I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Tuntutan terhadap perbaikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
dan pembangunan yang lebih berkeadilan, demokratis, partisipatif dan berorientasi pada kelompok masyarakat telah mulai terasa sejak tahun 1990-an. Reformasi yang berkembang di Indonesia menegaskan perlu adanya pendekatan baru dalam paradigma pembangunan, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber
daya
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat
dengan
memperhatikan pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan
yang
berkelanjutan,
kepentingan
ekonomi,
dan
budaya
masyarakat lokal serta penataan ruang. Pengelolaan
lingkungan
hidup
dan
sumber
daya
alam
dalam
pembangunan ekonomi negara-negara berkembang masih belum banyak diperhatikan dalam menjaga keberlanjutannya. Indikator ekonomi selama ini lebih dominan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dibandingkan indikatorindikator lingkungan hidup. Konsekuensi logisnya adalah banyak dijumpai berbagai dampak yang tidak diharapkan baik dalam bentuk kerusakan lingkungan maupun semakin terbatasnya sumber daya alam yang dimanfaatkan. Menurut Salim (1990), kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa segi-segi lingkungan umumnya belum masuk dalam alur tengah pemikiran ekonomi. Segisegi
lingkungan
diperlakukan
sebagai
faktor
ekstern,
yang
proses
internalisasinya belum berjalan secara otomatis dalam proses ekonomi. Oleh karena itu, proses pembangunan yang sarat pertimbangan ekonomi akan terasa timpang dan memerlukan pemikiran ulang untuk bisa mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Pemanfaatan menimbulkan
sumber
berbagai
daya
masalah
alam
yang
lingkungan
tidak
hidup.
terkendali Tanpa
dapat
pengaturan
pendayagunaan sumber daya alam yang baik akan menimbulkan dampak terhadap kesejahteraan rakyat yang tidak akan terjamin, bahkan rentan terjadinya kerusakan lingkungan. Laju kerusakan lingkungan hidup di Indonesia yang semakin meningkat dari waktu ke waktu merupakan salah satu fenomena
2
pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan hutan sampai angka 2 juta hektar pertahunnya merupakan cermin kegagalan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, karena terlalu menekankan pada pendekatan ekonomi semata (Hartono, 2004). Salah satu implikasi kerusakan hutan tersebut adalah semakin berkurangnya ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada musim kemarau, termasuk air irigasi untuk kepentingan pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut, Wignyosukarto (2005) mengemukakan bahwa pengelolaan sumber daya air tidak lepas dari permasalahan ketersediaan air dan kebutuhan terhadap air yang perlu dikelola secara terpadu (Gambar 1).
SIKLUS HIDROLOGI YANG DINAMIS (ketidakpastian)
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU (prioritas kebutuhan pembagian alokasi, konservasi dan pengendalian pencemaran, kelembagaan pengelola)
Rumah tangga, irigasi, ekosistem air, komersial (industri, tenaga listrik, air kemasan, pariwisata, transportasi)
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Gambar 1 Pengelolaan sumber daya air
Menurut Inpasihardjo (dalam Arif, et al., 2000), pengembangan dan pengelolaan sumber daya air akan menjadi salah satu masalah dalam kaitannya dengan semakin terbatasnya ketersediaan air serta semakin besarnya tuntutan pemenuhan kebutuhan air. Ketimpangan antara ketersediaan air yang semakin terbatas dan meningkatnya kebutuhan air oleh berbagai pengguna dapat menimbulkan konflik ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu, permasalahan
tersebut akan menjadi semakin kompleks ketika kualitas air terabaikan dalam kegiatan
pembangunan
lingkungan hidup.
sehingga
menimbulkan
permasalahan
terhadap
KETERSEDIAAN AIR
KETERSEDIAAN AIR
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
3
Kebijakan sumber daya air dalam skala nasional diatur dalam UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Materi yang terkandung dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pada tingkat pemanfaatannya sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Secara umum pemanfaatan sumber daya air diperuntukan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangan. Diantara berbagai pengguna tersebut, materi Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya Pasal 29 (3) menyatakan bahwa penyediaan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan. Berdasarkan hal tersebut, maka peruntukan penyediaan air untuk kebutuhan tanaman atau pertanian rakyat melalui suatu sistem irigasi merupakan prioritas utama dalam kerangka pembangunan sumber daya air. Mengingat tingkat
kepentingannya
yang
sangat
strategis,
maka
perlu
diupayakan
pengelolaan irigasi secara tepat dan berkelanjutan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa prioritas utama pembangunan pengairan di Indonesia masih ditujukan pada pengelolaan irigasi untuk menunjang kegiatan sektor pertanian. Menyadari pentingnya peran irigasi dalam mempertahankan dan meningkatkan ketahanan pangan, maka pengelolaan irigasi berkelanjutan menjadi salah satu prioritas penting dalam kerangka pembangunan pengairan baik secara nasional maupun regional. Sejalan dengan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa salah satu penyelenggaraan urusan yang diserahkan kepada Daerah adalah penyediaan sarana dan prasarana umum, termasuk didalamnya bidang irigasi. Pada tingkat pelaksanaannya, pengelolaan irigasi tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber
4
Daya Air yang materinya memberikan berbagai implikasi terhadap perubahan tanggungjawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat petani pemakai air dalam pengelolaan irigasi. Implikasi penguatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan irigasi, khususnya pada tingkat kabupaten/kota yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya adalah pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh pada satu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Secara lengkapnya pengaturan dan pembagian kewenangan pengelolaan irigasi berdasarkan strata luasan lahan pertanian beririgasi adalah sebagai berikut : (1) Daerah Irigasi (DI) kurang dari 1000 ha (DI kecil) dan berada dalam satu kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/ Kota (2) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 1000 sampai dengan 3000 (DI sedang) atau DI kecil yg lintas kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi (3) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 3000 ha (DI besar) atau DI sedang yg lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pada hakekatnya Irigasi berfungsi dalam mendukung produktivitas usahatani dan meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi kebijakan dalam mendukung
pengelolaan
irigasi
berkelanjutan.
Faktor-faktor
pendukung
pengelolaan irigasi berkelanjutan selama ini menunjukkan indikasi yang cukup kritis. Hal ini terlihat antara lain dari faktor ketersediaan air, kondisi fisik jaringan irigasi, lahan pertanian beririgasi, dan kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi. Permasalahan ketersediaan air selama ini menunjukkan kecenderungan yang semakin terbatas, sedangkan pada sisi kebutuhan semakin meningkat dari berbagai pengguna.
Menurut Santoso (2005), ketersediaan air di Indonesia
mencapai 1,957 milyar m3/tahun dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa (17% diantaranya terkonsentrasi di Jawa dan Bali). Potensi tersebut mencapai 8,800 m3/kapita/tahun. Kebutuhan air secara nasional saat ini terkonsentrasi di
5
Jawa dan Bali dengan penggunaan terutama untuk minum, rumah tangga, perkotaan, industri, pertanian, dan lainnya. Pada sisi lain, potensi air tawar, khususnya di Pulau Jawa mencapai sebesar 4.5% dari total nasional, sedangkan penduduk Pulau Jawa sendiri sebanyak 65% dari total penduduk Indonesia. Ketersediaan air di Pulau Jawa mencapai sebesar 1,750 m3/kapita/tahun (atau berada di bawah standar kecukupan yaitu sebesar 2,000 m3/kapita/tahun). Apabila tidak ada upaya yang serius, maka sampai tahun 2020 di Pulau Jawa hanya akan tersedia sebesar 1,200 m3/kapita/tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa potensi kelangkaan air yang sangat besar akan terjadi di Jawa dengan daya dukung sumber daya air yang telah mencapai titik kritis. Kuantitas air tersebut menjadi semakin komplek karena tingginya tingkat pencemaran kualitas air oleh limbah industri (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2004) dan banyaknya pemanfaat air irigasi selain untuk sektor pertanian menambah permasalahan berkaitan dengan kuantitas dan kualitas air Irigasi (Siskel dan Hutapea, 1995). Selain itu alih fungsi lahan beririgasi yang tidak terkendali menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Hasil penelitian JICA (1993) menunjukkan bahwa proyeksi konversi lahan beririgasi cukup serius terjadi di Indonesia, khususnya di pulau-pulau besar yaitu mencapai sebesar 807,500 ha sampai tahun 2020 (Tabel 1). Tabel 1 Proyeksi konversi lahan pertanian beririgasi (ha/tahun) Periode
Jawa
Bali
Sumatera
Sulawesi
Total
1991 – 1995
20,000
1,000
1,000
500
22,500
1996 – 2000
22,000
1,000
1,500
500
25,000
2001 – 2010
22,000
1,000
2,000
1,000
26,000
2011 - 2020
25,000
1,000
3,000
2,000
31,000
62,500
35,000
807,500
Total 680,000 30,000 sampai tahun 2020 Sumber: Hasil penelitian JICA (1993)
Permasalahan konversi lahan juga dikemukakan oleh Siswono (2002) bahwa konversi lahan yang berakibat pada penurunan luas lahan subur disinyalir terjadi di banyak tempat. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang Departemen Pekerjaan Umum) menjelaskan setidaknya terdapat 34
6
persen lahan basah yang sudah beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian. Faktor ketersediaan air dan lahan beririgasi menjadi faktor yang sangat menentukan dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Hal tersebut dikemukakan oleh JICA (1993) bahwa “in case the necessity of irrigation development is justified, one of the next subjects will be where to develop irrigation. Land and water resources are fatal limiting factors to consider the possibility of irrigation development”. Semenjak Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, telah terjadi kerusakan jaringan irigasi yang semakin parah dengan indikasi menurunnya dukungan kuantitas, kualitas maupun fungsi prasarana irigasi. Menurut Kwik Kian Gie (2002) krisis ekonomi telah menyebabkan kualitas pelayanan dan penyediaan pada hampir semua sarana dan prasarana dasar terus mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya. Kemampuan keuangan negara yang terbatas dan terfokusnya perhatian pemerintah kepada restrukturisasi sektor keuangan dan perbankan telah mengurangi kemampuan untuk membangun sarana dan prasarana dasar, serta kemampuan untuk melaksanakan rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana dasar yang telah tersedia Menurut Mardianto et al. (2005) hasil inventarisasi Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1999 menunjukkan bahwa dari total jaringan irigasi yang mencapai 6.7 juta hektar, sekkitar 1.4 juta hektar (20.84%) mengalami kerusakan ringan dan sekitar 126 ribu hektar (1.86%) mengalami kerusakan berat (Tabel 2). Tabel 2. Kondisi jaringan irigasi di Indonesia, 1999 (ha) Pulau
Baik
Kondisi Jaringan Irigasi Rurak Ringan Rusak Berat
Total
Sumatera
1,283,359
497,752
56,149
1,837,260
Jawa
2,727,978
492,081
51,949
3,272,008
Bali&NT
318,219
30,091
524
349,662
Kalimantan
301,337
158,628
-
459,965
Sulawesi
576,967
199,776
17,487
794,230
47,091
11,610
-
58,701
Total 5,254,951 1,389,938 126,127 Sumber: Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum (1999)
6,771,826
Maluku-Papua
Kondisi jaringan irigasi tersebut diperkirakan dapat bertambah menjadi lebih buruk, apabila dikaitkan dengan adanya kenyataan semakin terbatasnya
7
anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, serta adanya perubahan manajemen pemerintah dari sentralisasi menjadi
otonomi
daerah.
Kenyataan
tersebut
mencerminkan
terjadinya
penurunan fungsi jaringan irigasi dan apabila dibiarkan berlanjut akan mengakibatkan jaringan irigasi tidak mampu lagi mempertahankan dan meningkatkan produktiivitas lahan pertanian untuk mencapai hasil yang optimal. Kerusakan jaringan irigasi juga terlihat di sentra-sentra produksi padi sampai tahun 2007 yang menunjukkan indikasi cukup serius.
Kerusakan
jaringan irigasi secara keseluruh mencapai sebesar 59.53% yang terdiri atas kerusakan ringan sebesar 23.45% dan kerusakan berat sebesar 36.06. Total kerusakan tersebut berada di atas persentase jaringan irigasi yang baik (40.47%), sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi jaringan irigasi di sentra produksi, tahun 2007 (ha) Luas Jaringan Terbangun (ha) Baik Rusak Rusak Berat Ringan 1 Sumatera Utara 34,248 68,638 21,089 2 Lampung 103,089 59,081 105,017 3 Jawa Barat-Banten 485,117 405,117 179,680 4 Jawa Tengah 151,997 169,859 64,176 5 Jawa Timur 232,929 183,173 225,342 6 Sulawesi Selatan 138,642 142,427 66,732 7 Nusa Tenggara Barat 18,080 9,621 12,339 Total 1,164,102 1,037,916 674,375 Sumber: Ditjen SDA, Departemen PU, 2007 (dikompilasi) No
Propinsi
Total 123,975 267,187 1,069,914 386,032 641,444 347,801 40,040 2,876,393
Kondisi kerusakan jaringan irigasi di sentra-sentra produksi padi tertinggi pada Provinsi Jawa Barat-Banten yang mencapai seluas 584,797 ha, sedangkan secara persentase kerusakan jaringan irigasi tertinggi ada pada Provinsi Sumatera Utara yang mencapai sebesar 72.38%. Gambaran kerusakan jaringan irigasi di sentra-sentra produksi padi tersebut memberikan peringatan akan adanya ancaman penurunan produktivitas pertanian. Kondisi kerusakan jaringan irigasi tersebut meningkat cukup tajam dari tahun sebelumnya di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data yang disajikan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum kenaikan kerusakan secara total mencapai sebesar 34% pada tahun 2007 dari 22.1% yang terjadi setahun sebelumnya (2006). Sedangkan prasarana
8
terbangun lainnya, yaitu bendung dan waduk menunjukkan indikasi yang tidak berubah selama setahun terakhir sebagaimana terlihat pada Gambar 2.
40 35 30 25 20 15 10 5 0
34
22.1
6.9
6.9
0.24
0.24
2006
2007
Jaringan Irigasi
Bendung
Waduk
Gambar 2 Kondisi keandalan prasarana sumber daya air/Irigasi Kerusakan jaringan irigasi tersebut tentunya akan menjadi kendala bagi keberlanjutan pengelolaan irigasi.
Faktor penentu lainnya dari pengelolaan
irigasi berkelanjutan adalah kelembagaan pengelolaan irigasi. Menurut Ambler (1991) apabila sarana fisik sebuah jaringan irigasi merupakan “perangkat keras”nya, maka lembaga-lembaga pengelola irigasi baik yang bersifat formal maupun tidak formal merupakan “perangkat lunak”nya, yang mutlak diperlukan untuk mengelola air irigasi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu sistem irigasi mempunyai karakteristik “sosio-teknis”. Perkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi sekarang ini mendapat banyak perhatian di berbagai kalangan pemerhati dan praktisi terkait dengan pengelolaan irigasi. Menurut Helmi (1997) kelembagaan formal yang sudah dikembangkan selama ini melalui organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) cenderung menunjukkan ketidakberdayaan dalam tiga dimensi, yaitu: (1) inisiatif; (2) sosial ekonomi; dan (3) teknologi. Sebagai akibatnnya belum banyak organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mampu memfasilitasi anggotanya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu juga pola kerja instansi pemerintah yang masih berciri egoisme sektoral menyebabkan kerjasama diantara mereka belum optimal dalam membantu pengembangan organisasi petani.
9
Berdasarkan
hasil
penelitian
Makinudin
dan
Sasongko
(2006)
menunjukkan masih terbatasnya kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi baik di tingkat organisasi petani maupun pemerintah menyebabkan pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan tidak berjalan dengan baik. Hal ini mengakibatkan kerusakan fisik irigasi dan sedimentasi lumpur yang semakin tinggi di hampir seluruh jaringan irigasi. Kecenderungan terbatasnya kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi juga terlihat dari indikasi pelaksanaan otonomi daerah. Penempatan aparatur pemerintah dalam struktur dinas terkait dengan pengairan dan irigasi hampir di sebagian kabupaten seringkali bukan personel yang mempunyai pengalaman di bidang pengairan atau irigasi, sedangkan pada sisi lain pelaksana irigasi yang ada sudah memasuki usia purna tugas (pensiun). Pada sisi lain kelembagaan koordinasi yang mengatur pengelolaan irigasi juga masih kurang optimal baik panitia irigasi maupun komisi irigasi. Kondisi demikian kalau dibiarkan terus berlanjut akan menyebabkan pelaksanaan kegiatan pengelolaan irigasi secara berkelanjutan menjadi semakin tidak jelas. Berbagai permasalahan yang muncul terkait dengan daya dukung pengelolaan irigasi berkelanjutan tersebut tentunya memerlukan penataan kembali dalam format kebijakan regional.
Berdasarkan hal tersebut, maka
penelitian ini bertendensi untuk merumuskan suatu model strategi kebijakan regional
dalam
pengelolaan
irigasi
berkelanjutan,
khususnya
pada
pengembangan aspek ketersediaan air, kondisi fisik jaringan irigasi, lahan pertanian beririgasi, dan kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi di daerah.
1.2.
Permasalahan Irigasi Pembangunan
merupakan
konsep
yang
multidimensi
yang
memperhatikan berbagai aspek diantaranya aspek sosial, ekonomi, teknologi, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan lingkungan. Keterkaitan antaraspek atau faktor-faktor tersebut sangat kompleks karena dapat berinteraksi dalam berbagai cara dan juga tergantung pada variasi tempat, waktu maupun kondisi lainnya pada suatu masyarakat tertentu. Mengingat kompleksitas pembangunan tersebut, maka diperlukan piranti kebijakan yang tepat dalam menjaga keberlanjutannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
10
Demikian pula halnya dengan pembangunan di bidang sumber daya air, khususnya sektor pengelolaan irigasi mempunyai kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas tersebut terlihat dari karakteristik sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Sistem irigasi tidak hanya sekedar seperangkat teknologi berupa bangunan dan saluran irigasi saja melainkan juga terdapat aspek sosial seperti kelembagaan pengelola irigasi, manajemen konflik, sosiabilitas antara hulu, tengah, dan hilir. Selain itu juga terdapat aspek ekonomi melalui kontribusi irigasi terhadap peningkatan produktivitas hasil usahatani yang berujung pada pendapatan masyarakat petani. Demikian pula halnya dengan aspek lingkungan yang diindikasikan dengan adanya berbagai pengguna irigasi yang apabila tidak dikendalikan dapat menyebabkan ketersediaan air menjadi semakin terbatas dan rentan terjadi pencemaran air irigasi oleh limbah industri. Mengingat pengelolaan irigasi menjadi bagian dari bidang pembangunan yang urusannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah (provinsi maupun kabupaten/kota), maka diperlukan kebijakan regional yang tepat dalam mengantisipasi kompleksitas dan permasalahan yang apabila dibiarkan dapat berujung pada konflik pemanfaatan air irigasi. Kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi tentunya harus berdasarkan prinsip keberlanjutan. Dengan demikian piranti kebijakan regional tersebut sekurang-kurangnya mampu menyediakan jaminan air irigasi kepada pengguna sesuai dengan skala prioritasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 29 (3): “Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan”. Kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi secara berkelanjutan masih menjadi harapan dan belum sampai pada tingkat sistem nyata di hampir semua daerah, khususnya tingkat kabupaten. Daya dukung aspek legal melalui pembentukan peraturan daerah terkait dengan pengelolaan irigasi masih terbatas Hal ini terlihat antara lain dari terbatasnya pembentukan peraturan daerah (perda) tentang Irigasi. Berdasarkan laporan akhir program IWIRIP tahun 2004 menunjukkan bahwa dari 13 provinsi dan 63 kabupaten lokasi kegiatan baru terbentuk Perda Irigasi di 4 provinsi dan 25 kabupaten, sebagaimana terlihat pada Tabel 4.
11
Tabel 4 Perkembangan pembentukan perda irigasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Propinsi Aceh (baca: NAD) Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Total tahun 2002 Total tahun 2003 Total tahun 2004
Status Peraturan Daerah Irigasi Propinsi Kabupaten 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 4 1 6 0 3 0 3 1 2 1 2 1 2 0 1 2 12 4 22 4 25
Jumlah 0 1 1 0 0 4 7 3 3 3 3 3 1 14 26 29
Sumber: Laporan Akhir Program IWIRIP, 2004
Pembentukan Perda irigasi tersebut juga masih belum disesuaikan dengan perkembangan kebijakan nasional sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Secara umum, terbatasnya pembentukan Perda Irigasi tersebut menunjukkan belum optimalnya pendekatan keberlanjutan pengelolaan irigasi di Daerah.
Pada sisi lain daya dukung yang menunjang
kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan juga belum berjalan secara terpadu. Hal ini terlihat dari fenomena permasalahan sebagaimana yang dijelaskan dalam latar belakang baik pada aspek ketersediaan air, kondisi fisik jaringan irigasi, lahan pertanian beririgasi maupun kelembagaan pengelolaan irigasi masih belum berjalan secara terpadu. Dengan demikian permasalahan irigasi yang akan diformulasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
Kebijakan pengelolaan irigasi belum berjalan secara efektif dan terpadu sehingga menyebabkan terjadinya krisis ketersediaan air irigasi dan kerusakan jaringan irigasi.
(2)
Penguatan kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) melalui upaya pemberdayaan belum berjalan secara optimal dan terkoordinasi, serta minimnya pembentukan Perda irigasi sebagai payung hukum pengelolaan irigasi berkelanjutan.
12
1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu model
strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut: (1)
Merumuskan faktor penentu strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan.
(2)
Membuat dan mensintesa berbagai asumsi dasar yang mendukung strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan.
(3)
Merumuskan struktur model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan melalui sintesa aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan.
(4)
Menetapkan alternatif kriteria pengambilan keputusan rancang bangun model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini baik secara praktis
(guna laksana) maupun teoritis adalah sebagai berikut: (1)
Manfaat praktis bagi Pemerintah Daerah adalah sebagai masukan dalam proses perencanaan dan penetapan model strategi kebijakan yang tepat dalam
pengelolaan
irigasi
berkelanjutan
berdasarkan
pendekatan
partisipatif sesuai dengan otonomi daerah dan upaya pelestarian lingkungan yang berbasis masyarakat. (2)
Manfaat praktis bagi masyarakat petani pemakai air irigasi adalah untuk meningkatkan jaminan ketersediaan air irigasi dengan daya dukung infrastruktur jaringan irigasi yang berfungsi dengan baik untuk mengairi areal pertanian beririgasi serta penguatan kelembagaan pengelola irigasi yang mempunyai kemampuan dalam mengoptimalkan sistem irigasi berdasarkan karakteristik sosio-teknisnya.
(3)
Manfaat teoritis dalam konteks keilmuan adalah sebagai masukan dalam pengembangan
aplikasi
dan
metodologi
permodelan
lingkungan sumber daya air dengan pendekatan regional.
sistem
pada
13
1.5.
Kerangka Pemikiran Sebagaimana yang dijelaskan dalam latar belakang bahwa salah satu
sumber daya air yang masih menjadi prioritas utama pembangunan pengairan di Indonesia adalah irigasi untuk menunjang kegiatan sektor pertanian.
Dalam
konteks pengelolaan lingkungan sumber daya air, defisit ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap kebutuhan air sektor irigasi. Sekarang ini, ketersediaan air irigasi tidak hanya dimanfaatkan oleh kepentingan produktivitas pertanian saja, melainkan juga untuk kebutuhan lainnya (sektor rumah tangga dan industri). Kondisi demikian menuntut pengelolaan irigasi dilaksanakan secara lebih baik lagi untuk mengantisipasi kemungkinan konflik kepentingan alokasi air irigasi yang akan terjadi pada masa mendatang. Berdasarkan kepentingan air irigasi untuk sektor pertanian, maka dapat dikemukakan bahwa potensi sumber daya air irigasi memberikan peluang tidak hanya
pada
peningkatan
produktivitas
pertanian
saja
melainkan
juga
memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat perdesaan dan pembangunan ekonomi nasional. Dengan demikian potensi pengelolaan lingkungan sumber daya air irigasi mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani dengan mata pencaharian di sektor pertanian yang sebagian besar tinggal di perdesaan dan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Pencapaian pengelolaan lingkungan sumber daya air irigasi dapat diwujudkan melalui berbagai pendekatan. Salah satu yang cukup penting terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah kebijakan pemerintah daerah. Pemahaman terhadap kebijakan dapat ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai sudut pandang dan disiplin ilmu tertentu. Menurut Islamy (1997), kebijakan adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah. Pengertian kebijakan tersebut terkandung serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan
menunjukkan
hambatan-hambatan
dan
kesempatan-kesempatan
terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pengertian kebijakan tersebut mencerminkan adanya susunan rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program pemerintah yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat;
14
apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan atau tidak dilakukan; dan masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, suatu kebijakan dapat memuat 3 (tiga) elemen penting, yaitu sebagai berikut: (1)
Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
(2)
Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan
(3)
Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi tersebut. Berdasarkan
penjelasan
mengenai
definisi
kebijakan
yang
telah
dikemukakan tersebut, maka pengertian kebijakan regional dalam penelitian ini ditafsirkan secara operasional adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Tindakan pemerintah daerah yang dimaksud adalah keputusan yang ditetapkan dalam pengelolaan irigasi sesuai kewenangan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengertian kebijakan daerah tersebut mempunyai beberapa implikasi sebagai berikut: (1)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan dalam bidang pengelolaan irigasi;
(2)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah tidak cukup hanya dinyatakan dalam keputusan publik, melainkan dilaksanakan dalam bentuk secara nyata;
(3)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; dan
(4)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat. Demikian
pula
halnya
dengan
penetapan
kebijakan
regional
mencerminkan perilaku pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik melalui kegiatan pembangunan. Salah satu tindakan pemerintah daerah dalam pelayanan tersebut adalah bidang pengelolaan irigasi dalam tata
15
kehidupan masyarakat yang mengandalkan mata pencahariannya di sektor pertanian. Berkaitan dengan semakin kompleknya masalah pengelolaan irigasi, maka
kebijakan
regional
menjadi
sedemikian
penting,
terutama
dalam
mengantisipasi pengelolaan unsur-unsur yang terkait dalam pengelolaan irigasi secara berkelanjutan. Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan irigasi menjadi salah satu bidang urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota sebagai bentuk pelaksanaan desentralisasi.
Selain itu juga Merey (dalam Visi, 1995)
mengemukakan bahwa dalam sistem yang terdesentralisasi, pemerintah tetap memegang wewenang dan kontrol atas air, tetapi kontrol tersebut terletak pada level birokrasi yang lebih rendah dan lebih dekat kepada para pengguna. Dalam konteks tersebut birokrasi yang lebih tepat adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan di tingkat kabupaten/kota dapat diformulasikan melalui bagian-bagian yang saling berkaitan dalam kerangka sistem irigasi. Irigasi sebagai sebuah sistem terdiri dari beberapa unsur pendukung, yaitu: (1) sumber air, termasuk didalamnya ketersediaan air; (2) infrastruktur berupa jaringan irigasi baik saluran maupun bangunan irigasi; (3) lahan pertanian beririgasi; dan (4) kelembagaan pengelola irigasi baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat petani pemakai air. Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka penelitiannya disusun berdasarkan unsur-unsur pendukung tersebut sebagai dasar dalam menyusun suatu model kebijakan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.
16
Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development paradigm)
PARADIGMA PEMBANGUNAN
ANALISIS KEBUTUHAN
Reformasi Kebijakan Sumber Daya Air
Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan
Daya Dukung Lingkungan Internal dan Eksternal
Masalah Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan (aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan)
FORMULASI MASALAH
K
Subsistem Kelembagaan = Pengelola Irigasi
Subsistem Sumber dan Ketersediaan Air
K Sistim Pengelolaan Irigasi K Berkelanjutan (Sintesa aspek lingkungan, ekonomi, teknik, dan kelembagaan)
IDENTIFIKASI SISTEM Subsistem Infrastruktur Jaringan Irigasi
K
Subsistem Lahan Pertanian Beririgasi
Analisis Kebijakan: Strategi Kebijakan Regional Dalam Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan
PERMODELAN SISTEM
PERMODELAN SISTEM
VERIFIKASI DAN VALIDASI
Expert Judgement
Model Strategi Kebijakan
Implikasi Kebijakan Batas Penelitian
IMPLEMENTASI
Penetapan, Pelaksanaan dan Evaluasi Kebijakan
Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian
Analisa Usahatani dan Teknik Irigasi
17
Kerangka pemikiran sebagaimana dijelaskan pada Gambar 3 diawali dengan adanya pendekatan paradigma pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan irigasi.
Pendekatan paradigma pengelolaan irigasi berkelanjutan
didasarkan pada berbagai perubahan fisik dan sosial ekonomi yang telah meningkatkan tekanan terhadap sumber daya air (Helmi, 1997), termasuk irigasi antara lain meliputi: (1)
Peningkatan jumlah penduduk dalam konteks peningkatan demand;
(2)
Perkembangan industrialisasi yang berdampak terhadap pencemaran air irigasi;
(3)
Kerusakan daerah tangkapan air (watershed) disebabkan oleh aktifitas ekonomi sehingga menimbulkan ketersediaan air yang semakin terbatas;
(4)
Peningkatan pengguna air yang berimplikasi pada kompetisi pemanfaatan air untuk berbagai alokasi sektor pembangunan;
(5)
Peningkatan laju konversi lahan pertanian beririgasi; dan
(6)
Penurunan kondisi fisik dan fungsi jaringan irigasi dari tahun ke tahun sebagai akibat minimnya pendanaan untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Berbagai
perubahan
tersebut
secara
relatif
dapat
menurunkan
ketersediaan air (dependable flow) dengan kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai dengan standar pemenuhan kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian kebijakan regional dalam upaya pengelolaan irigasi di masa depan. Secara lebih spesifik, Helmi (1997) mengemukakan bahwa upaya tersebut membutuhkan perubahan orientasi pengembangan dan pengelolaan air dari supply-side strategy ke arah demandside strategy. Prinsip pengelolaan air dari demand-side strategy menekankan pada usaha mempengaruhi perilaku pengguna (users) dalam memakai air dengan mengembangan organisasi dan institusi untuk menangani kedua aspek tersebut (demand dan supply). Peran kelembagaan tersebut menjadi sedemikian penting dalam mengendalikan kebutuhan air oleh berbagai kepentingan. Menurut Wynpeny (1994), ujung dari prinsip pengelolaan air melalui demand-side strategy adalah:
18
(1)
Memperhitungkan nilai air dalam hubungan dengan biaya penyediaannya;
(2)
Mengambil
tindakan-tindakan
yang
menghendaki
pengguna
menghubungkan tingkat pemakaian air dengan biaya yang harus dibayar; dan (3)
Memperlakukan air sebagai satu barang (komoditi) ekonomi dan bukan sekedar bentuk pelayanan masyarakat yang disediakan oleh pemerintah dan tidak perlu dibayar. Salah satu upaya untuk mengantisipasi berbagai perubahan dalam
pengelolaan irigasi di masa depan adalah melalui pendekatan paradigma pengelolaan irigasi secara berkelanjutan, yaitu dengan memadukan aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan. Untuk menghasilkan model kebijakan regional yang efektif dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan diperlukan analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan merupakan bagian awal dari seluruh tahapan dalam Soft System Methodology (SSM). Menurut Eriyatno (2003), analisis kebutuhan menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Identifikasinya dapat meliputi hasil suatu survei, pendapat seorang ahli, diskusi (Focus Group Discussion, FGD) atau observasi lapangan. Sistem itu sendiri menurut Manetsch dan Park (1977) merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan.
Dalam proses analisis kebutuhan selalu terdapat
hubungan interaksi yang dapat terwujud secara postif maupun negatif dalam suatu sistem pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan dalam analisis kebutuhan tersebut sangat ditentukan oleh derajat kepentingan dan kemanfaatan yang akan diperoleh bagi semua pihak atau elemen yang terkait. Dalam konteks penelitian, analisis kebutuhan dapat dipetakan melalui berbagai daya dukung untuk pengelolaan irigasi berkelanjutan. Daya dukung tersebut antara lain meliputi reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi serta lingkungan internal (sumberdaya air irigasi) dan eksternal (kelembagaan sumberdaya air irigasi, teknologi, payung hukum, dan lahan pertanian beririgasi). Secara lebih jelas, analisis kebutuhan dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) terkait dengan pengelolaan irigasi berkelanjutan dituangkan dalam Tabel 5.
19
Tabel 5 Analisis kebutuhan model pengelolaan irigasi berkelanjutan No. 1.
Pemangku Kepentingan Pemerintah
Kebutuhan
a. Penyesuaian regulasi dan pengaturan penyediaan air serta pemanfaatan air untuk berbagai sektor pengguna. kebijakan dan peraturan perundangundangan. Pengembangan teknologi tepat guna dalam mendukung sistem irigasi. Penyesuaian nilai ekonomi sumberdaya air dan irigasi. Pengelolaan irigasi berkelanjutan Koordinasi perencanaan pengelolaan irigasi partisipatif dalam menunjang kinerja pembangunan daerah. Koordinasi program antarsektor terkait sumberdaya air dan irigasi. Koordinasi rencana penyediaan dan alokasi pemanfaatan air irigasi. Koordinasi pengendalian alih fungsi lahan pertanian beirigasi. Koordinasi pendanaan pengelolaan irigasi dan pengendalian pelaksanaan kegiatan pengelolaan irigasi berkelanjutan. Koordinasi program konservasi sumber daya air. Peningkatan kemampuan (capacity building) pengelolaan irigasi berkelanjutan melalui pendidikan dan pelatihan. Pengembangan organisasi berbadan hukum. Jaminan hak pengelolaan air irigasi. Pemanfaatan air irigasi melalui pendekatan hemat air. Peningkatan kemampuan pembiayaan pengelolaan irigasi. Pengelolaan konflik pemanfaatan air irigasi Konservasi sumber daya air. Jaminan hak guna air irigasi untuk kebutuhan pertanian beririgasi. Menjaga dan mempertahankan lahan pertanian beririgasi dari upaya konversi untuk berbagai sektor pada lahan “hijau”. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan irigasi. Optimalisasi kontribusi irigasi terhadap produktivitas hasil usahatani. Pengembangan dan penerapan teknologi hemat air irigasi. Konservasi sumber daya air. Kejelasan dan ketegasan peraturan penyediaan dan pemanfaatan sumber daya air dan irigasi. Nilai ekonomi sumber daya air dan irigasi (termasuk cost recovery). Konservasi sumber daya air.
b. Sinkronisasi c.
2.
Komisi Irigasi
d. e. a. b. c. d. e.
3.
Kelembagaan Pengelola Irigasi
f. a. b. c. d. e.
4.
Masyarakat Petani Pemakai Air
f. g. a. b. c. d. e.
5.
Swasta (Private)
f. a. b. c.
20
Analisis
kebutuhan
tersebut
masalah
pengelolaan
memformulasikan
merupakan irigasi
jembatan
berkelanjutan.
dalam Situasi
permasalahan yang tidak terstruktur dalam sistem nyata kemudian ditemukenali melalui proses identifikasi sistem. Selanjutnya pendekatan sistem manajemen lingkungan dilakukan melalui identifikasi sistem sehingga diperoleh sintesa atau keterpaduan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam pengelolaan irigasi. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus atas permasalahan yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Proses identifikasi sistem dapat dilakukan melalui bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop). Hal yang paling penting dalam proses identifikasi sistem adalah mengembangkan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Pada tahap tersebut dirancang parameter yang akan menyusun kotak gelap berupa informasi yang dibedakan atas tiga peubah, yaitu: (1) input; (2) proses; dan (3) output. Menurut Eriyatno (2003), dalam permodelan sistem dikembangkan transformasi kebutuhan melalui diagram Input – Output sebagaimana konsep kotak gelap (black box) yang disajikan pada Gambar 4.
INPUT TAK TERKENDALI: (1) Karakteristik Geografis (2) Ketersediaan Air (3) Faktor Iklim
INPUT LINGKUNGAN: (1) Kebijakan OTDA (2) Kebijakan SDA (3) Kebijakan Pertanian (4) Peraturan Daerah (5) Rencana Strategis
OUPUT DIKEHENDAKI: (1) Konservasi SDAL (2) Air irigasi cukup tersedia (3) Kondisi fisik dan fungsi jaringan irigasi terjaga (4) Konversi lahan rendah (5) Peningkatan produktivitas pertanian (6) Kebijakan kondusif
Model Kebijakan Regional Dalam Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI: (1) Partisipasi masyarakat rendah (2) Kelembagaan Pengelola Irigasi tidak aktif (3) Alokasi dan distribusi air tidak merata (4) Konflik pemanfaatan semakin tinggi (5) Kerusakan lingkungan (6) Kebijakan KURANG kondusif
INPUT TERKENDALI: (1) Infrastruktur Jaringan Irigasi (2) Kelembagaan (3) Partisipasi Masyarakat (4) Kinerja Pengelolaan SDA (5) Lahan Pertanian
OUTCOME KINERJA: (1) Kecukupan air irigasi (2) Kehandalan fungsi jaringan irigasi (3) Lahan fungsional pertanian beririgasi (4) Penguatan Kelembagaan Pengelola Irigasi (5) Ketahanan pangan daerah (6) Kesejahteraan masyarakat
Gambar 4 Diagram input-output model kebijakan regional dalam Pengelolaan irigasi berkelanjutan
21
Langkah selanjutnya yang dilakukan setelah identifikasi sistem adalah permodelan sistem sebagai tahapan keempat dalam Soft System Methodology (SSM). Menurut Eriyatno (2003), permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktiviitas pembuatan model. Definisi model diartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model yang lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas atau sistem nyata yang sedang dikaji. Dengan demikian klasifikasi model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Proses permodelan menunjukkan bahwa suatu sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan (sistem nyata) akan dilihat dan dibaca oleh pemodel dan membentuk gambaran tertentu (image) didalam pikirannya. Gambaran imajinasi tersebut tidak persis sama dengan sistem nyata karena pemodel membacanya dengan menggunakan “kacamata” tertentu atau sudut pandang/visi/wawasan tentang kehidupan yang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) tata nilai yang diyakini oleh pemodel; (2) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel; dan (3) pengalaman hidup dari pemodel. Dalam konteks penelitian, permodelan sistem diterapkan pada suatu gugus atau bentuk pembuatan model kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Hasil dari permodelan sistem adalah berupa model strategi kebijakan yang diharapkan. Model strategi kebijakan tersebut kemudian diverifikasi dan divalidasi untuk menguji model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Proses uji verifikasi dilakukan dengan maksud untuk mengetahui berbagai kelemahan maupun kekurangan serta mengidentifikasi berbagai persoalan yang harus diantisipasi dalam kaitan dengan penerapan kebijakan yang dihasilkan. Hasil verifikasi dan validasi tersebut merupakan bagian yang diperlukan dalam penarikan kesimpulan penelitian dan dikembangkan berbagai saran penelitian sebagai masukan dalam proses tindak lanjutnya (follow-up action). Tahap akhir dari kerangka pemikiran adalah penetapan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan (tahap terakhir tersebut merupakan bagian di luar ruang lingkup penelitian).
22
Model kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan didasari oleh sedikitnya tiga kepentingan dasar yang ingin dicapai, dan memiliki irisan sasaran yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh MacNaughton dan Stephens (2004) bahwa: “Inherent tensions exist between the three spheres of overlaping sustainable development objectives: (1) economic development and the allevation of poverty; (2) protection of the natural environment; and (3) social objectives such as health, education, and peace”. Irisan ketiga tujuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Business ethics; human rights/social equity; corporate social responsibility
Economic Prosperity
Social objectives
Air&water quality; urban design and mobility; healt, education and safety, overall quality of life
Brownfields redevelopment; ecosystems services; by-product synergy
Environment Quality
Stakeholder engangement & consultation
Gambar 5 Irisan yang saling terkait diantara sasaran pembangunan berkelanjutan
1.6.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah aspek-aspek sebagai berikut:
(1)
Sistem irigasi yang diteliti dibatasi secara ekologis pada irigasi berdasarkan sumber airnya, yaitu irigasi air permukaan. Sistem irigasi permukaan adalah sistem irigasi yang pemberian airnya di permukaan tanah dengan mengambil airnya bersumber dari air permukaan (sungai atau Daerah Aliran Sungai, danau, situ, dan sejenis lainnya).
Wilayah area
penelitiannya dibatasi pada jaringan tersier/kwarter yang dikelola oleh masyarakat petani pemakai air (P3A) dan jaringan utama (primer dan
23
sekunder) yang dikelola oleh Pemerintah sesuai kewenangannya (Pusat maupun Daerah). (2)
Daya dukung sistem irigasi permukaan dibatasi pada aspek: sumber air (termasuk didalamnya konservasi sumber daya air dan ketersediaan air); infrastruktur (berupa jaringan irigasi baik saluran maupun bangunan irigasi); lahan pertanian beririgasi; dan kelembagaan pengelola irigasi (baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat petani pemakai air).
(3)
Strategi kebijakan regional dibatasi pada tingkat kabupaten dalam bidang pengelolaan irigasi yang mempunyai tujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang.
(4)
Pengelolaan irigasi berkelanjutan dibatasi pada sintesa aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan atas berbagai unsur atau elemen pendukung pengelolaan irigasi (sumber daya air, infrastruktur jaringan irigasi, sumber daya lahan pertanian beririgasi, dan kelembagaan pengelolaan irigasi).
(5)
Pengelolaan irigasi berkelanjutan secara terpadu diformulasikan dalam suatu model yang memadukan daerah hulu sebagai wilayah konservasi sumber daya air untuk memenuhi dan menjaga ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan, dan daerah hilir sebagai wilayah penggunaan air permukaan
melalui
pengelolaan
sistem
irigasi
untuk
kepentingan
pemenuhan kebutuhan air tanaman di sektor pertanian. (6)
Lokasi kegiatan penelitian ditetapkan di Kabupaten Cianjur dengan mengambil kasus pada 3 (tiga) Daerah Irigasi (DI) yang mempunyai karakteristik luasan areal pertanian beririgasi potensial sebagai lumbung padi daerah baik pada klasifikasi dibawah 1000 ha, antara 1000 – 3000 ha, dan di atas 3000 ha. Studi kasus di 10 Daerah Irigasi (DI) yaitu Cihea, Cilumut Pasir Keurud, Ciheulang, Cisalak Batu Sahulu, Ciraden Leuwi Leungsir, Cikawung, Leuwi Bokor, Susukan Gede, Nagrog dan Cipadang Cibeleng.
24
1.7.
Novelty Kebaruan dalam penelitian ini adalah:
(1)
Merumuskan
model
kebijakan
dengan
pendekatan
sistem
yang
memadukan daerah hulu sebagai subsistem konservasi sumberdaya air dan daerah hilir sebagai subsistem pengelolaan irigasi di sektor pertanian. (2)
Merumuskan mekanisme koordinasi antar lembaga, pendanaan dan peran serta masyarakat.
(3)
Mengaplikasikan prinsip pembangunan berkelanjutan pada sektor irigasi yaitu pengambilan keputusan yang tepat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi sumberdaya dan pemerataan pembangunan antar daerah.