1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Membangun kawasan perkotaan seringkali berhadapan dengan cepat tumbuhnya penduduk tanpa diimbangi oleh kesiapan dan konsistensi dalam penataan ruang. Pemerintah kota senantiasa berhadapan dengan manajemen tambal sulam dalam membangun struktur dan pola ruang kotanya. Manajemen tersebut dipengaruhi tidak saja oleh karena persoalan tekanan pertumbuhan penduduk yang tinggi, tetapi juga keinginan memaksimalkan angka laju pertumbuhan ekonomi (LPE) daerah dengan memarjinalisasi lahan RTH sebagai fungsi kawasan lindung kota. Akibatnya timbul inkonsistensi tata kelola ruang berdimensi
jangka
panjang.
Mengabaikan
tingginya
konversi
lahan
pertanian/lahan RTH lainnya menjadi ruang terbangun (RTB) dan cenderung mengancam keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang pesat di Kota Bekasi baik pada sektor perumahan, industri padat teknologi, pusat perbelanjaan mewah, dan sentra perkantoran merupakan
instrumen
yang
mewadahi
kepentingan
sektor
ekonomi.
Permasalahannya, hal ini dikerjakan dengan mengkonversi lahan pertanian secara besar-besaran. Fenomena ini menunjukkan cara-cara yang salah dalam mengelola ekosistem sumber daya lingkungan kota. Kerusakan lingkungan hidup sering menjadi taruhan dari pesatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Paradigma ini berorientasi atau prioritas utamanya menciptakan pertumbuhan dan mekanisme pasar menjadi pijakan pembangunan (Sitorus, 2009). Orientasi pembangunan ekonomi dengan alasan memfasilitasi tingginya pertumbuhan penduduk juga menjadi pemicu dan alat penekan terjadinya deviasi atau simpangan pemanfaatan ruang yang tidak menguntungkan secara ekologis. Penyimpangan struktur dan pemanfaatan ruang dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah
(RTRW)
umumnya
terjadi
karena
tekanan
tingginya
pertumbuhan penduduk, terutama akibat arus urbanisasi (Dardak, 2006a). Perkembangan spasial yang tidak terkendali tersebut bukan berarti kota tidak mempunyai konsep tata ruang/tata spasialnya. Formulasi tata spasial dan aplikasinya kalah cepat berpacu dengan proses perubahan spasial yang ada di
2
lapangan, karena permasalahan yang berkaitan dengan aplikasi peraturan tidak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen (Yunus, 2005). Fakta penyimpangan tata spasial terjadi pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi. Hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 2005 terhadap Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2000 tentang RTRW Kota Bekasi menyimpulkan bahwa telah terjadi simpangan besar dalam hal struktur dan pola pemanfaatan ruang kota. Diketahui bahwa penyimpangan struktur dan pola pemanfaatan ruang tersebut termasuk ke dalam Tipologi III yaitu kondisi RTRW absah, simpangan besar, dan faktor eksternal berubah. Tipologi hasil peninjauan
tersebut
didasarkan
pada
ketentuan
Kepmenkimpraswil No.
327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali RTRW Kota (Bappeda Kota Bekasi, 2008). Konsekuensi terjadinya simpangan besar khususnya terhadap pola pemanfaatan ruang, umumnya berakibat kepada sub optimalisasi RTH atau memarjinalkan lahan bervegetasi. Menurunnya kuantitas RTH, dari aspek ekologi, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti banjir, tingginya polusi udara, rendahnya kualitas air tanah, dan kebisingan. Kondisi tersebut, dari aspek ekonomi dan sosial juga dapat menurunkan tingkat produktivitas atau kontra produktif masyarakat akibat stres. Biaya kesehatan berkorelasi positif terhadap peningkatan environmental stress, sehingga biaya ini dapat dijadikan proxy terjadinya penurunan kualitas lingkungan (Putri, 2009). Polusi udara yang berlebihan menyebabkan kelainan genetik, menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak dan tingkat harapan hidup masyarakat dan fenomena perilaku sosial yang destruktif seperti vandalisme dan kriminalitas (Dardak, 2006a). Hal ini terjadi karena terbatasnya akses ruang publik sebagai sarana interaksi sosial dan pelepas ketegangan psikis. Perencanaan tata ruang dalam konteks pengalokasian RTH dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung sebagaimana amanat UU tentang Penataan Ruang.
No. 26 tahun 2007
Ketidakmampuan menyeimbangkan kedua fungsi
tersebut menunjukan lemahnya komitmen politik tata ruang. Kegagalan politik tata ruang dapat diukur dari kurangnya keinginan untuk membiayai program RTH (green budgeting RTH), lemahnya kekuasaan menindak, melarang, dan menghentikan kegiatan yang melanggar ketentuan atau terjadinya inkonsistensi
3
perijinan. RTRW
sering hanya dilihat pemerintah sebatas formalitas yang
didokumentasikan sebagai peraturan daerah guna memenuhi ketentuan atau aturan di atasnya. Konsep pemanfaatan ruang dalam undang-undang tersebut adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Menurut Djakapermana (2008) belum sepenuhnya rencana tata ruang dijadikan usaha preventif dalam proses pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Euphoria Otonomi Daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan PAD yg bersifat jangka pendek (dibanding peningkatan PDRB dalam jangka panjang), serta keinginan mengembangkan infrastruktur regional secara sendiri-sendiri yang menjadi tidak efisien. Dengan demikian ada dua kekuatan yang memarjinalisasi program keberlanjutan RTH kota. Pertama, faktor teknis yaitu keseriusan pemerintah menjaga konsistensi manajemen pengelolaan RTH. Kedua, faktor nonteknis, kepedulian stakeholders mengendalikan arahan pemanfaatan RTH dan tekanan permintaan ekonomi pasar terhadap politik tata ruang, termasuk dukungan politik penganggaran RTH (green budgeting RTH). Pilihan mengendalikan konversi RTH dengan pendekatan regulasi insentif dan disinsentif bagi kawasan perkotaan tidaklah mudah bagi pemerintah kota, tetapi persoalan penatagunaan lahan juga tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu melakukan regulasi termasuk dalam hal belanja program tata ruangnya. Sebagai gambaran, lahan pertanian dan perkebunan tentunya tidak akan dapat dipertahankan masyarakat karena nilai pajak tanah perkotaan yang tinggi dan tidak sebanding dengan hasil panen mereka. Masyarakat pemilik lahan seringkali memilih menjual lahan karena harga tanah yang tinggi dapat dijadikan sebagai modal usaha lain. Dengan kondisi seperti ini, tidak ada pilihan lain, pemerintah
berkewajiban
membeli
lahan
tersebut
sebagai
upaya
mempertahankan ruang terbuka hijau. Dalam teori penatagunaan lahan (Widiatmaka dan Hardjowigeno, 2007), sekurang-kurangnya tanah atau lahan mempunyai tiga jenis nilai (rent) yaitu Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas tanah), Locational Rent (aksesibilitas lokasi tanah) dan Environment Rent (tanah sebagai komponen utama ekosistem). Land rent ini muncul karena lahan telah
4
menjadi barang langka sebagai akibat dari tingginya permintaan lahan dan hakhak akses atas lahan, yang menjadi kendala dalam pemanfaatannya (Rustiadi, et al. 2007). Idealnya,
pengendalian
lahan
oleh
pemerintah
harus
mampu
mengoptimalkan pemanfaatan ketiga jenis rent tersebut sekalipun pada kawasan perkotaan. Dalam kondisi lahan RTHyang semakin menyusut, diupayakan agar pemerintah menguasai/mengalokasikan dana untuk pengadaan lahan bagi kebutuhan RTH publik. Program-program penganggaran RTH saat ini belum secara optimal dimasukkan dalam penganggaran tahunan daerah (APBD) dan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bekasi. Dalam
konteks
keterbatasan
anggaran,
pemerintah
daerah
dapat
melakukan pendekatan Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) yang secara partisipatif disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif daerah (DPRD) Kota Bekasi. Undangundang tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan bahwa peran daerah menjadi sangat penting sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan, dimana pendanaan lingkungan hidup menjadi salah satu kewenangan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah demi mendukung upaya penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (UU No. 32 tahun 2004a). Kota Bekasi baru memiliki RTH publik seluas 778 ha (3,7%), sedangkan laju penurunan lahan RTH rata-rata 5-7% pertahun pengelolaan RTH
tidak diimbangi kinerja
yang optimal. Kinerja program pengelolaan RTH selama
periode tahun 2005-2009 rata-rata hanya mendapatkan porsi 0,07% dari penerimaan APBD atau tidak lebih dari 1 milyar (Bappeda, 2010; Dinas LH, 2009). Esensi permasalahan yang terjadi di Kota Bekasi adalah alih fungsi lahan yang cepat tanpa diikuti kinerja dukungan penganggaran atas kewajiban daerah memenuhi 20 persen RTH publik kotanya. Dalam upaya memberikan arahan
kebijakan, maka penelitian dinamika
perubahan penggunaan lahan dan strategi pengalokasian RTH berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan di Kota Bekasi penting dilakukan. Diharapkan, hasil penelitian ini bernilai strategis, karena kebijakan pendanaan lingkungan saat ini merupakan salah satu indikator keberhasilan kinerja
5
pemerintah
daerah
dalam
pengelolaan
lingkungan
(Good
Environment
Governance).
1.2. Perumusan Masalah Disadari bahwa penduduk Kota Bekasi memiliki kebutuhan yang sangat mendasar untuk lingkungan udara yang sehat, ketersediaan air tanah, dan ruang sebagai sarana berinteraksi sosial. Oleh karena itu, diperlukan ruang untuk mewadahinya yang sering disebut RTH yang juga berperan sebagai ruang publik kota (public space). Perubahan penggunaan lahan yang cepat di Kota Bekasi telah menggusur RTH menjadi ruang terbangun (RTB) tanpa pengendalian yang maksimal sehingga memarjinalkan konsep kota hijau (green city) sebagai suatu sistem ekologi kota yang utuh. Dampak marjinalisasi pengelolaan RTH kota secara luas dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi (Briassoulis 1999). Fenomena konversi lahan yang cepat dengan memarjinalisasi RTH, menyebabkan secara ekologis sulit bagi Kota Bekasi untuk dapat mewujudkan atau mempertahankan kawasan lindung sebagai area untuk kelestarian hidrologis, pengembangan keanekaragaman hayati, area penciptaan iklim mikro dan reduktor polutan kota. Sebagai gambaran, pada Lampiran 2 disajikan simpangan pemanfaatan ruang kawasan terbuka hijau yang terjadi pada tahun 2005 dibandingkan dengan apa yang direncanakan berdasarkan RTRW tahun 2000–2010. Berdasarkan arahan RTRW tersebut, beberapa jenis RTH seperti rencana kawasan pertamanan dan penyediaan lapangan olah raga pada setiap wilayah kecamatan tetapi faktanya tidak dapat direalisasikan bahkan lahan yang ada dikonversi menjadi ruang terbangun (RTB). Demikian pula dengan lahan pertanian yang seyogyanya dipertahankan pada dua kecamatan yaitu Bantargebang dan Jatisampurna, sebagian telah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun terutama oleh permukiman skala besar. Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Kota Bekasi belum memiliki rencana target luasan 20 persen RTH publik yang ditetapkan secara jelas baik lokasi maupun mekanisme pencapaiannya, sehingga diduga sulit merealisasikan kewajiban pemerintah tersebut tanpa tahapan yang jelas.
6
2. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang berupa regulasi penerbitan izin diduga tidak konsisten dengan arahan RTRW, disamping lemahnya dukungan penganggaran daerah (green budgeting RTH) sehingga sulit memproteksi kepemilikan RTH privat untuk kepentingan publik di kawasan perkotaan. 3. Program-program penganggaran daerah berbasis lingkungan, khususnya pengelolaan RTH kota saat ini belum secara optimal dimasukkan dalam penganggaran tahunan daerah (APBD) melalui pendekatan Kerangka Pengeluaran
Jangka
Menengah
(KPJM/MTEF).
Jika
tidak
dilakukan
pengendalian bersama seluruh stakeholders, maka simpangan besar ini menjadi ancaman terhadap ekologi kota. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap dukungan sumber pembiayaan
dari
APBD
hijau
(green
budgeting).
Pentingnya
APBD
hijau/penganggaran hijau (green budgeting), merupakan amanat Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) dalam hal ini upaya untuk mempertahankan dan memenuhi kawasan RTH sebagai bagian dari ekosistem kota. Dari uraian pokok permasalahan di atas, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kota Bekasi selama 20 tahun terakhir (1989 sampai dengan 2009)? 2. Faktor-faktor
penting
apa
yang
mempengaruhi
dinamika
perubahan
penggunaan lahan dari yang tadinya lahan terbuka menjadi lahan/ruang terbangun (RTB)? 3. Bagaimana mendisain model untuk memprediksi pola
interaksi antara
pertumbuhan penduduk (aspek sosial), perubahan pengunaan lahan RTH (aspek ekologi) dan penganggaran RTH pada APBD/Green Budgeting RTH (aspek ekonomi) dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pengelolaan RTH Kota Bekasi? 4. Bagaimana
arahan
prioritas
strategi
kebijakan
pengalokasian
RTH
berdasarkan penganggaran daerah berbasis lingkungan/APBD hijau (Green Budgeting RTH)? Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut diperlukan kajian ilmiah dengan menggunakan pendekatan sesuai dengan permasalahan yang akan
7
dipecahkan. Setiap kajian yang dilakukan terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui dinamika dan pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan bervegetasi. 3. Mendisain struktur model pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH). 4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH).
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu lingkungan berupa konsep model penataan ruang terbuka hijau kota untuk mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil akhir penelitian merupakan sebuah pengkayaan dan formula yang optimal bagi penataan ruang yang bersifat partisipatif di Kota Bekasi baik masa kini dan yang akan datang. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangsih bagi praktisi kebijakan. Secara rinci manfaat dari penelitian ini adalah: a. Bagi stakeholders, sebagai pedoman keterlibatan peran aktif masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian RTH kota serta komitmen
politik
penganggaran
daerah
berbasis
lingkungan
(green
budgeting). b. Bagi pemerintah Kota Bekasi, sebagai masukan dalam menyusun kebijakan manajemen penataan RTH dan mencegah marjinalisasi pengelolaan RTH yang berakibat terjadinya degradasi lingkungan kota. c. Memberi sumbangan pada ilmu pengetahuan di bidang manajemen pengelolaan RTH berkelanjutan, khususnya strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan.
8
1.5. Kerangka Pemikiran Rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah (Miller, 1986) melainkan bersifat dinamis dan memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai. Inkonsistensi kebijakan pemerintah dan lemahnya dukungan politik tata ruang dicerminkan dari program penganggaran tata ruang dalam APBD. Tekanan penduduk yang tinggi membutuhkan utilitas kota yang cepat, tepat dan proporsional, sehingga fungsi kawasan lindung kota tetap menjamin kualitas kota (livable city) . Masalah
tersebut timbul salah satunya karena belum adanya
disain kebijakan partisipatif sebagai mekanisme atau alat kontrol masyarakat terhadap belanja daerah (APBD) yang mendukung arahan program RTH Kota. Strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting) dalam pemanfaatan pengendalian ruang terbuka hijau kota merupakan salah satu alat kebijakan yang perlu dikembangkan. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi tahun 2000-2010, Kota Bekasi mempunyai luas lahan 21.049 hektar, seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Luas rencana pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010 Jenis Pemanfaatan
Luas ha
Kawasan Terbangun 1. Perdagangan dan Jasa 2. Pemerintahan dan Bangunan Umum
%
16.228,78
77,10
736,73
3,50
195,11
0,93
11.299,00
53,68
4. Industri
631,47
3,00
5. Pendidikan
210.49
1,00
6. Jaringan Prasarana Perkotaan
3.157,35
15,00
Kawasan Tidak Terbangun
4.820,22
22,90
1. Pertamanan
1.052,45
5,00
210,49
1,00
2.643,75
12,56
282,06
1,34
3. Perumahan
2. Lapangan Olah Raga 3. Jalur Hijau 4. Pemakaman 5. Pertanian Kota Bekasi
631,47
3,00
21.049,00
100,00
Sumber : RTRW Kota Bekasi Tahun 2000 – 2010, Bapeda (2010)
9
Arahan penggunaan lahan dalam RTRW dimaksudkan agar terjadi pemanfaatan ruang yang efektif
sesuai dengan arah pembangunan secara
keseluruhan, Dari luasan tersebut, 16.228,78 hektar (77%) diantaranya direncanakan akan digunakan untuk berbagai kegiatan sektor pembangunan perkotaan seperti perdagangan dan jasa, industri, permukiman dan sarana umum kota, sementara sisanya seluas 4.820,22 hektar (23%) akan digunakan sebagai lahan RTH (Bapeda Kota Bekasi, 2008).
Faktanya, rencana
pemanfaatan kawasan tidak terbangun atau penggunaan lahan RTH tersebut menjadi tidak konsisten dalam pengelolaan pembangunan. Luasan RTH pertamanan yang direncanakan 1.052 ha (5%), dalam kenyataanya (Lampiran 19), hanya memiliki luas hutan kota dan taman kota sekitar 56.380 m2 atau 5,6 ha (0,28%). Hal tersebut belum sejalan dengan ketentuan PP No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota yang menetapkan bahwa paling sedikit persentase luas hutan kota sekitar 10 persen dari wilayah perkotaan. Kawasan hijau berupa jalur hijau di sepanjang jalur sungai/situ, jalan utama kota dan jalur kereta api kondisinya sebagian besar sudah terpenetrasi oleh kegiatan terbangun. Konversi lahan akan terus meningkat manakala pemerintah tidak segera menganggarkan belanja daerahnya bagi kepentingan RTH publik. Hal ini karena dari 22,9 atau 23 persen lahan tidak terbangun tersebut sebagian besar masih berupa kebun campuran yang dimiliki oleh warga masyarakat (Private Property). Pemerintah Kota Bekasi belum terlambat menata sumberdaya lahannya. Oleh karena itu, perlu didisain bentuk wajah kota dengan konsep kota ramah lingkungan yang memilki minimal RTH Publik 20 persen. Kondisi wajah kota yang perencanaannya berbasis kecenderungan (trend driven) yakni meniru kota lain yang dianggap lebih baik hampir terjadi di semua kota yang sedang tumbuh berkembang.
Konsep
pendekatan
perencanaan
ini
terjadi
akibat
ketidakmampuan membaca potensi dan visi kota. Menurut Rustiadi (2010b) pendekatan yang demikian bukan pendekatan yang ideal untuk jangka panjang. Idealnya, model pendekatan adalah yang berbasis tujuan (goal driven) dan berbasis visi (vision driven planning). Faktanya, saat ini setiap kota didandani dengan tampilan serba megah seperti gedung pencakar langit, pabrik yang terus berderap setiap detik, dan pusat perbelanjaan yang tidak peka lingkungan (Yustika, 2006). Akibatnya, timbul persoalan kualitas lingkungan udara perkotaan yang buruk dan suhu udara yang tinggi (Urban Heat Island).
10
Pemerintah daerah seakan tidak memiliki kekuasaan mempola kotanya sendiri dan pemerintah juga tidak lagi sebagai penentu tunggal untuk mendisain wajah kotanya. Kekuatan pasar (market mechanism) biasanya mengatur operasi bisnisnya berdasarkan aspek keuntungan ekonomi. Semakin besar penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, semakin akan terus diintroduksi. Pada saat ini pembangunan kota-kota di Indonesia seluruhnya berwatak profitopolis yakni wajah kota dikendalikan motif laba dan yang menjadi sutradara adalah pemilik modal, penulis skenarionya adalah pejabat daerah yang rela didikte atau dibayar murah pemilik modal (Yustika, 2004). Watak profitopolis inilah yang menjadi sumber terbesar proses peminggiran petani, khususnya tercermin dalam proses penyempitan lahan. Kota Bekasi ditetapkan sebagai salah satu kawasan andalan Provinsi Jawa Barat yaitu kawasan dengan sektor unggulan industri, pariwisata, perdagangan dan jasa, pendidikan dan pengetahuan (Bapeda Kota Bekasi, 2008). Posisi Kota Bekasi tentunya memiliki pengaruh terhadap wilayah eksternalnya sebagai pusat pertumbuhan dan pemacu kegiatan ekonomi di sekitarnya. Bila ditinjau dari kebijakan tata ruang wilayah makro yang tertuang baik dalam RTRWN, RTRW Provinsi, maupun RTRW Kawasan Tertentu Jabotabek dan kedudukannya sebagai penyeimbang (counter magnet) ibukota negara, maka berbagai kebijakan, rencana dan program pembangunan di Kota Bekasi mengikuti arahan rencana besar tersebut. Pada akhirnya karakteristik bagian wilayah kota-kota kecamatan di Kota Bekasi akan menampilkan diri sebagai kota metropolitan dengan intensitas interaksi dan mobilitas yang cukup tinggi. Kuatnya fenomena urbanisasi menyebabkan pertumbuhan penduduk sulit dikendalikan pada wilayah tersebut. Perkembangan penduduk terjadi karena faktor-faktor alamiah dalam demografi yaitu meningkatnya natalitas atau tingkat kelahiran dan makin menurunnya mortalitas atau tingkat kematian, dan juga terjadi karena aliran urbanisasi yang luar biasa. Lonjakan Laju Pertambahan Penduduk (LPP) yang terjadi di Kota Bekasi hanya 30 persen saja yang disebabkan oleh LPP alaminya, sedangkan 70 persen sisanya berasal dari migrasi (BPS Kota Bekasi, 2008). Selama kurun waktu 11 tahun terakhir (periode tahun 1997 – 2008) tercatat rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,14 persen, artinya mengalami tingkat kenaikan sebesar 1,43 persen. Jumlah penduduk Kota Bekasi tahun
11
2008
tercatat sebesar
2.238.717 jiwa (Bappeda Kota Bekasi, 2009), data
terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa (BPS, 2010). Pada tahun 2000 tercatat kepadatan penduduk Kota Bekasi sebesar 7.904 jiwa/km2, sedangkan pada tahun 2007 kepadatan penduduknya sebesar 10.184 jiwa/km2. Dengan demikian pertumbuhan kepadatan penduduk Kota Bekasi rata-rata adalah sebesar 3,85 persen. Pengamatan kepadatan yang bervariasi menunjukkan bahwa lokasi yang mempunyai kepadatan yang tinggi berada di bagian pusat Kota Bekasi karena memiliki aksesibilitas yang baik. Peningkatan jumlah populasi secara langsung akan memberi efek berantai pada peningkatan kebutuhan terhadap infrastruktur pada
masing-masing
wilayah
kecamatan baik
transportasi, pemukiman,
ketersediaan air bersih, sumber energi, maupun kebutuhan terhadap layanan dasar (pendidikan dan kesehatan) dan lain-lain. Konseptualisasi kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
12
Upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan yang demikian besar cenderung mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan pembangunan, terkait dengan keberadaan RTH kota sebagai penyangga masa depan kehidupan. Pertumbuhan penduduk menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks dan dinamis. Bertambahnya jumlah penduduk di suatu wilayah mengandung konsekuensi terhadap fungsi-fungsi utilitas kota. Kebutuhan yang tinggi atas utilitas kota tersebut berdampak atau menekan fungsi kawasan lindung dan bertambahnya kawasan budidaya. Persoalan ini menjadi semakin kompleks bila arahan fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak direncanakan secara proporsional dalam RTRW dan didukung dengan komitmen politik penganggaran. Oleh karena itu pendekatan model sistem dinamik untuk mengidentifikasi keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan kebutuhan lahan bervegetasi, penganggaran hijau RTH, perumahan dan sarana lainnya sebagai ruang terbangun (RTB) menjadi penting. Kualitas hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik (ecology) seperti terjaminnya kualitas udara, air, dan tanah. Terpenuhinya aspek sosial budaya dan ekonomi seperti tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhan sosial budaya, termasuk keberlanjutan sumberdaya alam untuk investasi. Kearifan atas kebijakan RTH menjadi penting untuk menjaga kualitas lahan kota yang semakin terdesak dengan tingginya konversi lahan RTH menjadi RTB. Sejak RTRW Kota Bekasi 2000-2010 disahkan sebagai Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2000, belum ada strategi kebijakan penganggaran daerah berbasis lingkungan multiwaktu terkait arahan pencapaian target RTH kota, baik berkenaan dengan program pengadaan lahan, dukungan anggaran melalui pendekatan insentif
atau pengendalian dari sisi pendekatan disinsentif serta
peraturan lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan RTRW. Deviasi tata ruang Kota Bekasi merupakan masalah hilir dari persoalan pokok (hulu) inkonsistensi perijinan dan dukungan penganggaran APBD berbasis lingkungan dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Penelitian ini dimaksudkan memberikan kontribusi dalam pengembangan kawasan perkotaan secara berkelanjutan (urban sustainability) melalui instrumen strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting).
13
1.6. Kebaruan (Novelty) Dalam penelitian ini unsur kebaruan (novelty) mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Memadukan model kebijakan strategi pengalokasian RTH berbasis green budgeting secara terintegrasi antara pendekatan sistem model dinamik (hard system) dengan soft system (AHP) serta pendekatan analisis spasial yang dapat merancang future scenario kebutuhan RTH kota. 2. Konsep pemikiran baru bahwa alokasi dan arahan pengelolaan RTH kota diikuti dengan disain strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green
budgeting
RTH)
Expenditure Framework).
melalui
pendekatan
MTEF
(Medium
Term