang dikonsumsi masyarakat dan yang seharusnya dapat dilihat pada Tabel 8. Kuatnya peran beras sebagai pangan pokok, mengakibatkan sebagian besar energi yang dikonsumsi oleh masyarakat bersumber dari kelompok padi-padian dan cenderung kurang beragam. Hanya padi-padian yang sudah melebihi ketentuan anjuran konsumsi sesuai dengan PPH, sedangkan konsumsi pangan yang lain masih di bawah anjuran. Sehingga keragaman konsumsi pangan yang seharusnya bernilai 100, namun kenyataanya masih dibahawh angka tersebut. Skor PPH pada tahun 1996 sebesar 69,8, menurun pada waktu krisis ekonomi (62,4) dan 71,8 pada tahun 2002 (Tabel 8). 17
Tabel 8.
Selisih Konsumsi Pangan Aktual dan Harapan
Konsumsi Aktual
KELOMPOK PANGAN Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Minuman dan Bumbu
93 1348
96 1328
99 1240
02 1246
101 97 155 62 53 97 82 41 2035
68 124 175 51 62 100 83 29 2022
69 88 171 41 54 92 70 26 1851
68 128 202 50 73 103 84 34 1988
Konsumsi Harapan
1100 132 144 220 66 110 110 132 66 2200
Selisih Aktual-Harapan (Kalori) 93 96 99 02 248 -31 -47 -65 -4 -57 -13 -50 -25 -165
228 -64 -20 -45 -15 -48 -10 -49 -37 -178
140 -63 -56 -49 -25 -56 -18 -62 -40 -349
146 -64 -16 -18 -16 -37 -7 -48 -32 -212
Sumber : Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN
1. Tingkat kesejahteraan masyarakat telah membaik, namun dengan adanya krisis ekonomi terjadi sebaliknya. Perubahan daya beli tersebut mengakibatkan juga terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat, yaitu penurunan konsumsi pangan yang harganya mahal dan peningkatan konsumsi pangan yang harganya murah. Kondisi tersebut menyebabkan konsumsi energi dan zat gizi serta keragaman konsumsi pangan menurun. Pada tahun 2002, dengan membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat partisipasi dan konsumsi pangan meningkat kembali serta pola konsumsi pangan semakin beragam. Mie telah menggeser kedudukan pangan lokal seperti umbi-umbian dan jagung sebagai pangan pokok kedua setelah beras 2. Peran pemerintah dalam komoditas beras dan mie sangat dominant sehingga sampai mampu merubah pola konsumsi pangan masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keragaman pangan dan pangan lokal maka harus dimulai dari pemerintah. Political will dan political power dari pemerintah menjadi ujung tombak keberhasilan hal tersebut Pada tahap selanjutnya dibutuhkan peran semua lapisan masyarakat seperti swasta, LSM dan masyarakat. Selain itu, diperlukan upaya peningkatan daya beli masyarakat, untuk dapat meningkatkan konsumsi pangan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, penyadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta kesehatan perlu ditingkatkan, sehingga jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhannya
18
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1999. Program Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional 1999-2004. Departemen Pertanian. Jakarta FAO-RAPA. 1989. Report of the Regional Expert Consultation of the Asian Network for Food and Nutrition on Nutrition Urbanization, 2-5 May. Bangkok. Irawan,P.B dan H.Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya Untuk Strategi Pembangunan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. 29 Februari-2 Maret. LIPI. Jakarta. Muhilal, F.Jalal dan Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI. Jakarta. Meneg Urusan Pangan. 1998. Sambutan Pengarahan Menteri Negara Urusan Pangan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. WNPG VI. LIPI. Jakarta. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga dengan Konsumsi Energi Dibawah Standar Kebutuhan. Kerjasama dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.Depkes. Rachman,HPS. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Rusastra,I.W., B.Rachman, N.Syafa’at, T.Pranadji dan M. Rachmat. 2002. Perspektif Pembangunan Pertanian Tahun 2000-2004. Monograph eries No. 21. Puslit Sosek Pertanian Suhardjo. 1995. Mewaspadai Pergeseran Pola Konsumsi Pangan Penduduk Perkotaan. Majalah Pangan. No.22, Vol. VI. Bulog.Jakarta.
19
Tabel Lampiran 1. Perkembangan Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan menurut Jenis Pangan, Wilayah dan Strata Pendapatan (%) Rendah
Jenis pangan
Sedang
1993
1996
1999
2002
97.9
97.8
99.1
96.3
Ubikayu
43.5
33.0
35.0
Jagung
12.2
10.4
10.1
Tahu + tempe
65.7
63.3
4.1
Daging ayam Telur ayam
Laju
Tinggi
1993
1996
1999
2002
-0.36
98.5
98.9
98.0
94.4
37.3
-4.46
44.3
33.3
41.3
13.5
3.11
14.2
9.7
13.8
60.9
66.3
-0.09
56.8
61.6
2.4
2.1
2.9
-13.56
6.5
10.6
13.3
10.9
15.1
8.89
40.9
53.2
43.2
54.7
6.5
7.2
6.0
5.9
10.6
Ikan segar
52.0
50.6
48.9
Ikan olahan
64.7
58.4
Beras
99.8
Ubikayu
29.5
Laju
1993
1996
1999
2002
Laju
-1.29
98.2
98.2
97.2
93.4
-1.59
36.3
-4.12
45.7
41.3
39.1
32.9
-10.21
13.7
2.02
15.7
10.6
9.0
14.3
-4.68
66.6
63.7
4.13
50.2
59.0
55.7
55.1
2.07
10.7
4.4
4.1
-17.79
9.8
4.7
5.4
7.3
-10.00
15.3
37.5
11.2
20.1
-5.66
21.3
11.7
14.1
24.1
6.06
43.6
69.6
48.0
58.4
4.15
48.0
49.6
50.1
60.8
7.46
13.6
9.79
32.3
8.3
13.6
-7.86
21.1
10.6
14.3
23.3
5.94
57.2
2.7
65.0
77.8
53.7
62.5
-4.88
78.0
64.7
68.5
74.4
-0.98
68.9
54.8
-2.3
60.9
56.7
58.8
50.7
-5.02
53.5
55.3
54.4
45.4
-4.83
99.5
99.7
94.6
-1.56
99.8
99.6
96.0
94.8
-1.91
99.9
95.2
94.1
96.4
-1.20
22.4
22.9
27.2
-2.5
28.9
22.6
28.1
24.3
-3.19
28.0
28.7
28.1
21.9
-7.08
Desa Beras
Daging sapi
Susu
Kota
4.0
4.3
5.8
5.0
9.4
7.0
6.8
4.3
4.8
-0.16
7.3
4.4
5.3
5.7
-6.87
Tahu + tempe
61.3
76.1
75.1
61.4
-0.1
76.9
75.1
76.3
61.8
-6.08
77.4
73.3
69.6
61.4
-7.34
Daging sapi
14.9
10.6
6.7
10.1
-17.3
23.9
38.0
11.8
14.4
-24.83
37.4
13.9
17.5
27.2
-11.25
Daging ayam
26.0
34.0
30.7
36.3
8.69
34.3
61.1
22.7
49.0
24.54
45.9
26.4
31.3
60.5
11.87
Telur ayam
63.9
71.3
69.2
74.6
4.3
66.2
83.3
62.1
80.0
2.77
72.3
66.1
67.5
84.5
5.23
38.0
63.8
22.5
40.5
-8.20
57.8
30.3
37.8
56.0
0.46
Jagung
Susu
22.7
23.1
14.2
26.0
0.47
Ikan segar
68.8
67.0
63.4
66.2
-1.72
84.3
89.9
66.3
77.5
0.21
91.8
75.8
79.8
85.4
-1.83
Ikan olahan
52.6
46.7
55.2
47.8
-1.16
48.4
41.8
47.3
43.1
-2.30
40.3
43.4
38.2
35.8
-36.50
Sumber : Susenas, 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
20
Tabel Lampiran 2. Perkembangan Tingkat Konsumsi Pangan (Kg/kap/thn) Menurut Wilayah dan Kelas Pendapatan
Wilayah Desa
Kota
Rendah
Jenis pangan Beras Ubikayu Jagung Terigu Kedele Tahu+Tempe Daging Sapi Daging Ayam Telur ayam Susu Ikan segar Ikan olahan Cabe merah Bawang Merah Beras Ubikayu Jagung Terigu Kedele Tahu+Tempe Daging Sapi Daging Ayam Telur ayam Susu Ikan segar Ikan olahan Cabe merah Bawang Merah
Sedang
Tinggi
1993
1996
1999
2002
1993
1996
1999
2002
1993
1996
1999
2002
124.1 27.5 5.2 0.4 0.1 4.0 0.2 1.2 2.5 0.3 10.2 3.4 1.3 2.1 112.5 8.5 0.6 0.7 0.1 5.8 0.8 2.5 4.7 1.1 13.5 2.2 1.7 2.4
117.0 16.6 5.2 0.5 0.1 4.3 0.1 1.5 3.4 0.2 10.7 2.9 1.0 2.0 109.1 5.9 0.7 0.6 0.1 5.7 0.6 3.4 5.7 1.1 14.3 1.9 1.4 2.3
112.0 18.8 4.1 0.5 0.1 4.9 0.3 1.1 2.5 0.3 9.9 2.4 0.9 1.6 95.5 6.9 0.5 0.7 0.1 6.4 0.6 2.0 4.1 1.1 12.7 1.6 1.3 1.7
111.5 18.6 6.2 0.8 0.1 5.8 0.2 1.7 3.7 0.5 11.5 2.8 1.8 2.3 91.5 6.6 0.9 1.1 0.1 8.0 0.6 3.6 6.1 1.5 13.0 1.9 1.7 2.4
125.7 26.2 5.2 0.6 0.2 3.2 0.4 1.8 2.6 0.4 14.4 3.1 1.1 2.1 109.8 7.4 1.0 1.2 0.1 4.9 1.3 3.4 5.1 1.8 19.8 1.9 1.4 2.4
120.5 15.1 3.5 0.8 0.1 3.9 0.3 2.8 4.0 0.5 15.5 2.8 1.0 2.0 103.6 5.3 0.6 1.2 0.1 5.1 1.2 5.3 6.6 2.0 19.9 1.6 1.3 2.3
112.6 16.8 2.8 0.6 0.1 4.3 0.3 1.1 2.7 0.4 13.2 2.3 0.9 1.5 92.1 6.8 0.6 1.1 0.1 6.0 0.8 2.5 4.7 1.5 16.2 1.4 1.3 1.9
103.7 16.5 5.6 0.9 0.1 5.5 0.3 2.2 3.8 0.6 14.4 2.4 0.2 2.2 84.9 5.2 0.6 1.5 0.1 7.7 0.8 5.4 6.9 2.3 16.4 1.7 1.7 2.5
122.8 25.3 5.4 1.0 0.1 2.9 0.6 2.6 2.9 0.8 23.1 2.8 0.9 2.1 105.4 7.3 0.7 2.0 0.1 5.0 2.5 5.3 6.1 9.1 25.3 1.5 1.3 2.6
121.1 11.5 2.8 1.4 0.1 3.9 0.7 4.7 5.1 1.2 19.8 2.7 1.1 2.3 99.6 5.3 0.6 2.1 0.2 5.3 2.6 8.2 8.2 3.7 25.6 1.6 1.4 2.6
111.1 14.4 2.3 0.9 0.1 4.0 0.4 1.4 2.9 0.6 14.9 2.4 1.0 1.6 88.7 6.7 0.5 1.3 0.0 5.8 1.1 3.3 5.2 2.2 18.9 1.2 1.2 1.9
102.5 12.6 5.1 1.3 0.1 4.8 0.5 2.6 4.3 1.0 21.0 2.3 1.0 2.2 81.0 4.6 0.5 1.8 0.1 7.3 1.7 7.6 7.8 4.0 21.4 1.3 1.7 2.6
21