I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10
A.TUJUAN AJAR Dapat menjelaskan Sengketa Batas Maritim dan penyelesaiannya B. POKOK BAHASAN: Penyebab sengketa batas maritim • Penyelesaian sengketa batas maritime Negosiasi, mediasi, Arbitrasi dan litigasi • Alternatif selain delimitasi: Joint Development Zones dan Mekanisme kerjasama lainnya • Studi Kasus Indonesia C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : SCL (Student Centered Learning) + TCL (Teacher Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.Berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : I Made Andi Arsana
II.BAHAN AJAR 1. Penyebab sengketa batas Sengketa batas maritim sering terjadi dan termuat dalam berita di media massa. Sengketa batas maritime di Indonesia misalnya, terjadi karena beberapa kondisi/hal. Jika dirunut satu persatu, beberapa kondisi batas maritime Indonesia antara lain: batas yang belum tuntas, klaim sepihak, sengketa pulau, sumberdaya alam, belum ada batas sama sekali, adanya fitur maritim yang harus dipertimbangkan dalam delimitasi, dan adanya perbedaan antara garis landas kontinen dan ZEE. Dengan beberapa Negara, misalnya Malaysia, Singapura, Indonesia masih belum memiliki garis batas yang disepakati dan masih dalam proses perundingan. Dengan masih belum adanya garis batas antara kedua Negara, seringkali muncul insiden, misalnya penangkapan nelayan karena pelanggaran batas maritim. Proses delimitasi batas maritime juga dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di wilayah perairan tersebut, misalnya di Selat Singapura, dimana terjadi dispute kedaulatan atas fitur maritime antara Singapura dan Malaysia dan tentunya membuat proses delimitasi yang melibatkan Indonesi di sekitar wilayah tersebut menjadi terkendala. Gambar 1 menunjukkan permasalahan yang penyebabkan terjadinya sengketa batas maritim.
Gambar 1. Penyebab Sengketa Batas Maritim Namun demikian, Indonesia sudah memiliki batas-batas yang sudah disepakati dengan Negara tetangga, misalnya denga Malaysia, India, Vietnam, dan Thailand dimana delimitasi batas maritim dimulai sejak tahun 1970an dan terus berlangsung sampai sekarang dengan beberapa Negara tetangga. Gambar 2 menunjukkan garis batas maritim yang sudah disepakati Indonesi di sekitar Selat Malaka, Selat Singapura, dan Laut China Selatan.
Gambar 2. Garis batas maritime Indonesia dengan Negara tetangga Dari banyak insiden yang terjadi karena belum adanya garis batas adalah insiden penangkapan nelayan baik oleh petugas Indonesia maupun Malaysia yang melanggar batas. Tensi kedua Negara bahkan seringkali meninggi atas insiden yang terjadi. Insiden penangkapan terjadi biasanya pada wilayah overlapping klaim, dimana baik Indonesia maupun Malaysia masingmasing memiliki klaim maritime dan harus tumpang tindih satu sama lain. Di sekitar selat Malaka misalnya, walaupun sudah disepakati Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia, namun belum disepakati garis batas ZEE. Nelayan yang berkegiatan mencari ikan, tentunya berhubungan dengan klaim ZEE masing-masing Negara sehingga walaupun Landas Kontinen sudah disepakati, ZEE masih harus disepakati untuk menghindari adanya insiden yang terus berulang. Ilustrasi pelanggaran batas maritime Indonesia dan Malaysia dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Ilustrasi pelanggaran batas Indonesia dan Malaysia 2. Penyelesaian sengketa batas maritime Negosiasi, mediasi, Arbitrasi dan litigasi Dalam menangani proses delimitasi batas maritime antar Negara, dikenal beberapa opsi yang biasa dilakukan. Beberapa opsi tersebut adalah : •
Negosiasi
Dalam negoisasi, para pihak yang terlibat dalam proses delimitasi saling bertemu dan memegang kendali penuh atas proses negoisasi yang berjalan. Mediasi Dalam proses mediasi, diperlukan pihak ketiga, dimana para pihak saling bertemu untuk mendukung negoisasi yang sedang berjalan. Arbitrase Dikenal juga istilah arbritase, dimana diperlukan pihak ketiga, namun para pihak tidak harus saling bertemu . •
Ligitasi
Opsi yang lain yang bisa dipilih adalah dengan ligitasi kepada Mahkamah Internasional atau ITLOS dimana para pihak menyerahkan kasus delimitasi batas maritime yang dihadapi ke
lembaga peradilan, dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tersebut harus diterima oleh pihak-pihak yang terlibat. Dari pilihan-pilihan tersebut, Indonesia melaksanakan proses negoisasi dengan beberapa Negara sekaligus. Pertemuan-pertemuan dilakukan beberapa kali dalam setahun untuk masing-masing Negara tetangga. Indonesia juga pernah menggunakan ligitasi dengan Malaysia pada saat sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dimana pada keputusannya Mahkamah Internasional memutuskan kedaulatan atas dua pulau tersebut menjadi milik Malaysia. Masingmasing penyelesain batas memiliki kelebihan dan kekurangan. Proses negoisasi dapat berjalan alot dan memakan waktu yang lama. Namun proses ligitasi, walaupun berjalan dalam waktu yang lebih pendek memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan membutuhkan kesiapan yang sangat baik dari sebuah Negara untuk proses pengadilan, dimana keputusan yang dihasilkan dapat saja dianggap merugikan. 3. Alternatif selain delimitasi: Joint Development Zones dan Mekanisme kerjasama lainnya Dari banyak sengketa batas yang terjadi, seringkali tidak lepas dari isu sumberdaya alam yang terdapat pada wilayah tersebut, sehingga masing-masing Negara menginginkan wilayah perairan tersebut menjadi bagian dari Negara masing-masing. Namun proses negoisasi yang seringkali berjalan lama dan memakan waktu tentunya bukan hal yang baik dan dapat memberi dampak sumberdaya alam yang ada tidak segera di eksplorasi dan di eksploitasi. Maka dari itu, selain empat opsi diatas, satu opsi lain yang bisa dilakukan adalah adanya Joint Development Zone, seperti yang dilakukan saat ini oleh Indonesia Australia dan Timor Leste. Adanya ladang minyak di sekitar Celah Timor menjadi hal yang dipertimbangkan dalam JDA tersebut. Pada tahun 2002, disepakati Traktat Timor antara Timor Leste dan Australia yang intinya menyepakati kawasan kerjasama (Joint Petroleum Development Zone – JPDA). Pada tanggal 12 Januari 2006 keputusan final disepakati untuk menunda delimitasi batas maritime di Laut Timor dan sebagai gantinya diwujudkan kawasan kerjasama (JPDA) dengan skema pembagian hasil yang lebih adil dari sebelumnya. Dari hal ini dapat dilihat bahwa menyepakati kawasan kerjasama adalah salah satu alternative jika garis batas maritime definitif belum bisa disepakati. Hal ini juga didukung oleh pasal 73 dan 83 UNCLOS yang menyatakan jika belum dicapai kesepakatan (batas maritime) maka hendaknya diusahakan kesepakatan sementara dengan semangat saling memahami dan bekerjasama tanpa menghambat pencapaian final. Gambar 4 menunjukkan JDA antara Indonesia-Australia-Timor Leste.
Gambar 4. JDA Indonesia – Australia – Timor Leste Untuk wilayah perairan antara Indonesia dan Malaysia, seringnya terjadi insiden akhir-akhir ini, disikapi oleh Indonesia dan Malaysia dengan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) guna memberikan keamanan yang lebih baik bagi nelayan yang beroperasi di kawasan perbatasan yang belum jelas batas maritimnya. Dua instansi dari masing-masing negara, yaitu Badan Nasional Keamanan Laut (Bakorkamla) mewakili Indonesia dan National Security Council, Prime Minister’s Department mewakili Malaysia menandatangani MoU terkait pedoman umum penanganan masalah laut perbatasan RI-Malaysia. Beberapa poin kesepakatan menyangkut keberadaan nelayan di sekitar perairan maritim yang masih abu-abu atau diklaim oleh kedua belah pihak disepakati oleh kedua negara. MoU ditandatangani di Nusa Dua, Bali, tanggal 27 Januari 2012 agar dapat meningkatkan kerjasama antar otoritas koordinator keamanan laut perbatasan kedua negara terutama upaya meminimalisir terjadinya penangkapan nelayan kedua negara. MoU di atas juga dapat dipilih untuk tujuan tertentu bersifat sementara dimana proses negoisasi terus berjalan, dan MoU yang disepakati tidak mempengaruhi proses negoisasi yang berjalan. 4. Studi Kasus Indonesia Beberapa insiden terjadi antara Indonesia dengan Negara tetangga, seringkali dengan Malaysia dikarenakan belum adanya garis batas yang disepakati antara kedua Negara. Insiden terjadi beberapa kali dan terjadi di wilayah perairan yang berbeda. Gambar 5 menunjukkan ilustrasi
Gambar 5. Ilustrasi Insiden Selat Malaka 7 April 2011 Sebuah insiden terjadi pada tanggal 7 April 2011 melibatkan kapal berbendera Malaysia, Petugas KKP Indonesia, dan Helikopter Malaysia. Kejadian berawal dari identifikasi patroli Indonesia yang menganggap kapal Malaysia sudah secara illegal memasuki perairan ZEE Indonesia. Pada saat kapal ditangkap dan hendak dibawa ke wilayah Indonesia, helikopter Malaysia muncul dan meminta kapal dilepaskan. Namun petugas patroli Indonesia menolak dan akhirnya kapal dibawa ke Pelabuhan Belawan. Penangkapan Nelayan dan munculnya Helikopter Malaysia menjadi berita hangat di Indonesia. Banyak pandangan muncul terutama sentimen negatif terhadap Malaysia. Isu pelanggaran batas maritim memang seringkali menjadi isu publik yang menjadi perhatian masyarakat luas. Insiden yang terjadi tanggal 7 April 2011, yang melibatkan nelayan dan petugas IndonesiaMalaysia dapat dilihat dari sisi legal dan teknis. Dari sisi legal, tubuh air belum dibagi oleh garis batas, sehingga nelayan dikatakan melanggar batas, batas yang dilanggar sebenarnya adalah klaim unilateral masing-masing negara. Baik Indonesia maupun Malaysia melakukan penegakan hukum di perairan Selat Malaka sesuai dengan klaim masing-masing. Gambar 6 meununjukkan opsi delimitasi batas maritime yang mungkin disepakati oleh Indonesia dan Malaysia.
Gambar 6. Opsi Delimitasi Batas Maritim di Selat Malaka antara Indonesia-Malaysia Sengketa lain yang pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia adalah sengketa Blok Ambalat yang pernah heboh di media massa beberapa waktu yang lalu. Sangat disayangkan, berita yang menyebar di masyarakat tidak akurat, misalnya dengan menyebut Ambalat sebagai pulau, padahal Ambalat adalah nama blok minyak. Permasalahan yang terjadi adalah masing-masing Negara baik Indonesia maupun Malaysia memberikan konsesi minyak yang overlap disekitar Blok Ambalat sehingga menimbulkan sengketa. Ilustrasi sengketa Blok Ambalat dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Sengketa Blok Ambalat Sengketa batas maritime yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia yang lainnya adalah insiden di Tanjung Berakit pada tanggal 14 Agustus 2010. Pada insiden ini ketegangan antara Indonesia dan Malaysia terjadi lagi terkait insiden di perairan Tanjung Berakit yang melibatkan aparat Indonesia, nelayan Malaysia dan aparat Malaysia. Kejadian ini dimuat oleh berbagai media masa dan sempat menjadi isu yang sangat panas di Indonesia. Siaran pers resmi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan tiga petugas patroli KKP ditahan oleh Polis Laut Diraja Malaysia pada saat menjalankan tugas di perairan Indonesia di sekitar Tanjung Berakit. Petugas Patroli itu dinyatakan sedang menertibkan nelayan Malaysia yang disinyalir sedang menangkap ikan di perairan Indonesia (KKP, 2010). Tanjung Berakit memang berada pada wilayah overlap klaim yang masing-masing baik Indonesia maupun Malaysia memiliki klaim unilateral. Sehingga dibutuhkan delimitasi batas maritime untuk kejelasan status perairan dan menghindari insiden serupa terulang lagi di kemudian hari. Ilustrasi Insiden Tanjung Berakit dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Insiden Tanjung berakit III. EVALUASI 1. Sebutkan dan jelaskan penyebab sengketa batas. 2. Sebutkan perjanjian batas antara Indonesia dan Negara tetangga yang sudah disepakati. 3. Sebutkan dan jelaskan opsi delimitasi batas maritim. 4. Jelaskan konsep JDA dan berikan contohnya.
Jawaban soal evaluasi akan didskusikan di kelas DAFTAR BACAAN (REFERENSI): 1. Anonim, 1982, United Nations Convention on the Law of the Sea, United Nations Organisation, New York. 2. Anonim, 2000, Handbook on the Delimitation of Maritime Boundaries, United Nations Organisation, New York. 3. Anonim, 2006, A Manual On Technical Aspects Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea – 1982, Special Publication No. 51, 4th Edition - March 2006, Published by the International Hydrographic Bureau, MONACO 4. Churchill, R. and Lowe, A. (1999). The Law of the Sea, Manchester University Press Cole, George. M. (1997). Water Boundaries 5. Evans, Malcolm D. (1988). Relevant Circumstances and Maritime Delimitation, Clarendon Press – Oxford
6. Sutisna, S., 2004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal