I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Adminstrasi/manajemen batas wilayah.
Making
untuk
tahap
Demarkasi
dan
B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Teori Boundary Making : 1. Demarkasi (Penegasan) dan 2. Administrasi/ manajemen Batas Wilayah (lebih ditekankan ke batas wilayah darat) C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : SCL (Student Centered Learning) + TCL (Teacher Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.Berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo II. BAHAN AJAR a) Demarkasi Setelah penentuan titik dan garis batas di peta dalam tahap delimitasi, selanjutnya diperlukan proses demarkasi. Demarkasi adalah proses penegasan batas, yaitu menentukan posisi titik dan garis yang sesungguhnya di lapangan. Titik-titik batas yang sudah disepakati dalam proses delimitasi ditransformasi ke lapangan dan secara fisik ditandai dengan pembangunan tugu atau pilar batas, pos jaga, tembok atau fasilitas lainnya. Demarkasi ini dilakukan untuk menentukan koordinat titik batas melalui aktivitas survey pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi, peralatan dan metode yang memadai. Untuk survey lapangan, peran surveyor geodesi sangatlah vital agar dihasilkan titik-titik dengan koordinat yang akurat. Selain itu, penggunaan teknologi serta pendekatan ilmiah yang memadai adalah hal yang wajib untuk memperoleh posisi titik-titik batas yang akurat dan atau presisi. Pada tahap ini, kolaborasi antara pihak-pihak yang terlihat sangat diperlukan dan tidak bisa dihindari untuk menghasilkan titik-titik batas yang dapat diterima dan mengikat oleh para pihak.
1
Administrasi dan manajemen batas wilayah
Menurut Jones (1945), demarkasi garis batas wilayah negara bukan akhir dari proses panjang boundary making, tetapi merupakan awal untuk memasuki tahap selanjutnya berupa tahap administrasi. Sebagai bagian dari tahap akhir dari proses boundary making tahap administrasi dalam perkembangannya tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah managemen kawasan wilayah perbatasan (Pratt, 2006). Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut theory of boundary making, kegiatan Administration/management pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataannya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi di lapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi/management berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas di lapangan (Sutisna, 2008). Tujuan akhir dari manajemen garis batas dan kawasan perbatasan negara seharusnya berakhir dengan transisi menuju hidup berdampingan secara damai dan sejahtera terutama bagi masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan wilayah negara. Tahap terakhir menurut Jones (1945), adalah administrasi atau pengelolaan batas wilayah. Administrasi dan pengelolaan ini melibatkan aktivitas pemeliharaan titik-titik batas oleh negara-negara bertetangga yang dipisahkan oleh titik-titik batas tersebut. Tidak hanya terkait dengan pemeliharaan titik batas, administrasi sesungguhnya lebih penting dalam hal menciptakan situasi yang kondusif di perbatasan. Hal ini tentu saja terkait dengan keamanan, aktivitas sosial budaya, dan terutama ekonomi. Menurut Jones (1945), empat tahapan penentuan batas wilayah seperti telah diuraikan di atas, tidak selalu dilakukan dengan kronologi dan urutan yang sama yaitu alokasi yang dilanjutkan delimitasi lalu diteruskan dengan demarkasi dan diakhiri dengan administrasi. Keempat tahap ini bisa saja tumpang tindih atau bertampalan satu sama lain, bisa berubah urutannya, atau bisa dilakukan dalam periode waktu yang terpisah sangat jauh (tahunan). Sebagai contoh, tahap alokasi dan delimitasi mungkin bisa diselesaikan sekaligus dalam satu kali pertemuan atau konferensi. Sementara itu, ada kalanya proses alokasi sudah rampung sementara proses delimitasinya baru dimulai bertahun-tahun kemudian. Masih menurut Jones (1945), ada juga kasus yang dalam hal ini batas wilayah sudah didelimitasi bertahun-tahun sebelumnya tetapi belum didemarkasi di lapangan karena suatu hal. Selain itu, beberapa kasus batas wilayah dan perbatasan masih tetap terlantar tidak dikelola dengan baik, padahal demarkasi sudah selesai bertahun-tahun, sementara ada kasus sebaliknya yang dalam hal ini pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan sudah dilakukan secara de facto meskipun kenyataannya belum ada proses delimitasi atau demarkasi, bahkan kadang sebelum proses untuk pengalokasian wilayah dirampungkan. Kutipan pernyataan dari Jones yang sangat perlu diperhatikan adalah karena penentuan batas pada prinsipnya merupakan proses yang berkesinambungan mulai dari tahap alokasi sampai tahap administrasi, maka kesalahan pada satu tahap akan memiliki akibat pada tahap berikutnya. Oleh sebab itu tersedianya data dan informasi yang tepat tentang perbatasan harus disiapkan sedini mungkin. Data dan informasi yang terbaik adalah yang diperoleh secara langsung di lapangan (Jones,1945).
2
Manajemen kawasan perbatasan Berikut akan diuraikan secara singkat pola manajemen perbatasan, karakteristik perbatasan, tujuan manajemen perbatasan dan manajemen kawasan perbatasan. a. Pola manajemen perbatasan. Menurut Oscar Martinez, 1994 (Blake, 1998: 57), ada 4 pola manajemen kawasan perbatasan antar negara. Pola tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan hubungan antar negara yang berbatasan. Empat pola tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram yang disajikan pada Gambar 1. POLA MANAJEMEN PERBATASAN (Oscar Martinez,1994)
NEGARA A
NEGARA B
Alienated Borderlands
NEGARA A
NEGARA A
Border Lines
NEGARA B
Interdependent Borderlands
NEGARA B
Co-Existent Borderlands
NEGARA A
NEGARA B
Integrated Borderlands
Gambar 1: Pola manajemen kawasan perbatasan menurut Oscar Martinez (1994) dalam Blake, (1998: 57). Perkembangan model tata kelola dimulai dari model Alienated (saling menjauhkan diri) kemudian Co-Existent (hidup berdampingan secara damai), selanjutnya Interdependent (saling tergantung) dan akhirnya ke model Integrated. Dalam hal connectivity, intensitas dan kuantitasnya pada model Allenated boleh dikatakan tidak ada, kemudian terus meningkat mulai dari model Co-Existent, Interdependent sampai model Integrated. Dalam hal prosperity, terus akan meningkat mulai dari model Co-Existent, Interdependent dan baru akan tercapai secara baik dan seimbang (equal) pada model Integrated. b. Karakteristik Perbatasan Tata kelola kawasan perbatasan memerlukan informasi geospasial tentang karaketristik perbatasan. Karakteristik perbatasan wilayah negara dapat dikelompokan menjadi 6 kelompok (Blake, 1998: 55-57) yaitu: Sejarah perbatasan (Boundary history), Legal status, tipe garis dan kawasan perbatasan, kondisi Geografi Fisis (Physical geography), kondisi Sosial-Ekonomi, dan kondisi aksesibilitas/infrastruktur. c. Tujuan manajemen perbatasan 3
Tujuan manajemen perbatasan negara pada awalnya akan ditentukan oleh masing-masing negara sesuai kebijakan politik luar negerinya. Tetapi prinsip dasar tujuan manajemen perbatasan negara secara umum dapat dirumuskan untuk mencapai: perdamaian antar negara, keamanan nasional, kesejahteraan di kawasan perbatasan (borderland prosperity) dan efektifitas pemerintah dalam mengelola masing-masing wilayah untuk melayani masyarakat/pelayanan publik (antara lain connectivity orang dan barang). Tujuan manajemen perbatasan dapat terwujud bila ada goodwill dari Pemerintah kedua negara serta pengaturan yang baik pada kerjasama di tataran praktis. Selain itu manajemen perbatasan perlu dikelola secara moderen. Manajemen kawasan perbatasan secara moderen memerlukan informasi yang bersifat keruangan (geospasial) (Blake, 1998: 57). d. Manajemen perbatasan (Blake, 1998: 57-59) 1. Manajemen boundary line dan kawasan perbatasan Manajemen perbatasan wilayah negara yang baik harus didasarkan atas dokumen perjanjian (treaty) dan dokumen lainnya yang terkait garis batas wilayah negara yang sudah jelas status hukumnya (legal). Ada dua jenis manajemen boundary line, pertama manajemen data & informasi data fisik titik-titik batas: data koordinat titik-titik batas, deskripsi garis batas, peta batas dan data yuridis: treaty, peraturan perundangan masing-masing negara terkait batas wilayah negara, semua dokumen terkait proses keberadaan garis batas (kesepakatan penegasan, proses surat menyurat, dll). Semua data tersebut harus diadministrasikan/diarsipkan secara baik oleh suatu badan resmi, misalnya BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan). Fakta yang ada menunjukan bahwa data dan informasi tersebut tidak diarsipkan secara baik (sistematis) dan terserak di berbagai instansi sehingga saat diperlukan sulit mencarinya. Kedua, manajemen lapangan yaitu perlu dimonitor kemungkinan titikk/pilar batas rusak atau bergeser posisinya atau ada perubahan secara alami/ bencana alam. Bila terjadi pergeseran pilar batas maka data koordinat yang telah disepakati menjadi penting untuk merekonstruksi kembali posisi batas. Manajemen kawasan perbatasan negara harus menjadi bagian dari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) mulai dari tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten/kota, karena kawasan perbatasan negara menurut UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Dalam penataan ruang wilayah, teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis/Geospasial) sebaiknya digunakan sebagai sistem pendukung keputusan. 2. Manajemen Akses (Access Management) Manajemen akses sangat erat kaitannya dengan manajemen keamanan (security management) namun sering bersifat paradoks. Bila akses perbatasan dibuka seluas-luasnya, maka dari aspek keamanan harus dikelola dengan sangat baik. Dalam hal connectivity, idealnya para pelintas batas harus dapat melintas garis batas dengan mudah, cepat dan aman. Pegawai pemerintah kedua negara seperti: bea cukai, polisi, imigrasi, jasa transportasi, pelayanan kesehatan perlu disiapkan secara baik. Tingkat keterbukaan akses sangat tergantung pada kebijakan pemerintah kedua negara. 3. Manajemen Keamanan (Security management)
4
Aktivitas keamanan di perbatasan akan sangat tergantung pada politik hubungan luar negeri kedua negara, aspek geografis dan peluang ekonomi. Masyarakat kedua negara khususnya di perbatasan harus diberi pemahaman dan kesadaran keamanan perbatasan dari hal-hal berikut: a) Pendatang haram: migran gelap, penyelundup, orang yang akan melakukan sabotase, teroris, pengungsi dan penjahat. b) Barang haram: narkotik, senjata, barang-barang selundupan, barang pornografi dan barang/makanan yang terkontaminasi. c) Bahaya kesehatan: pelintas batas yang terinfeksi penyakit berbahaya dan menular, pencemaran lingkungan, penyakit-penyakit berbahaya lainnya. d) Serangan militer. Dalam sistem pertahanan moderen kawasan perbatasan ditempatkan sebagai daerah pertahanan terhadap pasukan invasi lawan. 4. Manajemen pelintas batas Ketika jumlah penduduk meningkat dan sumberdaya serta lapangan kerja di suatu negara terbatas maka pelintas batas akan meningkat. Manajemen pelintas batas adalah termasuk menyiapkan sumberdaya yang diperlukan bagi pelintas batas, meliputi misalnya: cadangan minyak dan gas, air bersih, cadangan bahan pokok, fasilitas kesehatan dan obat-obatan. Untuk itu antara kedua negara perlu bekerjasama dengan tepat dalam hal berbagi tentang sumberdaya tersebut, ada perjanjian formal untuk eksploitasi sumberdaya dan ada komite yang bertugas untuk malaksanakan perjanjian. Kerjasama dalam penanganan pelintas batas sangat penting dan menjadi suatu potensi untuk membangun kerjasma kedua negara yang lebih luas. 5. Manajemen Lingkungan Manajemen lingkungan yang baik di dalam dunia yang bersifat global tidak akan bisa tercapai tanpa kerjasama antar negera khususnya kerjasama pelintas batas. Kerjasama yang sangat penting perlu dilakukan dalam hal: proteksi species berbahaya, penelitian di bidang lingkungan, kontrol polusi, perlindungan hewan yang dilindungi dan ekoturisme. 6. Managemen Krisis Manajemen krisis bila terjadi sesuatu di perbatasan harus ada di setiap level pemerintahan, tingkat pusat (nasional) maupun pemerintah lokal. Di tingkat nasional kebijakan ditempuh agar bila terjadi insiden di perbatasan sebaiknya dicegah agar tidak terjadi eskalasi secara politis. Mekanisme penanganan insiden dilakukan melalui komisi perbatasan bersama (Joint Boundary Commission) yang telah dibentuk. Sedangkan di tingkat lokal, penyelesian persoalan harian ditangani oleh petugas-petugas perbatasan (imigrasi, polisi, dll) untuk mencegah eskalasi masalah. Pertemuan rutin dari petugas perbatasan kedua negara perlu selalu dilakukan untuk saling tukar informasi dan merencanakan kerjasama penanganan masalah lokal. Data dan Informasi perbatasan Untuk proses manajemen perbatasan antar negara, diperlukan berbagai informasi baik informasi geospasial maupun non spasial. Informasi geospasial adalah data tentang lokasi geografis yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan 5
kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. Berbagai data dan informasi yang diperlukan untuk manajemen perbatasan : 1. Data garis batas : a. Spasial: Koordinat titik-titik batas, peta batas sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas. b. Non spasial: Perjanjian, Peraturan perundang-undangan terkait batas wilayah negara dari negara yang bersangkutan 2. Kawasan perbatasan (wilayah kecamatan sepanjang garis batas): berbagai peta tematik, data penduduk, data ekonomi, pendidikan, infrastruktu, dll. Data dan informasi tersebut disusun dalam basis data dijital perbatasan, selanjutnya diolah, dianalisis, ditampilkan, disimpan menggunakan Sistem Informasi Geografis/Geospasial (SIG). SIG adalah integrasi sistematis dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer, data geografis dan personalia yang dirancang untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, memutakhirkan dan menyajikan segala bentuk informasi yang bergeorefensi (ESRI, http://www.esri.com/). Fungsi SIG adalah mengorganisir data spasial. Dasar pemikirannya sedarhana, bahwa semua kejadian baik alam maupun oleh aktivitas manusia dapat dihubungkan dengan lokasinya. Lokasi bisa berarti nama tempat atau koordinat di bumi (posisi), sehingga semua kejadian pada dasarnya dapat diikatkkan kepada nama tempat atau koordinatnya di bumi (georeferenced). Hasil pengamatan semua kejadian yang direferensikan dengan lokasi dapat disusun menjadi “layer-layer” yang selanjutnya dapat digunakan untuk studi pola-pola kegiatan manusia seperti batas wilayah dengan segala konsekuensinya (Wood, 2000: 75). III. EVALUASI a) Dalam penegasan batas daerah Provinsi atau kabupaten/Kota, sebutkan tahapantahapan yang harus dilakukan. Sebutkan sumber- sumber hukum yang dapat digunakan untuk penegasan batas daerah kabupaten/kota, jelaskan b) Untuk penentuan posisi pilar batas daerah kabupaten/kota, pengukuran dilakukan dengan metode GPS. Tipe alat GPS apa yang harus dipakai dan metode apa yang dilakukan untuk pengukuran posisi tersebut. Berapa ketelitian koordinat yang disaratkan, jelaskan. c) Jelsakan konsep manajemen perbatasan menurut Oscar Martin. d) Karakteristik kawasan perbatasan perlu diketahui untuk manajemen perbatasan, jelaskan e) Dalam manajemen perbatasan, dikenal ada manajemen border line dan boundary, jelaskan f) Kebutuhan data dan informasi apa saja yang diperlukan dalam manajemen perbatasan g) Jelaskan tentang manajemen lingkungan perbatasan h) Jelaskan tentang manajemen boundary line dan kawasan perbatasan i) Jelaskan tentang Manajemen Akses (Access Management) j) Jelaskan tentang manajemen pelintas batas k) Jelaskan tenatng manajemen Manajemen Keamanan (Security management) l) Jelaskan tentang manajemen krisis perbatasan
6
Jawaban soal evaluasi akan didiskusikan di kelas.
DAFTAR BACAAN (REFERENSI): 1. Anonim, 1982, United Nations Convention on the Law of the Sea, United Nations Organisation, New York. 2. Anonim, 2000, Handbook on the Delimitation of Maritime Boundaries, United Nations Organisation, New York. 3. Anonim, 2007, Permendagri No. 1 tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. 4. Donaldson, J.W & Williams, A.J., 2008, Delimitation and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B. Jones's : Boundary-Making, Geopolitics, 13:4, 676700, Publisher: Routledge, To link to this article:http://dx.doi.org/10.1080/14650040802275503 5. Jones,B.,S., 2000, Boundary Making, A Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., Buffalo, New York. 6. Sutisna, S., 2004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal
7