I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desentralisasi telah diterapkan lebih dari 60 negara di dunia dan berbedabeda menurut : sektor, pola pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, rancangan dan pelaksanaan sistem fiskal/aspek keuangan lainnya serta tingkat tanggungjawab sosial (Colfer dan Capistrano, 2006). Desentralisasi pada dekade terakhir ini menjadi trend global yang banyak diterapkan di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia (Ribbot dan Larson, 2005). Hasil penelitian Samadhi (2005)1 pada awal implementasi desentralisasi, memperlihatkan bahwa secara umum desentralisasi yang berjalan sejak 1 Januari 2001 belum menampakkan perbedaan substansial yang signifikan. Jangkauan penerapan (scope) desentralisasi juga cenderung terbatas, baik pada aspek sebaran geografis
maupun
kedalaman
implementasinya.
Indonesian
Rapid
Decentralization Appraisal2 (IRDA) (2002) menemukan praktik-praktik baik (good practices) di bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, lingkungan hidup dan investasi, walaupun ditemukan juga dampak negatif yang tidak dapat dihindari. Hasil penelitian World Bank (2003) menunjukkan Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat terdesentralisasi dari sisi porsi pengeluaran daerah. Hal tersebut senada dengan pendapat Bappenas dan UNDP (2009), desentralisasi yang telah berjalan selama 10 tahun menunjukkan level desentralisasi fiskal Indonesia pada titik yang lebih tinggi dibanding dengan negara maju dan Asia (kecuali China), sehingga pemerintahan hanya akan berfungsi dengan baik jika desentralisasi berjalan dengan baik. Hasil penelitian Decentralization Support Facility (DSF) terhadap dampak desentralisasi dari tahun 1999 sampai tahun 2009 menyatakan, desentralisasi telah berkontribusi dalam pembangunan demokratisasi di Indonesia
1
Kondisi ini terjadi pada sejak 1 Januari 2001 yaitu dengan diimplementasikannya UU No 22 Tahun 1999, belum diganti dengan UU No 32 tahun 2004. Kajian dilakukan dengan menggunakan lebih dari 350 informan di seluruh Indonesia
2
IRDA pada penelitiannya yang kedua, memonitor dan menilai proses desentralisasi di Indonesia dengan mengadakan penelitian di 7 kota dan 23 kabupaten di Indonesia. IRDA bertujuan untuk menyediakan potret dan progress desentralisasi dari perspektif stakeholder lokal dan membawa pandangan tersebut untuk menjadi perhatian pembuat kebijakan di level nasional.
dan menghasilkan 16.000 fasilitas publik serta menghasilkan 191 kabupaten/kota baru hasil pemekaran, walaupun perlu peninjauan kembali tentang ketidakjelasan hukum dan pengaturan fiskal di level Pemerintah Provinsi. Beberapa usaha untuk memperbaiki kinerja desentralisasi sudah dilakukan Pemerintah dan parlemen
dengan mengganti UU No 22/1999 dan UU No
25/1999 dan memberlakukan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang ini sesungguhnya telah menggeser konsep desentralisasi di Indonesia dari desentralisasi bertingkat menjadi desentralisasi berjenis. Penggantian undang-undang ini menandai adanya usaha perbaikan atas kondisi yang berlangsung, tetapi berbagai perubahan yang lebih fundamental masih sangat diperlukan untuk dapat membuat desentralisasi berfungsi dengan efektif. Di sektor kehutanan desentralisasi pengelolaan hutan memberikan dampak yang bervariasi, ada yang berdampak positif, tetapi ada pula dampak negatifnya (Colfer dan Capistrano, 2006). Dampak positif kebijakan desentralisasi berupa keuntungan finansial bagi masyarakat, tetapi sifatnya jangka pendek dan distribusinya kurang adil antara masyarakat dengan mitra pengusahaan kayu (Nurrochmat,
2005;
Samsu
dan
Suramenggala,
2005;
Tokede;
2005),
meningkatkan partisipasi politik dan hak penentuan nasib sendiri oleh warga yang sebelumnya terpinggirkan (Haug, 2007), desentralisasi menyediakan peluang untuk meningkatkan hak berdasarkan partisipasi di bidang kehutanan dan memunculkan aktor baru seperti DPRD dan NGO dalam jaringan pembuatan kebijakan (Nomura, 2008). Sisi negatif dari desentralisasi adalah peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam yang ekstraktif, seperti pembalakan kayu dan pertambangan batu bara (Haug, 2007). Beberapa penelitian pada awal pelaksanaan desentralisasi pengelolaan hutan di Indonesia menyebutkan bahwa rata-rata luas kerusakan hutan meningkat dari 1,6 juta Ha/tahun pada masa sebelum desentralisasi menjadi lebih dari 2,1 juta Ha per tahun setelah era desentralisasi (Siswanto dan Wardojo, 2006). Desentralisasi disalahgunakan oleh para kepala daerah untuk memberikan
3
ijin pembalakan hutan atau mengkonversi kawasan hutan menjadi penggunaan lain (Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006). Desentralisasi telah menjadi keputusan nasional yang harus dilakukan. Kondisi demografis, sosial budaya, dan geografis yang memiliki variabilitas yang tinggi antar daerah, membutuhkan pemerintah daerah yang otonom serta memiliki kapasitas untuk merespon dinamika lokal yang kompleks. Pemerintahan daerah yang seperti ini hanya dapat dikembangkan melalui desentralisasi3. Dalam New Public Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel (Osborne & Gaebler, 1993). Kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung sebenarnya sedikit lebih awal dilaksanakan, sebelum kebijakan desentralisasi secara nasional diberlakukan (yaitu dengan diundangkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Desentralisasi pengelolaan hutan lindung dituangkan dalam PP No 62 tahun 1998. Pasal 5 PP No 62 Tahun 1998 menyebutkan bahwa kepada Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, termasuk diantaranya. pengelolaan hutan lindung4. Pasal 66 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan hal yang sama dengan PP No 62 Tahun 1998, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah daerah. Pemberlakukan UU No 22 Tahun 1999 dan PP No 25 Tahun 2000 yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 38 Tahun 2007 menyebabkan perubahan mendasar sistem pemerintahan dari sistem yang sentralistik ke sistem yang desentralistik. Pembagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan terdapat di lampiran z dari PP No 38 Tahun 2007. Menurut PP tersebut pengelolaan hutan
3
Terdapat dalam Draf Naskah Akademis Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah. Departemen Dalam Negeri berkerjasa dengan GTZ, 2009
4
Pasal 5 PP No 62 Tahun 1998 menyebutkan bahwa kepada Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan. Penyerahan beberapa urusan tersebut oleh beberapa kalangan dipandang kurang adil karena pemberian kewenangan atas urusan kehutanan yang diatur oleh peraturan tersebut dirasakan lebih sebagai pengalihan beban dari pusat ke daerah
lindung didesentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten. Pengelolaan hutan lindung meliputi kegiatan: perlindungan
hutan,
inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan
pemberian
perijinan
pemanfaatan
kawasan
hutan,
pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten. Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta hektar dari total areal hutan seluas 130,85 juta hektar. Namun pada tahun 2006 terdapat 24,78 persen dari total luas hutan lindung atau setara dengan 6,27 juta hektar mengalami rusak berat (SKEPHI, 2007). Menurut hasil penghitungan Badan Planologi Kehutanan (2008a) dan (2008b), luas deforestasi kawasan hutan lindung pada periode tahun 2003 – 2006 adalah 391.000 Ha, dengan angka deforestasi tahunan pada kawasan ini adalah 130.300 Ha/tahun. Penutupan lahan di hutan lindung berdasarkan data digital hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM + liputan tahun 2005/2006 terdiri dari : hutan seluas 23.020.000 Ha, non hutan 5.985.000 Ha dan tidak ada data seluas 940.000 Ha. Deforestasi tersebut mencerminkan kinerja kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung.
1.2. Rumusan Masalah Kerangka politik perumusan kebijakan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (termasuk diantaranya pengelolaan hutan lindung) sampai saat ini berdasarkan pendekatan administratif, belum berdasarkan pendekatan ekosistem. Kesalahan yang selama terjadi dalam tata kepemerintahan daerah adalah tidak ada landasan yang menjadikan sumberdaya alam sebagai bentang alam yang menyeluruh. Pengelolaan sumber daya alam sampai saat ini masih menggunakan perspektif politik, sehingga kepentingan (interest) menjadi dominan dan
sumberdaya
alam akan tetap menjadi kebijakan pilihan dalam konteks
politik hukum dan kebijakan otonomi daerah. Karakteristik pemerintahan belum didasarkan pada karakteristik sumber daya alam5. Kebijakan yang ada juga belum jelas mengatur keterkaitan dan saling ketergantungan antar daerah.
5
USAID dan drsp. 2007. Catatan Diskusi pada FGD Sektoral Sumberdaya Hutan. Perspektif Pengelolaan Sumber Daya Hutan sebagai Aset Daerah dalam Revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta, 16 Mei 2007. www.drspusaid.org. [23 September 2009]
5
Deforestasi hutan lindung terus berlanjut. Hutan lindung yang ada di Jambi dan Sumatera Barat juga terus terdegradasi. Angka deforestasi hutan lindung di Provinsi Jambi 378,2 Ha/Th, sedangkan di Sumatera Barat 72,5 Ha/Th (Badan Planologi 2008a). Keberadaan hutan lindung di kedua provinsi tersebut memberikan kontribusi besar terhadap kesehatan DAS Batanghari. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2007), beberapa hutan lindung termasuk diantaranya hutan lindung Bukit Tinjau Limau di Kabupaten Sarolangun (41.448,98 Ha), hutan lindung Sungai Buluh di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (17.720,86 Ha) dan Sungai Loderang di Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur (11.080,49
Ha)
terancam
kelestariannya.
Deforestasi
yang
terjadi
mengindikasikan kebijakan tersebut kurang efektif. Ada kesenjangan antara kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan implementasinya di lapangan. Para analis kebijakan pada umumnya berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat kebijakan dianggap sebagai perwujudan pemikiran rasional dan memisahkan keputusan tersebut dari implementasinya. Kegagalan kebijakan sering kali tidak dialamatkan pada isi kebijakan itu sendiri, melainkan pada implementasinya. Kebijakannya sudah bagus, implementasinya yang buruk. Keyakinan tersebut patut dipertanyakan, karena banyak hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan kebijakan. Demikian juga dalam proses pembuatan kebijakan desentralisasi di Indonesia, termasuk diantaranya desentralisasi pengelolaan hutan lindung. Ada banyak faktor yang menentukan proses pembuatan kebijakan, diantaranya narasi/diskursus yang berkembang, kepentingan kelompok tertentu dan aktor yang terlibat. Proses pembuatan kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang ada selama ini juga diwarnai perbedaan kerangka pikir dari para
aktor.
Proses
pembuatan
kebijakan
tidak
terlepas
dari
adanya
narasi/diskursus6 yang berkembang. Perdebatan-perdebatan apa saja yang terjadi
6
Rebbeca Sutton (1999) mendefinisikan narasi kebijakan sebagai cerita yang memiliki awal, tengah dan akhir, menguraikan peristiwa tertentu yang telah memperoleh status kebijakan konvensional. Contoh the tragedy of commons dan krisis kayu bakar di Afrika. Narasi berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan. Diskursus adalah seperangkat ide, konsep dan kategori yang untuk menciptakan makna baru. Diskursus mendefinisikan masalah, mengklasifikasikan orang dan memiliki pengaruh penting dalam proses pembuatan kebijakan.
dibalik PP No 38 Tahun 2007, dimana kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung termasuk di dalamnya. Perspektif apa saja yang berkembang saat itu, siapa yang berperan dalam pembuatan kebijakan desentralisasi hutan lindung, bagaimana konteksnya serta pengaruh seperti apa yang menyebabkan kebijakan berubah. Selain permasalahan
dari sisi isi kebijakannya,
permasalahan dalam
implementasi kebijakan pengelolaan hutan lindung juga disebabkan karena tidak dipenuhinya beberapa syarat yang dibutuhkan untuk berjalannya suatu proses desentralisasi. Menurut perundangan yang ada7, penyerahan urusan pemerintahan yang kepada Pemerintah Daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana
dan
prasarana
serta
kepegawaian
sesuai
dengan
urusan
yang
didesentralisasikan, tetapi fakta yang ada tidak sepenuhnya demikian. Beberapa hasil penelitian tentang implementasi desentralisasi yang terjadi selama ini menyatakan pelimpahan tanggung jawab tanpa disertai sarana pelaksanaannya, baik yang berupa sumber keuangan maupun kewenangan (Colfer et al, 2008). Penghasilan dari pajak dan pungutan, tidak selalu bisa mencukupi biaya untuk melaksanakan kewajiban itu (Ribbot, 2006). Di India, Indonesia, Bolivia dan Brazil, desentralisasi sektor kehutanan umumnya ditandai oleh keterbatasan sumberdaya manajerial dan teknis (Gregersen et al, 2006) dan rendahnya kapasitas lokal8 (Colfer dan Capistrano, 2006). Pemerintah Daerah tidak dapat menjalankan desentralisasi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat karena belum dipenuhinya beberapa syarat dalam desentralisasi. Hutan lindung termasuk dalam common pool resources. Fungsi utama hutan lindung adalah menyediakan jasa perlindungan yang berkaitan dengan pengaturan tata air dalam suatu daerah aliran sungai. DAS Batanghari adalah DAS lintas kabupaten dan lintas provinsi. Dampak pengelolaan hutan lindung kabupaten di hulu DAS Batanghari akan mempengaruhi kabupaten di bagian hilir. Analisa peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi, tutupan hutan di DAS Batanghari tinggal
Sebuah narasi dapat menjadi bagian dari diskursus jika menggambarkan cerita tertentu yang sejalan dengan nilai-nilai yang lebih luas dan prioritas 7
Pasal 12 ayat 1 UU No 32 Tahun 2004 dan pasal 3 PP No 38 Tahun 2007 Larson (2006) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan Pemerintah Daerah untuk menjalankan mandat mereka, bisa pengelolaan administratif, keuangan, pemecahan masalah, kemampuan teknis dan kemampuan menjadi pemimpin yang demokratis. 8
7
1,2 juta hektar, atau hanya 22,24% dari 4,9 juta hektar luas DAS Batanghari. Pengurangan vegetasi yang berupa hutan di daerah hulu inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi banjir dan juga persoalan sedimentasi di hilir, seperti yang terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (WARSI, 2005). Pada kasus jasa hutan lindung yang bersifat lintas kabupaten/provinsi, pengelolaan yang kurang baik pada suatu kabupaten/provinsi akan memberikan dampak (eksternalitas) negatif bagi kabupaten/provinsi lain di bawahnya. Begitu pula sebaliknya, pengelolaan yang baik pada suatu kabupaten/provinsi akan memberikan dampak positif bagi kabupaten/provinsi lain. Dari sisi daya guna tertinggi (efisiensi) dan akuntabilitas (kedekatan dengan dampak) pada skala yang mana kewenangan pengelolaan hutan lindung diletakkan? Salah satu bentuk desentralisasi di bidang kehutanan menuju hutan lestari dan masyarakat sejahtera adalah pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), oleh karena itu penelitian ini akan menganalisis bentuk desentralisasi dalam pengelolaan hutan lindung dengan menggabungkannya dengan konsep KPH. Menurut Andersen et al (2004), sumber daya alam (termasuk diantaranya hutan lindung) sulit untuk ditata kelola dengan tata kepemerintahan yang baik. Hal tersebut disebabkan karena : 1) sumber daya alam mempunyai sifat yang berbeda dan sulit 2) pemanfaatan sumberdaya menghasilkan eksternalitas dan 3) kompleksitas batas-batas spasial dan temporal sumber daya alam dengan potensi eksternalitasnya jarang sesuai dengan lembaga-lembaga politik yang ada. Secara ringkas pertanyaan penelitian yang hendak dijawab dalam kajian ini adalah : a. Bagaimana proses pembuatan kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung? b. Apa kesenjangan
antara kebijakan desentralisasi dan implementasinya di
lapangan ? c. Bagaimana kinerja Pemerintah Kabupaten berdasarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan lindung? d. Bagaimana bentuk desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang sesuai, jika dihubungkan dengan konsep KPH ?
1.3. Tujuan Berdasarkan pada rumusan permasalahan yang dipaparkan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung. Secara
khusus
tujuan
penelitian
Analisis
Proses
Pembuatan
dan
Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung adalah : a.
Menganalisis proses pembuatan kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung.
b.
Menganalisis kesenjangan (gap) antara kebijakan desentralisasi dan implementasinya di lapangan.
c.
Menganalisis kinerja pemerintah kabupaten berdasarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan lindung.
d.
Menganalisis bentuk desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang sesuai dengan dengan konsep KPH.
1.4. Novelty Ada tiga kriteria penelitian yang dapat disebut memiliki novelty (kebaruan) yaitu : focus (focus), terdepan di bidangnya (advance) dan ilmiah (scholar). Penelitian ini dibangun berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Pertama, fokus penelitian ini ialah mengenai desentralisasi pengelolaan hutan lindung. Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Forest Policy and Economics, Journal of Environment & Development, Journal of Organization & Environment, Journal of Comparative Political Studies, Journal Administration and Society, Journal of Political Science and Politics, dari tahun 2000
sampai
dengan
2009,
penelusuran
on
line
pada
website
http://eau.sagepub.com9 dan http://www.sciencedirect.com/science/journal10 serta jurnal penelitian dalam negeri, belum ada penelitian mengenai desentralisasi pengelolaan hutan lindung, khususnya yang menganalisis proses pembuatan kebijakan, kinerja dan bentuk
desentralisasi.
Ketiga, proses penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah, yaitu policy process yang
9 10
Diakses tanggal 20 April 2009 dengan kata kunci : decentralization dan protected forest Diakses ,tanggal 5 September 2009 dengan kata kunci : decentralization dan protected forest
9
dilakukan oleh Institute of Development Studies (Sutton, 1999), analisis asumsi (Dewar, 1993 ; Dunn, 2003) dan metode kualitatif (Huberman dan Miles, 1994).
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada : a.
Tataran teoritis, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan pengembangan teori kebijakan dan desentralisasi common pool resources.
b.
Tataran praktis, penelitian ini diharapkan memberikan evaluasi implementasi desentralisasi pengelolaan hutan
atas
lindung di daerah dan
memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk dapat memperbaiki kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung ke depan.
1.6. Hipotesis Penelitian a.
Kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan sudah mempertimbangkankan karakteristik hutan lindung.
b.
Implementasi desentralisasi pengelolaan hutan lindung dipengaruhi oleh terpenuhinya beberapa syarat desentralisasi.
c.
Bentuk desentralisasi pengelolaan hutan lindung sudah sesuai karakteristik hutan lindung.
1.7. Ruang Lingkup Ruang lingkup kajian ini dilakukan mulai dari policy formulation, policy adoption, policy implementation sampai dengan policy evaluation.
Policy Formation
Policy Agenda
Policy Formulation
Policy Evaluation
Policy Implementation
Policy Adoption
Gambar 1 Siklus kebijakan (policy cycle) Secara rinci ruang lingkup kajian ini adalah : Proses pembuatan kebijakan : proses pembuatan PP 38 tahun 2007 dan lampirannya (bidang kehutanan). Implementasi kebijakan : implementasi dan kinerja desentralisasi pengelolaan hutan lindung oleh Pemerintah Kabupaten Implikasi kebijakan : rekomendasi kebijakan bentuk pengelolaan hutan lindung
1.8. Kerangka Pikir Penelitian Menurut Agere (2001), good governance merupakan paradigma baru dalam administrasi publik. Salah satu prinsip dalam pelaksanaan good governance adalah desentralisasi.
Desentralisasi didefinisikan sebagai tindakan dimana
pemerintah pusat menyerahkan kewenangan kepada aktor atau institusi di bawahnya dalam lingkup baik hierarkhi politik, administratif maupun hirarkhi wilayah (Ribbot dan Larson, 2005; Barr et al, 2006).
11
Saat ini Pemerintah Indonesia sudah mengambil format sendiri dalam kebijakan desentralisasinya11 sesuai dengan definisi desentralisasi yang tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bidang kehutanan, merupakan salah satu urusan yang kewenangannya sebagian didesentralisasikan kepada
Pemerintah
Kabupaten.
Salah
satu
urusan
kehutanan
yang
didesentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten adalah pengelolaan hutan lindung. Setelah lebih dari satu dekade kebijakan desentralisasi diimplementasikan, deforestasi hutan terus berlangsung. Implementasi
desentralisasi pengelolaan
hutan lindung oleh pemerintah kabupaten belum berjalan sesuai dengan harapan. Ada kesenjangan antara kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan implementasinya di lapangan. Analisis asumsi dilakukan untuk melihat kesenjangan (gap) antara kebijakan dan implementasinya di lapangan. Ketidakefektifan suatu kebijakan, terkait dengan isi kebijakan dan implementasinya.
Isi kebijakan sangat ditentukan oleh proses bagaimana
kebijakan itu disusun. Ada beberapa pendekatan dalam proses pembuatan kebijakan yaitu : stagist approaches, pluralist-elitist approaches, neo marxist approaches, sub system approaches, policy discources approaches dan institutionalism (Parson, 2008). Proses pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini biasa disebut sebagai model linier, model rasional, atau common-sense. Kebijakan disusun berdasarkan sejumlah langkah serial, dimulai dengan merumuskan isu, merumuskan tindakan untuk mengatasi kesenjangan, memberi bobot, pelaksanaan kebijakan dan diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah (stagist approaches).
Menurut aliran ini, implementasi kebijakan dipandang sebagai
aktifitas yang terpisah yang dimulai pada saat kebijakan dibuat atau diputuskan. Apabila masalah tidak dapat dipecahkan melalui segenap tindakan yang telah ditetapkan, kesalahan biasanya tidak dialamatkan pada isi kebijakan itu sendiri, melainkan pada pelaksanaannya (IDS, 2006). Menurut Dunn (2003), proses pembuatan kebijakan bersifat politis. Proses pembuatan kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung dalam kajian ini 11
Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Indonesia.
dianalisis dengan policy discourse approach yang mengkaji proses kebijakan dari sudut pandang bahasa dan komunikasi, dengan menganalisis narasi/diskursus, aktor/jaringan dan kepentingan/interest (Sutton, 1999; Keely & Scoones 2003; IDS, 2006). Selain dari sisi isi kebijakan, tidak efektifnya suatu kebijakan juga terkait dengan implementasinya. Implementasi desentralisasi terkait dengan kecukupan syarat administratif desentralisasi. Syarat administratif desentralisasi dirumuskan dari teori, aturan perundangan dan pengalaman beberapa negara. Secara teoritis, menurut Suwandi (2002), untuk menjalankan desentralisasi secara optimal, sedikitnya ada tujuh elemen dasar yang membentuk pemerintah daerah, yaitu : a.
Ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Urusan tersebut merupakan isi otonomi yang menjadi dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
b.
Ada kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada Daerah
c.
Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi
d.
Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah
e.
Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
f.
Adanya manajemen pelayanan publik agar dapat berjalan secara efisien, ekonomis dan akuntabel
g.
Pegawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif dan efisien. Menurut Kaho (2007), ada empat syarat/faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan otonomi daerah yaitu : 1) sumberdaya manusia, 2) keuangan, 3) peralatan serta 4) organisasi dan manajemen. Menurut Manan (2001), ada 4 faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi, yaitu: 1) hubungan kewenangan dan pengawasan, 2) hubungan keuangan, 3) hubungan pusat dan daerah serta 4) susunan organisasi pemerintah pusat di daerah. Selanjutnya Larson (2004), menyimpulkan ada tiga faktor utama yang
13
mendorong perubahan dalam desentralisasi yaitu : a) kelembagaan, termasuk diantaranya kapasitas institusi lokal, b) manajemen keuangan dan c) faktor lainnnya (tujuan makro ekonomi,korupsi, tenurial, kesejahteraan lokal dan fenomena elit). Aturan perundang-undangan12, menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara, kegagalan desentralisasi terjadi karena kewenangan yang diberikan tidak disertai dana (Ribbot, 2006; Larson, 2006; Colfer et al, 2008 ). Pelimpahan tanggungjawab tanpa disertai sarana pelaksanaannya atau
karena persyaratan
birokrasi yang rumit (contohnya rencana pengelolaan yang terlalu teknis). (Colfer et al, 2008), rendahnya kapasitas lokal (Ribbot, 2006; Gregersen et al, 2006; Utomo, 2007) dan lemahnya monitoring dan kontrol terhadap aktivitas kehutanan (Gregersen et al, 2006). Berdasarkan pada teori, pengalaman pelaksanaan desentralisasi di beberapa negara dan perundang-undangan yang ada, maka jika diadaptasikan dalam penelitian desentralisasi hutan lindung,
dapat dikatakan bahwa dalam proses
desentralisasi pengelolaan hutan lindung ada beberapa syarat administratif yang harus perhatikan, yaitu : a.
Ada kelembagaan yang merupakan wadah dari otonomi yang diserahkan kepada daerah
b.
Kemampuan pendanaan
c.
Kelengkapan sarana dan prasarana
d.
Kapabilitas sumberdaya manusia
e.
Terwakilinya aspirasi masyarakat lokal/pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan
f.
Perlunya monitoring dan kontrol Keenam syarat tersebut akan mempengaruhi kinerja Pemerintah Kabupaten
dalam mengelolaan hutan lindung yang ada di wilayahnya. Kinerja Pemerintah Kabupaten didekati dengan membuat kriteria dan indikator implementasi
12
Pasal 12 ayat 1 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah dan pasal 3 PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
desentralisasi pengelolaan hutan dihubungkan dengan terpenuhinya beberapa syarat agar desentralisasi optimal. Penentuan kinerja pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kabupaten adalah sebagai berikut : kinerja baik (3,26 – 5,00), kinerja cukup (2,25 – 3,25) dan kinerja buruk (1,00 – 2,24). Data kinerja Pemerintah Kabupaten didukung dengan data perubahan tutupan lahan hutan lindung sebelum dan setelah desentralisasi (tahun 1990, 2000 dan 2009), dengan mengacu pada klasifikasi lahan yang dilakukan Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC) (2006). Salah satu isu sentral teori modal sosial adalah hubungan antara tingkat modal sosial dan efektivitas pemerintahan (Putnam, 2000). Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. Konsep modal sosial dianalisis dari dua perspektif yaitu : 1) actor perspective (Bourdieu, 1986), yang menekankan peran individual dalam memprediksi kemajuan individu dan tindakan kolektif, dan 2) public perspective (Putnam,1993), yang lebih mengembangkan ide asosiasi dan aktifitas masyarakat sipil sebagai basis bagi terciptanya integrasi sosial dan kesejahteraan. Modal sosial yang ada dalam masyarakat sekitar hutan diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam kelestarian hutan. Hutan lindung disebut sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources) karena sebagian bersifat sebagai barang publik (public goods) dan sebagian bersifat barang privat (private goods). Hutan lindung disebut public goods karena pemanfaatan hutan lindung sulit untuk mengeluarkan pengguna lain, sedangkan hutan lindung sebagai private goods karena konsumsi seseorang mengurangi jumlah yang tersedia untuk orang lain. Karakteristik sumberdaya seperti ini menimbulkan terjadinya pembonceng gratis (free rider) dan overuse (penggunaan berlebihan) (Ostrom dan Hess, 2007). Menurut Kartodihardjo (2006), manfaat tidak langsung dari hutan lindung menimbulkan interdependensi atau ketergantungan antar pihak, apabila kabupaten di bagian hulu mengelola hutan lindungnya dengan baik, maka kabupaten hilir akan menerima eksternalitas positif dan sebaliknya, apabila kabupaten di bagian
15
hulu tidak mengelola hutan lindungnya dengan baik maka kabupaten di bagian hilir akan menerima eksternalitas negatif. Dampak pengelolaan hutan lindung sangat terkait dengan tata air. Pengelolaan hutan lindung di DAS Batanghari bisa menimbulkan eksternalitas baik yang bersifat satu kabupaten, lintas kabupaten maupun lintas provinsi. Bencana banjir dan longsor adalah salah satu contoh dampak negatip
dari
pengelolaan hutan lindung di kabupaten hulu yang harus ditangggung oleh kabupaten hilir, sedangkan irigasi sawah adalah contoh dampak positifnya. Karaketristik hutan lindung memerlukan pendekatan tersendiri dalam tata kelolanya. Bentuk tata kelola pengelolaan hutan lindung dikaitkan dengan empat macam bentuk desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema (1983) dan FAO (2006), yaitu : dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi. Bentuk desentralisasi tersebut dikaitkan dengan karakteristik hutan lindung dan konsep KPH. Kerangka pikir penelitian dapat lihat pada Gambar 2. Alur Pikir penelitian dan konsep teori yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.
TUJUAN 1
POLICY PROCESS
VERIFIKASI 3 KABUPATEN
TUJUAN 2
2 Karakteristik Hutan Lindung
PP 38 Tahun 2007
GAP
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG
KRITERIA, INDIKATOR, TRESHOLD SYARAT DESENTRALISASI TUJUAN 3 PROBLEM EMPIRIS
KINERJA
TUJUAN 4
BENTUK DESENTRALISASI
REKOMENDASI
Gambar 2 Alur pikir penelitian
17
Kebijakan Pemerintah Karakteristik barang dan jasa hutan lindung
Desentralisasi Hutan Lindung
GAP
Konsep proses pembuatan kebijakan
Analisis asumsi
Narasi/diskursus Kepentingan/interest Aktor/actor
Identifikasi peran dari perundang-undangan Identifikasi realisasi peran
Implementasi Desentralisasi Hutan Lindung
Implementasi Desentralisasi Konsep desentralisasi
Implikasi pengelolaan hutan lindung di era desentralisasi
Saran/ rekomendasi kebijakan
Terpenuhinya syarat desentralisasi Kinerja desentralisasi
Bentuk desentralisasi dihubungkn dengan konsep KPH Konsep modal sosial
Actor perspective Public perspective
17
Gambar 3 Alur pikir penelitian dan konsep yang dipergunakan