I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13 A. TUJUAN AJAR: Mampu menjelaskan peran geodesi dan geomatika dalam kegiatan penetapan, penegasan dan manajemen batas wilayah. B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Peran geodesi dan geomatika dalam kegiatan penetapan, penegasan dan manajemen batas wilayah. 1. Aspek teknis (geospasial) dalam delimitasi dan demarkasi. 2. Kerekayasaan batas wilayah (boundary engineering): Peta, Remote Sensing dan GPS 3. Sistem Informasi Geografis (SIG) Batas Wilayah dalam manajemen batas wilayah. C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : SCL (Student Centered Learning) + TCL (Teacher Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.Berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo II. BAHAN AJAR 1. Aspek teknis (geospasial) dalam delimitasi dan demarkasi. Boundary making pada hakekatnya merupakan proses partisi atau membagi-bagi permukaan bumi. Permukaan bumi tersebut bisa mulai dari persil (bidang tanah) sampai wilayah administrasi seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi, maupun wilayah kedaulatan negara. Kegiatan partisi permukaan bumi masuk kedalam lingkup geodesi praktis melalui kegiatan survei dan pemetaan (surveying). Oleh sebab itu peran ilmu geodesi melalui kegiatan survei pemetaan sangat penting dalam boundary making batas negara maupun batas daerah (Rais, 2002). Partisi permukaan bumi dalam bentuk wilayah negara atau wilayah daerah dalam suatu negara (di Indonesia adalah daerah provinsi dan kabupaten/kota) dilakukan oleh para Arsitek Batas ( The Boundary Architecs). Proses boundary making pada dasarnya merupakan interaksi antara politik, hukum, survey pemetaan (geografi, geodesi dan kartografi) dan masyarakat yang hidup di suatu negara/wilayah. Tujuan yang sangat penting dari proses boundary making adalah perdamaian dan diterimanya batas wilayah secara umum. Untuk itu
1
batas wilayah harus dinegosiasikan/ dirundingkan dan disepakati oleh negara/ daerah yang bertetangga. Sejarah menunjukkan bahwa menetapkan suatu batas wilayah tidak pernah dapat diterima secara umum. Arsitek batas internasional yang pada umumnya adalah negarawan dan politisi harus bernegosiasi dan akhirnya harus mencapai kesepakatan dalam memilih letak batas dan mendefinisikannya dalam kerangka kerja delimitasi. Di dalam proses tersebut biasanya mereka dibantu oleh diplomat, lawyer dan penasehat politik yang pada umumnya memiliki latar belakang disiplin ilmu politik, hukum dan mungkin ekonomi (karakteristik arsitek batas pada umunya), namun bukan disiplin boundary engineer seperti geodesi, geografi, kartografi atau ilmu komputer. Oleh sebab itu para arsitek batas memerlukan dukungan dan pendampingan boundary engineer terutama dalam hal memilih letak dan mendefinisikan batas wilayah di peta dalam kegiatan delimitasi dan mentrasfer batas ke lapangan dalam kegiatan demarkasi. Dalam proses boundary making yang dimulai dari negosiasi untuk alokasi dan delimitasi batas, demarkasi dan berakhir pada kegiatan administrasi dan manajemen batas, diperlukan peta dan kegiatan survey pemetaan (Adler, 1995,2001). Peran survei pemetaan (geospasial) pada seluruh tahapan boundary making khususnya pada tahap delimitasi dan demarkasi batas internasional digambarkan secara sistematis dalam bentuk diagram oleh Adler pada Gambar 1. INPUT FOR CONSIDERATION
EXISTING MAPS
FIELD RECONNAISSANCE REPORTS
AERIAL & SATELLITE IMAGERY
OTHER GEOGRAPHICAL INFORMATION
D E L I M I T A T I O N
Treaty or Agreement DISPUTE SETTLEMENT BY
Negotiation, Mediation, Inquiry, Conciliation, International Court Judgement or Arbitration Award
Directive for Transformation of The Delimitation to the Terrain
D E M A R C A T I O N
Monumentation & Point description
Surveying & Recording
Computation of Coordinates
BOUNDARY GIS & DATA BASE
Mapping
Dissemination of Information
ADMINISTRATION Gambar 1 : Diagram skema peran geospasial pada penentuan batas internasional menurut Adler,R. (Sumber Adler, 1995, 2001) 2
Delimitasi “...[the] exact boundary could not be determined until the sciences of geography, geodesy and cartography had reached the point where they could furnish the data for delimitation and demarcation.” (Cukwurah, 1967: 81). Pada tahap delimitasi, aloksi wilayah yang sudah disepakati selanjutnya harus dibagi untuk masing-masing pihak dengan memilih letak dan mendefinisikan garis batas yang lebih tepat di peta dasar dan garis batas tersebut nantinya juga disepakati untuk ditransformasi ke lapangan. Dalam berbagai kasus batas internasional maupun sub nasional, tahap delimitasi merupakan tahapan yang paling kritis dan diperlukan kerja yang sungguh-sungguh dan akurat (Blake,G.,1995). Dalam melakukan delimitasi, para arsitek batas dan boundary engineer juga harus memperhatikan konsekuensi yang akan muncul terhadap kehidupan masyarakat di sekitar perbatasan. Delimitasi bukan proses yang sederhana dan singkat, namun terdiri dari tiga tahap yaitu: 1) Persiapan, yang mencakup rencana politik serta rencana teknis. 2) Memilih letak dan mendefinisikan batas sebagai dasar untuk menyusun formulasi perjanjian 3) Eksekusi terhadap perjanjian yang telah disepakati dan diterima dalam kegiatan demarkasi. Pada tahap persiapan, boundary engineer harus menjadi penasihat teknis untuk negarawan dan ilmuwan politik (boundary architecs) dalam negosiasi perjanjian. Untuk para negarawan/politisi dan negosiator perjanjian harus disediakan data dan informasi geografis di zona perbatasan, dan peta topografi terbaik harus dibuat dan disediakan dengan skala yang memadai, tersedia mulai dari skala kecil yang mencakup seluruh area perbatasan sampai skala peta yang semakin besar untuk area yang semakin lebih sempit. Suatu catatan dari Jones (1945: 54) perlu diperhatikan yaitu: “Because boundary making is in principle a continuous process, from preliminary bargaining to ultimate administration, errors at one stage have effects at later stages. For this reason, exact information about the borderland in question should be sought as early as possible in the boundary making process. Much of this information can best be obtained in the field, by direct investigation.” Delimitasi batas dalam sebuah perjanjian harus lengkap, akurat dan tepat. Dalam mendefinisikan batas, dapat saja digunakan metode delimitasi yang berbeda untuk segmen yang berbeda (Jones,1945: 58). 2.Teknologi Rekayasa Batas wilayah (Boundary Engineering) Teknologi survey pemetaan yang digunakan dalam boundary making berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi survey pemetaan. Waktu teori Boundary Making ditulis tahun 1945 kegiatan survey pemetaan masih menggunakan teknologi konvensional, namun sejak pertengahan abad 21 perkembangan teknologi komputer, satelit dan teknologi komunikasi dan informasi yang juga berpengaruh terhadap survey pemetaan sehingga berpengaruh juga terhadap boundary making. 2.1.Peta (informasi geospasial) dalam batas wilayah
3
Kegiatan boundary making selain memiliki aspek legal juga menyangkut aspek teknis. Dengan demikian peta sebagai suatu data dan informasi yang sangat diperlukan dalam kegiatan penentuan batas juga memiliki aspek legal selain teknis. Secara umum, peta merupakan proses dari suatu kegiatan yang dimulai dari survei lapangan, proses hitungan dan proses kartografi. Ketetlitian peta sebagai produk akhir akan sangat tergantung kepada ketelitian yang ada di setiap tahan tersebut. Dalam hal kegunaan peta untuk boundary making, menurut Brownlie (1979) “suatu peta memiliki nilai pembuktian proporsional dengan kualitas teknisnya” (“.a map has a probative value proportionate to its technical qualities”.). Untuk keperluan delimitasi dan demarkasi batas wilayah, kualitas kartografis peta ditentukan dari faktor-faktor berikut ini (Alder, R.,1995): a. Aspek geometris: 1. Skala peta yang memadai 2. Tersedianya sistem koordinat dan sistem proyeksi peta yang digunakan. 3. Disebutkan Datum Geodesi yang digunakan 4. Terdapat Orientasi arah utara b. Aspek kelengkapan informasi peta 1. Gambar-gambar unsur rupa bumi: perairan, hipsograf (kontur) dengan interval sesuai skala petanya, permukiman, jaringan transportasi, dan nama-nama rupabumi sesuai dengan kenampakan (toponimi) 2. Disebutkan Pembuat peta 3. Disebutkan Tahun pembuatan peta 4. Dicantumkan Sumber data yang digunakan 2.2.Teknologi Remote Sensing Remote Sensing didefinisikan sebagai sains dan teknologi yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, atau menganalisisi karakteristik dari suatu obyek tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut.(Lillesand dan Kiefer, 2000). Prinsip kerjanya didasarkan atas pengukuran energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh sumber energi (matahari) merambat mengenai obyek, dipantulkan oleh obyek yang kemudian direkam oleh sensor (Harintaka, 2007 dalam Arsana ,2007). Sumber energi matahari dapat berupa cahaya tampak, panas dan sinar ultra violet (Kerle, dkk.,2004). Dalam konteks ini, fotogrametri, Radar, Lidar termasuk bagian dari Remote Sensing. Karakteristik utama citra penginderaan jauh umumnya ditinjau dari 4 aspek, yaitu: resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal (Harintaka, 200, dalam Arsana, 2007). Untuk kegiatan delimitasi batas citra satelit yang saat ini banyak tersedia di pasaran merupakan suatu data yang potensial dapat digunakan. Citra satelit yang digunakan sebaiknya yang memiliki resolusi spasial tinggi dan resolusi temporal yang pendek seperti IKONOS atau Quickbird yang memiliki resolusi 1 m sehingga sangat membantu untuk mengenali terrain dalam proses deliniasi garis batas. Citra sateli lain yang dapat digunkan adalah SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission ). SRTM merupakan suatu misi internasional pertama yang dikembangkan National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan the National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang bertujuan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) secara global di seluruh permukaan bumi. Uji coba penggunaan data DEM dari SRTM telah dilakukan oleh Ilham, dkk. tahun 2009 untuk delimitasi pada suatu segmen batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen batas batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah telah dilakukan penetapan batas melalui Kepmendagri No. 185. 5 - 486 tahun 1989 tentang penegasan garis batas antara propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen garis batas tersebut pada umumnya 4
berupa punggung bukit (watershed). Menggunakan peta lampiran Kepmendagri No. 185. 5 486 tahun 1989 yang tersedia pelacakan garis batas di atas peta tersebut mengalami kesulitan karena di dalam peta tersebut tidak ada informasi garis kontur. Kemudian dicari alternatif menggunakan data DEM dari SRTM. Penggunaan DEM dari data SRTM sangat membantu dalam menentukan posisi dari garis batas, karena kondisi geomorfologis wilayah perbatasan di daerah penelitian dapat diidentifikasi dengan lebih jelas. DEM tersebut memperkuat kenampakan terrain dari permukaan bumi khususnya kenampakan watershed seperti gambar berikut :
Gambar 2 : Penarikan garis batas di punggung bukit dengan data DEM dari SRTM (Sumber Ilham, dkk.,2009) 2.3.GPS/GNNS GPS (Global Positioning System) adalah metode penentuan posisi dan waktu berbasis satelit yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sejak tahun 1978. Saat ini pemakaian GPS sangat populer di masyarakat untuk berbagai aplikasi. Sistem ini terdiri atas 3 segmen, yaitu segmen satelit kepunyaan Amarika berjumlah 24 satelit yang mengorbit pada 6 bidang orbit pada ketinggian 20.200 km dari permukaan bumi. Segmen kontrol satelit di Hawai, Ascension, Diego Garcia, dan Kwajalein. Segmen pengguna yang berupa reciever yang dapat digunakan secara umum untuk menangkap sinyal L1 dan L2 yang dipancarkan oleh setiap satelit secara terus menerus . Tiga segmen sistem GPS dapat diilustrasikan seperti Gambar 3.
5
Segmen-segmen GPS
SEGMEN PENGGUNA
SEGMEN SATELIT
Hermitage MCS Colorado Springs Bahrain Kwajalein
Hawaii
Ascension Ou ito
Diego Garcia Smithfield
Buenos Aires
SEGMEN KONTROL SATELIT
SEGMEN PENGGUNA
Gambar 3 : Tiga segmen sistem GPS (satelit, kontrol dan pengguna)
Prinsip dasar penentuan posisi titik P di bumi dengan GPS dapat digambarkan seperti Gambar 4. Pada Gambar 4, R adalah satelit yang memancarkan sinyal (L1,L2) secara terus menerus, sinyal tersebut ditangkap oleh reciever di P. Koordinat satelit R1, R2, R3, R4 pada sistem koordinat geosentris dengan datum geodetik WGS-84 diketahui. Karena kecepatan sinyal (c) yang dipancarkan satelit diketahui dan waktu rambat sinyal (ΔT) dari R sampai ke P diketahui (diukur), maka jarak PR dapat ditentukan.
6
PRINSIP DASAR PENENTUAN POSISI DENGAN GPS
Z
= lintang geodetis = bujur geodetis h = tinggi elipsoid
S
Elipsoid acuan
h
x1 x2 y1 y2 z1 z2 c.T PR1 x2 x2 y2 y2 z2 z2 c.T PR2 Ekuator
O
x3 x2 y3 y2 z3 z2 c.T PR3 x4 x2 y4 y2 z4 z2 c.T PR4 Y
X
Gambar 4 : Prinsip penentuan posisi dengan GPS Bila koordinat P yang akan dicari adalah XP,YP,ZP dan koordinat R adalah XR,YR,ZR maka dapat dibentuk persamaan sebagai berikut (Craig,R.,2010) : [(X1 – XP) + (Y1 – YP) + (Z1 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR1 [ (X2 – XP) + (Y2 – YP) + (Z2 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR2 [ (X3 – XP) + (Y3 – YP) + (Z3 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR3 [ (X4 – XP) + (Y4 – YP) + (Z4 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR4 Diperlukan paling sedikit data dari pengamatan 4 satelit untuk dapat menyelesaiakan persamaan 1 guna menentukan XP,YP,ZP Dalam perkembangannya berbagai negara mengembangkan teknologi penentuan posisi berbasis satelit, seperti GLONASS (Rusia), Galilieo ( Uni Eropa), sehingga saat ini dikenal istilah GNSS (Global Navigation Satellite System) sebagai istilah generik metode penentuan berbasis satelit. Menggunakan teknologi GPS/GNNS ini dapat diperoleh akurasi yang sangat teliti tergantung jenis reciever dan metode observasi dan pemrosesan data yang digunakan. Sebagai contoh, metode differensial GPS (observasi GPS menggunakan lebih dari satu reciever), dapat menghasilkan ketelitian sampai sub sentimeter menggunakan data fase, sedang penentuan 7
posisi absolut dengan satu reciever dapat menghasilkan ketelitian 5 – 10 meter (Abidin, dkk., 2005). Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah dirangkum pada Tabel 2 berikut Tabel 2 : Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah No. 1
2
3
4
Data akusisi untuk Delimitasi Fenomena yang menonjol/spesifik di sekitar garis batas (GPS Navigasi) Penentuan koordinat titik di foto udara atau citra satelit (GPS Navigasi) Survey garis batas yang diusulkan dalam delimitasi (GPS Navigasi) Klarifikasi terhadap kemajuan berbagai hal selama negosiasi
Demarkasi Pelacakan batas hasil delimitasi dan pengukuran koordinat sementara (GPS Navigasi) Penentuan posisi pilar batas ( GPS Geodetik)
Administrasi/ Manajemen Penentuan posisi kejadiankejadian penting di kawasan perbatasan (GPS Navigasi) Perapatan tanda/pilar batas (GPS Geodetik)
Survey pemetaan koridor Pemeliharaan tanda-tanda batas (GPS Pemetaan) batas (rekonstruksi kalau ada yang hilang),GPS Geodetik Titik kontrol untuk Titik kontrol dalam pemetaan batas (GPS pelaksanaan konstruksi dan Geodetik) proyek pembangunan (GPS Geodetik)
Beberapa contoh pemakaian teknologi GPS pada tahap demarkasi batas daerah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul tahun 2007 pada Gambar 5 berikut ( Hafid, 2007) :
5. a
5.b.
Gambar 5 : Aplikasi GPS dalam boundary making (Sumber Hafid, 2007). (a) Penggunaan GPS Hendheld untuk pelacakan batas (b) Penggunaan GPS Geodetik untuk pengukuran koordinat pilar batas. 8
3.GIS (Geographical Information System) dalam manajemen batas wilayah Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi dan pengesahan undang-undang pembentukan daerah kemudian dilakukan tahap demarkasi oleh ”the boundary engineers” akan diakhiri dengan tahap manajeman batas dan kawasan perbatasan daerah oleh masingmasing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis dan merupakan proses awal pengelolaan kawasan perbatasan, yang tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di kawasan perbatasan di daerah. Untuk proses manajemen perbatasan, kedua daerah memerlukan berbagai informasi baik informasi spasial maupun non spasial. Berbagai data dan informasi yang diperlukan untuk manajemen perbatasan : 1. Data garis batas : a. Spasial : Koordinat titik-titik batas, peta batas (koridor 100 m) sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas. b. Non spasial : UU pembentukan daerah, Permendagri tentang penegasan batas daerah yang bersangkutan. 2. Kawasan perbatasan (wilayah kecamatan sepanjang garis batas) : berbagai peta tematik seperti : land use, kerentanan bencana, geomorfologi, geologi data penduduk, data ekonomi, pendidikan, infrastruktu, dll. Data dan informasi tersebut disusun dalam basis data dijital perbatasan, selanjutnya diolah, dianalisis, ditampilkan, disimpan menggunakan GIS. GIS adalah integrasi sistematis dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer, data geografis dan personalia yang dirancang untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, memutakhirkan dan menyajikan segala bentuk informasi yang bergeorefensi (ESRI, http://www.esri.com/). Fungsi SIG adalah mengorganisir data spasial. Dasar pemikirannya sedarhana, bahwa semua kejadian baik alam maupun oleh aktivitas manusia dapat dihubungkan dengan lokasinya. Lokasi bisa berati nama tempat atau koordinat di bumi, sehingga semua kejadian pada dasarnya dapat diikatkkan kepada nama tempat atau koordinatnya di bumi (georeferenced). Hasil pengamatan semua kejadian yang direferensikan dengan lokasi dapat disusun menjadi “layer-layer” yang selanjutnya dapat digunakan untuk studi pola-pola kegiatan manusia dengan segala konsekuensinya (Wood, 2008) GIS dapat dimanfaatkan dalam kegiatan yang terkait batas wilayah terutama pada manajemen batas dan wilayah perbatasan. Dalam manajemen wilayah perbatasan, perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaannya tentunya harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dari daerah yang bersangkutan (propinsi, kabupaten/kota). Sistem Informasi Geogarfis (SIG) dan resolusi konflik batas wilayah SIG telah banyak digunakan untuk studi teritorial dan resolusi konflik batas internasional. SIG misalnya telah digunakan untuk mendokumentasikan dan menganalisis pola sistematis terjadinya pembersihan etnis di Balkan (Wood dan Smith, 1997). Starr dan Bain (1995) menggunakan Arc/Info untuk melakukan ekstraksi dan kombinasi data perbatasan dalam rangka analisis untuk menentukan kesempatan/peluang berinteraksi bagi penduduk disekitar perbatasan. Starr (2000) menggunakan SIG untuk studi pada 151 batas negara yang terdiri atas 301 segmen batas untuk menganalisis sifat dasar batas internasional “opportunity” dan “willingness” dikaitkan dengan konflik. Hasil studi yang dilakukan Starr menunjukan bahwa hubungan antara sifat dasar batas internasional dengan konflik bersifat tidak linier. Penggunaan SIG untuk negosiasi onflik batas yang sangat menonjol adalah di saat perundingan Dayton. Dari papernya Johnson pada seminar “Virtual Diplomacy –Case 9
Studies” tanggal 18 Februari 1999, Johnson melaporkan bahwa pada tahun 1991 sampai 1995, negara bekas Yugoslavia dilanda pertempuran antara Serbia Bosnia, Kroasia, dan faksifaksi etnis Muslim yang menelan korban lebih dari 300.000 nyawa. Periode tersebut menandai kegagalan "penjaga perdamaian" dan inisiatif negosiasi. Frustrasi dunia internasional memuncak pada Juli 1995 dengan peristiwa pembersihan etnis Muslim di kantong-kantong yang telah dikuasai oleh orang-orang Serbia, yang kemudian mendorong Amerika Serikat untuk menawarkan sebuah negosiasi menyeluruh sebagai upaya untuk mengakhiri pertempuran. Mantan Duta Besar Richard Holbrooke memimpin tim negosiasi AS yang bekerja dengan dan melalui Kontak Group PBB untuk Bosnia-Herzegovina yang akhirnya membawa perwakilan dari faksi yang bertikai untuk berunding di Wright-Patterson Air Force Base di Dayton, Ohio, Amerika Serikat. Selama perjanjian perdamaian antara Serbia Bosnia dengan Kroasia/Harzegovina di Dayton, para negosiator menggunakan peta-peta dijital dan SIG yang disiapkan oleh the US Army Topographic Engineering Center dan the US Defense Mapping Agency (DMA). Dalam proses perundingan digunakan lebih 100.000 lembar peta yang secara cepat dilkukan dijitasi ditempat menjadi peta dijital yang kemudian bersama data citra satelit dan DEM (digital elevation model) digunakan untuk manipulasi real time untuk melakukan buffer di segmen batas yang kritis untuk segera dirundingkan dan mendapat persetujuan. Selain itu digunakan juga perangkat lunak visualisasi medan dan penginderaan jauh menggunakan citra satelit resolusi tinggi sehingga memungkinkan para negosiator secara virtual terbang melintasi area yang akan ditentukan batasnya. Sebagian besar peralatan utama yang digunakan di Dayton untuk pemetaan digital meliputi dua PowerScene (sistem visualisasi medan), salah satu diantaranya adalah proyektor layar lebar, tiga Sun workstation dilengkapi dengan ARC / INFO Sistem Informasi Geografis (GIS), empat Support System Digital Topografi - multispektral Processor (DTSS-MSIP) workstation dilengkapi dengan software Erdas, sepuluh plotter Hewlett-Packard (HP) 650C, sebuah Remote Replication System (RRS), tiga mesin fotokopi Canon BubbleJet A-1, satu mesin fotokopi Canon Bubblejet 2436. Dukungan teknologi pemetaan digital di Dayton, memungkinkan sangat menghemat waktu dalam perundingan yang tidak dibayangkan sebelumnya. Para negosiator telah sangat didukung oleh adanya peta digital yang dapat dicetak secara cepat kapan saja mereka inginkan.Tuntutan "kualitas" produk, kemudahan dalam pemakaian dan dukungan kecepatan dan fleksibilitas dapat diperoleh dengan adanya teknologi digital dalam menyediakan peta, sehingga memberikan kontribusi signifikan terhadap keberhasilan perundingan di Dayton. Pelajaran penting dari Dayton adalah bahwa pemetaan dijital yang tunggal (satu sumber) dan akurat membuat obyek yang dirundingkan tidak bias. Disamping itu inovasi penggunaan SIG sebagai alat, membuat koordinasi para negosiator menjadi lebih dekat sehingga sangat membantu untuk keberhasilan perundingan. Pelajaran penting lain dari Dayton adalah terbentuknya kerjasama profesional antara masyarakat survey pemetaan dengan masyarakat diplomat (Johnson, 1999). SIG mempunyai kemampuan antara lain sebagai alat untuk analisis spasial. Penggunaan analisis spasial (SIG) dalam resolusi konflik batas wilayah telah dilakukan oleh Sodeinde (2001) dalam penenlitiannya untuk membantu menyelesaikan konflik penegasan batas antara Nigeria dan Camerron. Penelitiannya berjudul:”Boundary Conflict Resolution Through The Spatial Analysis of Social, Commercial and Cultural Interaction of People Leaving A Long Boundary Area”. Dalam penelitiannya dilakukan bagaimana persoalan konflik penegasan batas antara Negeria dan Camerron dibantu diselesaikan dengan melakukan analisis spasial super imposing tema-tema dari pertampalan area interaksi bahasa, kehidupan sosial, budaya dan perdagangan dari masyarakat yang hidup disepanjang daerah perbatasan. Setelah dilakukan analisis spasial tersebut, dapat diukur sampai sejauh mana area
10
yang dipengaruhi oleh setiap tema, kemudian teknik Fuzzy digunakan untuk membantu pengambilan keputusan dalam menentukan garis demarkasi terbaik untuk disepakati. III. EVALUASI 1) Jelaskan aspek teknis dalam boundary making 2) Peta diperlukan dalam boundary making, gambarkan diagram arti penting peta dalam boundary making 3) Jelaskan peranan GPS dalam boundary making 4) Jelaskan peranan Remote Sensing dalam boundary making 5) Jelaskan peran GIS dalam boundary making 6) Berikan contoh-contoh aplikasi GIS dalam resolusi konflik batas wilayah 7) Dalam tahap delimitasi diperlukan peta sebagai infrastruktur, jelaskan pengertian infrastruktur dalam hal untuk delimitasi Jawaban Soal evaluasi akan didiskusikan di kelas DAFTAR BACAAN (REFERENSI): 1. Adler, R., 2001, Positioning and Mapping International Land Boundaries, Boundaryt erritory Brieving, IBRU, Vol.2, No.1. 2. Adler, R, 1995, Geographical Information in Delimitation, Demarcation and Management of International Land Boundaries, Boundary Territory Brieving, IBRU, Vol.3, No.1 3. Donaldson, J.W & Williams, A.J., 2008, Delimitation and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B. Jones's : Boundary-Making, Geopolitics, 13:4, 676700, Publisher: Routledge, To link to this article:http://dx.doi.org/10.1080/14650040802275503 4. Jones,B.,S., 2000, Boundary Making, A Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., Buffalo, New York.
11