I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang rutin menimpa wilayah Sumatera dan Kalimantan khususnya di daerah yang sebaran lahan gambutnya cukup luas. Salah satu diantara daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera Selatan yang luas lahan gambutnya
mencapai 1,42 juta
hektar(Wahyunto et al., 2005). Kebakaran kerapkali melanda lahan gambut tersebut menimbulkan bencana kabut asap yang sangat merugikan(Tacconi, 2003). Guna
mengantisipasi
berulang,Pemerintah
kebakaran
Provinsi
hutan Sumatera
dan
lahan
yang
Selatan
terus telah
menyelenggarakandiskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion /FGD) pada tanggal 9
Desember 2014 untuk menjaring informasi dan teknologi
pencegahan kebakaran lahan dan hutan. Diskusi tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Badan Litbang dan Inovasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan(BLI LHK) yang diwakili oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang dan BPK Banjarbaru. Dalam FGD tersebut, BPK Palembangtelah menawarkan beberapa paket IPTEK yang berpotensi untuk diaplikasikan dalam upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutandi Sumatera Selatan.Menindaklanjuti usulan tersebut,
BPK
Palembang
juga
akan
melaksanakan
kegiatan
kajian
pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 hingga 2019. Kegiatan penelitian tersebut dilaksanakan sebagai salah satu bentuk peran aktif BPK Palembang dalam mencari solusi permasalahan daerah.
1
1.2. Rumusan Masalah Pembakaran lahanbasah (semak, belukar, rumput rawa) merupakan siklus tahunan yang dilakukan oleh komunitas tertentu di beberapa wilayah lahan basah di Sumatera Selatan. Pembakaran dilakukan sebagai proses persiapan lahan untuk budidaya padi rawa yang dikenal dengan istilah
sonor.Aktivitas tersebut ditengarai sebagai penyebab keakaran yang dapat terpantau melalaui satelit sebagai titik panas (hotspot). Hasil pemantauan yang dilakukan oleh South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP)mengindikasikan bahwa wilayah tempat dilakukannya budidaya sonor merupakandaerah sangat rawan kebakaran (SSFFMP, 2003). Siklus pembakaran lahan untuk budidaya sonor mencapai puncaknya pada saat musim kemarau panjang. Siklus ini tidak akan dapat diputus apabila pola budidaya yang saat ini dipraktikkan tidak ditanggalkan. Oleh karena itu maka dipandang perlu dilakukan transformasi sosial, ekonomi dan budaya. Upaya ke arah tersebut telah dilakukan oleh beberapa pihak, diantaranya oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan yang didukung pendanaan dari Uni Eropa melalui proyek SSFFMP. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun tak ketinggalan, salah satunya adalah LSM Wahana Bumi Hijau (WBH) yang telah melakukan pendampingan masyarakat sekitar hutan rawa gambut di Muara Merang, Kabupaten Musi Banyuasin. Namun, walaupun telah dilakukan berbagai upaya pencegahan kebakaran lahan gambut yang meliputi dimensi ekonomi (penciptaan sumber pendapatan alternatif), sosial dan hukum (penerbitan maklumat larangan melakukan pembakaran lahan), namun bencana asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan gambut di Sumsel masih belum terselesaikan. Beberapa hal yang diduga masih menjadi faktor penyebab belum berhasilnya upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan adalah: 1). Pencegahan kebakaran hutan dan lahan melalaui upaya penciptaan sumber
2
pendapatan tidak langsung berkaitan dengan sumber asap; 2). Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi kerapkali mengabaikan fungsi-fungsi lingkungan sumber daya alam termasuk fungsi ekositem lahan gambut. Bertolak dari dugaan tersebut maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan pada tingkat desa melalui pemanfaatan lahan rawa yang rawan terbakar.
1.3. Tujuan dan Sasaran Tujuan akhir dari kegiatan penelitian iniadalahuntuk mendapatkan model pengelolaan lahan rawa gambut yang dilakukan oleh komunitas lokal secara adaptif dan kolaboratif sebagai bagian dari upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan.Untuk mencapai tujuan akhir tersebut ditetapkan beberapa tujuan antara yang menjadi target tahunan yaitu sebagai berikut: 1. Pada tahun pertama dimaksudkan untuk mendapatkan data baseline kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya pengelolaan lahan rawa oleh komunitas lokal secara adaptif kolaboratif di Sumatera Selatan. Selain itu juga dimaksudkan untuk mendapatkan data program dan kebijakan pemerintah daerah (kabupaten) dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan. 2. Pada tahun kedua dimaksudkan untuk membangun demplotpengelolaan lahan gambut oleh komunitas lokal secara adaptif dan kolaboratif di lokasi 1 dan merumuskan rancangan kelembagaan pengelolaannya. 3. Berikutnya pada tahun ketiga, dimaksudkan untuk membangun demplot pengelolaan lahan gambut oleh komunitas lokal secara adaptif dan kolaboratif di lokasi 2 dan merumuskan rancangan kelembagaan pengelolaannya.
3
4. Pada
tahun
keempat
dimaksudkan
untuk
membangun
demplot
pengelolaan lahan gambut oleh komunitas lokal secara adaptif dan kolaboratif di lokasi 3 dan merumuskan rancangan kelembagaan pengelolaannya. 5. Terakhir pada tahun kelima dimaksudkan untuk mengevaluasi demplot pengelolaan lahan rawa gambut oleh komunitas lokal secara adaptif kolaboratif dan merumuskan model pengelolaan pengelolaan lahan rawa oleh komunitas lokal dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Sasaran kegiatan penelitian ini adalah terjadinya proses adopsi pola pengelolaan lahan rawa gambut adaptif kolaboratif oleh komunitas lokal pada beberapa wilayah dengan kategori sangat rawan kebakaran di Sumatera Selatan. Berkurangnya luasan kebakaran hutan dan lahan di sekitar lokasi demplot pengelolaan lahan gambut oleh komunitas lokal secara adaptif kolaboratif.
1.4. Luaran/Output Luaran akhir yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah berupa model pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh komunitas lokal secara adaptif dan kolaboratif sebagai upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Adapun luaran tahunan adalah sebagai berikut: a. Luaran tahun pertama adalah data dan informasi karakteristik biofisik (vegetasi, tanah dan hidrologi) untuk mendukung pola pengelolaan lahan gambut adaptif kolaboratif untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di daerah rawan kebakaran; Data sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pemanfaat lahan gambut di daerah rawan terbakar untuk mendukung pola pengelolaan lahan gambut adaptif kolaboratif di daerah rawan
4
terbakar di Sumatera Selatan; Data dan informasi mengenai program dan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan untuk menyusun rekomendasi kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat meminimalkan risiko kebakaran hutan dan lahan pada tingkat kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. b. Luaran tahun kedua adalah demplot pola pengelolaan lahan gambut adaptif kolaboratif di Lokasi 1; dan Rancangan kelembagaan pengelolaan demplot lokasi 1. c. Luaran tahun ketiga adalah demplot pola pengelolaan lahan gambut adaptif kolaboratif di Lokasi 2; dan Rancangan kelembagaan pengelolaan demplot lokasi 2. d. Luaran tahun keempat adalah demplot pola pola pengelolaan lahan gambut adaptif kolaboratif di Lokasi 3; dan Rancangan kelembagaan kelembagaan pengelolaan demplot lokasi 3. e. Luaran tahun kelima adalah demplot dan rancangan kelembagaan pola pengelolaan lahan gambut dilakukan oleh komunitas lokal secara adaptif kolaboratif sebagai upaya untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di tiga lokasi sangat rawan kebakaran di Sumatera Selatan. 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat dan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengelola lahan gambut tanpa bakar dan tetap memberikan penghasilan sehingga pada akhirnya dapat memberikan dampak pada peningkatan pendapatan masyarakat serta menurunnya intensitas bencana asap akibat kebakaran hutan dari lahan gambut.
5
1.6. Relevansi dengan IKK Eselon I KLHK Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan paket IPTEK dan kelembagaan untuk mendukung pencapaian “sasaran strategis dalam menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi hutan dan lahan akibat kebakaran hutan”, yang merupakan sasaran strategis dari program pencegahan dan penanggulangan perubahan iklim. Selain itu kegiatan penelitian ini juga dapat mendukung program perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan yang terkait dengan akses masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat (HR) dan hutanan tanaman rakyat (HTR) melalui kemitraan.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Kebakaran hutan dan lahan adalah gejala (symptom) dari kondisi sistem alami yang mengalami gangguan keseimbangan. Sejak pembangunan ekonomi dicanangkan, sistem lingkungan selalu menjadi objek yang dikuras dan dijadikan sebagai tempat membuang limbah. Hal tersebut terjadi karena pembangunan berpijak pada teori ekonomi konvensional yang menempatkan sistem ekonomi sebagai keseluruhan sistem dan sistem sistem lingkungan hanya merupakan komponen di dalamnya. Oleh karena itu, di dalam sistem perekonomian pun, pendapatan dari sektor berbasis sumber daya alam, seperti pertanian, kehutanan dan perikanan tergabung dalam sektor pertanian dan hanya merupakan komponen dari sistem perekonomian (sistem ekonomi). Apabila diamatidalam kerangka sistem secara keseluruhan, sejatinya sistem ekonomi merupakan bagian dari sistem lingkungan. Ketergantungan sistem ekonomi terhadap sistem lingkungan telah dikemukakan oleh Pearce & Turner (1990), bahwa sistem lingkungan berperan sebagai penyokong sistem ekonomi melalui penyediaan input untuk proses produksi dan konsumsi serta berfungsi sebagai penampung dan penetralisir limbah dari berbagai proses produksi dan konsumsi yang terjadi pada sistem ekonomi. Kemampuan sistem lingkungan dalam menyediakan input dan menyerap limbah dari proses produksi dan konsumsi bersifat terbatas (Daly, 2007). Pada saat tertentu dimana bahan mentah sudah terkuras maka sistem lingkungan tidak mampu lagi menyediakan input bagi sistem ekonomi. Begitu pun kapasitas sistem lingkungan dalam menetralisir dan menyerap limbah kemampuannya terbatas. Setelah melampaui batas optimalnya maka sistem
7
lingkungan tak mampu lagi menetralisir dan menyerap limbah sehingga menimbulkan gangguan dan bencana pada kehidupan manusia. Dalam kasus bencana asap akibat kebakaran hutan pun sejalan dengan penjelasan di muka. Penggunaan api dalam proses penyiapan lahan dalam skala kecil dan hanya di tempat tertentu maka asap yang ditimbulkannya
masih
mampu
diserap
di
atmosfir
dan
CO2
yang
dilepaskannya akan diserap kembali oleh vegetasi melalui proses fotosintesis. Akan tetapi, penggunaan api dalam skala luas dan kondisi lingkungan yang mudah terbakar dapat menimbulkan asap yang berlimpah sehingga tidak mampu lagi diserap dan dinetralisir oleh atmosfir. Dengan demikian bencana asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan adalah gejala yang menandakan bahwa eksploitasi sumber daya alam (sistem lingkungan) untuk memacu pertumbuhan sistem ekonomi telah melampaui batas skala optimal. Eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan untuk meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi
telah
berdampak
pada
degradasi
lingkungan,
meningkatnya volume bahan yang mudah terbakar. Di sisi lain, perilaku penggunaan api yang telah menjadi budaya di beberapa daerah masih tetap dipraktikkan walaupun kondisi lingkungan telah berubah. Dalam ilmu perlindungan hutan dikemukakan bahwa kebakaran terjadi karena bertemunya ketiga faktor, yaitu antara lain: adanya api sebagai penyulut, ketersediaan bahan bakar, dan oksigen (Cochrane & Ryan, 2009). Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Sumatera Selatan punmerupakanresultante dari terpenuhinya ketiga komponen tersebut. Dua diantara faktor tersebut terkait dengan aktivitas manusia, yaitu api sebagai penyulut dan biomassa yang menjadi bahan bakar. Untuk itulah, kedua faktor tersebut yang akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini, yaitu bagaimana memutus sumber api dan meminimalkan bahan bakar.
8
2.2. Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian terkait (State of The Art) Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa ada dua faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terkait dengan aktivitas manusia, yaitu api dan bahan bakar. Api yang berperan sebagai penyulut kebakaran hutan dan lahan umumnya berasal dari penggunaan api dalam berbagai kegiatan manusia. Hasil kajian Chokkalingam et al. (2007) mengungkapkan bahwa sumber api pada kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan berasal dari pembakaran lahan pada proses persiapan lahan untuk budidaya padi pada lahan rawa (sonor), serta pembakaran semak dan belukar yang dilakukan oleh para pencari ikan. Faktor yang kedua, bahan bakar dalam bencana kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan adalah karena melimpahnya biomassa berupa gambut yang telah mengering terutama pada saat musim kemarau. Pengeringan gambut tersebut disebabkan oleh karena terjadi penyusutan permukaan air pada lahan gambut sebagai akibat pengaliran air melalui kanal-kanal primer, sekunder bahkan kanal tersier. Pengeringan gambut di Sumatera
Selatan
pembangunan transmigrasi,
pada
ekonomi,
dasarnya khususnya
pembangunan
merupakan melalui
perkebunan
dan
bagian
program
dari
proses
pengembangan
proyek-proyek
pertanian
(Chokkalingam et al. 2007). Selain meningkatkan volume bahan organik yang mudah terbakar pada musim kemarau, pengeringan dan pembukaan hutan dan lahan gambut juga turut memberikan kemudahan akses bagi sebagian orang untuk memasuki kawasan hutan dan lahan gambut yang semula tidak pernah terjangkau (Chokkalingam, et al. 2007). Akibatnya, daerah-daerah tersebut menjadi semakin rawan terbakar.
9
Praktik-praktik eksploitasi sistem lingkungan pada masa lalu yang pada awalnya dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, namun pada kenyataannya pertumbuhan sistem ekonomi yang saat ini berhasil diraih juga disertai dengan bencana asapyang merugikan masyarakat lokal, nasional maupun global. Saat ini, tuntutan reduksi asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan datang dari masyarakat lokal juga masyarakat global. Untuk mengurangi kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang setiap tahun, maka dipandang perlu untuk melakukan upaya pencegahan. Secara teknis, upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan memutus segitiga kebakaran (api,bahan bakar dan oksigen). Namun dalam faktanya upaya memutus salah satu unsur tersebut tidak semudah seperti di dalam teori. Baik faktor sumber api maupun melimpahnya biomassa yang mudah terbakar, khususnya pada lahan gambut berkaitan dengan aspek sosialekonomi dan budaya (Chokkalingam et al. 2007) serta kerapkali berkelindan dengan kepentinganpolitik (Varkkey, 2013). Oleh karena itu, upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan tidak hanya sebatas kegiatan teknis tetapi bersifat multi aspek dan melibatkan banyak pihak. Untuk memudahkan koordinasi para pihak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di Sumatera Selatan, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Uni Eropa,melalui proyek South Sumatera
Forest Fire Management Project (SSFFMP), telah menginisiasi pembetukkan forum para pihak (multi-stakeholder forum) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Forum
pemerintah,
tersebut
organisasi
meliputi
pemerintah
kemasyarakatan
daerah,
(asosiasi),
organisasi
media
lokal
non dan
perusahaan swasta. Namun, forum tersebut tak berlanjut atau hanya berjalan selama masa proyek SSFFMP (Achyar et al. 2015). Ketergantungan terhadap
10
sumber pendanaan tampaknya masih menjadi kendala. Di sisi lain, produksi asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut pun masih terus berulang setiap tahun. Sehingga, efektivitas forum multi pihak dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan pun masih dipertanyakan.
11
III. METODOLOGI 3.1. Pendekatan/Kerangka Pemikiran Sebagaimana telah dikemukakan di dalam Bab Tinjauan Pustaka, bahwa pencegahan kebakaran pada dasarnya dapat dilakukan dengan memutus sumber api dan meminimalisir bahan yang mudah terbakar. Ikhtiar ke arah tersebut memerlukan pendekatan yang menyeluruh, melingkupi berbagai aspek, yakni dimensi sosial, budaya, ekonomidan lingkungan (biofisik). Karena realita yang ada menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan memiliki keterkaitan dengan faktor ekonomi, sosial dan lingkungan. Jika digambarkan dalam suatu kerangka kerja logis ( logical framework), kebakaran hutan dan lahan merupakan eksternalitas negatif yang dihasilkan dari interaksi ketiga faktor tersebut (Gambar 1). Faktor ekonomi berkenaan dengan proses produksi dan konsumsi masyarakat. Di dalam gambaran perekonomian makro kedua proses tersebut tersaji dalam bentuk produk domestik regional bruto (PDRB). Upaya memacu pertumbuhan output kerapkali mengesampingkan peran lingkungan dari sumber daya alam. Seperti halnya terjadi pada lahan gambut di Provinsi Sumsel, dimana proses kebakaran ditengarai berkaitan dengan proses penciptaan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan areal transmigrasi, perkebunan dan pertanian (Chokkalingamet al.,2007).Proses pengambilan keputusan dalam rangka pembangunan ekonomi kerapkali menghadapkan pengambil kebijakan pada pertentangan antara manfaat ekonomi dan manfaat lingkungan atas sumber daya alam. Pengambil keputusan yang berorientasi pada kepentingan saat ini tanpa memperhatikan kebutuhan generasi mendatang cenderung mementingkan kepentingan ekonomi dan mengesampingkan faktor lingkungan.
12
Ekonomi
Kebakaran hutan dan Lahan Sosial
Lingkungan Gambar 1. Kerangka kerja logis penelitian
Penggunaan api dalam persiapan lahan untuk budidaya pertanian pada lahan rawa yang kerapkali ditemukan di beberapa daerah di Sumsel dapat dipandang sebagai aspek sosial budaya yang turut meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan. Di samping itu, faktor budaya membakar dalam kegiatan berburu, mencari ikan di danau-danau kecil di dalam hutan (lebung), serta penggembalaan juga merupakan faktor yang dapat memicu kebakaran hutan dan lahan di Sumsel (Hasanuddin, 2004). Oleh karena itu, upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan perlu memperhatikan ketiga aspek tersebut secara bersama-sama, yakni pada aspek
sosial
budaya,
ekonomi, dan
lingkungan.
Level
implementasi
pencegahan pun tidak sekedar pada level mikro yang menempatkan komunitas lokal sebagai subjek pengguna api, namun perlu memperhatikan kebijakan pembangunan ekonomi regional (kabupaten dan desa).
13
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Selain aspek yang beragam, kajian pencegahan kebakaran juga dapat dilakukan pada berbagai level kajian, baik makro, meso maupun mikro. Kajian yang dilakukan pada penelitian ini lebih mengarah pada level meso dan mikro. Topik kajiannya meliputi aspek kebijakan pembangunan ekonomi pada tingkat kabupaten dan desa serta aspek sosial ekonomi dan budaya pemanfaatan lahan tanpa bakar pada tingkat desa. Di samping itu juga dilakukan pengenalan model budidaya tanpa bakar yang dipandang sesuai dengan kondisi biofisik setempat (adaptif) yang dilakukan oleh komunitas lokal dan bekerjasama dengan pihak lain (kolaboratif).
3.3. Bahan dan Perlatan Bahan yang diperlukan pada penelitian dan pengembangan ini meliputi citra satelit yang meliputi wilayah Sumsel, bibit tanaman kehutanan dan kehutanan untuk pembangunan demplot pengelolaan lahan gambut, bahan perlengkapan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion). Adapun peralatan yang digunakan meliputi peralatan survei biofisik yang terdiri dari bor tanah, bor gambut; perangkat pengolah data citra satelit, serta perekam suara (voice recorder) untuk keperluan survei data sosial dan ekonomi dan alat tulis kantor untuk keperluan diskusi kelompok terfokus.
1.4. Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian ini direncanakan dilaksanakan pada wilayah yang sangat rawan kebakaran di Sumatera Selatan. Adapun pelaksanaan penelitian pada tahun 2015 ini dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
14
3.5. Metode Pelaksanaan Penelitian Penelitian
dilaksanakan
secara
integtatif
yang
meliputi
aspek
biofisik,sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan
diupayakan
untuk
menjawab
pertanyaan
padaaspek-aspek
tersebut, yang terdiri dari: 1. Survei biofisik lahan rawa yang rawan terbakar. Adapun, komponen biofisik yang menjadi fokus pengamatan dalam survei kali ini adalah: tipe tanah, ketebalan lapisan gambut, kondisi umum vegetasi, kedalaman air tanah dan ketinggian genangan pada saat musim hujan. Data tipe tanah, ketebalan lapisan gambut, kondisi umum vegetasi dan kedalaman air tanah digali dengan cara pengamatan langsung dengan
menggunakan
teknik
pengeboran.
Adapun
data
level
genangan tertinggi pada musim penghujan (saat terjadi banjir) diperoleh
berdasarkan
inforamasi
dari
masyarakat
lokal
serta
diverifikasi melalui tanda-tanda bekas genangan yang tampak pada pohon yang masih tersisa.Survei biofisik juga didukung oleh kajian sebaran titik panas (hotspot) pada areal hutan dan non hutan untuk mengetahui penyebaran hotspot. 2. Wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus ( focus group
discussion) dengan para pihak di tingkat desa untuk mendapatkan data dan informasi sosial dan ekonomi pemanfaatan lahan rawa. 3. Wawancara mendalam dengan narasumber di satuan kerja pemerintah daerah
(SKPD)
guna
mendapatkan
informasi
pengelolaan
dan
pemanfaatan lahan terkait dengan pencegahan kebakaran. Data yang terkumpul
dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Analisis tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat pemanfaat lahan
15
gambut untuk mendukung pembangunan demplot pengelolaan lahan gambut oleh komunitas lokasl secara adaptif kolaboratif. Selain itu dilakukan analis deskriptif terhadap program dan kebijakan pemerintah kabupaten yang berkenaan merumuskan
dengan
pencegahan
rekomendasi
kebakaran
kebijakan
hutan
dan
pembangunan
lahan yang
guna dapat
meminimalkan risiko kebakaran hutan dan lahan.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Hasil penelitian yang telah dicapai pada tahun pertama ini disajikan dalam tiga bagian yaitu: kondisi biofisik lahan rawa yang rawan terbakar; kondisi sosial ekonomi pemanfaatan lahan rawa; pencegahan kebakaran dalam kebijakan pembangunan daerah. Data tersebut dimaksudkan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan lokasi demplot pengelolaan lahan gambut secara adaptif kolaboratif. 4.1. Kondisi Biofisik Lahan Rawa yang Rawan Terbakar Kondisi biofisik yang diamati meliputi kondisi vegetasi, tipe tanah, kedalaman air tanah pada saat musim kemarau dan ketinggian permukaan air pada saat musim banjir. Gambaran kondisi umum yang diperoleh dari hasil kajian ini diuraikan berikut ini. 4.1.1. Kondisi Vegetasi, Tanah, Kedalaman Air Tanah dan Ketinggian Genangan Investigasi kondisi biofisik dilakukan di wilayah Kecamatan Pangkalan Lampam,
Kecamatan
Tulung
Selapan,
dan
Kecamatan
Air
Sugihan,
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Ketiga wilayah kecamatan tersebut dipilih karena di dalamnya terhampar lahan gambut yang biasanya dimanfaatkan sebagai areal budidaya padi tradisional (sonor). Selain itu, pemilihan kecamatan Air Sugihan sebagai target survei kali ini adalah untuk menggali informasi mengenai pola pertanaman padi pada lahan eks rawa gambut yang telah dilakukan secara intensif oleh masyarakat transmigrasi. Hasil kajian biofisik yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 1. Aspek biofisik yang diamati meliputi aspek tipe tanah, kondisi vegetasi, kedalaman air tanah, tinggi genangan pada musim banjir (lihat Tabel 1). Berdasarkan Tipe tanah di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: pertama, tanah gambut dengan ketebalan lebih dari 50 cm dan kedua, tanah dengan ketebalan gambut kurang dari 50 cm. Gambut dengan ketebalan lebih dari 50 cm ditemukan di kawasan area penggunaan lain (APL) 17
Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, sedangkan yang ketebalan gambutnya kurang dari 50 cm ditemukan di areal konsesi PT. BMH di Desa Riding yang kini menjadi areal sengketa, dan di lahan gambut sekitaran daerah Batang Gadis, Desa Ujung Tanjung, Kecamatan Tulung Selapan. Adapun tipe tanah di Desa Bukit Batu, Kecamatan Air Sugihan dan di daerah Rengas Potong, Desa Riding, adalah berupa tanah mineral yang mengandung hara tinggi sisa dari pembakaran biomassa yang tampaknya terjadi secara berulang. Secara umum, jenis vegetasi yang dijumpai pada setiap lokasi pengamatan adalah Belidang (Scleria terrestris), Senduduk (Melastoma
malabathricum), dan Gelam (Melaleuca cajuputi). Namun, di Batang Gadis, Desa Ujung Tanjung hanya dijumpai jenis Purun tikus (Eleocharis dulcis). Berikutnya, kondisi kedalaman air tanah pada titik-titik pengamatan berkisar antara 0,8 hingga 1,5 m. Pada musim kemarau permukaan air tanah mengalami penyusutan. Selain itu, keberadaaan kanal di sekitar areal gambut turut menyebabkan penurunan permukaan air tanah. Hal tersebut tampak pada lokasi pengamatan yang di sekitarnya sudah dibangun kanal yang memperlihatkan kedalaman air tanahnya lebih dari atau sama dengan 1,5 m, sedangkan pada lokasi-lokasi pengamatan yang di sekitarnya belum dibangun kanal, kedalaman air tanahnya sekitar 80 cm. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan penduduk lokal diperoleh informasi bahwa lahan gambut yang menjadi lokasi pengamatan pada umumnya mengalami penggenangan pada saat musim hujan, kecuali plot yang terletak pada areal gambut di dekat Pos Pemantauan Kebakaran PT. BMH yang terletak di Desa Riding. Areal tersebut mengindikasikan kondisi yang tidak pernah tergenang, pada musim hujan sekalipun. Adapun, tinggi genangan pada plot-plot lainnya berkisar antara 20 – 50 cm.
18
Tabel 1. Data biofisik calon lokasi demplot pengelolaan gambutadaptif kolaboratif di Kabupaten OKI Komponen-komponen Biofisik No.
Lokasi
1.
Dekat Pos Pantau Kebakaran, Riding (Kode Titik: TA2, TA3, 089)
2.
Pangkalan Jerambah, Riding (Kode Titik: API 1)
Tipe Tanah
Mineral Bergambut
Gambut
1,5
Vegetasi
Belidang (Scleria terrestris), Senduduk (Melastoma malabathricum), Gelam (Melaleuca cajuputi)
Ketinggian (mdpl)
Tinggi genangan pada saat musim hujan (cm)
11
-
70
0,8
malabathricum), Gelam (Melaleuca cajuputi), Belidang (Scleria terrestris)
9
30
12
30
12
50
12
20
14
50
Senduduk (Melastoma Gambut
4.
Batang Gadis, Ujung Tanjung (Kode Titik: Btg Gadis)
Mineral Bergambut
5.
Rengas Potong, Riding (Kode Titik: Rengas ptng)
Mineral
Lebung Bebek, Desa Riding (Kode Titik: Lebung bebek)
Mineral Bergambut
6.
50
Kedalaman Air Tanah (m)
Senduduk (Melastoma
Lahan Kadus Riding, Dekat Pangkalan Jerambah, Riding (Kode Titik: TA1)
3.
Ketebalan Gambut (cm)
> 100
0,8
malabathricum), Gelam (Melaleuca cajuputi), Belidang (Scleria terrestris), Pakis (Stenochlaena palustris)
40
-
0,9
1,5
Purun tikus (Eleocharis dulcis)
Berondong, Senduduk (Melastoma
malabathricum),
40
0,9
Belidang (Scleria terrestris), Gelam (Melaleuca cajuputi)
Dengan memperhitungkan keempat indikator tersebut di muka (jenis tanah, ketebalan gambut, kedalaman air tanah pada musim kemarau dan ketinggian genangan pada musim penghujan), apabila pengelolaan lahan
19
gambut kolaboratif akan diaplikasikan dengan mengembangkan jenis tanaman hutan yang memiliki hasil kayu dan non kayu, maka misalnya jenis jelutung tepat jika dipilih lahan gambut gambut di Pangkalan Jerambah, Desa Riding. Adapaun plot-plot lainnya dapat dikelola dengan pola lainnya.
4.1.2. Penyebaran titik-titik panas (hotspots) pada bulan Agustus – November 2015 di Kabupaten OKI Berdasarkan hasil tumpang susun data titik panas (hotspot) dengan peta kawasan hutan dan non kawasan di Kabupaten OKI menunjukkan bahwa titik api mulai bertebaran di wilayah Kabupaten ini sejak bulan Agustus 2015. Pada awal bulan, titik panas tersebar di areal penggunaan lain (luar kawasan hutan) dan di pinggiran kawasan hutan. Lokasi titik-titik panas tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Fakta tersebut memperkuat dugaan bahwa pemanfaatan api dalam proses persiapan lahan atau dalam praktik budidaya di luar kawasan masih dilakukan.
20
Gambar 2. Penyebaran titik-titik panas (hotspots) pada bulan Agustus 2015 di Kabupaten OKI Pada awal bulan September, sebagian titik panas masih tersebar di luar kawasan hutan, namun pada minggu kedua bulan September, titik-titik panas mulai muncul di dalam kawasan hutan, baik Hutan Produksi (HP) maupun Suaka Margasatwa (SM) (lihat Gambar 3). Penyebaran titik panas pada areal HP bermula di sekitar pinggiran lalu bergerak ke bagian tengah. Lain halnya yang terjadi pada areal SM Padang Sugihan, titik panas langsung muncul di tengah kawasan. Menurut informasi dari Staff Manggala Agni yang bertugas di lokasi kebakaran, api diduga berasal dari aktivitas pencari gelam.
21
Gambar 3. Penyebaran titik-titik panas pada bulan September 2015 di Kabupaten OKI
22
Gambar 4. Penyebaran titik-titik panas (hotspots) pada bulan Oktober 2015 di Kabupaten OKI
4.2.
Informasi Sosial Ekonomi Pemanfaatan Lahan Rawa Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus pada keempat kelompok
masyarakat yang tersebar di Desa Riding, Toman dan Pangkalan Jerambah dapat diketahui bahwa api masih menjadi alat penting dalam persiapan lahan untuk budidaya yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk budidaya pada lahan rawa. Maklumat larangan membakar yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah belum mampu meredakan kegiatan membakar di Kabupaten OKI. Masyarakat juga menceritakan bahwa pembakaran pada lahan rawa tidak dilakukan secara terang-terangan namun dilakukan dengan cara sembunyisembunyi.
23
Adanya rencana diterbitkannya undang-undang larangan membakar ditanggapi positif oleh masyarakat, namun mereka berharap laranagan tersebut disertai dengan program bantuan bagi masyarakat misalkan untuk proses persiapan lahan. Dalam diskusi kelompok terfokus di Dusun Pangkalan Jerambah, Desa Riding dan diskusi kelompok di Desa Jerambah Rengas terungkap bahwa kini masyarakat pun telah memahami bahwa kebakaran lahan gambut yang kerapkali terjadi di sekitar wilayah desa mereka merupakan dampak dari pembangunan kanal-kanal pada lahan gambut di dalam areal hutan tanaman (PT. BMH). Bagi masyarakat kedua desa tersebut, pembangunan kanal juga menyebabkan semakin menurunnya sumber daya ikan yang tersedia di rawa-rawa dan sungai di wilayah desa mereka. Upaya sosialisasi larangan membakar yang kini kerap kali digelar oleh pemerintah direspon negatif. Menurut pendapat mereka yang paling penting adalah aksi nyata bagaimana pemerintah membantu masyarakat dalam pengelolaan lahan rawa agar tidak terbakar. Sejatinya, wacana tersebut telah dilemparkan oleh anggota DRPD Kabupaten OKI melalui penjaringan aspirasi masyarakat yang diantaranya telah dilakukan di wilayah Kecamatan Tulung Selapan. Dalam penjaringan aspirasi tersebut, masyarakat Desa Toman mengajukan pencetakan sawah pada lahan rawa seluas 350 Ha. Demikian juga halnya masyarakat Desa Jerambah Rengas juga mengajukan program serupa, namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya. Berdasarkan
hasil
diskusi
kelompok
juga
terungkap
bahwa
pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan lahan rawa masih minim. Pola budidaya yang selama ini mereka praktikkan adalah menanam padi pada lahan yang bekas terbakar dan hanya dilakukan jika lahan rawa tersebut telah terbakar.
24
Jika dibandingkan dengan wilayah desa lainnya di wilayah kecamatan Pangkalan Lampam, Desa Riding termasuk yang paling luas yaitu 697 Km2 atau 61% dari luas kecamatan. Walaupun wilayah Desa Riding sangat luas, namun sebagian besar arealnya berupa Kawasan Hutan, sehingga areal yang dikelola secara intensif oleh masyarakat dan telah dibebani Hak Milik tidak lebih dari 13.000 ha (Profil Desa Riding, 2014) atau sekitar 19% dari total wilayah desa. Kawasan hutan yang terdapat di wilayah desa tersebut adalah berupa hutan rawa gambut yang tergolong rawan terbakar. Oleh karena itu, menarik untuk mendalami kondisi sosial dan ekonomi masayarakat desa Riding guna mendapatkan solusi pencegahan kebakaran hutan dan lahan. 4.2.1. Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Desa Riding Berdasarkan hasil pendataan pada tahun 2014, jumlah penduduk Desa Riding mencapai
984 KK dan total jumlah penduduknya sebanyak 3.762
jiwa. Berdasarkan kategori usia, jumlah penduduk terbesar berada pada kisaran usia 15 – 45 tahun, yaitu 2.361 jiwa atau 62%. Apabila dibedakan berdasarkan berdasarkna jenis kelaminnya, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan menunjukkan posisi berimbang, yakni masing-masing sebanyak 1882 dan 1880 jiwa. Proporsi jumlah penduduk miskin di Desa Riding relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Kabaupaten OKI secara keseluruhan. Jumlah penduduk miskin di Desa Riding mencapai 174 KK atau 22% dari jumlah total KK di Desa Riding. Adapun, prosentase penduduk miskin di tingkat Kabupaten OKI pada tahun 2010 sebesar 15%. Penduduk Desa Riding secara umum menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan. Data yang ditampilkan dalam dokumen Profil Desa Riding Tahun 2014 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Riding bermatapencaharian sebagai petani
25
(900 KK), sisanya tersebar dalam berbagai mata pencaharian, antara lain: buruh
(48
KK),
dagang
(16
KK),
aparatur
negara
yaitu
sebagai
PNS/TNI/POLRI (13 KK) dan mata pencaharian lainnya yang belum termasuk dalam kategori di muka (7 KK). Pola budidaya pertanian masyakat Desa Riding umumnya mirip dengan pola bertani masyarakat lokal umumnya yang tinggal di wilayah Kabupaten OKI.
Pola
bertani
mereka
adalah
berkebun
dan
komoditi
yang
dikembangkannya yaitu tanaman karet. Selama menunggu tanaman karet siap sadap, petani umumnya melalakukan praktik tumpang sari. Praktik demikian biasanya dilakukan pada saat peremajaan tanaman karet yaitu saat mengganti tanaman karet lama dengan tanaman yang baru. Jenis komoditi pertanian yang ditanam umumnya adalah padi (pada tahun pertama), kemudian aneka jenis sayuran (tahun kedua) dan adapula yang menanam pisang (pada tahun ketiga). Setelah tanaman karet lebih dari 3 tahun, tajuknya sudah agak rapat sehingga tidak digunakan untuk tumpang sari. Penggunaan api dalam proses persiapan lahan untuk meremajakan tanaman karet masih umum dilakukan oleh masyarakat Desa Riding dan sekitarnya. Pembakaran dimaksudkan untuk membersihkan lahan dari semak belukar, daun, ranting dan cabang-cabang pohon karet tua yang telah ditebang. Menurut penuturan warga setempat, walaupun pembakaran dilakukan pada saat musim kemarau, namun jarang sekali api pada proses pembakaran tersebut merembet ke tempat lain. Karena pembakaran dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit dan di sekeliling kebun telah dibuat sekat bakar. Selain itu, proses pembakaran pun senantiasa diawasi dan dijaga agar api tidak merembet ke tempat lain. Hasil pemantauan lapangan juga memperlihatkan bahwa penggunaan api oleh masyarakat dalam proses permudaan tanaman karet masih menjadi pola yang belum
26
ditinggalkan. Walaupun demikian, tampak bahwa api hanya menghanguskan areal yang memang hendak dibakar. Budaya membakar dalam kegiatan berkebun pada tanah mineral juga dilakukan oleh masyarakat pada lahan rawa yang telah mengering. Walaupun sudah telah ada maklumat larangan membakar namun sepertinya aturan tersebut belum sepenuhnya ditaati. Penggunaan api untuk menghilangkan semak pada areal tegakan hutan sekunder gelam juga merupakan salah satu sumber api yang dapat menyebabkan kebakaran pada lahan rawa gambut. Adanya aktivitas di dalam kawasan hutan rawa gambut juga meningkatkan potensi terbakarnya lahan dan hutan rawa gambut. Keteledoran dalam membuang puntung rokok saat mencari kayu gelam juga dapat memicu terjadinya kebakaran lahan dan hutan rawa gambut, khususnya pada saat lapisan gambut sangat kering dan hembusan angin yang cukup kencang. Kayu gelam telah menjadi harapan hidup bagi sebagian masyarakat Desa Riding yang bermukim di Dusun III yang tersebar di beberapa pemukiman, yaitu di Muara Penyabungan, Rengas Potong, Rengas Merah dan Muara Biyuku. Mereka memanen kayu gelam dari tegakan alam yang tersebar di sekitar dan di dalam areal konsesi IUPHHK-HTI PT. BMH dan dalam kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Ukuran kayu gelam yang ditebang bervariasi dari ukuran diameter pangkal 5 cm hingga di atas 20 cm. Kayu gelam ukuran diameter 5 cm panjang 4 m dijual pengumpul kepada pedagang pengepul seharga Rp. 3.000,- per batang. Harga kayu gelam dengan ukuran panjang yang sama (4 m) dan ukuran diameter 7 cm dan 12 cm, berturut turut adalah Rp. 5.000,- dan Rp. 10.000,- per batang. Pengumpul kayu gelam biasanya berkelompok empat hingga lima orang. Hal ini untuk meringankan biaya pengangkutan kayu gelam dari dalam hutan ke pinggir jalan Desa. Sarana pengangkut kayu gelam dari dalam hutan ke
27
pinggir jalan tersebut menggunakan roda yang ditarik oleh Mesin Hand Traktor. Kondisi perekonomian yang sedang terpuruk saat ini juga berimbas terhadap menurunnya harga karet dan sawit diduga dapat berdampak kelestarian tegakan gelam. Jumlah permintaan dan harga kayu gelam yang relatif stabil dapat berpotensi menarik minat para para penyadap karet upahan untuk beralih menjadi pengumpul gelam. Hasil investigasi kami di lapangan dapat mengungkap bahwa para pencari gelam yang bermukim di wilayah Rengas Potong, tidak hanya warga asli Dusun Riding tetapi mereka pendatang dari wilayah SP Padang ( salah satu wilayah Kecamatan di wilayah Kabupaten OKI). Hal
yang
akan
menjadi
faktor
penentu
keberlanjutan
sumber
pendapatan masyarakat pengumpul gelam adalah kelestarian tegakan gelam di hutan alam. Jika hanya mengandalkan tegakan alam tanpa adanya upaya budidaya dan pengaturan ekstraksi maka berpotensi menghadapi kehilangan pendapatan dari gelam. Untuk itu, eksplotasi gelam oleh masyarakat ini juga perlu diatur agar mampu menjamin kelestarian pendapatan mereka. Selain itu, ekstraksi kayu gelam dari dalam kawasan SM Padang Sugihan perlu dihentikan untuk menjaga habitat satwa di dalamnya dan meminimalkan potensi kebakaran hutan rawa gambut di dalam kawasan SM tersebut.
4.2.2. Pemanfaatan lahan rawa di Desa Riding Seperti telah disinggung di muka, meskipun wilayah Desa Riding sangat luas, namun sebagian besar arealnya berupa Kawasan Hutan. Areal yang dikelola secara intensif oleh masyarakat dan telah dibebani Hak Milik tidak lebih dari 13.000 ha. Areal tersebut umumnya digunakan sebagai tanah sawah/pertanian (383 ha), pekarangan (22 ha), tegalan (10.465 ha) dan
28
perkebunan (1.537 ha). Selebihnya, sekitar 80% areal Desa Riding adalah berupa kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Konservasi (HK), dan Are Pemanfaatan Lain (APL). Kawasan HP tersebut saat ini telah menjadi areal konsesi IUPHHK-HTI PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH), Simarmas Group. Adapun, HK merupakan bagian dari kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Kawasan Hutan yang masuk ke dalam kategori APL di Desa Riding secara temporal digunakan oleh masyarakat untuk menanam padi (sonor). Areal tersebut terdapat di sekitar perkampungan Pangkalan Jerambah. Kondisi tanahnya berupa gambut dengan ketebalan bervariasi antara 0,5 s/d 3 m. Lahan tersebut di muka kerapkali terbakar pada saat musim kemarau panjang seperti tahun 2015 ini. Pada awal musim kemarau, lahan gambut yang telah hangus terbakar tersebut mulai ditaburi benih-benih padi. Terkahir kali, penanaman padi sonor di areal HPK sekitar kampung Pangkalan Jerambah ini dilakukan pada tahun 2013.
4.2.3. Persepsi masyarakat terhadap kebakaran hutan dan lahan Pada zaman dahulu, saat musim kemarau adalah kesempatan untuk membakar rawa dan menanam padi sonor. Namun setelah kebakaran hutan tahun 1997/1998 adanya larangan sonor pembakaran rawa tidak lagi dilakukan
terang-terangan.
Pembakaran
umumnya
dilakukan
secara
sembunyi-sembunyi. Beberapa sumber rmenyebutkan bahwa pembakaran dilakukan dengan menggunakan obat anti nyamuk bakar yang telah disulut dan ujungnya diikatkan pada batang-batang korek api, sehingga pada saat api dalam lingkaran obat anti nyamuk bakar tersebut sampai di ikatan korek api dapat memicu api yang lebih besar dan dapat menyulut pembakaran di sekitarnya. Pada saat api sudah melalap lahan, si pembakar tidak lagi berada
29
di lokasi, sehingga aparat akan sulit mencari mencari pelakunya. Namun, pada saat keterangan tersebut diverifikasi “apakah sudah pernah ditemukan bukti pemicu api demikian”, sumber yang diwawancarai tersebut umumnya belum menemukan secara langsung. Sebagian besar responden berpandangan bahwa cara mengolah lahan gambut untuk bisa ditanami adalah dengan cara membakar. Dengan adanya larangan membakar maka mereka berharap ada bantuan dari pemerintah untuk mengolah lahan rawa tersebut. Terkait dengan upaya pencegahan kebakaran lahan rawa gambut, Proyek Penanggulangan dan Pencegahan Kebakaran Hutan yang didanai oleh Uni Eropa (South Sumatera Forest Fire
Management
Project)
telah
mengimplementasikan
beberapa
program
pembangunan di Desa Riding, yakni pendidikan lingkungan bagi anak sekolah, pemetaan partisipatif lahan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan yang dilaksanakan di Desa Riding adalah usaha penggemukan kerbau. Namun program tersebut dapat dikatakan tidak berhasil, kerbau bantuan dari proyek tersebut bukannya digulirkan di dalam kelompok tani melainkan dijual. Program serupa telah dicoba oleh Manggala Agni melalui program penggemukan kambing etawa. Namun program tersebut juga belum mampu meminimalkan kebakaran hutan dan lahan. Atas dasar itu, maka kami berpendapat bahwa perlu ada upaya pencegahan kebakaran yang secara langsung mengolah lahan yang biasanya dibakar untuk pola budidaya tanpa bakar. Harapannya pola budidaya tersebut dapat menghasilkan pendapatan rutin dan nilai totalnya lebih tinggi dbandingkan pendapatan dari sonor atau budidaya lain yang proses persiapan lahannya menggunakan api. Selain itu, jika lahan gambutnya digunakan untuk budidaya tanaman tahunan yang menghasilkan pendapatan rutin maka akan ada upaya untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut di sekitarnya agar tidak merembet ke tanaman mereka.
30
Untuk itu, kami mencoba menawarkan tentang pola budidaya agroforestry pada lahan gambut yang memadukan jelutung dengan tanaman pertanian lainnya. Sebagian besar responden menyambut positif upaya tersebut. Bahkan ada yang berminat untuk memadukan pola budidaya jelutung dengan budidaya ikan khas lokal seperti ikan tembakang dan ikan sepat. Narasumber yang kami wawancarai yakin bahwa jelutung dapat tumbuh di daerah mereka, karena pada zaman dahulu di Desa Riding banyak pohon jelutung dan menyadap getah jelutung merupakan bagian dari mata pencaharian nenek moyang mereka. Menyadap getah jelutung pada zaman itu dikenal dengan istilah “Bekapak Getah”.
4.3.
Pencegahan Kebakaran Hutan dan Pembangunan Ekonomi Kabupaten OKI
Lahan
dalam
Kegiatan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan berdasarkan berbagai pengalaman dan fakta membutuhkan biaya cukup besar yang mungkin melebihi biaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan. Hal ini berarti upaya pencegahan kebakaran menjadi program penting untuk mengurangi kejadian dan dampak kebakaran yang berulang hampir setiap tahun. Program-program yang berkaitan dengan pencegahan kebakaran lahan dan hutan telah banyak dilakukan oleh beragam instansi. Pada tingkat pemerintah daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), berikut ini adalah beberapa instansi pemerintah yang terkait dengan kejadian kebakaran lahan dan hutan beserta program yang dilaksanakannya: a. Dinas Kehutanan Upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan dilakukan melalui program sosialisasi bahaya kebakaran yang dilakukan menjelang musim kemarau dan patroli rutin. Dinas Kehutanan juga bekerjasama dengan Brigade Kebakaran Lahan dan Hutan, Manggala Agni, Balai Konservasi 31
Sumberdaya Alam Sumatera Selatan. Dinas Kehutanan juga terlibat dalam sosialisasi terpadu yang diinisiasi oleh UPTD Kebakaran Provinsi Sumatera Selatan dan bekerjasama dengan aparat hukum TNI dan Polri. b. Dinas Perkebunan Kebakaran lahan juga sering terjadi di areal perkebunan perusahaan yang menjadi binaan Dinas Perkebunan. Sosialisasi tentang kebakaran lahan menjadi program rutin dari instansi ini. Mulai tahun 2015 dinas ini menginisiasi pembentukan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) di 3 desa yang dilengkapi dengan sarana prasarana. Sebelum tahun 2015, pernah ada program Persiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) yang didanai dari APBD dan APBN namun kemudian terhenti dengan alasan yang belum diketahui. c.
Badan Lingkungan Hidup Upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan dilakukan melalui
program sosialisasi di beberapa daerah rawan kebakaran dan belum ada program lain terkait teknis pencegahan. d.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sosialisasi terpadu dengan SKPD lainnya dan aparat penegak hukum
merupakan upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan yang dilakukan instansi ini. Kegiatan BPBD diarahkan pada penanggulangan bencana dan belum melakukan kegiatan pencegahan kebakaran yang bersfifat teknis. e.
Bappeda Peran Bappeda sebagai koordinator kegiatan SKPD hanya berperan
dalam mencermati program-program yang dijalankan SKPD dan belum melakukan koordinasi secara spesifik terhadap program-program pencegahan kebakaran lahan dan hutan. Bappeda belum melakukan pencermatan dalam rangka penentuan program-program yang memiliki keterkaitan dengan upaya
32
pencegahan kebakaran lahan dan hutan. Sinkronisasi dan harmonisasi kegiatan pencegahan kebakaran lahan dan hutan antar SKPD belum dilakukan.
33
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan Kebakaran hutan dan lahan rawa gambut umumnya bermula dari lahan yang tidak dikelola secara intensif. Selain itu juga seringkali bermula pada lahan konsesi yang tengah dipersengketakan antara pemegang izin dengan masyarakat. Walaupun lahan tersebut digunakan untuk budidaya, namun hanya dilakukan pada musim tertentu, apabila telah terbakar. Kondisi lahan rawa yang rawan terbakar tersebut banyak tersebar di wilayah Kabupaten OKI. Areal tersebut umumnya berupa hamparan lahan rawa yang ditumbuhi vegetasi gelam, belidang dan di sebagian wilayah ditumbuhi purun. Ketebalan gambut pada lahan tersebut bervariasi mulai dari 50 cm hingga lebih dari 150 cm. Tinggi permukaan air tanah pada musim kemarau turun hingga kedalaman 150 cm. Pada lahan gambut yang disekitarnya belum dibangun kanal secara intensif, kedalaman air tanah pada saat musim kemarau sekitar 70 cm. Areal tersebut di muka biasanya dimanfaatkan untuk budidaya padi sonor. Para pemanfaat lahan rawa umumnya memiliki sumber pendapatan utama di samping hasil dari budidaya padi di lahan rawa (sonor). Kebanyakan dari mereka bermatapencaharian sebagai pekebun karet. Namun, pencegahan kebakaran hutan belum menjadi spirit dalam program-program pembangunan di Kabupaten OKI. Begitupun program pencegahan kebakaran melalaui pengelolaan lahan rawa secara kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai instansi pada level kabupaten belum dikembangkan. Program pencegahan kebakaran pada lahan rawa belum terintegrasi di dalam pengelolaan lahan rawa yang rawan terbakar.
34
5.2. Rekomendasi Kebijakan Bertolak dari uraian kesimpulan di muka, kami merekomendasikan bahwa kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan perlu dilakukan secara terintegrasi dalam level program kegiatan pembangunan masingmasing sektor. Selain itu, integrasi antar sektor juga perlu diimplementasikan pada level tapak dalam program pengelolaan lahan gambut yang rawan terbakar.
35
DAFTAR PUSTAKA Achyar, E. D. Schmidt-Vogt, G.P. Shivakoti. 2015. Dynamics of the multistakeholder forum and its effectiveness in promoting sustainable forest fire management practices in South Sumatra, Indonesia. Environmental Development, 13 (2015):4–17. Bastoni.
2006. Pemanfaatan Lahan Rawa Terpadu Dengan Pola Agrosilvofishery. dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut. Puslitbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Bastoni, A.J. Utomo, A. Sumadi, A. Nurlia, M. Suparman. 2010. Pemanfaatan Lahan Rawa Bersulfat Masam Dengan Pola Agrosilvofishery.Laporan Penelitian Insentif Riset DIKTI. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Chokkalingam, U., Suyanto, R. P. Permana, I. Kurniawan, J. Mannes, A. Darmawan, N. Khususyiah, R.H. Susanto. 2007. Community fire use, resource change, and livelihood impacts: The downward spiral in the wetlands of Southern Sumatra. Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change, 2007 (12):75–100. Cochrane, M.A. 2009. Tropical Fire Ecology: Climate Change, Land Use and Ecosystem Dynamics. Springer dan Praxis Publishing, Berlin Heidelberg, Germany dan Chichester, UK.
Ecological Economics and Sustainable Development, Selected Essays of Herman Daly. Edward Elgar, Cheltenham, UK,
Daly, H.E.
2007.
Northampton, MA, USA.
Hasanuddin. 2004. Perspektif Pemerintah terhadap MasalahKebakaran Berkaitan dengan KehidupanMasyarakat di Areal Rawa/Gambut. Dalam Suyanto, U. Chokkalingam dan P. Wibowo (Eds.). Prosiding Semiloka “Kebakaran di Lahan Rawa/Gambutdi Sumatera: Masalah dan Solusi”. CIFOR. Bogor. Pearce, D.W. dan R.K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. New York, USA.
36
South Sumatra Forest Fire Management Project (SSFFMP). 2003. Peta Kerawanan Kebakaran Hutan dan lahan di Sumatera Selatan. Uni Eropa, Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang. Suyanto, S., R.P. Permana, N. Khususiyah dan L. Joshi. 2005. Land tenure, agroforestry adoption, and reduction of fire hazard in aforest zone: A case study from Lampung, Sumatra, Indonesia.Agroforestry System, 2005 (65):1–11. Tacconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR Occasional Paper No. 38(i). Center for International Forestry Research. Bogor. Varkkey, H. 2013. Patronage politics, plantation fires and transboundary haze. Environmental Hazards, 12 (3–4): 200–217. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera Selatan dan Kalimantan 2004 .Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.
37