I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan sengketa batas wilayah darat: pengertian, penyebab dan cara-cara penyelesian sengketa batas, hubungan sengketa batas dengan geospasial B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Sengketa batas wilayah darat 1) 2) 3) 4) 5)
Pengertian sengketa batas wilayah Jenis-jenis sengketa batas wilayah Sifat dasar batas wilayah dan konflik Penyebab sengketa batas wilayah Hubungan sengketa batas wilayah dengan geospasial
C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : TCL (Teacher Centered Learning) + SCL (Student Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.Berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo II. BAHAN AJAR SENGKETA BATAS WILAYAH 1). Pengertian Konflik dan Sengketa Konflik adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar individu atau antar kelompok orang. Potensi terjadinya konflik akan ada bila dua atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Moore, 1986; Sugiono, 2008). Sengketa dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksepahaman (disagreement) yang spesifik. Hal tersebut biasanya disebabkan karena adanya suatu regulasi atau kebijakan 1
dimana klaim atau tuntutan suatu kelompok ditolak oleh kelompok lain sehingga akan menimbulkan sengketa. Dalam hal konflik batas wilayah, ketidaksepahaman yang terjadi disebabkan karena adanya suatu kebijakan politik misalnya dalam bentuk perjanjian antar negara atau kebijakan otonomi daerah dalam bentuk regulasi Undang-undang pembentulan daerah, sehingga istilah konflik oleh para ahli konflik lebih tepat disebut sengketa batas wilayah (disputes) (Forbes, 2001). 2). Jenis-jenis sengketa batas wilayah: Dalam hal sengketa batas wilayah, secara umum dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu: sengketa teritorial, sengketa posisional dan sengketa fungsional (Prescott, 1987). Sengketa teritorial terjadi bila ada suatu wilayah belum dialokasi sehingga pada proses alokasi terjadi sengketa pada level politisi. Sengketa posisional terjadi setelah alokasi batas wilayah baik sebelum delimitasi atau sering muncul setelah delimitasi pada saat kegiatan demarkasi. Sengketa fungsional terjadi pada tahap manajemen perbatasan yang sifatnya untuk pengelolaan wilayah perbatasan yaitu pengelolaan sumberdaya yang bernilai ekonomi yang ada di daerah perbatasan (minyak bumi, gas, mineral, air, hutan, perkebunan, sarang burung dan batubara) dan pengelolaan sumberdaya non ekonomi seperti penduduk. 3). Sifat dasar Batas Wilayah dan Konflik Kedekatan suatu negara dengan negara lain yang berbatasan satu sama lain ditentukan oleh bagaimana masyarakat yang menempati wilayah negara tersebut khususnya yang ada di daerah perbatasan memandang batas wilayahnya, apakah sebagai share (tempat untuk berbagi) atau tidak (Starr,2005). Cara pandang terhadap batas wilayah merupakan variabel kunci dalam studi tentang fenomena konflik atau sengketa batas wilayah antar negara (Hensel, 2000). Dari teori tentang “behavior space” (perilaku ruang), yaitu “loss of strength gradient“ (LSG) dan “critical boundary” yang dikemukakan oleh Boulding (1962), menyatakan bahwa pada umumnya interaksi antar manusia dalam ruang terjadi bila ada kedekatan satu sama lain dan ini menjadi alasan yang menarik dalam studi tentang batas wilayah bagaimana efeknya terhadap hubungan antara masyarakat yang terletak di perbatasan. Sifat dasar batas wilayah yang disebut “kedekatan” (proximity) digunakan untuk studi tentang batas wilayah khususnya konflik, karena secara operasional kedekatan ruang dalam konsep spasial dinyatakan dengan jarak. Seberapa jauh atau seberapa dekat dan bagaimana kedekatan aktor atau unit wilayah satu sama lain merupakan faktor penting di dalam analisis konflik. Ukuran jarak atau kedekatan dalam batas wilayah biasanya dianggap sebagai sesuatu yang diskrit atau katagorikal dan secara khas memiliki tipe berpasangan (binary) antara kesempatan (opportunity) dan kerelaan (willingness) (Gledisch dan Ward, 2001), sehingga sifat dasar batas wilayah adalah “kesempatan” dan “kerelaan”. Jarak secara “on-off” 2
digunakan sebagai variabel dummy karena ukuran jarak mengindikasikan tentang kehadiran atau tidak hadirnya suatu batas wilayah di dalam membuat sejumlah asumsi. Dalam studi hubungan internasional, dimensi spasial jarak menjadi perhatian karena dua alasan, pertama “opportunity” dan kedua ”willingness”. Negara atau unit sosial yang lain yang jaraknya dekat satu sama lain berarti berada dalam kedekatan untuk berinteraksi dan akan memiliki kemungkinan dan kesempatan yang lebih baik dalam berinteraksi satu sama lain. Satu aspek kunci dari batas wilayah adalah dalam hal kesempatan dan kemungkinan terjadinya interaksi antar negara yang berbatasan (Starr, 2005 ). Kesempatan dan kerelaan akan mempengaruhi relevansi, yaitu apakah suatu negara dianggap relevan atau tidak oleh negara lain, sehingga Lemke (1995), Leeds dan Davis (1999) dan Lemke dan Reed (2001) mengembangkan studi hubungan internasional yang didasarkan atas relevansi secara politik suatu negara dengan tetangganya. Bila berbicara tentang negara, berarti berbicara tentang unit teritorial. Negara berdekatan dengan negara lain bila secara keruangan atau secara geografis unit teritorialnya berdekatan satu sama lain. Seberapa dekat atau seberapa jauh satu unit teritorial dengan unit teritorial yang lain tergantung pada faktor apakah unit teritorial saling bersentuhan/berhubungan satu sama lain atau mereka merasa terpisah satu sama lain dengan adanya batas wilayah, sehingga batas wilayah dapat memberikan gambaran tingkat kedekatan suatu negara dengan negara lain yang berbatasan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa batas teritorial memberikan makna dalam studi hubungan internasional dalam dua hal, pertama, bahwa untuk mendefinisikan hubungan unit teritorial politik yaitu hubungan keruangan antar unit ditandai dengan jarak fisik geografis antara unit teritorial. Namun sekarang dengan perkembangan dan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi, jarak fisik geografis berubah menjadi jarak waktu (time-distance) antar unit teritorial, atau berubah karena adanya aliansi antar unit teritorial (Starr dan Thomas, 2005). Kedua, sebagai tempat tinggal suatu bangsa, unit teritorial menjadi sangat penting sebagai identitas dan simbol kebangsaan dan menjadi tempat yang menyediakan sumberdaya alam (tanah, minyak, gas, mineral, tambang dan akses terhadap sumberdaya air) yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Dari uraian di atas, dapat difahami bahwa teritorial beserta batasnya memiliki banyak dimensi, sehingga dalam hal interaksi manusia antar unit teritorial kedua alasan tersebut bisa menjadi sumber konflik. a.Hubungan antara Batas Wilayah dengan Konflik Seperti telah diuraikan di atas, selain peluang untuk berinteraksi, batas wilayah unit teritorial juga memiliki pengaruh pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan kebijakan penting, seperti misalnya bila jaraknya dekat maka kemampuan untuk memindahkan kekuatan militer menjadi lebih besar dalam hal terjadi konflik. Starr dan Most (1976) memiliki perhatian dalam hal tipe dan peran batas wilayah dalam hal terjadinya konflik. Tipe batas wilayah yang berbeda akan memiliki peran yang berbeda dalam hal peluang dan kerelaan dalam ber-interaksi termasuk kemungkinan terjadinya konflik. Starr 3
dan Most membedakan dua tipe batas, yaitu “homeland borders” (batas tanahair asli) dan batas teritorial yang dibuat oleh para kolonial. Pada “homeland borders”, kedekatan masyarakat pada unit teritorial yang berbatasan lebih dekat dibandingkan dengan batas teritorial yang dibuat oleh para kolonial, sehingga kemungkinan terjadi konflik pada “homeland borders” lebih kecil dibanding batas teritorial kolonial. Ada dua hipotesis yang saling bertentangan (kontradiksi) yang telah dikemukan dalam studi geografi politik terkait hubungan antara batas wilayah dan konflik, yaitu: 1. Hipotesis yang dikemukakan oleh Vasquez (Starr dan Thomas, 2005) yang menyatakan: a) Semakin mudah suatu batas dilintasi, semakin besar kemungkinan terjadi sengketa batas, karena batas yang mudah dilintasi memiliki peluang dan kerelaan yang lebih besar dalam ber-iteraksi termasuk kemungkinan terjadinya konflik b) Semakin penting suatu batas, semakin besar kemungkinan terjadi sengketa batas 2. Hipotesis yang dikemukakan oleh Deutsch (Starr dan Thomas, 2005) yang menyatakan bahwa: a) Semakin mudah suatu batas dilintasi, semakin kecil kemungkinan terjadi sengketa batas b) Semakin penting suatu batas, semakin kecil kemungkinan terjadi sengketa batas Dua hipotesis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Starr, 2005)
Kemudahan interaksi dan kepentingan
Diagram kontradiksi hipotesis Vasquez dan Deutsch tinggi
Hipotesis Vasquez
Hipotesis Deutsch
rendah
Asosiasi biaya dengan sengketa
tinggi
Gambar 1: Grafik hubungan antara sifat dasar batas dan konflik menurut hipotesis Vasquez dan Deutsch ( Starr dan Thomas, 2005) Dari gambar di atas, hipotesis Vasquez menyatakan bahwa bila kemudahan berinteraksi meningkat (opportunity), biaya pengelolaan perbatasan dari negara akan menurun, ini berarti 4
biaya penanggulangan konflik kekerasan juga menurun. Sama seperti logika tersebut, makin tinggi nilai pentingnya area perbatasan akan membuat eskalasi konflik dari kekerasan ke peperangan menurun, dengan kata lain bila nilai penting perbatasan turun akan menaikan biaya pengelolaan konflik (willingness). Sementara hipotesis Deutsch memiliki perspektif sebaliknya. Mengacu pada hipotesis Vasquez nampaknya sifat dasar batas dan kawasan perbatasan memiliki peranan kecil dalam terjadinya konflik, dan sebaliknya dari perspektif Deutsch, peranan sifat dasar batas wilayah (opportunity dan willingness) memiliki peranan besar dalam terjadinya konflik. Yang menarik dan penting adalah perpotongan dua kurve tersebut yang menggambarkan biaya terendah untuk pengelolaan sengketa batas antar negara. Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis Vasquez dan Deutsch sebenarnya tidak saling tergantung dan masing-masing belum lengkap, oleh sebab itu bila keduanya dikombinasikan akan sangat potensial untuk membuat model yang lebih baik untuk menentukan hubungan antara batas wilayah dan konflik (Starr dan Thomas, 2005). Starr dan Thomas mengusulkan kombinasi kedua kurve tersebut menjadi kurve yang berbentuk cekung, artinya rendahnya tingkat kesempatan dan pentingnya batas wilayah akan berhubungan secara proporsional dengan rendahnya insiden konflik dan tingginya tingkat kesempatan dan pentingnya batas, ketika kesempatan dan pentingnya batas berada di pertengahan maka secara proporsional insiden konflik adalah yang tertinggi. b.Konflik Batas Internasional dan Subnasional Batas memiliki banyak arti tergantung pada konteks, fungsi dan persepsi masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar perbatasan. Secara formal batas digambarkan dalam dokumen atau di dalam peta, dan di lapangan ditandai dengan tanda-tanda buatan (pilar, bouy, tempat checkpoint pelintas batas dan keimigrasian), atau ditandai menggunakan fenomena alam seperti sungai dan punggung bukit. Sengketa batas internasional pada dasarnya merupakan manifestasi kegagalan perjanjian atau terjadi tumpang tindih klaim secara kartografis atau adanya ketegangan militer didaerah perbatasan. Konflik batas dan perubahan keruangan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan proses menyeluruh dari masyarakat di wilayah teritorial tertentu (Wood,W.,2005). Sebagian besar literatur hasil penelitian fokus pada batas internasional, krisis- krisis yang terjadi yang mengakibatkan kekerasan etnis dan gerakan separatis yang ingin memisahkan diri. Penelitian-penelitian batas internasional menjadi alasan dan pendorong untuk melakukan beberapa penelitian batas subnasional seperti batas provinsi di Amerika Serikat dan kasus memisahkan diri di Kosovo dan Kashmir. Pada kasus batas subnasional di banyak negara miskin atau negara-negara yang sedang berkembang, pada umumnya ditemukan bahwa batas belum didefinisikan dengan baik dan pada umumnya dijumpai terbatasnya peta skala besar yang memadai sehingga menyulitkan dalam analisis terkait batas dan konflik yang terjadi. Di negara-negara berkembang, pemerintah dapat melakukan perubahan entitas subnasional degan menambah daerah baru termasuk merubah nama daerah, namun biasanya tidak terdokumentasikan dengan baik. Penelitian pada kasus konflik batas akibat pembagian wilayah politik subnasional dan wilayah-wilayah yang lebih kecil di dalam subnasional, walaupun sangat sulit namun tetap perlu dilakukan (Wood, W.,2005).
5
Teritorial yang telah didefinisikan termasuk batasnya memiliki nilai yang berlipat dan menjadi suatu parameter penting bagi penduduknya (Newman, 1999). Teritorial dapat secara eksplisit menjadi penyebab kekerasan di dalam dan antar negara berdasarkan pada persoalan intrinsik, hubungan dan simbol nilai secara keseluruhan dari masing-masing pihak yang melakukan klaim dan berusaha untuk mempertahankannya (Goertz dan Diehl, 1992). Persoalan intrinsik meliputi sumberdaya alam (minyak, lahan subur, atau air), dan airtanah dalam, punggung bukit atau lokasi strategis untuk rute perdagangan di dalam suatu teritorial. Persoalan hubungan (relational) dalam sengketa teritorial ditentukan oleh strategi untuk mencapai tujuan masing-masing negara, atau mungkin komposisi etnis yang ada di masingmasing negara. Persoalan simbol nilai mungkin mencerminkan peristiwa sejarah, simbolsimbol budaya atau aspek-aspek lain yang mengikat aspirasi nasional. Banyak literatur konflik internasional, menunjukan faktor teritorial hanya sebagai fasilitas, tidak sebagai faktor penyebab. Tetapi studi tentang konflik teritorial menyarankan bahwa masalah teritorial termasuk batasnya tidak sekedar sebagai fasilitas namun lebih dari itu. Resolusi konflik pada sengketa batas teritorial internasional bisa meliputi rentang yang relativ sangat sederhana sampai yang sangat sulit tergantung pada pendefinisian yang terkait (Diehl, 1999). 4) Penyebab sengketa batas wilayah Dalam manajemen dan penyelesaian konflik Moore, mengemukanan sangat penting untuk terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mencari sebab-sebab terjadinya konflik (Furlong, 2005). Dalam model Lingkaran Konflik seperti disajikan pada Gambar 4, Moore mengidentifikasi lima penyebab utama terjadinya konflik, yaitu :1) persoalan hubungan antara orang atau kelompok, 2) persoalan dengan data, 3) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian dalam hal keinginan, 4) kekuatan terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, 5) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian nilai (value). Model Lingkaran Konflik yang digambarkan oleh
Moore (1986) sering digunakan untuk alat
analisis konflik terutama dalam hal menentukan penyebab sengketa dan perilaku konflik (Forbes, 2001).
6
Konflik yang tidak perlu terjadi (Unnecessary Conflict)
Konflik yang sebenarnya ( Genuine Conflict) Gambar 2: Lingkaran konflik Moore, 1986 (Sumber Forbes, 2001)
Penjelasan tiap faktor penyebab sengketa dijelaskan oleh Moore (1986) dan Kristiyono, (2008) sebagai berikut : 1. Konflik struktural, Yang dimaksud konflik struktural di sini adalah sebab-sebab konflik yang berkaitan dengan kekuasaan sehingga ada ketidakseimbangan kekuatan misalnya dalam hal ketimpangan kontrol sumberdaya, wewenang formal yang membuat bagaimana suatu situasi dapat dibuat (set up) untuk tujuan tertentu melalui kebijakan umum (baik dalam bentuk peraturan perundangan maupun kebijakan formal lainnya). Aturan main dan norma relevan dengan konflik karena atuaran dan norma menetapkan hasil yang berhak diterima oleh pihakpihak tertentu sehingga juga menentukan aspirasi apa yang menjadi haknya. Ketika aspirasi dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain maka hasilnya dapat menimbulkan konflik. Faktor geografis dan sejarah merupakan dua aspek penyebab konflik struktural diantara aspek lainnya yang sering menjadi alasan klaim suatu wilayah (Prescott, 2010). 7
Geografi (geography) merupakan klaim klasik berdasarkan batas alam, sedangkan sejarah (history) merupakan klaim berdasarkan penentuan sejarah (pemilikan pertama) atau durasi (lamanya kepemilikan) 2. Faktor kepentingan Masalah kepentingan menimbulkan konflik karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan ini terjadi ketika salah satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhan/keinginannya, pihak lain harus berkorban. Konflik kepentingan mungkin bisa bersifat substantif, prosedur atau psikologis. 3.Konflik nilai Konflik nilai biasanya disebabkan oleh sistem kepercayaan (nilai)
yang tidak
bersesuaian misalnya dalam hal definisi nilai dan mungkin nilai-nilai keseharian. 4.Konflik hubungan Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tidak ada komunikasi, atau perilaku negatif yang berulang. 5. Konflik data Konflik data terjadi ketika kekurangan atau tidak data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, data dan informasi yang tersedia salah, tidak sepakat mengenai data dan informasi yang relevan, beda cara pandang dalam menterjemahkan data dan informasi, atau beda interpretasi dan analisis terhadap data dan informasi. Menurut Moore, konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya konflik yang tidak perlu terjadi, artinya kalau data dan informasi tersedia sesuai kebutuhan, nilai-nilai yang ada difahami secara baik dan emosi serta perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak akan terjadi konflik. Konflik yang sebenarnya adalah konflik struktural dan konflik kepentingan yang hampir selalu terjadi karena antara faktor kepentingan dan faktor struktural adalah dua faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan manusia.
8
5. Hubungan antara sengketa batas wilayah dengan boundary making dan geospasial Secara umum sengketa batas wilayah pada dasarnya dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu: teritorial, posisional dan fungsional (Prescott, 1987). Sengketa teritorial terjadi bila ada suatu wilayah belum dialokasi sehingga pada proses alokasi terjadi sengketa pada level politisi. Dalam konteks batas daerah di Indonesia sengketa ini tentunya tidak bermakna sebagai sengketa batas kedaulatan karena daerah otonom pada hakekatnya tidak memiliki kedaulatan, namun lebih bermakna sebagai sengketa batas wilayah otonom. Sengketa posisional terjadi setelah alokasi batas wilayah baik sebelum delimitasi atau sering muncul setelah delimitasi yaitu pada tahap demarkasi (lihat Gambar 3). Sengketa ini terjadi karena mempermasalahkan atau adanya ketidaksepahaman dalam masalah ketelitian dan ketepatan posisi garis batas. Oleh sebab itu pada tahapan delimitasi peran ketelitian geometris peta sudah sangat diperlukan. Untuk itu peta yang digunakan dalam tahapan delimitasi sudah harus memuat informasi tentang: skala peta, datum geodetik dan sistem koordinat yang benar. Sengketa fungsional terjadi pada tahap manajemen perbatasan yang sifatnya untuk pengelolaan wilayah perbatasan yaitu pengelolaan sumberdaya yang bernilai ekonomi yang ada di daerah perbatasan seperti minyak, gas, mineral, air, hutan, perkebunan, sarang burung dan batubara dan pengelolaan sumberdaya non ekonomi seperti penduduk. Dalam penyelesaian sengketa fungsional ini tersedianya peta yang baik sangat penting. Peta yang baik berarti peta yang benar kandungan informasinya dan memiliki ketelitian geometris dalam hal skala maupun koordinat. Menurut Blake, G. (1995) peta memiliki arti penting dalam sengketa batas dalam empat hal: pertama berkontribusi atau menjadi penyebab sengketa, kedua sebagai alat yang digunakan untuk mengusulkan posisi batas masing-masing pihak yang bersengketa, ketiga sebagai alat dalam penyelesaian sengketa dan ke-empat peta digunakan untuk mengilustrasikan pendapat dalam negosiasi atau mediasi sengketa batas. Di dalam penentuan batas daerah otonom peta merupakan dokumen yang memiliki aspek yuridis (hukum) dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen undang-undang pembentukan daerah otonom. Oleh sebab itu dalam hal ketidak sepahaman dalam hal batas daerah otonom di peta lampiran undang-undang pembentukan daerah, maka sengketa batas akan terjadi.
9
? INFRASTRUKTUR
Permendagri 1/2006
Gambar 3: Hubungan antara Geospasial, Boundary Making dan Sengketa batas daerah III. EVALUASI: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Apa perbedaan Konflik dan Sengketa, jelaskan Gambarkan lingkaran konflik menurut C.W. Moore dan jelaskan Terangkan jenis-jenis sengketa batas wilayah Jelaskan faktor penyebab sengketa Jelaskan faktor data sebagai penyebab sengketa, berikan contoh Apa yang dimaksud dengan konflik struktural, konflik kepentingan dan konflik nilai, berikan contoh. 7) Jelaskan cara-cara penyelesaian sengketa batas wilayah 8) Apakah arti pentingnya peta (informasi geospasial) dalam sengketa batas wilayah, jelaskan. 9) Gambarkan diagram hubungan antara sengeketa batas, boundary making dan geospasial. 10) Berikan contoh-contoh kasus sengketa batas wilayah di Indonesia. Menurut anda apa faktor penyebabnya, jelaskan
Jawaban soal evaluasi akan didskusikan di kelas DAFTAR REFERENSI: 1. Furlong, G.T., 2005, The Conflict Resolution Toolbox: Model & Maps for Analyzing, Diagnosing and Resolving Conflict, John and Willy, Ontario, Canada. 2. Jones,B.,S., 2000, Boundary Making, A Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., Buffalo, New York.
10